Hukum Acara MK Senin
Hukum Acara MK Senin
TERHADAP UUD)
Disusun untuk memenuhi
Mata Kuliah : Hukum Mahkamah Konstitusi
Dosen Pengampu : Novita Mayasari Angelia, SH, MH
Disusun oleh
Rahmat Maulana
2012140121
Rabiatul Hafifah
2012140097
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang...............................................................................................3
B. Rumusan Masalah.........................................................................................3
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
F. Putusan.......................................................................................................15
A.Kesimpulan...................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
perkembangan pemikiran hukum ketatanegaraan modern yang muncul
pada abad ke-20. Gagasan ini merupakan pengembangan dari asas-asas
demokrasi di mana hak-hak politik rakyat dan hak-hak asasi manusia
merupakan tema dasar dalam pemikiran politik ketatanegaraan.
Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan negara-
negara modern dianggap sebagai fenomena baru dalam mengisi sistem
ketatanegaraan yang sudah ada dan mapan. Bagi negara-negara yang
mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi, pembentukkan
Mahkamah Konstitusi menjadi sesuatu yang urgen karena ingin mengubah
atau memperbaiki sistem kehidupan ketatanegaraan lebih ideal dan
sempurna, khususnya dalam penyelenggaraan pengujian konstitusional
(constitutional review) terhadap undang-undang yang bertentangan dengan
konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi Negara. Sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan
keadilan. Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat ditelusuri dari latarbelakang
pembentukannya, yaitu untuk menegakan supremasi konstitusi. Oleh
karena itu, ukuran keadilan dan hukum yang ditegakan dalam Mahkamah
Konstitusi adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekedar
sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan
moral konstitusi, antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi,
perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak konstitusional
warga negara.
B.Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
1. Pengujian Formil
Secara umum, yang dapat disebut sebagai peng ujian formil (formeele
toetsing) itu adalah pengujian atas suatu produk hukum, bukan dari segi
materinya.Kalau bukan dari segi materinya, apakah dapat diartikan dari segi
bentuknya? Bukankah bentuk (struktur) adalah lawan dari isi atau substansi (
matter)? Bentuk suatu undang-undang, memang bukanlah menyangkut isinya,
akan tetapi pengujian formil itu sendi ri tidak identik dengan pengujian atas
bentuk undang-undang, meskipun pengujian atas bentuk dapat saja disebut
sebagai salah satu pengujian formil.
Apakah pengujian materiil itu dapat disebut seba- gai pengujian undang-
undang sebagai produk (by product) sedangkan pengujian formil adalah pengujian
atas proses pembentukan undang-undang (by process). Pernyataan ini juga dapat
dibenarkan tetapi tetap tidak mencukupi untuk mencakup keseluruhan pengertian
mengenai pengujian formil itu. Pengujian atas proses pembentukan undang-
undang memang dapat digolong- kan sebagai pengujian formil, karena bukan
menyang - kut isi undang-undang. Tetapi, pengujian formil terse- but tidak hanya
menyangkut proses pembentukan un - dang-undang dalam arti sempit, melainkan
mencakup pengertian yang lebih luas. Pengujian formil itu men - cakup juga
pengujian mengenai aspek bentuk undang - undang itu, dan bahkan mengenai
pemberlakuan un- dang-undang, yang tidak lagi tergolong sebagai bagian dari
proses pembentukan undang-undang.
(d) pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
2. Pengujian Materiil
Dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 ditentukan bahwa dalam
permohonannya, pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa;
(b) materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang -undang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Artinya, objek pengujian atas suatu undang-undang
sebagai produk hukum (by product) tidak selalu terkait dengan materi
undang-undang, melainkan dapat pula terkait dengan proses pembentukan
undang-undang itu.
1Lihat Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, LN No. 98
Tahun 2003, TLN 4316.
mengikat.Alasan yang dipakai adalah bahwa norma-norma hukum yang
terkandung di dalam ketiga pasal tersebut bersifat norma inti yang mempengaruhi
keseluruhan isi undang-undang. Jika yang dinyatakan tidak mem- punyai
kekuatan hukum mengikat hanya tiga pasal itu saja, maka niscaya undang-
undangnya sebagai keseluruhan menjadi rusak dan dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum di kemudian hari. Karena itu, keseluruhan isi undang-
undang itu dinyatakan batal, dan sementara belum diadakan yang baru, maka
undang - undang lama yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
kembali diberlakukan,karena pasal yang membatalkannya dalam UU No. 20
Tahun 200254 tentang Ketenagalistrikan juga turut dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.2
“Yang dimaksud dengan hak kon- stitusional adalah hak-hak yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, dan
“Yang dimaksud dengan perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama”.
