Anda di halaman 1dari 9

KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN DAN SUMBER DAYA ALAM

DI SUMATERA BARAT
Baginda Parsaulian

Pendahuluan
Seperti diketahui bahwa tanah memiliki dua sisi perspektif, yaitu sebagai
barang ekonomi, dan objek budaya yang memiliki nilai ikatan spiritual (Husein,
2014). Sebagai barang ekonomi, tanah atau lahan dapat dimanfaatkan secara langsung
untuk penghidupan, baik untuk pertanian, permukiman, usaha, fasilitas publik dan
sebagainya. Di sisi lainnya, lahan dapat dialihkan status kepemilikannya dari satu
orang/lembaga ke orang/lembaga lainnya, atau dengan kata lain, lahan sebagai objek
yang dapat diperjualbelikan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Oleh karena
lahan sebagai objek yang dapat dialihkan statusnya atau diperjualbelikan, dan dapat
dialihfungsikan dari pertanian ke non-pertanian, hal ini yang menjadi titik dasar
terjadinya permasalahan pertanahan hampir di seluruh negara di dunia.
Pengertian land reformmenurut Cohen (1978) adalah redistribusi tanah sebagai
upaya perbaikan struktur penguasaan dan kepemilikan lahan di tengah masyarakat
sehingga kemajuan dapat diraih dan lebih menjamin keadilan.Adapun reformasi
agraria adalah suatu upaya yang sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif
cepat dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraandan
keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat “baru”
yang demokratis dan berkeadilan yang mulai dengan langkah menata ulang
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya,
kemudian disusul oleh sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan
produktivitas petani khususnya dan masyarakat pada umumnya (Bachriadi, 2007).
Berdasarkan kedua pengertian tersebut, terjadi perbedaan pengertian antaraland
reform dan reformasi agraria yang diterapkan di Indonesia. Reformasi agraria di
Indonesia di mulai pada tahun1948 dengan dibentuknya Panitia Agraria Yogyakarta
melalui Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948. Selanjutnya, perjuangan untuk
mensahkan regulasi tentang agraria terus dilakukan, dan akhirnya pada tahun 1960
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) disahkan menjadi Undang-undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria tanggal 24 September
1960.Baik landr eform ataupun reformasi agraria lebih cenderung pada satu konsep,
yaitu redistribusi penguasaan dan pemilikan tanah yang berkeadilan.
Sejarah Land Reformpertama kali dilakukan di jamanYunani Kunopada
pemerintahan Solon, 594 tahun Sebelum Masehi( Heryanti, 2011). Selanjutnya,
melalui tonggak-tonggak sejarah: “land reform”berhasil diterapkandi jaman Romawi
Kuno (134 SM) oleh Tiberius Gracchus; gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian
oleh peternak di Inggris, selama ±5 abad; dan Revolusi Perancis (1789–1799), maka
sejak itu hampir semua negara-negara di Eropa melakukan“land reform”. Apalagi
setelah Perang Dunia Kedua,terjadi pembaharuan pertanahan di dunia.Dalam
perkembangannya reforma agraria mengalami perkembangan danperubahan dimana
ada negara yang berhasil dan membawa perubahan dalam perkembangan
pembangunan dalam negaranya namun ada pula yang gagal. Selanjutnya,
programland reformpertama kali dipopulerkan oleh Amerika Serikat melalui Bank
Dunia, yang kemudian menyebar ke Asia,Afrika, dan Amerika Latin.

