Anda di halaman 1dari 83

LANDREFORM

Dr. jur. Any Andjarwati


DASAR HUKUM
 Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
 TAP MPR IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengeloaan Sumber Daya Alam
 Pasal 7, 10, dan 17 UUPA
 PAsal 13 UUPA
 UU no 56 Prp tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; disahkan menjadi UU dengan UU no. 1 tahun 1961 
dikenal sebagai UU Landreform
 PP no 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yuncto PP no. 41/ 1964 tentang
Perubahan dan Tambahan PP no. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian
 Permenag ATR/BPN no 18 tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian. Sebagai peraturan
pelaksanaan UU 56/1960 dan PP no 224/1961
 Peraturan Presiden no 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria
 UU no 2 tahun 1960 tentang Bagi Hasil; Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria no. 4/ 1964 mengatur perimbangan
pembagian hasil.
 UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
 UU no 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
 UU no 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
 UU no. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
 PP no 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar; Perkaban no 4 tahun 2010 tentang Tata Cara
Penertiban Tanah Terlantar  PP no 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Pasal 39 ayat 1 PP
20/2021, “semua peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai penertiban dan pendayagunaan Tanah Telantar yang telah ada
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini”.
 PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; Permenag/KaBPN no 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP no 24 tahun
1997
 PP 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai  telah dicabut PP no 21/2021 tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah
MATERI PEMBELAJARAN

1. Pengertian Landreform – Agrarian Reform


2. Dasar hukum
3. Tujuan Landreform atau Agrarian Reform
4. Pengaturan Batas Luas Tanah Pertanian
5. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
6. Tanah Absentee
7. Bagi Hasil
8. Gadai Tanah Pertanian
9. Tanah Terlantar
PENGANTAR
 Arah kebijakan pembaruan agraria: Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah – P4T (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan (pasal 6 ayat 1
huruf b Tap MPR no IX/MPR/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam)

Penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang, atau
badan hukum dengan tanah berdasarkan UUPA

Pemilikan Tanah (Hak milik atas tanah) adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah

Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan
alami maupun buatan manusia.

Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah
wujud fisik penggunaan tanahnya.

Pasar Tanah/Land markets enable the transfer of land rights from one party to
another. 

 Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan,


pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) secara komprehensif dan sistematis dalam
rangka pelaksanaan landreform (pasal 6 ayat 1 huruf c Tap MPR no IX/MPR/ 2001)

 Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan


penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria,
dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 Tap MPR no IX/MPR/ 2001 )

 Perpres 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria


Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria
Pasal 4 Tap MPR IX/MPR/2001

a) memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;


b) menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c) menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi
hukum;
d) mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia;
e) mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;
f) mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan,
pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria/sumber daya alam;
g) memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi
sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya
dukung lingkungan;
h) melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial
budaya setempat;
i) meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan antar daerah dalam
pelaksanaan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
j) mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya
bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
k) mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi,
kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
l) melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah
provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan
pengelolaan sumberdaya agraria/sumber daya alam.
Arah Kebijakan Pembaruan Agraria
Pasal 5 ayat (1) Tap. MPR no IX/MPR/2001

a. melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang


berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana
dimaksudkan Pasal 4 Ketetapan ini.

b. melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan


pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan
tanah untuk rakyat.

c. menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan,


pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam
rangka pelaksanaan landreform.

d. menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul
selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin
terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsipprinsip sebagaimana
dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.

e. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan


pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya
agraria yang terjadi.

f. mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program


pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.
Arah Kebijakan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pasal 5 ayat 2 Tap MPR/MPR/2001

a) melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan


dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang
berdasarkan prinsip-prinsip tsb. pasal 4 Ketetapan ini.

b) Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan
inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan nasional.

c) memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam
di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi
ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
d) memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan
upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber alam tersebut.
e) menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus
dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya
penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4
Ketetapan ini.

f) mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam
secara berlebihan.
g) menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat
dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun
nasional
PENGERTIAN LANDREFORM pada masa lahirnya UUPA

Arti Landreform dari UUPA yaitu Agrarian Reform (arti luas), yang
meliputi 3 masalah pokok:
 
1. perombakan dan pembangunan kembali sistem pemilikan dan
penguasaaan atas tanah dengan tujuan meniadakan pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas (groot grondbesiz), agar
tidak merugikan kepentingan umum (pasal-pasal 7, 10,17 UUPA)
2. perombakan dan penetapan kembali sistem penggunaan atas
tanah/Land Use Planning (pasal-psal 14, 15 UUPA)
3. Penghapusan hukum agraria kolonial dan pembangunan hukum
agraria nasional.
PENGERTIAN LANDREFORM

Agrarian Reform Indonesia meliputi 5 program, yaitu:


1. pembaharuan hukum agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional
dan menjamin kepastian hukum
2. penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah
3. mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur
4. perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan
hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah
5. perencanaan persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara berencana sesuai
dengan daya kesanggupan dan kemampuannya (Perencanaan Tata Guna Tanah)
Landreform dalam arti sempit yaitu perombakan pemilikan dan penguasaan tanah
serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah
(seperti tersebut diatas no. 4).
Perkembangan Pengertian Landreform atau Agrarreform
Perpres no 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria

Pengertian Reforma Agraria Pasal 1 Pepres 86/2018

1. Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan,


penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) yang lebih berkeadilan melalui Penataan
Aset dan disertai dengan Penataan Akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

2. Penataan Aset adalah penataan kembali P4T dalam rangka menciptakan keadilan di
bidang penguasaan dan pemilikan tanah

3. Penataan Akses adalah pemberian kesempatan akses permodalan maupun bantuan


lain kepada Subjek Reforma Agraria dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang
berbasis pada pemanfaatan tanah, yang disebut juga pemberdayaan masyarakat.
SUBYEK HUKUM REFORMA AGRARIA
(Pasal 12 Perpres. 86/2018)

1. Orang perseorangan: WNI, berusia paling rendah 18 tahun/ sudah menikah;


bertempat tinggal di wilayah objek redistribusi tanah atau bersedia tinggal di wilayah
objek redistribusi tanah; mempunyai pekerjaan. Dibedakan subyek hukum
perseorangan untuk tanah pertanian dan non-pertanian
2. Kelompok masyarakat dengan Hak Kepemilikan Bersama: gabungan dari orang-
perseorangan yang membentuk kelompok, berada dalam satu kawasan tertentu
serta memenuhi persyaratan untuk diberikan objek redistribusi tanah.; atau
3. badan hukum:
a. koperasi, perseroan terbatas, atau yayasan, yang dibentuk oleh Subjek
Reforma Agraria orang perseorangan atau kelompok masyarakat dengan
Hak Kepemilikan Bersama seperti tsb.
b. Badan usaha milik desa.
RA: SUBYEK HUKUM PERSEORANGAN UNTUK TANAH PERTANIAN

1. Petani gurem, memiliki luas tanah min. 0,25 ha dan/atau menyewa tanah tidak lebih dari 2 (dua)
ha. untuk diusahakan di bidang pertanian sebagai sumber kehidupannya;

2. petani penggarap, yang mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanah yang bukan miliknya;

3. buruh tani, yang mengerjakan atau mengusahakan tanah orang lain dengan mendapat upah;

4. nelayan kecil, yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal
penangkap ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) Gross Tonnage (GT);

5. nelayan tradisional , yang melakukan penangkapan ikan di perairan yang merupakan hak
perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan
kearifan lokal;

6. nelayan buruh, yang menyediakan tenaganya yang turut serta dalam usaha penangkapan ikan;

7. pembudi daya ikan kecil, yang melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari;

8. penggarap lahan budi daya, yang menyediakan tenaganya dalam pembudidayaan ikan;

9. petambak garam kecil, yang melakukan usaha pergaraman pada lahannya sendiri dengan luas
lahan paling luas 5 (lima) hektare, dan perebus garam;

10. penggarap tambak garam, yang menyediakan tenaganya dalam usaha pergaraman;

Cttn:Pasal 3 ayat 2 Permen ATR BPN no 18/2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian: subyek hukum yang
terkena pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yaitu: Perseorangan dan Badan Hukum.
TUJUAN AGRARREFORM DAN LANDREFORM

Tujuan pertama dan utama Agrarreform berdasarkan Penjelasan Umum I UUPA:

Untuk meletakkan dasar-sasar hukum agraria Nasinal untuk kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat, terutama rakyat tani.

Tujuan Landreform:

1. Menjamin kesejahteraan rakyat, terutama petani;

2. Menjamin lahan pertanian dikerjakan secara aktif sendiri oleh pemiliknya;

3. Menghilangkan Landlord (kerakusan penguasaan tanah yang berlebih-lebihan dan


mengabaikan kepentingan umum)

PermenATR/KaBPN no 18/2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian, sebagai


peraturan pelaksanaan Landreform

Tujuan: untuk mengurangi kesenjangan social, memeratakan kesejahteraan masyarakat dan


menjamin ketahanan pangan.

Ruang lingkup: pengendalian penguasaan tanah pertanian.

Subyek hukum: perorangan dan Badah Hukum

Pembatasan kepemilikan tanah pertanian (Pasal 3 ayat 2):

1. Perorangan: tidak padat (paling luas 20 ha); kurang padat (paling luas 12 ha); cukup
padat (paling luas 9 ha); sangat padat (paling luas 6 ha)

2. Badan hukum: sesuai dengan surat keputusan pemberian haknya.


Tujuan UU no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Pasal 3 UUCiptaker:
a. menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dengan memberikan
kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap koperasi dan UMK-M
serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap
tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan
keseimbangan dan kemajuan antar daerah dalam kesatuan ekonomi nasional;
b. menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan, serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
c. melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan
keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi koperasi dan UMK-M serta
industri nasional; dan
d. melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan
peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek strategis
nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional yang berlandaskan pada
ilmu pengetahuan dan teknologi nasional dengan berpedoman pada haluan
ideologi Pancasila.
SUBYEK HUKUM PERSEORANGAN UNTUK TANAH NON PERTANIAN

1. Guru honorer, yang belum berstatus Pegawai Negeri Sipil, serta digaji secara sukarela atau per jam
pelajaran, atau bahkan di bawah gaji minimum yang telah ditetapkan secara resmi, yang tidak
memiliki tanah;
2. Pekerja harian lepas, yang melakukan pekerjaan tertentu yang dalam hal waktu, volume, dan
upahnya didasarkan pada kehadiran, yang tidak memiliki tanah;
3. Buruh, yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, yang tidak memiliki
tanah;
4. Pedagang informal, yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang atau jasa, dengan
kemampuan modal yang terbatas yang dilakukan cenderung berpindah-pindah serta berlokasi di
tempat umum, tidak mempunyai legalitas formal serta tidak memiliki tanah;
5. Pekerja sektor informal, yang bekerja dalam hubungan kerja sektor informal dengan menerima upah
dan/atau imbalan dan tidak memiliki tanah;
6. Pegawai tidak tetap, yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas
pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis profesional dan administrasi sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan organisasi yang tidak memiliki tanah;
7. Pegawai swasta, dengan pendapatan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak dan tidak memiliki
tanah;
8. Pegawai Negeri Sipil, paling tinggi golongan III/a yang tidak memiliki tanah;
9. Anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang berpangkat paling
tinggi Letnan Dua/Inspektur Dua Polisi atau yang setingkat dan tidak memiliki tanah; atau t.
pekerjaan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Tujuan Agrar Reform
berdasarkan Pasal 2 Perpres. 86/ 2018

Reforma Agraria bertujuan untuk:

a. mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka


menciptakan keadilan;

b. menangani Sengketa dan Konflik Agraria;

c. menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang


berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (P4T);

d. menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan;

e. memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi;

f. meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan; dan

g. memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.


LARANGAN MONOPOLI
1. Pasal 13 UUPA
2. Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa,
sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai
dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
3. Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi
dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
4. Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat
diselenggarakan dengan Undang-undang.
5. Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang
perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria.

UU no 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 1

6. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
7. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha
yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum.
8. Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar
bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang
dan atau jasa.
Wewenang dan Tujuan Hak Menguasai Negara

Pasal 2 ayat 2 UUPA,


“Hak menguasai Negara…memberi wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tsb.;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa
Pasal 2 ayat 3 UUPA,
“Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2
pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Wewenang Hak Menguasai Negara berdasarkan MK, meliputi :

kebijakan, pengaturan, pengurusan, Pegelolaan, pengawasan


Wewenang Hak Menguasai Negara
dan Tujuannya

Penjelasan Umum I alinea terakhir UUPA,


“…pada pokoknya tujuan Undang Undang Pokok Agraria ialah:
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang
akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan
dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka
masyarakat yang adil dan makmur;
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Penyelenggara Reforma Agraria
(Pasal 3 Perpres 86/2018)
1. Penyelenggaraan Reforma Agraria dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

2. Penyelenggaraan Reforma Agraria dilakukan terhadap tanah Obyek Reforma Agraria (TORA)
melalui tahapan:

a. perencanaan Reforma Agraria;

i. perencanaan Penataan Aset terhadap penguasaan dan pemilikan


TORA;

ii. perencanaan terhadap Penataan Akses dalam penggunaan dan


pemanfaatan serta produksi atas TORA;

iii. perencanaan peningkatan kepastian hukum dan legalisasi atas


TORA;

iv. perencanaan penanganan Sengketa dan Konflik Agraria; dan

v. perencanaan kegiatan lain yang mendukung Reforma Agraria.

Perencanaan RA menjadi acuan dalam penyusunan: a. rencana kerja dan


anggaran kementerian/lembaga; dan b. rencana pembangunan daerah.

b. pelaksanaan Reforma Agraria.

i. Penataan Aset: terdiri dari redistribusi tanah; atau legalisasi aset.

ii. Penataan Akses

Penataan Aset sebagai dasar penataan akses.


Obyek Redistribusi Tanah
(Pasal 7 ayat 1 Perpres 86/ 2018)
1. Tanah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakunya serta tidak dimohon
perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan haknya dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun setelah haknya berakhir;
2. Tanah yang diperoleh dari kewajiban pemegang HGU untuk menyerahkan paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari luas bidang tanah HGU yang berubah menjadi HGB karena
perubahan peruntukan rencana tata ruang;
3. Tanah yang diperoleh dari kewajiban menyediakan paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari luas Tanah Negara yang diberikan kepada pemegang HGU dalam proses
pemberian, perpanjangan atau pembaruan haknya;
4. Tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan negara dan/atau hasil perubahan
batas kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri LH dan Kehutanan sebagai sumber
TORA, meliputi:
a. tanah dalam kawasan hutan yang telah dilepaskan sesuai peraturan
perundangundangan menjadi TORA; dan
b. tanah dalam kawasan hutan yang telah dikuasai oleh masyarakat dan telah
diselesaikan penguasaannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5. Tanah Negara bekas tanah terlantar yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat
dan negara melalui Reforma Agraria;
6. Tanah hasil penyelesaian Sengketa dan Konflik Agraria;
7. Tanah bekas tambang yang berada di luar kawasan hutan;
8. Tanah timbul;
9. ...
9. Tanah bekas hak erpacht, tanah bekas partikelir dan tanah bekas eigendom yang luasnya lebih dari
10 (sepuluh) bauw yang masih tersedia dan memenuhi ketentuan perundang-undangan sebagai
objek redistribusi; dan

10. Tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah swapraja/bekas swapraja yang masih
tersedia dan memenuhi ketentuan perundang-undangan sebagai objek redistribusi tanah.

