Anda di halaman 1dari 8

TUGAS ESSAY

REFORMA AGRARIA

DIBUAT OLEH:
JENY ATALIA (22314195)

DOSEN:
M. NAZIR SALIM, S.S,. M.A

SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL


PROGRAM STUDI
DIPLOMA IV PERTANAHAN
TAHUN 2024

1
PELAKSANAAN KEBIJAKAN REFORMASI AGRARIA
ERA PEMERINTAHAN PRESIDEN JOKO WIDODO

PENDAHULUAN
Reforma agraria atau yang bisa disebut landreform ini dimaksudkan untuk mengatasi
ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang sudah terjadi pada masa
Presiden Soekarno sampai dengan Presiden Joko Widodo dengan cara melakukan
perompakan terhadap struktur penguasaan dan pemilikan. Dalam mewujudkan terlaksananya
Reforma Agraria di Indonesia dibentuklah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang nantinya dijadikan sebagai pedoman
untuk melaksanakan kebijakan refora agraria yang sudah ditetapkan Presiden Joko Widodo.
Adapun tujuan pokok dibentuknya Undang-Undang Pokok Agraria, sebagaimana dipaparkan
dalam penjelasan UUPA, yaitu : 1) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria
Nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan
bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur; 2) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan; 3) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. (Agraria et al., 1987)
Reforma agraria sejatinya dapat menjawab ketimpangan kepemilikan dan penguasaan
tanah, bukan hanya sekedar redistribusi tanah. Reforma agraria diharapkan dapat menjadi
salah satu jalan keluar terciptanya pemerataan terhadap kepemilikan tanah untuk
kesejahteraan dan keadilan. Reforma Agraria diharapkan dapat menciptakan kemandirian
ekonomi dan pangan, berkontribusi pada pendapatan dan kesejahteraan masyarakat,
mengurangi konflik sengketa tanah dan berkontribusi terhadap pencegahan konflik berulang
yang dapat berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa, serta sebagai pemenuh hak asasi
petani. Reforma agraria di Indonesia memiliki riwayat sejarah yang panjang berbanding lurus
dengan pemerintahan yang silih berganti dengan rezim yang satu diganti dengan rezim yang
lain. Demikian juga pelaksanaan reforma agraria tergantung dengan rezim yang sedang
memerintah, model dan cara melaksanakan reforma agraria juga berbeda-beda.
Pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla belum secara maksimal mendorong
implementasi reforma agraria. Di sisi lain, berbagai kebijakan agraria yang memberikan
peluang dan kesempatan bagi masyarakat untuk menegaskan dan menguatkan hak-haknya
atas sumber agraria tak kunjung diimplementasikan, seperti salah satu agenda prioritas
pembangunan yang dituangkan dalam Nawa Cita dan selanjutnya dituangkan dalam Peraturan
Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2015-2019. Dalam RPJMN tersebut ditetapkan target pelaksanaan kebijakan
reformasi agraria seluas 9 juta ha, yang terdiri atas kebijakan legalisasi aset (tanah) seluas 4,5
juta ha dan redistribusi tanah seluas 4,5 juta ha. Di mana 4,1 juta ha tanah yang akan
diredistribusikan, berasal dari tanah kawasan hutan. Dalam mewujudkan reformasi agraria
diperlukan koordinasi lintas sektor baik di tingkat kementerian maupun dalam organisasi
masyarakat serta perlu diingat dalam pelaksanaan reforma agraria harus berlandaskan
keadilan dalam kehidupan sosial masyarakat. (Suartini & Rohaya, 2022)

