Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN MAHKAMAH KONSTITUSI

OLEH:

NAMA : MUSTIKA ALAM

NIM : H1A121069

KELAS : C

FAKULTAS HUKUM

UNUVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah HUKUM ACARA
PERADILAN KONTITUSI.

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
hukum acara peradilan mahkamah konstitusi dan semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa
maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami
dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.

Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca.

Kendari ,29 desember 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagasan pembentukan peradilan tersendiri diluar MA utk menangani Perkara
judicial review pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen Pada saat menjadi angggota
chancelery dalam pembaharuan Konstitusi Austria. Kemudian gagasan tsb diterima dan
menjadi bagian Dalam konstitusi Austria 1920 yg di dlmnya dibentuk Mahkamah
Konstitusi.
Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK pada awalnya Adalah untuk
menjalankan judicial review . Sedangkan munculnya Judicial review itu sendiri
merupakan perkembangan hukum dan politik Ketatanegaraan modern. Dari aspek politik
keberadaan MK dipahami sbg upaya utk mewujudkan Mekanisme check and balances
antar cabang kekuasaan negara. Dari aspek hukum keberadaan MK merupakan
konsekuensi dari Diterapkannya supremasi konstitusi.
Pembentukan MK RI dapat dipahami dari dua sisi yaitu dari sisi Politik dan sisi hukum.
Dari sisi politik ketatanegaraan keberadaan MK diperlukan utk mengimbangi kekuasaan
pembentukan UU Yang dimiliki oleh DPR dan Presiden. Hal ini diperlukan agar UU
Tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR Dan Presiden yg
dipilih langsung oleh mayoritas rakyat.
Disisi lain yaitu perubahan sistem ketatanegaraan yg tidak lagi Menganut
supremasi MPR maka menempatkan lembaga-lembaga Negara pada posisi yg sejajar. Hal
ini sangat memungkinkan ketika Dalam praktik terjadi sengketa kewenangan anatar
lembaga negara yg membutuhKan forum hukum utk menyelesaikannya, MK dianggap
lembaga Yang paling tepat untuk menyelesaikan permasalahan tsb.
Dari sisi hukum keberadaan MK adalah salah satu konsekuensi Perubahan dari supremasi
MPR menjadi supremasi konstitusi. Prinsip supremasi konstitusi terdapat dalam Pasal 1
ayat (2) Yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat Dan dilaksanakan
menurut UUD.
Dengan demikian konstitusi menjadi penentu bagaimana dan siapa Saja yg
melaksanakan kedaulatan rakyat dlm penyelenggaraan Negara dgn batas sesuai dgn
wewenang yg diberikan oleh konstitusi Itu sendiri. Bahkan konstitusi juga menentukan
substansi yang Harus menjadi orientasi sekaligus batas penyelenggaraan Negara Yaitu
ketentuan tentang HAM dan hak konstitusional warga Negara Yang perlindungan,
pemenuhan, dan pemajuannya adalah tanggung Jawab negara.
Agar konstitusi tsb benar-benar dilaksanakan dan tidak dilanggar Maka harus
dijamin bahwa ketentuan hukum dibawah konstitusi Tidak boleh bertentangan dengan
konstitusi itu sendiri dengan Memberikan wewenang pengujian serta membatalkan jika
memang Ketentuan hukum tersebut bertentangan dgn konstitusi.
Dengan latar belakang tsb, MK RI dibentuk melalui perubahan Ketiga UUD 1945 yang
diatur dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C Dan Pasal 7B UUD 1945. kemudian
dibentuklah UU yang mengatur Ttg MK yaitu UU Nomor. 24 Tahun 2003 ttg
Mahkamah Konstitusi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan legal standing dan bagaimana kedudukan dalam
keabsahan ataupun gugutan di MK?
2. Bagaimana tahapan persidangan di MK sesuai dengan hukum acara MK?
3. Apa saja jenis alat bukti pada hukum acara MK serta konsep pembuktian yang
dianut?
4. Bagaimana sifat dan jenis putusan MK?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hukum Legal Standing

1. Pengertian Kedudukan Hukum Legal Standing Menurut Harjono, dalam buku Konstitusi
sebagai Rumah Bangsa1 , bahwa “Legal Standing” atau disebut dengan kedudukan
hukum. Legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan
memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan
penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi.

2. Syarat-syarat Legal Standing dan Hak Kewajiban Kedudukan hukum legal standing
dapat dilihat dalam Pasal 51 ayat (1) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diunah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mana
telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.

Hak dan kewenangan konstitutional yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang2 ,


yaitu:
1. Perorangan warga negara Indonesia,Yang dimaksud dengan “perorangan”
termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.
2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
3. Badan hukum publik atau privat; atau
4. Lembaga negara. Menurut Achmad Roestandi, dalam buku Mahkamah
Konstitusi Dalam Janya Jawab3 , dijelaskan merujuk pada Pasal 51 UU
No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dalam beberapa
putusannya merumuskan kriteria agar seseorang atau suatu pihak
memeliki legal standing, yaitu:
1) Kriteria pertama, berkaitan dengan kualifikasinya sebagai subjek
hukum, dimana pemohon harus merupakan salah satu dari subjek
hukum berikut ini: Perorangan warga negara;Kesatuan masyarakat
hukum adat;Badan hukum publik atau privat; atauLembaga
negara.
2) Kriteria kedua, berkaitan dengan anggapan pemohon bahwa hak
dan wewenang konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu
undang-undang sebagai berikut:
a. Adanya hak/kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD
1945;
b. Hak/kewenangan konstitusional permohon tersebut dianggap oleh pemohon telah
dirugikan oleh undang-undang yang sedang diuji;
c. Kerugian tersebut bersifat khusus (spesifik) dan aktual atau setidak-tidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkan permohonan maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tersebut akan atau tidak lagi terjadi.

B. Proses dan Tahapan Persidangan di Mahkama Konstitusi

1. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan Pendahuluan merupakan sidang pertama MK dalamrangka
memeriksa kelengkapan dan kejelasan Permohonan sertamemberikan nasihat
kepada Pemohon terkait Permohonan yang diajukan. Kejelasan materi permohonan
menjadi salah satu wilayahpemeriksaan pendahuluan agar apa yang dimohonkan
dapat dirumuskandan dipahami dengan jelas, baik oleh pemohon maupun oleh
hakimkonstitusi. Hal itu sangat diperlukan agar pemeriksaan persidangan dapatdilakukan
dengan efektif dan fokus pada persoalan yang dimohonkan.Secara keseluruhan,
pemeriksaan pendahuluan meliputi:1) Identitas dan kualifikasi pemohon, kewenangan
bertindak dan surat-surat kuasa.2) Kedudukan hukum pemohon.3) Isi permohonan
merupakan wewenang MK dan bila perlu dilakukanpenyederhanaan masalah yang
diajukan, termasuk penggabunganperkara yang memiliki posita dan petitum yang sama.4)
Perubahan permohonan baik atas saran hakim maupun ataskehendak pemohon
sendiri.5) Alat-alat bukti yang akan diajukan.6) Saksi atau ahli dan pokok keterangan
yang akan diberikan. 7) Pengaturan jadwal sidang dan tertib persidangan.Pemeriksaan
Pendahuluan dilakukan oleh Panel Hakim yang terdiri daripaling sedikit tiga orang
Hakim. Pasca sidang Pemeriksaan Pendahuluan,Pemohon diberikan kesempatan
untuk melengkapi atau memperbaikiPermohonannya dalam jangka waktu paling
lambat 14 hari.Hasil sidang pemeriksaan pendahuluan akan dilaporkan oleh
panelhakim kepada pleno hakim MK yang disertai dengan rekomendasi terkaitkelanjutan
proses beracara ke tahap pemeriksaan persidangan. Meskipundemikian, putusan
mengenai kelanjutan proses persidangan tetapditentukan oleh pleno hakim yang
terdiri dari 9 orang hakim konstitusiatau setidak-tidaknya 7 hakim konstitusi

