H 16100100
ILMU HUKUM
MENGISI
KEKOSO
NGAN
HUKUM
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara
praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang
dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan
hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum.
B. Rumusan Permasalahan
C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui bagaimana tata cara Hakim menanggulangi ketika perkara ituterjadi dan perkara
itu tidak ditafsirkan di dalam peraturan perundang-undangan maka tindakan hakim harus melihat
kebiasaan masyarakat serta bagaimana cara menafsirkan Hukum.
BAB II
ISI
1. Penemuan Hukum
Terlepas dari tidak wajibnya mengikuti presiden diacunya yurisprudensi kuat bagipenyelesaian
sengketa serupa menunjukan bahwa tugas hakim bukan sekedar menerapkan undang-undang.
Melalui putusannya yang menjadi yurisprudensi kuathakim juga membuat hukum. Hal itu terjadi
apabila ada perkara yang penyelesaiannya tidak dapat dihindari karena terminologi (Peristilahan
kata-kata) yang digunakan tidak jelas.,
Undang-undang tidak mengatur masalah yang dihadapi atau undang-undang yang ada bertentangan
dengan situasi yang dihadapi. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam menetapkan atau
menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan
perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya. Tindakan seorang ahli hukum dalam
situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding
2. Pembentukan hukum
Pembentukan hukum di Indonesia telah diatur jenis, hierarkinya oleh Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-Undangan.
Pembentukan hukum di dunia ini terbentuk karena adanya masyarakat, ketika ada suatu perbuatan
yang tidak layak atau tidakberkeperimanusiaan disitulah hukum terbentuk. Hukum berkaitan dengan
manusia sebagai manusia, dimana manusia memenuhi tugasnya di dunia ini denganmenciptakan
aturan hidup atau cara hidup bersama yang baik yakni secara nasional dan moral, dengan bertumpu
pada hak-hak manusia. Jadi setiap manusia di dunia ini pasti memiliki aturan untuk hidup. Contohnya
: bangun pagi, bangun pagi sudah ada aturannya dan kita sendiri yang buat aturan tersebut.
Pembentukan hukum didunia telah mengacu pada yurisprudensi yang memiliki system hukum yang
berlaku di dunia diantaranya:
Civil law system adalah tidak ada hukum selain undang-undang atau hakim menjadicorong undang-
undang. Artinya setiap ada perkara maka hakim dapat menyelesaikannya sesuai undang-undang
yang berlaku di Indonesia.
Common law system mengacu kepada yurisprudensi (keputusan hakim terdahuludijadikan dasar
atau acuan didalam menyelesaikan suatu perkara. Hakim tidak mengacu kepada undang-undnag
tetapi melalu kebiasaan, karena adakalanya peristiwa itu tidak ada ditafsirkan di dalam undang-
undang.
Sistem hukum islam bersumber kepada Al-Quran. Maksudnya setiap peraturan sudah ada di dalam
Al-Quran biasanya yang menganut system ini adalah orang arab.
3. Penafsiran Dan Cara Pengisian Kekosongan Hukum
Penafsiran ( Interpretensi ) hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas isi atau dalil-
dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud
oleh pembuat undang-undang. Cara Penerapan Metode Penafsiran: Pembuat undang-undang tidak
menetapkan suatu sistem tertentu yang harus di jadikan pedoman bagi hakim dalam menafsirkan
undang-undang. Oleh karena itu hakim bebas dalam melakukan penafsiran. Sedapat mungkin semua
metode penafsiran semua dilakukan ,agar didapat makna-makna yang tepat. Apabila semua metode
tersebut tidak menghasilkan makna yang sama,maka wajib di ambil metode penafsiran yang
membawa keadilan setinggi tingginya, karena memang keadilan itulah yang di jadikan sasaran
pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan undang-undang yang bersangkutan .
Kekosongan Hukum terjadi apabila perkara yang terjadi tidak ada satupun cara hukum yang bisa
menanggulanginya dan perkara tersebut tidak ada di dalam undang-undang. Hakim mengisi
kekosongan hukum apabila perkara yang diajukan kepadanya tidak ada ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam peraturan perundang-undangan meskipun sudah ditafsirkan menurut bahasa,
sejarah, sistematis dan sosiologis.
Konstruksi hukum adalah hakim membuat suatu pengertian hukum (rechsbergrip)yang mengandung
persamaan. Ketika perkara yang diajukan tidak ada ketentuan yang jelas di dalam undang-undang
maka hakim harus membuat keputusan dengan mengambil kesimpulan dari segala perkara dan
hakim harus senantiasa dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan
perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat.
Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh
perkembangan perkembangan didalam masyarakat. Maka itulah cara hakim mengisi kekosongan
Hukum.