11. Tanah yang memenuhi persyaratan penguatan hak rakyat atas tanah, meliputi:

a. Tanah yang dihibahkan oleh perusahaan dalam bentuk tanggung jawab sosial dan/atau
lingkungan;

b. Tanah hasil konsolidasi yang subjeknya memenuhi kriteria Reforma Agraria;

c. Sisa tanah sumbangan tanah untuk pembangunan dan tanah pengganti biaya
pelaksanaan Konsolidasi Tanah yang telah disepakati untuk diberikan kepada
pemerintah sebagai TORA; atau

d. Tanah Negara yang sudah dikuasai masyarakat.


PERATURAN BATAS LUAS PENGUASAAN
TANAH PERTANIAN
PERATURAN BATAS LUAS PENGUASAAN TANAH PERTANIAN DAN GANTI KERUGIAN

 Pasal 7 UUPA:

“Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak diperkenankan”.
 Pasal 17 UUPA
1. Dengan mengingat dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud
dalam Pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan/ atau minimum tanah yang
boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga
atau badan hukum, yang dilakukan berdasarkan peraturan perundangan
2. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum diambil oleh
Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat
yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
3. Tercapainya batas minimum…akan ditetapkan dengan peraturan perundangan,
dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Ket: Pasal 7, larangan pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas; Pasal 2
ayat 3: untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,
kesejahtraan dan kemerdekaan dalam masyarakat Negara hukum Indonesia yang
berdaulat, adil dan makmur melalui wewenang yang bersumber pada hak menguasai
dari Negara.
ASAS TANAH PERTANIAN DIKERJAKAN SECARA AKTIF
SENDIRI OLEH PEMILIKNYA
Pasal 10 UUPA:

Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada
dasarnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan
mencegah cara-cara pemerasan, yan lebih lanjut diatur dengan peraturan perundangan,
termasuk aturan pengecualiannya.

 UU no 39 Tahun 2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;


 UU no. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
 PP no 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar;
Perkaban no 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar __> PP
20/2021
PENGUASAAN TANAH PERTANIAN

 UU no 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (dikenal


dengan UU Landreform)
 Permen ATR/ Kepala BPN no 18 tahun 2016 tentang Pengendalian
Penguasaan Tanah Pertanian
UU NO 56 TAHUN 1960
TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN (UULR)
 terdiri dari 13 Pasal
 Mengatur batas luas minimum dan maksimum pemilikan dan penguasaan tanah
pertanian
Pasal 1 ayat 1 UULR,
“Seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu
keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian,
baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, yang jumlah luasnya tidak
melebihi batas maksimum …”
Pasal 4 UULR,
“Orang atau orang-orang sekeluarga yang memiliki tanah yang jumlah luasnya
melebihi luas maksimum dilarang untuk memindahkan hak-miliknya atau
seluruh atau sebagian tanah tersebut, kecuali dengan izin Kep. Agraria Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Izin tersebut hanya dapat diberikan jika tanah
yang haknya dipindahkan itu tidak melebihi luas maksimum dan dengan
memperhatikan pula ketentuan pasal 9 ayat 1 dan 2”
UU NO 56 TAHUN 1960
TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN (UULR)
Pasal 9 UULR,
1. Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan, dilarang
apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya
pemilikan tanah yang luasnya kurang dari dua hektar. Larangan termaksud tidak
berlaku kalau si penjual hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari dua
hektar dan tanah itu dijual sekaligus.
2. Jika dua orang atau lebih pada waktu mulai berlakunya peraturan ini memiliki tanah
pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar, di dalam waktu 1 tahunn mereka itu
wajib menunjuk salah seorang dari antaranya yang selanjutnya akan memiliki
tanah itu, atau memindahkannya kepada fihak lain, dengan mengingat ketentuan
ayat (1)
3. Jika mereka yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini tidak melaksanakan kewajiban
tersebut diatas, maka dengan memperhatikan keinginan mereka Menteri Agraria
atau pejabat yang ditunjuk, menunjuk salah seorang dari antara mereka itu, yang
selanjutnya akan memiliki tanah yang bersangkutan, ataupun menjualnya kepada
fihak lain.
SUBYEK HUKUM LANDREFORM

1. Orang= mereka yang belum/ tidak berkeluarga

2. Orang-orang = mereka yang bersama-sama merupakan satu keluarga, yang dilihat


pada kenyataan dalam penghidupannya, yang masih menjadi tanggungan
sepenuhnya dari keluarga itu.

3. Petani yang mengerjakan tanah pertaniannya sendiri, Petani bagi hasil; Petani sewa
tanah pertanian; petani tanah gadai

Tujuan Sistem Hukum Pertanian (jaminan kesejahteraan Petani, jaminan Produksi


pertanian, Jaminan Lingkungan Hidup dan Pemeliharaaan Pemandangan), Kaitkan dengan
Pasal 33 dan 34 UUD 1945, Pasal 13 UUPA.
Obyek Tanah Landreform

 Tanah-tanah milik dan tanah-tanah kepunyaan orang lain yang dikuasai dengan
hak gadai, sewa, pakai, dll.., yang terdapat di wilayah NKRI .

 Tanah yang dikuasai sendiri oleh anggota keluarga masing-masing, dan/ atau
tanah yang dikuasai bersama keluarga (mis. Milik bersama sebagai warisan yang
belum/ tidak dibagi)

 Tanah yang dikuasai, dapat dikuasai langsung maupun tidak langsung (mis.
tanah hak milik atau hak gadai yang disewakan, dibagi hasilkan)

 Larangan memindahkan hak milik tanah kelebihan batas maksimum, sebagian


atau seluruhnya, kecuali dengan izin Kep. Agr Daerah Kabupaten/Kota ybs.
Tanah Obyek LR – subyek hukum
 Pengecualian luas tanah batas maksimum Obyek LR (pasal 1 ayat 2
dan 4 UULR):
1. Tanah pertanian yang dikuasai dengan HGU atau hak-hak lain
yang bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari
pemerintah;
2. Tanah pertanian yang dikuasi oleh Badan Hukum

- dengan demikian Landreform berlaku hanya untuk subyek hukum


perseorangan (“orang” / belum berkeluarga atau “orang-orang”/
bersama-sama merupakan satu keluarga)
Batas Maksimum Tanah Obyek LR

__________________________________________________
Kepadatan Penduduk Golongan Daerah Luas max/ Ha/km2
Penduduk sawah tanah kering
------------------------------------------------------------------------------------
0 - 50 jiwa tidak padat 15 20
51-250 jiwa kurang padat 10 12
251-400 jiwa cukup padat 7,5 9
> 401 jiwa sangt padat 5 6
Batas Maksimum Tanah Obyek Landreform

 Perhitungan luas tanah maksimum yang dikuasai berbentuk sawah dan


tanah kering, yaitu dengan menjumlah tanah sawah ditambah tanah kering,
yang menilai tanah kering sama dengan sawah ditambah 30% untuk daerah
tidak padat, untuk daerah padat ditambah 20 %, dengan ketentuan tanah
pertanian yang dikuasai tidak boleh lebih dari 20 ha. (Pasal 1 ayat 2 UULR)
 Keluarga: maksimum 7 anggota, kelebihan seorang anggota ditambah
10% luas tanahnya, paling banyak 50%. (Pasal 2 UULR)
 Perbandingan tanah sawah dengan tanah kering. Untuk daerah tidak padat
1 : 1,3; untuk daerah padat 1 : 1,2
Kewajiban dan Larangan
Peraturan Batas Maksimum Tanah Obyek Landreform