1
Permasalahan yang muncul berikutnya adalah kesenjangan dalam kepemilikan
lahan. Orang-orang berkapital melakukan akuisisi atas lahan-lahan yang dimiliki oleh
orang-orang yang tergolong miskin atau berketidakmampuan, sehingga terjadinya
ketimpangan atas distribusi lahan. Berbicara mengenai pertanian, tidak terlepas dari
lahan. Lahan merupakan faktor utama dalam pengembangan pertanian. Sebagai
negara agraris yang memiliki serapan tenaga kerja terbanyak dibandingkan sektor
ekonomi lainnya, sektor pertanian menjadi salah satu tumpuan pembangunan
nasional, khususnya dalam penyediaan pangan. Pasokan pangan lokal menjadi
tumpuan bagi penyediaan pangan nasional. Namun, seiring dengan peningkatan
jumlah penduduk, peningkatan aktivitas ekonomi, serta peningkatan kebutuhan
pangan menyebabkan upaya mencapai ketahanan pangan nasional di masa mendatang
menjadi semakin berat. Apalagi ditunjang dengan kenyataan bahwa penyediaan
pangan lokal belum mampu memenuhi permintaan pangan nasional. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya permintaan dan turun naiknya produksi dan
produktivitas pangan nasional. Dengan kata lain, produksi pangan sangat dipengaruhi
iklim, apalagi sekarang ini pertanian dihadapkan pada fenomena iklim yang tidak
menentu sebagai akibat terjadinya perubahan iklim (climate change). Tantangan
berikutnya yang harus dihadapi oleh sektor pertanian adalah semakin tergerusnya
lahan-lahan pertanian oleh aktivitas ekonomi manusia, terutama untuk permukiman,
pembangunan infrastruktur (jalan, bendungan, dan sebagainya), ataupun industri.
Pembangunan yang terus dilaksanakan menyebabkan banyak lahan pertanian yang
harus beralih fungsi menjadi non-pertanian. Alih fungsi lahan semakin masif terjadi di
wilayah perkotaan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa selama
periode Juni 1998-Juni 2003, terjadi konversi lahan sawah menjadi lahan bukan
pertanian mencapai sekitar 12,7 ribu ha, sementara konversi dari lahan pertanian
bukan sawah menjadi lahan non pertanian mencapai sekitar hampir 30 ribu ha. Harga
lahan yang cukup tinggi menjadi salah satu faktor pemicu para petani untuk melepas
kepemilikan lahannya ke investor untuk dialihfungsikan. Artinya, motif ekonomi
menjadi penyebab utama dari alih fungsi lahan. Adapun petaninya itu sendiri
memanfaatkan hasil penjualan lahannya tersebut dalam berbagai keperluan, seperti
pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, warisan, membeli lahan baru di
wilayah yang jauh dari perkotaan, dan sebagainya.
Akibatnya keadaan ini menyebabkan kemampuan lahan pertanian untuk
memenuhi kebutuhan makanan bagi penduduk semakin berkurang. Apabila hal ini
dibiarkan, maka akan terjadi penurunan produksi pangan, khususnya padi. Akibatnya,
kemampuan produksi pangan lokal semakin tidak mampu memenuhi tekanan demand
pangan yang cukup tinggi, selanjutnya pemerintah akan melakukan impor atas
komoditas pangan. Dampak berikutnya adalah semakin besar anggaran pemerintah
untuk pengadaan pangan impor atau terjadinya pengeluaran sumber daya kapital ke
luar negeri (capital flight).

Peran Pemerintah Melalui Kebijakan


Menyadari kondisi yang semakin mengkhawatirkan atas konversi lahan
tersebut, Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan lahirnya Undang-
Undang No.41/2009 Tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Undang-undang ini diharapkan dapat menahan laju konversi lahan sawah khususnya
sawah dengan irigasi teknis sehingga dapat menopang ketahanan pangan nasional. Di
samping itu, pemerintah akan memiliki lahan pertanian abadi dalam rangka
penyediaan pangan karena di dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa lahan-
lahan yang termasuk di dalam kategori lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B)

