Anda di halaman 1dari 34

Panduan Penegakkan Kode Etik Dan Perilaku Hakim Dan

Majelis Kehormatan Pada Mahkamah Agung

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Profesi Hukum

Dosen Pengampu:

MHD. Abduh Saf, S.HI., M.HI.

Oleh:

Safin Wahyu Firdana (C04219039)


Siti Rokhimah (C74219064)
Shohifah Khoirunnisa (C74219063)
Aini Hidayanti (C94219070)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penyusun kemudahan sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
penyusun tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa
penyusun juga mengucapkan terima kasih terhadap kontribusi para anggota kelompok dengan
memberikan ide-ide serta pikiran untuk menyusun makalah ini.

Dalam kesempatan ini dengan penuh rasa suka cita kami mengucapkan rasa terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, terutama
kepada bapak Dosen Mata Kuliah Etika Profesi Hukum yang telah memberikan
kepercayaannya kepada kami untuk membuat makalah yang kami beri judul “Panduan
Penegakkan Kode Etik dan Perilaku Hakim dan Majelis Kehormatan pada Mahkamah
Agung”.

Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
dan penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih

Surabaya, 18 November 2021

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................ii

DAFTAR ISI ...........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2

C. Tujuan.......................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 3

A. Definisi Serta Tujuan Kode Etik Dan Perilaku Seorang Hakim ................................. 3

B. Prinsip-prinsip Kode Etik Dan Perilaku Bagi Seorang Hakim ................................... 5

C. Kewajiban Serta Larangan Hakim .............................................................................. 8

D. Jenis Pelanggaran Dan Sanksi Hakim....................................................................... 19

E. Majelis Kehormatan Pada Mahkamah Agung........................................................... 27

BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 30

A. Simpulan ................................................................................................................... 30

B. Saran .......................................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................iv

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum serta keadilan yang berdasarkan
pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Sebagaimana yang
telah terdapat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka mengandung pengertian bahwa dalam melaksanakan
tugas dan fungsi yang terkait dengan Kekuasaan Kehakiman tersebut, baik yang bersifat
fungsional maupun kelembagaan, tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh kekuasaan
manapun. Hal itu juga ditegaskan dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya.
UUD 1945 telah menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan
kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi
Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 Ayat 2: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting
dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Untuk mewujudkan pengadilan
yang bersih tidak hanya mengandalkan profesionalisme hakim, diperlukan pula syarat
integritas dan moralitas hakim yang tinggi guna menjaga keluhuran martabat hakim. Hal ini
bisa terwujud, selain dari kesadaran hakim itu sendiri untuk mewujudkan peradilan yang
bersih, juga diperlukan pengawasan internal Mahkamah Agung dan eksternal Komisi
Yudisial secara objektif dan serius menindak berbagai penyalahgunaan kewenangan hakim
dalam memutuskan perkara selain itu adanya keterbukaan dan kebebasan pers untuk
mengontrol kinerja hakim sehingga hakim merasa takut melakukan berbagai penyimpangan.
Apabila seorang hakim melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, maka
hakim itu dapat diberikan sanksi, dalam menentukan sanksi yang layak dijatuhkan, harus
dipertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan pelanggaran, yaitu latar belakang,
tingkat keseriusan, dan akibat dari pelanggaran tersebut terhadap lembaga peradilan atau
pihak lain.
1
Hakim yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan ini diperiksa oleh Mahkamah
Agung RI dan Komisi Yudisial RI. Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI
menyampaikan hasil putusan hasil pemeriksaan kepada ketua Mahkamah Agung. Hakim
yang diusulkan untuk di karenakan sanksi pemberhentian sementara dan diberhentikan oleh
Mahkamah Agung RI atau Komisi Yudisial RI diberi kesempatan untuk membela diri di
Majelis Kehormatan Hakim. Uraian kode etik hakim meliputi: etika kepribadian hakim, etika
melakukan tugas jabatan, etika pelayanan terhadap pencari keadilan, etika hubungan sesama
rekan hakim, dan etika pengawasan terhadap hakim. Kemudian analisis hubungannya dengan
undang-undang diketahui kode etik hakim diatur dalam UU No 8 Tahun 2004 Tentang
Peradilan Umum. Sesorang yang menjabat sebagai hakim harus mematuhi undang-undang
dan berpegang kode kehormatan hakim. Hubungannya antara undang-undang dan kode
kehormatan hakim yang juga diatur di dalam undang-undang sehingga sanksi pelanggaran
undang-undang juga diberlakukan pada pelanggaran kode kehormatan hakim.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas diambil beberapa rumusan masalah, diantaranya
1. Bagaimana definisi serta tujuan kode etik dan perilaku seorang hakim ?
2. Apa saja prinsip-prinsip kode etik dan perilaku bagi seorang hakim ?
3. Apa kewajiban serta larangan bagi seorang hakim ?
4. Bagaimana jenis pelanggaran dan sanksi bagi seorang hakim?
5. Bagaimana urgensi dari Majelis Kehormatan pada Mahkamah Agung ?
C. Tujuan

Dengan adanya makalah ini, maka diharapkan dapat meraih setidaknya pemahaman
mengenai Panduan Penegakkan Kode Etik dan Perilaku Hakim dan Majelis Kehormatan pada
Mahkamah Agung yang terdapat dalam mata kuliah etika profesi hukum.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Serta Tujuan Kode Etik Dan Perilaku Seorang Hakim

Kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai
landasan tingkah laku. Dalam pasal 1 butir 6 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 18
Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial, menegaskan:

“Kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim adalah panduan dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam menjalankan tugas
profesinya dan dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan”.1

Kode etik dan penguasaan hukum ini bersifat komplementer, saling mengisi dan
menguatkan jati diri para profesi hukum. Kode etik juga merupakan nilai-nilai dan norma-
norma moral yang wajib diperhatikan dan dijalankan oleh profesional hukum. Di dalamnya
terdapat daftar kewajiban khusus bagi setiap anggota profesi hukum untuk mengatur tingkah
lakunya dalam masyarakat dan diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh anggota profesi
hukum. Kode etik ini mengikat para pelaku profesi hukum agar senantiasa menaati kode etik
tersebut. Kode etik itu menjadi ukuran moralitas anggota profesi hukum, motivasi tindakan,
dan ruang lingkup tindakan itu dilakukan. Ini dimaksudkan agar setiap anggota profesi
hukum wajib mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggap hakiki yang dituangkan dalam
kode etik, dan tidak pernah mendapat paksaan dari luar. Kode etik hakim bersifat universal,
terdapat dinegara manapun. Termasuk Negara Republik Indonesia. Karena dalam kode etik
terkandung nilai-nilai kebaikan yang sudah selayaknya dipatuhi oleh para Hakim. Adapun
maksud dan tujuan dibuat kode etik profesi hakim sebagai berikut:

Pertama: sebagai alat, yaitu untuk melakukan pembinaan dan pembentukan karakter
hakim serta untuk pengawasan tingkah laku hakim dalam kerangka ini profesionalitas kinerja
seorang hakim dapat terbentuk melalui peningkatan kualitas/kemampuan dalam pemahaman
dan penerapan dari aturan-aturan yang ada, dan kesemuanya itu tidak bisa meninggalkan
prinsip-prinsip kode etik hakim yang telah disepakati. Artinya, bahwa seorang hakim tidak

