Hukum Pidana ialah Hukum yang dibentuk oleh Negara atau pemerintah yang berisi keharusan atau larangan terkait suatu perbuatan tertentu dan akan dikenakan sanksi bagi siapa saja yang melanggar. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelanggar agar dapat dikenakan sanksi pidana: a) Kesalahan. b) Pertanggungjawaban pidana terhadap diri si pelanggar. Terdapat pengecualian yaitu terhadap orang jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Pembagian Hukum Pidana meliputi: a) Berdasarkan wilayah berlakunya. b) Berdasarkan bentuknya. c) Berdasarkan kepada siapa berlakunya. d) Berdasarkan hokum pidana materiil dan formil. Sifat dari hukum pidana ialah bersifat publik sebab,hukum pidana merupakan hukum yang mengatur kepentingan publik (masyarakat umum), hal ini ditandai dengan ciri-ciri hukum public yaitu sebagai berikut : a) Mengatur hubungan kepentingan negara atau asyarakat dengan masing-masing individu. b) Kedudukan individu tidak lebih tinggi dibandingkan dengan penguasa. c) Penuntutan terhadap subjek hukum yang melanggar ialah bergantung terhadap negara yang telah diatur berdasarkan KUHP/UUD yang dimana hal tersebut sesuai dengan wewenangnya. Sumber hukum pidana dari segi yuridis merupakan penerapan dan penjabaran secara langsung adri sumber hukum segi filosofis dan ideologis yang dibedakan antara sumber hukum formil yang terdiri atas undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktrin. Sumber hukum materiil yaitu diliat dari isinya misalnya KUHP, KUHAcara Pidana. Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan Undang-Undang No.31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Ilmu pembantu dalam hukum pidana yaitu: a) Kriminologi. b) Social criminal. c) Antropologi criminal. d) Psikologi criminal. e) Viktimologi. B. PENAFSIRAN DALAM HUKUM PIDANA penafsiran bertujuan untuk mencari dan menemukan apa yang dimaksud dalam undang-undang yang telah disampaikan namun dengan kurang jelas untuk dipahami. Maka perlu diperhatikan apabila susunan kata-kata/istilah sudah tegas, maka arti dari istilah tersebut yang harus digunakan sebagai penafsiran. Jenis dan Tata Urutan Penafsiran: a) Penafsiran secara otentik, yaitu mencari pasal-pasal dalam undang-undang itu sendiri. BAB 1KUHP tentang ketentuan umum (Pasal 1) yang memuat pengertian beberapa istilah yang digunakan oleh KUHP. b) Penafisran menurut penjelasan Undang-Undang, yaitu setiap undang-undang memuat penjelasan, baik penjelasan umum ataupun penjelasan terhadap pasal. c) Penafsiran sesuai dengan Jurisprudensi, yaitu dengan mencari tafsir dalam putusan kasasi Mahkamah Agung, putusan banding Pengadilan Tinggi, dan Putusan Pengadilan/Mahkamah pada tingkat I yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap. d) Penafsiran menurut tata bahasa (Gramatika), yaitu menafsirkan kata-kata dalam UU sesuai dengan kaidah bahasa (penafsiran obyektif). e) Penafsiran Sejarah (historis), mencari maksud perundang-undangan seperti apa yang terlihat oleh pembentuk UU ketika undang-undang terbentuk. Penafsiran ini bersumber dari dokumen ppembahasan di lembaga legislatif ketika UU dibahas. f) Penafsiran Sistematis, mencari hubungan antara bagian yang satu dengan yang lainnya dalam UU itu sendiri. Sehingga UU dipandang sebagai system yang utuh. g) Penafsiran Mempertentangkan (Argumentum a Contrario). Jika UU menetapkan hal-hal tertentu maka peraturan tersebut hanya berlaku dan terbatas hanya untuk hal/peristiwa tertentu dan bagi peristiwa diluarnya maka harus mencari kebalikan pengertian suatu istilah. C. Asas Legalitas. Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan kepada undang-undang pidana yaitu UU pidana melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemeritah. UU pidana dalam batas-batas yang ditentukan dalam UU, pelaksanaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan. Sejarah Asas Legalitas Di dalam catatan sejarah tercatat bahwa lahirnya pemikiran terkait pentingnya Asas legalitas yaitu dimulai pada saat Kekaisaran Romawi Kuno yang dipimpin oleh Kaisar Yustianus dimana pada masa tersebut, hukum pidana bersumber pada hokum tidak tertulis. Pada masa tersebut kekuasaan negara bersifat mutlak dengan kekuasaan raja yang bersifat mutlak. Sehingga timbullah kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pejabat dan para hakim dapat menghukum seseorang berdasarkan atas pandangan pribadinya atau manusia dipandang sebagai objek bukan subjek hukum. Sehingga timbul pemikiran bahwa hukum pidana harus bersumber pada undang- undang agar dapat menjamin hak asasi manusia sehingga seseorang tidak dapt diadili berdasarkan atas keputusan pribadi sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP bahwa “ tidak ada delik,tidak ada hukuman tanpa ada peraturan yang mengatur sebelumnya”. Makna asas legalitas yaitu ketentuan hukum pidana berdasarkan peraturan-peraturan tertulis, ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut, tidak ada penerapan pidana secara analogi, seseorang tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan, tidak boleh ada rumusan delik yang kurang jelas, tidak ada pidana kecuali yang ditentukan oleh UU, dan penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan UU. Fungsi dan tujuan asas legalitas yaitu: a) Fungsi Instrumental, bahwa tidak ada perbuatan pidana yang tidak dituntut. b) Fungsi melindungi, bahwa tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar UU. D. LINGKUNGAN KUASA BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
Lingkungan kuasa berlakunya hukum pidana yaitu terbagi
menurut waktu, tempat serta orang, berikut adalah penjelasannya: a) Berlakunya hukum pidana menurut waktu Pasal 1 ayat 1 KUHP Sesuai yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang mengatakan bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Maka apabila perbuatan tersebut telah dilakukan orang setelah suatu ketentuan pidana menurut undang-undang itu benar-benar berlaku, pelakunya itu dapat dihukum dan dituntut berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan pidana tersebut. b) Menurut tempat/orang terdapat 4 asas yaitu: o Asas teritorialitas (wilayah), bahwa berlakunya undang-undang pidana suatu negara didasarkan pada tempat dimana perbuatan itu dilakukan. Tempat tersebut