PENDAHULUAN
bumi, air dan kekayaan alam di Indonesia. Hak Menguasai Negara (HMN)
pemberian tempat bagi asas “hak menguasai dari negara.” Asas ini diangkat
dan dikembangkan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang dalam UUPA ditempatkan dalam Pasal 2 yang
1
Moh. Mahfud MD, 2011 Politik Hukum di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 182.
2
C. Van Vollenhoven,2013. Orang Indonesia dan Tanahnya,( Terjemahan Soewargono), Sajogyo
Institute, Bogor, hlm.65. Domein verklaring merupakan prinsip pemilikan tanah yang berkembang pada
masa kolonial Belanda di kepulauan Indonesia. Prinsip Domein Verklaring lahir dari konsep tanah taklukan
(agri limitati) sebagai imbalan dari kemenangan peperangan atau penaklukan. Prinsip Domein Verklaring
yang termuat dalam Agrarische Wet 187063 berbunyi: Landsdomein is alle grond waarop niet door anderen
recht van eigendom wordt bewezen. Ketentuan itu pada intinya bermakna bahwa semua tanah yang di atasnya
tidak dapat dibuktikan adanya hak eigendom oleh seseorang, adalah domein (milik) dari negara.
1. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam pasal ini, bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2. Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa.
3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada
ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil,
dan makmur.
4. Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,
menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.”
3
Endriatmo Soetarto dan Eko Cahyono, 2014 Reforma Agraria Kehutanan: Pemulihan Hak dan
Persemaian Peradaban Masyarakat di Kawasan Hutan, dalam Lukas Wibowo dan Ismanul hakim,(Editor.),
Hutan Untuk Rakyat: Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan, LKiS, Yogyakarta, hlm. 3,
kedaulatan bangsa secara merata itulah yang menjadi substansi dari makna
pemanfaatan tanah.6 .
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Amanat tersebut lahir karena
4
Reforma Agraria dalam tulisan ini akan digunakan secara bergantian dengan makna kurang lebih
sama dengan istilah „land reform‟ dan „Pembaharuan Agraria‟.
5
Gunawan Wiradi,2009. Reformasi Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir edisi revisi, INSIST
Press-KPA-Pustaka Pelajar, Yogyakart, , hlm. 42.
6
Ida Nurlinda, 2009. Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 81.
Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, reformasi agraria menjadi
salah satu agenda prioritas pembangunan yang dituangkan dalam Nawa Cita
reformasi agraria seluas 9 juta ha, yang terdiri atas kebijakan legalisasi aset
(tanah) seluas 4,5 juta ha dan redistribusi tanah seluas 4,5 juta ha. 4.1 juta ha
penting karena dalam pemanfaatan hutan dan tanah selama ini, telah
rakyat miskin yang berbasis tanah dan pertanian sudah tidak mempunyai
dan penataan akses. Penataan aset yang dimaksud terdiri atas redistibusi tanah
dan legalisasi aset. Dalam konteks penataan aset tanah objek reforma agraria
7
Hariadi Kartodihardjo,2018 Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan: Esai-esai Reflektif dalam Kuasa
Pengetahuan, Politik PSDA, dan Problematika Kebijakan, Forest Watch Indonesia, Bogor, hlm. 54.
sebagaimana diamanatkan dalam RPJMN 2015-2019 disebutkan bidang-bidang
tanah yang akan menjadi objek redistribusi tanah reforma agraria meliputi :
1. tanah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakuknya serta tidak
dimohon perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan haknya dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun setelah haknya berakhir;
2. tanah yang diperoleh dari kewajiban pemegang HGU untuk menyerahkan
paling sedikit 20 persen dari luas bidang HGU yang berubah menjadi
HGB karena perubahan peruntukan rencana tata ruang;
3. tanah yang diperoleh dari kewajiban menyediakan paling sedikit 20
persen dari luas tanah Negara yang diberikan kepada pemegang HGU
dalam proses pemberian, perpanjangan atau pembaruan haknya;
4. tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan Negara atau hasil
perubahan batas kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan meliputi tanah dalam kawasan hutan
yang telah dilepaskan menjadi TORA dan tanah dalam kawasan hutan
yang telah dikuasai masyarakat yang penguasaannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
5. tanah Negara bekas tanah terlantar;
6. tanah hasil penyelesaian sengketa dan konflik agraria;
7. tanah bekas tambang yang berada diluar kawasan hutan;
8. tanah timbul;
9. tanah yang memenuhi persyaratan penguatan hak rakyat atas tanah,
meliputi; tanah yang dihibahkan oleh perusahaan dalam bentuk
tanggungjawab sosial dan/atau lingkungan, tanah hasil konsolidasi yang
subjeknya memenuhi criteria reforma agraria, sisa tanah sumbangan
tanah untuk pembangunan dan tanah penganti biaya pelaksanaan
konsolidasi tanah yang telah disepakati untuk diberikan kepada
pemerintah sebagai TORA, dan tanah Negara yang sudah dikuasai oleh
masyarakat;
10. tanah bekas hak erfacht, tanah bekas partiklir dan tanah bekas eigendom
yang luasnya lebih dari 10 (sepuluh) bauw yang masih tersedia dan
memenuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan sebagai objek
redistribusi;
11. tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah swapraja/bekas
swapraja yang masing tersedia dan memenuhi ketentuan peraturan
perundangan-undangan sebagai objek redistribusi;
melihat salah satu objek redistribusi tanah yaitu yang berasal dari pelepasan
LHK tentang Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber
Sumber TORA yang berasal dari kawasan hutan ini rentan menimbulkan
masalah. Menurut Perpres tentang reformasi agraria, TORA yang berasal dari
kawasan hutan dapat berupa tanah dalam kawasan hutan yang telah dikuasai
kawasan hutan yang belum atau tidak dikuasai oleh masyarakat yang berada
dalam sumber TORA dari kawasan hutan. Untuk kepentingan reforma agraria
hutan.
penguasaan tanah dikawasan hutan Pasal 4 ayat (2) Pelepasan kawasan hutan
yang dimaksud dilakukan baik terhadap tanah dalam kawasan hutan yang
belum atau tidak dikuasai oleh masyarakat, maupun terhadap tanah dalam
kawasan hutan yang telah dikuasai masyarakat. Jika tanah tersebut telah
dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak atas tanahnya oleh
instansi pertanahan (BPN) sesuai dengan jenis hak atas tanah sebagaimana
Hutan dan Perubahan Batas Kawasan Hutan untuk TORA, kawasan hutan yang
produksi yang dapat dikonversi (HPK) berhutan tidak produktif dan Perubahan
kawasan hutan produksi atau kawasan hutan lindung yang telah dikuasai,
garapan. HPK merupakan kawasan hutan produksi yang secara ruang dapat
tidak produktif lagi, yaitu HPK yang penutupan lahannya didominasi lahan
tidak berhutan, antara lain semak belukar, lahan kosong dan kebun campur.
lahan garapan, fasilitas umum, fasilitas sosial sebelum bidang tanah ditunjuk
maupun yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan, baik itu kawasan hutan
lindung maupun kawasan hutan produksi serta lahan garapan yang telah
dikuasai lebih dari 20 tahun secara berturut-turut pada wilayah yang ditunjuk
sebagai kawasan hutan yang berada pada peta indikatif penyediaan TORA
dikawasan hutan.
Namun Pola penyelesaian penguasaan tanah seperti di atas sangat rawan
menimbulkan konflik, karena dapat dirasa tidak adil oleh orang yang telah
menggunakan tanah tersebut tapi belum mencapai 20 tahun, atau sudah lebih
dari 20 tahun tapi tidak berturut-turut, jika belum sampai 20 tahun, maka
program Perhutanan Sosial ketentuan ini termuat dalam Pasal 11 ayat (1) huruf
penggarap lama tidak menjadi pemilik tanah karena belum memenuhi kriteria
hukum/ badan sosial keagamaan, instansi dan masyarakat hukum adat. Untuk
petani penggarap, buruh tani, nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan buruh,
guru honorer, pekerja harian lepas, buruh yang bekerja menerima upah, pekerja
sektor informal, pegawai tidak tetap yang diangkat dalam waktu tertentu,
pegawai swasta dengan pendapatan dibawah penghasilan tidak kena pajak dan
pegawai negri sipil paling tinggi golongan III/a, anggota TNI/Polri, dan
kepada subjek penerima yang tidak memiliki tanah. Penetapan kriteria subjek
sekaligus menghadirkan cara pelayanan berat sebelah. Dan dalam waktu yang
sama, akibat pelaksanaanya yang tidak adil dalam waktu yang lama, bisa
akses, penataan akses ini diperlukan agar redistribusi tanah TORA tidak
8
Hariadi Kartodiharjo, Op.cit. hlm.53
asistensi teknis lain, agar membuat tanah yang diredistribusikan menjadi
untuk penyediaan sumber TORA hasil revisi pada tahun 2018 yang dikeluarkan
target 12500 bidang tanah dalam kawasan hutan untuk diredistribusikan yang
pemilikan, dan pemanfaatan tanah secara komunal dalam bentuk hak ulayat
program reforma agraria dalam kawasan hutan, apalagi sejak negara membuat
khususnya antara hutan dan tanah, hal ini jelas menimbulkan masalah di dalam
9
Noer Fauzi Rachman,2012 Land reform dari masa ke masa, Penerbit STPN Pres, Jakarta hlm.104
10
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Sayogo Hutomo S.Hut., M.T., Selaku Kepala Sesi Perencanaan
Hutan Dinas Kehutanan Prov. Sumbar, Tanggal 24 Februari 2020 Pukul 10.00 WIB
11
Hasil wawancara dengan Bapak Lukman Konsultan Gugus Tugas Reforma Agraria Prov. Sumbar,
tanggal 10 Maret 2020 pukul 14.30 WIB.
masyarakat hukum adat dan status hutan adat menjadi tidak jelas dan tidak
pasti . Hal inilah yang terjadi di lapangan, Sumatra Barat tidak terkecuali.12
tumpah tindih klaim atas kawasan hutan antara instansi kehutanan dan
masyarakat hukum adat yang menguasai hak ulayatnya. Persoalan inilah yang
12
Kurnia Warman (1), et.al, 2012. Studi Kebijakan Penguatan Tenurial Masyarakat dalam Penguasaan
Hutan, Penerbit World Agroforesty Centre. Jakarta. hlm.47-49
B. Rumusan Masalah
Ruang lingkup permasalahan ini perlu diberi batasan, agar penelitian ini tidak
2. Bagaimana proses pendaftaran hak atas tanah TORA yang berasal dari
C. Tujuan Penelitian
penelitian, yaitu:
Sijunjung.
D. Manfaat Penelitian
sebagai berikut:
1. Secara Teoritis.
2. Secara Praktis.
E. Keaslian Penelitian
penelusuran tersebut penulis belum menemukan suatu karya ilmiah yang sesuai
dengan judul penelitian ini, tetapi ada beberapa penelitian yang relatif sama
dengan yang ingin diteliti oleh penulis, Penelitian Tesis lainnya yang dapat
Tanah Milik Adat di Sumatera Barat, karena beberapa penelitian ini terkait
dengan salah satu rumusan masalah pada penelitian ini, adapaun diantaranya
yaitu :
Universitas Andalas Padang tahun 2016 dengan Judul ”Konversi Hak atas
Tanah Ulayat Kaum Menjadi Hak Milik Berdasarkan Alas Hak Surat
perumusan masalah :
milik?
bidang tanah ulayat kaum guna pendaftaran tanah menjadi hak milik
c. Bagaimana Proses Konversi Hak atas tanah ulayat kaum menjadi hak
Hak Atas Tanah Ulayat Kaum Menjadi Hak milik melalui Program
masalah :
a. Bagaimana proses konversi hak hak atas tanah ulayat kaum menjadi
Kota Solok?
b. Bagaimana Penentuan Subjek pemegang hak dalam pembuatan
c. Apa akibat hukum konversi tanah ulayat menjadi hak milik terhadap
lengkap?
tanah objek reforma agraria yang objek tanahnya bersasal dari kawasan hutan
peneliti, maka penelitian yang dilakukan ini dapat melengkapi hasil penelitian
digunakan.
F. Kerangka Teoretis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
a. Teori Keadilan
13
Ronny H. Soemitro,1982. Metode Penelitian Hukum, Penerbit Ghalia, Jakarta, hlm. 37.
14
Abdul Ghofur Anshori,2006 Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 47.
peraturan harus menempatkan dengan jelas posisi setiap
untuk seseorang.15
(personal).
15
Ibid.
16
John Rawls,2006. Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial dalam Negara, (Terjemahan: Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 72-
73.
posisi yang tidak setara dengan orang lainnya. Tujuan yang
orang ;dan
17
Tody Sasmitha, et al., Op.Cit. hlm. 453.
peraturan ini diatur hal yang bersifat diskriminatif yang
18
Ibid.
19
Ibid. hlm. 454.
20
Jan Michiel Otto,2003. Kepastian Hukum di Negara Berkembang, Terjemahan Tristam Moeliono,
Komisi Hukum Nasional, Jakarta, hlm.5.
3) Warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka
Ubi jus incertum, ibi jus nullum yang artinya dimana tiada
21 Ibid
.
disamping juga mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif
(ad hoc) ;
sehari-hari.
22
Satjipto Rahardjo, 2006. Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, hlm.136
23 Ibid
.
hukum dalam hukum agraria harus mampu menjelaskan
24
Kurnia Warman (2), 2009. Pengaturan Sumberdaya Agraria Pada Era Desentralisasi Pemerintahan
Di Sumatera barat, Disertasi Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
hlm. 145
25
Ibid.
Indonesia” dan ”hadir di Indonesia” sebagai syarat bagi orang
mengandung multimakna.
hirarki. Hal ini juga menentukan sah atau tidak, dan mengikat
c. Teori Kewenangan
konformitas hukum.
b) AUPB;
usaha negara.
berikut:
1) Kewenangan atribut
2) Kewenangan Delegatif
delegataris.
Pelimpahan kewenangan dengan delegasi harus didasarkan
3) Kewenangan Mandat
2. Kerangka Konseptual
Dalam penelitian ini untuk menemukan atau mendapatkan
pengertian atau penafsiran dalam tesis ini, maka berikut ini adalah
a. Tanah
b. Redistribusi Tanah
tanah.26
d. Reforma Agraria
e. Hutan
f. Kawasan hutan
mengadakan analisis.27
ada dengan jalan memahami atau mempelajari hukum positif dari suatu
b. Sifat Penelitian
tentang suatu hal didaerah tertentu dan pada saat tertentu.28 Biasanya
diteliti.
27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,2004. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 1.
28
Bambang Waluyo, 2008. Penelitian hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.8.
data kualitatif dan deskriptif, yang memungkinkan Peneliti berusaha untuk
setempat,
29 Mohammad
Shohibudin (ed), 2009. Metodologi Studi Agraria Karya Terpilih Gunawan Wiradi,
Sajogyo Institute, hlm. 77
30
Ibid. hlm.78
31
Ibid
b. Studi Dokumen
semua data sekunder, yakni semua data yang diperoleh dari bahan hukum
c. Wawancara
a. Sumber Data
bahan-bahan pustaka.
b. Jenis data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu:
1) Data Primer
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang sudah terolah dan diperoleh
untuk mendapatkan:
peraturan seperti:
kehutanan.
Penataan Ruang.
tahun 2015-2019
Reforma Agraria.
33
Bambang Sunggono,2010. Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hlm 116.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang
Hutan.
Dikonversi.
Sumber TORA.
Tanah.
yaitu berupa:
1. Hasil-hasil penelitian;
3. Arsip-arsip
1. kamus hukum
a. Pengolahan data
b. Analisis Data
secara kualitatif,34 yaitu data sekunder yang berupa teori, definisi dan
34
Soerjono Soekanto, Op.cit.,hlm. 250.