Anda di halaman 1dari 13

KAJIAN HUKUM TENTANG PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

MATA KULIAH HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI

Dosen Pengampu :

Erwin Aditya Pratama, SH., MH.

Disusun oleh :

Reyska Aleyda

5120600002

ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas limpahan rahmat dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan makalah ini tanpa

halangan suatu apapun. Sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada nabi agung,

Nabi Muhammad SAW, semoga kita mendapat berkahnya kelak di yaumil qiyamah,

aamiin.

Terlepas dari segala hal tersebut, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih

banyak kekurangan baik isi, susunan kalimat, maupun tata bahasanya. Oleh karena

itu, kami dengan lapang dada menerima segala bentuk kritikan maupun saran dari

pembaca agar kami dapat memperbaiki di kesempatan berikutnya.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang

besar bagi pembaca dan membuka pikiran serta menambah wawasan pembaca.

Tegal, 24 Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1

1.1. Latar Belakang Masalah..................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah...........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................4

2.1. Dinamika Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman..............................................4

2.2. Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Putusan dan Kewenangan


Mahkamah Konstitusi......................................................................................5

BAB III PENUTUP.......................................................................................................9

3.1. Kesimpulan......................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia

adalah negara hukum. Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah

satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai

lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang

ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara

bertanggung jawab sesuai dengan Konstitusi, kehendak rakyat dan cita-cita

demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga

terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi

terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan

oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal

24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh

1
kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berwenang untuk:

a. Menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

c. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip

checks and balances yang menempatkan semua Iembaga negara dalam

kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan

negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini, merupakan langkah nyata untuk

dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga Negara. Tetapi harapan ini

tidaklah terlalu mudah diwujudkan. Alexander Hamilton pernah mengeluarkan

pernyataan yang ditulis dalam Federalist No. 78 (1788).

Kenyataan ini membuktikan, sangat sulit bagi MK-RI untuk memastikan

bahwa putusannya ditindaklanjuti organ undang-undang. Masih segar diingatan

kita ketika Ketua MK-RI, Jimly Asshiddiqie, pernah melayangkan surat kepada

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Surat itu mempertanyakan konsistensi

Perpres No. 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran BBM domestik dengan

amputasi parsial MK-RI atas pasal dan ayat problematik yang bermukim di

2
balik UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.6 Ironisnya, belum

sempat Presiden menjawab pertanyaan MK-RI, ada saja aktor negara yang

merasa gerah serta mempertontonkan sikap emosional sekaligus resisten

terhadap pertanyaan tersebut. Katanya, MK-RI tidak boleh bertindak seolah-

olah sebagai ustadz dan tidak pula diperkenankan menggurui apalagi

mempersoalkan kebijakan pemerintah.

Perlu ditekankan bahwa regulasi pemerintah yang tertuang dalam bentuk

Perpres No. 55 Tahun 2005 itu memang dicurigai inkonsisten dengan UUD

1945. Selama ini, tradisi hukum yang berkembang di negara-negara lain, MK

atau MA menjalankan fungsi interpretasi dan pedagogi. Jadi, tidak perlu heran

kalau kedua organ ini sering bertindak sebagai preseptor handal dalam mata

pelajaran ilmu hukum terbaik. Entah kenapa budaya hukum semacam itu

tertanam kuat di komunitas konstitusional mereka.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah diatas, rumusan masalah penelitian

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dinamika kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Konstitusi di

Indonesia?

2. Bagaimana perkembangan judicial review di Indonesia?

3. Apakah semua putusan-putusan Mahkamah Konstitusi bisa diterima secara

teoritis dan juridis?

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Dinamika Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan

hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan

penyelenggaraan negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang

terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-

kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel,

melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang

diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering

disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and

The Interpreter of The Constitution.

Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 194520 menetapkan

bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu

lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga

negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden,

Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial

(KY)21. Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif

selain Mahkamah Agung.

4
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi

dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun

1945;

c. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

2.2. Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Putusan dan

Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Dasar hukum pengujian secara material Mahkamah Konstitusi ialah Pasal

7B, Pasal 24, Pasal 24C Undang-Undang Dasar NRI 1945, Pasal 12 ayat

(1)UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal

10 UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan Prosedur pengajuan uji material (hukum acara) Mahkamah

Konstitusi diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 60 Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam pelaksanan hak

menguji material Mahkamah Konstitusi terdapat beberapa permasalahan, yaitu:

wewenang judicial review Mahkamah Konstitusi hanya terbatas menguji

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, adanya dualisme kewenangan

5
menguji material peraturan perundang-undangan antara Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi, tidak ada ketentuan khusus tentang keabsahan surat

kuasa penggabungan perkara di Mahkamah Konstitusi, ketentuan hukum acara

Mahkamah Konstitusi belum dipahami oleh para pihak yang terlibat perkara di

Mahkamah Konstitusi, ada indikasi bahwa Mahkamah Konstitusi tidak

konsisten dalam legal standing pengajuan perkara, tidak tegasnya kriteria ahli

dalam persidangan Mahkamah Konstitusi, tidak adanya jaminan pemerintah

akan tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi, serta interpretasi sempit dari

Majelis Konstitusi dengan memutus melebihi yang dimohonkan.

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2002 tentang tata

cara penyelenggaraan wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung

dalam Pasal 1 ayat (7) dan (8) membedakan permohonan dan gugatan.

Terhadpa perkara:

a. Pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar;

b. Sengketa wewenang antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan

oleh Undang-Undang dasar RI 1945;

c. Memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat bahwa presiden danatau wakil presiden diduga telah melakukan

pelanggaran hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7B ayat (1)

UUD RI 1945 dan perubahannya.

Undang-undang No. 24 tahun 2003 menyebutkan bahwa semuanya

diajukan dengan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, ditanda

6
tangani oleh pemohon kuasa, diajukan dalam 12 rangkap dan syarat-syarat yang

harus dipenuhi disebut dalam Pasal 31 adalah sebagai berikut:

a. Nama dan alamat pemohon;

b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan;

c. Hal-hal yang diminta untuk diputus.

Permohonan itu harus pula melampirkan bukti-bukti sebagai pendukung

permohonan, yang menunjukkan permohon bersungguh-sungguh. Dengan kata

lain, pemohon harus memuat identitas piha-pihak posita dan petitum. Tapi

Undangundang No. 24 tahun 2003 tidak mengharuskan disebut termohon.

Karena sifatnya yang lebih banyak melibatkan lembaga-lembaga negara dan

khusus tentang pengujian undang-undang terhadap UUD RI 1945, yang berada

dalam posisi sebagai termohon tidak terlalu menentukan karena putusan yang

diminta adalah bersifat deklaratif terhadap aturan yang berlaku umum juga

dilain pihak oleh karena adanya kewajiban Mahkamah Konstitusi memanggil

para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan

danatau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait

dengan termohon, maka yang menentukan termohon itu adalah Mahkamah

Konstitusi.

Mahkamah konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus dalam sidang

plenonya dengan sembilan (9) Hakim Konstitusi, akan tetapi dalam keadaan

luar biasa dengan tujuh (7) Hakim. Itulah sebabnya surat permohonan diajukan

dua belas (12) rangkap, karena disamping dibagikan pada sembilan (9) Hakim,

7
juga harus disampaikan kepda presiden dan DPR dalam waktu tujuh (7) hari

sejak permohonan dicatat dalam register perkara konstitusi. Mahkamah Agung,

menurut Pasal 53 cukup diberi tahu tentang permohona judicial review. Namun,

tidak diatur secara tegas bahwa permohonan disampaikan ke Mahkamah

Agung, yang mempunyai arti bahwa tidak perlu diberikan copy surat

permohonan. Salah satu perbedaan dengan gugatan dalam perkara perdata

adalah permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat

didaftar harus telah menyertakan alat bukti yang mendukung permohonan

tersebut (Pasal 32 ayat (2) dan (3) UU No. 24 tahun 2003). Karena masih ada

proses untuk memeriksa perkara dan alat-alat bukti, maka hal ini harus

ditafsirkan sebagai bukti awal yang menunjukkan kesungguhan permohonan

tersebut dan bukan hanya bertujuan untuk menimbulkan sensasi atau uji coba.

Selanjutnya kita akan membahas siapa yang dapat mengajukan permohonan

pada bagian berikut.

8
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi

penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang

berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka

menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan

Konstitusi, kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Mahkamah Konstitusi

merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah

Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip

checks and balances yang menempatkan semua Iembaga negara dalam

kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan

negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini, merupakan langkah nyata untuk

dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga Negara. Masih segar diingatan

kita ketika Ketua MK-RI, Jimly Asshiddiqie, pernah melayangkan surat kepada

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

9
DAFTAR PUSTAKA

Kewenangan ini dapat juga dilihat dalam pasal 12 UU No.4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi

Tentang hal ini lihat Alexis de Tocqueville, Democracy in America, Specially Edited

and Abridge for the Modern Reader by Richard D. Heffner, (New York: A Mentor

Book Published by The New American Library, 1956), hlm. 74-75.

Tentang hal ini lihat Surat Ketua Mahkamah Konstitusi RI tertanggal 6 Oktober 2005

perihal Pelaksanaan Putusan MK-RI yang ditujukan kepada Presiden Republik

Indonesia

Dicuplik dari Republika, MK Tak Berhak Peringatkan Presiden, 11-10-2005. Lihat

juga http://bpkp.go.id/ viewberita.php? aksi=view&start= 1245&id=1088

Maruarar, Siahaan. 2003. Prosedur Berperkara di Mahkamah Konstitusi dan

Perbandingan dengan Hukum Acara di Pengadilan Umum dan TUN, Mahkamah

Konstitusi.

10

Anda mungkin juga menyukai