 Pemilik Kelebihan Tanah Pertanian:


a. wajib lapor (pasal 3, 4)  sanksi pidana pelanggaran, pemindahan hak
batal karena hukum dan tanah ybs. jatuh pada negara serta tanpa hak
menuntut ganti rugi (pasal 10 ayat 1 huruf a, ayat 3 )
b. Peralihan yang mengakibatkan penguasaan tanah pertanian lebih dari
batas kasimum, wajib berusaha maksimum 1 tahun menjadikan tanah tidak
melebihi batas, dengan sanksi pidana pelanggaran (pasa; 6 jo 10 huruf b)
c. dilarang mengalihkan, kecuali dengan izin  sanksi pidana pelanggaran
(pasal 9 ayat 1, pasal 10 c UULR)
d. bagi yang memperoleh dan mengakibatkan kelebihan, dalam setahun wajib
mengakhiri kelebihannya.
LARANGAN TANAH ABSENTEE

PP no 224 tahun 1961

Pengertian

Larangan tanah absentee atau tanah guntai, yaitu larangan pemilikan dan/ atau penguasaan tanah
pertanian oleh orang yang bertempat tinggal diluar kecamatan, tempat letak tanah tsb. berada.

Pengecualian: pemilikan atau penguasan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di
kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah ybs, dengan syarat jarak antara
tempat tinggal pemilik dengan tanahnya masih memungkinkan pengerjaannya secara effisien.

Tujuan pengaturan larangan tanah absentte: agar hasil penguasaan tanah dapat dinikmati oleh
masyarakat yang tinggal di tempat tanah tersebut berada.

Kewajiban bagi pemilik tanah absentte untuk mengalihkan tanah kepada subyek hukum yang
memenuhi syarat, atau pemilik pindah ketempat letak tanah tsb. berada (Pasal 3 ayat 1 PP 224/ 1961)

Pengecualian
 Bagi orang yang sedang menjalankan tugas agama, tugas negara;
 PNS atau pejabat-pejabat militer atau yang dipersamakan dapat memiliki tanah max 2/5 dari
luas batas maksimal pemilikan dan/ atau penguasaan tanah pertanian.
SUBYEK HUKUM LANDREFORM

1. Orang= mereka yang belum/ tidak berkeluarga

2. Orang-orang = mereka yang bersama-sama merupakan satu keluarga,


yang dilihat pada kenyataan dalam penghidupannya, yang masih menjadi
tanggungan sepenuhnya dari keluarga itu.

3. Petani yang mengerjakan tanah pertaniannya sendiri yang penguasaannya


melebihi batas maksimal; Petani yang penguasaan tanahnya dibawah
batas luas minimum; Petani bagi hasil; Petani sewa tanah pertanian; petani
tanah gadai, Petani tanah absentee (tanah yang letaknya di luar batas
wilayah kecamatan tetangga dimana petani tinggal)
Perkembangan hukum LR - tanah pertanian
Permen ATR/BPN no 18/ 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah
Pertanian
 Pembatasan kepemilikan tanah pertanian untuk perorangan dengan ketentuan :
- tidak padat, paling luas 20 hektare (ha)
-  kurang padat, paling luas 12 hektare (ha)
- cukup padat, paling luas 9 hektare (ha)
-  sangat padat, paling luas 6 hektare (ha)
Tanah pertanian milik perorangan dapat dialihkan kepada pihak lain, :
-  pihak lain harus berdomisili dalam satu kecamatan letak tanah (dg bukti)
-  tanahnya harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk pertanian
 Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak
tanah dalam waktu 6 bulan sejak tanggal perolehan hak harus:
-  mengalihkan hak atas tanahnya kepada pihak lain yang berdomisili di kecamatan
letak tanah tersebut
-  pindah ke kecamatan letak tanah tersebut
Perkembangan hukum LR - tanah pertanian
Permen ATR/BPN no 18/ 2016 tentang Pengendalian Penguasaan
Tanah Pertanian

 Badan Hukum yang memiliki tanah pertanian wajib mengusahakan dan


memanfaatkan tanahnya sesuai dengan peruntukannya, paling lama 6 bulan
sejak diterbitkan sertifikat hak atas tanah, jika hal itu tidak dapat dilakukan, dapat
bekerjasama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis (Pasal 10 Permen
ATR/Ka BPN 18/2016)
 Kantah melakukan pengawasan, menginventarisasi pelanggaran peraturan
kepemilikan tanah yang melebihi batas maksimum, dan tanah pertanian
absentee, serta melaporkan kepada menteri ATR/Ka BPN setiap 6 bulan sekali
 Atas pelanggaran peraturan tsb, tanahnya ditetapkan sebagai tanah obyek
Landreform/ Reforma Agraria, yang kemudian tanah dibagikan kepada petani
sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan (Pasal 11)
HAK HAK ATAS TANAH YANG BERSIFAT SEMENTARA

Pasal 53 ayat 1 UUPA,


“Hak-hak yang sifatnya sementara …ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang, dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya
yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan
hapusnya di dalam waktu yang singkat”
Pasal 24 UUPA,
“Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan
peraturan perundangan”
Pasal 26 ayat 1 UUPA,
“Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut
adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak
milik serta pengawsannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Pasal 52 ayat 2 UUPA,
“ Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan yang dmaksud dalam…pasal
26 ayat 1,…dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/ atau denda setinggi-
tingginya Rp. 10.000,-
HAK GADAI
HAK GADAI

Pengaturan:
1. Pasal 53 UUPA (Hak Sementara); pasal 52 ayat 2 (Pidana:
khususnya untuk pasal 24, 26 ayat 1 UUPA),
2. Hukum Adat (asal mula perjanjian Gadai Tanah Pertanian),
3. Ps. 7 UU 56/ 1960, tentang pengembalian dan penebusan
tanah pertanian yang digadaikan; ps. 10: sanksi pidana
4. Kep. Menagr. No. 10/Ka/1963: ps 7 UU 56/Prp 1960 berlaku
juga terhadap gadai tanaman keras
5. Peraturan Menteri Pertanian dan Agr. No. 20/63: tentang
Pedoman Pelaksanaan Ps. 7 UU 56 Prp 1960
6. UU no. 16/ 1964: ps. 7 berlaku gadai tambak
Pengertian Hak Gadai

Hukum Gadai Tanah Pertanian merupakan bagian dari Landreform


Pengertian dalam hukum adat
 Gadai tanah pertanian berasal dari hukum adat.
 Hak Gadai merupakan hubungan hukum antara seseorang dengan tanah
milik orang lain yang telah menerima uang gadai dari dirinya. Selama uang
gadai itu belum dikembalikan, tanah ybs. dikuasai oleh pihak yang memberi
uang. Selama itu pemegang gadai berwenang untuk menggunakan atau
mengambil manfaat dari tanah ybs.
 Gadai tanah dalam Hukum Adat dengan Hukum Perdata
 Perbedaan
- gadai dalam pasal 1150 s/d 1160 KUHPerdt.: jaminan untuk benda
bergerak (pemegang gadai tidak berwenang menggunakannya)
- Hypothek/creditverband : untuk benda tidak bergerak; pemilik masih
menguasai bendanya
 Persamaan: pemilik menerima sejumlah uang
Ciri-Ciri Hak Gadai

1.Jangka waktu terbatas (berakhir kalau ditebus); Penebusan tergantung dari kemauan dan

kemampuan pemilik tanah (tidak dapat dipaksa); Hak menebus tidk hilang karena lampau waktu/

meninggal

2.Jika pemegang gadai meninggal, haknya beralih kepada ahli warisnya

3.dapat dibebani dengan hak atas tanah lainnya (sewa, bagi hasil; dapat orang ke 3 atau pemilik).

Pemegang gadai dapat menggadaikan lagi tanpa ijin pemilik (jadi ada 2 hubungan gadai)

4.dengan persetujuan pemilik, dapat dialihkan kepada pihak ke 3 (hubungan yang pertama putus)

5.tidak hapus jika hak atas tanah dialihkan

6.atas persetujuan, uang gadai dapat ditambah

7.sebagai lembaga, suatu saat dapat dihapus

8.termasuk hak atas tanah yang wajib didaftar – menurut PP 10/ 1961 (Di dalam PP 24 tahun 1997

gadai tanah tidak termasuk obyek pendaftaran; sementara dalam Ketentuan Penutupnya pasal

65 menyatakan PP no 10/ 1961 tidak berlaku)


 
Jangka Waktu Hak Gadai Dan Uang Tebusan

Semula jangka waktu gadai tanah pertanian (juga tanah bangunan) yaitu sampai penebusan

Ps 7 ayat 1 UU no. 56/ 1960,

“Barang siapa menguasai tanah-pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai

berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah

itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen,

dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan”

 gadai untuk tanah pertanian paling lama 7 (tuju) tahun.

 Setelah 7 tahun, hubungan gadai berakhir, tanahnya wajib dikembalikan kepada pemilik tanpa

tebusan (1 bulan setelah tanman dipanen)

 Sebelum 7 tahun, pemilik tanah berhak untuk meminta setiap waktu setelah tanaman yang ada

selesai dipanen dengan membayar uang-tebusan, yang besarnya dihitung dengan rumus:

(7 + ½) – Waktu berlangsung gadai X uang gadai = UANG TEBUSAN


7
Luas Tanah Pertanian dengan Hak Gadai

Berlaku ketentuan batas maksimum yang diatur UU no. 56 Prp. Th 1960.


Jika tanah kelebihan batas maksimum itu tanah gadai maka harus dikembalikan
kepada yang empunya. “dalam prakteknya hasil tanah yang diterima oleh pemegang
gadai adalah jauh melebihi bunga yang layak dari pada uang yang dipinjamkan.
Menurut perhitungan, uang gadai rata-rata sudah diterima kembali oleh pemegang
gadai dari hasil tanahnya dalam waktu 5 – 10 tahun, dengan ditambah bunga yang
layak (10%). Penetapan 7 tahun diatas diambil tengah-tengahnya dari 5 -10 th
(Penjelasan Umum no. 9b UULR)

Subyek Hukum Hak Gadai


 Hukum Adat : Hanya WNI asli
 Ps. 9 ayat 2 UUPA: WNI asli + keturunan, “Tiap-tiap WNI baik laki-laki maupun
perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas
tanah untuk mendapat manfaat dan hasil, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.
TERJADI DAN HAPUSNYA HAK GADAI

Terjadinya Hak Gadai


 Konversi ( pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum
berlakunya UUPA untuk masuk dalam sistem UUPA)
 Jual Gadai

Hapusnya Hak Gadai


1. telah diadakan penebusan
2. telah berlangsung 7 tahun (untuk tanah pertanian)
3. Putusan pengadilan (gadai dengan milikbeding= klausul adanya
syarat menjadi milik, yaitu setelah waktu tertentu tidak ditebus,
hak menjadi beralih). Hal ini menunjukkan, dalam gadai tetap
menghormati kebebasan berkontrak, tetapi dalam kebijakan
khusus tanah pertanian (ada sifat kepentingan publik),
pemerintah memberi batasan-batasan untuk melindungi pihak
ekonomi lemah.
4. Dibebaskan/ dicabut untuk kepentingan umum
5. tanah musnah
  
HAK BAGI HASIL TANAH
PERTANIAN
HAK USAHA BAGI HASIL TANAH PERTANIAN
Sumber Hukum:
1.Semula Hukum Adat
2.diubah dengan UU no 2/ 1960, pasal 5 UUPA. Maksud diadakan perubahan:
a. agar pembagian hasil dilakukan dengan adil
b. agar terjamin kedudukan hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pemilik maupun penggarap.
3.Keputusan Menteri Muda Agr. No. Sk. 322/KA/1960 tentang Penunjukan Pejabat dan
Pembentukan Panitia Pertimbangan di Kecamatan-kecamatan.
4.Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria no. 4/ 1964 tentang Penetapan Perimbangan Khusus
dalam Pembagian Hasil Tanah yang Dibagihasilkan
5.Pedoman Menteri Agraria tgl. 7.3.1960 yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agraria
no 4/ 1964
6.Peraturan Menteri Agraria no 8/ 1964 tentang Cara Pemungutan Bagian Hasil Tanah yang
Harus Diserahkan kepada Pemerintah
7.Instruksi Bersama Mendagri dan Menteri Agraria no. DD 18/3/11-SK 49/Depag/64 tentang Usaha
Agar Para Penggarap Tetap Dapat Terus Menggarap Tanah Garapannya
 
Pengertian Hak Bagi Hasil

Hak Bagi Hasil yaitu Hak seseorang atau badan hukum (penggarap)
untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah kepunyaan orang
lain dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah
pihak menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya.
 besar bagian, tergantung besar hasil panen
 resiko produksi, dipikul bersama

Obyek ketentuan UUBH: tanah yang biasa digunakan untuk


penanaman bahan makanan, tanpa melihat macam hak (HM, HS, HP)
 Dalam ketentuan UUBH, tidak mengenai tanaman keras.

 
Tujuan dikeluarkannya UU 2 /1960 tentang Bagi Hasil

1. untuk pembagian yang adil antara penggarap dan pemilik


tanah bagi hasil
2. untuk terjaminnya kedudukan penggarap secara layak
3. untuk penegasan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara
penggarap dan pemilik
4. untuk melarang hal-hal yang sifatnya pemerasan dalam
(terjadinya) usaha bagi hasil.
 
Ciri-Ciri Hak Usaha Bagi Hagi Hasil

a. jangka waktu terbatas


b. tidak dapat dialihkan tanpa ijin pemilik
c. Perjanjian tidak hapus dengan berpindahnya HM atas
tanah ybs.
d. Perjanjian tidak hapus jika penggarap meninggal dunia,
tetapi hapus bila pemilik tanah meninggal dunia
e. Didaftar menurut peraturan khusus (Kantor Kepala Desa)
f. Sebagai Lembaga, Hak Usaha Bagi Hasil akan hapus
pada waktunya
Terjadinya Usaha Bagi Hasil

1. Konversi (pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA
untuk masuk dalam sistem UUPA]
Pasal VII Peraturan Konversi UUPA,
1. “Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap,…menjadi hak milik…”.
2. “Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap..menjadi hak
pakai..”
catatan: penegasan hak (jika ada tanda bukti tertulis ), melalui proses pengakuan
hak (jika tdk ada bukti tertulis)
2. Perjanjian Bagi Hasil:
 Hukum Adat: bentuk perjanjian tidak tertulis
 Ps. 3 UUPBH: bentuk perjanjian tertulis. Perjanjian dilaksanakan didepan
Kepala Desa letak tanah tersebut berada, dengan dihadiri 2 orang saksi (dari
pemilik dan penggarap) dan disyahkan oleh camat.
 Bentuk Perjanjian Bagi Hasil diatur lebih lanjut dalam Pedoman Menteri Agraria
tgl. 7.3.1960, disempurnakan Peraturan Menteri Agraria no. 4 tahun 1964
Perjanjian bagi hasil….

 Larangan “Sromo”, yaitu larangan pemberian uang atau barang


yng harus diberikan kepada pemilik untuk mendapatkan tanah
garapan atau sejenisnya. Jika ketentuan itu dilanggar, maka
dikurangkan pada bagiannya (pasal 8 ayat 1,2 UUPBH).
 Larangan “Ijon” (= pembayaran sebelum panen; bunga sangt tinggi)
oleh siapapun. Pelanggaran aturan ini berakibat: sanksi pidana denda
maksimal Rp.10.000,- dan yang telah dibayarkan tidak dapat dituntut
kembali (pasal 8 ayat 3,4).
 Jika pemilik tanah tidak bersedia mengadakan perjanjin Bagi Hasil
menurut ketentuan UUPBH, sedang tanahnya tidak diusahakan
secara lain (), maka camat atas usul kepala desa berwenang untuk
atas namadibiarkan terlantar pemilik mengadakan perjanjian
Bagi Hasil mengenai tanah ybs. (ps. 14 UUPBH)
SUBYEK HUKUM PERJANJIAN BAGI HASIL

1. Pemilik (Subyek yang Membagi Hasilkan tanah


garapan)
 pemegang Hak Milik, Hak Sewa atau Hak Gadai.
2. Penggarap dalam Perjanjian Bagi Hasil
 Petani perseorangan dengan garapan maksimal 3 Ha.
(dengan ijin Menteri Muda Agraria atau pejabat yang
ditunjuknya untuk garapan diatas 3 Ha)
 Badan Hukum dengan ijin Menteri Muda Agraria atau pejabat
yang ditunjuk olehnya. Contoh: Koperasi Tani untuk Tanah
Terlantar, Perseroan Terbatas untuk membuka tanah yang luas,
dengan dasar untuk kepentingan desa atau kepentingan
umum.
HAK DAN KEWAJIBAN PEMILIK DAN PENGGARAP BAGI HASIL

Kewajiban Subyek Hukum Pemilik Tanah


1. menyerahkan penguasaan tanahnya kepada penggarap untuk digarap;
2. memenuhi kewajiban dalam bagi hasil (menurut adat kebiasaan atau jika
diperjanjikan).
Kewajiban Penggarap:
1) mengusahakan tanah dengan baik (lihat pasal 15 UUPA)
2) menyerahkan bagian yang menjadi hak Pemilik
3) menyerahkan kembali tanah kepada Pemilik, apabila perjanjian bagi hasil
berakhir 
Hak Pemilik Tanah dan Penggarap
 Hak subyek yang membagi hasilkan (pemilik): Menerima bagian
 Hak Penggarap: mengusahakan tanah; menerima bagian
 
Sebelum UUBH : bagi hasil ditetapkan bersama (dua pihak) berdasarkan kebiasaan
setempat.
Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil

Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil menurut Hukum Adat:


 Perjanjian BH menurut HA yaitu 1 tahun, perpanjangannya tergantung pada
persetujuan pemilik tanah.
 Penggarap tidak mempunyai jaminan memperoleh tanah garapan dengan jangka
waktu yang layak. Hal ini menyebabkan:
a). pemeliharaan kesuburan tanah kurang;
b). Penggarap terpaksa bersedia menerima persyaratan yang berat dan tidak
adil. 
Jangka Waktu menurut UU no 2 tahun 1960
Pasal 4 UUPBH : jangka waktu perjanjian bagi-hasil pada dasarnya untuk tanah

sawah yaitu minimal 3 tahun; untuk tanah kering minimal 5 tahun


Pengecualian: pemilik biasanya mengusahakan sendiri, dalam hal-hal khusus
(naik haji, sakit), dengan ijin camat.

 
Jangka waktu perjanjian BH….

 Pemutusan perjanjian bagi hasil sebelum waktunya


dimungkinkan (pasal 6 UUPBH):
1. Atas persetujuan kedua belah pihak dan dilaporkan kepada Kepala Desa
2. Dengan ijin Kepala Desa atas dasar tuntutan pemilik tanah, dalam hal
penggarap:
a. Tanah tidak diusahakan sebagai mana mestinya oleh penggarap
b. Penggarap tidak memenuhi kewajiban (tidak menyerahkan bagian hasil
yang menjadi hak pemilik tanah)
c. tidak memenuhi beban yang menjadi tanggung-jawabnya

d. tanpa ijin pemilik menyerahkn penguasaan tanah


ybs. kepada orang lain.
 
LUAS TANAH HAK USAHA BAGI HASIL DAN LARANGAN
PENGALIHAN HAK USAHA BAGI HASIL

Batas Luas Tanah Hak Usaha Bagi Hasil (ps. 2 UUPBG)


 Luas tanah yang dikuasai penggarap bagi hasil maksimal 3 Ha
(HM sendiri, menyewa, bagi hasil, dll.).
 Pengecualian untuk ketentuan tsb. diatas yaitu harus ada ijin dari
Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya.

Larangan Pengalihan Hak Usaha Bagi Hasil


Penggarap dilarang menyerahkan tanah garapannya kepada pihak
lain tanpa ijin pemilik (ps. 6). Jika dilanggar, maka konsekwensinya
pemilik dapat mengadakan pemutusan perjanjian (alasan pemutus).
 
BUPATI MENETAPKAN TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL
DAN SYARAT SYARATNYA

Pasal 7 UUBH: peraturan tentang perjanjian bagi hasil ditetapkan oleh Bupati (KDH)
untuk daerah masing-masing dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah,
kepadatan penduduk, zakat dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan
adat setempat.
 Dalam jangka waktu 3 tahun ketetapan tsb diubah.
 Pedoman bagi Bupati dalam menetapkan Bagi Hasil:
 tanaman padi dengan perbandingan hasil tanah antara penggarap dan pembeli 1 : 1
 tanaman palawija: 2/3 : 1/3 (Penggarap: Pemilik)
 daerah yang imbangannya menguntungkan penggarap tetap berlaku

keterangan: Hasil Tanah yaitu hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap
berdasarkan perjanjian, setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak dan biaya untuk
menanam dan panen (ps. 1 huruf d UUBH)
 
KAWASAN DAN TANAH TERLANTAR
PP 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, Mencabut PP no 11
tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
KAWASAN dan TANAH TERLANTAR

1.UU no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja; PP Nomor 20 Tahun 2021 tentang

Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar., yang mencabut PP no 11 tahun

2010, yang menggantikan PP no 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pasal 39 ayat 1 PP 20/2021, “semua peraturan

pelaksanaan yang mengatur mengenai penertiban dan pendayagunaan Tanah

Telantar yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau

belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini”.


Pertimbangan dikeluarknnya PP 20/2021 :
 untuk melaksanakan ketentuan Pasal 180 UU 11/2O2O dan untuk melaksanakan
 ketentuan Pasal 27 UUPA(Hapusnya HM atas Tanah), Pasal 34 UUPA (Hapusnya

HGU), dan Pasal 40 UUPA (Hapusnya HGB), yang terkait dengan hapusnya hak

atas tanah karena ditelantarkan.


 Juga mengacu pada asas tanah dikerjakan secara aktif.

2.PP 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar


Pengertian Tanah Terlantar

 Pasal 1 no 2 PP 20/2021:

Tanah Telantar adalah tanah hak, tanah Hak Pengelolaan (HPL), dan tanah

yang diperoleh berdasarkan Dasar Penguasaan Atas Tanah, yang sengaja tidak

diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan,dan/atau tidak dipelihara.

 Bandingkan dg definisi sebelumnya berdasarkan Pasal 1 angka 6 Perkaban

no.4/ 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar:

Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa

Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak

Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan,

tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau

sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.


