Anda di halaman 1dari 6

Nama: Muhammad Hidayat

Matkul: PIH 1.1

Tugas: Resume Penafsiran Hukum

1. Pengertian penafsiran hukum

Penafsiran atau yang umum di sebut interpretasi hukum adalah mencari dan menetapkan
pengertian atas dalil-daalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di
kehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Dalam konteks hukum, perbedaan
tafsir terhadap peraturan perundang-udangan sebenarnya merupakan hal lazim terjadi, karena
para juris dan penegak hukum mempunyai pandangan dan sikap yang berbeda terhadap
permasalahan-permasalahan yang diatur dalam peraturan perundang-udangan.. penafsiran juga
salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan gamblang mengenai teks undang-
undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Interpretasi atau penafsiran hukum ini hanyalah merupakan salah satu metode dalam penemuan
hukum (rechtsvinding). Selain itu masih ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat
digunakan oleh Hakim. Misal hukumnya tidak jelas, maka digunakan metode interpretasi
(penafsiran), sedangkan apabila aturan hukumnya tidak lengkap atau tidak ada, digunakan
metode argumentasi (argumentum per analogian, argumentum a contrario, rechtvervijning, fiksi
hukum) dan metode eksposisi (konstruksi hukum) untuk membentuk pengertian-pengertian
hukum baru. Adapun sumber utama penemuan hukum secara hierarkhi dimulai dari peraturan
perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan baru
kemudian doctrine (pendapat ahli hukum). Penafsiran hukum, dapat dikategorikan menjadi
beberapa pengertian, yaitu:

a) Dalam pengertian subyektif dan obyektif


Dalam pengertian subyektif, apabila ditafsirkan seperti yang di kehendaki oleh pembuat
undang-undang. Dalam pengertian obyektif,apabila penafsiran lepas dari pada pendapat
pembuat undang-undang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.
b) Dalam pengertian sempit dan luas
Dalam pengertian sempit (restriktif), yakni apabila dalil yang ditafsirkan di beri pengertian
yang sangat di batasi misalnya;Mata uang (pasal 1756 KUH Perdata)pengertian hanya uang
logam saja dan barang di artikan benda yang dapat dilihat dan di raba saja.dalam pengertian
luas (ekstensif),ialah apabila dalilyang di tafsirkan di beri pengertian seluas-
luasnya.Misalnya: Pasal 1756Perdata alinea ke-2 KUH Perdata tentang mata uang juga
diartikan uang kertas.
Berdasarkan sumbernya penafsiran Bersifat: 1) Otentik, ialah penafsiran yang seperti
diberikan oleh pembuat undang-undang seperti yang di lampirkan pada undang-undang
sebagai penjelas.Penafsiran ini mengikat umum. 2) Doktrinair, ialah penafsiran yang didapat
dalam bukubuku dan hasil-hasil karya karya para ahli, hakim tidak terikat karena penafsiran
ini hanya memiliki nilai teoretis. 3). Hakim, penafsiran yang bersumber pada hakim
(peradilan) hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus
tertentu (pasal 1917 ayat (1) KUH Perdata.
2. Ragam Metode Penafsiran Hukum

