Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Fungsinya yang begitu vital
dalam menunjang kehidupan manusia pun telah membuat tanah begitu sering
diperebutkan oleh manusia. Bahkan, hubungan manusia dengan tanah yang kosmis-
magis-religius telah menyebabkan tanah tidak bisa dinilai hanya dari segi ekonomis saja,
tetapi lebih daripada itu. Oleh karena itu, urgensi pengaturan tentang penguasaan
pemilikan tanah telah disadari sejak berabad-abad lamanya oleh negara-negara di dunia.
Dari kajian historis gagasan penataan dan pembagian wilayah atas tanah,
diperkirakan su- dah terjadi sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Istilah ‘landreform’ itu
pertama kali digunakan di Yunani Kuno, sewaktu pemerintahan Solon, 594 tahun
sebelum Masehi. Sedangkan dibentuknya undang-undang reforma agraria yang pertama
kali dimulai pada 486 tahun sebelum Masehi. Undang-undang tersebut menetapkan
bahwa setiap warga negara Romawi berhak memanfaatkan sebagian wilayah negara
(burger gerechtigd zou zijn gebruik te maken van een deel van de nog niet toegewezen
staatsdomeinen). Undang-undang tersebut memberikan batas maksimal bagian tanah
sebanyak-banyaknya “500 iugera” dan pemanfaatan tanah melebihi maksimum, diberikan
kepada rakyat miskin.
Perombakan dan pembaharuan struktur kea- grarian terutama tanah dilakukan untuk
mening- katkan kesejahteraan rakyat terutama rakyat tani yang semula tidak memiliki
lahan olahan/garapan untuk memiliki tanah. Hal ini tak lepas dari ke- nyataan bahwa
berdasarkan sejarah negara-negara di dunia, ternyata ketidakseimbangan pemilikan tanah
(agraria) merupakan hal yang paling banyak menimbulkan masalah dan menyengsarakan
rak- yat. Sebaliknya indikasi sejahtera tidaknya rak- yat di suatu negara ditentukan oleh
adanya peme- rataan pemilikan dan penguasaan agraria negara tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian reformasi agraria?
2. Bagaimana sejarah awal reformasi agraria?
3. Apa tujuan reformasi agraria?
4. Apakah reformasi agraria di Indonesia sudah berdasarkan Pancasila?
C. TUJUAN PENYUSUNAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui pengertian reformasi agraria?
2. Untuk mengetahui sejarah awal reformasi agraria?
3. Untuk mengetahui tujuan reformasi agraria?
4. Untuk mengetahui apakah reformasi agraria di Indonesia sudah berdasarkan

1
Pancasila?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Reforma Agraria


Secara etimologis, kata agraria berasal dari kata bahasa Latinager yang
artinya sebidang tanah(bahasa Inggrisacre).Kata bahasa Latinaggrariusmeliputi arti
yang adahubungannya dengan tanah, pembagian atas tanah terutama tanah umum,
bersifat perdesaan.Katareform merujuk pada perombakan, mengubah dan
menyusun/membentuk kembali sesuatu menuju perbaikan.Dengan demikian
reforma agraria dapat diartikan secara sederhana sebagai penataan kembali struktur
pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani
kecil, penyakap, buruh tani (Rolaswati, tanpa tahun).
Sementara pengertian reforma agrariayang lebih lengkap (Tuma,
1965)adalahsuatu upayasistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat,
dalam jangka waktutertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan
keadilan sosial sertamenjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat ‘baru’
yang demokratis danberkeadilan; yang dimulai dengan langkah menata ulang
penguasaan, penggunaan,dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya,
kemudian disusul dengansejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan
produktivitas petanikhususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya
(Bachriadi, 2007)

