Dosen Bersangkutan:
Dr. Darwin Ginting, S.H.,M.H.,
Oleh:
Nama : Reynaldi Irza Mahendra
Npm : 21.4301.166
Kelas : D
Pengertian Politik Hukum
Moh. Mahfud MD ,"Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai
kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara
nasional oleh pemerintah dalam rangka mencapai tujuan negara"
Singkatnya Padmo menyatakan bahwa "politik hukum sebagai kebijakan dasar
yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk."
Darwin Ginting. yang menyatakan bahwa: "politik hukum sebagai pernyataan
kehendak penguasa negara mengenai bukum yang berlaku di wilayahnya dan
mengenai arah ke mana hukum hendak dikembangkan.
Tujuan Politik Hukum Tanah Kolonial
1. Tujuan Primer: memberikan kesempatan kepada pihak swasta asing
mendapatkan bidang tanah yang luas dengan waktu panjang dengan sewa murah.
Orang asing menyewa tanah atau mendapat hak pakai atas tanah bumi putra
yang diatur dalam ordonansi. Tujuannya membesarkan perusahaan pertanian
asing
Tujuan Politik Hukum Pertanahan
Secara umum politik pertanahan ditujukan untuk menjamin keadilan bagi semua
orang untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah dan mempunyai kesempatan
yang sama untuk memperoleh manfaat dari tanah bagi diri sendiri dan
keluarganya.
Tujuan Khusus Politik Hukum Pertanahan :
1. Mencegah perbuatan yang bersifat memperkaya diri secara tidak adil bagi
sebagian kecil masyarakat.
2. Mengupayakan menggunakan tanah secara optimal. sehingga tidak
terlantar.
3. Menjaga kelayakan harga tanah sehingga terjangkau bagi semua pihak.
4. Menjaga ketersedian tanah bagi kepentingan umum.
5. Melindungi hak perorangan dan masyarakat adat dan memberi jaminan
terhadap kepastian haknya.
6. Melestarikan sumber daya tanah dan lingkungannya
Periode Pasca Kemerdekaan (Orde Lama-Orde Baru)
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, semua kekayaan alam. kekayaan SDA digali dan
dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Lahimnya UUPA No.5 Tahun 1960
Terjadi unifikasi dibidang pertanahan.
Berlakunya asas menguasai negara atas tanah sebagaimana yang diatur
dalam pasal 2 ayat (2) UUPA
Kebijakan Agraria Orde Baru
1. Berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
2. Dari pro rakyat menjadi pro kapitalis
3. Tanah tidak diperhitungkan sebagai Strategi Pembangunan tetapi hanya
sebagai obyek untuk kegiatan pembangunan
4. Program landreform dianggap menghambat iklim investasi
Dampak Kebijakan Agraria Orde Baru
1. Tanah semakin langka dan rendah kualitasnya
2. Konflik penguasaan dan pemanfaatan SDA (baik bersifat struktural
dan borisontal) semakin tajam dan meningkat kuantitasnya
3. Kemiskinan dan semakin terbatasnya lapangan kerja terutama
disebabkan alih fungsi laban dari tanah pertanian menjadi non-
pertanian
4. Semakin timpangnya akses perolehan dan pemanfaatan, karena
perbedaan akses modal dan akses politik
5. Terdesaknya Hak-hak masyarakat adat/lokal terhadap SDA yang
menjadi Ruang Hidup (lebensraum) nya.
Era Reformasi
TAP MPR No. IX Tahun 2001, perintah untuk melakukan pembaharuan
UUPA dan pengelolaan SDA
Kembali mengangkat ekonomi kerakyatan, khusus dibidang pertanah yang
berkeadilan,demokratis dan berkelanjutan.
