Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH HUKUM AGRARIA

JUDUL

PERSOALAN PENELANTARAAN TANAH DI PEDESAAN

Disusun oleh :
Kelompok 5:

Erika Fadilah 110110170139


Febriella Martinez 110110180326
Zahra Nadhira Salsabil Kusumajuda 110110180333
Febi Cindy M. 110110180339
Anzalna Noor Zalika 110110180340
Chietra Zivora Hasibuan 110110180347
Gabriela Eleana R.S. 110110180367
Yovinda Hermita 110110180391

UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan dalam
mencapai kemakmuran rakyat yang adil, maka untuk itu tanah diusahakan atau
digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata.
Tanah merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan dan
penghidupan manusia. Negara menjamin kemakmuran rakyat dengan meletakkan
prinsip dasar di bidang pertanahan dalam Undang Undang Dasar 1945 dalam pasal 33
ayat 3 yang berbunyi: Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat,
serta dalam Undang Undang Pokok Agraria pasal 2 ayat 2 yang dimaksud dengan hak
menguasai dari negara berupa :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,penggunaan
persediaan dan pemeliharaan bumi,air dan ruang angkasa,
2. Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara
orang orang dengan bumi,air dan ruang angkasa,
3. Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara
orang orang dengan perbuatan hukum yang mengenai bumi,air
dan ruang angkasa.

Secara ideologis, reforma agraria ini disiapkan dan dijalankan sebagai


pelaksanaan dari amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa
perekonomian negara disusun dan ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dengan mengembangkan bentuk-bentuk ekonomi kerakyatan. Secara khusus,
strategi nasional ini juga menjalankan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menjadi
landasan konstitusional bagi pelaksanaan penataan penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah, hutan dan kekayaan alam. Di bawah rezim Orde
Baru, kewenangan pemerintah pusat mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan,
serta pemanfaatan tanah dan kekayaan alam dilakukan secara sektoral, otoritarian, dan
sentralistik. Setelah berlakunya Otonomi Daerah di tahun 2000, kewenangan
pemerintah daerah menguat dalam pengaturan tanah dan kekayaan alam khususnya
dalam pemberian lisensi-lisensi pemanfaatan lahan/hutan/tambang.
Penafsiran mengenai konsep penguasaan negara terhadap Pasal 33 UUD 1945
telah ditetapkan secara otoritatif oleh Mahkamah Konstitusi dengan memberikan
wewenang kepada pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum yang ditujukan
untuk memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsepsi penguasaan negara itu
diwujudkan dalam lima bentuk kewenangan, yaitu pembuatan kebijakan (beleid),
melakukan tindakan-tindakan pengurusan (bestuursdaad), menyelenggarakan
pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan
untuk mencapai kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat di dalam negara hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur. Sementara itu pada kenyataannya, pemberian izin- izin
pemanfaatan kekayaan alam kepada badan-badan usaha tersebut mengakibatkan tiga
masalah utama, yakni ketimpangan penguasaan lahan, konflik-konflik agraria dan
pengelolaan sumber daya alam, serta kerusakan lingkungan. Strategi Nasional Reforma
Agraria (Stranas PRA) ini merujuk pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor IX Tahun 2001 (TAP MPR RI Nomor IX/ MPRRI/2001)
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagai konsensus
nasional di awal era reformasi untuk mengatasi tiga masalah utama tersebut. Ketiganya
diatasi secara terpisah dengan merujuk pada kebijakan-kebijakan pembaruan agraria
dan kebijakan- kebijakan pengelolaan sumber daya alam. TAP MPR ini menunjukkan
pengertian, prinsip, dan arah kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya
alam yang dimandatkan untuk dijalankan oleh Presiden RI dan DPR RI. Secara khusus,
TAP MPR ini menekankan pentingnya penyelesaian pertentangan dan tumpang-tindih
pengaturan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.Untuk melaksanakan prinsip
dasar tersebut yang tertuang dalam Undang Undang Pokok Agraria mengatur ketentuan
dasar mengenai hak kepemilikan tanah dan pemanfaatan tanah untuk memajukan
kesejahteraan rakyat. Ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001 tetang pembaharuan
agrarian dan Pengelolaan Sumber daya alam telah mengamanatkan perlunya
pembaharuan agrarian/reforma agrarian yang bertujuan untuk menata kembali
penguasaan pemilikan,penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agrarian untuk
tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA) merupakan rujukan pokok bagi kebijakan dan pelaksanaan reforma
agraria. UUPA 1960 telah meletakkan dasar-dasar pengaturan penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah, terutama dengan maksud mengutamakan
golongan ekonomi lemah yang hidupnya tergantung pada tanah, terutama para petani
penggarap. Sementara itu, yang secara nyata terjadi adalah sektoralisme perundang-
undangan, misalnya dengan pengaturan mengenai kawasan hutan negara, dan
pengelolaan sumber daya hutan yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan.
Reforma Agraria diperlukan ketika masih terjadi ketimpangan dan
ketidakadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah. dalam mewujudkan pasal 33
ayat 3 UUD 1945, bahwa tanah harus dimanfaatkan secara wajar oleh seluruh
masyarakat. Pelaksanaan Reforma Agraria tidak boleh menimbulkan konflik
penguasaan tanah baru. Dalam mewujudkan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan
rakyat, terdapat prinsip-prinsip pengelolaan pertanahan, yaitu :
1. Memberikan kontribusi nyata dan melahirkan sumber sumber baru
kemakmuran rakyat,
2. Meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam
kaitannya penguasaan,pemilikan,penggunaan dan memanfaatan tanah,
3. Menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan
kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas luasnya pada
generasi akan datang pada sumber sumber ekonomi masyarakat dan
tanah,
4. Kontribusi nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara
harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan
di seluruh tanah air dengan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi
melahirkan sengketa dan konflik pertanahan dikemudian hari .

Sehubungan dengan itu, berikut ini merupakan tujuan reforma agraria:


1. mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam
rangka menciptakan keadilan
2. menangani Sengketa dan Konflik Agraria
3. menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah
4. menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan
5. memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi
6. meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan dan
7. memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.

