Anda di halaman 1dari 2

para hakim tidak terikat atau tidak ada keharusan bagi pengadilan untuk menerapkan konvensi dalam

memutus sesuatu perkara. Sebab, pada pokoknya, konvensi itu sendiri tidak dapat dipersamakan atau
bukanlah hukum (law) dalam arti yang sebenarnya.

C.R. Munro dalam bukunya yang lain menyatakan bahwa “Dalam suatu sistem hukum, sejumlah sumber
tertentu diakui sebagai hukum-konstitutif. Jadi ada aturan yang menentukan apa yang dianggap sebagai
hukum (atau apa, implikasinya, tidak)”

Penting untuk ditegaskan di sini, bukanlah bahwa status konvensi itu berada di luar kategori hukum, tetapi
bahwa konvensi itu tidak memiliki kualitas kualifikasi yang sama dengan hukum dalam arti yang sebenarnya.

Kemudian yang dapat juga dipastikan ialah bahwa konvensi itu tidak dapat ditegakkan oleh pengadilan dan
pelanggaran terhadapnya tidak dapat dikenakan sanksi oleh hakim. Meskipun demikian, tentu tidak berarti
bahwa pengadilan tidak mengakui sama sekali keberada-an konvensi sebagai sumber hukum. Setiap konvensi
tetap dapat dijadikan pegangan yang dipercaya bagi hakim sebagai alat bantu untuk menafsirkan peraturan
tertulis yang berlaku. Konvensi ketatanegaraan juga dapat dijadikan alat untuk justi-fikasi sikap pengadilan
yang mengambil jarak dari ke-putusan-keputusan tata usaha negara di bidang-bidang yang pengadilan sendiri
menganggap dirinya tidak terlibat atau tidak boleh dilibatkan.
Di Inggris, dapat dikemukakan beberapa contoh mengenai adanya pengakuan pengadilan terhadap konvensi
ketatanegaraan . Misalnya, House of Lords menjadikan pertanggung-jawaban Menteri Dalam Negeri kepada
parlemen sebagai salah satu alasan untuk memutus dalam perkara Liversidge vs Anderson .337 Demikian pula
dalam perkara Padfield vs Minister of Agriculture, Fisheries and Food , di mana konvensi mengenai pertang-
gungjawaban menteri juga dijadikan pertimbangan.

Di Mahkamah Agung Kanada, baik soal eksistensi maupun isi konvensi, juga pernah menjadi perkara yang
menyebabkan Mahkamah Agung terlibat dalam pem-bahasan mengenai the general nature of constitutional
conventions. Berkenaan dengan hal itu, mayoritas para hakim Mahkamah Agung Kanada berpendirian
bahwa konvensi ketatanegaraan tidak dapat mengkristal menjadi undang-undang. Sifat dari sebuah
konvensi, sebagai awal politik dan tergantung pada pengakuan politik yang terus-menerus oleh mereka
yang menguntungkan dan merugikan siapa konvensi yang dikembangkan selama periode waktu yang
cukup lama, tidak konsisten dengan penegakan hukumnya. Upaya asimilasi pertumbuhan konvensi dengan
pertumbuhan hukum umum adalah salah paham. Tidak ada peran orang tua yang dimainkan oleh
pengadilan sehubungan dengan konvensi.
Konvensi diakui eksistensinya, tetapi jika ada peraturan perundang-undangan tertulis, dan terdapat
pertentangan antara konvensi dimaksud dengan pera-turan perundang-undangan, maka pengadilan harus
menerapkan peraturan perundang-undangan tertulis di atas konvensi. Oleh karena itu, konvensi tidak dapat
di-terapkan secara mandiri, atau bahkan sering dikatakan bahwa konvensi itu memang tidak dapat
ditegakkan atau diterapkan oleh pengadilan. Sanksi konvensi itu bersifat politik, meskipun pelanggaran
terhadap konvensi ketata-negaraan dapat juga disebut sebagai sesuatu yang tidak konstitusional atau
inkonstitutional. Mahkamah Agung Kanada juga menerima kriteria yang diajukan oleh Sir Ivor Jennings
tentang konvensi ketatanegaraan.

Konvensi tidak hanya diakui oleh para politisi, tetapi juga oleh masyarakat luas pada umumnya. Pada
umum-nya para sarjana mengakui bahwa konvensi itu merupa-kan norma aturan yang mengikat untuk
umum. Oleh karena itu, legislasi peraturan perundang-undangan dapat mengakui atau menyerap isinya
sebagaimana mestinya. Konvensi ketatanegaraan dapat diformula-sikan ke dalam rumusan undang-undang,
atau bahkan dalam rumusan undang-undang dasar. Selain itu, kedudukan konvensi kenegaraan Inggris juga
terdapat dalam Konstitusi Nigeria. Konvensi yang sama sebagaimana dimaksud tidak diadopsi secara
ekspresif verbal dalam Konstitusi.

Hukum konstitusi, bagaimanapun juga, dapat berdiri sendiri sebagai hukum, meskipun normanya yang
karena sifatnya yang statis dapat tertinggal dalam perkembangan zaman. Konvensi membentuk sistem
kabinet, misalnya, didasar-kan atas anggapan bahwa aturan hukum yang terkait dengan hal itu sebagai
kekuasaan prerogatif Raja atau Ratu. Artinya, terdapat beberapa lapisan peraturan perundang-undangan,
konvensi, dan fakta-fakta atau praktik politik dalam setiap tingkatan organisasi pemerintahan, termasuk
undang-undang yang mengakui keberadaan konvensi. negara dalam segala hal, dan untuk alasan ini,
bahwa pada hampir setiap saat dalam hidup kita, mungkin ada satu praktik yang disebut 'Konstitusional'
yang jatuh ke dalam ketidakpedulian dan mungkin ada praktik lain yang mulai digunakan tetapi tidak
belum disebut 'konstitusional'.

Anda mungkin juga menyukai