Anda di halaman 1dari 4

NAMA : PARDOMUAN SITUMORANG

NPM : 214301130

KELAS : C

RESUME KONVENSI KETATANEGARAAN

C. KONVENSI KETATANEGARAAN

1. Hakikat Konvensi Ketatanegaraan

Menurut pendapat Albert Venn Dicey (1835-1922) dalam bukunya “Introduction to the Study of
the Law of the Constitution”, kita harus membedakan antara (i) the law of the constitution, dan the
conventions of the constitution, yang keduanya sama-sama sebagai dua maxim yang penting dalam ilmu
hukum tata negara.Termasuk ke dalam pengertian the laws of the consti- tution itu adalah segala
ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku mengikat, yang dapat dipaksa- kan dan diakui
berlakunya oleh badan-badan peradilan (which are enforced or recognized by the court), yaitu

(a) statutes, atau undang-undang, (b) norma-norma yang berasal dari custom atau adat kebiasaan, tradisi
atau prinsip-prinsip yang diciptakan oleh hakim (judge- made maxims) yang biasa dikenal sebagai
common laws. Sedangkan, norma-norma hukum lain selain hal tersebut di atas, dikategorikan oleh A.V.
Dicey sebagai the con- ventions of the constitution atau konvensi ketatanega- raan.

Konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention merupakan peristilahan yang lazim


disebut dalam pembicaraan mengenai masalah-masalah praktik ketatanegaraan dan dalam ilmu hukum
tata negara (constitutional law).312 Kadang-kadang, istilah konvensi atau konvensi ketatanegaraan itu
dianggap identik de ngan kebiasaan atau kebiasaan ketatanegaraan, padahal sebenarnya berbeda.
Kebiasaan mempersyaratkan pe- ngulangan, sedangkan konvensi tidak. Dalam praktik, konvensi juga
dianggap sebagai salah satu cara untuk mengubah apa yang tertulis dalam teks konstitusi, sesuai dengan
kebutuhan yang baik untuk memastikan beker- janya norma konstitusi dalam praktik. K.C. Wheare dalam
bukunya “Modern Constitutions”, misalnya, ada- lah salah seorang sarjana yang menganggapnya demi-
kian. Menurut K.C. Wheare:

“Many important changes in the working of a constitution occur without any alteration in the rules which
regulate a government, whether they strictly legal or rules of custom and convention”.

Banyak perubahan yang terjadi dalam rangka pelaksanaan undang-undang dasar tanpa mengubah
secara mutlak bunyi teks hukum ketentuan yang menga- tur suatu pemerintahan, melainkan terjadi begitu
saja melalui kebiasaan dan konvensi (rules of custom and convention). K.C. Wheare bahkan menguraikan
lebih lanjut mengenai perubahan-perubahan konstitusi yang dapat terjadi melalui (i) perubahan hukum
dalam arti yang strict, yaitu perubahan melalui amandemen formal;
(ii) perubahan melalui penafsiran yudisial atas teks konstitusi, yaitu melalui proses peradilan tata negara
(constitutional adjudication); dan (iii) perubahan mela- lui kebiasaan dan konvensi. Artinya, konvensi
juga dapat dianggap sebagai salah satu metode perubahan konstitusi.

Oleh karena itu, studi mengenai konvensi ketatanegaraan sangat penting untuk mengetahui beker-
janya konstitusi yang tertulis dalam praktik. Meskipun sejak lama konvensi ketatanegaraan sudah menjadi
per- hatian para ahli sejak abad ke-19, seperti E.A. Freeman dalam bukunya “Growth of the English
Constitution” (1872), 324 tetapi pentingnya konvensi itu baik dalam rangka pemahaman terhadap
konstitusi maupun untuk penerapan konstitusi dalam praktik, dapat dikatakan baru berkembang sejak
prakarsa A.V. Dicey yang mene- kankan pentingnya konvensi ketatanegaraan di dalam bukunya “An
Introduction to the Study of the Law of the Constitution” yang pertama kali terbit pada tahun 1885.325
Albert Venn Dicey, namanya biasa disingkat A.V. Dicey atau Dicey, menekan pembedaan antara hukum
konstitusi (laws of the constitution) dan kebiasaan kon- stitusi (the conventions of the constitution), bukan
untuk maksud mengeluarkan yang kedua dari perhatian para mahasiswa hukum. Sebaliknya, Dicey
membedakan keduanya untuk meyakinkan para mahasiswa agar tidak mengabaikan pentingnya
penyelidikan mengenai kon vensi ketatanegaraan atau constitutional convention dalam studi ilmu
hukum tata negara.