 
Pengertian “sengaja” untuk Kawasan

(Pasal 3 ayat 1: “Kawasan nonkawasan hutan yang belum dilekati Hak Atas Tanah yang
telah memiliki lzinlKonsesi/Perizinan Berusaha yang sengaja tidak diusahakan,tidak
dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan,menjadi objek penertiban Kawasan Telantar”.
Penjelasan Pasal 3 UU 20/2021 –
 "sengaja" adalah apabila Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha secara de
facto tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, dan/atau tidak memanfaatkan
lzin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai sesuai dengan
kewajiban yang ditetapkan dalam lzin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau rencana
pengusahaan atau pemanfaatan kawasan.
 Tidak termasuk unsur "sengaja" apabila:
a. Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan menjadi objek perkara di pengadilan;

b. Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan tidak dapat diusahakan, dipergunakan,


dan/atau dimanfaatkan karena adanya perubahan rencana tata ruang;

c. kawasan dinyatakan sebagai kawasan yang diperuntukkan untuk konservasi sesuai dengan
ketentuan peraturanperundang-undangan ; atau

d. Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan tidak dapat diusahakan, dipergunakan,


atau dimanfaatkan karena adanya keadaan kahar (force majeure) antara lain peperangan,
kerusuhan, bencana alam, dan bencana lainnya, yang harus dinyatakan oleh
pejabat/instansi yangberwenang.
Pengertian “Sengaja”, “tidak sengaja”, atau “Tidak dipelihara”
Kawasan atau Bidang Tanah
Pasal 5(1) PP 20/2021, “Tanah yang telah terdaftar atau belum terdaftar yang sengaja tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara, menjadiobjek
penertiban Tanah Telantar”.
Penjeasan Pasal 5 PP 20/2021
"sengaja" adalah apabila Pemegang Hak,Pemegang HPL, atau Pemegang Dasar
PenguasaanAtas Tanah secara de facto tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, tidak
memanfaatkan, dan/atau tidak memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai, sesuai dengan
keputusan pemberian haknya dan/ atau rencana pengusahaan, penggunaan, atau
pemanfaatan tanahnya.
Tidak termasuk unsur "sengaja" apabila:
a. tanah menjadi objek perkara di pengadilan;
b. tanah tidak dapat diusahakan, dipergunakan,dimanfaatkan, dan/atau dipelihara karena –
adanya perubahan rencana tata ruang;
c. tanah dinyatakan sebagai tanah yang diperuntukkan untuk konservasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
d. tanah tidak dapat diusahakan, dipergunakan,dimanfaatkan, dan/atau dipelihara karena
adanya keadaan kahar (force majeure) antara lain peperangan, kerusuhan,bencana alam,
dan bencana lainnya, yang harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang.
Pengertian …“Tidak dipelihara” …Bidang Tanah

"tidak dipelihara" adalah tidak dilaksanakannya fungsi sosial sebagaimana


diatur dalam UUPA.

Contoh perbuatan tidak memelihara tanah antara lain:

a) tidak ada kepedulian dari Pemegang Hak, Pemegang HPL, atau


Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah secara de facto untuk
mengelola atau memelihara tanah sehingga tanahnya terbengkalai;

b) tidak ada kepedulian atau peringatan dari Pemegang Hak,Pemegang


HPL, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah secara de facto
sehingga tanahnya dikuasai oleh pihak lain; atau

c) tidak ada kepedulian dari Pemegang Hak, Pernegang HPL, atau


Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah secara de facto untuk
mengelola atau memelihara tanah sehingga mengakibatkan kerusakan
lingkungan dan/ataubencana (longsor, banjir, dan sebagainya).
Objek penertiban Kawasan Telantar

Pasal 6 PP 20/2021
Objek penertiban Kawasan Telantar meliputi:
a. kawasan pertambangan;
b. kawasan perkebunan;
c. kawasan industri;
d. kawasan pariwisata;
e. kawasan perumahan/ permukiman skala besar/terpadu;
f. kawasan lain yang pengusahaan, penggunaan,dan/atau
pemanfaatannya didasarkan pada Izin/Konsesi / Perizinan
Berusaha yang terkait denganpemanfaatan tanah dan
ruang
Obyek Tanah Terlantar

 Obyek tanah terlantar meliputi:


  Pasal 2 PP No.11/2010

1. Hak Milik,
2. Hak Guna Usaha,
3. Hak Guna Bangunan,
4. Hak Pakai,
5. Hak Pengelolaan (Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya)
6. dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan,
atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya.

 Ket: Dasar penguasaan atas tanah adalah izin/keputusan/surat dr pejabat


yang berwenang yang menjadi dasar penguasaan atas tanah
Objek penertiban Tanah Telantar
Pasal 7 PP 20/2021
Objek penertiban Tanah Telantar meliputi:
1. tanah hak milik, HGB, HGU, HP, HPL, dan tanah yang diperoleh berdasarkan Dasar
Penguasaan Atas Tanah ( keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar bagi
orang atau badan hukum untuk memperoleh, menguasai, mempergunakan, atau memanfaatkan tanah )

2. Tanah hak milik menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak
dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara sehingga:
a) dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan;
b) dikuasai oleh pihak lain secara terus-menerus selama 20 (dua puluh) tahun tanpa
adanya hubungan hukum dengan Pemegang Hak; atau
c) fungsi sosial Hak Atas Tanah tidak terpenuhi,baik Pemegang Hak masih ada rnaupun
sudah tidak ada.
3. Tanah HGB,HP, HPL menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung
mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak.
4. Tanah HGU menjadi objek penertibanTanah Telantar jika dengan sengaja tidak
diusahakan,tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan terhitung mulai 2 (dua) tahun
sejak diterbitkannya hak.
5. Tanah yang diperoleh berdasarkan Dasar Penguasaan Atas Tanah menjadi objek penertiban
Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak
dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya
Dasar Penguasaan Atas Tanah.
Pasal 8 PP 20/2021: Tanah HPLyang dikecualikan dari objek penertiban Tanah Telantar meliputi: a. tanah Hak
Pengelolaan masyarakat hukum adat; dan b. tanah Hak Pengelolaan yang menjadi Aset BankTanah.
PENERTIBAN KAWASAN DAN TANAH TERLANTAR

 Pasal 14- 33 pp 20/2021


 Inventarisasi Kawasan dan Tanah terindikasi terlantar 
 Berdasarkan data terindikasi kawasan dan tanah terlantar, kemudian diadakan
Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar dilakukan melalui tahapan:
a. evaluasi Kawasan atau Tanah Telantar;

b. peringatan Kawasan atau Tanah Telantar;

c. penetapan Kawasan atau Tanah Telantar.


Pendayagunaan Kawasan dan Tanah Terlantar dan Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN adalah tanah
yang sudah ditetapkansebagai Tanah Telantar dan ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara)

Pasal 35 ayat 1 PP 20/2021:Pendayagunaan TCUN ditujukan untuk pertanian dan


non-pertanian dalam rangka kepentingan masyarakatdan negara melalui:
d. reforma agraria;

e. proyek strategis nasional;

f. Bank Tanah;

g. cadangan negara lainnya.


 Pengecualian Obyek Tanah Terlantar (Pasal 3 PP No.11/2010):

1. Tanah atas nama perseorangan untuk Hak Milik atau Hak


Guna Bangunan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan
sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya

2. Tanah yang dikuasai pemerintah, baik secara langsung maupun


tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus
Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
pemberian haknya.
Penjelasan Pasal 3 PP 11/2010……

Yang dimaksud dengan “tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau

sifat dan tujuan pemberian haknya”

 Untuk Hak perseorangan: karena orang dimaksud tidak memiliki kemampuan

dari segi ekonomi untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan

sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya

 Untuk Hak Pemerintah: karena keterbatasan anggaran negara/daerah untuk

mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya

atau sifat dan tujuan pemberian haknya.