1 Wildan Sayuthi Mustofa, Kode Etik Hakim (Jakarta: PenadaMedia Group, 2013).
3
bisa menjalankan profesinya tanpa mengindahkan etika-etika profesi yang ada sehingga
dengan adanya etika profesi ini diharapkan muncul kesadaran dan tanggung jawab untuk
menegakkan keadilan

Kedua: sebagai sarana kontrol sosial, mencegah campur tangan ekstra yudisial serta
sebagai sarana pencegah timbulnya kesalahpahaman dan konflik antar sesame anggota dan
antara anggota dengan masyarakat. Sebagai sarana kontrol sosial, bahwa hakim sebagai korps
merupakan komunitas yang tidak lepas dari proses interaksi dimana dalam proses interaksi
tersebut selalu terbuka peluang munculnya ketidaksamaan pendapat, bahkan konflik dan
pelanggaran-pelanggaran yang kesemuanya itu tidak mungkin dieliminasi jika tidak ada
aturan-aturan (rambu-rambu) yang mengikat tanggung jawab profesinya.

Kedudukan kode etik hakim dalam hal ini merupakan pengawas yang menjadi kontrol
terhadap semua aktivitas yang dilakukan oleh anggota hakim. Pada kenyataannya, bentuk
campur tangan ekstra yudisial, intervensi politik penguasa, godaan materi, budaya feudal,
kolusi dan ”mafia praktek peradilan” selalu menghantui hakim untuk bertindak menyimpang,
sehingga tidak mampu menegakkan keadilan sebagaimana yang diharapkan.
Ketidakmampuan hakim dalam melepaskan diri dari bentuk campur tangan tersebut akan
menghilangkan kemandiriannya. Oleh karena itu, keberadaan kode etik ini diharapkan dapat
meminimalisir adanya praktik-praktik penyimpangan dalam dunia peradilan.

Ketiga: untuk lebih memberikan jaminan bagi peningkatan moralitas dan kemandirian
fungsional bagi hakim.2

Pada dasarnya, tugas hakim adalah memberikan keputusan atas setiap perkara (konflik)
yang dihadapkan kepadanya. Artinya, hakim bertugas untuk menetapkan hubungan hukum,
nilai hukum dari perilaku serta kedudukan hukum para pihak yang terlibat dalam situasi yang
dihadapkan kepadanya. Dalam hal ini berarti, hakim menyelesaikan konflik berdasarkan
hukum, asas-asas kebenaran dan keadilan. Sehubungan dengan fungsinya itu tadi, maka
hakim haruslah berperan sebagai juru-bicara nilai-nilai fundamental dari masyarakat atau
"the spokesmen of the fundamental values of the community". Dalam mengambil keputusan,
para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau
dijadikan landasan yuridis keputusannya. Dengan demikian, jelas bahwa hakim atau para
hakim memiliki "kekuasaan" yang besar terhadap para pihak (yustisiabel) berkenaan dengan
masalah atau konflik yang dihadapkan kepada hakim atau para hakim tersebut. Tepatnya,

2 Melfa Deu, “Kode Etik Hakim dan Komisi Yudisial Di Indonesia,” Lex et Societatis 3, no. 1 (2015): 51–53.
4
tugas hakim itu adalah untuk mewujudkan keadilan secara berkepastian dengan setepat
mungkin menerapkan kaidah hukum positif yang berlaku, jadi mewujudkan keadilan dengan
menerapkan kaidah hukum positif. Atau, dengan kata lain, menerapkan hukum positif secara
adil atau demi untuk mewujudkan keadilan.

Agar putusannya obyektif, maka putusan yang diambilnya untuk memberikan


penyelesaian atas sengketa yang dihadapkan kepadanya harus selalu berdasarkan fakta-fakta
yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan, dan berdasarkan patokan-
patokan obyektif yang berlaku umum, yakni kaidah hukum positif yang berlaku sebagaimana
yang dirumuskan dalam perundang-undangan yang ruang lingkup penerapannya mencakup
fakta-fakta tersebut tadi dengan secara eksplisit menyebutkan ketentuan perundang-undangan
yang dijadikan dasar bagi putusannya, atau kaidah hukum positif yang berwujud hukum
kebiasaan (hukum tidak tertulis).

B. Prinsip-prinsip Kode Etik Dan Perilaku Bagi Seorang Hakim

Peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary)
merupakan salah satu prinsip penting untuk menopang bangunan negara modern. Sebagai
konsekuensi dari prinsip ini, maka hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun, termasuk oleh karena kepentingan jabatan (politik) maupun
kepentingan uang (ekonomi). Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang sering dan bahkan
tidak pernah sepi dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya termasuk
kekuasaan uang, telah mendorong pemikiran perlunya sebuah lembaga yang dapat menjamin
kekuasaan kehakiman untuk dapat berjalan sesuai dengan tujuan dari hukum, yakni keadilan
masyarakat. Dalam keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi
Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009, telah memutuskan
Tentang Kode etik dan pedoman perilaku hakim diantaranya yaitu:

1. Berperilaku Adil
Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang
menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama
kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari
keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality
and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas

5
atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum
yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.3
2. Berperilaku Jujur
Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar
dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan
membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian,
akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam
persidangan maupun diluar persidangan.
3. Berperilaku Arif dan Bijaksana
Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang
hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasan-
kebiasan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu,
serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana
mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang
tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
4. Bersikap Mandiri
Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari
campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong
terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan
atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.
5. Berintegrasi Tinggi
Berintegrasi tinggi disini memiliki arti bahwa sikap hakim harus memiliki sikap dan
kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada
hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau
norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong
terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan
mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta
selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan
terbaik.4
6. Bertanggungjawab

3 “Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia
Tentang Pedoman Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim” (Indonesia, 2012), chap. 17.
4 Ibid., 9.

6
Bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala
sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk
menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.5
7. Menjunjung Tinggi Harga Diri
Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan
yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Prinsip menjunjung
tinggi harga diri, khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat
dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan
martabat sebagai aparatur Peradilan.6
8. Berdisiplin Tinggi

Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini


sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat
pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di
dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian dan berusaha untuk menjadi
teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan
kepadanya.7

9. Berperilaku Rendah Hati

Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari
kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan
mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar,
menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta
mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas. 8
Adapun penerapan sikap rendah hati, sebagai berikut:

a. Pengabdian, Hakim harus melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian


yang tulus, pekerjaan Hakim bukan semata-mata sebagai mata pencaharian dalam
lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah amanat
yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha
Esa.

5 Ibid., 10.
6 Ibid., 11.
7 Ibid., 12.
8 Ibid., 13.

7
b. Popularitas, Hakim tidak boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan
tindakan mencari popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari siapapun
juga.
10. Bersikap Profesional

Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk
melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh
keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan
mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu
pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga
tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien. 9 Adapun penerapan
sikap profesional, sebagai berikut:

a. Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan


pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-
tugas peradilan secara baik.

b. Hakim harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab administratif dan


bekerja sama dengan para Hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan
administrasi peradilan.

c. Hakim wajib mengutamakan tugas yudisialnya di atas kegiatan yang lain secara
professional.

d. Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau


mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan
sengaja membuat pertimbangan yamg menguntungkan terdakwa atau para pihak
dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.10

C. Kewajiban Serta Larangan Hakim

Beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang hakim adalah, Mentaati segala
peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku khususnya yang terkait
dengan tugas pokok dan fungsi Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada
dibawahnya, kemudian Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat dan bertanggung
jawab, selanjutnya adalah Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada

9 Ibid., 14.
10 Yuni Andriyani, “Implementasi Kode Etik Hakim dalam Memeriksa, Mengadili dan Memutus Perkara,”
Journal of Multidisciplinary Studies 10, no. 1 (2019): 17., 23-25.
8
stakeholders Mahkamah Agung menurut bidang tugas masing-masing, kemudian
Mengamankan keuangan Negara dengan prinsip efesiensi dan efektifitas dengan
melaksanakan penganggaran, Mentaati ketentuan jam kerja dan Berpakaian rapi dan sopan,
Selain itu juga Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap sesama pegawai dan
atasan, kemudian Menindaklanjuti setiap pengaduan dan/atau dugaan pelanggaran Aturan
Perilak dan Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik, yang terakhir yaitu
Menjaga nama baik Korps Pegawai dan Institusi Mahkamah Agung.

1. Kewajiban Hakim dalam menerapkan prinsip berperilaku adil, sebagai berikut:

a. Hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan menghormati asas


praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan.
b. Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan tetap
menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.
c. Hakim wajib menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan haknya
untuk mengadili perkara yang bersangkutan.
d. Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka
atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis
kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia,
atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan
pencari keadilan atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik
melalui perkataan maupun tindakan.
e. Hakim harus memberikan keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad
semata-mata untuk menghukum.
f. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar
persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi
kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui
pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan
ketidak berpihakan.11

2. Kewajiban Hakim dalam menerapkan prinsip berperilaku jujur, sebagai berikut:

a. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela.
b. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang dapat
menimbulkan kesan tercela.

11 Ibid.
9
c. Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di
dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara,
sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan hakim dan lembaga peradilan
(impartiality).
d. Hakim wajib melaporkan secara tertulis gratifikasi yang diterima kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ketua Muda Pengawasan Mahkamah
Agung, dan Ketua Komisi Yudisial paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
e. Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi sebelum, selama, dan setelah menjabat, serta bersedia diperiksa
kekayaannya sebelum, selama dan setelah menjabat.12
3. Kewajiban Hakim dalam menerapkan prinsip berperilaku arif dan bijaksana, sebagai
berikut:
a. Hakim wajib menghindari tindakan tercela.
b. Hakim, dalam hubungan pribadinya dengan anggota profesi hukum lain yang
secara teratur beracara di pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat
menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan.
c. Hakim dalam menjalankan tugas-tugas yudisialnya wajib terbebas dari
pengaruh keluarga dan pihak ketiga lainnya.13
4. Kewajiban Hakim dalam menerapkan prinsip bersikap mandiri, sebagai berikut:
a. Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas dari
pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung
maupun tidak langsung dari pihak manapun.
b. Hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif
maupun legislatif serta kelompok lain yang berpotensi mengancam
kemandirian (independensi) Hakim dan Badan Peradilan.
c. Hakim wajib berperilaku mandiri guna memperkuat kepercayaan masyarakat
terhadap Badan Peradilan.14
5. Kewajiban Hakim dalam menerapkan prinsip berintegrasi tinggi, sebagai berikut:

12 Ibid., 19.
13 “Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia
Tentang Pedoman Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim,” 7.
14 Ibid., 8.

10
a. Hakim harus berperilaku tidak tercela.
b. Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung
dengan advokat, penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah
diperiksa oleh hakim yang bersangkutan.
c. Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak
langsung dengan advokat yang sering berperkara di wilayah hukum
pengadilan tempat hakim tersebut menjabat.
d. Hakim wajib bersikap terbuka dan memberikan informasi mengenai
kepentingan pribadi yang menunjukkan tidak adanya konflik kepentingan
dalam menangani suatu perkara.
e. Hakim harus mengetahui urusan keuangan pribadinya maupun beban-beban
keuangan lainnya dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan
keuangan para anggota keluarganya.
f. Hakim yang memiliki konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam Pasal 9
ayat (5) huruf c dan huruf d wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan
mengadili perkara yang bersangkutan. Keputusan untuk mengundurkan diri
harus dibuat seawal mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin
timbul terhadap lembaga peradilan atau persangkaan bahwa peradilan tidak
dijalankan secara jujur dan tidak berpihak.
g. apabila muncul keragu-raguan bagi hakim mengenai kewajiban mengundurkan
diri, memeriksa dan mengadili suatu perkara, wajib meminta pertimbangan
Ketua.15
6. Kewajiban bagi Hakim dalam menerapkan prinsip sikap bertanggung jawab, sebagai
berikut:
a. Hakim dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga
atau pihak lain.
b. Hakim dilarang mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat
rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai hakim, untuk tujuan yang
tidak ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.16

7. Kewajiban bagi Hakim dalam menerapkan prinsip sikap menjunjung harga diri,
sebagai berikut:

15 Ibid., 9.
16 Ibid., 10.
11
a. Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga peradilan dan
profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan.
b. Hakim wajib menganjurkan agar anggota keluarganya tidak ikut dalam
kegiatan yang dapat mengeksploitasi jabatan hakim tersebut.17
Disamping memiliki kewajiban hakim juga diberikan larangana yang harus di taati,
diantaranya adalah, Melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme, kemudian
Melakukan tindakan yang dapat berakibat merugikan stakeholders Mahkamah Agung,
selanjutnya Menjadi simpatisan atau anggota atau pengurus partai politik, danMelakukan
kegiatan yang mengakibatkan pertentangan kepentingan (confict of interest), selain itu hakim
juga dilarang Melakukan penyimpangan prosedur dan/atau menerima hadiah atau imbalan
dalam bentuk apapun dari pihak manapun yang diketahui atau patut diduga bahwa pemberian
itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan pegawai/pejabat
yang bersangkutan, dan Memanfaatkan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik
negara tidak sesuai dengan peruntukannya, juga Membuat, mengkonsumsi,
memperdagangkan dan atau mendistribusikan segala bentuk narkotika dan minuman keras
dan atau obat-obatan psikotropika dan atau barang terlarang lainnya secara illegal, serta
dilarang Melakukan perbuatan asusila dan berjudi, larangan yang terakhir adalah
Memanfaatkan rahasia negara dan/atau rahasia jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan
atau pihak lain.

1. Larangan bagi Hakim dalam menerapkan prinsip berperilaku adil, sebagai berikut:

a. Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah
berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi
yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan.

b. Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka


atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras,
jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau
mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan
hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses
peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan.
c. Hakim dilarang bersikap, mengeluarkan perkataan atau melakukan tindakan
lain yang dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau

17 Ibid., 11.
12
menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saksi-saksi, dan harus pula
menerapkan standar perilaku yang sama bagi advokat, penuntut, pegawai
pengadilan atau pihak lain yang tunduk pada arahan dan pengawasan hakim
yang bersangkutan.
d. Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak-pihak
lain untuk mempengaruhi, mengarahkan, atau mengontrol jalannya sidang,
sehingga menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap para pihak yang terkait
dengan perkara.
e. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar
persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi
kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui
pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan
dan ketidak berpihakan.18
2. Larangan bagi Hakim dalam menerapkan prinsip berperilaku jujur, sebagai berikut:
a. Hakim tidak boleh meminta / menerima dan harus mencegah suami atau istri
Hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta
atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan
pinjaman atau fasilitas dari:
1) Advokat;
2) Penuntut;
3) Orang yang sedang diadili;
4) Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili;
5) Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan
diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut
dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim
dalam menjalankan tugas peradilannya.
Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari
segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk
mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugastugas peradilan, yaitu pemberian
yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti
perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau

18 Ibid., 5.
13
peringatan lainnya sesuai adat istiadat yang berlaku, yang nilainya tidak melebihi
Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam
pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
b. Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak lain
yang di bawah pengaruh, petunjuk atau kewenangan hakim yang bersangkutan
untuk meminta atau menerima hadiah, hibah, warisan, pemberian, pinjaman
atau bantuan apapun sehubungan dengan segala hal yang dilakukan atau akan
dilakukan atau tidak dilakukan oleh hakim yang bersangkutan berkaitan
dengan tugas atau fungsinya dari:
1) advokat;
2) penuntut;
3) orang yang sedang diadili oleh hakim tersebut;
4) pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili oleh hakim tersebut;
5) pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan
diadili oleh hakim yang bersangkutan, yang secara wajar patut diduga
bertujuan untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas
peradilannya.
Dalam kaitannya dengan penerapan perilaku jujur, hakim dibolehkan
menerima imbalan dan atau kompensasi biaya untuk kegiatan ekstra yudisial dari
pihak yang tidak mempunyai konflik kepentingan, sepanjang imbalan dan atau
kompensasi tersebut tidak mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas yudisial dari
hakim yang bersangkutan.19

3. Larangan bagi Hakim dalam menerapkan prinsip sikap arif dan bijaksana, sebagai
berikut:
a. Hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota keluarga hakim yang
bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang berperkara atau sebagai
pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara tersebut.

b. Hakim dilarang mengizinkan tempat kediamannya digunakan oleh seorang


anggota suatu profesi hukum untuk menerima klien atau menerima anggota-

19 Ibid., 6.
14
anggota lainnya dari profesi hukum tersebut.
c. Hakim dilarang menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi,
keluarga atau pihak ketiga lainnya.
d. Hakim dilarang mempergunakan keterangan yang diperolehnya dalam proses
peradilan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan wewenang dan tugas
yudisialnya.
e. Hakim dilarang mengeluarkan pernyataan kepada masyarakat yang dapat
mempengaruhi, menghambat atau mengganggu berlangsungnya proses
peradilan yang adil, independen, dan tidak memihak.
f. Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi
suatu perkara di luar proses persidangan pengadilan, baik terhadap perkara
yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain.
g. Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik atau
pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan baik
yang belum maupun yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam
kondisi apapun.
h. Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik atau
pembenaran secara terbuka atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang hasilnya tidak
dimaksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan hakim
dalam perkara lain.
i. Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota dari partai politik.

j. Hakim tidak boleh secara terbuka menyatakan dukungan terhadap salah satu
partai politik.
k. Hakim tidak boleh atau terlibat dalam kegiatan yang dapat menimbulkan
persangkaan beralasan bahwa hakim tersebut mendukung suatu partai politik.
Dalam penerapan sikap arif dan bijaksana, seorang hakim diperbolehkan untuk:
a. Membentuk atau ikut serta dalam organisasi para hakim atau turut serta dalam
lembaga yang mewakili kepentingan para hakim.
b. Melakukan kegiatan ekstra yudisial, sepanjang tidak menggangu pelaksanaan
tugas yudisial, antara lain menulis, memberi kuliah, mengajar dan turut serta
dalam kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan hukum, sistem hukum,
ketatalaksanaan, keadilan atau hal-hal yang terkait dengannya.

15
c. Menjelaskan kepada masyarakat tentang prosedur beracara di pengadilan atau
informasi lain yang tidak berhubungan dengan substansi perkara dari suatu
perkara, berdasarkan penugasan resmi dari pengadilan.
d. Memberikan keterangan atau menulis artikel dalam surat kabar atau terbitan
berkala dan bentuk-bentuk kontribusi lainnya yang dimaksudkan untuk
menginformasikan kepada masyarakat mengenai hukum atau administrasi
peradilan secara umum yang tidak berhubungan dengan masalah substansi
perkara tertentu.
e. Menulis, memberi kuliah, mengajar dan berpartisipasi dalam kegiatan
keilmuan atau suatu upaya pencerahan mengenai hukum, sistem hukum,
administrasi peradilan dan non-hukum, selama kegiatan-kegiatan tersebut
tidak dimaksudkan untuk memanfaatkan posisi hakim dalam membahas suatu
perkara.
f. Menjabat sebagai pengurus atau anggota organisasi nirlaba yang bertujuan
untuk perbaikan hukum, sistem hukum, administrasi peradilan, lembaga
pendidikan dan sosial kemasyarakatan, sepanjang tidak mempengaruhi sikap
kemandirian hakim.
g. Berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dan amal yang tidak
mengurangi sikap netral (ketidakberpihakan) hakim.20
4. Larangan bagi Hakim dalam menerapkan sikap berintegrasi tinggi, sebagai berikut:
a. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik
kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-
hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik
kepentingan.

b. Hakim dilarang melakukan tawar-menawar putusan, memperlambat


pemeriksaan perkara, menunda eksekusi atau menunjuk advokat tertentu
dalam menangani suatu perkara di pengadilan, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang.
c. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga,
Ketua Majelis, hakim anggota lainnya, penuntut, advokat, dan panitera yang
menangani perkara tersebut.

