Disusun Oleh :
ALEX AGUSTINUS SIGIRO
21.150
Dosen Pengampu :
Dr. Darwin Ginting, S.H., M.H.
Moh. Mahfud MD
“Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal
policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara maksimal oleh pemerintah dalam
rangka mencapai tujuan negara”
Singakatnya Padmo menyatakan bahwa: “politik hukum sebagai kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk.”
Darwin Ginting yang menyatakan bahwa: “politik hukum sebagai pernyataan kehendak
penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah
kemana hukum hendak dikembangkan.
1. Tujuan primer :
Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang luas
dari pemerintah unutk waktu yang cukup lama dengan uang sewa (canon) yang murah. Di
samping itu untuk memungkinkan orang asing (bukan bumi putera) menyewa atu mendapat
hak pakai atas tanah langsung dari orang bumi putera, menurut peraturan-peraturan yang
ditetapkan dengan ordonansi. Meaksudnya adalah memungkinkan berkembangnya
perusahaan pertanian swasta asing.
2. Tujuan sekunder.
Melindungi hak penduduk Bumi Putera atas tanahnya, yaitu :
a) Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hak Bumi Putera;
b) Pemerintah hanya boleh mengambil tanah Bumi Putera apabila diperlukan untuk
kepentingan umum atau untuk tanaman-tanaman yang diharuskan dari atasan dengan
pemberian gantik kerugian;
c) Bumi Putera diberikan kesempatan mendapatkan hak atas tanah yang kuat yaitu hak
eigendom bersyarat (agrarische eigendom);
d) Diadakan peraturan sewa menyewa antara Bumi Putera dengan bukan Bumi Putera.
Secara umum politik pertanahan diajukan untuk menjamin keadilan bagi semua orang untuk
memperoleh sesuatu hak atas tanah dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
manfaat dan tanah bagi diri sendiri dan keluarganya.
Tujuan Khusus Politik Hukum Pertanahan
1. Mencegah perbedaan yang bersifat memperkaya diri secara tidak adil bagi sebagian
kecil masyarakat.
5. Melindungi hak perorangan dan masyarakat adat dan memberi jaminan terhadap
kepastian haknya.
3. Tanah tidak diperhitungkan sebagai Strategi Pembangunan tetapi hanya sebagai obyek
untuk kegiatan pembangunan
2. Konflik penguasaan dan pemanfaatan SDA semakin tajam dan meningkat kuantitasnya
3. Semakin terbatasnya lapangan kerja terutama disebabkan alih fungsi bahan dari tanah
pertanian menjadi non-pertanian
4. Semakin timpangnya akses perolehan dan pemanfaatan karena perbedaan akses modal
dan akses politik
5. Terdesaknya hak-hak masyarakat adat lokal terhadap SDA yang menjadi Ruang
Hidupnya
Era Reformasi
TAP MPR No. IX Tahun 2001, perintah untuk melakukan pembaharuan UUPA dan
pengelolaan SDA
Kembali mengangkat ekonomi kerakyatan, khusus dibidang pertanah yang
berkeadilan,demokratis dan berkelanjutan.
Keppres No.34 Tahun 2003, kebijakan pertanahan serta pelaksanaan TAP MPR No.LX
Tahun 2001
Upaya pembaharuan UUPA telah dilakukan dan telah diuji publik seluruh Indonesia
tetapi pada pancaknya terjadi kemandekan tanpa alasan yang jelas
Muncul kebijakan pelaksanaan landreform plus dari pemerintah. sedangkan
pembaharuan UUPA menjadi status quo
Tantangan Dalam Pembangunan Hukum Tanah Nasional
Dilihat dari tantangan yang dihadapi sekarang, maka sudah saatnya kita segera membentuk
undang-undang tanah nasional dalam rangka menyelesaikan beberapa masalah hukum tanah
yang saat ini belum dapat dituntaskan baik oleh undang-undang yang ada dan penegakannya.
Dengan lahirnya undang-undang pertanahan diharapkan mampu mengakomodir kepentingan
atau substansi hukum tanah yang selama ini belum dibangun sesuai dengan amanat UUPA. Saat
ini RUU pertanahan telah menjadi bagian prioritas di dalam Badan Legislasi Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, sehingga kita berharap undang-undang itu segera lahir.