A. Penafsiran secara tata bahasa (Grammatikal)


Penafsiran secara tata bahasa ,yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut
arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak pada
arti perkataan –perkataan dalam hubunganya satu sama lain dalam kalimat kalimat
yang yang di pakai dalam undang-undang, dalam hal ini hakim wajib mencari arti
kata-kata yang lazim di pakai dalam bahasa sehari-hari yang umum,oleh karena itu di
pergunakan kamus bahasa atau meminta bantuan pada para ahli bahasa. contohnya:
Suatu peraturan perundang-undangan melarang orang untuk memparkir kendaraanya
di suatu tampat tertentu Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksud
dengan istilah “kendaraan“ itu. Apakah yang di maksud kendaraan hanyalah
kendaraan bermotora atau termasuk juga sepeda dan becak.dalam hal ini sering
penjelasan kamus bahasa atau menurut keterangan para ahli bahasa belum dapat
memberikan kejelasan tantang pengertian kata yang di maksud dalam undang-undang
tersebut. Oleh karena itu hakim harus pula mempelajari kata yang bersangkutan
dengan peraturan yang lain.
B. Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis adalah suatu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu
dengan pasal-pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan
atau pada perundang-undangan hukum lainnya,atau membaca penjelasan suatu
perundang –undangan, sehingga kita mengerti apa yang di maksud.Misalnya dalam
peraturan perundang-undangan perkawinan yang mengandung azaz monogamy
sebagai mana di atur dalam pasal 27 KUH perdata menjadi dasar bagi pasal
34,60,64,68 KUH Perdata dan 279 KUH Pidana.
C. Penafsiran Historis
Penafsiran historis adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah
terjadinya suatu undang-undang itu dibuat. Penafsiran ini ada 2 macam : 1). sejarah
hukumnya, maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut.Sejarah
terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporanlaporan perdebatan
dalam DPR dan surat menyurat antara menteri dengan komisi DPR yang
bersangkutan. 2). Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksudnya Pembentuk
Undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu misalnya di denda 25 f,-
sekarang ditafsirkan dengan uang RI, sebab harga barang lebih mendekati pada waktu
KUHP itu di buat.
D. Penafsiran Sosiologis (Teleologis) Pada hakikatnya suatu penafsiran UU yang di
mulai dengan cara gramatikal selalu harus di akhiri dengan penafsiran
sosiologis.kalau tidak demikian maka tidak mungkin hakim dapat membuat suatu
keputusan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan hukum di dalam masyarakat
,sehingga dengan demikian penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan
dalam keadaan masyarakat. Misalnya; di Indonesia masih banyak peraturan yang
berlaku yang berasal dari zaman kolonial, sehingga untuk menjalankan peraturan itu
hakim harus dapat menyesuaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia pada saat
sekarang.
E. Penafsiran Autentik (resmi)
Penafsiran autentik adalah penafsiran resmi yang diberikan oleh pembuat undang-
undang.Misalnya: Pada pasal 98 KUHP; ”malam” berarti waktu antara matahari
terbenam dan matahari terbit, dan pasal 97 KUHP: Hari adalah waktu selama 24 jam
dan yang di maksud dengan bulan adalah waktu selama 30 hari.
F. Penafsiran Nasional
Penafsiran nasional adalah penafsiran yang menilik sesuai tidaknya dengan sistem
hukum yang berlaku. Mislnya: Hak milik Pasaal 570 KUHS sekarang harus
ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia.
G. Penafsiran Analogis
Penafsiran analogis artinya member tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan
memberi ibarat (qiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya
,sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat di masukkan ,lalu dianggap
sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.misalnya;”menyambung’ aliran listrik
dianggap sama saja dengan mengambil aliran listrik.
H. Penafsiran ekstensif Penafsiran ekstensif adalah suatu penafsiran yang dilakukan
dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan ke dalam. Misalnya; “aliran
listrik’ termasuk juga atau di samakan dengan “benda’.
I. Penafsiran Restriktif
Penafsiran restriktif adalah Suatu penafsiran yang di lakukan dengan cara membatasi
atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan. Misalnya; Kerugian hanya terbatas pada kerugian materil saja sedangkan
kerugian immateriilnya termasuk didalam nya.
J. Penafsiran a contrario (menurut peringkaran) Penafsiran a contrario adalah suatu
penafsiran yang dilakukan dengan cara memberikan perlawanan pengertian antara
pengertian konkret yang dihadapi dan peristiwa yang di atur dalam undang-undang.
Sehingga dengan berdasarkan perlawanan pengertian itu dapat di ambil kesimpulan
bahwa peristiwa yang dihadapi itu tidak diliputi oleh undang-undang yang di maksud
atau berada di luar ketentuan undang-undang tersebut. Contoh: Pasal 34 KUH Perdata
menentukan bahwa seorang perempuan tidak di benarkan menikah lagi sebelum lewat
tenggang waktu 300 hari setelah perceraian dari suami pertama. Berdasarkan
penafsiran a contrario maka dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi
seorang laki-laki.Karena bagi seorang laki-laki tidak perlu menunggiu tenggang
waktu tersebut untuk melakukan perkawinan lagi setelah putusnya perkawinan
pertama. Maksud tenggang waktu dalam pasal 34 KUH Perdat a tersebut adalah
untuk mencegah adanya keraguan-keraguan mengenai kedudukan anak, berhubungan
dengan kemungkinan bahwa seorang sedang mengandung setelah perkawinannya
putus atau bercerai. jika anak itu dilahirkan setelah perkawinann yang berikutnya
dalam tenggang waktu sebelum lewat 300 hari setelah putusnya perkawinan pertama
maka berdasarkan undang-undang kedudukan anak tersebut adalah anak dari suami
pertama.
K. Penafsiran Komparatif
Penafsiran komparatif adalah penafsiran dengan memperbandingkan. Artinya, dengan
memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan
undangundang. Pada interpretasi/penafsiran komparatif, penafsiran peraturan itu
dibenarkan dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di
berbagai negara. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional.
L. Penafsiran Antisipatif/Futuristis penafsiran antisipatif/ futuristis bertujuan mencari
pemecahannya dalam peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai
kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang.
M. Penafsiran Otentik
Penafsiran otentik tidak pernah dibicarakan bersamasama dengan metode-metode
interpretasi lainnya oleh karena penafsiran otentik bukanlah metode penemuan
hukum oleh hakim, melainkan merupakan penafsiran oleh pembentuk undang-undang
yang dimuat oleh undang-undang.
Metode-metode interpretasi di atas secara sederhana dapat dikelompokkan
berdasarkan dua pendekatan, yaitu (1) the textualist approach (focus on text) dan (2)
the purposive approach (focus on purposes). Penafsiran gramatikal dan otentik
ternasuk kategori pendekatan pertama, sementara penafsiran lainnya mengacu kepada
pendekatan kedua. Dalam menemukan hukum tentu tidak ada prioritas pada salah
satu metide penafsiran. Namun dapat diharmonisasikan dengan konteks hukum yang
muncul. Menafsirkan bukan merupakan kegiatan yang rasional logis. Dalam
menggunakan berbagai metode penafsiran hasilnya dapat berbeda. Hakim harus
mengambil pilihan. Ia harus menimbang-nimbang. Ia mempunyai kebebasan
menafsirkan yang harus dilakukannya, karena ia mememutuskan yang tidak boleh
ditolaknya dan yang hanya dapat dijawabnya berdasarkan pandangan dan
penilaiannya. Hakim harus mendasarkan putusannya pada kelayakan dan kepatutan.
Hakim akhirnya hanya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan pertimbangan
metode manakah yang paling meyakinkan dan yang hasilnya paling memuaskan.
Pada hakekatnya setelah mempertimbangkan untung-ruginya hakim memberi
pemecahan yang paling dapat diterima. Oleh karena itu hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat

Referensi:
 Sudikno Mertokusumo/ Pengantar Ilmu Hukum
 Lukman santoso AZ & Yahyanto/ Pengantar Ilmu Hukum

Anda mungkin juga menyukai