Anda di halaman 1dari 6

PENAFSIRAN HUKUM

A. pengetian penafsiran hukum


Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-daalil yang
tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud
oleh pembuat undang-undang.

B. Macam-Macam metode Penafsiran


Supaya dapat mencapai kehendak dan maksud pembuat undang-undang serta dapat
menjalankan undang-undang sesuai dengan kenyataan sosial maka hakim dapat
menggunakan beberapa cara penafsiran (interpretative methoden) antara lain sebagai
barikut.

1. Penafsiran secara tata bahasa (Grammatikal)


Penafsiran secara tata bahasa ,yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut
arti perkataan (istilah)yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak pada arti
perkataan perkataan dalam hubunganya satu sama lain dalam kalimat kalimat yang yang
di pakai dalam undang-undang.dalam hal ini hakim wajib mencari arti kata-kata yang
lazim di pakai dalam bahasa sehari-hari yang umum,oleh karena itu di pergunakan kamus
bahasa atau meminta bantuan padapara ahli bahasa.

contohnya :Suatu peraturan perundang-undangan melarang orang untuk


memparkir kendaraanya di suatu tampat tertentu.Peraturan tersebut tidak menjelaskan
apakah yang dimaksud dengan istilah kendaraan itu.Apakah yang di maksud kendaraan
hanyalah kendaraan bermotoratau termasuk juga sepeda dan bejak.dalam hal ini sering
penjelasan kamus bahasa atau menurut keterangan para ahli bahasa belum dapat
memberikan kejelasan tantang pengertian kata yang di maksud dalam undang-undang
tersebut .Oleh karena itu hakim harus pula mempelajari kata yang bersangkutan dengan
peraturan yang lain.

2. Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis adalah suatu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu
dengan pasal-pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau
pada perundang-undangan hukum lainnya,atau membaca penjelasan suatu perundang
undangan,sehingga kita mengerti apa yang di maksud.Misalnya dalam peraturan
perundang-undangan perkawinan yang mengandung azaz monogamy sebagai mana di
atur dalam pasal 27 KUH perdata menjadi dasar bagi pasal 34,60,64,68 KUH Perdata
dan 279 KUH Pidana.

3. Penafsiran Historis
Penafsiran historis adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah
terjadinya suatu undang-undang itu dibuat. Penafsiran ini ada 2 macam :

a).sejarah hukumnya,Yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum


tersebut.Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan ,laporan-
laporan perdebatan dalam DPRdan surat menyurat antara menteri dengan komisi DPR
yang bersangkutan.

b)Sejarah undang-undangnya,yng diselidiki maksunya Pembentuk Undang-undang pada


waktu membuat undang-undang itu misalnya di denda 25 f,-sekarang ditafsirkan dengan
uang RI,sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP itu di buat.
4.Penafsiran Sosiologis(Teleologis)
Pada hakikatnya suatu penafsiran UU yang di mulai dengan cara gramatikal selalu
harus di akhiri dengan penafsiran sosiologis.kalau tidak demikian maka tidak mungkin
hakim dapat membuat suatu keputusan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan
hukum di dalam masyarakat ,sehingga dengan demikian penafsiran sosiologis adalah
penafsiran yang disesuaikan dalam keadaan masyarakat.Misalnya; di Indonesia masih
banyak peraturan yang berlaku yang berasal dari zaman colonial ,sehingga untuk
menjalankan peraturan itu hakim harus dapat menyesuaikan dengan keadaan masyarakat
Indonesia pada saat sekarang.

5. Penafsiran Autentik(resmi)
Penafsiran auyentik adalah penafsiran resmi yang diberikan oleh pembuat undang-
undang.Misalnya:Pada pasal 98 KUHP ;malam berarti waktu antara matahari terbenam
dan matahari terbit ,dan pasal 97 KUHP : Hari adalah waktu selama 24 jam dan yang di
maksud dengan bulan adalah waktu selama 30 hari.