2
HASIL dan PEMBAHASAN
reforma agraria atau yang bisa disebut landreform dianggap sebagai kerangka
kelembagaan pertanian dan mencakup distribusi kepemilikan atas tanah serta bentuk-bentuk
penguasaan. Proses berkembangnya reforma agraria didukung dengan adanya penetapan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menjadikan perombakan sendi-sendi hukum
agraria sehingga memiliki substansi yang berbeda dan lebih sesuai dengan kepentingan dan
nilai-nilai bangsa. Lahirnya UUPA menjadi tanda adanya hubungan antara negara dengan
bumi bukan merupakan hubungan kepemilikan saja tetapi merupakan hubungan penguasaan
juga didalam-Nya. UUPA juga menegaskan perlindungan, pemajuan, penegakan dan
pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Pengaturan yang berdimensi HAM pada Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dapat dilihat
pada Pasal 2, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 dan Pasal 17.
(Erlina, 2017)
Dengan kata lain ketika tanah dikaitkan dengan hak asasi manusia sebagai hak dasar
untuk memenuhi suatu batas minimum mempertahankan hidup, disitulah terdapat peran
pemerintah sebagai perwujudan atas hal tersebut. Sejak reformasi bergulir berbagai kebijakan
reformasi agraria telah diterapkan dan kebijakan yang saat ini sedang berlangsung terdapat
pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kebijakan reformasi agraria pada masa
Presiden Joko Widodo yaitu melalui program Nawacita yang termasuk kedalam Program
Prioritas Nasional yang selanjutnya ditindak lanjuti dengan lahirnya Perpres Nomor 45 Tahun
2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun (RKP) 2017. Bagi Presiden Joko Widodo
Nawacita sebagai fondasi utama untuk mereformasikan kembali pembangunan Indonesia.
Program Prioritas Nasional mencakup enam aspek, yaitu:
1. penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria;
2. penataan penguasaan dan pemilikan tanah obyek reforma agraria;
3. kepastian hukum dan legalisasi hak atas tanah objek reforma agraria;
4. pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi atas tanah
obyek reforma agraria;
5. pengalokasian sumber daya hutan untuk dikelola oleh masyarakat; serta
6. kelembagaan pelaksana reforma agraria pusat dan daerah
Kebijakan tersebut di pertegas dengan lahirnya Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma
Agraria. Dalam kebijakan Nawacita yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo tadi terdapat
tiga tujuan alam pelaksanaannya yaitu menata ulang struktur agraria yang timpang dan
menyelesaikan konflik agraria, serta menyejahterakan masyarakat. Reforma agraria secara
fundamental memberikan program- program yang dapat menuntaskan masalah kemiskinan,
meningkatkan kesejahteraan dengan kemandirian pangan nasional, meningkatkan
produktivitas tanah, memberikan pengakuan hak atas tanah yang dimiliki baik secara pribadi,
negara, dan tanah milik umum yang pemanfaatannya untuk memenuhi kepentingan
masyarakat. Berikut pelaksanaan dari kebijakan reforma agraria yang di jalankan pada masa
pemerintahan Presiden Joko Widodo:
1. reforma Agraria Tanah Transmigrasi
Pemerintah menyediakan tanah bagi penyelenggaraan transmigrasi, tanah tersebut
diberikan dengan status hak milik dengan harapan dapat mengurangi kemiskinan dan
3
terwujudnya pemerataan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Namun saat ini
masih banyak para transmigrasi yang belum menerima sertifikat tanah dengan berbagai
alasan. Alasan yang sangat banyak digunakan yaitu sulitnya akses legalisasi terhadap tanah
transmigrasi dikarenakan persoalan masa lalu yang belum diselesaikan diantara-Nya tanah
transmigrasi yang belum dikeluarkan dari kawasan hutan, tanah transmigrasi dengan status
HPL milik pemerintah dan masih banyak lagi. Legalisasi tanah transmigrasi contohnya
diterapkan di Sumatra Utara yang mana di sana telah dilakukan pemetaan terhadap sebaran
keberadaan tanah transmigrasi yang nantinya menjadi program Reforma Agraria mencakup
wilayah serta peta tanah Transmigrasi yang belum bersertifikat di Sumatera Utara, yang
mencakup: (Data Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara).
(Medaline & Moertiono, 2023)
Sebagai objek Reforma agraria, kriteria tanah transmigrasi sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 13 ayat (12) Perpres Nomor 86 Tahun 2018, menyatakan bahwa Tanah
transmigrasi yang belum bersertifikat harus memenuhi kriteria, tidak termasuk dalam
kawasan hutan atau telah diberikan hak pengelolaan untuk transmigrasi. Selanjutnya Pasal 13
ayat 13 Perpres Nomor 86 Tahun 2018 bahwa dalam hal tanah transmigrasi belum memiliki
sertifikat maka:
a. termasuk dalam kawasan hutan, proses pelepasan atau perubahan batas kawasan
hutannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b. belum memperoleh hak pengelolaan untuk transmigrasi maka legalisasi asetnya
dilakukan setelah terbit keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi atau bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjuk yang menyatakan
bahwa pembinaannya telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota dan
sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota.
Legalisasi aset tanah trasmigrasi dalam kebijakan presiden Joko Widodo masuk kedalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJMN pada tahun 2015
hinga 2018 mengenai legalisasi aset mencapai 70.412 bidang yang sudah bersertifikat hak
milik sedanghkan pada 2020 sampai 2024 mencapai 168 ribu bidang tanah yang telah
dilegalisasi.
2. Distribusi Tanah Bekas HGU
Pelaksanaan program landreform atau reforma agraria lewat redistribusi tanah telah
dilaksanakan oleh pemerintah di berbagi daerah di Indonesia, program tersebut sering disebut
sebagai Landreform by Grace. Pelaksanaan Landreform by Grace jelas tergantung pada
kebijakan pemerintah. Bila pelaksanaan landreform ini secara konsekuen dilakukan oleh
pemerintah, maka kebutuhan petani akan tanah dan ketimpangan penguasaan tanah dapat
teratasi. Redistribusi tanah yang berasal dari tanah bekas HGU yang telah berakhir masa
berlakunya atau tidak diperpanjang lagi oleh pemegang hak atau hapusnya HGU karena
ketentuan undang-undang, seperti berakhirnya jangka waktu, dibatalkan haknya oleh Menteri,
diubah haknya menjadi hak atas tanah lain, dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya
sebelum jangka waktunya berakhir, dilepaskan untuk kepentingan umum, dicabut
berdasarkan undang-undang, ditetapkan sebagai tanah telantar, ditetapkan sebagai tanah
musnah, pemegang hak sudah tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak. (Pengantar & Isi,
2012)

