Anda di halaman 1dari 14

HUKUM ACARA PENGUJIAN UU TERHADAP UUD 1945

DISUSUN OLEH:

SITI MARDIYAH NASUTION 2110300049


MUHAMMAD DALIL HASIBUAN 2110300050

Dosen Pengampu

ERWIN HAMONANGAN S.H, M.H

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti syafa’atnya diakhirat nanti.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Erwin Hamonangan, S.H, M.H
selaku dosen pengampu Praktek Peradilan Mahkamah Konstitusi yang membimbing kami
dalam mengerjakan tugas makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang
“Hukum Acara Pengujian UU Terhadap UUD 1945”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik dan saran dari teman-teman maupun dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.

Padangsidimpuan, 03 April 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI...................................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah .............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 2
A. Pengertian Pengujian ...................................................................................... 2
B. Lembaga Yang Berwenang Melakukan Pengujian UU Terhadap UUD ........ 3
C. Teori Pengujian UU Terhadap UUD 1945 ..................................................... 4
D. Kedudukan Hukum (Legal Standing) ............................................................. 6
E. Proses Persidangan, Pembuktian, Dan Putusan Pengujian UU Terhadap
UUD 1945 ....................................................................................................... 7
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 10
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan negara-negara
modern dianggap sebagai fenomena baru dalam mengisi sistem ketatanegaraan yang
sudah ada dan mapan. Bagi negara-negara yang mengalami perubahan dari
otoritarian menjadi demokrasi, pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi sesuatu
yang urgen karena ingin mengubah atau memperbaiki sistem kehidupan
ketatanegaraan lebih ideal dan sempurna, khususnya dalam penyelenggaraan
pengujian konstitusional (constitutional review) terhadap undang-undang yang
bertentangan dengan konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi negara.
Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukkannya, keberadaan
Mahkamah onstitusi sendiri pada awalnya adalah untuk menjalankan wewenang
pengujian undang-undang. Munculnya kewenangan ini sendiri dapat dipahami
sebagai perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern.Mekanisme
pengujian undang-undang ini sendiri dimaksudkan untuk melakukan pengujiansuatu
produk perundang-undangan terhadap undang-undang yang lebih tinggi oleh lembaga
peradilan tertentu. Pengujian undang-undang (judicial review) sendiri di Indonesia
dilaksanakan oleh dua lembaga peradilan yang berbeda, yakni Mahkamah
Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi berwenang
menguji undang-undang terhadap Undang –Undang Dasar, sedangkan Mahkamah
Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan hukum Legal Standing yang sah dalam pengujian UU
terhadap UUD 1945 ?
2. Apa perbedaan pengujian materil dengan pengujian formil dalam pengujian UU
terhadap UUD ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kedudukan hukum Legal Standing yang sah dalam pengujian
UU terhadap UUD 1945
2. Untuk mengetahui perbedaan pengujian materil dengan pengujian formil dalam
pengujian UU terhadap UUD
1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengujian
Pengertian Kata “Pengujian” (toetsing/review) dalam konteks tulisan ini
adalah pengujian undang-undang (UU) dalam arti luas yaitu dalam arti formal dan
material, sedangkan pengujinya (lembaganya) tidak hanya lembaga peradilan saja
melainkan juga lembaga legislatif dan/atau ekskutif.1
Pengertian “pengujian” dalam Kamus Black dan Kamus Fockema Andreae,
pada dasarnya sama yaitu membicarakan kewenangan hakim (peradilan) untuk
menguji UU terhadap UUD.2 Perbedaannya yang mendasar, dalam Kamus Black
dikatakan adanya kebolehan hakim untuk menguji UU terhadap UUD, maka dalam
Kamus Fockema Andreae sebaliknya yaitu UU tidak dapat digangu gugat atau tidak
dapat diuji terhadap UUD. Kalau dalam Kamus Black pengujian dilakukan peradilan
untuk menilai tindakan pemerintahan (eksekutif) dan legislatif dan kalau bertentangan
dengan konstitusi akan dinyatakan tidak berlaku atau tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat maka dalam Kamus Fockema Andreae pengujian hanya dilakukan
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU (aspek legalitas bukan aspek
konstitusionalitas), karena UU tidak dapat diganggu gugat (de wet is ondschendbaar).
Hal ini menggambarkan bahwa UU merupakan cerminan kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan ada parlemen (supremasi parlementer).
Berdasarkan pengertian dari kedua Kamus tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa kalau kita membicarakan kata “pengujian” (toetsing/review) UU terhadap
UUD atau peraturan perundangundangan di bawah UU terhadap UU, yang dimaksud
adalah pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan (hakim) bukan dilakukan
oleh lembaga eksekutif ataupun legislatif. Oleh karena itu disebut judicial review.
Pengujian peraturan perundang-undangan adalah suatu kewenangan untuk
mengukur apakah isi suatu peraturan perundang-undangan telah sesuai atau
bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi di atas derajatnya, dan juga
untuk menilai apakah otoritas yang membuat peraturan berhak atau memiliki
1
Machmud Aziz, “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Peraturan Perundang-
Undangan Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, (Oktober 2010), h. 113
2
Black Law Dictionary, Seventh Edition, )Editor in Chief: Bryan A. Garner, West Group, St. Paul,
Minn, 1999), h. 853.