TANAH TERLANTAR PP 11/2010
 Kepala BPN menyiapkan data tanah yang teridentifikasi terlantar, yang
dijadikan dasar pelaksanaan identifikasi dan penelitian oleh Panitia, yang
keanggotaannya dari unsur-unsur BPN dan instansi-instansi terkait diatur
oleh kepala (Pasal 4 dan 5 UUTL)

 Identifikasi dan penelitian dilaksanakan:

1. Terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan HM,HGU,HGB,HP

2. Sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari


pejabat yang berwenang
Tanah Terlantar PP 11/2010
 Sebelum dinyatakan tanah terlantar, sebelumnya diadakan identifikasi dan
penelitian, kemudian peringatan tertulis 3 (tiga) kali yang masing-masing
dalam waktu 1 bulan sejak diterbitkan surat peringatan, ybs. menggunakan
tanahnya sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian
haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya (pasal
8 UUTT)
 Dinyatakan sebagai Tanah Terlantar jika tanah tersebut dengan sengaja tidak
dipergunakn oleh pemegang hak-nya sesuai dengan keadaannya atau sifat
dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan bik.
 Penetapan Tanah Terlantar dikeluarkan oleh atau atas nama Menteri.
 Penetapan tanah terlantar, penetapan hapusnya HAT, sekaligus memutuskan
hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara.
KEGIATAN IDENTIFIKASI DAN PENELITIAN

Pasal 7 PP No.11/2010, kegiatan identifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi terlantar
meliputi:
1. verifikasi data fisik dan data yuridis;
2. mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan
pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah
pada saat pengajuan hak;
3. meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, dan pemegang hak dan
pihak lain yang terkait tersebut harus memberi keterangan atau menyampaikan data yang
diperlukan;
4. melaksanakan pemeriksaan fisik;
5. melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan;
6. membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;
7. menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;
8. melaksanakan sidang Panitia; dan
9. membuat Berita Acara.
…..
Tanah Terlantar PP 11/2010

 Pengecualian ketentuan tanah terlantar bagi golongan ekonomi lemah: Bagi golongan
ekonomi lemah, karena tidak mempunyai kemampuan ekonomi untuk menggunakan
tanahnya, tidak akan dinyatakan sebagai tanah terlantar, melainkan akan dibantu
mendayagunakan tanah itu. (Penjelasan Umum PP no. 36/ 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar).

 Tanah Terlantar dapat berasal dari Tanah Kosong (Permeneg. Agr./Kep. BPN no. 3/ 1998
tentang Pemanfaatan Tanah Kosong untuk Tanaman Pangan).
Tanah Kosong (yaitu:
a). Tanah HM, HGU, HGB, Hak Pakai
b). Tanah Hak Pengelolaan;
c). Tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya, tetapi belum diperoleh Hak Atas
Tanah-nya sesuai peraturan-perundangan; - atau sebagiannya, yang belum dipergunakan
sesuai dengan sifat dan tujun pemberian haknya atau Rencana Tata Ruang wilayah yang
berlaku.
  cttn: tanah kosong adalah tanah yang belum dimanfaatkan
Regulasi di sektor pertanian yang terintegrasi
dengan UU Cipta Kerja

(1) UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan;


(2) UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
(3) UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian
Berkelanjutan;
(4) UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani;
(5) UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura; dan
(6) UU No. 18 Tahun 2009 jo. UU No. 41 Tahun 2014 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan
UU no 41 tahun 2009
PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN
UU no. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Latar Belakang dikeluarkannya UU LP2B, tercantum di Diktum menimbang dan mengingat:


a. lahan pertanian pangan merupakan bagian dari bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara
berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan,
dan kesatuan ekonomi nasional
c. bahwa negara menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi setiap warga negara sehingga
negara berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan;
d. bahwa makin meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan
industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian
pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga
kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan;
e. sesuai dengan pembaruan agraria yang berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria perlu perlindungan lahan
pertanian pangan secara berkelanjutan;
f. UUPA dan UU no 26/2007 tentang Penataan Ruang.
PENGERTIAN

 Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung
kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan
yang cukup ditingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga
yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan
keragaman lokal.
 Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan
terjangkau.
 Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri dapat menentukan
kebijakan pangannya, yang menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, serta memberikan hak
bagi masyarakatnya untuk menentukan sistem pertanian pangan yang sesuai dengan potensi
sumber daya lokal.
 Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan
untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi
kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam
merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina,
mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara
berkelanjutan.
ASAS-ASAS
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

a. Asas “manfaat” adalah PLP2B yang diselenggarakan untuk memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi kini maupun
generasi masa depan.
b. Asas “keberlanjutan dan konsisten” adalah PLP2B yang fungsi, pemanfaatan, dan
produktivitas lahannya dipertahankan secara konsisten dan lestari untuk menjamin terwujudnya
kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional dengan memperhatikan generasi
masa kini dan masa mendatang.
c. Asas “keterpaduan” adalah PLP2B yang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai
kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
d. Asas “keterbukaan dan akuntabilitas” adalah PLP2B yang diselenggarakan dengan
memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi
yang berkaitan dengan PLP2B.
e. Asas “kebersamaan dan gotong-royong” adalah PLP2B yang diselenggarakan secara
bersama-sama baik antara Pemerintah, pemerintah daerah, pemilik lahan, petani, kelompok
tani, dan dunia usaha untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
f. Asas “partisipatif” adalah PLP2B yang melibatkan masyarakat dalam perencanaan,
pembiayaan, dan pengawasan.
g. …
Asas-Asas…

g. Asas “keadilan” adalah PLP2B yang harus mencerminkan keadilan secara


proporsional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.
h. Asas “keserasian, keselarasan, dan keseimbangan” adalah PLP2B yang harus
mencerminkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kepentingan
individu dan masyarakat, lingkungan, dan kepentingan bangsa dan negara serta
kemampuan maksimum daerah.
i. Asas “kelestarian lingkungan dan kearifan lokal” adalah PLP2B yang harus
memperhatikan kelestarian lingkungan dan ekosistemnya serta karakteristik
budaya dan daerahnya dalam rangka mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan.
j. Asas “desentralisasi” adalah PLP2B yang diselenggarakan di daerah dengan
memperhatikan kemampuan maksimum daerah.
k. Asas “tanggung jawab negara” adalah PLP2B yang dimiliki negara karena
peran yang kuat dan tanggung jawabnya terhadap keseluruhan aspek pengelolaan
LP2B.
l. Asas “keragaman” adalah PLP2B yang memperhatikan keanekaragaman
pangan pokok, misalnya padi, jagung, sagu, dan ubi kayu.
m. Asas “sosial dan budaya” adalah PLP2B yang memperhatikan fungsi sosial
lahan dan pemanfaatan lahan sesuai budaya yang bersifat spesifik lokasi dan
kearifan local, misalnya jagung sebagai makanan pokok penduduk Pulau Madura
dan sagu sebagai makanan pokok penduduk Kepulauan Maluku.
TUJUAN PENYELENGGARAAN PLP2B

a. melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara


berkelanjutan;
b. menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara
berkelanjutan;
c. mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan;
d. melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani;
e. meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan
masyarakat;
f. meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani;
g. meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang
layak;
h. mempertahankan keseimbangan ekologis; dan
i. mewujudkan revitalisasi pertanian.
 Pasal 124 UU Cipta Kerja mengubah pasal 44 UU No. 41 Tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai