Anda di halaman 1dari 4

Istilah konvensi berasal dari bahasa Inggris convention.

Secara akademis seringkali istilah convention digabungkan dengan perkataan constitution atau contitusional seperticonvention of the constitution. Dicey seorang sarjana Inggris yang mula-mula mempergunakan istilah konvensi sebagai ketentuan ketatanegaraan, menyatakan bahwa Hukum Tata Negara (Constitutional Law)yang terdiri atas dua bagian, yaitu1 :
1. Hukum Konstitusi (The Law of The Constitution) yang terdiri dari : Undang-undang tentang Hukum Tata Negara (Statuta Law) Common Law, yang berasal dari keputusan-keputusan Hakim (judge-made maxims) dan ketentuan-ketentuan dari kebiasaan serta adat temurun (tradisional) 2. Konvensi-konvensi ketatanegaraan (Conventions of the Constitution) yang berlaku dan dihormati dalam kehidupan ketatanegaraan, walaupun tak dapat dipaksakan oleh pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.

Dari apa yang dikemukakan oleh AV Dicey tersebut jelaslah bahwa konvensi ketatanegaraan harus memenuhi cirri-ciri sebagai berikut : 1. Konvensi itu berkenaan dengan hal-hal dalam bidang ketatanegaraan 2. Konvensi tumbuh, berlaku, diikuti dan dihormati dalam praktik penyelenggaraan Negara 3. Konvensi sebagai bagian dari konstitusi, apabila ada pelanggaran terhadapnya tak dapat diadili oleh badan pengadilan Adapun contoh konvensi ketatanegaraan (convention of the constitution) adalah meliputi : 1. Raja harus mensahkan setiap rencana undang-undang yang telah disetujui oleh kedua majelis dalam parlemen
2. Majelis tinggi tidak akan mengajukan sesuatu rencana undang-undang keuangan (money bill)

3. Menteri-menteri meletakkan jabatan apabila mereka tidak mendapat kepercayaan dari majelis rendah Semua contoh tersebut dalam kehidupan ketatanegaraan diterima dan ditaati, walaupun ia bukan hokum (law) dalam arti sebenarnya. Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa konvensi itu berkembang karena kebutuhan dalam praktek penyelenggaraan Negara. Penyelenggara Negara itu adalah alat-alat perlengkapan Negara atau lembaga-lembaga Negara. Dalam UUD 1945 sudah cukup jelas ketentuan-ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga Negara. Berikut ini akan dibahas tentang konvensi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. 1. KONVENSI DAN UUD 1945 Penjelasan Umum UUD 1945 (catatan : setelah adanya amandemen UUD 1945, terakhir yaitu amandemen ke-empat pada tahun 2002 maka bagian penjelasan sudah ditiadakan sehingga UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh) secara tegas menyatakan bahwa : "Undang-undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar Negara itu. Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan di samping undang-undang itu berlaku juga hukum dasar yang tak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis"

Menggarisbawahi Penjelasan Umum UUD 1945 tersebut dapat disimpulkan bahwa kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia selain dilaksanakan berdasarkan kaidahkaidah hukum tertulis (UUD), juga memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang tak tertulis. Kaidah-kaidah hukum yang tak tertulis itu tumbuh dan berkembang berdampingan secara paralel dengan kaidah-kaidah hukum yang tertulis. Di dalam khasanah ilmu pengetahuan Hukum Tata Negara aturan-aturan dasar yang tidak tertulis itu disebut konvensi sebagaimana dijelaskan di atas. Sedangkan konstitusi dalam pengertian yuridis adalah suatu naskah tertulis yang mengatur keorganisasian negara yang di dalamnya memuat semua bangunan negara, dan sendi-sendi Sistem Pemerintahan Negara. Permasalahan yang sering dipertanyakan ialah bagaimana hubungan konstitusi atau UUD 1945 dengan konvensi. Mengapa ada konvensi di samping konstitusi (UUD 1945)? untuk menjawabnya perlu UUD 1945 itu sendiri sebagai rujukan. Nah, bila penjelasan umum UUD 1945 dipahami dalam realita konstitusional, maka tak dapat tidak kehadiran konvensi merupakan kelengkapan bagi konstitusi atau UUD 1945 dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman. Perlu diketahui bahwa hampir semua negara-negara modern di dunia di samping mempunyai konstitusi (UUD yang tertulis) dalam praktik penyelenggaraan negara mengakui adanya apa yang disebut konvensi. Konvensi selalu ada pada setiap sistem ketatanegaraan, terutama pada negara-negara demokrasi. Untuk Indonesia, konvensi tumbuh menurut atau sesuai dengan kebutuhan negara Indonesia. Oleh karena itu perlu dipahami bahwa konvensi tidak dapat diimpor dari sistem ketatanegaraan negara lain yang mungkin berbeda asas dan karakternya dengan sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem parlementer yang telah berurat berakar dalam sistem ketatanegaraan di negara-negara barat, sudah barang tentu tak sesuai dengan sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945. DI atas telah disinggung, UUD 1945 mengakomodasi adanya hukum-hukum dasar yang tak tertulis yang timbul dan terpelihara dalam praktik ketatanegaraan yang dinamakan konvensi. Hal ini tentunya tak lepas dari pandangan modern para penyusun UUD 1945 yang melihat hukum konstitusi dalam pengertian luas, yang mencakup baik hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Di samping itu keterikatan UUD 1945 pada konvensi dikarenakan sifat UUD 1945 itu sendiri sebagai "singkat dan supel". UUD 1945 hanya memuat 37 pasal. Dalam kaitan inilah Penjelasan UUD 1945 mengemukakan : ".... kita harus senantiasa ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat dan negara Indonesia tumbuh, zaman berubah, terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang ini. Oleh karena itu, kita harus hidup secara dinamis, dan melihat segala gerak-gerik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia ..." Dari bunyi penjelasan tersebut maka tidak dapat tidak dalam rangka menampung dinamika tersebut dan melengkapi hukum dasar tertulis yaitu UUD 1945 yang singkat, maka kiranya konvensi merupakan salah satu alternatif rasional yang harus dan dapat diterima secara konstitusional dalam praktik penyelenggaraan Negara Indonesia. Maka sesuai dengan amanat UUD 1945 kiranya tidak berlebihan apabila melalui konvensi-konvensi diharapkan dinamika kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan berkembang ke arah masyarakat modern dapat tertampung. Dari pikiran-pikiran yang dipaparkan di atas dapat diketahui bagaimana peranan konvensi dalam praktik penyelenggaraan negara. Kehadiran konvensi bukan untuk mengubah UUD 1945. Oleh karena itu, konvensi tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, konvensi berperan sebagai partnership memperkokoh kehidupan ketatanegaraan Indonesia di bawah sistem UUD 1945.

Kedaulatan adalah suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau atas diri sendiri terdapat penganut dalam dua teori yaitu berdasarkan pemberian dari Tuhan atau Masyarakat [1]. Dalam hukum konstitusi dan internasional, konsep kedaulatan terkait dengan suatu pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya sendiri dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri. Penentuan apakah suatu entitas merupakan suatu entitas yang berdaulat bukanlah sesuatu yang pasti, melainkan seringkali merupakan masalah sengketa diplomatik. Beberapa pemikiran mengenai kedaulatan dan pemegang kedaulatan suatu negara setelah revolusi Perancis dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam karyanya Du Contrat Social Ou Principes Du Droit Politique (Mengenai Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hak Politik) membagi tingkat kedaulatan menjadi dua yaitu de facto dan de jure.
De facto dalam bahasa Latin adalah ungkapan yang berarti "pada kenyataannya" atau "pada praktiknya". Istilah ini biasa digunakan sebagai kebalikan dari de jure (yang berarti "menurut hukum") ketika orang mengacu kepada hal-hal yang berkaitan dengan hukum, pemerintahan, atau hal-hal teknis (seperti misalnya standar), yang ditemukan dalam pengalaman sehari-hari yang diciptakan atau berkembang tanpa atau berlawanan dengan peraturan. Bila orang sedang berbicara tentang suatu situasi hukum, de jure merujuk kepada apa yang dikatakan hukum, sementara de facto merujuk kepada apa yang terjadi pada praktiknya. Istilah de facto dapat pula digunakan apabila tidak ada hukum atau standar yang relevan, tetapi sebuah praktik yang lazim sudah mapan dan diterima, meskipun mungkin tidak sepenuhnya bersifat universal. [sunting]Standar Suatu standar de facto adalah suatu standar teknis atau lainnya yang sudah demikian lazim sehingga semua orang tampaknya mengikutinya seolah-olah itu adalah standar yang resmi. Standar de jure mungkin berbeda: contohnya adalah ngebut di jalan raya. Meskipun standar de jure menetapkan batas kecepatan tertentu atau yang lebih rendah, di banyak tempat standar de facto-nya adalah mengendarai pada batas kecepatan yang ditetapkan atau sedikit lebih cepat. Contoh lain: tidak ada hukum yang menghalangi penambahan dengan huruf ke-27 seperti misalnya (ucapan th dalam kata thorn) ke dalam abjad. Malah di abad-abad yang lampau orang menambahkan huruf tanpa banyak kesulitan. Namun di masa kini hal itu tidak dimungkinkan karena akan menimbulkan berbagai kesulitan. Jadi, ada batas de facto dalam memodifikasi abjad. Penambahan huruf seperti itu tidak praktis karena tak seorangpun akan mengenalinya De jure (dalam bahasa Latin Klasik : de iure) adalah ungkapan yang berarti "berdasarkan (atau menurut) hukum", yang dibedakan dengan de facto, yang berarti "pada kenyataannya". Istilah de jure dan de facto digunakan sebagai ganti "pada prinsipnya" dan "pada praktiknya", ketika orang menggambarkan situasi politik. Suatu praktik dapat terjadi de facto, apabila orang menaati suatu kontrak seolah-olah ada hukum yang mengaturnya meskipun pada kenyataannya tidak ada. Suatu proses yang dikenal sebagai "desuetude" dapat memungkinkan praktik-praktik de facto menggantikan hukum-hukum yang sudah ketinggalan zaman. Di pihak lain, suatu praktik mungkin tercantum di dalam peraturan atau de jure, sementara pada kenyataannya tidak ditaati atau diikuti orang. Standar De jure dan de facto dapat berbeda-beda. Misalnya, Amerika Serikat tidak mempunyai bahasa de jure, sementara bahasa de facto adalah bahasa Inggris.

Demikian pula standar untuk jarak de jure di AS adalah kilometer (karena AS ikut serta menandatangani Convention du Mtre), tetapi standar de facto-nya adalah mil. [sunting]
Ada beberapa teori kedaulatan yang dikemukakan oleh para ahli kenegaraan. Teori tersebut antara lain Teori Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Raja, Teori Kedaulatan Negara, Teori Kedaulatan Hukum, dan Teori Kedaulatan Rakyat. Untuk memudahkan analisis kita (studi kritis) tentang teori kedaulatan,

Anda mungkin juga menyukai