2
kewenangan untuk mengeluarkan peraturan tersebut. Pengujian peraturan perundang-
undangan atau biasa disebut sebagai judicial review memiliki tujuan untuk menjaga
konstitusi dari pelanggaran atau penyimpangan yang dapat dilakukan badan pembuat
undang-undang (badan legislatif) atau tindakan-tindakan yang dibuat oleh badan
eksekutif. Hak untuk melakukan pengujian tersebut diperlukan untuk
mempertahankan supremasi konstitusi (supremacy constitution).

B. Lembaga Yang Berwenang Melakukan Pengujian UU Terhadap UUD


Saat ini, yang berwenang untuk melakukan pengujian peraturan perundang-
undangan adalah dua kekuasaan kehakiman:
1. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji peraturan perundang-
undangan di level undang-undang. Dasar hukum pengujian peraturan perundang-
undangan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD
NRI) Tahun 1945 diatur oleh Pasal 24 A ayat (1), yang berbunyi : “Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-undang.”
Dilihat dari proses pengujian peraturan perundang-undangan, untuk
pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung hanya terdapat proses
pendaftaran pengujian saja. Sementara, dalam proses pengujian peraturan
perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi terdapat hukum acara yang harus
dilewati.
2. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung berwenang untuk menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang. Diatur dalam Pasal 24 C ayat (1)
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Pengujian konstitusional Undang-undang merupakan pengujian yang


dilakukan terhadap nilai konstitusionalitas undang-undang, dilihat dari segi formil
maupun materiil.
3
Hal ini pula yang membedakan kewenangan Mahkaman Konstitusi dengan
Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian
konstitusionalitas, sementara Mahkamah Agung hanya melakukan pengujian
legalitas, bukan pengujian konstitusionalitas.

C. Teori Pengujian UU Terhadap UUD 1945


Teori mengenai pengujian (toetsing) dibagi menjadi dua yaitu materiile
toetsing dan formeele toetsing. Letak perbedaannya berkaitan dengan pengertian
dari wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wer in formele
zin (undang-undang dalam arti formal). Pasal 51 UU no 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi membedakan bentuk pengujian menjadi 2 (dua) yaitu
pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas
materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sementara pengujian atas
pembentukannya adalah pengujian formil.
1. Pengujian Materiil
Pengujian secara materiil menilai dari segi kesesuaian antara materi
muatan UU dengan UUD.3 Pasal 51 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi
menentukan bahwa dalam permohonan pengujian materiil, pemohon harus
memaparkan dengan jelas bahwa:
a) Pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945,
dan/atau
b) Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945.
c) Pengujian inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional), yaitu
pasal yang dimohonkan untuk diuji, dinyatakan bertentangan secara bersyarat
dengan UUD 1945. Dimana pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah
inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak terpenuhi. Dengan
demikian, pasal yang dimohonkan diuji pada saat putusan dibacakan adalah
inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana
ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK .

3
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, ctk. pertama, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), h. 39

4
d) Pengujian konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yaitu pasal
yang dimohonkan tidak bertentangan dengan UUD 1945 selama memenuhi
syarat yang ditetapkan oleh MK. Jika tidak memenuhi syarat-syarat tersebut
maka menjadi inkonstitusional
Dapat disimpulkan bahwa, pengujian materiil adalah pengujian undang-
undang sebagai produk (by product), dilain pihak pengujian formil adalah
pengujian atas proses pembentukan undang-undang (by process). Dimana hal
tersebut berarti yang menjadi obyek untuk dilakukan pengujian atas suatu
undang-undang sebagai produk hukum (by product) tidak selalu terkait dengan
materi undang-undang, tetapi dapat juga berkaitan dengan proses pembentukan
undang-undang itu sendiri.4
Apabila obyek pengujian undang-undang adalah materinya, maka
pengujian tersebut disebut juga sebagai pengujian materiil yang berakibat
dibatalkannya sebagian materi undang-undang tersebut.
2. Pengujian Formil
Pengujian secara formil menilai dari segi kesesuaian prosedur
pembentukan UU dengan prosedur yang telah ditentukan/diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.5 Pada hakikatnya pengujian formil (formeele
toetsing) adalah pengujian pada suatu produk hukum, bukan berdasarkan
materinya. Pengujian formil tidak terbatas menguji proses pembentukan undang-
undang, tetapi juga mencakup pengujian yang lebih luas yaitu aspek bentuk
undang-undang dan pemberlakuan undang-undang.
Secara umum, kriteria yang digunakan untuk menilai konstitusionalitas
undang-undang dari segi formil adalah sejauhmana undang-undang ditetapkan
dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh institusi yang tepat (appropriate
institution), dan menggunakan prosedur yang tepat (appropriate procedure).
Berdasarkan ketiga kriteria tersebut, pengujian formil mencakup:
a) Pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang-
undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas
rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang.

