Anda di halaman 1dari 2

Ijin menjawab,

Jika terjadi kekosongan aturan hukum, maka untuk mengatasinya diatur dalam pasal 27 UU
No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
menyebutkan : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat”. Artinya seorang Hakim harus
memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (Recht vinding). Penemuan
hukum dapat dilaksanakan dengan dua metode yaitu dengan cara konstruksi hukum dan
penafsiran hukum.

 Konstruksi hukum :
Konstruksi hukum ini dapat dilakukan dengan menggunakan logika berpikir / pola penalaran
dengan cara sebagai berikut :
o Analogi : Pengkonstruksian dengan cara mengabstraksikan prinsip suatu ketentuan
untuk kemudian prinsip ini diterapkan dengan “seolah-olah” memperluas
keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya.
o Penghalusan/Penyempitan hukum : Pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi
prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan “seolah-olah”
mempersempit keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada
pengaturannya. Biasanya, jika diterapkan sepenuhnya akan memunculkan
ketidakadilan.
o A Contrario :  Pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip stuatu ketentuan
untuk kemudian prinsip itu diterapkan secara berlawanan arti atau tujuannya pada
suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya..

 Penafsiran Hukum :
Adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil dalil yang tercantum dalam undang-
undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-
undang, yang berangkat dari pemikiran bahwa pekerjaan kehakiman memiliki karakter
logikal. Menurut Carl Von Savigny penafsiran dibatasi hanya pada rekontruksi pikiran yang
tersimpul dalam undang-undang, semuanya harus dilaksanakan bersamaan untuk mencapai
tujuan yaitu penafsiran undang-undang, terutama perjanjian dan Undang-undang. Apabila
bunyi atau kata-kata undang-undang sudah jelas, maka tidak perlu ditafsirkan.
Hakim dapat melakukan penafsiran dengan cara gramatikal (penafsiran menurut bahasa
sehari-hari), historis (penafsiran berdasarkan sejarah), sistematis (penafsiran berdasarkan
keseluruhan sistem perundang-undangan), teologis (penafsiran berdasarkan tujuan
masyarakat), dan futuristis (berpedoman pada undang-undang yang belum memiliki
kekuatan hukum.
Jika dalam sengketa kontrak keperdataan, lebih mudah untuk menanyakan kembali maksud
dari pihak atas suatu rumusan yang kabur dalam perjanjian mereka. Tetapi lain halnya
dengan perundang-undangan yang spectrum keberlakuannnya sangat luas. Keluasan ini
membuat ia rentan untuk dipahami secara berbeda oleh para subjek hukum yang
berkepentingan. Akibatnya, dalam kasus tertentu masing-masing akan cenderung memakai
metode penafsiran yang paling menguntungkan.
Sekian, dan terima kasih.
Referensi :

 BMP ISIP 4130 Pengantar Ilmu Hukum/PTHI


 http://hukum.untan.ac.id/penemuan-hukum-oleh-hakim-rechtvinding/
 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt58b4df16aec3d/arti-penafsiran-
hukum-iargumentum-a-contrario-i/

Anda mungkin juga menyukai