4
Penghapusan HGU mengakibatkan tanah menjadi tanah negara. Penataan kembali
penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan menjadi kewenangan Menteri, maka salah satu
penataan bekas HGU adalah untuk reforma agraria. Mengenai penghapusan HGU tidak serta
merta hapus hak atas tanahnya, karena hak keperdataan (kepemilikan) masih melekat pada
pemegang hak meskipun telah di tetapkan sebagai tanah yang dikuasai negara secara
langsung sehingga perlu dilakukan ganti kerugian kepada pemegang hak. Namun ganti
kerugian tersebut tidak berlaku setelah terbitnya PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Pemanfaatan
bidang tanah harus sesuai dengan peruntukannya, namun apabila tidak sesuai dengan
pemanfaatannya atau bahkan tidak dimanfaatkan tanah tersebut akan dikategorikan sebagai
tanah terlantar sehingga dapat digugat dan dikembalikan ke pemerintah untuk dijadikan objek
reforma agraria. Namun dalam penerbitan tanah terlantar tersebut tidaklah mudah harus
melalui proses peradilan yang lama dikarenakan pemilik tanah akan menggugat ke peradilan
serta banyak kasus kalah mengenai penerbitan tanah terlantar. Menurut evaluasi Direktur
Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan hambatan penertiban
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah adalah:
a. resistensi dari pemegang hak atas tanah/dasar penguasaan atas tanah pada saat
penertiban tanah terlantar;
b. risiko tinggi bagi petugas pelaksana kegiatan penertiban tanah terlantar dan tidak
adanya backup dari pihak keamanan;
c. risiko tidak terselesaikan tinggi karena waktu pelaksanaan penertiban membutuhkan
minimal dua tahun anggaran (bersifat multiyear);
d. tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar ada yang digugat di peradilan;
e. tidak seluruhnya TCUN merupakan tanah kosong yang tidak ada penguasaan dan
penggarapan oleh masyarakat.
Dalam pelaksanaan program redistribusi tanah sendiri terdapat beberapa tahapan yang
dilaksanakan. Pertama, penyuluhan kepada calon penerima objek redistribusi tanah untuk
menyampaikan informasi terkait pelaksanaan program dimaksud. Penyuluhan dapat
dilaksanakan beberapa pertemuan dengan harapan saat pelaksanaan kegiatan dapat berjalan
lancar dengan partisipasi masyarakat yang optimal. Kedua, pendataan subjek dan objek
redistribusi untuk mengumpulkan data terkait kegiatan yang dilaksanakan nantinya.
Pendataan juga berfungsi untuk memastikan bahwa subjek dan objek redistribusi tanah telah
memenuhi kriteria sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, pengukuran
serta pemetaan dilakukan berdasarkan pada petunjuk teknis yang telah ada dipedomani
sebagai dasar untuk menerbitkan sertipikat hak atas tanah. Keempat, sidang panitia
pertimbangan yang dilaksanakan guna membahasa subjek dan objek yang menjadi produk
dari kegiatan redistribusi tanah bahwa telah memenuhi kriteria sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Kelima, penentuan subjek dan objek redistribusi tanah. Penetapan dilaksanakan
berdasarkan dari Berita Acara sidang panitia pertimbangan landreform pada tahap keempat.
Keenam, penerbitan surat keputusan redistribusi tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan dengan dasar dari Surat Keputusan Kepala Kanwil untuk objek redistribusi
tanah dan Surat Keputusan Bupati/Walikota mengesahkan subjek untuk redistribusi tanah.
Ketujuh, pembukuan hak dan penerbitan sertipikat adalah langkah terakhir dalam proses
redistribusi tanah. Pembukuan dan penerbitan dilakukan berdasarkan surat keputusan pada
tahapan sebelumnya.
5
3. Perolehan TORA dari Kawasan Hutan
Hutan merupakan satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam suatu lingkup lingkungan alam. Namun
dengan seiring berkembangnya aspirasi masyarakat maka dimungkinkan terjadinya
perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan. Untuk
mendukung permasalahan tersebut maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Dalam hal ini dikarenakan kebutuhan lain dimaksud untuk kegiatan reformasi agraria, maka
instrumen yang digunakan adalah pelepasan kawasan hutan. Terkait dengan masalah
penyediaan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dari kawasan hutan ditetapkan oleh
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK). Berdasarkan Peraturan Presiden
No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN Tahun 2015-2019, telah diidentifikasi kawasan hutan yang
akan dilepaskan paling sedikit seluas 4,1 juta ha sebagai sumber TORA, selain akses kelola
Perhutanan Sosial (PS) seluas 12,7 juta ha (13,8 juta ha Revisi PIAPS 2019). Program TORA
dan PS ditetapkan untuk mencapai agenda pembangunan nasional dalam peningkatan kualitas
hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat, termasuk mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim. (Nurrochmat, 2020)
