Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KODE ETIK MAJELIS DEWAN KEHORMATAN HAKIM


DAN KAITANNYA DENGAN PERANAN KOMISI YUDISIAL
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Etika Profesi Hukum”

Dosen Pengampu:
Bapak Mahmudi, S.HI., M.H.

Disusun Oleh :
1. Muhammad Baihaqi Alamsyah (C72218083)
2. Nur Habibatus Sholichah (C7221908I)
3. Rachmad Ubaidillah (C72218088)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL SURABAYA

OKTOBER 2020

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil‘alamin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Atas
segala nikmat serta karunianya, penulis dapat menyusun makalah ini dengan baik.
Makalah yang berjudul “Kode Etik Majelis Dewan Kehormatan Hakim dan Kaitannya
dengan Peranan Komisi Yudisial” ini Penulis susun dalam rangka memenuhi tugas mata
kuliah Etika Profesi Hukum yang diampu oleh Bapak Mahmudi S.HI., M.H.
Makalah ini berisi tentang beberapa penjelasan mengenai kode etik profesi hakim
dan peranan lembaga Komisi Yudisial di Negara Indonesia. Dalam penyusunan
makalah ini Penulis melibatkan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu. Oleh sebab itu penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala bantuaan
yang diberikan dalam penyusunan makalah ini.
Meski Penulis sudah menyusun makalah ini dengan semaksimal mungkin, namun
sebagai manusia biasa Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sekalian agar penulis dapat menjadikan pelajaran berharga, sehingga
kedepannya penulis mampu menyusun sebuah makalah ataupun karya tulis yang lebih
baik lagi.
Besar harapan bagi penulis, agar makalah ini dapat menjadi sarana untuk
membantu masyarakat luas serta para mahasiswa dalam mengenal dan memahami lebih
jauh tentang bagaimana penerapan etika profesi hukum yang baik dan benar. Demikian
apa yang dapat penulis sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil manfaat dari
karya ini.

Gresik, 17 Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………....……..….............…...................................ii

DAFTAR ISI……………….....…………….………………..……............…........ iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………….…………………..….........................................1

B. Rumusan Masalah……………….…………………..…....................................2

C. Tujuan Penulisan...………….………………………..…...................................2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Mengenal Dewan Kehormatan Majelis Hakim.......…..………......................... 3

B. Tugas Dan Wewenang Dewan Kehormatan Majelis Hakim.............................. 5

C. Komisi Yudisial..........................................................................……................ 6

D. Bentuk Pengawasan Komisi Yudisial Terhadap Prilaku Hakum....................... 8

BAB III : PENUTUP

Simpulan…………………………………............………..……….......................... 12

Saran………………………………………………............…………...................... 12

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Profesi hakim di Indonesia yang dalam fungsi dan tugasnya hakim
berkedudukan sebagai pejabat Negara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang pokok-pokok kepegawaian. Meskipun pada asasnya hakim itu mandiri
atau bebas, tapi kebebasan hakim itu tidaklah mutlak, karena dalam menjalankan
tugasnya hakim secara mikro dibatasi oleh Pancasila, Undang-Undang Dasar,
peraturan perundang-undangan, kehendak para pihak, ketertiban umum dan
kesusilaan.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa dampak dalam
kehidupan ketatanegaraan Indonesia, hal ini mengakibatkan kehidupan
ketatanegaraan di Negara Indonesia mengalami pasang surut baik dalam gagasan,
tatanannya dan terapannya, yaitu adanya perubahan serta penambahan lembaga-
lembaga negara. Salah satunya adalah Komisi Yudisial sebagai lembaga
konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan lembaga konstitusional
lainnya.
Penerapan kode etik profesi oleh hakim memerlukan pengawasan karena kode
etik itu sendiri hanya sebatas aturan saja. Disinilah peran dan fungsi dari Komisi
Yudisial sebagai lembaga khusus guna melakukan pengawasan terhadap perilaku
hakim berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang disusun
bersama oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Tujuan dibentuknya kode etik dan pedoman perilaku hakim serta pengawasan
oleh Komisi Yudisial tersebut adalah demi menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan seperti timbulnya salah paham atau konflik antara sesama anggota hakim
atau antara hakim dengan masyarakat.

iv
B. Rumusan Masalah
Melihat dari latar belakang yang sudah penulis paparkan, oleh karena itu penulis
mengambil beberapa rumusan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam
makalah ini, rumusan masalah tersebut antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan Majelis dewan kehormatan Hakim?
2. Bagaimana pengaturan kode etik dan perilaku hakim di Indonesia?
3. Apa itu Komisi Yudisial?
4. Bagaimana cara pengawasan Komisi Yudisial terhadap pelaksanaan Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim?