Rezim orde baru yang dimulai sejak di terbitkan Surat Perintah Sebelas Maret Tahun 1966
(SUPERSEMAR) yang diserahkan Presiden Soekarno kepada Soeharto yang saat itu menjabat
sebagai Panglima Kostrad, yang kemudian berkuasa di Indonesia selama 32 tahun tepatnya
berakhir tanggal 21 Mei 1998. Selama berkuasa Soeharto membawa dampak yang penting
dalam bidang Agraria. Mengapa penting, karena periode Rezim orde baru memerintah dengan
otoriter dan sentralistik dalam kebijakannya lebih menitik beratkan pada aspek pertumbuhan
ekonomi dengan mengandalkan utang luar negeri dan mengundang investor dengan menggelar
karpet merah sebagai jalan kebijakan ekonominya. Ternyata akibat krisis ekonomi yang
berkepanjangan rezim ini berakhir karena dipaksa masyarakat melalui demo berskala nasional
yang dikomandani mahasiswa senusantara.
Hal di atas merupakan suatu konsekuensi logis dari bangunan sistem ekonomi Indonesia pasca
orde baru yang bertumpu kepada utang Word Bank, International Monetary Funds (IMF) dan
Consortium Group for Indonesia (CGI)Sehingga politik hukum yang tersirat maupun tersurat
dalam serangkaian produk peraturan perundang-undangan agraria pada kurun waktu orde baru
mempunyai karakteristik mencerminkan konfigurasi politik otoriter dan hukumnya bersifat
konservatif sebagaimana yang dikemukakan Moh. Mahfud MD.
Berdasarkan paparan di atas, maka dampak yang muncul sebagai akibat sistem politik dan
politik hukum yang dituangkan dalam bidang sumber daya agraria adalah:
1. Meningkatnya jumlah konflik dan sengketa tanah, sampai tahun 2000 terjadi 1700
kasus, dan
2. Pemicu awal tuntutan agar pemerintahan Soeharto dilengserkan karena krisis ekonomi
yang berkepanjangan. Salah satu penyebabnya dibidang agraria terjadinya ketimpangan
pembagian hasil eksploitasi sumber daya agraria antara pemerintah daerah dengan
pemerintah pusat.
Di awal jatuhnya rezim orde baru, terjadi pergolakan politik yang sangat dinamis termasuk para
pakar agraria, aktivis dan para petani mendorong upaya perombakan atau mengamendemen
UUPA. Tetapi upaya tersebut gagal karena pada akhirnya terjadi pergeseran sikap politis
ditingkat tinggi.
Sebagai langkah-langkah untuk membangun hukum agraria atau hukum tanah nasional, maka
diperlukan kearifan Pemerintah dan para politisi di parlemen untuk memperhatikan beberapa
faktor antara lain:
1. Semua materi muatan secara sektoral di bidang agraria harus mencerminkan semangat
demokratisasi, mengedepankan ekonomi kerakyatan, memperhatikan eksistensi hak
asasi manusia dan berkeadilan.
2. Upaya merombak struktur penguasaan dan pemilikan terhadap tanah harus menjadi
kebijakan prioritas, paling tidak substansi tersebut dibuat cantolannya dalam RUU
Pertanahan yang sedang dibahas di parlemen.
3. Sebaiknya dalam rangka kebijakan pertanahan nasional Bappenas dan Menko Ekonomi
lebih banyak membuat kebijakan yang konsepsional, makro dan komprehensif, sehingga
tidak terjebak dalam hal-hal teknis.
4. Kehadiran badan bank tanah sangat penting / menghindari terjadinya ketersediaan tanah
pembangunan.
5. Oleh karena itu PP Mo. 64/2021: Merupakan yang paling penting diperhatikan dlm
klaster pertanahan turunan uuck, karena dampaknya sangat luas pd kebijakan dan
kelembagaan di bidang agraria secara nasi- onal.
1. Tujuan umum
a) Menyediakan tanah untuk pembangunan kepentingan umum
b) Mengatasi berbagai hambatan penyiadaan tanah untuk pembangunan infrastuktur.