2
tidak dapat dialihfungsikan ke peruntukan lain. Dengan kata lain, pemerintah tidak
akan memberi rekomendasi alih fungsi atas tanah yang telah ditetapkan sebagai lahan
LP2B. Dengan diterbitkannya undang-undang ini, pemerintah berharap dapat
melindungi lahan-lahan pertanian pangan dari konversi lahan dan menjadikan lahan
tersebut menjadi lahan abadi bagi pertanian. Namun, tentunya undang-undang ini
tidak dapat berjalan dengan baik apabila petani sebagai pemilik lahan tidak
mengetahui keberadaan dari undang-undang tersebut.
Guna memperkuat kedudukan UU No.41/2009, selanjutnya pemerintah
mengeluarkan peraturan perundangan yang berfungsi memperjelas fungsi dan
kedudukan dari undangundang tersebut, yaitu (i) PP No.1/2011 Tentang Penetapan
dan alih Fungsi Lahan Pertanian; (ii) PP No.12/2012 Tentang Insentif Perlindungan
Lahan; (iii) PP No.25/2012 Tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan; dan (iv) PP No.30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peraturan perundangan tentang alih fungsi lahan di
lahan LP2B hanya dapat dilakukan untuk kepentingan publik saja sedangkan alih
fungsi lainnya tidak diperkenankan. Peraturan tentang insentif dimaksudkan bahwa
pemerintah memberikan insentif kepada lahan pertanian yang terkena LP2B berupa
perbaikan prasarana dan sarana serta bantuan input produksi sampai dengan pasca
panen, misalnya jaminan harga. Sedangkan peraturan tentang sistem informasi LP2B
dimaksudkan untuk memberikan arahan bahwa penetapan LP2B harus dapat diakses
ataupun diinformasikan ke masyarakat. Adapun peraturan tentang pembiayaan pada
dasarnya menjelaskan kegiatan-kegiatan LP2B yang didanai serta sumber
pendanaannya.Peraturan perundangan terkait dengan LP2B ini masih dapat dikatakan
relevan dengan prioritas Nawa Cita yang disebutkan di dalam RPJMN Tahun 2015-
2019. Pada Nawa Cita ke-5 disebutkan bahwa “Meningkatkan kualitas hidup manusia
dan masyarakat Indonesia”. Artinya, salah satu wujud dari peningkatan kualitas hidup
adalah dengan peningkatan kesejahteraan penduduk. Peningkatan kesejahteraan hidup
petani lebih dikaitkan pada penguasaan lahan pertanian. Oleh karena itu, prioritas ini
masih memiliki relevansi dengan upaya perlindungan petani melalui LP2B.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa lahan atau tanah
memiliki dua perspektif, yaitu sebagai objek ekonomi dan objek budaya. Sebagai
objek ekonomi, lahan menjadi barang yang dapat dialihkan status kepemilikan dan
penguasaannya atau dapat diperjualbelikan karena memiliki nilai tukar. Tanah
seringkali dijadikan sebagai barang tabungan karena nilai objek tersebut tidak pernah
turun bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, perorangan
yang memiliki lahan yang cukup luas berarti orang tersebut dapat dikatakan kaya.
Teori yang berkaitan erat dengan alih fungsi lahan adalah teori lokasi. Dalam
laporan ini, ada dua teori yang diungkap, yaitu teori Weber dan Losch. Kedua teori ini
memiliki prinsip yang sama dalam penentuan lokasi adalah adanya biaya terkecil.
Penentuan lokasi merupakan salah satu aspek penting dalam perencanaan pra-
produksi sebab pemilihan lokasi yang salah akan berdampak pada ketidakberhasilan
usaha pertanian bahkan bisa menimbulkan kebangkrutan pada usaha yang telah
diinvestasikan. Untuk usaha agribisnis yang berskala kecil mungkin saja pemilihan
lokasi bukan merupakan prioritas utama karena umumnya produksi dilakukan di
daerah domisili para petani. Akan tetapi, jika usaha agribisnisnya berskala besar,
seperti dalam bentuk perusahaan, yang dikelola oleh perusahaan dengan modal
investasi yang cukup besar, maka aspek lokasi mempunyai pengaruh yang cukup
besar terhadap keberhasilan dan kesinambungan usaha.
Pengambilan keputusan tentang penentuan lokasi usaha oleh perusahaan
terkait dengan memaksimalkan keuntungan yang akan diperoleh terutama dalam