C. Tujuan Penulisan
Melihat dari beberapa rumusan masalah yang sudah penulis paparkan, maka
tujuan penulis dalam menyusun makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Majelis dewan kehormatan Hakim?
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kode etik dan perilaku hakim di
Indonesia?
3. Untuk mengetahui apa itu Komisi Yudisial?
4. Untuk mengetahui bagaimana cara pengawasan Komisi Yudisial terhadap
pelaksanaan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim?

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mengenal Dewan Kehormatan Majelis Hakim


Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi selanjutnya disebut Majelis
Kehormatan adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan kode etik Hakim
Konstitusi terkait dengan pelaporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang
dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang disampaikan oleh Dewan
Etik.
Keanggotaan Majelis Kehormatan terdiri atas 5 (lima) orang yang terdiri dari
unsur Hakim Konstitusi 1 (satu) orang, 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial, 1
(satu) orang mantan Hakim Konstitusi, 1 (satu) orang Guru Besar dalam bidang
hukum dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat. Calon Anggota Majelis Kehormatan
dipilih dalam Rapat Pleno Hakim yang bersifat tertutup (Rapat Permusyawarahan
Hakim) dan ditetapkan dengan keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),
dalam Pasal 24C ayat (5) telah menentukan persyaratan yang sangat tinggi untuk
menjadi Hakim Konstitusi, yakni “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”.
Persyaratan yang begitu tinggi bagi Hakim Konstitusi di atas dapat dimengerti
karena MK memiliki posisi dan peranan strategis dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, yakni sebagai penjaga dan penafsir konstitusi. Betapapun Hakim
Konstitusi sesungguhnya adalah juga manusia biasa yang sejatinya bersifat lemah
dan tidak mungkin luput dari kesalahan. Oleh karena itu, menjadi sangat relevan
apabila dibentuk perangkat yang bersifat tetap yang bernama Dewan Etik Hakim
Konstitusi sebagai pelengkap keberadaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
yang bersifat sementara (ad hoc).
Di samping itu, pada dasarnya pembentukan Dewan Etik Hakim Konstitusi juga
dilatarbelakangi oleh peristiwa yang menimpa MK akibat Operasi Tangkap Tangan
(OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap M. Akil

vi
Mochtar (Ketua MK) waktu itu pada Oktober 2013 dalam kasus suap penanganan
beberapa Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala daerah. Peristiwa tersebut
tentu mencoreng kredibilitas MK, sehingga dalam rangka menyelamatkan MK,
Presiden menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2013 yang kemudian menjadi UU No. 2
tahun 2014, namun yang dilakukan Presiden dengan mengeluarkan Perppu tersebut
justru dianggap mengintervensi MK. Oleh karena itu, melalui Putusan MK No. 1-
2/PUU-XII/2014, MK menyatakan UU Penetapan Perppu MK bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian
memberlakukan kembali UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011.
Namun demikian, upaya yang dilakukan MK dalam rangka mengembalikan
marwah MK akibat kasus Akil Mochtar salah satunya yaitu dengan membentuk
dewan Etik Hakim Konstitusi melalui PMK No. 2 Tahun 2013 yang diganti dengan
PMK No. 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Keberadaan Dewan Etik Hakim Konstitusi adalah sebagai perangkat untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, serta
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama). Makna
kata “menjaga” mengandung pengertian tindakan yang bersifat preventif, yang
berarti mencegah atau menghindari adanya pelanggaran Kode Etik Hakim Konstitusi
dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Sedangkan kata “menegakkan”
mengandung pengertian tindakan secara represif, yaitu penindakan yang berupa
pemberian sanksi terhadap hakim yang terbukti melanggar Kode Etik.
Dewan Etik memiliki kewenangan memeriksa dan memutus laporan pengaduan
masyarakat dan informasi media/masyarakat terkait dugaan pelanggaran kode etik
dan perilaku Hakim Konstitusi serta pelanggaran terhadap UU MK mengenai
larangan dan kewajiban Hakim Konstitusi.1

1
Wiryanto, “penguatan dewan etik dalam menjaga keluhuran martabat hakim konstitusi”, jurnal
konstitusi, volume 13, Nomor 4, desember 2016, hal.5-6.