20Yuni Andriyani, “Implementasi Kode Etik Hakim dalam Memeriksa, Mengadili dan Memutus Perkara.”,
20.
16
d. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila hakim itu memiliki hubungan
pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara, penuntut, advokat,
yang menangani perkara tersebut.
e. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili atau
menjadi penuntut, advokat atau panitera dalam perkara tersebut pada
persidangan di pengadilan tingkat yang lebih rendah.
f. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah menangani hal-hal
yang berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili,
saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum menjadi hakim.
g. Hakim dilarang mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa
orang tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat
mempengaruhi hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan tugas-tugas
peradilan.
h. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah
organisasi atau kelompok masyarakat apabila hakim tersebut masih atau
pernah aktif dalam organisasi atau kelompok masyarakat tersebut.
i. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah
partai politik apabila hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam partai
politik tersebut.
j. Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan sebagai hakim untuk mengejar
kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga dalam hubungan
finansial.
k. Hakim dilarang mengijinkan pihak lain yang akan menimbulkan kesan bahwa
seseorang seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh
keuntungan finansial.
l. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila hakim tersebut telah memiliki
prasangka yang berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau
bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan.
m. Hakim dilarang menerima janji, hadiah, hibah, pemberian, pinjaman, atau
manfaat lainnya, khususnya yang bersifat rutin atau terus-menerus dari
Pemerintah Daerah, walaupun pemberian tersebut tidak mempengaruhi
pelaksanaan tugas-tugas yudisial.
Terkait penerapan berintegritas tinggi, Pimpinan Pengadilan diperbolehkan

17
menjalin hubungan yang wajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif dan dapat
memberikan keterangan, pertimbangan serta nasihat hukum selama hal tersebut tidak
berhubungan dengan suatu perkara yang sedang disidangkan atau yang diduga akan
diajukan ke Pengadilan.21

5. Larangan bagi Hakim dalam menerapkan prinsip sikap menjunjung harga diri,
sebagai berikut:

a. Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan dan transaksi usaha yang
berpotensi memanfaatkan posisi sebagai hakim.
b. Hakim dilarang menjadi advokat, atau pekerjaan lain yang berhubungan
dengan perkara.
c. Hakim dilarang bekerja dan menjalankan fungsi sebagai layaknya seorang
advokat, kecuali jika:
1) Hakim tersebut menjadi pihak di persidangan;
2) Memberikan nasihat hukum cuma-cuma untuk anggota keluarga atau
teman sesama hakim yang tengah menghadapi masalah hukum.
d. Hakim dilarang bertindak sebagai arbiter dalam kapasitas pribadi, kecuali
bertindak dalam jabatan yang secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan
dalam undang- undang atau peraturan lain.
e. Hakim dilarang bertindak sebagai mediator dalam kapasitas pribadi, kecuali
bertindak dalam jabatan yang secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan
dalam undang-undang atau peraturan lain.
f. Hakim dilarang menjabat sebagai eksekutor, administrator atau kuasa pribadi
lainnya, kecuali untuk urusan pribadi anggota keluarga Hakim tersebut, dan
hanya diperbolehkan jika kegiatan tersebut secara wajar (reasonable) tidak
akan mempengaruhi pelaksanaan tugasnya sebagai Hakim.
g. Hakim dilarang melakukan rangkap jabatan yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Mantan Hakim dianjurkan dan sedapat mungkin tidak menjalankan pekerjaan
sebagai Advokat yang berpraktek di Pengadilan terutama di lingkungan peradilan tempat

21“Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia
Tentang Pedoman Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim,” 9.
18
yang bersangkutan pernah menjabat, sekurangkurangnya selama 2 (dua) tahun setelah
memasuki masa pensiun atau berhenti sebagai Hakim.22

D. Jenis Pelanggaran Dan Sanksi Hakim

Pelanggaran merupakan setiap sikap, ucapan, dan/atau perbuatan yang dilakukan oleh
seorang hakim yang bertentangan dengan norma-norma yang ditentukan dalam kode etik dan
pedoman perilaku hakim.23 Ketentuan mengenai tingkat serta jenis pelanggaran telah
tercantum dalam peraturan bersama Mahkamah Agung Indonesia dan Komisi Yudisial
Indonesia tentang panduan penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hal ini
termuat pada bagian BAB IV pasal 18 yang menyatakan bahwa:

1. Pelanggaran ringan meliputi pelanggaran atas:


a. Pasal 6 ayat (2) huruf b dan c. Huruf b, Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan
menghindari perbuatan yang dapat menimbulkan kesan tercela. Huruf c, Hakim
harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik didalam
maupun diluar pengadilan selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak hukum berperkara, sehingga
tercermin sikap ketidakberpihakkan hakim dalam lembaga peradilan (impartiality).
b. Pasal 7 ayat (2) huruf a, b dan c. Huruf a, Hakim wajib menghindari tindakan
tercela. Huruf b, Hakim dalam hubungan pribadinya dengan anggota profesi
hukum lain yang secara teratur beracara di pengadilan, wajib menghindari situasu
yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan. Huruf c, Hakim
dalam menjalankan tugas-tugas yudisialnya wajib terbebas dari pengaruh keluarga
dan pihak ketiga lainnya.
c. Pasal 7 ayat (3) huruf c, g, h, dan k. Huruf c, Hakim dilarang untuk menggunakan
wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak ketiga lainnya.
Huruf g, Hakim tidak boleh memberikan keterangan, pendapat, komentar, kritik
atau pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan baik
yang belum maupun yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kondisi
apapun. Huruf h, Hakim tidak boleh memberikan keterangan, pendapat, komentar,
kritik atau pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan

22 Yuni Andriyani, “Implementasi Kode Etik Hakim dalam Memeriksa, Mengadili dan Memutus Perkara.”,
22.
23 Ratna Sayyida, “Sanksi Hukum terhadap Hakim Adhoc Pelanggar Kode Etik Profesi Hakim,” Logika :

Journal of Multidisciplinary Studies 11, no. 02 (2020): 89.


19
baik yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam forum ilmiah yang
hasilnya tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi
putusan hakim dalam perkara lain.Huruf k, Hakim tidak boleh atau terlibat dalam
kegiatan yang dapat menimbulkan persangkaan beralasan bahwa hakim tersebut
mendukung suatu partai politik.
d. Pasal 8 ayat (2) huruf b dan c. Huruf b, Hakim wajib bebas dari hubungan yang
tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain yang
berpotensi mengancam kemandirian (indepedensi) hakim dan badan peradilan.
Huruf c, Hakim wajib berperilaku mandiri guna memperkuat kepercayaan
masyarakat terhadap badan peradilan.
e. Pasal 9 ayat (4) huruf c, d dan e. Huruf c, Hakim harus mmbatasi hubungan akrab,
baik langsung maupun tidak langung dengan advokat yang sering berperkara di
wilayah hukum pengadilan tempat hakm tersebut menjabat. Huruf d, Hakim wajib
bersikap terbuka dan memberikan informasi mengenai kepentingan dalam
mengenai kepentingan pribadi yang menunjukkan tidak adanya konflik
kepentingan dalam mengenai kepentingan pribadi yang menunjukkan tidak adanya
konflik kepentingan dalam kepentingan pribadi yang menunjukan tidak adanya
konflik kepentingan dalam mengenai suatu perkara. Huruf e, Hakim harus
mengetahui urusan keuangan pribadinya maupun beban-beban keuangan lainnya
dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan keuangan para anggota
keluarganya.
f. Pasal 9 ayat (5) huruf g, h, k, l dan m; Huruf g, Hakim dilarang mengijinkan
seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa orang tersebut seakan-akan
berada dalam posisi khusus yang dapat mempengaruhi Hakim secara tidak wajar
dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan. Huruf h, Hakim dilarang mengadili
suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah organisasi atau kelompok
masyarakat apabila hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam organisasi atau
kelompok masyarakat tersebut. Huruf l, Hakim dilarang mengadili suatu perkara
apabila hakim tersebut telah mermliki prasangka yang berkaitan dengan salah satu
pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang
akan disidangkan. Huruf m, Hakim dilarang menerima janji, hadiah, hibah,
pemberian. pinjaman, atau manfaat lainnya, khususnya yang bersifat rutin atau

20
terus-menerus dari Pemenntah Daerah, walaupun pemberian tersebut tidak
mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas yudisial.
g. Pasal 11 ayat (4) huruf d, e dan f; Huruf d, Hakim dilarang bertindak sebagai
arbiter dalam kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam jabatan yang secara tegas
diperintahkan atau diperboiehkan dalam undang-undang atau peraturan lain. Huruf
e, Hakim dilarang bertindak sebagai mediator dalam kapasitas pribadi, kecuali
bertindak dalam jabatan yang secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan dalam
undang-undang atau peraturan lain. Huruf f, Hakim dilarang menjabat sebagai
eksekutor, administrator atau kuasa pribadi lainnya, kecuali untuk urusan pribadi
anggota keluarga Hakim tersebut, dan hanya diperbolehkan jika kegiatan tersebut
secara wajar (reasonable) tidak akan mempengaruhi pelaksanaan tugasnya sebagai
Hakim.
h. Pasal 13 ayat (1), (2), (3), dan (4). Pada ayat 1, Berperilaku rendah hati bermakna
kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan
terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Ayat 2, kesadaran akan keterbatasan
kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk
keangkuhan. Ayat 3, Dalam penerapan berpenlaku rendah hati, Hakim harus
melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan hakim
bukan semata-mata sebagai mata pencaharian dalam lapangan kerja untuk
mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Ayat 4,
Dalam penerapan berperilaku rendah hati, hakim tidak boleh bersikap, bertingkah
laku atau melakukan tindakan mencari populantas, pujian, penghargaan dan
sanjungan dan siapapun juga.24
2. Pelanggaran sedang meliputi pelanggaran atas:
a. Pasal 5 ayat (3) huruf a dan e; huruf a, Hakim dilarang memberikan kesan bahwa
salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan
saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang
bersangkutan. Huruf e, Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang
berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung
pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara

24“Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia
Tentang Pedoman Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim.”
21
terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip
persamaan perlakuan dan ketidakberpihakan.
b. Pasal 6 ayat (2) huruf d dan e; Huruf d, Hakim wajib melaporkan secara tertulis
gratifikasi yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ketua
Muda Pengawasan Mahkamah Agung, dan Ketua Komisi Yudisial paling lambat
30 (tiga puluh) harl kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Huruf e, Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi sebelum, selama, dan setelah menjabat, serta bersedia
diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan setelah menjabat.
c. Pasal 6 ayat (3) huruf a dan b; Huruf a, Hakim tidak boleh meminta/menerima dan
harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga
Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan,
pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari: (1) Advokat; (2)
Penuntut; (3) Orang yang sedang diadili; (4) Pihak lain yang kemungkinan kuat
akan diadili. (5) Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak
Iangsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan
diadiIi oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut
dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam
menjalankan tugas peradilannya. Huruf b, Hakim dilarang menyuruh/ mengijinkan
pegawai pengadilan atau pihak lain yang di bawah pengaruh, petunjuk atau
kewenangan Hakim yang bersangkutan untuk meminta atau menerima hadiah,
hibah, warisan, pemberian, pinjaman atau bantuan apapun sehubungan dengan
segala hal yang dilakukan atau akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh Hakim
yang bersangkutan berkaitan dengan tugas atau fungsinya dari: (1) Advokat; (2)
Penuntut; (3) Orang yang sedang diadili oleh Hakim tersebut; (4) Pihak lain yang
kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim tersebut. (5) Pihak yang memiliki
kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang
sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan,
yang secara wajar patut diduga bertujuan untuk mempengaruhi Hakim dalam
menjalankan tugas peradilannya.
d. Pasal 7 ayat (3) huruf b, e, f dan j; Huruf b, Hakim dilarang mengizinkan tempat
kediamannya digunakan oleh seorang anggota suatu profesi hukum untuk
menerima klien atau menerima anggota-anggota lainnya dari profesi hukum

22
tersebut. Huruf e, Hakim dilarang mengeluarkan pernyataan kepada masyarakat
yang dapat mempengaruhi, menghambat atau mengganggu berlangsungnya proses
peradilan yang adil, independen, dan tidak memihak. Huruf f, Hakim tidak boleh
memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi perkara di luar proses
persidangan penqadilan, baik terhadap perkara suatu yang diperiksa atau
diputusnya maupun perkara lain. Huruf j, Hakim tidak boleh secara terbuka
menyatakan dukungan terhadap salah satu partai politik.
e. Pasal 9 ayat (4) huruf b dan g; Huruf b, Hakim harus menghindari hubungan, baik
langsung maupun tidak langsung dengan, Advokat, Penuntut dan pihak-pihak
dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan. Huruf g,
Apabila muncul keragu-raguan bagi Hakim mengenai kewajiban mengundurkan
diri, memeriksa dan mengadili suatu perkara, wajib meminta pertimbangan Ketua.
f. Pasal 9 ayat (5) huruf a, d dan j; Huruf a, Hakim tidak boleh mengadili suatu
perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan
kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut
diduga mengandung konflik kepentingan. Huruf d, Hakim dilarang mengadili suatu
perkara apabila Hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan
pihak yang berperkara, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani perkara
tersebut. Huruf j, Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu
pihaknya adalah partai politik apabila hakim tersebut masih atau pernah aktif
dalam partai potitik tersebut.
g. Pasal 11 ayat (3) huruf b; Huruf b, Hakim wajib menganjurkan agar anggota
keluarganya tidak ikut dalam kegiatan yang dapat mengeksploitasi jabatan hakim
tersebut.
h. Pasal 11 ayat (4) huruf c.; Huruf c, Hakim dilarang bekerja dan menjalankan fungsi
sebagai layaknya seorang advokat, kecuali jika: (1) hakim tersebut menjadi pihak
di persidangan: (2) memberikan nasihat hukum cuma-cuma untuk anggota
keluarga atau teman sesama hakim yang tengah menghadapi masalah hukum.25
3. Pelanggaran berat meliputi pelanggaran atas:
a. Pasal 5 ayat (2) huruf a, b, c, d, e dan f; Huruf a, Hakim wajib melaksanakan tugas-
tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa
mengharapkan imbalan. Huruf b, Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam

25 Ibid.
23
maupun di luar pengadilan dan tetap menjaga serta menumbuhkan kepercayaan
masyarakat pencari keadilan. Huruf c, Hakim wajib menghindari hal-hal yang
dapat mengakibatkan pencabutan haknya untuk mengadili perkara yang
bersangkutan. Huruf d, Hakim dalam suatu proses persidangan wajib meminta
kepada semua pihak yang terlibat proses persidangan untuk tidak menunjukkan
rasa suka atau tldak suka, keberpihakan, prasangka atau pelecehan terhadap suatu
ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau
mental, usia atau status sosial ekonoml maupun atas dasar kedekatan hubungan
dengan pencari keadilan atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik
melalui perkataan maupun tindakan. Huruf e, Hakim harus membeikan keadilan
kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum. Huruf f,
Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya
pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses
hukum di Pengadilan.
b. Pasal 5 ayat (3) huruf b, c dan d; Huruf b, Hakim dalam menjalankan tugas
yudisialnya, dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan,
prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal
kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia atau status sosial
ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau
pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun
tindakan. Huruf c, Hakim dilarang bersikap, mengeluarkan perkataan atau
melakukan tindakan Iain yang dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka,
mengancam, atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saksi-saksi dan
harus pula menerapkan standar perilaku yang sama bagi advokat, penuntut,
pegawai pengadilan atau pihak Iain yang tunduk pada arahan dan pengawasan
hakim yang bersangkutan. Huruf d, Hakim dilarang menyuruh/ mengijinkan
pegawai pengadilan atau pihak-pihak lain untuk mempengaruhi, mengarahkan atau
mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap
para pihak yang terkalt dengan perkara.
c. Pasal 6 ayat (2) huruf a; Huruf a, Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan
menghindari perbuatan yang tercela.
d. Pasal 7 ayat (3) huruf a, d dan i; Huruf a, Hakim dilarang mengadili perkara
dimana anggota keluarga Hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu

24
pihak yang berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan
perkara tersebut. Huruf d, Hakim dilarang mempergunakan keterangan yang
diperolehnya dalam proses peradilan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan
wewenang dan tugas yudisialnya. Huruf i, Hakim tidak boleh menjadi pengurus
atau anggota dan partai politik.
e. Pasal 8 ayat (2) huruf b; Huruf b, Hakim wajib bebas dan hubungan yang tidak
patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain yang
berpotensi mengancam kemandirian (independensi) Hakim dan Badan Peradilan.
f. Pasal 9 ayat (4) huruf a, dan f; Huruf a, Hakim harus berperilaku tidak tercela.
Huruf f, Hakim yang memiliki konflik kepentingan dalam suatu perkara wajib
mengundurkan diri dan memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan.
Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat seawal mungkin untuk
mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilan atau
persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak.
g. Pasal 9 ayat (5) huruf b, c, e, f dan i; Huruf b, Hakim dilarang melakukan tawar-
menawar putusan. memperlambat pemeriksaan perkara, menunda eksekusi
ataumenunjuk advokat tertentu dalam menangani suatu perkara di pengadilan,
kecuali ditentukan lain olen undang-undang. Huruf c, Hakim dilarang mengadili
suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, hakim anggota
lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani perkara tersebut. Huruf
e, Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili atau menjadi
Penuntut, Advokatatau Panitera dalam perkara tersebut pada persidangan di
pengadilan tingkat yang lebih rendah. Huruf f, Hakim dilarang mengadili suatu
perkara apabila pernah menangani hal-hal yang berhubungan dengan perkara atau
dengan para pihak yang akan diadili, saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain
sebelum menjadi Hakim. Huruf i, Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang
salah satu pihaknya adalah partai politik apabila hakim tersebut masih atau pernah
aktif dalam partai potitik tersebut.
h. Pasal 10 ayat (2) huruf a, dan b; Huruf a, Hakim dilarang menyalahgunakan
jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain. Huruf b, Hakim
dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak
lain.

25
i. Pasal 11 ayat (3) huruf a; Huruf a, Hakim harus menjaga kewibawaan serta
martabat lembaga peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan
j. Pasal 11 ayat (4) huruf b, d dan g; Huruf b, Hakim dilarang menjadi advokat, atau
pekerjaan lain yang berhubungan dengan perkara. Huruf d, Hakim dilarang
bertindak sebagai arbiter dalam kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam jabatan
yang secara tegas diperintahkan atau diperboiehkan dalam undang-undang atau
peraturan lain. Huruf g, Hakim dilarang melakukan rangkap jabatan yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.26

Adapun pelanggaran terhadap pasal 12 dan pasal 14 dapat diklasifikasikan sebagai


pelanggaran ringan, sedang ataupun berat tergantung dari dampak yang ditimbulkan akibat
tindakan yang terjadi. Dengan adanya pelanggaran yang dilakukan tentunya terdapat sanksi
yang diberlakukan bagi hakim yang melakukan pelanggaran kode etik hakim. Sanksi
merupakan suatu hukuman yang diberikan terhadap orang yang melanggar aturan (hukum).27
Sanksi merupakan wujud dari adanya (pelanggaran) yang setiap pelanggaran pasti ada sanksi
yang akan ditegakkan begitupun dengan pelanggaran kode etik. Sanksi ini berupa hukuman
akhir bagi si pelanggar, baik telah melakukan sebuah pelanggaran yang besar maupun
pelanggaran yang kecil, atau istilah yang terdapat dalam kode etik dan pedoman perilaku
hakim, yaitu pelanggaran ringan, pelanggaran sedang, dan pelanggaran berat. Terkait
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku bagi Hakim dikenai hukuman berupa: 1)
Teguran; 2) Peringatan; 3) Peringatan keras; 4) Pemberhentian sementara untuk waktu
tertentu; 5) Pemberhentian selamanya; 6) Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. 28

1. Sanksi ringan terdiri dari:


a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis.
2. Sanksi sedang terdiri dari:
a. Penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun;
b. Penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu)
tahun;

26 Ibid.
27 Adis Suciawati, “Sanksi Hukum Hakim Terhadap Hakim Pelanggar Kode Etik Profesi Hakim” (UIN
SYARIF HIDAYATULLAH, 2020).
28 Adis Suciawati dan Soefyanto, “Sanksi Hukum Terhadap Hakim Pelanggar Kode Etik Profesi Hakim,”

Journal of Legal research 1, no. 2 (2019).


26
c. Penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu) tahun;
d. Hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan;
e. Mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah;
f. Pembatalan atau penangguhan promosi.
3. Sedangkan sanksi berat terdiri dari:
a. Pembebasan dari jabatan;
b. Hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun;
c. penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 3
(tiga) tahun;
d. Pemberhentian tetap dengan hak pensiun;
e. Pemberhentian tidak dengan hormat.