3
meminimalisasi biaya produksi (cost of production) dan biaya transportasi. Ada tiga
hal yang menjadi pertimbangan perusahaan dalam menentukan lokasi, yaitu
kemudahan dalam pengumpulan input produksi, proses produksi, dan pemasaran
(Budiharsono, 1988). Pertama, pertimbangan kemudahan dalam input produksi lebih
ditekankan pada kedekatan lokasi dengan sumber input produksi dan tenaga kerja.
Ada dua sumber input produksi, yaitu input lokal dan input yang dapat ditransfer.
Input lokal adalah semua barang dan jasa yang menjadi potensi sumberdaya dari
lokasi tersebut. Input lokal ini tentunya didukung oleh faktor-faktor lain sehingga
potensi sumberdaya tersebut berlimpah di daerah itu, seperti lahan, iklim, kualitas
udara, kualitas air, keadaan lingkungan, infrastruktur jalan, telekomunikasi,
kelistrikan, dan sebagainya. Selanjutnya, input yang dapat ditransfer adalah input
produksi yang dapat ditransfer dari sumber-sumber di luar suatu lokasi atau dari
lokasi tersebut ke luar lokasi. Dengan adanya input yang dapat ditransfer dari dan ke
luar lokasi merupakan pencerminan adanya biaya transfer atau biaya transportasi.
Kedua pertimbangan terhadap lokasi produksi didasarkan pada pertimbangan
biaya terkecil. Pertimbangan lokasi produksi berdasarkan pada biaya terkecil
dimaksudkan agar perusahaan dapat mengurangi biaya yang tidak perlu dikeluarkan.
Seperti halnya di beberapa daerah di Indonesia, ongkos untuk pendirian usaha relatif
cukup besar karena banyak sekali pungutan dan biaya diluar perijinan pendirian
usaha, seperti biaya penghubung dan biaya percepatan perijinan. Di samping itu,
perusahaan juga harus meminimalkan biaya transportasi dengan penentuan lokasi
tersebut karena masih terdapatnya beberapa pungutan di jalan, baik atas nama PAD
(penerimaan asli daerah) disuatu wilayah ataupun untuk kelancaran transportasi.
Beberapa penelitian telah membuktikan betapa besarnya biaya transportasi yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendistribusikan barangnya ke wilayah lain. Bila
kondisi ini terus dibiarkan dan bahkan dipelihara, maka akan banyak perusahaan yang
hengkang dari lokasi tersebut bahkan banyak tidak akan memilih berinvestasi di
lokasi itu karena pertimbangan tersebut di atas.
Selain, biaya pembuatan perijinan yang murah, alternatif pemilihan lokasi juga
ditentukan oleh biaya transportasi. Berdasarkan Alfred Weber yang dikutip oleh
Budiharsono (1988) dan Richardson (1972) mengungkapkan bahwa pendekatan biaya
terkecil sebagai salah satu alternatif pemilihan lokasi. Dasar Teori Weber adalah
bahwa penentuan lokasi untuk suatu usaha didasarkan atas biaya transportasi terkecil
atau meminimumkan biaya transportasi. Weber mengemukakan ada tiga faktor utama
yang mempengaruhi lokasi usaha, yaitu biaya transportasi, biaya tenaga kerja, dan
kekuatan aglomerasi (terpusatnya industri yang memproduksi komoditas yang sama).
Weber mengasumsikan bahwa biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak yang
ditempuh dan berat barang sehingga titik yang membuat biaya terkecil adalah bobot
total pergerakan pengumpulan berbagai input dan pendistribusian adalah minimum.
Weber menggambarkan teorinya dengan segitiga lokasi, di mana titik lokasi optimum
(T) adalah titik keseimbangan antara sumber bahan-bahan mentah (M1 dan M2)
dengan pasar (Mk). Untuk menunjukkan bahwa lokasi tersebut optimum terhadap
sumber-sumber input produksi dengan pasar, Weber mengemukakan suatu indeks
yang disebut dengan indek bahan (material index) Ketiga pemilihan lokasi
berdasarkan kedekatan dengan pasar. Pendekatan lokasi berdasarkan kedekatan
dengan pasar diungkapkan oleh Losch yang menggunakan pendekatan Kerucut
Permintaan yang diturunkan menjadi kurva permintaan. Teori Losch tersebut dikenal
dengan teori Loschian Demand Curve atau kurva permintaan Losch Berdasarkan
ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa bila lokasi perusahaan tersebut dekat dengan
sumber input produksi atau pasar, maka biaya pengangkutan dapat diminimalisasi

4
oleh perusahaan. Tetapi bila lokasi perusahaan tersebut berjauhan dengan sumber
input produksi atau pasar, maka biaya transportasipun akan meningkat dan biaya
tersebut akan dibebankan pada produk yang dijual.
Uraian di atas mencoba menggambarkan pemilihan lokasi lebih ditekankan
pada minimalisasi biaya transportasi baik terhadap input produksi dan maupun
terhadap penjualan output ke pasar. Oleh karena itu dapat disimpulkan beberapa hal
yang mempengaruhi dalam pemilihan lokasi, yaitu:1. Kedekatan dengan sumber input
produksi, 2. Kedekatan dengan lokasi pemasaran,3. Ketersediaan sumber tenaga kerja,
baik dalam hal jumlah, spesifikasi, dan kualitas tenaga kerja. 4. Kebijakan mengenai
upah regional,5. Ketersediaan sarana dan prasarana fisik penunjang, seperti
transportasi, komunikasi, penerangan, pengairan, dan sebagainya.6. Insentif wilayah
dalam hal kemudahan birokrasi terutama dalam perijinan usaha.
Berdasarkan kedua teori di atas dapat ditunjukkan pemilihan lokasi dalam
rangka pengembangan usaha ditentukan berdasarkan kedekatan dengan sumber bahan
baku produksi, pasar, dan biaya transfer. Hal tersebut dapat mempengaruhi keputusan
individu, kelompok, atau lembaga yang memiliki lahan dalam melepas status
lahannya, terutama jika lahan tersebut memiliki nilai jual yang tinggi.

Pengelolaan Sumber Daya Alam di Sumatera Barat


Sumatera Barat memiliki luas daratan 42.297 km2 yang kekayaan alam
memadai sebagai modal pembangunan. Secara geogafis, Sumatera Barat memiliki
tanah berkemiringan tinggi hingga sedang, mempunyai gunung-gunung, ngarai dan
lembah, serta kawasan hutan yang perlu dijaga kelestariannya. Curah hujan yang
tinggi dan hampir merata sepanjang tahun, merupakan salah satu potensi alamiah
Sumatera Barat, namun juga merupakan ancaman apabila pengelolaan lingkungan
tidak dilakukan secara bijak. Dari total luas wilayah Sumbar, hanya sekitar 16.94%
yang digunakan untuk usaha pertanian. Hal ini dapat dipahami karena kondisi
fisiografi Sumbar yang didominasi oleh perbukitan dan pegunungan.
Sebagian besar kegiatan pertanian berada di lembah-lembah atau di bagian
pantai. Bagian lembah relatif subur, sedangkan bagian pantai memerlukan
penanganan khusus, terutama daerah berawa-rawa dan gambut. Dari luas usaha
pertanian Sumbar seperti tersebut diatas, usaha padi sawah mencakup 5.59%,
kebun/ladang (1.5%), perkebunan (7%) dan kebun campuran (2.85%) dengan
komoditas utama yang dihasilkan adalah padi sawah, kelapa sawit, karet, kelapa, kayu
manis, kopi, coklat, dan gambir.
Sektor pertanian menyerap tenaga kerja sekitar 43% - 72% lebih, akan tetapi
hanya mampu menyumbang sekitar 29% - 34% lebih terhadap PDRB propinsi
Sumbar. Bandingkan dengan sektor industri yang hanya menyerap tenaga kerja
berkisar antara 3% - 15%, akan tetapi mampu menyumbang antara 7% - 18%. Hal ini
menunjukkan bahwa produktivitas dan efisiensi usaha pertanian di Sumbar masih
rendah. Persoalan ini terutama disebabkan oleh masih rendahnya managemen usaha
dan masukan teknologi dalam usaha pertanian. Disamping itu, relatif kecilnya usaha
pertanian, baik tanaman pangan, maupun perkebunan, peternakan, dan perikanan juga
menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya efisiensi usaha pertanian. Kondisi ini
pun memberi signal yang jelas, bahwa peranan sektor pertanian dalam pembangunan
masih dapat ditingkatkan melalui pemasyarakatan teknologi dan pemberdayaan petani
yang tepat dan kondusif.
Selain sebagai kawasan konservasi untuk pelestarian lingkungan hidup dan
ekosistem, semua taman nasional, cagar alam, dan hutan lindung tersebut juga
memiliki kekayaan alam flora dan fauna yang tidak ternilai, karena kekayaan yang

5
dilindungi tersebut juga merupakan potensi pembangunan di bidang penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Potensi hutan cukup besar, selain untuk
kepentingan pelestarian lingkungan hidup, cadangan air, juga memberikan manfaat
ekonomi yang besar sebagai penghasil berbagai komoditi seperti kayu, damar, rotan,
manau, gaharu dan lain-lain yang tidak hanya digunakan untuk keperluan industri dan
memenuhi kebutuhan masyarakat daerah, tetapi hasil hutan dan hasil industri
pengolahannya merupakan penyumbang terbesar ekspor Sumatera Barat.
Kekayaan alam lainnya yang juga dimiliki adalah bahan tambang dan bahan
galian seperti batubara, batu kapur (untuk industri semen), marmar, pasir kwarsa,
timah, hitam, dolomit, obsidian (batu bintang), batu granit dan emas, di samping pasir,
batu, krikil dan bahan galian golongan-C lainnya. Dewasa ini, Sumatera Barat masih
memiliki deposit batubara dalam jumlah besar, yakni sekitar 200 juta ton cadangan
terukur di daerah Sawahlunto, Sijunjung, sekitar 4 juta ton di Pesisir Selatan, di
samping cadangan terduga yang terdapat di Kabupaten 50 Kota. Sedangkan cadangan
batu kapur (lime stone) terdapat hampir di semua daerah, seperti di Padang,
Sawahlunto Sijunjung, Kabupaten Tanah Datar dan Kodya Padang Panjang, serta di
Kabupaten 50 Kota, Agam, Pesisir Selatan dan Pasaman. Cadangan terbesar yang
sudah terdapat di Indarung, Padang, yakni mencapai 1,5 miliar ton dan telah
dieksploitasi sejak tahun 1910 untuk keperluan pabrik semen PT Semen Padang.
Disamping kekayaan alam yang terdapat di darat, propinsi ini juga mempunyai
sumber daya kelautan (maritim) yang cukup besar. Sumberdaya hayati pantai barat
Sumatera, termasuk perairan pantai Sumatera Barat adalah sebesar 538.457 ton/tahun,
dimana tingkat pemanfaatannya baru mencapai 37%. Khusus untuk Sumbar, potensi
sumberdaya perikanan tangkap untuk wilayah pesisir yang ada disetiap
kabupaten/kota sampai saat ini belum terdata dengan baik, kecuali untuk kabupaten
Pessel, dimana potensi lestarinya (teritorial dan ZEE) sekitar 95.000 ton/tahun, yang
terdiri dari ikan pelagis kecil + 19.550,91 ton, ikan pelagis besar + 14.457,09 ton, ikan
demersal/karang + 60.435,73 ton, dan udang + 556,27 ton, sedangkan potensi lestari
ikan hias laut + 14.516.440 ekor/tahun. Pada tahun 1999, tingkat eksploitasi perikanan
laut Pesisir Selatan baru mencapai 19,19%. Permasalahan pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya alam, menyangkut dengan:
a. Sumber Daya Lahan. Sebagian besar wilayah propinsi Sumatera Barat masih
hutan belantara dan tanah berkemiringan tinggi, sehingga lahan yang dapat
dibudidayakan terbatas. Di Kodya Padang, 60.28% dari lahan yang efektif untuk
budidaya telah beralih fungsi menjadi lahan terbangun dan 70% dari lahan
terbangun tersebut adalah untuk perumahan (Tim Survey, 1997). Di Kabupaten
Pasaman, Sawahlunto Sijunjung, dan Padang Pariaman, areal yang amat potensial
untuk persawahan telah digunakan untuk perkebunan. Disamping itu, lebih
terkebelakangnya sistem pertanian di kawasan perkotaan dibandingkan kabupaten
juga merupakan masalah yang harus dipecahkan agar keunggulan komparatif dan
kompetitif suatu wilayah dapat dilakukan. Secara teknis, kawasan vulkanik dan
dataran tinggi merupakan daerah sangat potensial sebagai sentra hortikultura dan
sentra pembibitan aneka komoditas. Secara fisiologis, bibit yang dihasilkan di
kawasan dataran tinggi viabilitasnya lebih tinggi dibandingkan di dataran rendah.
Akan tetapi kedua peluang strategis tersebut belum dimanfaatkan secara baik.
Persoalan lain adalah masalah cemaran senyawa kimia dari sistem pertanian di
dataran tinggi. Dominasi usahatani sayuran di dataran tinggi, yang dicirikan oleh
pemakaian pestisida dan pupuk yang tinggi, tidak hanya mencemari daerah
sekitarnya, akan mencemari kawasan dibawahnya. Kepunahan dan penurunan
populasi ikan dan satwa lainnya, disamping produk pertanian sudah menjadi