Landreform atau Reforma Agraria


Istilah landreform pertama kali dicetuskan oeh Lenin dan banyak digunakan
di negara komunis atau blok timur pada saat itu dengan adagium “land to the tiller”
untuk memikat hati rakyat dan petani yang menderita karena tekanan tuan tanah,
untuk kepentingan politis (Sumaya, 2003).
Tentu saja pemahaman ini berbeda dengan yang dipergunakan di
Indonesia.Pengertian landreform dalam UUPA dan UU Nomor 56 Prp Tahun 1960
merupakan pengertian dalam arti luas sesuai pengertian FAO (Food and
Agriculture Organization) yaitu meliputi program tindakan yang saling
berhubungan yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang di bidang ekonomi,
sosial yang timbul dari kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan
(Hermawan, 2003)
Sementara dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, dijelaskan bahwa landreform
bertujuan
mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani
yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut diharapkan akan dapat
dicapai pembagian hasil yang adil dan merata.
Siregar (2008) menjelaskan landreform sebagai usaha sistematis untuk
memperbaiki hubungan antara manusia dengan tanah yang dirasakan belum
harmonis dan belum mencerminkan keadilan sosial. Usaha perbaikan yang
dilakukan melalui penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah menjadi tatanan keagrarian baru yang dapat menjamin
keadilan, harmoni sosial, produktivitas dan keberlanjutan, berdasarkan prinsip
2
bahwa “tanah pertanian harus dikerjakan dan diusahakan secara aktif oleh
pemiliknya sendiri” (Utami, 2013).
Pelaksanaan landreform dengan demikian bertujuan memperbaiki keadaan
sosial ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan
petani berupa tanah (Utami, 2013). Namun kemudian disadari bahwa dalam banyak
kejadian, petani yang telah memperoleh tanah dari kegiatan landreform kemudian
melepaskan kembali tanahnya karena petani tidak memiliki akses kepada kegiatan
ekonomi, sumber keuangan, manajemen usaha, dan teknologi pertanian. Akibatnya
keberadaan tanah tidak membantu petani meningkatkan kesejahteraannya.
Kondisi ini kemudian mendorong dilaksanakannya konsep reforma agraria,
yaitu landreformdalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah
(reforma aset) yang didukung oleh program penunjang seperti
pengairan,perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya
(reforma akses). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa reforma agraria terdiri
dari 2 (dua) pilar yaitu reforma aset dan reforma akses.
Tuma (1965)menyimpulkan bahwa “landreform” dalam pengertian luas
akhirnya dapatdisamakan dengan reforma agraria, yakni suatu upaya
untukmengubah struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan di
atas.Jadireforma agraria dapat diartikan sebagai landreform plus (Bachriadi, 2007).
I.2 Pentingnya Reforma Agraria
Alasan mendasar reforma agraria dibutuhkan, terutama ketika corak dan
sistem masyarakat masih agraris (Carebesth dan Bahari, 2012), adalah keadilan dan
penghapusan segala bentuk penghisapan.Pembangunan bagaimanapun juga harus
dilandasi rasa keadilan dan pemerataan.Reforma agraria yang salah satu aspeknya
adalah landreform merupakan upaya untuk menciptakan pemerataan sosial-
ekonomi di berbagai lapisan masyarakat di pedesaan.
Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin
meningkat dan berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di
pedesaan, pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang hanya fokus
pada peningkatan produktivitas yang berujung pertumbuhan ekonomi.Sementara
penataan aset produksi malah terabaikan, yang berakibat masyarakat marjinal
semakin terabaikan dan kehilangan akses terhadap tanah.
Kondisi ini yang menimbulkan konflik agraria baik berupa perselisihan
tanah di tingkat rumah tangga petani, meningkatnya penguasaan tanah skala besar,
konversi penggunaan tanah yang tidak terencana, tata ruang yang tidak konsisten
dan tumpang tindih. Hal ini tidak hanya berdampak pada masyarakat secara
langsung tetapi juga pada program pemerintah seperti ketahanan pangan,
perumahan rakyat, dan lingkungan hidup (Shohibudin, 2012).
Menjadi suatu keniscayaan kemudian untuk melaksanakan reforma agraria
sebagai upaya mengatasi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah sebagai
sumber utama permasalahan, yang pada akhirnya bermuara pada pengurangan
kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat seutuhnya.

I.3 Tipe Reforma Agraria


Menurut Fauzi (2008), terdapat
4 (empat) tipe landreform berdasarkan aktor utama Penggeraknya, yaitu
(i) Market-Led Landreform
• Pertimbangan utamanya adalah pencapaian efisiensi/produktivitas secara
ekonomis;

3
• Mengurangi peran negara;
• Petani yang seharusnya menjadi ‘supir’ dalam Reforma Agraria,
sesungguhnya berada di bawah perintah pelaku pasar;
• Nyatanya, ‘terpusat pada pasar’ artinya ‘terpusat pada tuan
tanah/pedagang/perusahaan asing’.
(ii) State-Led Landreform
• Pertimbangan utamanya biasanya berhubungan dengan mengamankan/
men-jaga legitimasi politik, meskipun agenda pembangunan juga penting;
• ‘Komitmen politik yang sangat kuat’ sangat dibutuhkan untuk mewujud-
kan agenda landreform, plus perbaikan akses lainnya;
• Biasanya memperlakukan petani sebagai pelaku yang dibutuhkan secara
administratif;
• Partisipasi pelaku-‐pelaku pasar sangat rendah, kecuali mereka yang terpi-
lih karena lebih memiliki pengaruh dalam kebijakan pemerintah dan elite
pejabatnya.
(iii) Peasant-Led Landreform
• Asumsi utamanya adalah bahwa ‘negara terlalu terbelenggu oleh
kepentingan elit’, sementara kekuatan pasar juga sama dengan kepentingan
elit.
• Dengan demikian, satu satunya cara untuk mencapai reforma agraria y ang
pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandi ri
mengambil insiatif untuk menerapkan reforma agraria.
(iv) Pro-Poor Landreform
• Asumsi utama tidak meromantisasi ‘kemahakuasaan’ petani dan organisasi
mereka; dan juga tidak meromantisasi sifat budiman negara.
• Mendasarkan pada keterkaitan masalah keadilan, produktivitas dankerusak
an lingkungan hidup; serta keberkaitan antara perspektif
yang mampu menjelaskan masalah tersebut;
• Menganalisa negara, gerakan petani dan kekuatan pasar bukan
sebagai kelompokyang terpisah, namun sebagai pelaku yang terhubung sa
tu samalainmelaluicarabagaimanatanahdan kekayaanalam
diperebutkansecarapolitisdanekonomis;
• Memilikitigacirikunci:‘berpusatpadapetani’,‘didorong oleh negara’,
dan meningkatkanproduktivitassecaraekonomis,keadilansosial, dan
pemulihanlingkungan’.

Selain itu juga reforma agraria dapat dikelompokkan berdasar prosesnya,


yaitu (i) radical landreform, tanah milik tuan tanah yang luas diambil alih negara,
dan dibagikan kepada petani tidak bertanah; (ii) land restitution, tanah perkebunan
luas yang berasal dari tanah masyarakat diambil alih negara, kemudian tanah
dikembalikan kepada pemilik asal dengan kompensasi; (iii) land colonization,
pembukaan dan pengembangan daerah baru, kemudian penduduk dari daerah padat
dipindahkan ke daerah baru tersebut, dan diberi tanah dengan luasan tertentu.
Sejenis dengan program trnasmigrasi di Indonesia; (iv) market-based landreform,
dilaksanakan berdasar atau bantuan mekanisme pasar.

