Anda di halaman 1dari 3

Nama : Siti Yogaputri

NPM : 110110200140

Kelas : Hukum Pidana C

1. MENGAPA DIBUTUHKAN PENAFSIRAN HUKUM?


Seperti yang kita ketahui, undang-undang pun tidak sempurna, undang-undang tidak
mengatur segala kegiatan atau peristiwa dalam kehidupan manusia secara lengkap. Namun,
saat terjadi pelanggaran hukum, hakim sebagai penegak hukum tidak dapat dan tidak boleh
menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan hukumnya tidak lengkap
atau tidak jelas. Hal tersebut termuat dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis dan
penafsiran oleh hakim yang menjadi dasar dari proses penemuan hukum. Hal tersebut
dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.”
2. SEBUTKAN & JELASKAN DISERTAI CONTOH 5 (LIMA) BENTUK
PENAFSIRAN DALAM HUKUM PIDANA!

a. Interpretasi Gramatikal
Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam
perundang-undangan sesuai dengan kaedah bahasa hukum yang berlaku. Interpretasi
gramatikal ini mencoba untuk memahami suatu teks peraturan perundang-undangan
yang berlaku, pada umumnya interpretasi gramatikal ini digunakan oleh hakim
bersamaan dengan interpretasi logis, yakni memberikan makna terhadap suatu aturan
hukum melalui penalaran hukum untuk diterapkan terhadap teks yang kabur atau
kurang jelas. Contohnya, istilah “pesisir” diartikan sebagai “tanah datar berpasir di tepi
laut.”
b. Interpretasi Sistematis
Interpretasi sistematis adalah metode menafsirkan peraturan perundang-
undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum yang lain atau dengan
keseluruhan sistem hukum. Contohnya, Ketentuan tentang penyelesaian sengketa di
luar pengadilan dalam Pasal 31-33 UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup ditafsirkan sejalan dengan ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa.
c. Interpretasi Historis
Interpretasi historis adalah metode penafsiran terhadap makna undang-undang
menurut terjadinya dengan cara meneliti sejarah, baik sejarah hukumnya maupun
sejarah terjadinya undang-undang, atau dengan kata lain, interpretasi historis meliputi
interpretasi terhadap sejarah undang-undang (wet historisch), dan sejarah hukumnya
(recht historischt). Contohnya, kata-kata “Hukum agraria merupakan pelaksanaan dari
Manifesto Politik Republic Indonesia” dalam konsiderans UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, harus ditafsirkan menurut pemikiran Soekarno
dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1960. Ia menyatakan waktu itu, bahwa negara
harus mengatur pemilikan tanah dan mempimpin penggunaannya, hingga semua tanah
di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, baik secara perorangan maupun secara gotong royong.
d. Interpretasi Teleologis
Interpretasi teleologis adalah penafsiran terhadap undang-undang sesuai dengan
tujuan pembentukannya. Contohnya, kata-kata ”dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33
UUD 1945 ditafsirkan bahwa negara tidak lagi harus menopoli sendiri penggelolaannya
(fungsi besturen/beheren). Pemerintah sebagai repesentasi negara, cukup mengatur dan
mengawasi (fungsi regelen dan tezichthouden). Oleh sebab itu untuk sumber daya air
yang notabene sumber hidup masyarakat banyak, tidak perlu harus diusahakan oleh
badan usaha milik negara/daerah. Hak guna usaha air itu dapat diberikan kepada
perseorangan atau badan usaha air itu dapat diberikan kepada perseorangan atau badan
usaha (Pasal 9 UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air).
e. Interpretasi Komparatif
Interpretasi komparatif adalah metode penafsiran dengan cara
memperbandingkan peraturan pada suatu sistem hukum lain. Sistem hukum lain yang
dimaksud disini dapat saja peraturan hukum negara lain. Metode ini digunakan oleh
hakim pada saat menangani kasus-kasus yang menggunakan dasar hukum positif yang
timbul dari perjanjian internasional. Hal ini penting untuk dilakukan dalam upaya untuk
merealisir keseragaman atau kesatuan hukum yang lahir dari perjanjian internasional
sebagai hukum objektif. Misalnya hakim dalam menafsirkan suatu kaimat dalam
perjanjian kontrak antara dua orang yang tunduk pada hukum yang berbeda, maka
hakim harus mencari makna suatu kalimat tersebut dari kedua subyek hukum tersebut,
misalnya perjanjian kontrak yang terjadi antara orang Indonesia dan orang Australia,
hakim harus membandingkan makna kalimat yang disengketakan dari kedua Negara
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai