JUDUL
Disusun oleh :
Kelompok 5:
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan dalam
mencapai kemakmuran rakyat yang adil, maka untuk itu tanah diusahakan atau
digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata.
Tanah merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan dan
penghidupan manusia. Negara menjamin kemakmuran rakyat dengan meletakkan
prinsip dasar di bidang pertanahan dalam Undang Undang Dasar 1945 dalam pasal 33
ayat 3 yang berbunyi: Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat,
serta dalam Undang Undang Pokok Agraria pasal 2 ayat 2 yang dimaksud dengan hak
menguasai dari negara berupa :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,penggunaan
persediaan dan pemeliharaan bumi,air dan ruang angkasa,
2. Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara
orang orang dengan bumi,air dan ruang angkasa,
3. Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara
orang orang dengan perbuatan hukum yang mengenai bumi,air
dan ruang angkasa.
B. Identifikasi masalah
1. Apakah kasus diatas sudah menerapkan peraturan mengenai reforma agraria dengan baik?
2. Bagaimana seharusnya penyelesaian perkara ini diselesaikan berdasarkan hukum yang
berlaku?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
Oswar Mungkasa, “Reforma Agraria: Sejarah, Konsep, dan Implementasi”,
(https://www.academia.edu/9524718/Reforma_Agraria_Sejarah_Konsep_dan_Implementasi, diakses pada 11
November 2019)
2
Yerrico Kasworo, “REFORMA AGRARIA KINI DAN NANTI”, RechtsVinding Online hlm. 1
3
Ibid.
B. Sejarah Reforma Agraria di Indonesia
Reforma agraria di dunia pertama kali dikenali pada jaman Yunani Kuno di
masa pemerintahan Solon (sekitar 549 SM) yang ditandai dengan
diterbitkannya undang-undang agraria (Seisachtheia).Undang-undang ini
diterbitkan untuk membebaskan Hektemor (petani miskin yang menjadi
penyakap/penggarap tanah gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah
digadaikan pada orang kaya) dari kondisi pemerasan oleh pemegang
gadai.Usaha ini dilanjutkan oleh Pisistratus melalui program redistribusi
disertai fasilitas kredit.
Pada belahan dunia lain, di Roma pada jaman Romawi Kuno, telah dimulai
reforma agraria dalam bentuk redistribusi tanah milik umum untuk mencegah
pemberontakan rakyat kecil. UU Agraria (Iex Agrarian) berhasil diterbitkan
pada 134 SM yang intinya membatasi penguasaan tanah dan redistribusi tanah
milik umum. Sementara di Inggris, reforma agraria dikenal sebagai enclosure
movement, yaitu pengaplingan tanah pertanian dan padangpengembalaan yang
tadinya disewakan untuk umum menjadi tanah individu.
Gerakan reforma agraria berskala besar pertama kali berlangsung pada saat
Revolusi Perancis (1789) dengan menghancurkan sistem penguasaan tanah
feodal.Tanah dibagikan kepada petani.Tujuan utamanya adalah (i)
membebaskan petani dari perbudakan; (ii) melembagakan usaha tani keluarga
yang kecil sebagai satuan pertanian yang ideal.Gerakan ini berpengaruh luas ke
seluruh Eropa.Terbukti pada tahun 1870 John Stuart Mill membentuk Land
Tenure Reform Association yang mendorong pembentukan sistem penyakapan
(tenancy). Bulgaria relatif lebih maju, pada tahun 1880 telah melakukan
reforma agraria yang utuh, mencakup kegiatan penunjang seperti koperasi
kredit, tabungan, dan pembinaan usaha tani.
Gelombang reforma agraria juga menjangkau Rusia pada saat kaum
komunis merebut kekuasaan di Rusia tahun 1917, yang dikenal dengan Stolypin
Reformsdalam bentuk (i) hak pemilikan tanah pribadi dihapuskan; (ii)
penyakapan atau tenancy (sewa, bagi hasil, gadai dan lainnya) dilarang; (iii)
penguasaan tanah absentee dilarang; (iv) hak garap dan luas hak garapan
ditentukan atas kriteria luas tanah yang benar-benar digarap; (v) menggunakan
buruh upahan dilarang.
Tidak terbendung kemudian reforma agraria menjangkau Cina melalui 3
(tiga) program besar pada tahun 1920-1930.Salah satu programnya adalah
menata kembali struktur penguasaan tanah.Program ini mengalami stagnasi
ketika dijajah oleh Jepang (1935-1945), namun dilanjutkan kembali setelah era
penjajahan Jepang dan mencapai puncaknya pada tahun 1959-1961. Tanah
milik tuan tanah dibagikan kepada petani penggarap secara kolektip yang dalam
perkembangannya menjadi milik Negara tetapi petani mempunyai akses
sepenuhnya memanfaatkan tanah tersebut.4 Pelaksanaan landreform di Cina
tidak hanya mematahkan dominasi tuan tanah tetapi juga meningkatkan
konsumsi petani dan meningkatkan tabungan perdesaan.
Reforma agraria terus bergulir, kemudian paska perang dunia II reforma
agraria berlanjut di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Bahkan pada era 1950-
1960 merambah ke Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan masing-masing
negara memiliki cirinya masing-masing.
Salah satu negara yang dipandang berhasil dalam reforma agraria adalah
Jepang. Tanah milik para daimyo diambil alih pemerintah dan dibagikan kepada
penyewa tanah. Pengalaman reforma agraria dimulai pada saat reformasi Meiji
dan mencapai puncaknya pada masa pendudukan Amerika.5
Salah satu Negara Amerika Latin yang berhasil adalah Venezuela. Ditandai
dengan diterbitkannya undang-undang reforma agrarian pada tahun 1960-an.
Namun demikian baru setelah tahun 1999 ketika presiden Hugo Chavez terpilih,
program ini memperoleh kesuksesan. Ini terlaksana karena presiden Chavez
memasukkan reforma agraria ke dalam konstitusi. Selain itu, diperkenalkan
juga prinsip kedaulatan pangan, dan mengutamakan penggunaan tanah dari
pemilikan tanah.6
Negara Asia lain yang dipandang cukup berhasil adalah Thailand, yang
didukung sepenuhnya oleh Rajanya. Tetapi keberhasilan terbesar dialami oleh
Taiwan yang berdampak pada terjadinya pergeseran struktur pekerjaan dari
pertanian ke industri jasa, dengan pertanian tetap sebagai landasan
4
Badan Pertanahan Nasional, 2007
5
Ibid.
6
Ibid.
pembangunannya (BPN, 2007). Namun demikian, tidak semua negara berhasil
melaksanakan reforma agraria, seperti misalnya Zimbabwe, dikarenakan
menjadikan tanah milik kulit putih sebagai sasaran reforma agraria.
Puncak dari gerakan reforma agraria pada bulan Juli 1979 ketika
dilaksanakan konperensi dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan
Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development)
yang diselenggarakan oleh FAO (Food and Agriculture Organization) PBB di
Roma. Konperensi ini menjadi tonggak penting karena berhasil menelurkan
deklarasi prinsip dan program kegiatan (the Peasants’ charter/Piagam Petani)
yang mengakui kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia,serta
reforma agraria dan pembangunan perdesaan dilaksanakan melalui 3 (tiga)
bidang yaitu (i) tingkat desa mengikutsertakan lembaga perdesaan, (ii) di
tingkat nasional, reorientasi kebijakan pembangunan; (iii) di tingkat
internasional, mendorong terlaksananya prinsip tata ekonomi internasional
baru.
7
Oswar Mungkasa, “Reforma Agraria: Sejarah, Konsep, dan Implementasi”,
(https://www.academia.edu/9524718/Reforma_Agraria_Sejarah_Konsep_dan_Implementasi, diakses pada 07
November 2019)
b. Tujuan utama secara mikro adalah agar sedapat mungkin semua atau sebagian
besar rakyat mempunyai aset produksi sehingga lebih produktif dan dapat
mengurangi pengangguran.8
Tujuan umum dari pelaksanaan reforma agraria adalah :9
a. Mengurangi kemiskinan;
b. Menciptakan lapangan kerja;
c. Memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi, terutama terhadap
tanah;
d. Menata ulang ketimpangan penguasaan pemilikan dan pemanfaatan tanah serta
sumber agraria lainnya;
e. Mengurangi sengketa juga konflik pertanahan dan agraria;
f. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup;
g. Meningkatkan kemandirian pangan dan energi masyarakat.
8
Gunawan Wiradi, “Reforma Agraria Untuk Pemula”, (file:///C:/Users/User/Downloads/74032-
reforma-agraria-untuk-pemula%20(2).pdf, diakses pada 11 November 2019)
9
http://www.bpn.go.id/LayananPublik/Program/Reforma-Agraria, diakses pada 07 November 2019
pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang dikenal sebagai landreform (Hakim,
tanpa tahun) Keterkaitan UUPA dengan landreform tergambarkan jelas pada
muatannya, mulai dari Menimbang hingga Penjelasan UUPA, pasal 1 sampai pasal
19 maupun ketentuan Konversi (Parlindungan, 1987). Secara umum, materi UUPA
yang sangat erat terkait landreform adalah pasal 7 yang membatasi pemilikan dan
penguasaantanah, pasal 10 yang mengatur tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri
secara aktif,dan pasal 17 menetapkan batas maksimum luas pemilikan
tanah.Sebagai tindak lanjut dari pasal 7 dan 17 UUPA tentang
pembatasanpenguasaan dan pemilikan tanah serta batas maksimum-minimum
pemilikan tanah,dikeluarkan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang
Penetapan LuasTanah Pertanian yang dikenal sebagai UU Landreform. UU ini
mengatur 3 (tiga)masalah pokok yaitu :
(i) penetapan luas maksimum penguasaan tanah,
(ii) gadai tanah;
(iii) luas minimum tanah pertanian.
10
Ira Sumaya, “Analisis Hukum Landreform sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan Ekonomi
Masyarakat” (Medan : Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009)
mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria di Indonesia. TAP
MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, yang
secara jelas mencantumkan langkah-langkah percepatan reforma agraria berupa
penyempurnaan UUPA No 5/1960 dan regulasi lainnya, serta pembangunan sistem
informasi dan manajemen pertanahan.
Baru pada tahun 2006, pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara tegas
sebagai program pemerintah dengan menetapkannya sebagai salah satu fungsi
Badan Pertanahan nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10
Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dari 21 fungsi yang diemban
BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya adalah reformasi agraria. Selain itu,
BPN bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, Perpres ini
merupakan upaya memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan reforma
agraria.
Untuk lebih memudahkan dalam memperoleh tanah sumber redistribusi,
kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memberi peluang bagi
penetapan tanah terlantar jika tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau
sifat dan tujuan haknya.
Terlepas dari peraturan perundang-undangan dan regulasi yang ada, pada
dasarnya sejak awal MPR telah menunjukkan keinginan yang teguh untuk
mendorong agar pemerintah melaksanakan program land reform. Terbukti dari
pencantuman frasa “penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan
tanah sehingga benar-benar sesuai dengan asas adil dan merata”, termasuk
menjadikan program transmigrasi sebagai bagian dari upaya land reform, pada
setiap Garis Besar Haluan Negara (GBHN).11 Bahkan dalam GBHN 1988 secara
khusus terdapat frasa “perlu dicegah pemilikan tanah perseorangan secara
berlebihan, serta pembagian tanah menjadi sangat kecil sehingga tidak menjadi
sumber kehidupan yang layak” (Hendrawan, 2003).
11
Secara rinci dapat dilihat pada GBHN 1978 (TAP MPR RI No. IV/MPR/1978), GBHN 1983 (TAP
MPR RI NO. II/MPR/1983), GBHN 1988 (TAP MPR RI No. II/MPR/1988), GBHN 1988 (TAP MPR RI No.
II/MPR/1993), GBHN 1998 (TAP MPR RI No. II/MPR/1998) dan GBHN 1999 (TAP MPR RI No.
IV/MPR/1999)
E. Subjek Reforma Agraria
12
Ady TD Achmad, “Perpres Reforma Agraria Telah Terbit, Begini Isinya”,
(https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bb87956d3684/perpres-reforma-agraria-telah-terbit--begini-
isinya/ , diakses pada 10 November 2019)
masyarakat dengan hak kepemilikan bersama, merupakan gabungan dari
perseorangan yang membentuk kelompok, berada di kawasan tertentu dan
memenuhi persyaratan menerima objek redistribusi tanah.
Untuk badan hukum bentuknya perseroan terbatas atau yayasan yang dibentuk
subjek reforma agraria perseorangan atau kelompok masyarakat dengan hak
kepemilikan bersama. Terakhir, pihak yang juga bisa menjadi subjek reforma
agraria yakni Badan Usaha Milik Desa.
Penetapan subyek menggunakan 3 (tiga) variabel pokok dalam menentukan
kriteria, yaitu :
(i) umum (Warga Negara Indonesia, miskin, minimal 18 tahun atausudah
menikah);
(ii) khusus (bertempat tinggal atau bersedia bertempat tinggal dikecamatan letak
tanahnya, kemauan tinggi mendayagunakan tanah);
(iii)prioritas (tidak memiliki tanah, jumlah tanggungan keluarga, lama bertempat
tinggal dan mata pencaharian).
13
Mohammad Shohibuddin, Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria
(Yogyakarta : Sekolah Tinggi Pertahanan Nasional, 2009)
(iii)tanah yang diserahkan sukarela oleh pemiliknya;
(iv) tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan;
(v) tanah obyek landreform14;
Tanah kelebihan batas maksimum, yaitu tanah yang melebihi batas
ketentuan yang boleh dimiliki oleh seseorang atau satu keluarga. Luas batas
maksimum ditentukan per daerah tingkat II dengan memperhatikan faktor
jumlah penduduk, luas daerah, dan sebagainya. Daerah tersebut dibagi
menjadi daerah yang tidak padat dengan pemilikan maksimum 20 hektare,
cukup padat maksimum 9 hektare dan sangaat padat maksimum
pemilikannya 6 hektare.
Tanah absentee, yaitu tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal di
luar kecamatan letak tanah dan kecamatan tersebut letaknya tidak
berbatasan.
Tanah swapraja Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Swapraja berasal
dari kata “Swa” yang berarti; “sendiri” dan “Praja” yang berarti; “kota-
negeri”, Swapraja, berarti daerah yang berpemerintahan sendiri. Dengan
demikian, tanah Swapraja berati daerah yang memiliki Pemerintahan
sendiri. Sebutan swapraja tidak terdapat di dalam Undang-Undang Dasar
1945, dalam penjelasan Pasal 18 disebut; Zelfbesturende Landschappen.
Tanah bekas swapraja, yaitu tanah bekas wilayah kerajaan atau kesultanan,
yang dengan UUPA beralih menjadi tanah negara Republik Indonesia.
Tanah lain yang dikuasai negara merupakan tanah pertanian yang telah
digarap rakyat yang ditegaskan oleh Menteri (sekarang Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN) sebagai obyek landreform adalah :
Tanah yang terkena UU No. 1 Tahun 1958, yaitu tanah partikelir dan
hak eigendom lebih 10 bouw yang di jaman penjajahan dimiliki tuan –
tuan tanah.
Tanah bekas perkebunan (bekas hak erfpacht atau HGU)
Tanah bekas hak ulayat masyarakat hukum adat, bekas tanah kehutanan,
dan tanah negara bebas.
14
Berdasar PP Nomor 224 Tahun 1961 menyebutkan tanah obyek land reform adalah (i) tanah kelebihan
maksimum, (ii) tanah absente, (iii) tanah swapraja dan bekas swapraja, (iv) tanah lain yang dikuasai negara.
(vi) Tanah bekas obyek landreform;
(vii) Tanah timbul;
(viii) Tanah bekas kawasan pertambangan;
(ix) Tanah yang dihibahkan oleh pemerintah;
(x) Tanah tukar menukar dari dan olehpemerintah;
(xi) Tanah yang dibeli oleh pemerintah;
(xii) Tanah pelepasan kawasanhutan produksi konversi;
RESUME KASUS
Persoalan agraria yang menimpa penduduk dengan profesi sebagai petani seolah tidak
ada habisnya, salah satunya dengan persoalan penelantaran tanah di pedesaan yang merupakan
tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis dan tidak berkeadilan bagi para petani yang
biasanya hanyalah pihak yang memanfaatkan lahan milik orang lain untuk dijadikan tempat
menanam dalam rangka mencari penghasilan.
Permasalahan ini adalah permasalahan yang dihadapi oleh petani di Desa Tumbrep,
Kabupaten Batang, Jawa Tengah dalam kurun waktu yang sangat lama, yaitu 17 tahun
terhitung dari tahun 1999 sampai 2016. Masyarakat di Desa Tumbrep, khususnya para petani,
harus melawan PT Perusahaan Perkebunan Tratak (PT Tratak) selama 17 tahun untuk
memperjuangkan haknya menggunakan tanah yang ditelantarkan oleh PT Tratak sebagai lahan
untuk mencari penghasilan. Pada awalnya, PT Tratak adalah perusahaan yang memiliki empat
perkebunan yang lahannya didapatkan dari Mayjend Soeharto pada tahun 1957, terletak di
empat pedukuhan yang berbeda dan salah satunya terletak di Dukuh Cepoko Desa Tumbrep,
luas lahan perkebunannya seluas 89,841 hektare dan kepemilikan lahannya diperoleh dengan
status Hak Guna Usaha (HGU). Perkebunan tersebut dikelola oleh Yap Kiem Loan sebagai
pihak dari PT Tratak dengan baik sampai dengan tahun 1975. Sepeninggalan Yap Kiem Loan,
pengelolaan perkebunan PT Tratak jatuh kepada Soetrisno selaku direktur utama PT Tratak,
namun lahannya tidak dikelola dengan baik sehingga pada tahun 1988 hampir separuh lahan
milik PT Tratak diterlantarkan yang menyebabkan kerugian kepada warga sekitar karena lahan
tersebut dipenuhi hama tanaman masyarakat.
Penelantaran tanah oleh PT Tratak terjadi bukanlah tanpa sebab, hal ini disebabkan oleh
adanya pergantian kepemilikan pada PT Tratak. Pergantian kepemilikan ternyata memberikan
pengaruh kepada tata kelola keuangan dan tata kelola produksi tanah yang cenderung mengarah
pada ketidakefektifan dan tidak efisien. Selain itu, produksi tanah semakin menurun yang
diakibatkan karena tidak adanya rotasi tanaman dan berpengaruh kepada kualitas kopi dan
cengkeh yang dihasilkan. Sejak saat itulah, masyarakat sekitar perkebunan PT Tratak dan
petani yang berkerja di PT Tratak yang terlantar memanfaatkan lahan tersebut untuk menanam
tanaman pangan yang dilakukan dengan sepengetahuan dari pihak Bupati Barang dan personil
PT Tratak, bahkan Bupati Batang telah memberikan rekomendasi untuk pencabutan HGU PT
Tratak. Namun pengaturan dan penataan kembali tanah terkendala dengan tidak dicapainya
kesepakatan tentang distribusi kepemilihan tanah.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) kemudian melakukan pemeriksaan terhadap lahan
HGU milik PT Tratak yang terindikasi terlantar dan ditemukan fakta bahwa dari luas
keselurahan 89,841 hektare hanya 7,40 hektare yang digunakan oleh pemegang haknya,
selebihnya tidak dimanfaatkan dan diusahakan sesuai dengan maksud serta tujuan pemberian
hak. Setelah melakukan penelitian, BPN memberikan peringatan kepada PT Tratak yang pada
intinya BPN memberikan PT Tratak waktu untuk mengusahakan, menggunakan serta
memanfaatkan bidang tanah HGU yang dimilikinya. Namun, peringatan dari BPN tidak
dihiraukan oleh PT Tratak sehingga pada tahun 2013 BPN mengeluarkan surat keputusan yang
berisi penetapan tanah terlantar pada lahan PT Tratak.