D. Sejarah Awal Reforma Agraria

4
Reforma agraria di dunia pertama kali dikenali pada jaman Yunani Kuno di
masa pemerintahan Solon (sekitar 549 SM) yang ditandai dengan diterbitkannya
undang-undang agraria (Seisachtheia).Undang-undang ini diterbitkan untuk
membebaskan Hektemor (petani miskin yang menjadi penyakap/penggarap tanah
gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah digadaikan pada orang kaya) dari
kondisi pemerasan oleh pemegang gadai.Usaha ini dilanjutkan oleh Pisistratus
melalui program redistribusi disertai fasilitas kredit.
Pada belahan dunia lain, di Roma pada jaman Romawi Kuno, telah dimulai
reforma agraria dalam bentuk redistribusi tanah milik umum untuk mencegah
pemberontakan rakyat kecil. UU Agraria (Iex Agrarian) berhasil diterbitkan pada
134 SM yang intinya membatasi penguasaan tanah dan redistribusi tanah milik
umum. Sementara di Inggris, reforma agraria dikenal sebagai enclosure movement,
yaitu pengaplingan tanah pertanian dan padangpengembalaan yang tadinya
disewakan untuk umum menjadi tanah individu.
Gerakan reforma agraria berskala besar pertama kali berlangsung pada saat
Revolusi Perancis (1789) dengan menghancurkan sistem penguasaan tanah
feodal.Tanah dibagikan kepada petani.Tujuan utamanya adalah (i) membebaskan
petani dari perbudakan; (ii) melembagakan usaha tani keluarga yang kecil sebagai
satuan pertanian yang ideal.Gerakan ini berpengaruh luas ke seluruh
Eropa.Terbukti pada tahun 1870 John Stuart Mill membentuk Land Tenure Reform
Association yang mendorong pembentukan sistem penyakapan (tenancy). Bulgaria
relatif lebih maju, pada tahun 1880 telah melakukan reforma agraria yang utuh,
mencakup kegiatan penunjang seperti koperasi kredit, tabungan, dan pembinaan
usaha tani.
Gelombang reforma agraria juga menjangkau Rusia pada saat kaum
komunis merebut kekuasaan di Rusia tahun 1917, yang dikenal dengan Stolypin
Reformsdalam bentuk (i) hak pemilikan tanah pribadi dihapuskan; (ii) penyakapan
atau tenancy (sewa, bagi hasil, gadai dan lainnya) dilarang; (iii) penguasaan tanah
absentee dilarang; (iv) hak garap dan luas hak garapan ditentukan atas kriteria luas
tanah yang benar-benar digarap; (v) menggunakan buruh upahan dilarang.
Tidak terbendung kemudian reforma agraria menjangkau Cina melalui 3
(tiga) program besar pada tahun 1920-1930.Salah satu programnya adalah menata
kembali struktur penguasaan tanah.Program ini mengalami stagnasi ketika dijajah
oleh Jepang (1935-1945), namun dilanjutkan kembali setelah era penjajahan Jepang
dan mencapai puncaknya pada tahun 1959-1961. Tanah milik tuan tanah dibagikan
kepada petani penggarap secara kolektip yang dalam perkembangannya menjadi
milik Negara tetapi petani mempunyai akses sepenuhnya memanfaatkan tanah
tersebut (BPN, 2007). Pelaksanaan landreform di Cina tidak hanya mematahkan
dominasi tuan tanah tetapi juga meningkatkan konsumsi petani dan meningkatkan
tabungan perdesaan.
Reforma agraria terus bergulir, kemudian paska perang dunia II reforma
agraria berlanjut di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Bahkan pada era 1950-
1960 merambah ke Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan masing- masing negara
memiliki cirinya masing-masing.
Salah satu negara yang dipandang berhasil dalam reforma agraria adalah
Jepang. Tanah milik para daimyo diambil alih pemerintah dan dibagikan kepada
penyewa tanah. Pengalaman reforma agraria dimulai pada saat reformasi Meiji dan
mencapai puncaknya pada masa pendudukan Amerika (BPN, 2007).
Salah satu Negara Amerika Latin yang berhasil adalah Venezuela. Ditandai
dengan diterbitkannya undang-undang reforma agrarian pada tahun 1960-an.

5
Namun demikian baru setelah tahun 1999 ketika presiden Hugo Chavez terpilih,
program ini memperoleh kesuksesan. Ini terlaksana karena presiden Chavez
memasukkan reforma agraria ke dalam konstitusi. Selain itu, diperkenalkan juga
prinsip kedaulatan pangan, dan mengutamakan penggunaan tanah dari pemilikan
tanah (BPN, 2007).
Negara Asia lain yang dipandang cukup berhasil adalah Thailand, yang
didukung sepenuhnya oleh Rajanya. Tetapi keberhasilan terbesar dialami oleh
Taiwan yang berdampak pada terjadinya pergeseran struktur pekerjaan dari
pertanian ke industri jasa, dengan pertanian tetap sebagai landasan
pembangunannya (BPN, 2007). Namun demikian, tidak semua negara berhasil
melaksanakan reforma agraria, seperti misalnya Zimbabwe, dikarenakan
menjadikan tanah milik kulit putih sebagai sasaran reforma agraria.
Puncak dari gerakan reforma agraria pada bulan Juli 1979 ketika dilaksanakan
konperensi dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World
Conference on Agrarian Reform and Rural Development) yang diselenggarakan oleh
FAO (Food and Agriculture Organization) PBB di Roma. Konperensi ini menjadi
tonggak penting karena berhasil menelurkan deklarasi prinsip dan program kegiatan
(the Peasants’ charter/Piagam Petani) yang mengakui kemiskinan dan kelaparan
merupakan masalah dunia,serta reforma agraria dan pembangunan perdesaan
dilaksanakan melalui 3 (tiga) bidang yaitu (i) tingkat desa mengikutsertakan lembaga
perdesaan, (ii) di tingkat nasional, reorientasi kebijakan pembangunan; (iii) di tingkat
internasional, mendorong terlaksananya prinsip tata ekonomi internasional baru.

E. Reforma Agraria di Indonesia

Sejarah Awal Reforma Agraria/Landreform


Pengaturan pertanahan di Indonesia sudah dimulai dengan terbentuknya
panitia Agraria Yogyakarta melalui Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948
yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Panitia ini mengusulkan tentang asas
yang akan merupakan dasar hukum agraria, diantaranya adalah (i) pengakuan
adanya hak ulayat, (ii) pembatasan minimum (dua hektar) dan maksimum (10
hektar) tanah pertanian per keluarga, dan (iii) perlunya pendaftaran tanah.
Selanjutnya terbentuk Panitia Agraria Jakarta menggantikan Panitia Yogyakarta
melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951 dengan Ketua Sarimin
Reksodihardjo (kemudian digantikan oleh Singgih Praptodihardjo) yang
menghasilkan keputusan penting yang relatif senada diantaranya adalah (i) batas
minimum pemilikan tanah pertanian (2 hektar) per keluarga; (ii) mengadakan
ketentuan maksimum pemilikan tanah, hak usaha, hak sewa dan hak pakai; (iii)
pengaturan hak ulayat dengan undang-undang.
Berikutnya dikenal pula Panitia Soewahjo yang ditetapkan melalui
Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956 yang diketuai oleh Soewahjo
Soemodilogo. Panitia ini berhasil menyusun naskah rancangan UUPA pada tanggal
1 Januari 1957, diantaranya;

6
Sejarah Kebijakan Pertanahan
Periode 1945 – 1960:
Kebijakan pertanahan periode ini difokuskan pada pembenahan penguasaan dan
pemilikan dari sistem kolonialis menjadi sistem nasional. Dalam periode ini
penguasaan dan kepemilikan asing dinasionalisasi. Dan penguasaan, pemilikan tanah
luas, perdikan, swapraja, partikelir, dan lainnya yang tidak sesuai dengan jiwa
kemerdekaan diatur kembali penggunaan dan penguasaanya oleh negara untuk
kepentingan nasional.
Periode 1960-1967:
Di masa ini, kebijakannya melanjutkan kenijakan yang telah dijalankan sebelumnya,
dalam periode ini kebijakan diarahkan pada distribusi dan redistribusi tanah oleh
negara yang diperuntukkan kepada petani gurem/petani penggarap dan buruh tani.
Periode ini dikenal dengan periode Land Reform.
Periode 1967-1997:
Sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional, pada periode ini
pembangunan pertanahan diarahkan untuk mendukung kebijakan penanaman modal
atau investasi, tanpa meninggalkan kebijakan untuk sertipikasi tanah-tanah golongan
ekonomi lemah.
Periode 1997-2005:

Di awal era reformasi, kebijakan pertanahan lebih diarahkan pada kebijakan-


kebijakan yang langsung menyentuh masyarakat, yang menekankan pada pendaftaran
tanah yang dikuasai/dimiliki golongan-golongan tidak mampu.
Periode 2005-kini:
Pada periode ini, kebijakan pertanahan diarahkan pada "tanah untuk keadilan dan
kesejahteraan rakyat". Periode ini ditandai dengan kebijakan penertiban tanah
terlantar, penyelesaian sengketa, redistribusi tanah, peningkatan legalisasi aset-tanah
masyarakat yang diimplementasikan melalui Reforma Agraria.
Sumber: situs BPN (www.bpn.go.id) diakses pada 24 Nopember 2014.

Landasan Hukum dan Regulasi


Landasan utama reforma agraria (landreform) tercantum dalam UUD 1945
Pasal 33 ayat (3) bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Sehingga secara historis dapat dikatakan bahwa upaya pengaturan pertanahan,
termasuk landreform, di Indonesia telah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan. Hal
ini kemudian ditindaklan-juti melalui UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu (i) tidak
memberlaku-kan lagi hukum agraria kolonial, (ii) membangun hukum agraria nasional.
UUPA juga merupakan undang-undang yang mem-berlakukan reforma agraria yang
ditandai adanya Panca Program Reforma Agraria Indonesia, khususnya program ketiga
yaitu perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan hukum yang
ber-hubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran
dan keadilan, yang dikenal sebagai landreform (Hakim, tanpa tahun)

7
Keterkaitan UUPA dengan landreform tergambarkan jelas pada muatannya,
mulai dari Menimbang hingga Penjelasan UUPA, pasal 1 sampai pasal 19 maupun
ketentuan Konversi (Parlindungan, 1987). Secara umum, materi UUPA yang sangat
erat terkait landreform adalah pasal 7 yang membatasi pemilikan dan penguasaan
tanah, pasal 10 yang mengatur tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri secara aktif,
dan pasal 17 menetapkan batas maksimum luas pemilikan tanah.
Sebagai tindak lanjut dari pasal 7 dan 17 UUPA tentang pembatasan
penguasaan dan pemilikan tanah serta batas maksimum-minimum pemilikan tanah,
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian yang dikenal sebagai UU Landreform. UU ini mengatur 3 (tiga)
masalah pokok yaitu (i) penetapan luas maksimum penguasaan tanah, (ii) gadai
tanah; (iii) luas minimum tanah pertanian.
Selanjutnya dikenali adanya UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya. UU ini merupakan
peraturan pelaksana dari UUPA khususnya Pasal 18 yang menyatakan, bahwa
untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-
undang. UU No. 20 Tahun 1961 ini memberi kewenangan kepada Presiden untuk
mencabut hak atas tanah dengan memberikan ganti kerugian.
Sementara pemberian ganti rugi pada bekas pemilik tanah ditetapkan
melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 yang diubah dengan PP
Nomor 41 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian
Ganti Kerugian.
PP ini diantaranya mengatur obyek dan subyek landreform termasuk lembaga
pendukung landreform. Hal ini membuktikan bahwa landreform di Indonesia pada
dasarnya tidak sekedar redistribusi tanah tetapi juga mengatur tindak lanjut
pembagian tanah tersebut, sehingga tujuannya tidak sekedar pemerataan tetapi juga
peningkatan kesejahteraan petani (Sumaya, 2009).
Selain itu, yang mungkin kurang dikenal sebagai regulasi yang terkait
landreform adalah UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH),
yang melindungi golongan ekonomi lemah (petani penggarap) dari praktek bagi hasil
yang merugikan. Terkait pendaftaran tanah, yang merupakan alat mengendalikan luas
kepemilikan dan penguasaan tanah, diterbitkan PP Nomor 10 Tahun 1961 yang telah
diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Upaya pelaksanaan landreform juga didukung oleh beberapa regulasi
seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman
Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform, Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek
Landreform secara Swadaya, Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
Nomor 2 Tahun 1995 tentang Inventarisasi atas Tanah Terlantar, Tanah Kelebihan
Maksimum dan Tanah Absente Baru, serta Keputusan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 1997 tentang Penertiban Tanah Obyek
Redistribusi Landreform.
Kemudian memasuki era reformasi pada tahun 1998, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR)
Nomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Pada pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan
sumberdaya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan
segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan

8
kemampuan usaha ekonomi kecil, menengah, koperasi dan masyarakat luas
(Shohibuddin, 2009). Tidak banyak yang menyadari bahwa TAP MPR ini yang
mengawali komitmen kita menjalankan reforma agraria, yang ditindaklanjuti oleh
Pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1999
tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam
rangka Pelaksanaan Landreform.
Pada tahun 2001, MPR kembali menelurkan TAP MPR Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam,
yang mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria di Indonesia.
TAP MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, yang
secara jelas mencantumkan langkah-langkah percepatan reforma agraria berupa
penyempurnaan UUPA No 5/1960 dan regulasi lainnya, serta pembangunan sistem
informasi dan manajemen pertanahan.
Baru pada tahun 2006, pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara tegas
sebagai program pemerintah dengan menetapkannya sebagai salah satu fungsi
Badan Pertanahan nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10
Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dari 21 fungsi yang diemban
BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya adalah reformasi agraria. Selain itu,
BPN bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, Perpres ini
merupakan upaya memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan reforma
agraria.
Untuk lebih memudahkan dalam memperoleh tanah sumber redistribusi
kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memberi peluang bagi
penetapan tanah terlantar jika tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau
sifat dan tujuan haknya.

Tujuan Reforma Agraria (Landreform)


Pada masa awal terbitnya UUPA No. 5/1960, landreform bertujuan
mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani
yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut diharapkan akan dapat
dicapai pembagian hasil yang adil dan merata (PP No. 224/1961).
Menteri Agraria Sadjarwo dalam pidato pengantar penyerahan rancangan
UUPA pada tanggal 12 September 1960 menyatakan bahwa tujuan pelaksanaan
landreform di Indonesia adalah (i) mengadakan pembagian yang adil atas sumber
penghidupan rakyat tani berupa tanah; (ii) melaksanakan prinsip tanah untuk
petani, supaya tanah tidak menjadi alat pemerasan; (iii) memperkuat dan
memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia. Suatu
pengakuan dan perlindungan terhadap hak milik; (iv) mengakhiri sistim tuan tanah
dan menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan cara
menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimumuntuk tiap keluarga
(Gautama, 1986).
Namun menurut Zulkarnain (2004), tujuan landreform dapat dikategorikan
dalam 3 (tiga) tujuan yaitu (i) ekonomis, untuk memperbaiki keadaan sosial
ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik rakyat serta memberi fungsi sosial
pada hak milik, memperbaiki produksi nasional khususnya di sektor pertanian guna
mempertinggi taraf hidup rakyat; (ii) politis, mengakhiri sistem tuan tanah dan
menghapuskan pemilikan tanah yang luas, mengadakan pembagian yang adil atas