Keppres No.34 Tahun 2003, kebijakan pertanahan serta pelaksanaan TAP
MPR No.LX Tahun 2001
Upaya pembaharuan UUPA telah dilakukan dan telah diuji publik seluruh
Indonesia tetapi pada pancaknya terjadi kemandekan tanpa alasan yang
jelas
Muncul kebijakan pelaksanaan landreform plus dari pemerintah. sedangkan
pembaharuan UUPA menjadi status quo
Tantangan Dalam Pembangunan Hukum Tanah Nasional
Menurut Muchtar Kusumaatmadja, "pembangunan hukum sebaiknya dimulai
dari substansi hukum yang bersifat netral, sehingga tidak banyak mendapat
tantangan dan hambatan dari semua komponen bangsa 22. Hal tersebut
dilakukan diawal orde lama dan orde baru dalam pembangunan hukum misalnya
pembentukan UU tentang Penanaman Modal dalam Negeri dan Penanaman
Modal Asing, pembentukan UU tentang Perseroan Terbatas dan sebagainya.
Pembentukan undang- undang tersebut berjalan lancar karena substansinya
relatif bersifat netral artinya untuk kepentingan pembangunan nasionalKhusus
menyangkut pembangunan Hukum Tanah Nasional relatif masih lambat sekalipun
dalam orde lama kita telah mempunyai UUPA dan setelah era reformasi beberapa
undang-undang lain menyangkut sumber daya alam misalnya undang-undang
kehutanan, undang-undang sumber daya air, undang- undang pengairan, undang-
undang pertambangan, undang-undang minerba dan sebagainya. Namun
pembangunan hukum yang bersifat sektoral tersebut dalam konsiderannya
hampir semua tidak menginduk pada UUPA dengan beberapa alasan yang disana
sini masih terdapat pro dan kontra para ahli tetapi karena ada kebutuhan
mendesak, maka pembangunan hukum tersebut dilaksanakan semata-mata untuk
kepentingan pragmatis, sehingga antara undang-undang yang satu dengan yang
lain terdapat tumpang tindih substansi baik secara horisontal dan vertikal.
Pertanyaannya sekarang mengapa pembangunan Hukum Tanah Nasional sangat
terlambat? Karena Hukum Tanah bersifat tidak netral dan sangat terpengaruh
oleh hukum adat yang merupakan sumber Hukum Tanah Nasional tersebar
diseluruh nusantara dengan kualitas sumber daya manusianya sangat beragam,
serta dinamika politik.
Dilihat dari tantangan yang dihadapi sekarang, maka sudah saatnya kita segera
membentuk undang-undang tanah nasional dalam rangka menyelesaikan
beberapa masalah hukum tanah yang saat ini belum dapat dituntaskan baik oleh
undang-undang yang ada dan penegakannya. Dengan lahirnya undang-undang
pertanahan diharapkan mampu mengakomodir kepentingan atau substansi
hukum tanah yang selama ini belum dibangun sesuai dengan amanat UUPA. Saat
ini RUU pertanahan telah menjadi bagian prioritas di dalam Badan Legislasi
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, sehingga kita berharap undang-
undang itu segera lahir.
Politik Hukum Reforma Agraria
Rezim orde baru yang dimulai sejak di terbitkan Surat Perintah Sebelas Maret
Tahun 1966 (SUPERSEMAR) yang diserahkan Presiden Soekarno kepada Soeharto
yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad, yang kemudian berkuasa di
Indonesia selama 32 tahun tepatnya berakhir tanggal 21 Mei 1998. Selama
berkuasa Soeharto membawa dampak yang penting dalam bidang Agraria.
Mengapa penting, karena periode Rezim orde baru memerintah dengan otoriter
dan sentralistik dalam kebijakannya lebih menitik beratkan pada aspek
pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan utang luar negeri dan mengundang
investor dengan menggelar karpet merah sebagai jalan kebijakan ekonominya.
Ternyata akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan rezim ini berakhir karena
dipaksa masyarakat melalui demo berskala nasional yang dikomandani
mahasiswa senusantara.
Setelah itu timbullah era reformasi yang menuntut demokratisasi,
keterbukaan/transparansi, kembali ke ekonomi kerakyatan dan perlindungan hak
asasi manusia serta tindakan pemerintah dituntut harus berkeadilanReformasi ini
lebih menekankan upaya melakukan perubahan terhadap kondisi bangsa dari
kekuasaan paradigma lama menjadi paradigma baru dalam sistem politik, sistem
pemerintahan dan mengedepankan ekonomi kerakyatan.
Hal di atas merupakan suatu konsekuensi logis dari bangunan sistem ekonomi
Indonesia pasca orde baru yang bertumpu kepada utang Word Bank, International
Monetary Funds (IMF) dan Consortium Group for Indonesia (CGI)Sehingga politik
hukum yang tersirat maupun tersurat dalam serangkaian produk peraturan
perundang-undangan agraria pada kurun waktu orde baru mempunyai
karakteristik mencerminkan konfigurasi politik otoriter dan hukumnya bersifat
konservatif sebagaimana yang dikemukakan Moh. Mahfud MD.
Berdasarkan paparan di atas, maka dampak yang muncul sebagai akibat sistem
politik dan politik hukum yang dituangkan dalam bidang sumber daya agraria
adalah:
1. Meningkatnya jumlah konflik dan sengketa tanah, sampai tahun 2000
terjadi 1700 kasus, dan
1. 2Pemicu awal tuntutan agar pemerintahan Soeharto dilengserkan karena
krisis ekonomi yang berkepanjangan. Salah satu penyebabnya dibidang
agraria terjadinya ketimpangan pembagian hasil eksploitasi sumber daya
agraria antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
Di awal jatuhnya rezim orde baru, terjadi pergolakan politik yang sangat dinamis
termasuk para pakar agraria, aktivis dan para petani mendorong upaya
perombakan atau mengamendemen UUPA. Tetapi upaya tersebut gagal karena
pada akhirnya terjadi pergeseran sikap politis ditingkat tinggi.
Sehingga pada akhirnya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menerbitkan
Ketetapan Nomor IX/MPR/2001 yang memberikan secercah harapan dalam upaya
pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yang menugaskan
kepada Pemerintah untuk melaksanakannyaDi tengah terjadinya perbedaan
pandangan terhadap menindaklanjuti ketetapan di atas dan Keppres Nomor 34
Tahun 2003, maka dilakukan pembaharuan undang-undang secara sektoral yang
mengabaikan UUPA sebagai payungyamisalnya UU pertambangan, kehutanan,
pengairan, perkebunan, minerba dan saat ini sedang di finalisasi UU pertanahan
di parlemen. Akibat banyaknya UU sektoral di atas, maka substansinya banyak
yang tumpang tindih secara vertikal dan horizontal.
Sebagai langkah-langkah untuk membangun hukum agraria atau hukum tanah
nasional, maka diperlukan kearifan Pemerintah dan para politisi di parlemen
untuk memperhatikan beberapa faktor antara lain:
1. Semua materi muatan secara sektoral di bidang agraria harus
mencerminkan semangat demokratisasi, mengedepankan ekonomi
kerakyatan, memperhatikan eksistensi hak asasi manusia dan berkeadilan.
2. Upaya merombak struktur penguasaan dan pemilikan terhadap tanah harus
menjadi kebijakan prioritas, paling tidak substansi tersebut dibuat
cantolannya dalam RUU Pertanahan yang sedang dibahas di parlemen.
3. Sebaiknya dalam rangka kebijakan pertanahan nasional Bappenas dan
Menko Ekonomi lebih banyak membuat kebijakan yang konsepsional,
makro dan komprehensif, sehingga tidak terjebak dalam hal-hal teknis.
4. Reformasi hukum agraria bukan pembudayaan kekerasan dan pembodohan
rakyat karena hal itu menyimpang dari cita-cita politik hukum agraria dan
hakekat amanat reformasi Mei 98.
Latar belakang munculnya bank tanah: