Anda di halaman 1dari 41

KONVENSI

KETATANEGARAAN
OLEH : ARIE SULISTYOKO, S.Sos, M.H
PENGERTIAN KONVENSI

Istilah konvensi berasal dari bahasa Inggris convention.


Secara akademis seringkali istilah convention digabungkan
dengan perkataan constitution atau contitusional seperti
convention of the constitution.Pengertian atau definisi
Konvensi Ketatanegaraan pertama kali dikemukan oleh
Dicey, yang mengemukakan Konvensi Ketatanegaraan adalah
konvensi-konvensi (Conventions of the Constitution) yang
berlaku dan dihormati dalam kehidupan ketatanegaraan,
walaupun tak dapat dipaksakan oleh pengadilan apabila
terjadi pelanggaran terhadapnya
Lanjutan

Yang termasuk ketentuan-ketentuan yang tergolong


konvensi ketatanegaraan antara lain,
pengertian/persetujuan-persetujuan (understandings),
kebiasaan-kebiasaan (habits), yang bukan tergolong
hukum sebab pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan di
pengadilan. Karena itu konvensi ketatanegaraan
disamakannya dengan “moralitas ketatanegaraan”
(constitutional morality).
Lanjutan

A.K. Pringgodigdo mengemukakan, bahwa convention


adalah kelaziman-kelaziman yang timbul dalam praktek
hidup.
Bagir Manan mengemukakan, bahwa konvensi atau hukum
kebiasaan ketatanegaraan adalah hukum yang tumbuh dalam
praktek penyelenggaraan Negara untuk melengkapi,
menyempurnakan, menghidupkan (mendinamisasi) kaidah-
kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat
ketatanegaraan
Bagir Manan merinci Konvensi Ketatanegraan
yang dikemukakan oleh Dicey sebagai
berikut: :
a. Konvensi adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan (konstitusi) yang
tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktek penyelenggaraan negara.
b. Konvensi sebagai bagian dari konstiusi yang tidak dapat dipaksakan oleh
(melalui) pengadilan.
c. Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tutunan etika, akhlak atau
politik dalam penyelengaraan negara.
d. Konvensi adalah ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana seharusnya
(sebaiknya) discretionory powers dilaksanakan.
Lanjutan

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengemukakan,


bahwa konvensi atau yang disebut dengan kebiasaan
ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang, sehingga
diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan,
walaupun ia bukan hukum.
Pengertian Konvensi menurut E.C.Wade
and G. Godfrey Philips
Rules not having the force of the law but which can nevertheless not be
discregarded since they are sanctioned by public opinion, and perhaps in
directly by law proper (peraturan yang tidak memiliki kekuatan hukum namun
tetap tidak dapat diabaikan karena dikenai sanksi oleh opini publik, dan mungkin
secara langsung oleh undang-undang yang semestinya)
Pengertian Konvensi menurut Ismail Suny

konvensi ketatanegaraan sebagai “perbuatan


ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga
dapat diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan
suatu negara, walaupun perbuatan itu bukan merupakan
perbuatan hukum
Lanjutan

Menilik pandangan para ahli tersebut, maka konvensi


ketatanegaraan dapat diartikan sebagai hukum dasar tidak
tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam praktek
ketatanegaraan, dipraktekkan baik berulang-ulang kali
maupun sekali terjadi, serta diterima dan ditaati dalam
kehidupan negara yang bersangkutan
Bentuk-bentuk Konvensi Ketatanegaraan

Ada 2 bentuk konvensi ketatanegaraan, yaitu:


1. Konvensi ketatanegaraan sebagai kebiasaan;
2. Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Express Agreement
1. Konvensi ketatanegaraan sebagai
kebiasaan
Dalam pandangan A.V. Dicey, konvensi ketatanegaraan merupakan
kebiasaan-kebiasaan, persetujuan-persetujuan, dan praktek-praktek
yang bukan tergolong hukum dan tidak dapat dipaksakan atau
dilaksanakan oleh pengadilan. Dalam kebiasaan terdapat unsur yang
menunjukkan bahwa perbuatan yang sama berulang-ulang dilakukan,
yang kemudian diterima dan ditaati. Meskipun konvensi
ketatanegaraan diakui belum sampai pada taraf “hukum”, tetapi
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih konprehensif, perlu
dibahas terlebih dahulu pandangan dan kriteria kebiasaan yang dapat
berubah menjadi hukum kebiasaan serta bagaimana prosesnya
menjadi hukum kebiasaan.
Lanjutan
Bagir Manan menyimpulkan beberapa kriteria atau persyaratan kebiasaan yang
dapat diterima menjadi hukum di pengadilan, sebagai berikut:
 Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
 Tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Common Law;
 Telah ada jangka waktu yang panjang;
 Telah dilaksanakan secara damai dan berkelanjutam;
 Dipandang masyarakat sebagai kewajiban;
 Mempunyai arti dan ruang lingkup tertentu;
 Diakui sebagai sesuatu yang mengikat oleh mereka yang terkena;
 Layak, tidak bertentangan dengan hak dan tidak merugikan atau menimbulkan
ketidakadilan bagi (kepentingan) mereka yang berada di luar kebiasaan itu
Lanjutan

Pandangan mengenai kebiasaan harus memenuhi syarat


tertentu juga dianut oleh ahli hukum Eropa Kontinental,
Indonesia dan sebagainya. Menurut konsep Eeropa
Kontinental, terbentuknya (hukum) kebiasaan harus
memenuhi dua syarat, yaitu 1) satu yang bersifat material,
pemakaian yang tetap; dan 2) satu yang bersifat psikologis
(bukan psikologis perorangan melainkan psikologis
golongan), kenyakinan akan kewajiban hukum (opinio
necessitatis)
Lanjutan

Di lain pihak, John Austin – sebagaimana hal penulis Anglo


Saxon lain berpandangan bahwa syarat kebiasaan terletak
pada lembaga peradilan. Menilik pemikiran tersebut,
konvensi ketatanegaraan dalam bentuk kebiasaan harus
memenuhi persyaratan antara lain :1) harus ada preseden
yang timbul berkali-kali; 2) preseden yang timbul karena
adanya sebab yang secara umum dapat dimengerti atau
dapat diterima; 3) preseden itu karena kondisi politik yang
ada
Lanjutan
Syarat pertama merupakan hakikat kebiasaan itu sendiri, sebab
tidak ada kebiasaan yang tidak dilakukan berulang-ulang.
Syarat kedua sama dengan “opinio necessitatis” atau
kenyakinan akan kewajiban hukum yang berlaku di Eropa
Kontinental. Kenyakinan sebagai kewajiban hukum ini idealnya
tidak hanya dirasakan oleh seseorang atau golongan tertentu,
tetapi oleh sebagian terbesar warga negara. Syarat ketiga
dibutuhkan karena tuntutan kondisi politik dalam skala yang
luas, karena kehidupan politik menuntut dibentuknya tindakan
baru sebagai awal terciptanya konvensi ketatanegaraan, atau
tetap mempertahankan tradisi ketatanegaraan lama yang
dianggap selama ini sudah menjadi konvensi ketatanegaraan.
2. Konvensi Ketatanegaraan Sebagai
Express Agreement
Bentuk konvensi ketatanegaraan ini dapat ditemukan dalam bentuk
tertulis berupa kesepakatan para pemimpin politik (negara). Kesepakatan-
kesepakatan tersebut di luar jangkauan pengaturan konstitusi. Menurut
Ismail Suny, konvensi ketatanegaraan yang disebut express agreement
tidak perlu selalu merupakan ketentuan yang tidak tertulis, yang timbul
dari persetujuan/agreement boleh saja berbentuk tertulis. Konvensi
tersebut mungkin berupa suatu persetujuan yang ditandatangani oleh
pemimpin-pemimpin negara seperti persetujuan antara Wakil Presiden
Indonesia dan Badan Pekerja 16 Oktober 1945 atau suatu memorandum
yang dikeluarkan setelah pembicaraan antara menteri-menteri seperti
Maklumat pemerintah pada 14 Oktober 1945
Lanjutan
Dalam ketatanegaraan Inggris, persetujuan yang menyatakan
suatu perubahan dalam hukum mengenai pergantian
Mahkota (sucession) atau gelar Raja memerlukan
pengesahan Parlemen dari semua Dominion, begitupun dari
Parlemen Kerajaan Inggris sendiri. Bahkan konvensi-konvensi
ketatanegaraan tersebut telah mencapai bentuk yang lebih
formal dan ungkapan otoriter, karena tercantum dalam
bagian kedua dari pendahuluan (preamble) Statute of
Westwinter. Oleh karena preambule menurut Hukum Tata
Negara Inggris tidak mempunyai akibat hukum, keadaan ini
memperkuat kedudukan konvensi ketatanegaraan
Lanjutan