9
sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah; (iii) psikologis, meningkatkan
kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian
hak, memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dan penggarap.
Berjalannya waktu, kemudian melalui Program Pembaharuan Agraria
Nasional (PPAN) yang dicanangkan sebagai landreform plus, yakni landreform
untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (reforma aset), ditambah dengan reforma akses. Dengan
demikian, tujuan PPAN mencakup (i) menata kembali ketimpangan struktur
penguasaan dan penggunaan tanah kearah yang lebih adil; (ii) mengurangi
kemiskinan; (iii) menciptakan lapangan kerja; (iv) memperbaiki akses rakyat
kepada sumber ekonomi, terutama tanah; (v) mengurangi sengketa dan konflik
pertanahan; (vi) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; (vii)
meningkatkan ketahanan pangan (Shohibuddin, 2009).

Prinsip dan Kebijakan


Pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan
sesuai dengan prinsip-prinsip (pasal 4 TAP MPR IX/2001), yaitu (i) memelihara
dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (ii)
menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; (iii) menghormati
supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi
hukum; (iv) mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas
sumberdaya manusia Indonesia; (v) mengembangkan demokrasi, kepatuhan
hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat; (vi) mewujudkan keadilan
dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan
sumberdaya agraria dan sumberdaya alam; (vii) memelihara keberlanjutan yang
dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun
generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung
lingkungan; (viii) melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; (ix) meningkatkan keterpaduan dan
koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumberdaya alam; (x) mengakui dan menghormati hak masyarakat
hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan
sumberdaya alam; (xi) mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat),
masyarakat dan individu; (xii) melaksanakan desentralisasi berupa pembagian
kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa

Kebijakan pembaruan agraria secara jelas tercantum dalam pasal 5 TAP


MPR No. IX/MPR/2001, yaitu (i) melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agrarian dalam rangka
sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-
undangan yang didasarkan pada prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 6 ketetapan
ini; (ii) melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan,
pemanfaatan tanah (landreform) (P4T) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat; (iii) menyelenggarakan pendataan pertanahan
melalui inventarisasi dan registrasi P4T secara komprehensif dan sistematis dalam
rangka pelaksanaan landreform; (iv) menyelesaikan konflik berkenaan dengan
sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi
konflik di masa datang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan
didasarkan prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 ketetapan ini; (v) memperkuat

10
kelembagaan dan kewenangan dalam rangka mengemban pelaksanaan
pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik yang berkenaan dengan
sumberdaya agraria; (vi) mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan
dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik
sumberdaya agraria yang terjadi.

Tahapan Pelaksanaan
Pelaksanaan landreform di Indonesia dapat dibagi dalam 2 (dua) periode,
yaitu periode pertama (1962-1965) dan periode kedua (setelah 1977). Pada masa
1965-1977, program landreform mengalami stagnasi. Secara yuridis, landreform
telah dimulai sejak berlakunya PP Nomor 224 Tahun 1961, walaupun konkritnya
baru pada tahun 1962.
Pembelajaran: Indonesia
Pembelajaran pelaksanaan landreform dan reforma agraria di
Indonesiadapat dikategorikan dalam 2 tahapan pelaksanaan yaitu sebelum
reformasi dan setelah reformasi.
1) Sebelum Reformasi (sebelum tahun 1998).
Pelaksanaan landreform terkendala oleh setidaknya 2 (hal) mendasar, yaitu (i)
penegak hukum belum memahami sepenuhnya isu agraria, (ii) pemahaman
agraria di kalangan akademisi masih terbatas pada aspek hukumnya saja, sementara
agraria mencakup sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, politik, bahkan pertahanan
dan keamanan (Shohibuddin dan Salim, 2012).
Berdasar pengalaman berhentinya program landreform antara tahun 1965-
1967, dapat disimpulkan bahwa kondisi politik juga dapat mempengaruhi
pelaksanaan program sejenis landreform. Apalagi dengan adanya stigma
landreform adalah produk negara komunis.
Pada saat pemerintah sedang gencar melaksanakan revolusi hijau sebagai
upaya swasembada beras, ternyata membawa konsekuensi akumulasi penguasaan
tanah pada golongan petani tertentu, bahkan bagi petani kecil cenderung berkurang
perannya dalam bidang pertanian (Herawan, 2003). Dengan demikian, kebijakan
pemerintah khususnya dalam bidang pertanian perlu mempertimbangkan
dampaknya terhadap pelaksanaan landreform. Salah satu contoh sejenis adalah
program perkebunan berorientasi ekspor yang membutuhkan lahan yang luas.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan tanah ini, terjadi konflik antara perusahaan
dengan masyarakat terkait status kepemilikan tanah. Masyarakat menjadi korban
karena tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah, walaupun pada
kenyataannya tanah tersebut merupakan tanah adat.

