Anda di halaman 1dari 5

UTS Filsafat Hukum

Benediktus Sulistyo Hardiyanto


NPM 215214466

Manfaat Interpretasi Hukum Dalam Penemuan Hukum

Hukum memiliki peranan penting dalam mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat


dan bernegara. Hal ini karena peraturan hukum merupakan landasan bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara agar tercapainya kehidupan yang tentram, damai, dan aman.
Hukum juga diperlukan sebagai batasan yang mengatur dalam masyarakat maupun
pemerintah di suatu negara, agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang yang
melanggar hukum dan menimbulkan berbagai kekacauan dan kerugian dalam bentuk
apapun.1
Interpretasi merupakan jembatan penting untuk menerapkan ketentuan hukum yang
tepat dan membentuk penegakan hukum yang baik. Hukum yang ada harus diisi dan
ditemukan lebih lanjut melalui penemuan hukum. Interpretasi hukum adalah proses
menemukan dasar hukum yang benar untuk mengadili kasus-kasus dengan ketentuan hukum
yang tidak jelas.2 Mengenai implikasi interpretasi hukum, berikut pendapat ahli hukum,
antara lain:
 “Menurut A. Ridwan Halim, pada hakekatnya meyakini bahwa interpretasi hukum
adalah upaya untuk menjelaskan, menjelaskan, menegaskan (memperluas atau
membatasi) pengertian peraturan perundang-undangan dalam rangka memecahkan
masalah atau permasalahan yang dihadapi.”3
 “Menurut A. Masyhur Effendi, yang pada hakekatnya melihat interpretasi hukum
sebagai suatu cara menafsirkan makna klausa-klausa dalam undang-undang yang
tidak jelas atau tidak jelas.”4
Berdasarkan dua sudut pandang tersebut dapat disimpulkan, interpretasi hukum
adalah suatu proses yang dilakukan untuk menjelaskan atau menegaskan makna yang berlaku
dari ketentuan-ketentuan hukum yang terkandung dalam peraturan hukum berlaku yang
dianggap tidak jelas atau tidak lengkap.
Adanya ketentuan hukum dalam suatu negara berarti negara tersebut harus
mempunyai sumber hukum. Namun dalam implementasinya, rumusan-rumusan hukum yang
terdapat dalam undang-undang tersebut terkadang bersifat ambigu atau tidak lengkap, yang
1
Ardian & Roestandi, “Tata Negara”, Hal. 68
2
Mertokusumo & A., “Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum”, Hal. 154
3
Halim, “Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab”, Hal. 126
4
Effendi, “Bunga Rampai Teori Hukum”, Hal. 38
dapat menimbulkan berbagai interpretasi yang menimbulkan kesalahpahaman akan hukum
itu sendiri. Sehingga perlu adanya interpretasi hukum yang jelas yang sesuai dengan maksud
pembuat hukum yang memberikan kepastian hukum.
Masyhur Effendi juga berpendapat bahwa sumber interpretasi hukum5 antara lain
sebagai berikut.
(1) Interpretasi yang bersumber dari pembuat hukum yang bertujuan untuk
memberikan penjelasan arti dari suatu ketentuan hukum dan disebut sebagai
Interpretasi Resmi/ Otentik;
(2) Interpretasi kata-kata yang terdapat dalam peraturan yang berasal dari para ahli
hukum dan disebut sebagai Interpretasi Gramatikal/ Tata Bahasa;
(3) Interpretasi yang berasal dari hakim, dimana interpretasi tersebut memiliki
persamaan antara suatu belum diatur dengan hal yang telah diatur dalam
peraturan hukum;
(4) Interpretasi yang menjadi penghubung antar pasal dalam peraturan hukum yang
berasal dari pembuat hukum dan disebut sebagai Interpretasi Sistematis;
(5) Interpretasi yang menjadi penghubung antar suatu kejadian dengan situasi dan
kondisi masyarakat yang dilakukan oleh hakim dikenal sebagai Interpretasi
Sosiologis.
(6) Interpretasi yang diberikan oleh pembentuk hukum, dimana interpretasi tersebut
merupakan isi dan tujuan dari suatu ketentuan hukum menurut jalannya sejarah
yang disebut Interpretasi Historis;
(7) Interpretasi menurut nafas undang-undang yang disebut sebagai Interpretasi
Subjektif;
(8) Interpretasi yang masuk akal dan sesuai dengan keinginan masyarakat dan tidak
terpengaruh dengan kehendak pembentuk hukum yang disebut sebagai
Interpretasi Objektif;
(9) Interpretasi hukum secara luas yang tidak hanya dikaitkan dengan proses
penyusunan peraturan hukum, tetapi juga diselaraskan dengan tuntutan
masyarakat yang disebut sebagai Interpretasi Ekstensif; dan
(10) Interpretasi hukum secara terbatas yang tidak memberikan ruang untuk tafsir
lainnya, dikarenakan rumusan ketentuan suatu peraturan hukum yang bersifat
kaku dan disebut sebagai Interpretasi Restriktif.

5
Ibid. Hal. 39-40
Apabila suatu peraturan hukum memuat ketentuan-ketentuan yang masih perlu
penyempurnaan, maka pembentuk hukum atau pihak-pihak terkait seperti hakim atau para
ahli, akan memberikan Interpretasi terhadap tujuan yang diharapkan dari ketentuan hukum
atau perundang-undangan tersebut. Interpretasi hukum tersebut dilakukan untuk mewujudkan
pembentukan hukum yang baru (penemuan hukum).
Contoh proses penemuan hukum dimulai ketika seorang hakim menemukan suatu
permasalahan. Penuntut Umum dan Penasehat Hukum menghadirkan peristiwa-peristiwa
untuk diuji selama proses pembuktian di persidangan guna memperoleh peristiwa-peristiwa
tertentu. Peristiwa khusus ini akan dibandingkan dengan kemungkinan ketentuan hukum
untuk pertimbangan awal. Setelah mendapatkan ketentuan hukum, hakim selanjutnya
melakukan kajian yang semakin mendalam untuk mengkualifikasi peristiwa yang terjadi dan
keterkaitannya dengan peristiwa hukum yang memisahkan unsur non hukum dari unsur yang
merupakan peristiwa hukum. Peter Mahmud menekankan pemahaman pertanyaan hukum ini
sebagai salah satu yang harus dijawab melalui penelitian hukum, baik dalam dogmatis
hukum, teori hukum, atau filsafat hukum.6
Ketika interpretasi hukum dapat digunakan untuk penemuan hukum, maka hal
tersebut dapat dilakukan hanya oleh para ahli yang berwenang untuk melakukan interpretasi
hukum, yaitu pembuat undang-undang, ahli hukum dan hakim. Adanya penemuan hukum
dapat memberikan kepastian hukum, terutama bagi beberapa peraturan perundang-undangan
yang masih memiliki multitafsir secara substansi. Ditemukannya hukum melalui interpretasi
hukum diharapkan permasalahan hukum yang sebelumnya berada dalam ruang hampa dapat
diselesaikan secara hukum dan bertanggung jawab.
Penemuan hukum menurut interpretasinya dimaknai sebagai “pembentukan hukum”
agar membatasi pemikiran bahwa penemuan hukum dianggap telah ada sebelumnya dan
dimaknai sebagai penemuan kembali. Teori-teori tentang penemuan hukum melalui
interpretasi bisa memperluas atau mempersempit interpretasi ketentuan perundang-undangan
yang pada pokoknya tidak jelas, tidak lengkap, atau tidak lengkap. Sehingga memberikan
kepastian hukum bagi perumusan hukum yang kaku.
Penemuan hukum bersifat dinamis. Hal ini dikarenakan setiap orang selalu
menyesuaikan ketentuan hukum yang ada dengan perkembangan budaya yang ada di
masyarakat. Misalnya, temuan hukum oleh hakim dalam suatu perkara dapat dianggap
memiliki status yang lebih kuat untuk menjadi sumber hukum baru. Berlawanan dengan
ilmuwan yang menemukan hukum, hasil ilmuwan hukum tidak dapat disebut sebagai hukum,
6
Marzuki, “Penelitian Hukum, Cet. II”, Hal. 57-61
melainkan ilmu atau doktrin. Namun demikian, asas tersebut juga dapat dijadikan sebagai
sumber hukum jika diikuti dan dijadikan dasar pengambilan keputusan hukum di pengadilan.
Jadi, suatu doktrin bukanlah hukum, tetapi dapat menjadi sumber hukum.
Selain itu, ilmu hukum memiliki dua aliran dalam penemuan hukum, antara lain
sebagai berikut.7
1. Aliran progresif. Menurut aliran ini hukum dan peradilan merupakan alat yang
dapat memberikan perubahan-perubahan sosial yang dapat berakibat pada
dilakukannya perubahan hukum melalui penemuan hukum, baik yang dihasilkan
dari Interpretasi hukum atau pun dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di
masyarakat sebagai sumber materil).
2. Aliran konservatif. Menurut aliran ini hukum dan peradilan merupakan alat untuk
mencegah penurunan nilai-nilai moral dan lainnya dengan memberikan sanksi
hukum kepada pelanggarnya dengan harapan adanya efek jera bagi pelanggarnya.

