0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
17 tayangan5 halaman
Penafsiran hukum melibatkan tiga hal utama:
1) Pembentukan hukum yang merupakan proses perumusan peraturan, 2) konstruksi hukum yang membentuk pengertian hukum untuk mengisi kekosongan hukum, dan 3) penafsiran hukum yang mencari makna peraturan sesuai kehendak pembuatnya. Ada berbagai macam penafsiran hukum seperti berdasarkan bahasa, sejarah, sistematis, dan teleologis
Deskripsi Asli:
Judul Asli
Deden Kurniawan_8111420296_Resume Penafsiran Hukum
Penafsiran hukum melibatkan tiga hal utama:
1) Pembentukan hukum yang merupakan proses perumusan peraturan, 2) konstruksi hukum yang membentuk pengertian hukum untuk mengisi kekosongan hukum, dan 3) penafsiran hukum yang mencari makna peraturan sesuai kehendak pembuatnya. Ada berbagai macam penafsiran hukum seperti berdasarkan bahasa, sejarah, sistematis, dan teleologis
Penafsiran hukum melibatkan tiga hal utama:
1) Pembentukan hukum yang merupakan proses perumusan peraturan, 2) konstruksi hukum yang membentuk pengertian hukum untuk mengisi kekosongan hukum, dan 3) penafsiran hukum yang mencari makna peraturan sesuai kehendak pembuatnya. Ada berbagai macam penafsiran hukum seperti berdasarkan bahasa, sejarah, sistematis, dan teleologis
NIM : 8111420296 Rombel :6 Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Hukum Hari/Tanggal : Jum’at, 16 November 2020 Dosen Pengampu : Ubaidillah Kamal, S. Pd., M.H.
Resume Penafsiran Hukum
1. Apa yang dimaksud dengan pembentukan hukum, konstruksi hukum, dan penafsiran hukum? Berikan contohnya! Jawab: Pembentukan Hukum yaitu proses perumusan peraturan-peraturan hukum yang berlaku secara umum bagi setiap individu/masyarakat. Contohnya: Hakim tidak dapat membuat atau memberi keputusan yang akan berlaku sebagai Peraturan Umum. (Pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia) Konstruksi Hukum adalah pembentukan pengertian-pengertian hukum yang dilakukan oleh hakim dan fungsionaris hukum untuk mengisi kekosongan hukum yang ada di dalam sistem Undang-Undang. Ada tiga macam Konstruksi Hukum,antara lain: a) Analogi, adalah suatu cara penerapan suatu peraturan hukum sedemikian rupa di mana peraturan hukum tersebut menyebut dengan tegas kejadian yang diatur kemudian peraturan hukum itu dipergunakan juga oleh hakim terhadap kejadian yang lain yang tidak disebut dalam peraturan hukum itu, tetapi di dalam kejadian ini ada anasir yang mengandung kesamaan dengan anasir di dalam kejadian yang secara tegas diatur oleh peraturan hukum yang dimaksud. b) Rechtsverfijning (Penghalusan Hukum), adalah suatu cara penerapan peraturan hukum terhadap suatu kejadian, di mana kejadian ini pada umumnya jelas masuk dalam suatu peraturan hukum, tetapi karena beberapa hal, dianggap kejadian tersebut dikecualikan dari berlakunya peraturan hukum ini, selanjutnya hakim menyelesaikan kejadian itu menurut peraturannya sendiri. Dengan cara demikian, kejadian tersebut dapat diselesaikan oleh hakim secara adil atau sesuai dengan ‘werlijkheid’ sosial. Jika kejadian (peristiwa) itu tidak diselesaikan hakim dengan melakukan penghalusan hukum, niscaya kejadian tersebut tidak dapat diselesaikan secara adil. c) Argumentum a contrario, adalah cara penerapan suatu peraturan hukum dengan membuat kebalikan dari peristiwa tertentu yang diatur secara khusus oleh suatu peraturan hukum. Jadi, peraturan hukum yang mengatur secara khusus terhadap suatu peristiwa, tidak diberlakukan terhadap peristiwa (keadaan) yang lain.