Dalam pengertian Objektif yang beristilah “inilah yang terjadi, maka inilah akibatnya”maksudnya
adalah peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi di dalam masyarakat setelah peristiwa atau perkara
itu terjadi maka dibuatlah ketentuan dan akibat-akibat berdasarkan undang-undang. Contohnya:
Pencurian, Karena pencurian merupakan tindak pudana yang tidak bermoral maka dibuatlah hukum
atas kasus pencurian. Dalam pengertian Subjektif ialah Hukum yang sudah di buat ketentuannya dan
sudah ada sanksi yang menyatakan setiap perbuatan yang melanggar hukum sudah ada akibatnya.
Jadi di dalam system objektif sudah dijelaskan sebelum peristiwa itu terjadi sudah ada ketentuan-
ketentuan hukumnya. Jadi ketika sesorang telah melakukan pelanggaran hukum maka akan diberi
sanksi seperti yang diterapkan di dalam undang-undang.
b. Berdasarkan sumbernya penafsiran Bersifat:
1. Otentik Ialah penafsiran untuk melakukan penjelasan hukum yang diberikan oleh pembuat
undang-undang. Penafsiran ini mengikat umum karena sebelum dilakukan hukum maka harus
ditafsirkan terlebih dahulu kepada masyarakat (umum).
2. Doktrinair ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan hasil-hasil karya karya para ahli.
Hakim tidak terikat karena penafsiran ini hanya memiliki nilai teoretis (pemikiran).
3. Hakim Penafsiran yang bersumber pada hakim (peradilan) hanya mengikat pihak-pihak yang
bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu(pasal 1917 ayat (1) KUH Perdata.
Supaya dapat mencapai kehendak dan maksud pembuat undang-undang serta dapat menjalankan
undang-undang sesuai dengan kenyataan sosial maka hakim dapat menggunakan beberapa cara
penafsiran (interpretative methoden) antara lain sebagai barikut:
Penafsiran secara tata bahasa ,yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti perkataan
(istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak pada arti perkataan –perkataan
dalam hubunganya satu sama lain dalam kalimat kalimat yang di pakai dalam undang-undang. dalam
hal ini hakim wajib mencari arti kata-kata yang lazim di pakai dalam bahasa sehari-hari yang umum,
oleh karena itu di pergunakan kamus bahasa atau meminta bantuan padapara ahli bahasa.
b. Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis adalah suatu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal-
pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada perundang-
undangan hukum lainnya atau membaca penjelasan suatu perundang –undangan, sehingga kita
mengerti apa yang di maksud. Misalnya dalam peraturan perundang-undangan perkawinan yang
mengandung azaz monogamy sebagai mana di atur dalam pasal 27 KUH perdata menjadi dasar bagi
pasal 34,60,64,68 KUH Perdata dan 279 KUH Pidana.
c. Penafsiran Historis
Penafsiran historis adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah terjadinya suatu
undang-undang itu dibuat. Penafsiran ini ada 2 macam :
a. sejarah hukumnya yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut.
Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan ,laporan-laporan perdebatan
dalam DPR dan surat menyurat antara menteri dengan komisi DPR yang bersangkutan.
d. Penafsiran Sosiologis(Teleologis)
Pada hakikatnya suatu penafsiran UU yang di mulai dengan cara gramatikal selalu harus di akhiri
dengan penafsiran sosiologis. kalau tidak demikian maka tidak mungkin hakim dapat membuat suatu
keputusan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan hukum di dalam masyarakat. Sehingga
dengan demikian penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dalam keadaan
masyarakat. Misalnya; di Indonesia masih banyak peraturan yang berlaku yang berasal dari zaman
colonial ,sehingga untuk menjalankan peraturan itu hakim harus dapat menyesuaikan dengan
keadaan masyarakat Indonesia pada saat sekarang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pembentukan hukum merupakan system hukum yang di pakai di Indonesia dan hukum yang di
tafsirkan di Indonesia. Masyarakat mememakai system hukum civil law system, common law system
dan hukum islam. Diantara ketiga system ini Indonesia menganut ketiganya tetapi Civil law yang
lebih menganut ke system hukum Indonesia ini.
2. Cara menafsirkan hukum ialah dengan cara grametikal (tata bahasa) dimana disini sebulum
hukum itu di tafsirkan kita harus terlebih dahulu mengetahui system tata bahasanya. Kemudian
dengan cara sistematis dimana kita harus bisa menggabungkan antara pasal satu dengan pasal yang
lainnya. Kemudian system historis penafsiran dengan cara melihat sejarah terjadinya undang-undnag
itu . kemudian dengan cara sosiologis dimana penafsiran ini harus mengetahui keadaan masyarakat.
3. Hakim mengisi kekosongan hukum disaat perkara yang ditanganinya tidak ada peraturan
undang-undang yang bersangkutan didalam perkara tersebut. Sehingga hakim akan melakukan
pengisian kekosongan hukum dengan cara melihat kebiasaan masyarakat.
B. Saran
2. Setiap ada perkara memang harus ditafsirkan terlebih dahulu hukum itu sebelum dibuat
tindakan.
3. Perkara di dunia ini memang sangat banyak hingga hukum bersifat dinamis ( tidak menetap )
agar hukum kita bersifat tetap perkara didunia harus kita kurangi dengan memperhatikan kebiasaan
masyarakat.