PENDAHULUAN
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian reformasi agraria?
2. Bagaimana sejarah awal reformasi agraria?
3. Apa tujuan reformasi agraria?
4. Apakah reformasi agraria di Indonesia sudah berdasarkan Pancasila?
C. TUJUAN PENYUSUNAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui pengertian reformasi agraria?
2. Untuk mengetahui sejarah awal reformasi agraria?
3. Untuk mengetahui tujuan reformasi agraria?
4. Untuk mengetahui apakah reformasi agraria di Indonesia sudah berdasarkan
1
Pancasila?
BAB II
PEMBAHASAN
3
• Mengurangi peran negara;
• Petani yang seharusnya menjadi ‘supir’ dalam Reforma Agraria,
sesungguhnya berada di bawah perintah pelaku pasar;
• Nyatanya, ‘terpusat pada pasar’ artinya ‘terpusat pada tuan
tanah/pedagang/perusahaan asing’.
(ii) State-Led Landreform
• Pertimbangan utamanya biasanya berhubungan dengan mengamankan/
men-jaga legitimasi politik, meskipun agenda pembangunan juga penting;
• ‘Komitmen politik yang sangat kuat’ sangat dibutuhkan untuk mewujud-
kan agenda landreform, plus perbaikan akses lainnya;
• Biasanya memperlakukan petani sebagai pelaku yang dibutuhkan secara
administratif;
• Partisipasi pelaku-‐pelaku pasar sangat rendah, kecuali mereka yang terpi-
lih karena lebih memiliki pengaruh dalam kebijakan pemerintah dan elite
pejabatnya.
(iii) Peasant-Led Landreform
• Asumsi utamanya adalah bahwa ‘negara terlalu terbelenggu oleh
kepentingan elit’, sementara kekuatan pasar juga sama dengan kepentingan
elit.
• Dengan demikian, satu satunya cara untuk mencapai reforma agraria y ang
pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandi ri
mengambil insiatif untuk menerapkan reforma agraria.
(iv) Pro-Poor Landreform
• Asumsi utama tidak meromantisasi ‘kemahakuasaan’ petani dan organisasi
mereka; dan juga tidak meromantisasi sifat budiman negara.
• Mendasarkan pada keterkaitan masalah keadilan, produktivitas dankerusak
an lingkungan hidup; serta keberkaitan antara perspektif
yang mampu menjelaskan masalah tersebut;
• Menganalisa negara, gerakan petani dan kekuatan pasar bukan
sebagai kelompokyang terpisah, namun sebagai pelaku yang terhubung sa
tu samalainmelaluicarabagaimanatanahdan kekayaanalam
diperebutkansecarapolitisdanekonomis;
• Memilikitigacirikunci:‘berpusatpadapetani’,‘didorong oleh negara’,
dan meningkatkanproduktivitassecaraekonomis,keadilansosial, dan
pemulihanlingkungan’.
4
Reforma agraria di dunia pertama kali dikenali pada jaman Yunani Kuno di
masa pemerintahan Solon (sekitar 549 SM) yang ditandai dengan diterbitkannya
undang-undang agraria (Seisachtheia).Undang-undang ini diterbitkan untuk
membebaskan Hektemor (petani miskin yang menjadi penyakap/penggarap tanah
gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah digadaikan pada orang kaya) dari
kondisi pemerasan oleh pemegang gadai.Usaha ini dilanjutkan oleh Pisistratus
melalui program redistribusi disertai fasilitas kredit.
Pada belahan dunia lain, di Roma pada jaman Romawi Kuno, telah dimulai
reforma agraria dalam bentuk redistribusi tanah milik umum untuk mencegah
pemberontakan rakyat kecil. UU Agraria (Iex Agrarian) berhasil diterbitkan pada
134 SM yang intinya membatasi penguasaan tanah dan redistribusi tanah milik
umum. Sementara di Inggris, reforma agraria dikenal sebagai enclosure movement,
yaitu pengaplingan tanah pertanian dan padangpengembalaan yang tadinya
disewakan untuk umum menjadi tanah individu.