Di lain pihak, Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh


mengkritik bahwa konvensi ketatanegaraan yang
mencantumkan express agreement tidaklah mengubah sifat
hakekat suatu konvensi ketatanegaraan menjadi hak yang
tertulis. Karena apabila tertulis, maka sifatnya tidak lagi
suatu konvensi. Konvensi pada hakekatnya adalah
perbuatan dalam kehidupan ketatanegaraan yang diterima
dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan
Lanjutan

Sedangkan Wade pun tidak mengatakan bahwa


express agreement itu adalah konvensi,
melainkan sumber (source) bagi konvensi. Dalam
hal sumbernya adalah express agreement, maka
kekuatan mengikatnya adalah segera
(immediately binding) seperti dikatakan Wheare,
jadi tanpa syarat dilakukan berulang-ulang.
Lanjutan

Kritikan Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh ini semata
mengacu pada pemikiran A.V. Dicey ketika mengemukakan
konsep konvensi ketatanegaraan, namun harus diingat
bahwa kebiasaan atau praktek ketatanegaraan tidak
berhenti ketika Dicey menulis bukunya sekitar 1885. Justru
sebaliknya praktek ketatanegaraan berkembang terus
mengikuti kebutuhan masyarakat negara-negara modern,
sehingga konvensi ketatanegaraan tidak harus dibatasi pada
suatu tindakan seragam yang dilakukan terhadap obyek yang
sama.
Lanjutan
Dalam perkembangan bernegara ditemukan berbagai
permasalahan ketatanegaraan yang bersifat fundamental
yang perlu ditaati dengan tindakan cepat meski belum diatur
dalam konstitusi atau peraturan ketatanegaraan yang
mendasar lainnnya. Sebenarnya jika diamati secara cermat,
pada setiap tindakan ketatanegaraan itu terjadi pengulangan,
dalam arti kriteria dan unsur pembentukannya tidak jauh
berbeda, meskipun bukan untuk obyek yang sama. Untuk
menanti masalah ini terlebih dahulu diatur dalam konstitusi
adalah tidak mungkin. Jalan satu-satunya agar persolan
tersebut dapat diatasi dengan segera adalah dengan
menempatkannya dalam konvensi ketatanegaraan.
Lanjutan
Lebih jauh Donald A. Romokoy berpendapat bahwa dalam
perkembangan ke depan, fungsi negara juga akan mengalami
pertumbuhan semakin luas, maka kemungkinan peranan
konvensi ketatanegaraan dalam bentuk express agreement
akan semakin penting, sebab banyak tindakan
ketatanegaraan yang bersifat fundamental harus dilakukan
dengan segera oleh penyelenggara negara, padahal tindakan
tersebut belum diatur dalam konstitusi. Tindakan tersebut
dapat menyangkut satu lembaga atau antar lembaga negara.
Fungsi Konvensi Ketatanegaraan

Ada 2 fungsi konvensi ketatanegaraan, yaitu:


1. Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Pelengkap Konstitusi;
2. Konvensi Ketatanegaraan berfungsi mengubah Konstitusi
1. Konvensi Ketatanegaraan Sebagai
Pelengkap Konstitusi
Konstitusi (tertulis/dokumenter) yang dibentuk dan berlaku pada negara-
negara modern pada prinsipnya memuat ketentuan-ketentuan yang
bersifat pokok-pokok saja,sehingga dapat mengikuti perkembangan
zaman. Hal-hal yang bersifat konkrit akan diatur dalam peraturan-
peraturan yang berada di bawah konstitusi. Kendatipun demikian, dalam
praktek ketatanegaraan telah dipayakan lembaga pembentuk peraturan
legislatif untuk menjabarkan lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang
termuat dalam konstitusi, akan tetapi tidak semua wujud
penyelenggaraan pemerintahan dapat terserap dalam peraturan-
peraturan yang lebih rendah dari konstitusi
Lanjutan
Kenyataan ini menuntut sebuah instrumen hukum yang bersifat mendasar
yang dapat menyebabkan munculnya tindakan-tindakan ketatanegaraan
yang berada “di luar” hukum (konstitusi) atau ketentuan-ketentuan
ketatanegaraan positif lainnya. Tindakan-tindakan yang bersifat
fundamental itu dapat dianggap sebagai konvensi ketatanegaraan. Oleh
karenanya, salah satu fungsi konvensi ketatanegaraan adalah untuk
melengkapi konstitusi atau ketentuan-ketentuan ketatanegaraan yang
bersifat mendasar
Lanjutan

Fungsi konvensi ketatanegaraan ini sejalan dengan


pandangan Ivor Jennings bahwa “enable a rigid legal
framework – and all laws tend to be rigid – tobe kept up
with canging social needs and changing political ideas”.
(untuk memungkinkan suatu kerangka hukum yang kuat/tegar
serta dapat mengikuti perubahan kebutuhan-kebutuhan
sosial dan perubahan pemikiran-pemikiran politik).
Lanjutan

Jelaslah bahwa konvensi ketatanegaraan merupakan hal yang


sangat penting dalam setiap negara modern untuk
mengantisipasi dinamika kehidupan masyarakat dan politik,
serta tidak saja berfungsi melengkapi kaidah-kaidah hukum
ketatanegaraan yang ada, tetapi lebih dari itu menjadikan
kaidah hukum konstitusi dapat berjalan sesuai dengan
dinamika masyarakat yang bersangkutan. Sehubungan dengan
itu, Bagir Manan menyebutkan bahwa konvensi
ketatanegaraan juga sebagai faktor dinamik sistem
ketatanegaraan suatu negara.
2. Konvensi Ketatanegaraan berfungsi
mengubah Konstitusi
Konvensi Ketatanegaraan dapat mengubah konstitusi
diungkapkan K.C.Wheare dengan menunjukkan praktek di
negara Persemakmuran Inggris (British commonwealth). Dalam
konstitusi negara Persemakmuran Inggris yang telah
mempertahankan bentuk pemerintahan monarkis, biasa
ditemukan adanya kekuasaan yang diberikan kepada Ratu atau
Wakilnya, Gubernur-Jenderal, untuk menolak persetujuannya
atas suatu rancangan undang undang. Di dalam semua kasus
ini diterima bahwa dengan konvensi ketatanegaraan,
kekuasaan itu tidak dapat dijalankan
Lanjutan
Contoh lainnya, dalam Konstitusi Amerika Serikat diatur kekuasaan
memilih presiden berada dalam tangan Dewan Pemilih (College of
Electors) yang dipilih oleh masing-masing negara bagian dengan cara
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan negara
bagian. Tetapi dengan konvensi ketatanegaraan, para pemilih ini tidak
melaksanakan kebijakan itu. Dalam kenyataan kekuasaan memilih
beralih ke organisasi partai politik yang memutuskan siapa calon-
calonnya dan kepada para pemilih yang menentukan, di dalam
prosedur yang ditetapkan hukum, siapa di antara calon-calon ini yang
akan dipilih. Konvensi ketatanegaraan yang disetujui oleh seluruh
kekuatan organisasi partai, memainkan peran yang paling penting
Lanjutan
Di Indonesia, konvensi ketatanegaraan yang mengubah
konstitusi terlihat dalam pengaturan Pasal 17 ayat (3), yang
menegaskan “Menteri-menteri itu memimpin departemen
pemerintahan”. Bilamana kaidah hukum tersebut ditaati,
maka mestinya hanya ada satu jenis menteri, yaitu setiap
menteri harus memimpin departemen. Bahkan dalam
periode tertentu menteri-menteri kabinet terdiri atas empat
jenis, yaitu menteri koordinator, menteri negara, menteri
departemen, dan menteri muda
Lanjutan

Mengenai perubahan konstitusi dengan konvensi


ketatanegaraan, Bagir Manan menjelaskan bahwa hal itu dapat
terjadi dalam tiga bentuk, yaitu: 1) konvensi menghapuskan
(nullifying) beberapa ketentuan dalam UUD; 2) konvensi
ketatanegaraan mengalihkan kekuasaan yang telah ditetapkan
UUD; dan 3) konvensi ketatanegaran melengkapi UUD atau
peraturan hukum ketatanegaraan yang telah ada
Ciri-Ciri Konvensi Ketatanegaraan
A.V Dicey menjelaskan bahwa konvensi ketatanegaraan
harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:
1. Konvensi itu berkenaan dengan hal-hal dalam bidang
ketatanegaraan.
2. Konvensi tumbuh, berlaku, diikuti dan dihormati dalam
praktik penyelenggaraan negara.
3. Konvensi sebagai bagian dari konstitusi, apabila ada
pelanggaran terhadapnya tidak pada diadili oleh badan
pengadilan
Hubungan konstitusi atau UUD NRI
1945 dengan konvensi ketatanegaraan
Penjelasan umum UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan
bahwa ; “Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya
sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang-Undang Dasar
adalah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disamping
undang-undang itu berlaku juga hukum dasar yang tak tertulis,
ialah aturan-aturan dasar itu yang timbul dan terpelihara
dalam prktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis
Lanjutan
Menggaris bawahi penjelasan umum UUD NRI 1945 tersebut
dapat disimpulkan bahwa kehidupan ketatanegaraan Republik
indonesia selain dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah
hukum tertulis (UUD), juga memperhatikan kaidah-kaidah
hukum yang tak tertulis kaidah-kaidah hukum yang tidak
tertulis itu tumbuh dan berkembang berdampingan secara
paralel dengan kaidah-kaidah hukum yang tertulis.
Lanjutan

 Bila penjelasan umum UUD NRI 1945 dipahami dalam realita konstitusional,
maka kehadiran konvensi merupakan kelengkapan bagi konstitusi atau UUD
NRI 1945 dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan dan perkembangan
zaman.
 Perlu diketahui bahwa hampir semua negara-negara modern di dunia
disamping mempunyai konstitusi (UUD yang terulis) Dalam praktik
penyelenggaraan negara mengakui adanya apa yang dilakukan disebut
konvensi. Konvensi selalu ada pada setiap sistem ketatanegaraan, terutama
pada negara – negara demokrasi.
Lanjutan
 Di atas telah disinggung UUD NRI 1945 mengakomodasikan adanya hukum-
hukum dasar yang tak tertulis yang timbul dan terpelihara dalam praktik
ketatanegaraan yang dinamakan konvensi. Hal ini tentunya tak lepas dari
pandangan modern para penyusun UUD NRI 1945 yang melihat hukum
konstitusi dalam pengertian yang luas, yang mencakup baik hukum tertulis
maupun hukum yang tidak tertulis.
 Disamping itu, keterikatan UUD 1945 pada konvensi dikarenakan sifat UUD
NRI 1945 itu sendiri sebagai “ singkat dan supel “ UUD 1945 hanya memuat
37 pasal. Dalam kaitan inilah penjelasan UUD NRI 1945 mengemukakan :
“… kita harus senantiasa ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat dan
negara Indonesia. Masyarakat dan negara Indonesia tumbuh, zaman
berubah, terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang ini. Oleh
karena itu, kita harus hidup dinamis, dan melihat segala gerak – gerik
kehidupan masyarakat dan negara Indonesia….”.
Lanjutan
Dari pikiran-pikiran yang dipaparkan diatas dapat diketahui
bagaimana peranan konvensi dalam praktik penyelenggaraan
negara. Kehadiran konvensi bukan untuk mengubah UUD NRI
1945. Oleh karena itu, konvensi tidak boleh bertentangan
dengan UUD NRI 1945, konvensi berperan sebagai
partnership memperkokoh kehidupan ketatanegaraan
Indonesia dibawah sistem UUD NRI 1945.
Praktek Pembentukan Konvensi
Ketatanegaraan di Indonesia
Konvensi ketatanegaraan juga telah tumbuh dan dipraktekkan
dalam penyelenggaraan negara di Indonesia, karena konvensi
ketatanegaran memiliki peranan yang sangat penting untuk
mengatasi berbagai kebutuhan yang mendesak dan belum
diatur dalam konstitusi (UUD 1945) maupun peraturan-
peraturan ketatanegaraan lainnya. Selain itu, kehadiran
konvensi ketatanegaraan juga dianggap penting untuk
mengatasi kebekuan norma yang terkandung dalam UUD 1945
guna menyesuaikannya dengan dinamika masyarakat Indonesia
Beberapa praktek ketatanegaraan yang diterima sebagai
konvensi ketatanegaraan di Indonesia, antara lain

1) pidato presiden setiap tanggal 16 Agustus didepan sidang paripurna DPR


yang di satu pihak memberi laporan pelaksanaan tugas pemerintah dalam
tahun anggaran yang lewat, dan di lain pihak mengandung arah
kebijaksanaan tahun mendatang. Secara konstitusional tidak ada
ketentuan yang mewajibkan presiden yang menyampaikan pidato resmi
tahunan semacam itu di hadapan sidang Paripurna DPR. Karena presiden
tidak tergantung DPR dan tidak bertanggung jawab pada DPR, melainkan
presiden bertanggung jawab kepada MPR. Kebiasaan ini tumbuh sejak Orde
Baru.
Lanjutan
2) Jauh hari sebelum Majelis Permusywaratan Rakyat bersidang Presiden
telah menyiapkan rancangan bahan-bahan untuk Sidang Umum MPR yang
akan datang itu. Dalam UUD 45 hal ini tidak diatur, bahkan menurut
pasal 3 UUD 1945 MPR lah yang harus merumuskan dan akhirnya
menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Namun untuk
memudahkan MPR, Presiden menghimpun rancangan GBHN yanh
merupakan sumbangan pikiran Presiden sebagai Mandataris MPR yang di
sampaikan dalam upacara pelantikan anggota-anggota MPR. Hal
tersebut merupakan praktik ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara
dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis, yang
sudah berulang kali di lakukan pada masa pemerintahan Orde Baru
Lanjutan
3) Pada setiap minggu pertama bulan Januari, Presiden Republik Indonesia
selalu menyampaikan penjelasan terhadap rancangan Undang-Undang
tentang Anggaran pendapatan dan Belanja Negara di hadapan DPR,
perbuatan presiden tersebut termasuk dalam konvensi. Hal ini tidak diatur
dalam UUD 1945, dalam pasal 23 ayat 1 UUD 1945 hanya disebutkan bahwa
“Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan
undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui
anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan
anggaran tahun lalu”. penjelasan oleh presiden mengenai RUU tentang
APBN di depan DPR yang sekaligus juga diketahui rakyat sangat penting,
karena keuangan negara menyangkut salah satu hak dan kewajiban rakyat
yang sangat pokok. Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan
dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu
sendiri dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat, demikian penjelasan
UUD 1945

Anda mungkin juga menyukai