1. Bank tanah : salah satu subjek atau pemegang hak pengelolaan ( pasal 5 ayat 1 pp No
18/2021
2. Bank tanah badan khusus yang merupakan badan hak Indonesia yang di bentuk oleh
pemerintah pusat yang pembangunan ekonomi berkeadilan untuk :
a) Kepentingan umum
b) Kepentingan social
c) Kepentikan pembangunan Nasional
d) Pemerataan ekonomi
e) Konsolidasi lahan
f) Reforma agraria (pasal 2 jo pasal 10)
Perencanaan, perolehan tanah, pengolahan tanah, pemanfaatan tanah, dan pendistribusian tanah
(Pasal 3 Ayat (1))
Dari banyaknya jumlah/luas perolehan tanah tersebut memberikan dorongan agar Bank Tanah
mampu menghimpun ketersedian tanah secara optimal.
Bank Tanah Memperoleh Tanah Dari Pihak Lain, Berasal (Pasal 8 pp 64/2021).
1. Pemerintah Pusat;
2. Pemerintah Daerah;
3. Badan usaha milik negara;
4. Badan usaha milik daerah;
5. Badan usaha;
6. Badan hukum; dan
7. Masyarakat.
Ketentuan ini memberi peluang semua aset tanah pemerintah dan masyarakat dapat
dipergunakan mendorong ketersedian tanah secara nasional.
1. Dari sekian banyak subyek hukum pemegang HPL, kepada Bank Tanahdiberikan
keistimewaan kewenangan dalam hal:
a) menyusun rencana induk;
b) membantu memberi kemudahan perizinan berusaha; c. melakukan pengadaan tanah;
dan
c) menentukan tarif pelayanan (Pasal 137 Ayat (2) dan Pasal 23 PP
Kewenangan yang luas ini hanya diberikan kepada Bank Tanah, Ini menunjukkan
bahwa pemerintah berharap banyak tentang sepak terjangnya.
2. Kepada Bank Tanah diberikan kewenangan kepada pihak ketiga. untuk perpanjangan
dan pembaharuan Hak Atas Tanah di depan, setelah dimanfaatkan dan diperjanjikan,
tindakan perpanjangan dan pembaharuan ini harus hati-hati karena mempunyai potensi
bertentangan dengan Putusan MK no.21-22/MK/2007.
3. Dalam menyediakan tanah harus sesuai tujuannya Bank Tanah harus hati-hati, jangan
sampai tujuan bidang ekonomi mendominasi fungsi lain (harus ingat karakter BT non
profit)
4. Idealnya Bank Tanah harus mempercepat pelaksanaan Reforma Agraria yang telah di
amanatkan Reformasi 1998, karena Reforma Agraria termasuk program strategis dan
prioritas Pemerintah Jokowi.
Rekrutmen terhadap Pengawas dan Badan Pelaksana tidak hanya di dasarkan kepala
kompetensi dan keahlian, tetapi juga harus memperhatikan integritas, moral an wawasan
kebangsaan karena Bank Tanah ini memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam menghimpun
ketersediaan tanah untuk kepentingan Nasional.
6. Karena Bank Tanah mempunyai wewenang, fungsi dan tugas langsung berkaitan dengan
kebutuhan dasar manusia, sehingga aspek keadilan untuk mencapai kesejahteraan
rakyat, untuk itu perlu di perhatikan :
a) Dewan pengawas sebaiknya lebih dominan tenaga professional (Pasal 33 Ayat (2)
dan (3)) jumlah dewan pengawas 7 orang, 4 orang dari professional dan 3 orang dari
Pemerintah Pusat:
b) Badan Pelaksana juga harus memperhitungan kehadiran tenaga
c) Profesioanal
d) Dalam Badan Pelaksana perlu ditegaskan mekanisme pembentukan dan/
pengambilan keputusan;
e) Sumber daya manusia Bank Tanah dibutuhkan orang yang mengerti dan menguasai
kompleksitas masalah agraria, sehingga mampu mempercepat tercapainya realisasi
Reforma Agraria; dan
f) Dalam hal pemberian kewenangan kepada Menteri Agraria mengambil Tindakan
Diskresi, harus selaras dengan visi-misi Presiden dalam bidang Keagariaan ( pasal
50).