Gerakan reforma agraria berskala besar pertama kali berlangsung pada saat
Revolusi Perancis (1789) dengan menghancurkan sistem penguasaan tanah
feodal.Tanah dibagikan kepada petani.Tujuan utamanya adalah (i) membebaskan
petani dari perbudakan; (ii) melembagakan usaha tani keluarga yang kecil sebagai
satuan pertanian yang ideal.Gerakan ini berpengaruh luas ke seluruh
Eropa.Terbukti pada tahun 1870 John Stuart Mill membentuk Land Tenure Reform
Association yang mendorong pembentukan sistem penyakapan (tenancy). Bulgaria
relatif lebih maju, pada tahun 1880 telah melakukan reforma agraria yang utuh,
mencakup kegiatan penunjang seperti koperasi kredit, tabungan, dan pembinaan
usaha tani.
Gelombang reforma agraria juga menjangkau Rusia pada saat kaum
komunis merebut kekuasaan di Rusia tahun 1917, yang dikenal dengan Stolypin
Reformsdalam bentuk (i) hak pemilikan tanah pribadi dihapuskan; (ii) penyakapan
atau tenancy (sewa, bagi hasil, gadai dan lainnya) dilarang; (iii) penguasaan tanah
absentee dilarang; (iv) hak garap dan luas hak garapan ditentukan atas kriteria luas
tanah yang benar-benar digarap; (v) menggunakan buruh upahan dilarang.
Tidak terbendung kemudian reforma agraria menjangkau Cina melalui 3
(tiga) program besar pada tahun 1920-1930.Salah satu programnya adalah menata
kembali struktur penguasaan tanah.Program ini mengalami stagnasi ketika dijajah
oleh Jepang (1935-1945), namun dilanjutkan kembali setelah era penjajahan Jepang
dan mencapai puncaknya pada tahun 1959-1961. Tanah milik tuan tanah dibagikan
kepada petani penggarap secara kolektip yang dalam perkembangannya menjadi
milik Negara tetapi petani mempunyai akses sepenuhnya memanfaatkan tanah
tersebut (BPN, 2007). Pelaksanaan landreform di Cina tidak hanya mematahkan
dominasi tuan tanah tetapi juga meningkatkan konsumsi petani dan meningkatkan
tabungan perdesaan.
Reforma agraria terus bergulir, kemudian paska perang dunia II reforma
agraria berlanjut di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Bahkan pada era 1950-
1960 merambah ke Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan masing- masing negara
memiliki cirinya masing-masing.
Salah satu negara yang dipandang berhasil dalam reforma agraria adalah
Jepang. Tanah milik para daimyo diambil alih pemerintah dan dibagikan kepada
penyewa tanah. Pengalaman reforma agraria dimulai pada saat reformasi Meiji dan
mencapai puncaknya pada masa pendudukan Amerika (BPN, 2007).
Salah satu Negara Amerika Latin yang berhasil adalah Venezuela. Ditandai
dengan diterbitkannya undang-undang reforma agrarian pada tahun 1960-an.
5
Namun demikian baru setelah tahun 1999 ketika presiden Hugo Chavez terpilih,
program ini memperoleh kesuksesan. Ini terlaksana karena presiden Chavez
memasukkan reforma agraria ke dalam konstitusi. Selain itu, diperkenalkan juga
prinsip kedaulatan pangan, dan mengutamakan penggunaan tanah dari pemilikan
tanah (BPN, 2007).
Negara Asia lain yang dipandang cukup berhasil adalah Thailand, yang
didukung sepenuhnya oleh Rajanya. Tetapi keberhasilan terbesar dialami oleh
Taiwan yang berdampak pada terjadinya pergeseran struktur pekerjaan dari
pertanian ke industri jasa, dengan pertanian tetap sebagai landasan
pembangunannya (BPN, 2007). Namun demikian, tidak semua negara berhasil
melaksanakan reforma agraria, seperti misalnya Zimbabwe, dikarenakan
menjadikan tanah milik kulit putih sebagai sasaran reforma agraria.
Puncak dari gerakan reforma agraria pada bulan Juli 1979 ketika dilaksanakan
konperensi dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World
Conference on Agrarian Reform and Rural Development) yang diselenggarakan oleh
FAO (Food and Agriculture Organization) PBB di Roma. Konperensi ini menjadi
tonggak penting karena berhasil menelurkan deklarasi prinsip dan program kegiatan
(the Peasants’ charter/Piagam Petani) yang mengakui kemiskinan dan kelaparan
merupakan masalah dunia,serta reforma agraria dan pembangunan perdesaan
dilaksanakan melalui 3 (tiga) bidang yaitu (i) tingkat desa mengikutsertakan lembaga
perdesaan, (ii) di tingkat nasional, reorientasi kebijakan pembangunan; (iii) di tingkat
internasional, mendorong terlaksananya prinsip tata ekonomi internasional baru.
6
Sejarah Kebijakan Pertanahan
Periode 1945 – 1960:
Kebijakan pertanahan periode ini difokuskan pada pembenahan penguasaan dan
pemilikan dari sistem kolonialis menjadi sistem nasional. Dalam periode ini
penguasaan dan kepemilikan asing dinasionalisasi. Dan penguasaan, pemilikan tanah
luas, perdikan, swapraja, partikelir, dan lainnya yang tidak sesuai dengan jiwa
kemerdekaan diatur kembali penggunaan dan penguasaanya oleh negara untuk
kepentingan nasional.
Periode 1960-1967:
Di masa ini, kebijakannya melanjutkan kenijakan yang telah dijalankan sebelumnya,
dalam periode ini kebijakan diarahkan pada distribusi dan redistribusi tanah oleh
negara yang diperuntukkan kepada petani gurem/petani penggarap dan buruh tani.
Periode ini dikenal dengan periode Land Reform.
Periode 1967-1997:
Sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional, pada periode ini
pembangunan pertanahan diarahkan untuk mendukung kebijakan penanaman modal
atau investasi, tanpa meninggalkan kebijakan untuk sertipikasi tanah-tanah golongan
ekonomi lemah.
Periode 1997-2005:
7
Keterkaitan UUPA dengan landreform tergambarkan jelas pada muatannya,
mulai dari Menimbang hingga Penjelasan UUPA, pasal 1 sampai pasal 19 maupun
ketentuan Konversi (Parlindungan, 1987). Secara umum, materi UUPA yang sangat
erat terkait landreform adalah pasal 7 yang membatasi pemilikan dan penguasaan
tanah, pasal 10 yang mengatur tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri secara aktif,
dan pasal 17 menetapkan batas maksimum luas pemilikan tanah.
Sebagai tindak lanjut dari pasal 7 dan 17 UUPA tentang pembatasan
penguasaan dan pemilikan tanah serta batas maksimum-minimum pemilikan tanah,
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian yang dikenal sebagai UU Landreform. UU ini mengatur 3 (tiga)
masalah pokok yaitu (i) penetapan luas maksimum penguasaan tanah, (ii) gadai
tanah; (iii) luas minimum tanah pertanian.
Selanjutnya dikenali adanya UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya. UU ini merupakan
peraturan pelaksana dari UUPA khususnya Pasal 18 yang menyatakan, bahwa
untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-
undang. UU No. 20 Tahun 1961 ini memberi kewenangan kepada Presiden untuk
mencabut hak atas tanah dengan memberikan ganti kerugian.
Sementara pemberian ganti rugi pada bekas pemilik tanah ditetapkan
melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 yang diubah dengan PP
Nomor 41 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian
Ganti Kerugian.