2. Pemeriksaan Persidangan
Pemeriksaan Persidangan merupakan tahapan persidangan yang dilakukan
oleh Panel Hakim maupun Pleno Hakim untuk memeriksa pokok perkara. Sidang
pemeriksaan persidangan dilakukan secara terbuka,kecuali ditentukan lain oleh
majelis hakim. Agenda sidang pemeriksaan perkara terdiri dari:
a. Pemeriksaan dan Penyampaian pokok-pokok Permohonan secara
lisan yang diikuti dengan Penyampaian Pokok-Pokok jawaban
termohon atau keterangan pihak-pihak terkait;
b. Pemeriksaan alat-alat bukti dari pemohon maupun dari termohondan
pihak terkait termasuk pemeriksaan rangkaian data,keterangan,
perbuatan dan/atau persitiwa yang sesuai dengan alatbukti lain yang dapat
dijadikan petunjuk dan memeriksa alat buktielektronik
c. Mendengarkan keterangan para pihak seperti saksi dan/atau
ahliyang diajukan oleh kedua belah pihak
d. Penyampaian kesimpulan oleh pemohon, termohon dan/atau pihakterkait

3. Rapat Permusyawaratan Hakim

Pasal 40 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa sidang MK


terbukauntuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Dengan demikian,dari 4
(empat) jenis persidangan, semuanya dilakukan secara terbuka untuk umum kecuali
rapat permusyawaratan hakim (RPH). Ketentuan itujuga menunjukkan bahwa RPH
merupakan salah satu jenis dari sidangpleno yang bersifat tertutup dan rahasia, yang
dilakukan oleh para hakimkonstitusi, panitera, dan panitera pengganti. Di dalam RPH
ini dibahas perkembangan suatu perkara, putusan,serta ketetapan yang terkait dengan
suatu perkara

4. Pengucapan Putusan
Sidang Pengucapan Putusan merupakan tahap akhir dalam proses persidangan di
MK. Sidang Pengucapan Putusan dilaksanakan dalam Sidang Pleno terbuka untuk
umum yang dihadiri paling sedikit 7 (tujuh) orang Hakim dan para pihak. Putusan
biasanya dibacakan secara bergantian oleh majelis hakimkonstitusi, diawali oleh
ketua sidang, dilanjutkan oleh hakim konstitusiyang lain, kemudian pada bagian
kesimpulan, amar putusan dan penutupdibacakan oleh ketua sidang lagi. Setiap
hakim konstitusi akanmendapatkan bagian tertentu dari putusan untuk
dibacakan secaraberurutan, kecuali hakim konstitusi yang dalam posisi
mengajukanpendapat yang berbeda (dissenting opinion) atau alasan yang
berbeda(concurring opinion). Hakim yang mengajukan dissenting opinion
atauconcurring opinion membacakan pendapatnya atau alasannya sendirisetelah
ketua sidang membacakan amar putusan.Putusan MK, mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat sejak diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka. Putusan yang telah
diucapkan dalam Sidang Pleno diunggah pada laman MK (www.mkri.id) dan dapat
diakses oleh masyarakat.
Setelah Putusan dibacakan dalam Sidang Pleno terbuka, MK
berkewajiban menyerahkan Salinan Putusan kepada Para Pihak dalam jangka
waktu yang ditentukan sejak Putusan diucapkan. Salinan Putusan yang disampaikan
kepada para pihak dapat berupa salinan cetak(hardcopy) atau salinan digital
(softcopy) dalam bentuk Pdf.