2. Pengakuan Hakim terhadap Konvensi (Judicial Recognition)

Seperti dikemukakan di atas, para hakim tidak terikat atau tidak ada keharusan bagi pengadilan
untuk menerapkan konvensi dalam memutus sesuatu perkara. Sebab, pada pokoknya, konvensi itu sendiri
tidak dapat dipersamakan atau bukanlah hukum (law) dalam arti yang sebenarnya. Itu sebabnya, dalam
artikelnya ber- judul “Laws and Conventions Distinguished” (1975),

C.R. Munro menyatakan:

“The validity of conventions cannot be the subject of the proceedings in a court of law. Reparation for
breach of such rules will not be effected by any legal sanction. There are no cases which contradict these
propositions. In fact, the idea of a court enforcing a mere convention is so strange that the question hardly
arises”.

Dalam bukunya yang lain, dinyatakan pula oleh C.R. Munro, “In a legal system, a certain number of
sources are recognized as law-constitutive. So there are rules specifying what counts as law (or what, by
impli- cation, does not)”. Di Inggris, menurutnya:

“The courts accept as law only legislation made or authorised by Parliament and the body of rules
evolved by the courts called common law. There are formal signs, such as the words of enactment used
for Acts of Parliament, denoting that rules have passed a test for being laws”.

Penting untuk ditegaskan di sini, bukanlah bahwa status konvensi itu berada di luar kategori hukum,
tetapi bahwa konvensi itu tidak memiliki kualitas kualifikasi yang sama dengan hukum dalam arti yang
sebenarnya.
Kemudian yang dapat juga dipastikan ialah bahwa konvensi itu tidak dapat ditegakkan oleh
pengadilan dan pelanggaran terhadapnya tidak dapat dikenakan sanksi oleh hakim. Meskipun demikian,
tentu tidak berarti bahwa pengadilan tidak mengakui sama sekali keberada- an konvensi sebagai sumber
hukum. Setiap konvensi tetap dapat dijadikan pegangan yang dipercaya bagi hakim sebagai alat bantu
untuk menafsirkan peraturan tertulis yang berlaku. Konvensi ketatanegaraan (constitu- tional
conventions) juga dapat dijadikan alat untuk justi- fikasi sikap pengadilan yang mengambil jarak dari ke-
putusan-keputusan tata usaha negara di bidang-bidang yang pengadilan sendiri menganggap dirinya tidak
terlibat atau tidak boleh dilibatkan.

3. Fungsi Konvensi Ketatanegaraan

Konvensi ketatanegaraan (constitutional conven- tion) merupakan aturan politik (rules of political beha-
viour) yang penting untuk kelancaran bekerjanya kon- stitusi. Pentingnya konvensi ini, tidak saja berlaku
di Inggris, tetapi juga di semua negara yang mengenal undang-undang dasar tertulis. Seperti dikatakan
oleh

K.C. Wheare:

“in all countries, usage and convention are impor- tant and... in many countries which have Con-
stitutions usage and convention play as important a part as they do in England”.

Konvensi memfasilitasi evolusi dan perubahan dalam diri konstitusi itu sendiri, sementara bentuk
hukumnya tetap tidak berubah (Conventions facilitate evolution and change within the constitution while
the legal form remain unchanged).

Dalam praktik, konvensi ketatanegaraan dikem- bangkan untuk keperluan mengatur kewenangan
diskresi yang bersifat terbuka. Jika kewenangan yang bersifat terbuka tidak diatur, kebijakan kenegaraan
(state policy) akan ditetapkan berdasarkan discretionary power yang sangat mungkin tidak terkendali. Hal
demikian tentu akan rawan terhadap penyalahgunaan semata-mata untuk kepentingan kekuasaan itu
sendiri. Oleh karena itu, pengertian konvensi dapat dikaitkan dengan fungsi- nya, yaitu untuk membatasi
penggunaan diskresi kon- stitusional (constitutional discretion).