PP ini diantaranya mengatur obyek dan subyek landreform termasuk lembaga
pendukung landreform. Hal ini membuktikan bahwa landreform di Indonesia pada
dasarnya tidak sekedar redistribusi tanah tetapi juga mengatur tindak lanjut
pembagian tanah tersebut, sehingga tujuannya tidak sekedar pemerataan tetapi juga
peningkatan kesejahteraan petani (Sumaya, 2009).
Selain itu, yang mungkin kurang dikenal sebagai regulasi yang terkait
landreform adalah UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH),
yang melindungi golongan ekonomi lemah (petani penggarap) dari praktek bagi hasil
yang merugikan. Terkait pendaftaran tanah, yang merupakan alat mengendalikan luas
kepemilikan dan penguasaan tanah, diterbitkan PP Nomor 10 Tahun 1961 yang telah
diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Upaya pelaksanaan landreform juga didukung oleh beberapa regulasi
seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman
Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform, Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek
Landreform secara Swadaya, Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
Nomor 2 Tahun 1995 tentang Inventarisasi atas Tanah Terlantar, Tanah Kelebihan
Maksimum dan Tanah Absente Baru, serta Keputusan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 1997 tentang Penertiban Tanah Obyek
Redistribusi Landreform.
Kemudian memasuki era reformasi pada tahun 1998, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR)
Nomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Pada pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan
sumberdaya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan
segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan
8
kemampuan usaha ekonomi kecil, menengah, koperasi dan masyarakat luas
(Shohibuddin, 2009). Tidak banyak yang menyadari bahwa TAP MPR ini yang
mengawali komitmen kita menjalankan reforma agraria, yang ditindaklanjuti oleh
Pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1999
tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam
rangka Pelaksanaan Landreform.
Pada tahun 2001, MPR kembali menelurkan TAP MPR Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam,
yang mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria di Indonesia.
TAP MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, yang
secara jelas mencantumkan langkah-langkah percepatan reforma agraria berupa
penyempurnaan UUPA No 5/1960 dan regulasi lainnya, serta pembangunan sistem
informasi dan manajemen pertanahan.
Baru pada tahun 2006, pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara tegas
sebagai program pemerintah dengan menetapkannya sebagai salah satu fungsi
Badan Pertanahan nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10
Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dari 21 fungsi yang diemban
BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya adalah reformasi agraria. Selain itu,
BPN bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, Perpres ini
merupakan upaya memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan reforma
agraria.
Untuk lebih memudahkan dalam memperoleh tanah sumber redistribusi
kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memberi peluang bagi
penetapan tanah terlantar jika tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau
sifat dan tujuan haknya.
9
sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah; (iii) psikologis, meningkatkan
kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian
hak, memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dan penggarap.
Berjalannya waktu, kemudian melalui Program Pembaharuan Agraria
Nasional (PPAN) yang dicanangkan sebagai landreform plus, yakni landreform
untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (reforma aset), ditambah dengan reforma akses. Dengan
demikian, tujuan PPAN mencakup (i) menata kembali ketimpangan struktur
penguasaan dan penggunaan tanah kearah yang lebih adil; (ii) mengurangi
kemiskinan; (iii) menciptakan lapangan kerja; (iv) memperbaiki akses rakyat
kepada sumber ekonomi, terutama tanah; (v) mengurangi sengketa dan konflik
pertanahan; (vi) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; (vii)
meningkatkan ketahanan pangan (Shohibuddin, 2009).
10
kelembagaan dan kewenangan dalam rangka mengemban pelaksanaan
pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik yang berkenaan dengan
sumberdaya agraria; (vi) mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan
dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik
sumberdaya agraria yang terjadi.
Tahapan Pelaksanaan
Pelaksanaan landreform di Indonesia dapat dibagi dalam 2 (dua) periode,
yaitu periode pertama (1962-1965) dan periode kedua (setelah 1977). Pada masa
1965-1977, program landreform mengalami stagnasi. Secara yuridis, landreform
telah dimulai sejak berlakunya PP Nomor 224 Tahun 1961, walaupun konkritnya
baru pada tahun 1962.
Pembelajaran: Indonesia
Pembelajaran pelaksanaan landreform dan reforma agraria di
Indonesiadapat dikategorikan dalam 2 tahapan pelaksanaan yaitu sebelum
reformasi dan setelah reformasi.
1) Sebelum Reformasi (sebelum tahun 1998).
Pelaksanaan landreform terkendala oleh setidaknya 2 (hal) mendasar, yaitu (i)
penegak hukum belum memahami sepenuhnya isu agraria, (ii) pemahaman
agraria di kalangan akademisi masih terbatas pada aspek hukumnya saja, sementara
agraria mencakup sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, politik, bahkan pertahanan
dan keamanan (Shohibuddin dan Salim, 2012).
Berdasar pengalaman berhentinya program landreform antara tahun 1965-
1967, dapat disimpulkan bahwa kondisi politik juga dapat mempengaruhi
pelaksanaan program sejenis landreform. Apalagi dengan adanya stigma
landreform adalah produk negara komunis.
Pada saat pemerintah sedang gencar melaksanakan revolusi hijau sebagai
upaya swasembada beras, ternyata membawa konsekuensi akumulasi penguasaan
tanah pada golongan petani tertentu, bahkan bagi petani kecil cenderung berkurang
perannya dalam bidang pertanian (Herawan, 2003). Dengan demikian, kebijakan
pemerintah khususnya dalam bidang pertanian perlu mempertimbangkan
dampaknya terhadap pelaksanaan landreform. Salah satu contoh sejenis adalah
program perkebunan berorientasi ekspor yang membutuhkan lahan yang luas.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan tanah ini, terjadi konflik antara perusahaan
dengan masyarakat terkait status kepemilikan tanah. Masyarakat menjadi korban
karena tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah, walaupun pada
kenyataannya tanah tersebut merupakan tanah adat.
11
Sertifikat Tanah), kecuali bahwa proses sertifikasi melalui PPAN tidak dipungut
bayaran.
Walaupun PPAN dianggap cukup berhasil, tetapi pengamat agraria menilai
program ini berjalan lamban disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu (i) program ini
disandarkan pada BPN, sebuah lembaga pemerintah non -kementerian yang dinilai
‘kurang kuat’ untuk menjalankan agenda besar ini; (ii) ego sektor menimbulkan
hambatan birokrasi; (iii) belum tersedia paying hukum pelaksanaan program lintas
sektor; (iv) lemahnya dukungan masyarakat sipil akibat proses yang dianggap
tertutup (KPA, 2009).
Secara lebih lengkap, Rolaswati (tanpa tahun) menyimpulkan terdapat 5
(lima) hal yang menyebabkan belum optimalnya pelaksanaan reforma agraria di
Indonesia, yaitu:
(i) pembaruan agraria pada dasarnya merupakan perubahan struktur sosial,
ekonomi, dan politik masyarakat. Perubahan ini tentunya mendapat
tantangan dari pihak tertentu yang merasa kepentingannya terganggu
khususnya pihak yang memiliki sumber agraria berlimpah dan
memperoleh keuntungan keuangan;
(ii) kekuatan kapitalis global yang secara sistematis dan terencana terus
menggulirkan dan mendesakkan gagasan globalisasi dan pasar bebas
yang tentu saja bertentangan dengan prinsip reforma agraria;
(iii) organisasi nonpemerintah masih belum mampu menjadi kekuatan
pendorong perubahan;
(iv) adanya sikap paranoid terhadap ide reforma agraria/landreform sebagai
bagian dari ideologi komunis;
(v) masih langkanya pakar agraria yang mengakibatkan proses penyadaran
masyarakat menjadi terhambat (OM, disarikan dari berbagai sumber)
12
BAB III
KESIMPULAN
13