1. Presiden/Pemerintah
Lembaga lain yang juga dapat disebut sebagai colegislator adalah Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah juga lembaga
yang terlibat dalam kegiatan pembentukan undang - undang sehingga dapat
disebut pula sebagai co-legis lator,meskipun posisinya hanya sebagai penunjang
atau auxiliary organ terhadap fungsi-fungsi legislatif,pengawasan,dan
penganggaran oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun hasil pembahasan yang diikuti perdebatan sengit mengenai soal ini
di Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tahun 2001 sampai dengan 2002
menghasil rumusan seperti yang ada dewasa ini,yaitu bahwa DPD mempunyai
posisi yang lebih lemah daripada DPR.Bahkan jika ditelusuri secara lebih
seksama ketentuan yang mengatur peranan DPD itu dalam UUD,secara berseloroh
saya sering mengatakan bahwa prinsip yang dianut “not strong nor soft,but too
soft bicameralism”.Malahan,karena lembaga MPR sendiri masih juga
dipertahankan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan tersendiri dengan
forum yang tersendiri pula, maka struktur parlemen Indonesia pasca Perubahan
UUD 1945 dapat dikatakan sebagai parlemen tiga kamar sebagai satu-satunya
model kelemba- gaan parlemen trikameral di dunia (tricameralism).
D. Keterangan Tambahan
1. Keterangan sanksi
1) anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
2) orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.
2. Keterangan Ahli
(2) merupakan hasil dari prinsip-prinsip dan metode yang terpercaya; dan
(3) saksi yang bersangkutan telah menerapkan prinsip-prinsip dan metode
yang memang terpercaya terhadap fakta-fakta yang terkait dengan
perkara yang bersangkutan.5
Keterangan tertulis ataupun lisan dari pihak DPR dan Pemerintah; Bukti-
bukti surat atau tulisan yang diajukan oleh pemohon; dan Keterangan ahli yang
diajukan, baik oleh Pemohon ataupun oleh pihak Pemerintah dan DPR.
5 Ibid.
Taufiqurrahman Ruki mengajukan keberatan terhadap status hukum Ahli guru
besar ilmu hukum salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, yaitu Universitas
Krisnadwipayana, Indriyanto Seno- adji, S.H. yang diajukan oleh Pemohon.
Dalam proses pembuktian atas dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon dan
dalil-dalil perlawanan yang diajukan oleh pihak-pihak pemerintah, DPR, dan atau
pihak terkait lainnya, peranan majelis hakim dapat bersifat pasif, tetapi dapat pula
bersifat aktif.Memang benar bahwa pada pokoknya, siapa yang mendalilkan,
maka dialah yang harus membuktikan. Prinsip umum ini juga berlaku dalam
pembuktian perkara pengujian undang-undang. Artinya, pihak pemohonlah yang
harus membuktikan dalil-dalil yang diajukannya bahwa sesuatu undang-undang
bertentangan dengan undang- undang dasar.Oleh sebab itu, proses pembuktian
dalam perkara pengujian undang-undang tidak dapat dilakukan hanya secara
formal dengan hanya terpaku pada alat bukti yang diajukan oleh pemohon.
Majelis hakim juga harus memberi kesempatan dan bahkan meminta bukti-bukti
perlawanan dari pihak pemerintah, DPR, atau pihak lainnya. Bahkan, jika hakim
berpendapat bahwa bukti-bukti yang ada itu masih tetap belum mencukupi, maka
atas inisiatifnya sendiri, majelis hakim dapat pula memanggil pihak-pihak lain
untuk memberi keterangan yang berhubungan dengan materi perkara. Tujuannya
tidak lain adalah untuk menambah bahan-bahan dan keterangan sebagai alat bukti
bagi hakim dalam memutuskan perkara pengujian undang- undang yang
bersangkutan.
F. Putusan
3. Ringkasan permohonan;
Oleh sebab itu, dalam Pasal 5 Peraturan Mah- kamah Konstitusi No.
06/PMK/2005, ditegaskan bahwa:
“Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pe- mohon
atau Kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap yang memuat: (a) Identitas
Pemohon yang meliputi nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan,
kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telpon/ faksimili/email; (b) Uraian
mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi kewenangan
Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan alasan
diajukannya permohonan pengujian undang-undang yang bersangkutan; (c)
Uraian mengenai hal-hal yang dimohonkan oleh Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang 285 Pemohon untuk diputus dalam permohonan pengujian
undang-undang secara formil; atau (d) Uraian mengenai hal-hal yang
dimohonkan oleh Pemohon untuk diputus dalam permohonan pengujian un dang-
undang secara materiil; dan (e) Tanda tangan Pemohon atau kuasanya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum, yang dapat disebut sebagai peng ujian formil
(formeele toetsing) itu adalah pengujian atas suatu produk hukum,
bukan dari segi materinya.Kalau bukan dari segi materinya, apakah
dapat diartikan dari segi bentuknya? Bukankah bentuk (struktur)
adalah lawan dari isi atau substansi ( matter)? Bentuk suatu undang-
undang, memang bukanlah menyangkut isinya, akan tetapi pengujian
formil itu sendi ri tidak identik dengan pengujian atas bentuk undang-
undang, meskipun pengujian atas bentuk dapat saja disebut sebagai
salah satu pengujian formil.
Pengujian Materiil, dalam teori tentang pengujian
(toetsing),dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing.
Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian
antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan
wet in formelezin (undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk
pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan
materi muatan undang-undang.7Pengujian atas materi muatan undang-
undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas
pembentukannya adalah pengujian formil.
DAFTAR PUSTAKA