2) Setelah Reformasi (setelah tahun 1998)


Memasuki era pemerintahan SBY, walaupun BPN telah diberi fungsi
melaksanakan reforma agraria dan telah dicanangkan melalui pidato presiden tahun
2007, dan reforma agraria dijalankan secara resmi melalui Program Pembaharuan
Agraria Nasional (PPAN), namun pelaksanaannya hanya terbatas pada
pensertifikatan atas tanah pertanian dan tidak ada redistribusi tanah. Sepertinya
kondisi ini mengulang kegagalan landreform sebelumnya ketika tidak tersedia
tanah yang menjadi obyek landreform, walaupun presiden telah mendeklarasikan
pengalokasian lahan seluas 9,25 juta ha. Akibatnya program PPAN tidak berbeda
dengan program sebelumnya (PRONA dan LARASITA/Layanan Rakyat untuk

11
Sertifikat Tanah), kecuali bahwa proses sertifikasi melalui PPAN tidak dipungut
bayaran.
Walaupun PPAN dianggap cukup berhasil, tetapi pengamat agraria menilai
program ini berjalan lamban disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu (i) program ini
disandarkan pada BPN, sebuah lembaga pemerintah non -kementerian yang dinilai
‘kurang kuat’ untuk menjalankan agenda besar ini; (ii) ego sektor menimbulkan
hambatan birokrasi; (iii) belum tersedia paying hukum pelaksanaan program lintas
sektor; (iv) lemahnya dukungan masyarakat sipil akibat proses yang dianggap
tertutup (KPA, 2009).
Secara lebih lengkap, Rolaswati (tanpa tahun) menyimpulkan terdapat 5
(lima) hal yang menyebabkan belum optimalnya pelaksanaan reforma agraria di
Indonesia, yaitu:
(i) pembaruan agraria pada dasarnya merupakan perubahan struktur sosial,
ekonomi, dan politik masyarakat. Perubahan ini tentunya mendapat
tantangan dari pihak tertentu yang merasa kepentingannya terganggu
khususnya pihak yang memiliki sumber agraria berlimpah dan
memperoleh keuntungan keuangan;
(ii) kekuatan kapitalis global yang secara sistematis dan terencana terus
menggulirkan dan mendesakkan gagasan globalisasi dan pasar bebas
yang tentu saja bertentangan dengan prinsip reforma agraria;
(iii) organisasi nonpemerintah masih belum mampu menjadi kekuatan
pendorong perubahan;
(iv) adanya sikap paranoid terhadap ide reforma agraria/landreform sebagai
bagian dari ideologi komunis;
(v) masih langkanya pakar agraria yang mengakibatkan proses penyadaran
masyarakat menjadi terhambat (OM, disarikan dari berbagai sumber)

12
BAB III
KESIMPULAN

Dalam konteks peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan


rakyat, dapat dikatakan hampir semua negara industri maju telah melakukan reforma
agraria sebelum melaksanakan industrialisasinya. Diharapkan di Indonesia Reformasi
Agraria diharapkan berdasarkan Pancasila dan lebih berpihak pada kepentingan rakyat.
Dapat disimpulkan bahwa kunci keberhasilan reforma agraria adalah (i)
komitmen kuat dari pemerintah dan pimpinan tertinggi Negara; (ii) tersedianya data
dan informasi yang lengkap; (iii) didukung parlemen; (iv) partisipasi semua pemangku
kepentingan; (v) dipersiapkan secara matang dan dilaksanakan secara konsisten dan
bertahap.

13

Anda mungkin juga menyukai