vii
B. Tugas dan Wewenang Dewan Kehormatan Majelis Hakim
Dalam Peraturan mahkamah konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014
tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang terdapat pada pasal Pasal 12
Majelis Kehormatan Hakim mempunyai tugas:
a. Melakukan pengolahan dan penelaahan terhadap laporan yang diajukan oleh
Dewan Etik mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga, serta mengenai Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali
b. Menyampaikan Keputusan Majelis Kehormatan kepada Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan Pasal 13 Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 12, Majelis Kehormatan mempunyai wewenang:
a. Memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diajukan
oleh Dewan Etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk memberikan
penjelasan dan pembelaan, termasuk untuk dimintai dokumen atau alat bukti lain;
b. Memanggil dan meminta keterangan pelapor, saksi dan/atau pihak lain yang
terkait dengan dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk dimintai
keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau alat bukti lain;
c. Menjatuhkan keputusan berupa sanksi atau rehabilitasi.2

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Dewan Etik dan Majelis


Kehormatan mendasarkan diri pada prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Independensi Hakim Konstitusi, yaitu Dewan Etik dan Majelis
Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak boleh
mengurangi kebebasan Hakim Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara;
2. Prinsip Objektivitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya menggunakan kriteria, paramater, data,
informasi, dan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan;

2
Vanny Sipora Ishaq “Kewenangan Majelis Kehormatan Hakim Dlam Pengawasan Perilaku Hakim,
Jurnal Lex Et Sociatis, Vol. 04, No. 07, 2015. Hlm : 210.

viii
3. Prinsip Imparsialitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak memihak kepada siapapun dan
kepentingan apapun;
4. Prinsip Penghormatan kepada Profesi Hakim Konstitusi, yaitu Dewan Etik dan
Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya wajib menjaga
kehormatan dan keluhuran martabat Hakim Konstitusi;
5. Prinsip Praduga Tidak Bersalah, yaitu Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
dianggap tidak bersalah sampai dengan dibuktikan sebaliknya berdasarkan
Keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan;
6. Prinsip Tranparansi, yaitu masyarakat dapat mengakses data, informasi,
Keputusan Dewan Etik, dan Keputusan Majelis Kehormata, kecuali hal-hal yang
ditentukan lain dalam Peraturan ini; dan
7. Prinsip Akuntabilitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan harus dapat
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan wewenang.3

C. Komisi Yudisial
Komisi yudisial merupakan lembaga negara yang terbentuk setelah adanya
amandemen ke-3 terhadap UUD 1945. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara
yang bersifat mandiri dimana dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur
tangan atau pengaruh kekuasaan eksekutif, legislatif dan kekuasaan lainnya.
Berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia, yaitu Jakarta.
Dalam memutar roda organisasinya digerakkan oleh pimpinan dan anggota,
terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua yang merangkap anggota,
jumlahnya tujuh orang anggota yang berstatus sebagai pejabat negara. Keanggotaan
Komisi Yudisial terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum dan
anggota masyarakat. Kedudukan protokoler dan hak keuangan Ketua, Wakil Ketua,
dan Anggota Komisi Yudisial diberlakukan ketentuan peraturan perundang-
undangan bagi pejabat negara. Anggaran Komisi Yudisial dibebankan pada
Anggaran Pendapat dan Belanja Negara.4
3
Bintan ragen saragih, 2018,”peran lembaga etik dalam mengawasi dan menjaga perilaku etik pejabat
publik”, ruang pustakaloka, gedung nusantara IV MPR,DPR dan DPR RI, hal.7-11.
4
Wahyu Wiriadinata, “Komisi Yudisial dan Pengawasan Hakim di Indonesia”, Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Vol. 43, No. 04, 2013. Hlm : 540.

ix
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri, yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.
Wewenang Komisi Yudisial diatur dalam pasal 24B ayat 1 UUD 1945 pasca
amandemen. Pasal 24B ayat 1 perubahan UUD 1945 tersebut merangkum sekaligus,
fungsi, tugas dan wewenang Komisi Yudisial dalam wujud rumusan umum.
Berdasarkan pokok pengaturan tersebut, UU No. 22 tahun 2004 menjabarkan fungsi
strategis Komisi Yudisial melalui pasal 13 yang mana kemudian Undang-undang
tersebut diperbaharui sehingga, Komisi Yudisial mempunyai wewenang yang antara
lain :

a.Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung


kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Wewenang Komisi Yudisial dalam
mengusulkan pengangkatan hakim agung dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya politisasi perekrutan hakim agung. Secara alamiah, kekuasaan politik
presiden dan parlemen selalu ingin mendudukkan orang-orangnya sebagai hakim
agung. Komisi Yudisial diharapkan mampu mengeliminasi terjadinya itu.

b. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.