Temuan hukum yang terkandung dalam bentuk hukum oleh pembuat undang-undang
dapat dipastikan sepenuhnya oleh hakim dengan menerapkannya pada masalah hukum yang
sedang ditangani sesuai dengan undang-undang. Sehingga, penemuan hukum merupakan
penerapan hukum secara logis pada perkara hukum tertentu. Uraian tersebut memiliki makna
bahwa tidak ada seorang pun (hakim dalam perkara pengadilan) yang dapat mengubah atau
menambah undang-undang. Selain itu, hal ini dimaksudkan untuk mencegah hakim
melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang dalam menangani pelanggaran, hakim juga
harus memperhatikan serta mematuhi peraturan yang terdapat dalam undang-undang.

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang diuraikan, penulis menyimpulkan bahwa interpretasi
hukum, baik oleh pembuat undang-undang, hakim atau ahli hukum, sangat bermanfaat bagi
penemuan hukum (pembentukan undang-undang baru), karena ada hal-hal pada ketentuan
hukum yang perlu dibuat sedetail mungkin dan disempurnakan, agar memberikan persepsi
atau pengertian yang sama, dan meminimalisir timbulnya ketidakpastian hukum yang dapat
berpengaruh pada keambiguitasan proses penegakannya.
Sebagaimana hukum ditafsirkan oleh pembuat undang-undang, hakim, dan ahli
hukum, itu memiliki dampak pada penemuan hukum, karena bila dilihat kembali pada

7
Sudikno & Pitlo, “Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum”, Hal. 147-148
ketentuan hukum, khususnya yang terkandung dalam beberapa perundang-undangan, perlu
direvisi, dipertegas, dan ditambah lagi untuk meminimalisir pemahaman yang salah perihal
hukum, serta keambiguitas dan penyimpangan hukum.
Jika diklasifikasikan, interpretasi hukum mencakup beberapa jenis interpretasi, yaitu:
interpretasi otentik, interpretasi gamatikal, interpretasi menyamakan, interpretasi sistematis
(interpretasi yang menghubungkan pasal-pasal menjadi satu kesatuan yang utuh), Tafsir
sosiologis (interpretasi sesuai dengan keadaan dan kondisi keberadaan sosial), interpretasi
historis (interpretasi menurut proses sejarah), interpretasi subjektif (interpretasi sesuai
kehendak pembuat undang-undang), interpretasi objektif (interpretasi proporsionalitas dan
rasional), interpretasi luas (interpretasi yang didefinisikan secara luas) dan interpretasi
restriktif (interpretasi sempit).

Daftar Pustaka
Ardian, Zul Afdi & Roestandi, Achmad. (1996). “Tata Negara”. Bandung: Armico.
Effendi, A. Masyhur. (2004). “Bunga Rampai Teori Hukum”. Jakarta: Sekolah Tinggi
Ilmu Hukum
Halim, A. Ridwan. (1985). “Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab”. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Marzuki, Peter Mahmud. (2006). “Penelitian Hukum, Cet. II”. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Mertokusumo, Sudikno & A., Pitlo. (1993). “Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum”.
Bandung: Citra Aditya Bakti.

Anda mungkin juga menyukai