Contoh Konstruksi Hukum:
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perjanjian jual-beli berlaku juga
untuk perjanjian tukar-menukar seperti yang ditegaskan oleh pasal 1546 KUH Perdata yang berbunyi “Untuk selainnya aturan tentang perjanjian jual-beli berlaku terhadap perjanjian tukar-menukar,”Maksud dari pasal tersebut adalah jika dua orang melakukan perjanjian jual-beli yang diatur dalam pasal 1457 sampai pasal 1540 KUH Perdata dapat dipergunakan dalam perjanjian itu.
Penafsiran Hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-daalil
yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Contohnya : Peraturan perundang-undangan melarang orang menghentikan kendaraannya pada suatu tempat. Kata kendaraan ini bisa ditafsirkan beragam, apakah roda dua, roda empat atau kendaraan bermesin, bagaimana dengan sepeda dan lain-lain. Jadi harus diperjelas dengan kendaraan mana yang dimaksudkan. 2. Uraikanlah macam-macam penafsiran hukum! Jawab: 1) Penafsiran Data Bahasa (grammatikal) Penafsiran data bahasa adalah cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang- undang. Contohnya: Suatu perundang-undangan melarang orang memarkirkan kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan “kendaraan” itu, apakah yang dimaksudkan “kendaraan” itu hanyalah kendaraan bermotor atau termasuk juga sepeda dan becak. 2) Penafsiran Shahih (autentik) Penafsiran shahih adalah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh Pembentuk Undang-Undang. Contohnya: Pasal 98 KUHP kata “malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit. Pasal 101 KUHP kata “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (Periksa KUHP Buku I Titel IX) . 3) Penafsiran Historis (Historische Interpretatie) Penafsiran Historis menjelaskan bahwa hukum ditafsirkan dengan merujuk kepada catatan proses pembentukan suatu peraturan perundang-undangan tersebut. Hakim dapat memahami maksud dan tujuan pembuat undang-undang tersebut melalui sejarah, riwayat peraturan perundang-undangan tersebut. Sejarah hukumnya yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan. 4) Penafsiran Sistematis/Dogmatis (Sistematische Interpretatie) Penafsiran sistematis adalah metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari seluruh sistem perundang-undangan. artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut, ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya. Contohnya : “asas monogami”yang disebutkan dalam pasal 27 KUHS menjadi dasar pasal-pasal 34, 60, 64, 86, KUHS dam 279 KUHS. 5) Penafsiran Nasional Penafsiran nasional adalah penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku. Contohnya: Hak milik dalam pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia (Pancasila). 6) Penafsiran Teleologis (Sosiologis) Aturan hukum ditafsirkan dengan hal-hal konkret yang ditemui dalam masyarakat. Pada dasarnya penafsiran teleologis/sosiologis ini adalah penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. 7) Penafsiran Ekstensif Penafsiran ekstensif yaitu penafsiran dengan perluasan cakupan suatu ketentuan. Penafsiran ini memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkannya. Contohnya: Kata “tetangga” diartikan sebagai orang yang memiliki rumah dan yang menempati rumah, maka anak kos pun dianggap sebagai tetangga, karena anak kos tidak memiliki rumah, hanya menempati saja. 8) Penafsiran Restriktif Penafsiran restriktif adalah penafsiran dengan pembatasan cakupan atau mempersempit arti kata-kata dalam peraturan itu. Contohnya: Kata “tetangga” dibatasi sebagai orang yang memiliki rumah, dan anak kos tidak disebut tetangga karena anak kos hanya sebagai penyewa bukan pemilik rumah. 9) Penafsiran Analogis Penafsiran analogis memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan. Contohnya: Kata “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik. 10) Penafsiran A Contrario (menurut pengingkaran) Penafsiran A Contrario ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Contohnya: Pasal 34 KUHS menentukan bahwa seseorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki? Apakah seorang laki-laki juga harus menunggu lampaunya waktu 300 hari? Jawaban atas pertanyaan ini ialah “tidak”, karena pasal 34 KUHS tidak menyebutkan apa-apa tentang orang laki-laki dan khusus ditujukan kepada orang perempuan.