Penapsiran dalam hukum pidana tujuannya untuk memperjelas istilah didalam
merumuskan undang-undang, jika istilah dalam rumusan undang-undang sudah jelas maka tidak perlu adanya penapsiran. Penapsiran dipergunakan untuk memperjelas karena hukum tidak mengatur keseluruhan perilaku manusia, sehingga ada perilaku yang memiliki persamaan dengan yang diatur dengan undang-undang. Apabila menggunakan penapsiran yang pertama kali diterangkan adalah penapsiran authentik, barulah dipergunakan penapsiran-penapsiran lainnya. Adapun jenis-jenis penapsiran itu adalah sebagai berikut: 1. Penafsiran authentik yaitu: penafsiran yang diberikan oleh UU itu sendiri KUHP memiliki penafsiran authentik yaitu yang terdapat dalam buku I, bab IX, pasal 86-101 KUHP. 2. Penafsiran gramatikal yaitu: penafsiran yang bersandar pada arti kata menurut tata bahasa yang dipergunakan sehari-hari. 3. Penafsiran sistematika yaitu: penafsiran untuk mencari pengertian dengan cara menghubungkan bagian yang satu dengan bagian yang lain dalam suatu undang-undang. 4. Penafsiran sejarah (historis) yaitu: penafsiran dengan cara menyelidiki sejarah terbentuknya suatu hukum atau undang-undang. Penafsiran sejarah terbagi dua yaitu: Penafsiran sejarah hukum. Penafsiran sejarah UU. Catatan: berkenaan dengan penafsiran sejarah UU dapat dilihat dari penjelasan UU itu sendiri (disebut MVS) atau dari sejarah rancangan undang-undang atau dari hasil perdebatan pembuat undang-undang. Contoh: Perdebatan asas monogami dalam UU no: 1/1947 dicari solusinya pada dasarnya asas monogami. Perdebatan mengenai perwalian dan pengangkatan anak dalam UU no: 9 tahun 1997 tentang pengadilan anak. Dicari solusinya dengan menghilangkan bab mengenai perwalian dan pengangkatan anak dalam undang-undang tersebut. 5. Penafsiran a centrario yaitu: penafsiran kebalikan. Contoh: untuk mendapatkan pengertian siang, maka dicarikan kebalikan dari pengertian siang yaitu malam. 6. Penafsiran extensip yaitu: penafsiran yang memperluas arti dari suatu undang- undang (dari yang ada diperluas). 7. Penafsiran analogi yaitu: hampir sama dengan pengertian penafsiran extensip yaitu memperluas pengertian UU tetapi dari yang tidak ada menjadi ada. Persamaan dan perbedaan penafsiran extensip dan penafsiran analogi yaitu: Persamaannya: dalam hal tujuannya yaitu memperluas pngertian undang-undang. Perbedaannya: penafsiran extensip didasarkan dari yang sudah ada yang kemudian diperluas pengertiannya, sedangkan penafsiran analogi didasarkan dari yang tidak ada menjadi ada. Contoh penafsiran extensip: Pengertian barang menurut pasal 362 KUHP tidak dapat ditentukan artinya, sehingga disandarkan kepada MVS (memorie van toelichting) dimana pengertiannya berupa barang berwujud dan barang bergerak. Dalam perkembangannya berdasarkan “arest arus listrik” yaitu kasus seorang dokter yang mencuri aliran listrik sehingga dari kasus tersebut penyortiran barang menjadi lebih luas yaitu diartikan sebagai bagian dari harta kekayaan seseorang, dimana menurut putusan PN Medan dan PN Ende Plores “kemaluan wanita” diartikan sebagai barang. Namun ditingkat kasasi MA menolak kemaluan wanita diartikan sebagai barang. Menurut prof. simons penafsiran analogis tidak dapat digunakan dalam hukum pidana, karena: 1. Bertentangan dengan pasal 1 ayat 1 KUHP (asas legalitas) yang mengatakan bahwa hukum pidana itu merupakan hukum tertulis tidak boleh dipergunakan penafsiran analogi. 2. Jika penafsiran analogi diperbolehkan dalam hukum pidana maka akan mengurangi kepastian hukum 3. Jika penafsiran analogi dipergunakan dalam hukum pidana, maka akan mengurangi kerasnya hukum pidana 4. Jika penafsiran analogi diperbolehkan dalam hukum pidana berarti hakim bertindak sebagai pembuat undang-undang Terhadap alasan yang dikemukakan oleh prof. simons diatas, sarjana-sarjana yang muda yang memperbolehkan menggunakan penafsiran analogi dalam hukum pidana memberikan alasan sebagai berikut: 1. Penafsiran analogi berlaku untuk hukum, oleh karena itu dapat pula digunakan dalam hukum pidana tidak hanya dalam hukum perdata. 2. Tidak ada UU yang lengkap untuk mengatur semua perbuatan, untuk melengkapinya diperlukan penafsiran analogi. 3. Jika penafsiran analogi dikhawatirkan dapat memperlemah berlakunya hukum pidana, hal ini dapat diatasi dengan adanya pengawasan sosial yang biasanya dilakukan oleh pers dan dengan sistem peradilan pidana yang terbuka untuk umum. 4. Walaupun penafsiran analogi tidak dapat digunakan dalam hukum pidana, tetapi dalam prakteknya hakim sering mempergunakannya hanya saja tidak diakui sebagai penafsiran analogi melainkan penafsiran extensip.