B. Identifikasi masalah
1. Apakah kasus diatas sudah menerapkan peraturan mengenai reforma agraria dengan baik?
2. Bagaimana seharusnya penyelesaian perkara ini diselesaikan berdasarkan hukum yang
berlaku?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Reforma Agraria


Secara etimologis, kata “agraria” berasal dari bahasa Latinager yang artinya
sebidang tanah. Dalam bahasa Latin disebut aggrarius yang artinya berhubungan
dengan tanah, pembagian atas tanah terutama tanah umum, dan bersifat pedesaan. Kata
“reforma” merujuk pada perubahan, perombakan, penyusunan atau pembentukan
kembali sesuatu menuju pada perbaikan. Maka dapat disimpulkan bahwa reforma
agraria adalah penataan kembali struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah
atau wilayah demi kepentingan petani kecil, penyakap dan buruh tani.1
Pembaruan agraria atau yang dikenal dengan reforma agraria memiliki arti yang
berbeda-beda menurut para ahli. Beberapa ahli menjelaskan bahwa reforma agraria
memiliki makna dan konsep yang sama dengan landreform. Namun, ada juga sebagian
ahli yang mengatakan bahwa landreform hanyalah bagian dari reforma agraria.
Reforma agraria adalah sebuah upaya korektif untuk menata ulang struktur agrarian
yang timpang, yang memungkinkan terjadinya eksploitasi manusia atas manusia,
menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendi pada keadilan agraria.2
Badan Pertanahan Nasional berpendapat bahwa makna dari Reforma Agraria
adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan sumber-
sumber agraria, terutama tanah yang dapat menjamin keadilan serta keberlanjutan
upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan pendapat ahli Soetarto dan
Shohibuddin, reforma agrarian adalah upaya politik sistematis untuk melakukan sebuah
perubahan struktur penguasaan tanah dan perbaikan jaminan kepastian penguasaan
tanah bagi rakyat yang melakukan pemanfaatan terhadap tanah serta kekayaan alam
yang menyertainya, diikuti pula dengan perbaikan sistem produksi melalui penyediaan
fasilitas teknis dan kredit pertanian, perbaikan metode dalam bertani, hingga
infrastruktur sosial lainnya.3

1
Oswar Mungkasa, “Reforma Agraria: Sejarah, Konsep, dan Implementasi”,
(https://www.academia.edu/9524718/Reforma_Agraria_Sejarah_Konsep_dan_Implementasi, diakses pada 11
November 2019)
2
Yerrico Kasworo, “REFORMA AGRARIA KINI DAN NANTI”, RechtsVinding Online hlm. 1
3
Ibid.
B. Sejarah Reforma Agraria di Indonesia

1) Sejarah Awal Reforma Agraria Dunia

Reforma agraria di dunia pertama kali dikenali pada jaman Yunani Kuno di
masa pemerintahan Solon (sekitar 549 SM) yang ditandai dengan
diterbitkannya undang-undang agraria (Seisachtheia).Undang-undang ini
diterbitkan untuk membebaskan Hektemor (petani miskin yang menjadi
penyakap/penggarap tanah gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah
digadaikan pada orang kaya) dari kondisi pemerasan oleh pemegang
gadai.Usaha ini dilanjutkan oleh Pisistratus melalui program redistribusi
disertai fasilitas kredit.
Pada belahan dunia lain, di Roma pada jaman Romawi Kuno, telah dimulai
reforma agraria dalam bentuk redistribusi tanah milik umum untuk mencegah
pemberontakan rakyat kecil. UU Agraria (Iex Agrarian) berhasil diterbitkan
pada 134 SM yang intinya membatasi penguasaan tanah dan redistribusi tanah
milik umum. Sementara di Inggris, reforma agraria dikenal sebagai enclosure
movement, yaitu pengaplingan tanah pertanian dan padangpengembalaan yang
tadinya disewakan untuk umum menjadi tanah individu.
Gerakan reforma agraria berskala besar pertama kali berlangsung pada saat
Revolusi Perancis (1789) dengan menghancurkan sistem penguasaan tanah
feodal.Tanah dibagikan kepada petani.Tujuan utamanya adalah (i)
membebaskan petani dari perbudakan; (ii) melembagakan usaha tani keluarga
yang kecil sebagai satuan pertanian yang ideal.Gerakan ini berpengaruh luas ke
seluruh Eropa.Terbukti pada tahun 1870 John Stuart Mill membentuk Land
Tenure Reform Association yang mendorong pembentukan sistem penyakapan
(tenancy). Bulgaria relatif lebih maju, pada tahun 1880 telah melakukan
reforma agraria yang utuh, mencakup kegiatan penunjang seperti koperasi
kredit, tabungan, dan pembinaan usaha tani.
Gelombang reforma agraria juga menjangkau Rusia pada saat kaum
komunis merebut kekuasaan di Rusia tahun 1917, yang dikenal dengan Stolypin
Reformsdalam bentuk (i) hak pemilikan tanah pribadi dihapuskan; (ii)
penyakapan atau tenancy (sewa, bagi hasil, gadai dan lainnya) dilarang; (iii)
penguasaan tanah absentee dilarang; (iv) hak garap dan luas hak garapan
ditentukan atas kriteria luas tanah yang benar-benar digarap; (v) menggunakan
buruh upahan dilarang.
Tidak terbendung kemudian reforma agraria menjangkau Cina melalui 3
(tiga) program besar pada tahun 1920-1930.Salah satu programnya adalah
menata kembali struktur penguasaan tanah.Program ini mengalami stagnasi
ketika dijajah oleh Jepang (1935-1945), namun dilanjutkan kembali setelah era
penjajahan Jepang dan mencapai puncaknya pada tahun 1959-1961. Tanah
milik tuan tanah dibagikan kepada petani penggarap secara kolektip yang dalam
perkembangannya menjadi milik Negara tetapi petani mempunyai akses
sepenuhnya memanfaatkan tanah tersebut.4 Pelaksanaan landreform di Cina
tidak hanya mematahkan dominasi tuan tanah tetapi juga meningkatkan
konsumsi petani dan meningkatkan tabungan perdesaan.
Reforma agraria terus bergulir, kemudian paska perang dunia II reforma
agraria berlanjut di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Bahkan pada era 1950-
1960 merambah ke Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan masing-masing
negara memiliki cirinya masing-masing.
Salah satu negara yang dipandang berhasil dalam reforma agraria adalah
Jepang. Tanah milik para daimyo diambil alih pemerintah dan dibagikan kepada
penyewa tanah. Pengalaman reforma agraria dimulai pada saat reformasi Meiji
dan mencapai puncaknya pada masa pendudukan Amerika.5
Salah satu Negara Amerika Latin yang berhasil adalah Venezuela. Ditandai
dengan diterbitkannya undang-undang reforma agrarian pada tahun 1960-an.
Namun demikian baru setelah tahun 1999 ketika presiden Hugo Chavez terpilih,
program ini memperoleh kesuksesan. Ini terlaksana karena presiden Chavez
memasukkan reforma agraria ke dalam konstitusi. Selain itu, diperkenalkan
juga prinsip kedaulatan pangan, dan mengutamakan penggunaan tanah dari
pemilikan tanah.6
Negara Asia lain yang dipandang cukup berhasil adalah Thailand, yang
didukung sepenuhnya oleh Rajanya. Tetapi keberhasilan terbesar dialami oleh
Taiwan yang berdampak pada terjadinya pergeseran struktur pekerjaan dari
pertanian ke industri jasa, dengan pertanian tetap sebagai landasan

4
Badan Pertanahan Nasional, 2007
5
Ibid.
6
Ibid.
pembangunannya (BPN, 2007). Namun demikian, tidak semua negara berhasil
melaksanakan reforma agraria, seperti misalnya Zimbabwe, dikarenakan
menjadikan tanah milik kulit putih sebagai sasaran reforma agraria.
Puncak dari gerakan reforma agraria pada bulan Juli 1979 ketika
dilaksanakan konperensi dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan
Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development)
yang diselenggarakan oleh FAO (Food and Agriculture Organization) PBB di
Roma. Konperensi ini menjadi tonggak penting karena berhasil menelurkan
deklarasi prinsip dan program kegiatan (the Peasants’ charter/Piagam Petani)
yang mengakui kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia,serta
reforma agraria dan pembangunan perdesaan dilaksanakan melalui 3 (tiga)
bidang yaitu (i) tingkat desa mengikutsertakan lembaga perdesaan, (ii) di
tingkat nasional, reorientasi kebijakan pembangunan; (iii) di tingkat
internasional, mendorong terlaksananya prinsip tata ekonomi internasional
baru.

2) Sejarah Reforma Agraria Indonesia


Pengaturan pertanahan di Indonesia sudah dimulai dengan terbentuknya
panitia Agraria Yogyakarta melalui Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948
yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Panitia ini mengusulkan tentang
asas yang akan merupakan dasar hukum agraria, diantaranya adalah
(i) pengakuan adanya hak ulayat,
(ii) pembatasan minimum (dua hektar) dan maksimum (10 hektar) tanah
pertanian per keluarga, dan
(iii) perlunya pendaftaran tanah.

Selanjutnya terbentuk Panitia Agraria Jakarta menggantikan Panitia


Yogyakarta melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951 dengan Ketua
Sarimin Reksodihardjo (kemudian digantikan oleh Singgih Praptodihardjo)
yang menghasilkan keputusan penting yang relatif senada diantaranya yakni :
(i) batas minimum pemilikan tanah pertanian (2 hektar) per keluarga;
(ii) mengadakan ketentuan maksimum pemilikan tanah, hak usaha, hak sewa
dan hak pakai;
(iii)pengaturan hak ulayat dengan undang-undang.
Berikutnya dikenal pula Panitia Soewahjo yang ditetapkan melalui
Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956 yang diketuai oleh Soewahjo
Soemodilogo. Panitia ini berhasil menyusun naskah rancangan UUPA pada
tanggal 1 Januari 1957, diantaranya yang terpenting adalah :
(i) asas domein diganti dengan hak kekuasaan Negara;
(ii) diakuinya hak ulayat;
(iii)dualisme hukum agraria dihapuskan;
(iv) penetapan batas masimum dan minimum luas tanah yang boleh dimiliki;
(v) tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri;
(vi) diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.

Naskah rancangan Panitia Soewahjo kemudian disempurnakan kemudian diberi


nama Rancangan Soenarjo mengikuti nama Menteri Agraria pada saat itu dan
diajukan ke DPR pada tahun 1958. Namun kemudian dengan berlakunya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, sementara
Rancangan Soenarjo berdasarkan UUDS 1950, kemudian disusun kembali naskah
undang-undang tersebut. Rancangan yang baru tersebut dinamai Rancangan
Sadjarwo mengikuti nama Menteri Agraria pada saat itu, yang kemudian diajukan
kembali ke DPRGR. Naskah ini yang akhirnya disetujui menjadi UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pada tanggal
24 September 1960 (Harsono, 1999 dan Hakim, tanpa tahun).

C. Tujuan Reforma Agraria


Sejak awal terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960,
reforma agraria bertujuan untuk mengadakan pembagian yang adil dan merata terhadap
sumber penghidupan rakyat tani, yang berupa tanah, sehingga terhadap pembagian
tersebut diharapkan dapat mencapai pembagian hasil yang adil dan merata.7 Menurut
pendapat lain, tujuan utama dari reforma agraria dibagi dua yaitu:
a. Tujuan utama secara makro yaitu untuk mengubah struktur masyarakat, dari
struktur masyarakat warisan feodalisme dan kolonialisme menjadi struktur
masyarakat yang lebih adil dan merata.

7
Oswar Mungkasa, “Reforma Agraria: Sejarah, Konsep, dan Implementasi”,
(https://www.academia.edu/9524718/Reforma_Agraria_Sejarah_Konsep_dan_Implementasi, diakses pada 07
November 2019)
b. Tujuan utama secara mikro adalah agar sedapat mungkin semua atau sebagian
besar rakyat mempunyai aset produksi sehingga lebih produktif dan dapat
mengurangi pengangguran.8
Tujuan umum dari pelaksanaan reforma agraria adalah :9
a. Mengurangi kemiskinan;
b. Menciptakan lapangan kerja;
c. Memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi, terutama terhadap
tanah;
d. Menata ulang ketimpangan penguasaan pemilikan dan pemanfaatan tanah serta
sumber agraria lainnya;
e. Mengurangi sengketa juga konflik pertanahan dan agraria;
f. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup;
g. Meningkatkan kemandirian pangan dan energi masyarakat.

D. Landasan Hukum dan Regulasi Reforma Agraria


Landasan utama reforma agrarian (landreform) tercantum dalam UUD 1945
Pasal 33 ayat (3) bahwa “bumi, air dankekayaan alam yang terkandung di
dalamnyadikuasai oleh negara dan dipergunakan untuksebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Sehingga secara historis dapat dikatakan bahwa upaya pengaturan
pertanahan, termasuk landreform, di Indonesia telah dimulai sejak proklamasi
kemerdekaan. Hal ini kemudian ditindaklanjuti melalui UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA mempunyai dua
substansi dari segi berlakunya, yaitu :

(i) tidak memberlakukan lagi hukum agraria kolonial,


(ii) membangun hukum agraria nasional.

UUPA juga merupakan undang-undang yang mem-berlakukan reforma agraria


yang ditandaiadanya Panca Program Reforma Agraria Indonesia, khususnya
program ketiga yaitu perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta
hubungan hukum yang ber-hubungan dengan penguasaan tanah dalammewujudkan

8
Gunawan Wiradi, “Reforma Agraria Untuk Pemula”, (file:///C:/Users/User/Downloads/74032-
reforma-agraria-untuk-pemula%20(2).pdf, diakses pada 11 November 2019)
9
http://www.bpn.go.id/LayananPublik/Program/Reforma-Agraria, diakses pada 07 November 2019
pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang dikenal sebagai landreform (Hakim,
tanpa tahun) Keterkaitan UUPA dengan landreform tergambarkan jelas pada
muatannya, mulai dari Menimbang hingga Penjelasan UUPA, pasal 1 sampai pasal
19 maupun ketentuan Konversi (Parlindungan, 1987). Secara umum, materi UUPA
yang sangat erat terkait landreform adalah pasal 7 yang membatasi pemilikan dan
penguasaantanah, pasal 10 yang mengatur tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri
secara aktif,dan pasal 17 menetapkan batas maksimum luas pemilikan
tanah.Sebagai tindak lanjut dari pasal 7 dan 17 UUPA tentang
pembatasanpenguasaan dan pemilikan tanah serta batas maksimum-minimum
pemilikan tanah,dikeluarkan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang
Penetapan LuasTanah Pertanian yang dikenal sebagai UU Landreform. UU ini
mengatur 3 (tiga)masalah pokok yaitu :
(i) penetapan luas maksimum penguasaan tanah,
(ii) gadai tanah;
(iii) luas minimum tanah pertanian.

Selanjutnya dikenali adanya UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan


Hakatas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya. UU ini merupakan
peraturan pelaksana dari UUPA khususnya Pasal 18 yang menyatakan, bahwa
untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-
Undang. UU No.20 Tahun 1961 ini memberi kewenangan kepada Presiden untuk
mencabut hak atas tanah dengan memberikan ganti kerugian.
Sementara pemberian ganti rugi pada bekas pemilik tanah ditetapkan melalui
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 yang diubah dengan PP Nomor
41Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian.PP ini diantaranya mengatur obyek dan subyek landreform termasuk
lembaga pendukung landreform. Hal ini membuktikan bahwa landreform di
Indonesia pada dasarnya tidak sekedar redistribusi tanah tetapi juga mengatur
tindak lanjut pembagian tanah tersebut, sehingga tujuannya tidak sekedar
pemerataan tetapi juga peningkatan kesejahteraan petani.10
Selain itu, yang mungkin kurang dikenal sebagai regulasi yang terkait
landreform adalah UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
(UUPBH), yang melindungi golongan ekonomi lemah (petani penggarap) dari
praktek bagi hasil yang merugikan. Terkait pendaftaran tanah, yang merupakan alat
mengendalikan luas kepemilikan dan penguasaan tanah, diterbitkan PP Nomor 10
Tahun 1961 yang telah diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Upaya pelaksanaan land reform juga didukung oleh beberapa regulasi seperti
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak
Lanjut Pelaksanaan Landreform, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor3 Tahun 1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek Land reform
secara Swadaya, Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun
1995tentang Inventarisasi atas Tanah Terlantar, Tanah Kelebihan Maksimum dan
Tanah Absente Baru, serta Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor
11 Tahun1997 tentang Penertiban Tanah Obyek Redistribusi Landreform.
Kemudian memasuki era reformasi pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor16/MPR/1998
tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pada pasal 7 ayat (1)
disebutkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam
lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk
pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan
usaha ekonomi kecil, menengah, koperasi dan masyarakat luas (Shohibuddin,
2009). Tidak banyak yang menyadari bahwa TAP MPR ini yang mengawali
komitmen kita menjalankan reforma agraria, yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah
dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim
Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam rangka
Pelaksanaan Land reform.
Pada tahun 2001, MPR kembali menelurkan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang

10
Ira Sumaya, “Analisis Hukum Landreform sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan Ekonomi
Masyarakat” (Medan : Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009)
mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria di Indonesia. TAP
MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, yang
secara jelas mencantumkan langkah-langkah percepatan reforma agraria berupa
penyempurnaan UUPA No 5/1960 dan regulasi lainnya, serta pembangunan sistem
informasi dan manajemen pertanahan.
Baru pada tahun 2006, pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara tegas
sebagai program pemerintah dengan menetapkannya sebagai salah satu fungsi
Badan Pertanahan nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10
Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dari 21 fungsi yang diemban
BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya adalah reformasi agraria. Selain itu,
BPN bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, Perpres ini
merupakan upaya memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan reforma
agraria.
Untuk lebih memudahkan dalam memperoleh tanah sumber redistribusi,
kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memberi peluang bagi
penetapan tanah terlantar jika tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau
sifat dan tujuan haknya.
Terlepas dari peraturan perundang-undangan dan regulasi yang ada, pada
dasarnya sejak awal MPR telah menunjukkan keinginan yang teguh untuk
mendorong agar pemerintah melaksanakan program land reform. Terbukti dari
pencantuman frasa “penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan
tanah sehingga benar-benar sesuai dengan asas adil dan merata”, termasuk
menjadikan program transmigrasi sebagai bagian dari upaya land reform, pada
setiap Garis Besar Haluan Negara (GBHN).11 Bahkan dalam GBHN 1988 secara
khusus terdapat frasa “perlu dicegah pemilikan tanah perseorangan secara
berlebihan, serta pembagian tanah menjadi sangat kecil sehingga tidak menjadi
sumber kehidupan yang layak” (Hendrawan, 2003).

11
Secara rinci dapat dilihat pada GBHN 1978 (TAP MPR RI No. IV/MPR/1978), GBHN 1983 (TAP
MPR RI NO. II/MPR/1983), GBHN 1988 (TAP MPR RI No. II/MPR/1988), GBHN 1988 (TAP MPR RI No.
II/MPR/1993), GBHN 1998 (TAP MPR RI No. II/MPR/1998) dan GBHN 1999 (TAP MPR RI No.
IV/MPR/1999)
E. Subjek Reforma Agraria

Subjek reforma agraria meliputi perseorangan, kelompok masyarakat dengan


hak kepemilikan bersama atau badan hukum. Ada kriteria yang harus dipenuhi
subjek reforma agraria, salah satunya belum memiliki tanah. Untuk perseorangan,
harus WNI berusia minimal 18 tahun atau sudah menikah dan bertempat tinggal
atau bersedia bermukim di objek redistribusi tanah.12
Perseorangan itu harus memiliki pekerjaan antara lain petani gurem yang
memiliki tanah 0,25 hektar atau lebih kecil, dan/atau petani yang menyewa tanah
tidak lebih dari 2 hektar. Kemudian, petani penggarap yang mengerjakan atau
mengusahakan sendiri tanah yang bukan miliknya. Buruh tani yang mengerjakan
atau mengusahakan tanah orang lain dengan mendapat upah.
Nelayan kecil yang menangkap ikan untuk kebutuhan hidup setiap hari tanpa
menggunakan kapal maupun menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling
besar 10 Gross Tonnage (GT). Lalu, nelayan tradisional yang menangkap ikan di
perairan yang merupakan hak perikanan tradisional secara turun-temurun sesuai
budaya dan kearifan lokal.
Subjek reforma agraria perseorangan termasuk nelayan buruh yang
menyediakan tenaganya untuk ikut menangkap ikan. Petambak garam kecil yang
lahannya paling luas 5 hektar dan perebus garam serta penggarap tambak garam.
Guru honorer yang belum berstatus PNS, digaji sukarela atau per jam pelajaran,
atau di bawah gaji yang telah ditetapkan secara resmi. Dan pekerja harian lepas dan
buruh.
Selanjutnya, pedagang informal yang melakukan kegiatan usaha dengan modal
terbatas dan cenderung berpindah-pindah serta berlokasi di tempat umum. Pekerja
sektor informal yang bekerja dalam hubungan kerja sektor informal dan menerima
upah. Pegawai tidak tetap yang melaksanakan tugas pemerintahan dan
pembangunan bersifat teknis profesional dan administrasi.
Pekerja swasta dengan pendapatan di bawah penghasilan tidak kena pajak
(PTKP). PNS paling tinggi golongan III/a. Anggota Polri dan TNI dengan pangkat
paling tinggi Letnan Dua/Inspektur Dua Polisi atau setingkat. Untuk kelompok

12
Ady TD Achmad, “Perpres Reforma Agraria Telah Terbit, Begini Isinya”,
(https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bb87956d3684/perpres-reforma-agraria-telah-terbit--begini-
isinya/ , diakses pada 10 November 2019)
masyarakat dengan hak kepemilikan bersama, merupakan gabungan dari
perseorangan yang membentuk kelompok, berada di kawasan tertentu dan
memenuhi persyaratan menerima objek redistribusi tanah.
Untuk badan hukum bentuknya perseroan terbatas atau yayasan yang dibentuk
subjek reforma agraria perseorangan atau kelompok masyarakat dengan hak
kepemilikan bersama. Terakhir, pihak yang juga bisa menjadi subjek reforma
agraria yakni Badan Usaha Milik Desa.
Penetapan subyek menggunakan 3 (tiga) variabel pokok dalam menentukan
kriteria, yaitu :
(i) umum (Warga Negara Indonesia, miskin, minimal 18 tahun atausudah
menikah);
(ii) khusus (bertempat tinggal atau bersedia bertempat tinggal dikecamatan letak
tanahnya, kemauan tinggi mendayagunakan tanah);
(iii)prioritas (tidak memiliki tanah, jumlah tanggungan keluarga, lama bertempat
tinggal dan mata pencaharian).

Secara umum, urutan kelompok prioritas dalam penentuan subyek penerima


PPAN adalah :
(i) pertama, petani yang bekerja dan menetap di lokasi obyek PPAN;
(ii) kedua, petani penggarap dan buruh tani yang tidak memiliki tanah pertanian;
(iii)ketiga, petani yang memiliki luas tanah pertanian kurang dari 0,5 ha;
(iv) keempat,petani pelaku pertanian dalam arti luas termasuk nelayan yang
membutuhkan tanah guna melangsungkan kehidupannya;
(v) kelima, penduduk miskin berdasar data BPS atau sumber lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.13

F. Objek Reforma Agraria


Penetapan obyek mencakup penyediaan tanah bagi pelaksanaan reforma agraria
dari sejumlah sumber, yaitu :
(i) tanah bekas Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai;
(ii) tanah yang terkena ketentuan konversi;

13
Mohammad Shohibuddin, Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria
(Yogyakarta : Sekolah Tinggi Pertahanan Nasional, 2009)
(iii)tanah yang diserahkan sukarela oleh pemiliknya;
(iv) tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan;
(v) tanah obyek landreform14;
 Tanah kelebihan batas maksimum, yaitu tanah yang melebihi batas
ketentuan yang boleh dimiliki oleh seseorang atau satu keluarga. Luas batas
maksimum ditentukan per daerah tingkat II dengan memperhatikan faktor
jumlah penduduk, luas daerah, dan sebagainya. Daerah tersebut dibagi
menjadi daerah yang tidak padat dengan pemilikan maksimum 20 hektare,
cukup padat maksimum 9 hektare dan sangaat padat maksimum
pemilikannya 6 hektare.
 Tanah absentee, yaitu tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal di
luar kecamatan letak tanah dan kecamatan tersebut letaknya tidak
berbatasan.
 Tanah swapraja Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Swapraja berasal
dari kata “Swa” yang berarti; “sendiri” dan “Praja” yang berarti; “kota-
negeri”, Swapraja, berarti daerah yang berpemerintahan sendiri. Dengan
demikian, tanah Swapraja berati daerah yang memiliki Pemerintahan
sendiri. Sebutan swapraja tidak terdapat di dalam Undang-Undang Dasar
1945, dalam penjelasan Pasal 18 disebut; Zelfbesturende Landschappen.
 Tanah bekas swapraja, yaitu tanah bekas wilayah kerajaan atau kesultanan,
yang dengan UUPA beralih menjadi tanah negara Republik Indonesia.
 Tanah lain yang dikuasai negara merupakan tanah pertanian yang telah
digarap rakyat yang ditegaskan oleh Menteri (sekarang Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN) sebagai obyek landreform adalah :
 Tanah yang terkena UU No. 1 Tahun 1958, yaitu tanah partikelir dan
hak eigendom lebih 10 bouw yang di jaman penjajahan dimiliki tuan –
tuan tanah.
 Tanah bekas perkebunan (bekas hak erfpacht atau HGU)
 Tanah bekas hak ulayat masyarakat hukum adat, bekas tanah kehutanan,
dan tanah negara bebas.

14
Berdasar PP Nomor 224 Tahun 1961 menyebutkan tanah obyek land reform adalah (i) tanah kelebihan
maksimum, (ii) tanah absente, (iii) tanah swapraja dan bekas swapraja, (iv) tanah lain yang dikuasai negara.
(vi) Tanah bekas obyek landreform;
(vii) Tanah timbul;
(viii) Tanah bekas kawasan pertambangan;
(ix) Tanah yang dihibahkan oleh pemerintah;
(x) Tanah tukar menukar dari dan olehpemerintah;
(xi) Tanah yang dibeli oleh pemerintah;
(xii) Tanah pelepasan kawasanhutan produksi konversi;

Tanah bekas kawasan hutan yang pernah dilepaskan


BAB III

RESUME KASUS
Persoalan agraria yang menimpa penduduk dengan profesi sebagai petani seolah tidak
ada habisnya, salah satunya dengan persoalan penelantaran tanah di pedesaan yang merupakan
tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis dan tidak berkeadilan bagi para petani yang
biasanya hanyalah pihak yang memanfaatkan lahan milik orang lain untuk dijadikan tempat
menanam dalam rangka mencari penghasilan.
Permasalahan ini adalah permasalahan yang dihadapi oleh petani di Desa Tumbrep,
Kabupaten Batang, Jawa Tengah dalam kurun waktu yang sangat lama, yaitu 17 tahun
terhitung dari tahun 1999 sampai 2016. Masyarakat di Desa Tumbrep, khususnya para petani,
harus melawan PT Perusahaan Perkebunan Tratak (PT Tratak) selama 17 tahun untuk
memperjuangkan haknya menggunakan tanah yang ditelantarkan oleh PT Tratak sebagai lahan
untuk mencari penghasilan. Pada awalnya, PT Tratak adalah perusahaan yang memiliki empat
perkebunan yang lahannya didapatkan dari Mayjend Soeharto pada tahun 1957, terletak di
empat pedukuhan yang berbeda dan salah satunya terletak di Dukuh Cepoko Desa Tumbrep,
luas lahan perkebunannya seluas 89,841 hektare dan kepemilikan lahannya diperoleh dengan
status Hak Guna Usaha (HGU). Perkebunan tersebut dikelola oleh Yap Kiem Loan sebagai
pihak dari PT Tratak dengan baik sampai dengan tahun 1975. Sepeninggalan Yap Kiem Loan,
pengelolaan perkebunan PT Tratak jatuh kepada Soetrisno selaku direktur utama PT Tratak,
namun lahannya tidak dikelola dengan baik sehingga pada tahun 1988 hampir separuh lahan
milik PT Tratak diterlantarkan yang menyebabkan kerugian kepada warga sekitar karena lahan
tersebut dipenuhi hama tanaman masyarakat.
Penelantaran tanah oleh PT Tratak terjadi bukanlah tanpa sebab, hal ini disebabkan oleh
adanya pergantian kepemilikan pada PT Tratak. Pergantian kepemilikan ternyata memberikan
pengaruh kepada tata kelola keuangan dan tata kelola produksi tanah yang cenderung mengarah
pada ketidakefektifan dan tidak efisien. Selain itu, produksi tanah semakin menurun yang
diakibatkan karena tidak adanya rotasi tanaman dan berpengaruh kepada kualitas kopi dan
cengkeh yang dihasilkan. Sejak saat itulah, masyarakat sekitar perkebunan PT Tratak dan
petani yang berkerja di PT Tratak yang terlantar memanfaatkan lahan tersebut untuk menanam
tanaman pangan yang dilakukan dengan sepengetahuan dari pihak Bupati Barang dan personil
PT Tratak, bahkan Bupati Batang telah memberikan rekomendasi untuk pencabutan HGU PT
Tratak. Namun pengaturan dan penataan kembali tanah terkendala dengan tidak dicapainya
kesepakatan tentang distribusi kepemilihan tanah.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) kemudian melakukan pemeriksaan terhadap lahan
HGU milik PT Tratak yang terindikasi terlantar dan ditemukan fakta bahwa dari luas
keselurahan 89,841 hektare hanya 7,40 hektare yang digunakan oleh pemegang haknya,
selebihnya tidak dimanfaatkan dan diusahakan sesuai dengan maksud serta tujuan pemberian
hak. Setelah melakukan penelitian, BPN memberikan peringatan kepada PT Tratak yang pada
intinya BPN memberikan PT Tratak waktu untuk mengusahakan, menggunakan serta
memanfaatkan bidang tanah HGU yang dimilikinya. Namun, peringatan dari BPN tidak
dihiraukan oleh PT Tratak sehingga pada tahun 2013 BPN mengeluarkan surat keputusan yang
berisi penetapan tanah terlantar pada lahan PT Tratak.
Masyarakat sebagai pihak yang mengelola lahan PT Tratak yang diterlantarkan
menuntut untuk mendapatkan sertifikat hak milik atas lahan yang mereka garap selama belasan
tahun. PT Tratak tidak terima dan mengajukan gugatan terhadap BPN dan sejumlah petani
Desa Batang yang pada intinya menyatakan bahwa PT Tratak sebagai pemegang HGU atas
lahan perkebunan di Desa Batang telah mengelola lahan tersebut dengan baik. PT Tratak
berdalih, kemampuan mereka yang hanya dapat mengelola 7,40 hektare disebabakan oleh
adanya gangguan usaha perkebunan dari sekelompok masyarakat sejak tahun 1998 atau dalam
era reformasi hingga gugatan ini diajukan pada tahun 2013. PT Tratak mengatakan bahwa
masyarakat sekitar lahannya melakukan gangguan usaha perkebunan dalam bentuk penguasaan
dan pemanfaatan lahan HGU secara melawan hukum dengan menanam tanaman musiman
berupa ketela pohon, jagung dan sebagian kecil persawahan.
Gugatan dari PT Tratak ditolak seleuruhnya oleh hakim. Hal ini mempermudah langkah
masyarakat untuk mendapatkan hak milik atas tanah yang mereka garap selama ini dan usaha
mereka berbuah manis. Pada bulan Februari 2016, sebanyak 425 kepala keluarga di Desa
Tumbrep mendapatkan sertifikat kepemilikan atas tanah seluas total 70 hektar dengan
pembagian setiap kepala keluarga mendapatkan sekitar 2000 meter persegi. Tanah yang sudah
menjadi hak milik warga tersebut tidak bisa secara semena – mena dijual karena tanah tersebut
termasuk tanah program reformasi agraria. Tanah tersebut baru boleh dijual oleh pemiliknya
setelah tahun ke-11 kepemilikannya atas tanah tersebut dengan syarat dibeli oleh salah satu
dari 425 warga penerima sertifikat reformasi agraria.
BAB IV
ANALISIS DAN PENGURAIANNYA

Kasus antara PT Tratak dan masyarakat Desa Tumbrep merupakan wujud dari
keberhasilan program reformasi agraria. Penyelesaian kasus ini berpedoman kepada Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP Tanah Terlantar), Surat Keputusan Kepala BPN Republik
Indonesia tentang Tanah Terlantar. Keberhasilan program reformasi agrarian dalam kasus ini
tidak terlepas dari implementasi peraturan yang berlaku dengan baik dan benar.
Pasal 33 Undang - Undang Dasar 1945 (UUD 1945) secara eksplisit menyatakan bahwa
bumi, air dan kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmukaran rakyat. Pasal ini bisa dijadikan dasar bagi masyarakat Desa Tumbrep
untuk menuntut hak milik atas tanah yang mereka kelola karena diterlantarkan oleh PT Tratak.
Hal ini sejalan dengan Pasal 34 UUPA yang secara jelas menyatakan bahwa salah satu
penyebab hapusnya HGU adalah karena diterlantarkan.
Kemudian, jika dilihat dari pengaturan yang tertulis pada PP Tanah Terlantar, lahan
HGU PT Tratak memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai tanah terlantar. Pasal 2 PP Tanah
Terlantar mengatur mengenai objek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah
diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Pertimbangan hakim yang mengadili gugatan PT Trakat kepada BPN juga menguatkan
adanya penelantaran oleh PT Trakat. Pada pertimbangannya, hakim membenarkan adanaya
penebangan besar-besaran tanaman dan pohon pada lahan yang tidak diikuti dengan
penanaman kembali oleh PT. Tratak sebagai pemegang HGU terhadap lahan tersebut sehingga
menyebabkan tanah menjadi tidak produktif, tidak terdapat tanaman cengkeh dan kopi sesuai
dengan peruntukannya pada lahan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Pemberian HGU, PT
Tratak telah mensubkontrakan lahan perkebunan kepada perusahaan lain dan PT Tratak telah
menyewakan lahan pihak lain (penggarap) dengan perjanjian bagi hasil. Pertimbangan inilah
yang membuat hakim menyatakan tidak terbukti adanya gangguan kepada lahan Penggugat
dari sekelompok masyarakat.
BPN dalam menentukan bahwa lahan HGU PT Trakat adalah tanah terlantar didasarkan
dengan identifikasi dan penelitian yang didasarkan pada Pasal 4 sampai Pasal 7 PP Tanah
Terlantar. Kewenangan BPN dalam melakukan penertiban terhadap tanah terlantar didasarkan
pada Pasal 17 PP Tanah Terlantar yang menyatakan bahwa pelaksanaan penertiban tanah
terlantar dan pendayagunaan tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan
secara berkala kepada Presiden. Hal ini juga diatur pada Pasal 19 Peraturan Kepala BPN
Nomor 4 Tahun 2010 yang menyatakan :
1. Kepala menetapkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar atas usulan Kepala Kantor
Wilayah;
2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat hapusnya hak atas tanah,
pemutusan hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan bahwa tanah dimaksud
dikuasai langsung oleh Negara. Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Organ yang berwenang dalam
penertiban tanah terlantar adalah panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor
Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah
yang bersangkutan berwenang dalam melakukan identifikasi dan penelitian terhadap
tanah yang terindikasi terlantar sedangkan penetapan tanah terlantar merupakan
kewenangan Kepala BPN.

Setelah tanah tersebut dikatakan sebagai tanah terlantar, BPN memberikan peringatan
sebanyak 3 kali kepada PT Tratak pada tanggal 13 Mei 2011 melalui surat Nomor 3049/16-
500/ V/33/2011, pada tanggal 14 Juni 2011 melalui surat Nomor 3631/16-500/ VI/33/2011,
dan pada tanggal 15 Juli 2011 melalui surat Nomor 4313/16-500/ VII/33/2011. Namun, PT
Trakat tidak menunjukkan adanya upaya untuk mengusahakan, menggunakan serta
memanfaatkan lahannya sehingga Kepala BPN mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
7/PTTHGU/BPN RI/2013 tentang Penetapan Tanah Terlantar yang berasal dari tanah HGU
No. 1/Batang atas nama PT. Tratak.
Penelantaran tanah HGU yang dilakukan oleh PT Traktak telah menimbulkan
kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan.
Tanah terlantar tersebut merupakan salah satu objek reforma agrarian dari pelaksanaan
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).

Berdasarkan Pasal 9 PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan


Tanah Terlantar, tanah terlantar yang sudah ditetapkan menjadi tanah Negara akan menjadi
salah satu objek reforma agrarian. Sedangkan subyek reforma agraria adalah penduduk miskin
di perdesaan baik petani, nelayan maupun non-petani/nelayan. Penduduk miskin dalam
kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam lokasi ataupun yang terdekat dengan lokasi, dan
dibuka kemungkinan untuk melibatkan kaum miskin dari daerah lain (perdesaan dan
perkotaan). Oleh karena itu, pemindahan hak milik atas tanah yang semula menjadi hak guna
usaha PT Perkebunan Traktak untuk kepentingan masyarakat melalui program reformasi
agrarian adalah keputusan yang tepat dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, reforma agrarian bertujuan untuk
mengadakan pembagian yang adil dan merata terhadap sumber penghidupan rakyat tani, yang
berupa tanah, sehingga diharapkan dari hasil pembagian tersebut dapat mengembalikan
stabilitas kehidupan para petani.
Dalam kaitan penguasaan hak atas tanah apapun macamnya, kewajiban utama dari
pemegang hak tersebut haruslah dimaksimalkan pemanfaatannya. Apabila terjadi pelanggaran
terhadap pemberian penguasaan terhadap suatu pihak, pemerintah dapat mengambil kembali
pemberian hak tersebut melalui berbagai cara menurut hukum yang berlaku, diantaranya
mencabut kembali dan menyatakan tanah tersebut sebagai tanah terlantar, sehingga tanah
tersebut dapat dikuasai kembali oleh Negara. Berdasarkan analisis peraturan perundang-
undangan dan pendapat sebagaimana tersebut diatas penetapan tanah terlantar yang dilakukan
oleh BPN terhadap lahan HGU seluas 89, 841 hektar terletak di Desa Tumberp, Kabupaten
Batang, Propinsi Jawa Tengah telah memenuhi syarat penetapan tanah terlantar, baik alasan
penetapan tanah terlantarnya maupun tatacara yang dilakukan oleh BPN dalam proses
penetapan tanah terlantar sudah sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Lamanya proses pengurusan tanah terlantar PT Traktak tersebut dapat dijadikan bahan
evaluasi bagi pemerintah agar melakukan upaya penyelesaian pengurusan tanah dengan waktu
yang singkat dan efektif sehingga pemanfaatan tanah menjadi hal yang utama untuk
mensejahterakan rakyat. Setelah berhasil melaksanakan program refomasi agrarian,
pemerintah tidak dapat lepas tangan begitu saja tetapi harus juga melakukan pengawasan
terhadap tanah yang sudah dipindahtangankan kepada para petani tersebut. Hal ini berkaitan
dengan pelarangan penjualan tanah agrarian hingga 10 tahun ke depan yang bertujuan agar
tanah tersebut tetap dapat bermanfaat bagi warga setempat.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap hal tersebut, BPN berhak mengambil kembali
tanah tersebut. Pemerintah daerah dan perbankan pun perlu mendorong program reformas
agrarian ini yakni dengan ikut mendorong ha katas tanah. Perbankan termasuk bank setempat
yang telah melakukan kerjasama dengan pemerintah diminta tidak melepas sertifikat tanah
reformasi agrarian yang diagunkan kepada pihak ketiga dan bank tersebut tidak diperkenankan
mengambil untung yang dapat memberatkan petani. Pemerintah setempat juga diharapkan
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara pembangunan infrastruktur
pendukung di kawasan tersebut, misalnya saluran irigasi, embung, dan lainnya.
BAB V
KESIMPULAN

Dari analisis kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa PT Traktak telah melakukan
penelantaran tanah Hak Guna usaha yang menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi dan
kesejahteraan rakyat dan juga menurunkan kualitas lingkungan. Dengan begitu tanah terlantar
tersebut menjadi salah satu objek reforma agrarian dari Pelaksanan Program Pembaruan
Agraria Nasional (PPAN). Hal ini berdasarkan pasal 9 PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Jadi, dengan hasil gugatan dari PT Traktak ditolak oleh hakim, masyarakat mendapatkan hak
milik tanah yang selama ini mereka kelola. 425 kepala keluarga di desa Tumbrep juga
akhirnya mendapatkan sertifikat kepemilikan tanah dengab total luas tanah 70 hektar dengan
pembagian seluas 2000 meter persegi setiap kepala keluarga.
Daftar Pustaka

Kasworo, Yerrico “REFORMA AGRARIA KINI DAN NANTI”, RechtsVinding Online

Sunarya ,Ira. 2009.“Analisis Hukum Landreform sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan

Ekonomi Masyarakat” Medan : Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

Shohibuddin, Mohammad. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian

Agraria . Yogyakarta : Sekolah Tinggi Pertahanan Nasional

Oswar Mungkasa, “Reforma Agraria: Sejarah, Konsep, dan Implementasi”,

(https://www.academia.edu/9524718/Reforma_Agraria_Sejarah_Konsep_dan_Implementasi,

diakses pada 07 November 2019)

Gunawan Wiradi, “Reforma Agraria Untuk Pemula”, (file:///C:/Users/User/Downloads/74032-

reforma-agraria-untuk-pemula%20(2).pdf, diakses pada 11 November 2019)

http://www.bpn.go.id/LayananPublik/Program/Reforma-Agraria, diakses pada 07 November

2019

Ady TD Achmad, “Perpres Reforma Agraria Telah Terbit, Begini Isinya”,

(https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bb87956d3684/perpres-reforma-agraria-telah-

terbit--begini-isinya/ , diakses pada 10 November 2019)

Badan Pertanahan Nasional, 2007

GBHN 1978 (TAP MPR RI No. IV/MPR/1978), GBHN 1983 (TAP MPR RI NO. II/MPR/1983),

GBHN 1988 (TAP MPR RI No. II/MPR/1988), GBHN 1988 (TAP MPR RI No.

II/MPR/1993), GBHN 1998 (TAP MPR RI No. II/MPR/1998) dan GBHN 1999 (TAP MPR

RI No. IV/MPR/1999)

PP Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian

Ganti Kerugian
ANALISIS HAPUSNYA HGU BERDASARKAN SURAT KEPUTUSAN
PENETAPAN TANAH TERLANTAR DARI BPN : Studi Kasus atas Putusan Nomor:
25/G/2013/PTUN.JKT

Putusan Nomor 25/g/2013/ptun Jakarta

Anda mungkin juga menyukai