4
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, ctk Ketiga, (Jakarta : Konstitusi Press,
2006), h.58
5
Sri Soemantri, Hak Menguj Material di Indonesia, ctk.pertama, (Bandung : Alumni, 1982), h.28

5
b) Pengujian atas bentuk, format atau struktur undang-undang.
c) Pengujian yang berkenaan dengan kewenangan lembaga yang mengambil
keputusan dalam proses pembentukan undang-undang.
d) Pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Keempat kriteria diatas dapat disederhanakan menjadi 2 kelompok,
yaitu pengujian atas proses pembentukan undang-undang dan pengujian atas
hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. UUD 1945 mengatur
mengenai prosedur atau tata cara pembentukan suatu undang-undang. Untuk
rincian pengaturan mengenai pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut
oleh Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

D. Kedudukan Hukum (Legal Standing)


Kedudukan hukum (legal standing) yang sah dalam pengujian undang-undang
harus berisikan hak konstitusional dan kerugian konstitusinal yang di derita. Syarat
agar legal standing atau kedudukan hukum dimaksud mencakup syarat formal
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, maupun syarat materiil berupa
kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang
yang diajukan pengujian. Hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah
Konstitusi yang kemudian dijabarkan oleh Pasal 3 Peraturan MK No. 06/PMK/2005
yang berbunyi:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (a) perorangan
warga negara Indonesia, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum public atau
privat, atau (d) lembaga negara.”

Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional


adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan yang dimaksud dengan perorangan termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama. Proses pengujian Undang-Undang dibagi menjadi 3
tahapan, tahapan penyusunan permohonan, tahapan pendaftaran, dan tahapan
persidangan. Ada beberapa poin penting yang harus menjadi perhatian pada tahapan
penyusunan permohonan, yaitu:
6
1) Format permohonan harus benar. Pada format ini harus mencantumkan:
a) Identitas pemohon secara jelas dan benar,
b) Kewenangan MK dalam pengujian perundang-undangan ini,
c) Pokok/alasan permohonan (Posita)
d) Petitum (yang diminta pemohon)
2) Alat bukti harus lengkap
3) Daftar alat bukti
Pada tahap pendaftaran, beberapa hal yang harus menjadi perhatian adalah:
1) Kelengkapan berkas permohonan
2) Permohonan
3) Alat bukti yang dilengkapi dengan materai di setiap alat bukti
4) Daftar alat bukti yang terdiri dari kode alat bukti, nama alat bukti, dan keterangan
atas alat bukti.

E. Proses Persidangan, Pembuktian, Dan Putusan Pengujian UU Terhadap UUD


a. Proses Persidangan
Proses selanjutnya dalam mekanisme pengujian Undang-undang terhadap
UndangUndang Dasar adalah Persidangan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam
proses ini, Mahkamah Konstitusi akan memeriksa, mengadili dan memutuskan
yang keputusannya adalah bersifat final terkait pengujian Undangundang terhadap
Undang-Undang Dasar yang telah dimohonkan.6
Untuk proses persidangan, terbagi menjadi beberapa tahap:
1) Sidang pendahuluan, yang berisi pembacaan permohonan dan kemudian
Hakim memberikan nasihat atas formil permohonan
2) Sidang perbaikan permohonan, dilakukan apabila permohonan yang diajukan
masih terdapat kekurangan pada formil permohonan. Di sidang ini dilakukan
pembacaan perbaikan permohonan dan selanjutnya pengesahan alat bukti oleh
Hakim Panel Mahkamah Konstitusi.
3) Sidang pemeriksaan pokok perkara, yang terdiri dari mendengarkan
keterangan Presiden/pemerintah dan DPR, dilanjutkan dengan mendengarkan
keterangan saksi/ahli/pihak terkait,

6
Ardhyta Putri, “Pengujian UU Terhadap UUD Oleh MK Ditinjau Dari Pasal 24C Ayat (1) UUD
1945,” Jurnal Lex Administratum, Vol. 8, No. 3, (September 2019), h. 25.
7
b. Proses Pembuktian
Pembuktian memiliki arti penting untuk mencari kebenaran atas suatu
peristiwa, yang dalam konteks hukum berarti mencari kebenaran atas suatu
peristiwa hukum.7 Mekanisme pembuktian juga memiliki kedudukan penting
sebagai proses untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil
yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.8 Dikaitkan dengan pengujian
formil UU, maka peristiwa hukum yang perlu dicari kebenarannya adalah
sejauhmana UU itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh
institusi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat
(appropriate procedure).9
Eddy O.S. Hiariej memandang bahwa hukum pembuktian berbicara terkait
5 hal yakni,
1) Teori pembuktian yang digunakan oleh hakim (bewijstheorie).
2) Alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan telah terjadinya suatu
peristiwa hukum (bewijsmiddelen).
3) Cara mengumpulkan, memperoleh dan menyampaikan bukti di pengadilan
(bewijlast).
4) Kekuatan pembuktian (bewijksrach).
5) Beban pembuktian (bewijslast).10
Kelima unsur ini yang menjadi parameter dasar ketika akan mmebicarkan
terkait pembuktian dalam suatu perkara.
Alat bukti ini pun sudah dibatasi dalam UU sebagaimana diatur dalam
Pasal 36 UU Nomor 24 Tahun 2003 yakni meliputi:
a) Surat atau tulisan
b) Keterangan saksi
c) Keterangan ahli
d) Keterangan para pihak
e) Petunjuk

7
Eddly O.S, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta : Erlangga, 2012), h. 7
8
Subekti, Hukum Pembuktian, Cet. Kesebelas, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1995), h.1.
9
Nirmatul Huda dan Riri Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Cet.
Pertama, (Jakarta : Nusa Media, 2018), h. 128
10
Eddly O.S, Teori & Hukum Pembuktian, …….., h. 6-7

8
f) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optic tau yang serupa dengan itu.11
3. Putusan
Putusan MK diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Namun
apabila tidak tercapai mufakat, putusan boleh diambil melalui mekanisme voting.
Putusan dapat diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri
minimal 7 orang hakim. Jika jumlah hakim berimbang antara dua
pendapat/kelompok, maka pendapat yang menjadi Putusan MK adalah pendapat
kelompok di mana Ketua MK berada.
Putusan PUU (dan semua Putusan MK) memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dengan
kata lain Putusan PUU langsung berlaku mengikat kepada masyarakat (erga
omnes) begitu putusan selesai diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Putusan MK langsung mengikat dan harus dilaksanakan semua pihak tanpa perlu
tindakan eksekutorial terlebih dahulu. Lembaga eksekusi tidak dikenal dalam
hukum acara peradilan konstitusi. Kekuatan mengikat isi Putusan PUU sama
dengan kekuatan mengikat isi UU karena objek pengujian PUU adalah norma UU
itu sendiri.

11
Retno Widiastuti dan Ahmad Ilham Wibowo, “ Pola Pembuktian Dalam Putusan Pengujian Formil
Undang-Undang Di MK,” Jurnal Konstitusi, Vol. 18, No. 4, (Desember 2021), h. 807-808

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kedudukan hukum (legal standing) yang sah dalam pengujian undang-undang
harus berisikan hak konstitusional dan kerugian konstitusinal yang di derita.
Syarat agar legal standing atau kedudukan hukum dimaksud mencakup syarat
formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, maupun syarat materiil
berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-
undang yang diajukan pengujian.
2. Perbedaan antara pengujian materil dengan pengujian formil ialah kalua pengujian
materiil adalah pengujian undang-undang sebagai produk (by product), dilain
pihak pengujian formil adalah pengujian atas proses pembentukan undang-undang
(by process).

10
DAFTAR PUSTAKA

Ardhyta Putri. “Pengujian UU Terhadap UUD Oleh MK Ditinjau Dari Pasal 24C Ayat (1)
UUD 1945.” Jurnal Lex Administratum. Vol. 8. No. 3. (September 2019).
Black Law Dictionary. 1999. Seventh Edition. Editor in Chief: Bryan A. Garner, West Group,
St. Paul, Minn.
Eddly O.S. 2012. Teori & Hukum Pembuktian. Jakarta : Erlangga.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. ctk Ketiga. Jakarta :
Konstitusi Press.
Machmud Aziz. “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia”. Jurnal Konstitusi. Vol. 7. No. 5. (Oktober 2010).
Nirmatul Huda dan Riri Nazriyah. 2018. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan, Cet. Pertama. Jakarta : Nusa Media.
Retno Widiastuti dan Ahmad Ilham Wibowo.“ Pola Pembuktian Dalam Putusan Pengujian
Formil Undang-Undang Di MK”. Jurnal Konstitusi, Vol. 18. No. 4. (Desember 2021).
Sri Soemantri. 1982. Hak Menguj Material di Indonesia. ctk.pertama. Bandung : Alumni.
Subekti. 1995. Hukum Pembuktian, Cet. Kesebelas. Jakarta : Pradnya Paramita.

11

Anda mungkin juga menyukai