Program TORA dilaksanakan secara beriring dengan program Perhutanan Sosial, yaitu
sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan
hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat
sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan
dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman
Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan. Pola penyelesaian dan sumber TORA dari
kawasan hutan negara terdiri dari :
a. Perubahan batas kawasan hutan melalui kegiatan inventarisasi dan verifikasi
(Inver)/Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) yang
dapat dipergunakan untuk permukiman, fasilitas sosial/fasilitas umum, dan lahan
garapan.
b. Pelepasan kawasan hutan yang berasal dari Hutan Produksi yang dapat dikonversi
(HPK) tidak produktif (Non Inver) yang dapat dipergunakan untuk menunjang
program pembangunan nasional dan daerah, pengembangan wilayah terpadu,
pertanian tanaman pangan termasuk pencetakan sawah baru, kebun rakyat,
perikanan, peternakan, atau fasilitas pendukung budidaya pertanian
Namun dalam penyelesaiannya juga terdapat beberapa hambatan program TORA dari
pelepasan kawasan hutan antara lain: Beberapa masalah TORA dari pelepasan kawasan hutan
antara lain sebagai berikut: Baru sebagian pelepasan kawasan hutan dari adendum IUPHHK
yang ditindaklanjuti dengan SK Penetapan/Perubahan; Tidak semua lokasi review RTRW
diperuntukkan untuk TORA; Untuk kategori permukiman transmigrasi: Daftar subjek/objek
sudah banyak berubah, belum ada usulan masyarakat/rekomendasi camat dan bupati, SK
pencadangan areal dari Gubernur/Bupati belum lengkap; Tanda batas di lapangan sulit
ditemukan untuk kategori tata batas; Skala Peta Objek TORA dari Pelepasan Kawasan Hutan
relatif menggunakan skala kecil (1:250.000), sehingga kesulitan untuk diidentifikasi di
lapangan. Kegiatan monitoring dan evaluasi atas tahapan-tahapan penetapan TORA dan
distribusinya, khususnya yang berasal dari kawasan hutan perlu dilakukan dengan sebaik-
6
baiknya, mengingat tidak mudah mencapai target reformasi agraria sebagaimana yang
ditetapkan dalam Peraturan Presiden tentang RPJMN 2015- 2019, apalagi cita-cita luhur dari
reformasi agraria itu sendiri sebagaimana ditegaskan dalam Ketetapan MPR No.
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Untuk itu
penyusunan norma dan prosedur yang menjadi dasar kebijakan kawasan hutan menjadi
sumber TORA harus disusun dengan upaya untuk memberi keadilan sekaligus kepastian
hukum bagi masyarakat dalam kawasan hutan baik yang akan menjadi subyek penerima
TORA maupun yang bukan. (Nurlinda, 2018)
Reforma agraria dalam proses mewujudkannya terdapat kendala pada pelaksanaannya di
lapangan yang didukung dalam faktor berikut:
a. permasalahan kepemimpinan. Dalam menjalankan reforma agraria yang
khususnya dengan proses pelepasan kawasan hutan, dibutuhkan kepemimpinan
yang dapat berkoordinasi antar lintas sektor. Koordinasi ini dibutuhkan karena
dalam pelaksanaan programnya banyak sektor yang terlibat. Di tingkat kabupaten
atau kota koordinasi masih berjalan sangat lemah, salah satu faktornya
dikarenakan tidak adanya sekretariat bersama sebagai fasilitas dalam melakukan
rapat ataupun koordinasi.
b. permasalahan kelembagaan. Dibentuknya Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA)
sebagai pelaksana kegiatan reforma agraria di tingkat daerah, beberapa kendala
dan hambatan yang ditemui adalah tidak adanya kantor bersama sebagai
sekretariat sehingga menyebabkan GTRA sulit dalam melakukan koordinasi.
c. permasalahan regulasi. Adanya regulasi atau peraturan yang tidak sinkron pada
dua kementerian menjadi masalah, antara Kementerian ATR/BPN dan KLHK
memiliki pemahaman masing-masing mengenai kebijakan sebagai dasar
pelaksanaan reforma agraria.
d. permasalahan objek TORA. Dalam pemahaman terhadap peraturan tersebut
banyak terjadi perbedaan antara kementerian ATR/BPN dan KLHK, dalam proses
pencadangan kawasan hutan.
Dalam permasalahan dalam pelaksanaan reforma agraria juga terdapat keberhasilan didalam-
Nya berikut faktor yang menjadikan pelaksanaan reforma agraria berhasil yaitu keinginan
yang teguh dari pemerintah sehingga pemerintah mampu menerbitkan dan merevisi peraturan
yang berkaitan dengan reforma agraria agar tidak menimbulkan tumpang tindih kebijakan
yang menghambat pelaksanaan, dukungan dari lembaga legislatif supaya pelaksanaannya
dapat beriringan baik ditingkat daerah hingga tingkat nasional, dipisahkannya pejabat
pemerintah dengan pebisnis yang bertujuan agar tidak adanya kepentingan lain selain untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dukungan dari aparat supaya tercipta keamanan dan
ketertiban di masyarakat, ketersediaan informasi dan data yang dibutuhkan sehingga nanti
dalam pelaksanaannya tidak terjadi salah sasaran dalam objek maupun subjeknya.

KESIMPULAN
Reforma agraria dipahami dengan tujuan utamanya yaitu mengatasi ketimpangan
penguasaan dan kepemilikan tanah. Kebijakan reforma agraria pada masa pemerintahan
Presiden Joko Widodo sebagai sebuah produk hukum, strategi dan program yang sudah
mengakomodir jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia walaupun belum maksimal. Dalam
menjalankan reforma agraria tidaklah mudah banyak kendala dan hambatan yang
7
mengakibatkan lambannya pelaksanaan program reforma agraria di Indonesia mulai dari
faktor kepemimpinan, kelembagaan, peraturan dan persediaan objek redistribusi tanah.
Namun walaupun terdapat penghambat dalam pelaksanaannya diharapkan reforma agraria
dapat membantu menyejahterakan kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Agraria, H. P., Kuswanto, H., Hukum, H. F., & Surabaya, N. (1987). 1 Hukum Politik
Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya. 1–
15.
Erlina, E. (2017). Kebijakan Reformasi Agraria Pada Masa Pemerintahan Joko Widodo
Ditinjau Dari Kajian Ham Dan Gender. Riau Law Journal, 1(2), 253.
https://doi.org/10.30652/rlj.v1i2.4552
Medaline, O., & Moertiono, J. (2023). Legalisasi Aset Tanah Transmigrasi Dalam Rangka
Penguatan Reforma Agraria di Sumatera Utara. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 10(1),
21–32. https://doi.org/10.31289/jiph.v10i1.8862
Nurlinda, I. (2018). Perolehan Tanah Obyek Reforma Agraria (Tora) Yang Berasal Dari
Kawasan Hutan: Permasalahan Dan Pengaturannya. Veritas et Justitia, 4(2), 252–273.
https://doi.org/10.25123/vej.2919
Nurrochmat, D. R. (2020). Policy Brief: Menakar efektivitas program tanah objek reforma
agraria. 1–9.
Pengantar, K., & Isi, D. (2012). Redistribusi tanah bekas hak guna usaha dengan konsep
landreform by leverage (.
Suartini, S., & Rohaya, N. (2022). Implementasi Nawa Cita Dalam Pembangunan Desa
Melalui Bum Desa. Jurnal Magister Ilmu Hukum, 7(2), 1.
https://doi.org/10.36722/jmih.v7i2.1262

Anda mungkin juga menyukai