Dengan perkataan lain, konvensi merupakan non- legal rules yang mengatur cara bagaimana legal
rules diterapkan dalam praktik. Hubungan antara hukum dan konvensi dapat dikatakan sangat penting dan
mempunyai karakteristik yang fundamental dalam sis- tem dan struktur ketatanegaraan. Bahkan, dalam
penye- lenggaraan negara konstitusional di seluruh dunia, kon- vensi ketatanegaraan terus tumbuh dan
berkembang dalam praktik. Dapat dikatakan, tidaklah mungkin me- nyelesaikan berbagai perselisihan dan
sengketa konsti- tusional dalam praktik penyelenggaraan negara dengan hanya mengandalkan rujukan
kepada norma hukum (it is impossible to settle constitutional disputes merely by reference to the state of
the law).

Meskipun pengadilan tidak dapat menerapkan atau menentukan sanksi atas pelanggaran terhadap
ketentuan konvensi ketatanegaraan, tetapi pengakuan pengadilan terhadap adanya konvensi
ketatanegaraan tersebut tetap mempunyai arti penting bagi hakim dalam menjatuhkan putusan atas
perkara konstitusi yang diajukan kepada- nya. Konvensi dapat dipakai sebagai alat penunjang pe- nafsiran
terhadap peraturan tertulis atau untuk men- dukung keputusan-keputusan hakim (an aid to statutory
interpretation or to support judicial decisions).

4. Beberapa Contoh Konvensi di Indonesia

Dalam pelaksanaan undang-undang dasar, banyak perubahan yang terjadi terhadap norma yang
terkandung di dalamnya tanpa melalui proses perubahan formal, melainkan hanya terjadi begitu saja
melalui kebiasaan ataupun konvensi ketatanegaraan. Menurut Profesor Ismail Suny, perubahan yang
terjadi dalam sistem peme- rintahan berdasarkan UUD 1945, yakni dengan diprak- tikkannya sistem
pertanggungjawaban menteri sebagai- mana termuat dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
1945, merupakan salah satu contoh konvensi ketatanegaraan yang mengubah bunyi teks UUD 1945
mengenai pertanggungjawaban pemerintahan. Seperti dikemukakan oleh K.C. Wheare:

“Many important changes in the working of a constitution occur without any alteration in the rules
which regulate a government, whether they strictly legal or rules of custom and convention”.

Oleh karena itu, konvensi ketatanegaraan atau the conventions of the constitution mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam hukum tata negara, dan dianggap mempunyai kekuatan yang sama
dengan undang-undang, diterima, dan dijalankan seperti halnya undang-undang. Bahkan, seringkali
konvensi ketatane- garaan itu menggeser berlakunya peraturan perundang- undangan tertulis. Meskipun,
lazim dipahami bahwa hakim di pengadilan tidak terikat untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan
konvensi ketatanegaraan ter- sebut, tetapi di luar pengadilan konvensi ketatanegaraan biasanya ditaati
seperti halnya orang menaati undang- undang.

Sebagai contoh, seperti diuraikan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dapat dikemukakan
di sini mengenai konvensi yang berlaku atas ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, pada masa-
masa awal kemerdekaan. Menurut ketentuan Pasal 17 itu,351 Menteri Negara adalah pembantu Presiden,
dan karena itu bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam praktik ketatanegaraan pada tahun 1945
ternyata ketentuan mengenai Menteri Negara bertanggung jawab kepada Presiden tersebut, disimpangi
dengan dasar konvensi ketatanegaraan. Ketentuan tersebut diubah, sehingga Menteri ditentukan harus
bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang merupakan
lembaga semacam DPR pada masa sekarang.

Selanjutnya, setelah metode perubahan ini dilaku- kan berulang-ulang, cara ini pun berkembang
menjadi kebiasaan (constitutional custom) yang baik dalam prak- tik ketatanegaraan Indonesia
berdasarkan UUD 1945. Baik keputusan pertama untuk menerapkan metode ini maupun keputusan-
keputusan selanjutnya, setelah hal itu menjadi kebiasaan karena telah terjadi berulang- ulang, sama-sama
dikenal dengan sebutan yang diistilah- kan oleh A.V. Dicey yaitu the conventions of the constitu- tion,
bukan the laws of the constitution.

Anda mungkin juga menyukai