Hakim nonpalu merupakan hakim yang dijatuhi sanksi tidak diperkenankan untuk
melakukan pemeriksaan dan mengadili perkara dalam tenggang waktu tertentu.
Pemberhentian adalah pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan
hormat sedangkan Pemberhentian sementara adalah pemberhentian untuk waktu tertentu
terhadap seorang hakim sebelum adanya putusan pengadilan dalam perkara pidana yang
dijalaninya berkekuatan hukum tetap atau keputusan pemberhentian tetap sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, sementara yang dimaksud dengan pemberhentian tetap
dengan hak pensiun sebagaimana dimaksud dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial,
dimaknai sebagai pemberhentian dengan hormat.29

E. Majelis Kehormatan Pada Mahkamah Agung

Komisi Yudisial merupakan lembaga yang berperan untuk menegakkan kode etik dan
pedoman perilaku hakim. Penegakan kode etik merupakan salah satu wewenang yang
dimiliki oleh Komisi Yudisial. Hakim yang terbukti berdasarkan hasil pemeriksaan
melakukan pelanggaran kode etik, oleh Komisi Yudisial dapat diusulkan penjatuhan sanksi
salah satunya adalah sanksi pemberhentian. Usulan tersebut akan diajukan kepada
Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial. Penegakan kode etik juga tidak dapat dilepaskan
dari Majelis Kehormatan Hakim. Majelis Kehormatan Hakim adalah forum pembelaan diri
bagi hakim, yang berdasarkan hasil pemeriksaan dinyatakan terbukti melanggar ketentuan

29 Ibid.
27
sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan, serta diusulkan untuk dijatuhi
sanksi berat berupa pemberhentian.30

Majelis Kehormatan Hakim merupakan perangkat hasilbentukan Mahkamah Agung dan


Komisi Yudisial untuk menangani kasus-kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
hakim. Majelis Kehormatan Hakim terdiri dari 3 orang hakim agung dan 4 orang anggota
Komisi Yudisial.31 Dalam menjatuhkan sanksi Majelis kehormatan Hakim tentu saja
mempertimbangkan beberapa faktor, yang berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan
hakim. Pertimbangan yang digunakan antara lain latar belakang pelanggaran, berat ringannya
pelanggaran itu serta pembelaan dari hakim yang melakukan pelanggaran. 32 Berbagai macam
pertimbanganakan digunakan sebagai dasar untuk menentukan sanksi yang tepat bagi hakim
yang melakukan pelanggaran. Sanksi yang dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Hakim dapat
berupa sanksi ringan, sedang ataupun berat tergantung dari pelanggaran yang dilakukan oleh
hakim.

Majelis Kehormatan Hakim dapat dikatakan juga mempunyai andil dalam menjalankan
kekuasaan kehakiman, terutama untuk menangani pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
hakim. Majelis Kehormatan Hakim dibentuk dengan berlandaskan Pasal 11A Angka (13)
UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14
tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Majelis Kehormatan Hakim juga diatur dalam Pasal
22F Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Lebih khusus lagi diatur dalam Peraturan Bersama
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
04/PB/MA/IX/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Cara Kerja, dan Tata Cara
Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.

Pelanggaran kode etik hakim bukan suatu fenomena baru dalam dunia peradilan, yang
akhir-akhir ini justru semakin marak terjadi. Pelanggaran kode etik menunjukkan bahwa kode
etik dan pedoman perilaku hakim dalam implementasinya mulai diabaikan. Pembentukan
Majelis Kehormatan Hakim oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial diharapkan dapat

30 “Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia
Nomor: 04/PB/MA/IX/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Cara Kerja, dan Tata Cara
Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim” (Indonesia, 2012), chap. 12.
31 Indonesia Corruption Watch, “Majelis Kehormatan Hakim Disiapkan,” n.d.,
https://www.antikorupsi.org/en/content/majelis-kehormatan-hakim-disiapkan.
32 “Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia

Tentang Pedoman Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim.”


28
menjadi sebuah perangkat peradilan yang menjaga agar kode etik dan pedoman perilaku
hakim tetap ditaati.

Terdapat banyak kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim. Pelanggaran
kode etik hakim tidak hanya dilakukan oleh hakim di Pengadilan Negeri saja tetapi hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara, hakim Pengadilan Agama juga melakukan pelanggaran kode
etik. Hakim yang dituntut untuk selalu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran,
martabat, serta etika dan perilaku hakim justru pada kenyataan tidak mewujudkannya dalam
menjalankan tugasnya sebagai corong Undang-Undang.33 Pelanggaran kode etik hakim yang
marak terjadi tidak hanya disebabkan oleh satu penyebab. Pelanggaran kode etik hakim
disebabkan oleh perselingkuhan yang dilakukan oleh hakim, hakim yang menerima suap,
hakim yang melakukan tindak pidana korupsi dan masih banyak penyebab lainnya termasuk
dalam perbuatan yang melanggar 10 prinsip dalam kode etik hakim.

33 Ibid.
29
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan

Kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim adalah panduan dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam menjalankan tugas
profesinya dan dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Adapun maksud dan
tujuan dibuat kode etik profesi hakim adalah sebagi pembinaan dan pembentukan karakter
hakim serta untuk pengawasan tingkah laku hakim, sebagai sarana kontrol sosial, dan
memberikan jaminan bagi peningkatan moralitas dan kemandirian fungsional bagi hakim.

Prinsip yang harus dijalankan oleh kode etik hakim, meliputi: berperilaku
adil,berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegrasi tinggi,
bertanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati,
dan bersikap profesional. Jika pihak hakim tidak menerapkan kode etik tersebut, maka akan
menimbulkan kelalaian ataupun telah melakukan pelanggaran. Pelanggaran merupakan setiap
sikap, ucapan, dan/atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang hakim yang bertentangan
dengan norma-norma yang ditentukan dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim. Terkait
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku bagi Hakim dikenai hukuman berupa: 1)
Teguran; 2) Peringatan; 3) Peringatan keras; 4) Pemberhentian sementara untuk waktu
tertentu; 5) Pemberhentian selamanya; 6) Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
Penegakan kode etik juga tidak dapat dilepaskan dari Majelis Kehormatan Hakim. Adapun
Majelis Kehormatan Hakim adalah forum pembelaan diri bagi hakim, yang berdasarkan hasil
pemeriksaan dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Perundang-Undangan, serta diusulkan untuk dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian.

B. Saran

Pada makalah ini penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Masih banyak materi yang mungkin belum dikaji penulis secara
mendalam. Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran untuk perbaikan
makalah yang akan kami buat kedepannya.

30
DAFTAR PUSTAKA

ADIS SUCIAWATI. “Sanksi Hukum Hakim Terhadap Hakim Pelanggar Kode Etik Profesi
Hakim.” UIN SYARIF HIDAYATULLAH, 2020.

Indonesia Corruption Watch. “Majelis Kehormatan Hakim Disiapkan,” n.d.


https://www.antikorupsi.org/en/content/majelis-kehormatan-hakim-disiapkan.

Melfa Deu. “Kode Etik Hakim dan Komisi Yudisial Di Indonesia.” Lex et Societatis 3, no. 1
(2015): 51–53.

Sayyida, Ratna. “Sanksi Hukum terhadap Hakim Adhoc Pelanggar Kode Etik Profesi
Hakim.” Logika : Journal of Multidisciplinary Studies 11, no. 02 (2020): 89.

Suciawati, Adis, dan Soefyanto. “Sanksi Hukum Terhadap Hakim Pelanggar Kode Etik
Profesi Hakim.” Journal of Legal research 1, no. 2 (2019).

Wildan Sayuthi Mustofa. Kode Etik Hakim. Jakarta: PenadaMedia Group, 2013.

Yuni Andriyani. “Implementasi Kode Etik Hakim dalam Memeriksa, Mengadili dan
Memutus Perkara.” Journal of Multidisciplinary Studies 10, no. 1 (2019): 17.

“Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik
Indonesia Nomor: 04/PB/MA/IX/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Cara
Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.” Indonesia,
2012.

“Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik
Indonesia Tentang Pedoman Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim.”
Indonesia, 2012.

iv

Anda mungkin juga menyukai