C. Jenis Alat Bukti pada Hukum Acara MK serta Konsep Pembuktian yang dianut

Pasal 36 UU MK menguraikan alat bukti yang digunakan para pihak untuk membuktikan
dalilnya. Alat bukti ini disesuaikan dengan sifat hukum acara MK sehingga agak berbeda dengan
alat-alat bukti yang dikenal dalam hukum acara perdata, hukum acara pidana maupun hukum
acara peratun. Jenis-jenis alat bukti yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi adalah:

a. surat atau tulisan


surat atau tulisan Secara umum, alat bukti tertulis pada umumnya berupa tulisan yang
dimaksudkan sebagai bukti atas suatu transaksi yang dilakukan, atau surat dan jenis
tulisan yang dapat dijadikan dalam proses pembuktian, seperti surat menyurat, kuitansi,
dan catatan-catatan. Selain itu juga dikenal adanya akta sebagai tulisan yang sengaja
dibuat untuk membuktikan suatu peristiwa dan ditandatangani. Dikenal dua jenis akta,
yaitu akta di bawah tangan dan akta otentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang
ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-
tulisan lain yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum.
Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, ditempat akta itu
dibuat.58 Dalam Hukum Acara MK tentu semua kategori bukti tertulis yang berlaku
dalam hukum perdata, pidana, maupun tata usaha negara juga berlaku, bahkan lebih luas
sesuai dengan jenis perkara yang ditangani. Untuk perkara perselisihan hasil Pemilu
misalnya, keberadaan akta otentik berupa berita acara penghitungan suara atau
rekapitulasi hasil penghitungan suara sangat diperlukan dalam proses pemeriksaan
persidangan. Sebaliknya, dalam perkara pengujian undang-undang yang penting bukan
apakah suatu dokumen undang-undang yang diajukan sebagai alat bukti merupakan
dokumen otentik atau bukan, melainkan apakah dokumen tersebut adalah salinan dari
undang-undang yang otentik, yaitu undang-undang sebagaimana dimuat dalam lembaran
negara dan tambahan lembaran negara sehingga norma yang diatur di dalamnya memang
berlaku sebagai norma hukum yang mengikat.
b. keterangan saksi
Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
mengetahui, melihat, merasakan, atau bahkan mengalami sendiri suatu peristiwa yang
terkait dengan perkara yang diperiksa oleh majelis hakim. Oleh karena itu keterangan
saksi diperlukan untuk mengetahui kebenaran tentang suatu fakta. Dalam persidangan
perkara konstitusi, keterangan saksi diperlukan dalam proporsi yang berbeda-beda sesuai
dengan jenis perkara yang ditangani.
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam perkara pengujian undang-undang
misalnya, keterangan saksi pada umumnya diperlukan dalam hal membuktikan legal
standing pemohon, yaitu terkait dengan telah adanya peristiwa sebagai bentuk kerugian
hak dan atau kewenangan yang dimohonkan karena adanya ketentuan undang-undang
yang dimohonkan. Sedangkan pembuktian tentang apakah ketentuan undang-undang
dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 lebih berdasarkan argumentasi hukum. Di sisi
lain, untuk perkara pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, keterangan saksi
diperlukan dalam pokok perkara untuk membuktikan apakah Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan suatu pelanggaran hukum yang dapat menjadi dasar
pemakzulan sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dalam proses peradilan MK,
keterangan saksi tentu juga harus didukung dengan alat bukti lain. Dalam hal ini juga
berlaku prinsip satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis). Walaupun demikian,
keterangan seorang saksi tentu dapat digunakan untuk mendukung suatu peristiwa jika
sesuai dengan alat bukti yang lain.
c. keterangan ahli
Keterangan ahli adalah pendapat yang disampaikan seseorang di bawah sumpah
dalam pemeriksaan persidangan mengenai suatu hal terkait dengan perkara yang
diperiksa sesuai dengan keahlian berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki. Dengan demikian keterangan yang disampaikan oleh ahli berbeda secara
prinsipil dengan keterangan yang disampaikan oleh saksi. Keterangan ahli buka berupa
keterangan tentang apa yang dilihat, dirasakan, atau dialami tentang suatu peristiwa,
tetapi pendapat dan analisis sesuai dengan keahliannya.
Keterangan ahli dapat disampaikan secara lisan dan/atau tertulis yang akan
menjadi bahan masukan pertimbangan bagi hakim konstitusi dalam memutus perkara.
Dalam pengajuan ahli untuk suatu perkara, pemohon juga harus menyertakan keterangan
keahlian yang dimiliki oleh ahli yang akan diajukan serta pokok keterangan yang akan
disampaikan.
Keterangan ahli sangat diperlukan terutama dalam perkara pengujian undang-
undang yang lebih mengedepankan argumentasi dalam memutus perkara. Selain itu,
luasnya cakupan substansi undang-undang yang diuji juga mengharuskan hakim
konstitusi memperoleh keterangan ahli yang cukup untuk memutus suatu perkara
pengujian undang-undang. Di samping ahli yang diajukan oleh pemohon pihak terkait
pembentuk undang-undang dan pihak terkait lain juga dapat mengajukan ahli dan saksi
agar keterangan yang disampaikan dalam persidangan berimbang. Bahkan, hakim dapat
memanggil ahli lain jika diperlukan untuk didengar keterangannya.
d. keterangan para pihak
Keterangan para pihak adalah keterangan yang diberikan oleh pihakpihak dalam
suatu perkara, baik berkedudukan sebagai pemohon, termohon maupun berkedudukan
sebagai pihak terkait. Keterangan dimaksud dapat berupa keterangan dan tanggapan
terhadap isi permohonan, baik berupa kenegasan dalil-dalil, penolakan dalil-dalil yang
dikemukakan maupun berupa dukungan dengan argumentasi maupun data dan fakta.
Keterangan para pihak diperlukan untuk mendapatkan keterangan komprehensif dan
sebagai wujud dari peradilan fair yang salah satunya harus memenuhi hak untuk didengar
secara berimbang (audi et alteram partem). Dalam sengketa kewenangan lembaga negara
misalnya, keterangan para pihak adalah keterangan termohon dan pihak terkait baik
terhadap dalil pemohon maupun tentang suatu fakta dan peristiwa yang terkait dengan
perkara dimaksud. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam Perkara SKLN Nomor
068/SKLN-II/2004 mengenai Sengketa Kewenangan Pemilihan Anggota BPK,
keterangan para pihak yang didengarkan adalah keterangan Termohon I (Presiden) dan
Termohon II (DPR) yang berisi dalil-dalil yang menyangkal atau menolak permohonan
Pemohon, serta keterangan Pihak Terkait BPK yang menyampaikan keterangan mengenai
fakta kronologis pemilihan anggota BPK.
Keterangan pihak terkait dalam perkara pengujian undang-undang yang
didengarkan adalah keterangan DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang
yang biasanya berisi penolakan terhadap dalil-dalil pemohon, walupun tidak
berkedudukan sebagai termohon. Selain itu sering juga didengarkan keterangan pihak
terkait lain, baik dari lembaga negara maupun dari organisasi masyarakat yang terkait
dengan substansi undang-undang yang sedang diuji. Pada persidangan Perkara Nomor
140/PUU-VII/2009 mengenai pengujian UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama misalnya, disamping keterangan
pihak terkait DPR dan Pemerintah, juga didengarkan keterangan pihak terkait organisasi
Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia yang pada prinsipnya menolak dalil-dalil
pemohon dan mendukung dalil-dalil pihak terkait DPR dan Pemerintah. Selain itu juga
didengarkan keterangan pihak terkait Komnas HAM yang mengemukakan data dan fakta
tentang pelanggaran kebebasan beragama.
e. Petunjuk
Penjelasan Pasal 36 ayat (1) huruf e UU Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan
bahwa petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan alat bukti. Oleh karena
itu petunjuk dalam hal ini adalah sesuatu yang didapatkan oleh hakim dari isi keterangan
saksi, surat, dan alat bukti lain yang saling mendukung atau berkesesuaian.
Untuk memperjelas pengertian petunjuk dapat dilihat pada Pasal 188 KUHAP
yang mendefinisikan petunjuk sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Dengan
demikian penilaian kekuatan petunjuk dilakukan oleh hakim setelah pemeriksaan
persidangan dan berdasarkan keyakinan hakim.
f. informasi elektronik
Ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf f UU No. 24 Tahun 2003 menyebutkan salah
satu alat bukti adalah “alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.” Alat
bukti dimaksud secara singkat dapat disebut sebagai informasi elektronik.Informasi
elektronik adalah informasi yang diperoleh dari atau disampaikan melalui atau disimpan
dalam perangkat elektronik. Informasi ini dapat berupa surat atau bentuk tulisan lain, data
komunikasi, angkaangka, suara, gambar, video, atau jenis informasi dan data lain.
Perangkat elektronik yang digunakan dapat berupa laman (website) atau media perekam
lain dalam berbagai bentuk (cakram padat, hard disk, flash disk, card, dan lain-lain).

Alat bukti yang disertakan dalam permohonan itu akan diperiksa oleh hakim di dalam
sidang. Dalam pemeriksaan itu pemohon harus dapat mempertanggung jawabkan perolehan alat
bukti yang diajukan secara hukum. Pertanggungjawaban perolehan secara hukum ini
menentukan suatu alat bukti sah. Penentuan sah atau tidaknya alat bukti itu dinyatakan dalam
persidangan. Terhadap alat bukti yang dinyatakan sah, MK kemudian melakukan penilaian
dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain di
dalam RPH. Mengingat pentingnya tahap pemeriksaan pembuktian sebagai tahap yang
menentukan, maka kehadiran para pihak, saksi dan ahli untuk memenuhi panggilan MK adalah
kewajiban. Oleh karena itu dalam hal para pihak adalah lembaga negara maka dapat diwakili
oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Untuk itu,
agar yang dipanggil itu dapat mempersiapkan segala sesuatunya, maka panggilan MK harus telah
diterima dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan Saksi yang
tidak hadir dalam persidangan, sedangkan ia telah dipanggil secara patut menurut hukum ketidak
hadirannya itu tanpa alasan yang sah, Mahkamah Kontitusi dapat meminta bantuan kepolisian
untuk menghadirkannya secara paksa.

D. Klasifikasi Sifat dan Jenis Putusan Mahkamah konstitusi

A. sifat putusan
Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu declaratoir, constitutief, dan condemnatoir. Putusan declaratoir adalah putusan
hakim yang menyatakan apa yang menjadi hukum. Misalnya pada saat hakim
memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu benda atau menyatakan suatu perbuatan
sebagai perbuatan melawan hukum.
Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan
atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan putusan condemnatoir adalah
putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu
prestasi. Misalnya, putusan yang menghukum tergugat membayar sejumlah uang ganti
rugi.
Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitutief. Putusan MK berisi
pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum
dan menciptakan keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian UU, putusan yang
mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu
norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD 1945. Pada saat yang bersamaan,
putusan tersebut meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan
menciptakan keadaan hukum baru. Demikian pula dalam putusan perselisihan hasil
Pemilu, putusan MK menyatakan hukum dari penetapan KPU tentang hasil Pemilu
apakah benar atau tidak. Apabila permohonan dikabulkan, MK membatalkan penetapan
KPU itu yang berarti meniadaan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru.
Menurut Maruarar Siahaan, putusan MK yang mungkin memiliki sifat
condemnatoir adalah dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara,
yaitu memberi hukuman kepada pihak termohon untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Pasal 64 ayat (3) UU MK menyatakan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan
untuk perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, MK menyatakan
dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan
kewenangan yang dipersengketakan.

B. Jenis Putusan
Dalam menjalankan tugas, MK dibekali tiga jenis amar putusan. Yaitu
permohonan tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak.
Jenis-jenis putusan MK itu tercantum dalam Pasal 56 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
1. Permohonan tidak dapat diterima
Yang dimaksud dengan permohonan tidak dapat diterima/dikabulkan apabila
permohonan tidak memenuhi syarat-syarat formil.
Dalam Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
diatur tentang amar putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima yang
berbunyi, "Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal
51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima".
2. Permohonan dikabulkan
Permohonan akan dikabulkan bila dalil permohonan pemohon berasalan menurut
hukum. Dalam Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK diatur tentang
amar putusan yang menyatakan permohonan dikabulkan yang berbunyi, "Dalam hal
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan".
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan, harus dimuat di
dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
putusan diucapkan.
3. Permohonan ditolak
Dalam Pasal 56 ayat (5) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
diatur tentang amar putusan yang menyatakan permohonan ditolak yang berbunyi,
"Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya
sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak". Putusan
hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak apabila permohonan pemohon tidak
beralasan.

Selain ketiga putusan itu, MK juga juga menerapkan jenis putusan inkonstitusional
bersyarat (conditionally inconstitutional) dan konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional).

Kedua keputusan itu digunakan jika hakim MK memutus sebuah perkara pengujian
undang-undang yang menjadikan pasal atau ayat pada UU dibatalkan atau menghapus pasal atau
ayat dalam beleid yang dimohonkan pemohon. Hal itu dimaksudkan untuk mencegah
kekosongan hukum jika sebuah pasal atau ayat pada UU yang diuji materi oleh pemohon
kemudian dibatalkan atau dihapus.

Maksud pasal atau ayat dalam sebuah undang-undang yang diputus konstitusional
bersyarat oleh majelis hakim MK adalah norma yang diuji menjadi tidak bertentangan dengan
konstitusi (UUD Tahun 1945) apabila dimaknai sebagaimana dirumuskan MK.

Sedangkan ketika norma pasal atau ayat dalam undang-undang yang diputus
inkonstitusional bersyarat berarti norma yang diuji menjadi bertentangan dengan konstitusi
sepanjang tidak dimaknai sebagaimana dirumuskan MK.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kedudukan Hukum Legal Standing Menurut Harjono, dalam buku Konstitusi


sebagai Rumah Bangsa1 , bahwa “Legal Standing” atau disebut dengan kedudukan
hukum. Legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan
memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan
penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi.

Pemeriksaan Persidangan merupakan tahapan persidangan yang dilakukan


oleh Panel Hakim maupun Pleno Hakim untuk memeriksa pokok perkara. Sidang
pemeriksaan persidangan dilakukan secara terbuka,kecuali ditentukan lain oleh
majelis hakim.

Terhadap alat bukti yang dinyatakan sah, MK kemudian melakukan penilaian


dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang
lain di dalam RPH. Mengingat pentingnya tahap pemeriksaan pembuktian sebagai tahap
yang menentukan, maka kehadiran para pihak, saksi dan ahli untuk memenuhi panggilan
MK adalah kewajiban.

Dalam menjalankan tugas, MK dibekali tiga jenis amar putusan. Yaitu


permohonan tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak.
Jenis-jenis putusan MK itu tercantum dalam Pasal 56 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA

Buku hukum acara MK

https://amp.kompas.com/nasional/read/2022/02/25/11355901/mengenal-jenis-jenis-putusan-
mahkamah-konstitusi

https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengertian-legal-standing-terkait-permohonan-ke-
mahkamah-konstitusi-lt581fe58c6c3ea

Anda mungkin juga menyukai