6
masalah yang sering terjadi. Di Sumbar terdapat lima buah danau yang secara
ekonomis, potensi danau ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti
pengembangan karamba jariang apung di Maninjau dan penangkapan ikan bilih
di Singkarak. Meskipun demikan, berbagai persoalan masih belum teratasi, antara
lain: 1) masalah keracunan belerang di danau Maninjau dan Singkarak, 2) adanya
parasit gamih yang menyerang ikan di danau Singkarak, sehingga didanau ini
tidak bisa dikembangkan untuk budidaya keramba jaring apung, 3) tingginya
tingkat cemaran danau oleh limbah pakan ikan di Maninjau, sebagai akibat tidak
tertatanya pemanfaatan ruang/kawasan danau untuk karamba, 4) sistem
penangkapan tidak lestari dan eksploratif, yaitu penggunaan bahan peledak,
racun, dan jaring tangkap/gangli berdiameter kecil, sehingga anak-anak ikan ikut
tertangkap; 5) belum dikembangkannya ikan-ikan spefisik danau yang adaptif di
dataran tinggi, sehingga potensi Danau Diatas, Danau Dibawah, dan Danau
Talang hampir tidak termanfaatkan. 6) belum termanfaatkannya potensi danau
untuk tujuan wisata.
b. Sumberdaya Laut dan Perairan Kemiskinan, keterbelakangan SDM, rendahnya
tingkat adopsi teknologi selalu identik dengan nelayan. Menurut Elfindri (2002),
faktor penyebab utama kemiskinan keluarga nelayan adalah masa kerja yang
terbatas dan tak pasti, nilai produksi dibagi bersama, dan kualitas SDM yang
masih rendah. Disamping itu, persoalan mendasar yang sering luput dalam
pemberdayaan potensi kelautan dan wilayah pesisir adalah aspek yang berkaitan
dengan kultur masyarakat nelayan yang cenderung eksploratif, kurang responsif
terhadap perubahan dan iptek, serta konsumtif, sehingga merupakan salah satu
kendala krusial yang tidak mudah mencari solusinya.Identifikasi potensi dan
kendala dalam pengelolaan wilayah pesisir menemukan 13 isu prioritas untuk
propinsi Sumbar (Puslitbangkan, 2000, Dalam Arlius dan Suparno, 2002). Ke-
tiga belas isu tersebut adalah: 1) Pemanfaatan dan pengelolaan perikanan tangkap
dan kegiatan budidaya belum optimal. 2) Rendahnya kualitas sumberdaya
manusia nelayan. 3) Rendahnya penataan dan penegakan hukum 4) Kerusakan
ekosistem laut d wilayah pesisir 5) Potensi dan objek wisata bahari belum
dikelola secara optimal 6) Belum adanya rencana umum tata ruang kawasan
pesisir dan pantai. 7) Abrasi pantai wilayah pesisir 8) Belum adanya iventarisasi
dan pemanfaatan potensi pertambangandan energi di wilayah pesisir dan pantai 9)
Belum optimalnya pengelolaan pulau-pulau kecil dan perairan 10) Belum
berkembangnya usaha industri kemaritiman 11) Kerusakan daerah konservasi
wilayah pesisir dan pantai 12) Belum optimalnya pemanfaatan dan pengelolaan
hasil pertanian dan perkebunan di wilayah pesisir 13) Pencemaran wilayah pesisir
Selanjutnya Retraubun (2000) menyebutkan pula bahwa kendala dan
permasalahan yang sering menghambat pembangunan kelautan dan perikanan,
kususnya pembangunan pesisir, pantai, dan pulau pulau kecil mencakup: 1)
kerusakan fisik habitat hayati laut, 2) over eksploitas sumberdaya hayati laut, 3)
pencemaran, 4) konflik penggunaan ruang, 5) keterbatasan dana, 6) kurangnya
koordinasi dan kerjasama antar pelaku pembangunan kawasan pesisir, 7)
lemahnya penegakan hukum, dan 8) kemiskinan masyarakat pesisir.
c. Sumberdaya Hutan dan Air. Penggunaan tanah di Sumbar terdiri dari kawasan
hutan lindung seluas 1.203.270 ha__termasuk kawasan suaka alam (569.690ha)
dan kawasan budidaya (2.456970 ha) termasuk hutan produksi terbatas 215.250
ha, hutan produksi 398.370 ha, hutan produksi konversi 137.680 ha, pemukiman
12.600 ha, perkebunan 461.570 ha (yang sudah diusahakan 269.400 ha dan yang
sudah diperuntukkan 132.170 ha), dan penggunaan lainnya 1.287.740 ha. Selama

7
dua dekade ini, hutan Sumbar telah dieksploitasi secara besar-besaran dalam
rangka mengejar devisa negara. Programreboisasi pun kurang efektif
mengembalikan fungsi hutan, disamping disebabkan kegagalan operasional di
lapangan, juga akibat sangat panjangnya waktu yang diperlukan untuk mencapai
kondisi hutan semula, yaitu 50 – 100 tahun. Kehilangan sebagian tegakan hutan
itu juga terlihat dari nilai espor hasil hutan Sumatera Barat cenderung menurun
karena sumberdaya kayu yang dapat diperdagangkan dari hutan produksi sudah
habis. Pengambilan kayu diduga sudah masuk kedalam kawasan lindung, bahkan
kawasan cagar alam. Data dari citra satelit yang dikeluarkan oleh Balai
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi tanah Agam Kuantan melaporkan bahwa dari
200.000 ha kawasan hutan yang difoto melalui citra satelit yang terdiri dari hutan
lindung dan hutan produksi terbatas, memperlihatkan bahwa 22% dari hutan
lindung telah ditebang selama satu dekade belakangan, sedangkan hutan produksi
telah terbagi habis kepada sejumlah pemegan HPH (Dinas Pertambangan
Sumbar, 2001). Persoalan lainnya adalah eksploitasi hasil hutan belum kelihatan
manfaatnya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar dan didalam kawasan hutan.
Bahkan, mereka cenderung makin miskin karena akses mereka terhadap hasil
hutan dibatasi oleh adanya Tata Guna Hutan Kesepakatan. Secara khusus,
berbagai permasalahan yang diadapi dalampembangunan dan pemanfaatan
potensi kehutanan mencakup aspek aspek sebagai berikut: 1) menurunnya
produksi kayu, 2) menurunnya kualitas hutan, 3) menurunnya kapasitas hutan
sebagai penyangga tata air regional, 4) dominasi masyarakat miskin sekitar hutan,
dan 5) lemahnya pengamanan hutan, dan 5) lemahnya penegakan hukum yang
berkaitan dengan pencurian kayu dan pengrusakan hutan. aspek sebagai berikut:
1) menurunnya produksi kayu, 2) menurunnya kualitas hutan, 3) menurunnya
kapasitas hutan sebagai penyangga tata air regional, 4) dominasi masyarakat
miskin sekitar hutan, dan 5) lemahnya pengamanan hutan, dan 5) lemahnya
penegakan hukum yang berkaitan dengan pencurian kayu dan pengrusakan hutan.

Daftar Pustaka

Arlius dan Suparno. 2002. Pengelolaan Potensi Pesisir dan Kelautan Sumatera Barat.
Makalah disampaikan dalam Forum Diskusi Pemecahan Masalah Aktual
Pembangunan Daerah, di Balitbang Sumbar, tanggal 14 September 2002.

Budiharsono, Sugeng. 1988. Dasar-dasar Perencanaan Pembangunan Wilayah.


Universitas Nusa Bangsa. Bogor.

Cohen, Sulaeman I. 1978. Agrarian Structures and Agrarian Reform: Exercise in


Development Theory and Policy. Martinus Nijhoff Social Science Division. Leiden
and Boston. US.

Dinas Pertambangan. 2001. Sumberdaya Bahan Galian Propiinsi Sumatera Barat.


Pemda Propinsi Sumatera Barat.

Elfindri. 2002. Ekonomi Patron-Client. Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan dan
Kebijakan Makro. Andalas University Press.

8
Husein, Uke Mohammad. 2014. Pertanahan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Buletin
Agraria Indonesia, edisi 1, 2014. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencana Pembangunan Nasional.
Jakarta.

Tim Survai. 1997. Laporan Final Survai, analisa, dan rekomendasi pemanfaatan lahan
pertanian sawa di Kotamadya Padang. Balai Pengkajian Pertaian Sukarami.

Anda mungkin juga menyukai