Anda di halaman 1dari 24

1

 Oleh karena itu : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk


memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak lengkap atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” (Pasal 16
ayat (1) UU. 4 Tahun 2004).

 Ketentuan semacam ini juga kita ketemukan dalam Pasal 22


Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB),
maka hakim dipaksa, wajib turut serta menentukan mana yang
merupakan hukum mana yang tidak. Hakim wajib membuat
penyelesaian setiap perkara.

2
 Hakim tidak hanya turut undang-undang, seperti apa yang pernah
dikemukakan oleh Montesquieu yang mengatakan “Ia bouche qui
prononce les paralos de la loi” (atau dengan kata lain Hakim sebagai
terompet undang-undang), hal ini sudah lama ditinggalkan.

 Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan


hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit.

 Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum


yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit.

3
 Bahwasanya hakim menjadi suatu faktor membentuk hukum itu
telah diakui ilmu hukum pada umumnya.

 Misalnya, Van Apeldoorn berpendapat bahwa hakim harus :


1. menyesuaikan undang-undang dengan faktor-faktor konkrit,
kejadian-kejadian konkrit dalam masyarakat dan
2. menambah undang-undang apabila perlu.

 Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan kejadian-


kejadian konkrit, karena undang-undang tidak dapat meliputi
segala kejadian yang timbul dalam masyarakat.

4
 Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim adalah hukum,
sedangkan penemuan hukum yang dilakukan oleh pakar ilmu
hukum bukan hukum melainkan sumber hukum (doktrin).
 Sering juga hakim mengambil doktrin dalam memutus suatu
perkara maka doktrin tadi sudah menjadi hukum.

 Dalam penemuan hukum hakim dapat sepenuhnya tunduk pada


undang-undang.
 Penemuan hukum ini terjadi berdasarkan peraturan-peraturan di
luar diri hukum.

5
 Pembentuk undang-undang membuat peraturan umumnya, sedangkan
hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada
peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-
undang.

 Dengan demikian maka penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan


undang-undang yang terjadi secara logis terpaksa sebagai silogisme.

 Agar dapat mencapai kehendak tujuan undang-undang serta dapat


menerapkan undang-undang sesuai dengan kenyataan sosial, maka hakim
menggunakan metode penemuan hukum.

6
Dalam literatur ada beberapa metoda, tapi dalam hal ini hanya dikemukakan 2
(dua) yaitu :
1. Metode Penafsiran, dan
2. Metode Argumentasi.

Metode Penafsiran :
Alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan oleh
hakim dalam menemukan hukumnya dapat disimpulkan adanya metode
interprestasi : menurut bahasa (gramatikal), historis, sistematis,
teleologis, sosiologis, perbandingan hukum, futuristis, restriktif dan
ekstensif.

7
1. Interprestasi Menurut Bahasa

Bahasa merupakan sarana yang sangat penting bagi hukum. Oleh karena itu
hukum terikat kepada bahasa.
Penafsiran undang-undang itu pada dasarnya selalu akan merupakan
penjelasan dari segi bahasa.
Metode interprestasi ini yang disebut interprestasi gramatikal merupakan
penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna
ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa,
susunan kata dan bunyinya.
Disini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa
sehari-hari yang umum.
Ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-
undang. Interprestasi bahasa ini harus logis.

8
2. Interprestasi menurut sejarah (historis)

Setiap ketentuan undang-undang mempunyai sejarahnya. Dari sejarah,


riwayatnya suatu peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, maka
hakim dapat mengetahui maksud pembuatannya.

Ada dua jenis interprestasi menurut sejarah, yaitu :

a. penafsiran menurut sejarah hukum

b. penafsiran menurut sejarah penetapan suatu penentuan undang-undang.

9
Penafsiran menurut sejarah hukum, yang hendak memahami undang-undang
dalam konteks seluruh sejarah hukum.

Misalnya kalau kita hendak menjelaskan ketentuan dalam BW atau KUHP,


dengan meneliti sejarahnya yang tidak terbatas sampai pada terbentuknya
BW atau KUHP saja, tetapi masih mundur ke belakang sampai pada hukum
Romawi.

Penafsiran menurut sejarah undang-undang hendak dicari maksud ketentuan


undang-undang pada waktu pembentukannya oleh pembuat undang-undang.

10
3. Interprestasi Sistematis

Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaiatan dan berhubungan


dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-
undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan
perundang-undangan.
Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem
perundang-undangan.

Menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem


perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan
undang-undang lain, inilah yang disebut interprestasi sistematis.

11
4. Interprestasi Teleologis atau Sosiologis

Metode interprestasi teleologis yaitu apabila makna undang-undang itu


ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan.

Dengan interprestasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi


sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa,
hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini
semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau
tidak.

Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan


situasi sosial yang baru, peraturan lama itu dibuat aktual.

12
5. Interprestasi Komparatif

Interprestasi Komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan


adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum.
Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu
ketentuan undang-undang.
Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional ini penting,
karena dengan pelaksanaan yang seragam direaliser kesatuan hukum yang
melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau keadaan
hukum untuk beberapa negara.
Di luar hukum perjanjian internasional kegunaan metode ini terbatas.

13
6. Interprestasi Futuristis

Interprestasi futuristis atau metode penemuan hukum yang


bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang
yang berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai
kekuatan hukum.

14
7. Interprestasi Restriktif dan Ekstensif

Dilihat dari hasil penemuan hukum dibedakan antara


interprestasi restriktif dan ekstensif.
Interprestasi restriktif adalah penjelasan atau
penafsiran yang bersifat membatasi.
Untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang
ruang lingkup ketentuan itu dibatasi.

15
Menurut interprestasi gramatikal “tetangga” menurut Pasal 666 KUHPerdata
dapat diartikan setiap tetangga termasuk seorang penyewa dari pekarangan
sebelahnya. Kalau tetangga ditafsirkan tidak termasuk tetangga penyewa, ini
merupakan penafsiran restriktif.

Dalam interprestasi ektensif dilampau batas-batas yang ditetapkan oleh


interprestasi gramatikal. Sebagai contoh dapat disebut kata “menjual” dalam
Pasal 1576 KUHPerdata.

Sudah sejak tahun 1906 kata menjual dalam Pasal 1612 BW Nederland (Pasal
1576 KUHPerdata) oleh HR ditafsirkan luas yaitu bukan semata-mata hanya
berarti jual beli saja, tetapi juga “peralihan” atau pengasingan.

16
Metode Argumentasi

Metode interprestasi adalah metode penemuan hukum dalam hal


peraturannya ada tetapi kurang jelas atau tidak jelas untuk dapat diterapkan
pada peristiwanya.

Sebaliknya dapat terjadi hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang
tidak ada peraturannya yang khusus.

Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidak lengkapan undang-


undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak
memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan dalih tidak ada hukumnya
atau tidak lengkap hukumnya (lihat Pasal 22 AB dengan Pasal 16 UU No.4
Tahun 2004).

17
Dalam hal yang demikian apa yang harus dilakukan oleh
hakim untuk menemukan hukumnya ? Untuk mengisi
kekosongan hukum itu digunakan metode berfikir :
a. analogi,
b. penyempitan hukum, dan
c. a contrario.

18
a. Analogi

Penemuan hukum dengan jalan analogi terjadi dengan mencari


peraturan umumnya dari peraturan khusus dan akhirnya menggali asas
yang terdapat di dalamnya.

Di sini akhirnya perundang-undangan yang dijadikan peraturan yang


bersifat umum yang tidak tertulis dalam undang-undang, diterapkan
terhadap suatu peristiwa khusus, sedangkan peraturan perundang-
undangan tersebut sesungguhnya tidak meliputi peristiwa khusus itu, tetapi
peristiwa khusus itu hanyalah mirip dengan peristiwa yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan.

19
b. Penyempitan hukum / penghalusan hukum

Perundang-undangan ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu


dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu ini
biasa disebut penyempitan hukum atau penghalusan hukum (rechtvending).

Dalam penyempitan hukum dibentuklah pengecualian hukum, atau


penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat
umum.

21
Kadang-kadang hakim menerapkan hukum terhadap suatu perkara tidak
berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang umum,
tetapi menerapkan perundang-undangan tersebut dalam penafsiran
tertentu dalam kasus tertentu tadi, kemudian diselesaikan menurut
kaidah yang dibuat sendiri.

Di sini peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau


hubungan hukum yang khusus atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.

Contoh: Penerapan Pasal 1365 BW yang dipersempit dengan mengurangi


pemberian ganti rugi

22
c. Argumentum a contrario

Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh


undang-undang, tetapi kebalikan peristiwa tersebut diatur oleh
undang-undang.
Bagaimanakah menemukan hukumnya ?

Cara menemukan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila


ada undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa
tertentu itu dan untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya,
ini merupakan metode argumentum a contrario.

23
Ini merupakan penjelasan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan
pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur
dalam undang-undang.

Pada argumentum a contrario titik berat diletakan pada ketidak samaan


peristiwanya. Di sini diperlakukan segi negatifnya dari undang-undang, dengan
kata lain peristiwa yang tidak sama tidak diperlakukan sama (a contrario).

24
Gambar untuk menjelaskan Argumentum a contario
Pasal 39 PP. No.9/1975 Pasal 39 PP.No.9/1975

a contrario
Istri yang cerai boleh Ditetapkan secara
Kawin lagi setelah kebalikannya
Masa idah

Diterapkan terhadap Diterapkan terhadap


Peristiwa khusus Peristiwa khusus lain
(istri yang cerai) (suami yang cerai hendak
Kawin lagi.

25

Anda mungkin juga menyukai