Masyarakat sebagai pihak yang mengelola lahan PT Tratak yang diterlantarkan
menuntut untuk mendapatkan sertifikat hak milik atas lahan yang mereka garap selama belasan
tahun. PT Tratak tidak terima dan mengajukan gugatan terhadap BPN dan sejumlah petani
Desa Batang yang pada intinya menyatakan bahwa PT Tratak sebagai pemegang HGU atas
lahan perkebunan di Desa Batang telah mengelola lahan tersebut dengan baik. PT Tratak
berdalih, kemampuan mereka yang hanya dapat mengelola 7,40 hektare disebabakan oleh
adanya gangguan usaha perkebunan dari sekelompok masyarakat sejak tahun 1998 atau dalam
era reformasi hingga gugatan ini diajukan pada tahun 2013. PT Tratak mengatakan bahwa
masyarakat sekitar lahannya melakukan gangguan usaha perkebunan dalam bentuk penguasaan
dan pemanfaatan lahan HGU secara melawan hukum dengan menanam tanaman musiman
berupa ketela pohon, jagung dan sebagian kecil persawahan.
Gugatan dari PT Tratak ditolak seleuruhnya oleh hakim. Hal ini mempermudah langkah
masyarakat untuk mendapatkan hak milik atas tanah yang mereka garap selama ini dan usaha
mereka berbuah manis. Pada bulan Februari 2016, sebanyak 425 kepala keluarga di Desa
Tumbrep mendapatkan sertifikat kepemilikan atas tanah seluas total 70 hektar dengan
pembagian setiap kepala keluarga mendapatkan sekitar 2000 meter persegi. Tanah yang sudah
menjadi hak milik warga tersebut tidak bisa secara semena – mena dijual karena tanah tersebut
termasuk tanah program reformasi agraria. Tanah tersebut baru boleh dijual oleh pemiliknya
setelah tahun ke-11 kepemilikannya atas tanah tersebut dengan syarat dibeli oleh salah satu
dari 425 warga penerima sertifikat reformasi agraria.
BAB IV
ANALISIS DAN PENGURAIANNYA
Kasus antara PT Tratak dan masyarakat Desa Tumbrep merupakan wujud dari
keberhasilan program reformasi agraria. Penyelesaian kasus ini berpedoman kepada Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP Tanah Terlantar), Surat Keputusan Kepala BPN Republik
Indonesia tentang Tanah Terlantar. Keberhasilan program reformasi agrarian dalam kasus ini
tidak terlepas dari implementasi peraturan yang berlaku dengan baik dan benar.
Pasal 33 Undang - Undang Dasar 1945 (UUD 1945) secara eksplisit menyatakan bahwa
bumi, air dan kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmukaran rakyat. Pasal ini bisa dijadikan dasar bagi masyarakat Desa Tumbrep
untuk menuntut hak milik atas tanah yang mereka kelola karena diterlantarkan oleh PT Tratak.
Hal ini sejalan dengan Pasal 34 UUPA yang secara jelas menyatakan bahwa salah satu
penyebab hapusnya HGU adalah karena diterlantarkan.
Kemudian, jika dilihat dari pengaturan yang tertulis pada PP Tanah Terlantar, lahan
HGU PT Tratak memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai tanah terlantar. Pasal 2 PP Tanah
Terlantar mengatur mengenai objek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah
diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Pertimbangan hakim yang mengadili gugatan PT Trakat kepada BPN juga menguatkan
adanya penelantaran oleh PT Trakat. Pada pertimbangannya, hakim membenarkan adanaya
penebangan besar-besaran tanaman dan pohon pada lahan yang tidak diikuti dengan
penanaman kembali oleh PT. Tratak sebagai pemegang HGU terhadap lahan tersebut sehingga
menyebabkan tanah menjadi tidak produktif, tidak terdapat tanaman cengkeh dan kopi sesuai
dengan peruntukannya pada lahan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Pemberian HGU, PT
Tratak telah mensubkontrakan lahan perkebunan kepada perusahaan lain dan PT Tratak telah
menyewakan lahan pihak lain (penggarap) dengan perjanjian bagi hasil. Pertimbangan inilah
yang membuat hakim menyatakan tidak terbukti adanya gangguan kepada lahan Penggugat
dari sekelompok masyarakat.
BPN dalam menentukan bahwa lahan HGU PT Trakat adalah tanah terlantar didasarkan
dengan identifikasi dan penelitian yang didasarkan pada Pasal 4 sampai Pasal 7 PP Tanah
Terlantar. Kewenangan BPN dalam melakukan penertiban terhadap tanah terlantar didasarkan
pada Pasal 17 PP Tanah Terlantar yang menyatakan bahwa pelaksanaan penertiban tanah
terlantar dan pendayagunaan tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan
secara berkala kepada Presiden. Hal ini juga diatur pada Pasal 19 Peraturan Kepala BPN
Nomor 4 Tahun 2010 yang menyatakan :
1. Kepala menetapkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar atas usulan Kepala Kantor
Wilayah;
2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat hapusnya hak atas tanah,
pemutusan hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan bahwa tanah dimaksud
dikuasai langsung oleh Negara. Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Organ yang berwenang dalam
penertiban tanah terlantar adalah panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor
Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah
yang bersangkutan berwenang dalam melakukan identifikasi dan penelitian terhadap
tanah yang terindikasi terlantar sedangkan penetapan tanah terlantar merupakan
kewenangan Kepala BPN.
Setelah tanah tersebut dikatakan sebagai tanah terlantar, BPN memberikan peringatan
sebanyak 3 kali kepada PT Tratak pada tanggal 13 Mei 2011 melalui surat Nomor 3049/16-
500/ V/33/2011, pada tanggal 14 Juni 2011 melalui surat Nomor 3631/16-500/ VI/33/2011,
dan pada tanggal 15 Juli 2011 melalui surat Nomor 4313/16-500/ VII/33/2011. Namun, PT
Trakat tidak menunjukkan adanya upaya untuk mengusahakan, menggunakan serta
memanfaatkan lahannya sehingga Kepala BPN mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
7/PTTHGU/BPN RI/2013 tentang Penetapan Tanah Terlantar yang berasal dari tanah HGU
No. 1/Batang atas nama PT. Tratak.
Penelantaran tanah HGU yang dilakukan oleh PT Traktak telah menimbulkan
kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan.
Tanah terlantar tersebut merupakan salah satu objek reforma agrarian dari pelaksanaan
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).
Dari analisis kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa PT Traktak telah melakukan
penelantaran tanah Hak Guna usaha yang menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi dan
kesejahteraan rakyat dan juga menurunkan kualitas lingkungan. Dengan begitu tanah terlantar
tersebut menjadi salah satu objek reforma agrarian dari Pelaksanan Program Pembaruan
Agraria Nasional (PPAN). Hal ini berdasarkan pasal 9 PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Jadi, dengan hasil gugatan dari PT Traktak ditolak oleh hakim, masyarakat mendapatkan hak
milik tanah yang selama ini mereka kelola. 425 kepala keluarga di desa Tumbrep juga
akhirnya mendapatkan sertifikat kepemilikan tanah dengab total luas tanah 70 hektar dengan
pembagian seluas 2000 meter persegi setiap kepala keluarga.
Daftar Pustaka
Ekonomi Masyarakat” Medan : Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
Shohibuddin, Mohammad. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian
(https://www.academia.edu/9524718/Reforma_Agraria_Sejarah_Konsep_dan_Implementasi,
2019
(https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bb87956d3684/perpres-reforma-agraria-telah-
GBHN 1978 (TAP MPR RI No. IV/MPR/1978), GBHN 1983 (TAP MPR RI NO. II/MPR/1983),
GBHN 1988 (TAP MPR RI No. II/MPR/1988), GBHN 1988 (TAP MPR RI No.
II/MPR/1993), GBHN 1998 (TAP MPR RI No. II/MPR/1998) dan GBHN 1999 (TAP MPR
RI No. IV/MPR/1999)
PP Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian
Ganti Kerugian
ANALISIS HAPUSNYA HGU BERDASARKAN SURAT KEPUTUSAN
PENETAPAN TANAH TERLANTAR DARI BPN : Studi Kasus atas Putusan Nomor:
25/G/2013/PTUN.JKT