6. Penafsiran Nasional
Penafsiran nassional adalah penafsiran yang menilik sesuai yidaknya dengan sistem
hukum yang berlaku .Mislnya :Hak milik Pasaal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan
menurut hak milik sistem hukum Indonesia.

7. Penafsiran Analogis
Penafsiran analogis artinya member tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan
memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya ,sehingga
sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat di masukkan ,lalu dianggap sesuai dengan
bunyi peraturan tersebut.misalnya;menyambung aliran listrik dianggap sama saja
dengan mengambil aliran listrik.

8. Penafsiran ekstensif
Penafsiran ekstensif adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara
memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sehingga
suatu peristiwa dapat dimasukkan ke dalam.Misalnya ; aliran listrik termasuk juga atau
di samakan dengan benda.

9. Penafsiran Restriktif
Penafsiran restriktif adalah Suatu penafsiran yang di lakukan dengan cara membatasi
atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Misalnya; Kerugian hanya terbatas pada kerugian materil saja sedangkan kerugian
immateriilnya termasuk didalam nya.

10.Penafsiran a contrario(menurut peringkaran)


Penafsira a contrario adalah penafsiran suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara
memberikan perlawanan pengertian antara pengertian konkret yang dihadapi dan
peristiwa yang di atur dalam undang-undang.Sehingga dengan berdasarkan perlawanan
pengertian itu dapat di ambil kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu tidak di
liputi oleh undang-undang yang di maksud atau berada di luar ketentuan undang-undang
tersebut.
Contoh ; Pasl 34 KUH Perdata menentukan bahwa seorang perempuan tidak di
benarkan menikah lagi sebelim lewat tenggang waktu 300 hari setelah perceraian dari
suami pertama.Berdasarkan penafsiran a contrario maka dapat dikatakan bahwa
ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki.Karena bagi seorang laki-laki tidak
perlu menunggiu tenggang waktu tersebut untuk melakukan perkawinan lagi setelah
putusnya perkawinan pertama.Maksud tenggang waktu dalam pasal 34 KUH Perdat
tersebut adalah untuk mencegah adanya keraguan-keraguan mengenai kedudukan
anak,berhubungan dengan kemungkinan bahwa seorang sedang mengandung setelah
perkawinannya putusatau bercerai.jika anak itu dilahirkan setelah perkawinann yang
berikutnya dalam tenggang waktu sebelum lewat 300 hari setelah putusnya perkawinan
pertama maka berdasarkan undang-undang kedudukan anak tersebut adlah anak dari
suami pertama.

CARA PENERAPAN METODE PENAFSIRAN


Pembuat undang-undang tidak menetapkan suatu sistem tertentu yang harus di
jadikan pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-undang.Oleh karena itu hakim
bebas dalam melakukan penafsiran.
Dalam melaksanakan penafsiran pertama-tama selalu dilakukan penafsira
gramatikal,karna pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan perundang-undangan
harus mangerti terlebih dahulu arti kata-katanya.Apabila perlu dilanjutkan dengan
penafsiran otentik yang di tafsiskan oleh pembuat undang-undang itu sendiri ,kemudian
dilanjutka dengan penafsiran historis dan sosiologis.
Sedapat mungkin semua metode penafsiran semua dilakukan ,agar didapat makna-
makna yang tepat.Apabila semua metode tersebut tidak menghasilkan makna yang
sama,maka wajib di ambil metode penafsiran yang membawa keadilan setinggi-
tingginya,karena memang keadilan itulah yang di jadikan sasaran pembuat undang-
undang pada waktu mewujudkan undang-undang yang bersangkutan .

PENAFSIRAN HUKUM
Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-daalil yang
tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud
oleh pembuat undang-undang.
macam-macam cara penafsiran hukum:
1. Penafsiran Dalam pengertian subyektif dan obyektif.
2. Penafsiran Dalam pengertian sempit dan luas.

Berdasarkan sumbernya penafsiran Bersifat:


a.otentik
b.Doktrinair atau Ilmiah
c.Hakim

.macam-macam metode penafsiran :


1. Penafsiran secara tata bahasa (Grammatikal)
2. Penafsiran Sistematis
3. Penafsiran Historis
4. Penafsiran Sosiologis(Teleologis)
5. Penafsiran Autentik(resmi)
6. Penafsiran Nasional
7. Penafsiran Analogis
8. Penafsiran ekstensif
9. Penafsiran Restriktif
10. Penafsiran a contrario(menurut peringkaran)

cara penerapan metode penafsiran pertama-tama selalu dilakukan penafsira


gramatikal,karna pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan perundang-undangan
harus mangerti terlebih dahulu arti kata-katanya.Apabila perlu dilanjutkan dengan
penafsiran otentik yang di tafsiskan oleh pembuat undang-undang itu sendiri ,kemudian
dilanjutka dengan penafsiran historis dan sosiologis.

SURAT PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH KANTOR (RUKO)

Kami yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Darwis Landimuru
Alamat : Jl. Mayjend Sutoyo No. 59, Kendari
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
No.KTP : 002718947
selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.

Nama : Sulamun
Alamat : Jl. Achnad Yani No. 99, Kendari
Pekerjaan : Wiraswasta
No.KTP : 714209721
selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.

Kedua belah pihak menerangkan bahwa masing-masing pihak telah membuat persetujuan
sebagai berikut :

1. Bahwa pada tanggal 21 November 2013, PIHAK PERTAMA telah mengajukan


permohonan penyewaan rumah kantor (RUKO) di Jl. Mayjen Sutoyo No. 59, Kendari.
dengan nilai sewa yang diajukan sebesar Rp. 40.000.000,-(empat puluh juta) per tahun
kepada PIHAK KEDUA.
2. Bahwa atas pengajuan PIHAK PERTAMA, PIHAK KEDUA telah menyetujui untuk
menyewakan ruko di Jl. Mayjend Sutoyo No. 59 dengan nilai sewa Rp Rp. 40.000.000,-
(empat puluh juta) per tahun kepada PIHAK PERTAMA pada 21 November 2013.
3. PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA telah sepakat bahwa proses penyewaan
rumah kantor yang telah disebutkan di atas oleh PIHAK PERTAMA dari PIHAK
KEDUA dimulai pada bulan Desember 2013 dan berakhir pada Desember 2014.
4. Perjanjian sewa ini dibuat rangkap dua, bermeterai cukup yang masing-masing
mempunyai kekuatan hukum yang sama dan berlaku sejak ditandatangani oleh kedua
belah Pihak.
5. Pelaksanaan sewa menyewa ruko ini dapat dilakukan perpanjangan dengan ketentuan-
ketentuan dan prosedur yang akan ditentukan pada akhir masa sewa dengan dibuatnya
perjanjian sewa ruko yang baru.
6. Pihak pertama (penyewa) bertanggung jawab penuh atas kerusakan, kehilangan,
maupun hal-hal lain yang terjadi pada lokasi yang disewakan selama masa sewa masih
berjalan.
7. Pihak pertama (penyewa) tidak diperkenankan memutuskan penyewaan ruko sebelum
akhir masa sewa, kecuali atas persetujuan dari pihak kedua.
8. Pihak kedua tidak diperkenankan memutuskan penyewaan ruko sebelum akhir masa
sewa, kecuali atas persetujuan dari pihak pertama.
9. Mengenai hal-hal yang belum dituangkan dalam perjanjian sewa ini, akan diatur
kemudian dengan addendum-addendum baru sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

Demikian surat perjanjian ini dibuat, agar dapat dipatuhi dan digunakan sebagaimana
mestinya.

Kendari, 20 November 2013.


Pihak Kedua (I) Pihak Pertama (II)

Darwis Landimuru Sulamun

Saksi-Saksi :

1. (..................................)

2. (..................................)

Anda mungkin juga menyukai