DISUSUN OLEH:
Dosen Pengampu
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti syafa’atnya diakhirat nanti.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Erwin Hamonangan, S.H, M.H
selaku dosen pengampu Praktek Peradilan Mahkamah Konstitusi yang membimbing kami
dalam mengerjakan tugas makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang
“Hukum Acara Pengujian UU Terhadap UUD 1945”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik dan saran dari teman-teman maupun dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Pengujian
Pengertian Kata “Pengujian” (toetsing/review) dalam konteks tulisan ini
adalah pengujian undang-undang (UU) dalam arti luas yaitu dalam arti formal dan
material, sedangkan pengujinya (lembaganya) tidak hanya lembaga peradilan saja
melainkan juga lembaga legislatif dan/atau ekskutif.1
Pengertian “pengujian” dalam Kamus Black dan Kamus Fockema Andreae,
pada dasarnya sama yaitu membicarakan kewenangan hakim (peradilan) untuk
menguji UU terhadap UUD.2 Perbedaannya yang mendasar, dalam Kamus Black
dikatakan adanya kebolehan hakim untuk menguji UU terhadap UUD, maka dalam
Kamus Fockema Andreae sebaliknya yaitu UU tidak dapat digangu gugat atau tidak
dapat diuji terhadap UUD. Kalau dalam Kamus Black pengujian dilakukan peradilan
untuk menilai tindakan pemerintahan (eksekutif) dan legislatif dan kalau bertentangan
dengan konstitusi akan dinyatakan tidak berlaku atau tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat maka dalam Kamus Fockema Andreae pengujian hanya dilakukan
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU (aspek legalitas bukan aspek
konstitusionalitas), karena UU tidak dapat diganggu gugat (de wet is ondschendbaar).
Hal ini menggambarkan bahwa UU merupakan cerminan kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan ada parlemen (supremasi parlementer).
Berdasarkan pengertian dari kedua Kamus tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa kalau kita membicarakan kata “pengujian” (toetsing/review) UU terhadap
UUD atau peraturan perundangundangan di bawah UU terhadap UU, yang dimaksud
adalah pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan (hakim) bukan dilakukan
oleh lembaga eksekutif ataupun legislatif. Oleh karena itu disebut judicial review.
Pengujian peraturan perundang-undangan adalah suatu kewenangan untuk
mengukur apakah isi suatu peraturan perundang-undangan telah sesuai atau
bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi di atas derajatnya, dan juga
untuk menilai apakah otoritas yang membuat peraturan berhak atau memiliki
1
Machmud Aziz, “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Peraturan Perundang-
Undangan Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, (Oktober 2010), h. 113
2
Black Law Dictionary, Seventh Edition, )Editor in Chief: Bryan A. Garner, West Group, St. Paul,
Minn, 1999), h. 853.
2
kewenangan untuk mengeluarkan peraturan tersebut. Pengujian peraturan perundang-
undangan atau biasa disebut sebagai judicial review memiliki tujuan untuk menjaga
konstitusi dari pelanggaran atau penyimpangan yang dapat dilakukan badan pembuat
undang-undang (badan legislatif) atau tindakan-tindakan yang dibuat oleh badan
eksekutif. Hak untuk melakukan pengujian tersebut diperlukan untuk
mempertahankan supremasi konstitusi (supremacy constitution).
3
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, ctk. pertama, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), h. 39
4
d) Pengujian konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yaitu pasal
yang dimohonkan tidak bertentangan dengan UUD 1945 selama memenuhi
syarat yang ditetapkan oleh MK. Jika tidak memenuhi syarat-syarat tersebut
maka menjadi inkonstitusional
Dapat disimpulkan bahwa, pengujian materiil adalah pengujian undang-
undang sebagai produk (by product), dilain pihak pengujian formil adalah
pengujian atas proses pembentukan undang-undang (by process). Dimana hal
tersebut berarti yang menjadi obyek untuk dilakukan pengujian atas suatu
undang-undang sebagai produk hukum (by product) tidak selalu terkait dengan
materi undang-undang, tetapi dapat juga berkaitan dengan proses pembentukan
undang-undang itu sendiri.4
Apabila obyek pengujian undang-undang adalah materinya, maka
pengujian tersebut disebut juga sebagai pengujian materiil yang berakibat
dibatalkannya sebagian materi undang-undang tersebut.
2. Pengujian Formil
Pengujian secara formil menilai dari segi kesesuaian prosedur
pembentukan UU dengan prosedur yang telah ditentukan/diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.5 Pada hakikatnya pengujian formil (formeele
toetsing) adalah pengujian pada suatu produk hukum, bukan berdasarkan
materinya. Pengujian formil tidak terbatas menguji proses pembentukan undang-
undang, tetapi juga mencakup pengujian yang lebih luas yaitu aspek bentuk
undang-undang dan pemberlakuan undang-undang.
Secara umum, kriteria yang digunakan untuk menilai konstitusionalitas
undang-undang dari segi formil adalah sejauhmana undang-undang ditetapkan
dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh institusi yang tepat (appropriate
institution), dan menggunakan prosedur yang tepat (appropriate procedure).
Berdasarkan ketiga kriteria tersebut, pengujian formil mencakup:
a) Pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang-
undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas
rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang.
4
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, ctk Ketiga, (Jakarta : Konstitusi Press,
2006), h.58
5
Sri Soemantri, Hak Menguj Material di Indonesia, ctk.pertama, (Bandung : Alumni, 1982), h.28
5
b) Pengujian atas bentuk, format atau struktur undang-undang.
c) Pengujian yang berkenaan dengan kewenangan lembaga yang mengambil
keputusan dalam proses pembentukan undang-undang.
d) Pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Keempat kriteria diatas dapat disederhanakan menjadi 2 kelompok,
yaitu pengujian atas proses pembentukan undang-undang dan pengujian atas
hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. UUD 1945 mengatur
mengenai prosedur atau tata cara pembentukan suatu undang-undang. Untuk
rincian pengaturan mengenai pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut
oleh Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
6
Ardhyta Putri, “Pengujian UU Terhadap UUD Oleh MK Ditinjau Dari Pasal 24C Ayat (1) UUD
1945,” Jurnal Lex Administratum, Vol. 8, No. 3, (September 2019), h. 25.
7
b. Proses Pembuktian
Pembuktian memiliki arti penting untuk mencari kebenaran atas suatu
peristiwa, yang dalam konteks hukum berarti mencari kebenaran atas suatu
peristiwa hukum.7 Mekanisme pembuktian juga memiliki kedudukan penting
sebagai proses untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil
yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.8 Dikaitkan dengan pengujian
formil UU, maka peristiwa hukum yang perlu dicari kebenarannya adalah
sejauhmana UU itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh
institusi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat
(appropriate procedure).9
Eddy O.S. Hiariej memandang bahwa hukum pembuktian berbicara terkait
5 hal yakni,
1) Teori pembuktian yang digunakan oleh hakim (bewijstheorie).
2) Alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan telah terjadinya suatu
peristiwa hukum (bewijsmiddelen).
3) Cara mengumpulkan, memperoleh dan menyampaikan bukti di pengadilan
(bewijlast).
4) Kekuatan pembuktian (bewijksrach).
5) Beban pembuktian (bewijslast).10
Kelima unsur ini yang menjadi parameter dasar ketika akan mmebicarkan
terkait pembuktian dalam suatu perkara.
Alat bukti ini pun sudah dibatasi dalam UU sebagaimana diatur dalam
Pasal 36 UU Nomor 24 Tahun 2003 yakni meliputi:
a) Surat atau tulisan
b) Keterangan saksi
c) Keterangan ahli
d) Keterangan para pihak
e) Petunjuk
7
Eddly O.S, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta : Erlangga, 2012), h. 7
8
Subekti, Hukum Pembuktian, Cet. Kesebelas, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1995), h.1.
9
Nirmatul Huda dan Riri Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Cet.
Pertama, (Jakarta : Nusa Media, 2018), h. 128
10
Eddly O.S, Teori & Hukum Pembuktian, …….., h. 6-7
8
f) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optic tau yang serupa dengan itu.11
3. Putusan
Putusan MK diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Namun
apabila tidak tercapai mufakat, putusan boleh diambil melalui mekanisme voting.
Putusan dapat diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri
minimal 7 orang hakim. Jika jumlah hakim berimbang antara dua
pendapat/kelompok, maka pendapat yang menjadi Putusan MK adalah pendapat
kelompok di mana Ketua MK berada.
Putusan PUU (dan semua Putusan MK) memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dengan
kata lain Putusan PUU langsung berlaku mengikat kepada masyarakat (erga
omnes) begitu putusan selesai diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Putusan MK langsung mengikat dan harus dilaksanakan semua pihak tanpa perlu
tindakan eksekutorial terlebih dahulu. Lembaga eksekusi tidak dikenal dalam
hukum acara peradilan konstitusi. Kekuatan mengikat isi Putusan PUU sama
dengan kekuatan mengikat isi UU karena objek pengujian PUU adalah norma UU
itu sendiri.
11
Retno Widiastuti dan Ahmad Ilham Wibowo, “ Pola Pembuktian Dalam Putusan Pengujian Formil
Undang-Undang Di MK,” Jurnal Konstitusi, Vol. 18, No. 4, (Desember 2021), h. 807-808
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kedudukan hukum (legal standing) yang sah dalam pengujian undang-undang
harus berisikan hak konstitusional dan kerugian konstitusinal yang di derita.
Syarat agar legal standing atau kedudukan hukum dimaksud mencakup syarat
formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, maupun syarat materiil
berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-
undang yang diajukan pengujian.
2. Perbedaan antara pengujian materil dengan pengujian formil ialah kalua pengujian
materiil adalah pengujian undang-undang sebagai produk (by product), dilain
pihak pengujian formil adalah pengujian atas proses pembentukan undang-undang
(by process).
10
DAFTAR PUSTAKA
Ardhyta Putri. “Pengujian UU Terhadap UUD Oleh MK Ditinjau Dari Pasal 24C Ayat (1)
UUD 1945.” Jurnal Lex Administratum. Vol. 8. No. 3. (September 2019).
Black Law Dictionary. 1999. Seventh Edition. Editor in Chief: Bryan A. Garner, West Group,
St. Paul, Minn.
Eddly O.S. 2012. Teori & Hukum Pembuktian. Jakarta : Erlangga.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. ctk Ketiga. Jakarta :
Konstitusi Press.
Machmud Aziz. “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia”. Jurnal Konstitusi. Vol. 7. No. 5. (Oktober 2010).
Nirmatul Huda dan Riri Nazriyah. 2018. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan, Cet. Pertama. Jakarta : Nusa Media.
Retno Widiastuti dan Ahmad Ilham Wibowo.“ Pola Pembuktian Dalam Putusan Pengujian
Formil Undang-Undang Di MK”. Jurnal Konstitusi, Vol. 18. No. 4. (Desember 2021).
Sri Soemantri. 1982. Hak Menguj Material di Indonesia. ctk.pertama. Bandung : Alumni.
Subekti. 1995. Hukum Pembuktian, Cet. Kesebelas. Jakarta : Pradnya Paramita.
11