Jabatan hakim pada dasarnya merupakan jabatan yang terhormat dan luhur yang
senantiasa dijadikan figur bagi masyarakat. Hal ini mengandung arti, bahwa
jabatan hakim adalah jabatan yang amanah dalam upaya penegakan keadilan
berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Berdasarkan itu, maka ada dua karakter
yang melekat pada jabatan hakim yang harus selalu dijaga yaitu kehormatan dan
keluhuran.

c.Menetapkan kode etik atau pedoman perilaku hakim bersama-sama dengan


Mahkamah Agung. Seperti lembaga-lembaga profesi hukum lainnya,
profesionalisme tanpa etika menjadikannya bebas dalam arti tanpa kendali dan
tanpa pengarahan. Sebaliknya etika tanpa profesionalisme menjadikannya lumpuh
dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak, sehingga dibutuhkan satu pedoman
bersama bagi kalangan masing-masing profesi yang sering disebut sebagai kode

x
etik profesi, maka dari itulah Komisi Yudisial bersama-sama dengan Mahkamah
Agung membuat sebuah kode etik untuk hakim, supaya para hakim bertindak
secara profesional.

d. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan pedoman perilaku hakim.
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim, Komisi Yudisial memiliki tugas sebagai berikut :

1. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;

2. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode


etik dan pedoman perilaku hakim;

3. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan


dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim secara tertutup;

4. Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode etik dan


pedoman perilaku hakim;

5. Mengambil langkah hukum dan langka lain terhadap orang perseorang,


kelompok dan keluhuran martabat hakim.5
Dalam konteks ketatanegaraan, Komisi Yudisial mempunyai peranan yang
sangat penting yaitu:
a. Mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim
agung.
b. Melakukan pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif, guna
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim.6

D. Bentuk Pengawasan Komisi Yudisial Terhadap Pelaksanaan Kode Etik Hakim


UUD 1945 telah mengkonstruksi Komisi Yudisial yang bertugas untuk menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Secara
5
Agung Setiawan, “Peran Komisi Yudisial dalam Pengawasan Kode Etik Hakim Perspektif Fiqh
Siyasah”, Jurnal al-Daulah, Vol. 6, No. 1, 2016. Hlm : 4-5.
6
Melfa Deu, “Kode Etik Hakim dan Komisi Yudisial di Indonesia”, Lex et Societatis, Vol. III, No. 1,
2015. Hlm : 44.

xi
eksplisit dapat ditafsirkan bahwa pengawaan Komisi Yudisial terhadap hakim
dilakukan dalam konteks upaya preventif dan upaya represif. Fungsi menjaga sebagai
upaya preventif dilaksanakan melalui bentuk kegiatan memberikan pendidikan calon
hakim serta pendidikan dan latihan hakim secara berkala. Sedangkan fungsi
menegakkan merupakan upaya represif dalam mewujudkan terciptanya kehormatan
dan keluhuran hakim.
Fungsi pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial, sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945, lebih memfokuskan pada pengawasan terhadap hakim sebagai
individu, tidak secara langsung kepada Mahkamah Agung sebagai institusi. Artinya,
Komisi Yudisial tidak melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan,
seperti: kepegawaian, keuangan, dan administrasi perkara.7
Dalam melaksanakan tugas pengawasan hakim, Komisi Yudisial berpedoman
pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan Komisi Yudisial
bersama Mahkamah Agung. Keberadaan Majelis Kehormatan Hakim menjadi forum
bersama Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam melakukan penindakan
terhadap hakim yang melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sepanjang
usulannya menyangkut sanksi pemberhentian tetap. Oleh karenanya, Majelis
Kehormatan Hakim dalam hal pembentukan dan pelaksanaan formil persidangannya
bukan merupakan wewenang eksklusif Komisi Yudisial.
Hal ini disebabkan dengan adanya dua elemen di dalamnya dengan keanggotaan
terdiri dari 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial dan 3 (tiga) orang hakim agung.
Artinya, pembentukan dan pelaksanaan Majelis Kehormatan Hakim merupakan
konsensus dua lembaga yang berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman tersebut.
Keberadaan Majelis Kehormatan Hakim sesungguhnya mereduksi kewenangan
pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Tugas Komisi Yudisial rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim, adalah sebagai berikut:
a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim.

7
Taufiqurrohman Syahuri, Peran Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Hakim Terhadap Dilema
Independensi Kekuasaan Hakim, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia. Hlm 8-9.

xii
b. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik
dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
c. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan
pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup.
d. memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran KEPPH.
e. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan,
kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran
martabat hakim.8
Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial seperti diatur dalam undang-
undang revisi ini, merupakan upaya untuk mengatasi perilaku menyimpang hakim
agar para hakim menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Oleh karena itu, apabila fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial itu berjalan
efektif tentu dapat mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim
untuk senantiasa menjalankan wewenang dan tugasnya sebagai pelaksana utama
kekuasaan kehakiman sesuai dengan Undang-Undang serta kode etik dan pedoman
perilaku hakim.

8
Dewi Margareth Kalalo, “Eksistensi Komisi Yudisial Terhadap Pelaksanaan Kode Etik Profesi Hakim”,
Lex et Crimen, Vol. III, No. 1, 2014. Hlm : 56.

xiii
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi selanjutnya disebut Majelis
Kehormatan adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan kode etik Hakim
Konstitusi terkait dengan pelaporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang
dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang disampaikan oleh Dewan
Etik.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan hakim, Komisi Yudisial berpedoman
pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan Komisi Yudisial
bersama Mahkamah Agung. Keberadaan Majelis Kehormatan Hakim menjadi forum
bersama Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam melakukan penindakan
terhadap hakim yang melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sepanjang
usulannya menyangkut sanksi pemberhentian tetap. Oleh karenanya, Majelis
Kehormatan Hakim dalam hal pembentukan dan pelaksanaan formil persidangannya
bukan merupakan wewenang eksklusif Komisi Yudisial.

B. Saran-Saran
Bagi Pembaca, khususnya para mahasiswa agar dapat memanfaatkan makalah
ini sebagai bahan menambah pengetahuan tentang hal-hal yang terkait dengan
Majelis Kehormatan Hakim dan Lembaga Komisi Yudisial yang mana telah kami
bahas dalam makalah ini. Dan juga agar bisa mengetahui lebih dalam mengenai tugas
dan wewenang Majelis Kehormatan Hakim dan Lembaga Komisi Yudisial. Dan bagi
penulis berharap makalah ini dapat lebih baik dan bermanfaat.

xiv
Daftar Pustaka

Wiryanto, “penguatan dewan etik dalam menjaga keluhuran martabat hakim konstitusi”,
jurnal konstitusi, volume 13, Nomor 4, desember 2016. Dikutip pada Tanggal 18 Maret 2021.
Vanny Sipora Ishaq “Kewenangan Majelis Kehormatan Hakim Dlam Pengawasan
Perilaku Hakim, Jurnal Lex Et Sociatis, Vol. 04, No. 07, 2015. Dikutip pada Tanggal 18 Maret
2021.
Bintan ragen saragih, 2018,”peran lembaga etik dalam mengawasi dan menjaga
perilaku etik pejabat publik”, ruang pustakaloka, gedung nusantara IV MPR,DPR dan DPR RI.
Dikutip pada Tanggal 19 Maret 2021.
Wahyu Wiriadinata, “Komisi Yudisial dan Pengawasan Hakim di Indonesia”, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, Vol. 43, No. 04, 2013. Dikutip pada Tanggal 19 Maret 2021.
Agung Setiawan, “Peran Komisi Yudisial dalam Pengawasan Kode Etik Hakim
Perspektif Fiqh Siyasah”, Jurnal al-Daulah, Vol. 6, No. 1, 2016. Dikutip pada Tanggal 19
Maret 2021.
Melfa Deu, “Kode Etik Hakim dan Komisi Yudisial di Indonesia”, Lex et Societatis,
Vol. III, No. 1, 2015. Dikutip pada Tanggal 20 Maret 2021.
Taufiqurrohman Syahuri, Peran Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Hakim Terhadap
Dilema Independensi Kekuasaan Hakim, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia. Dikutip
pada Tanggal 20 Maret 2021.
Dewi Margareth Kalalo, “Eksistensi Komisi Yudisial Terhadap Pelaksanaan Kode Etik
Profesi Hakim”, Lex et Crimen, Vol. III, No. 1, 2014.

xv

Anda mungkin juga menyukai