Anda di halaman 1dari 24

Makalah

Mata Kuliah Etika Profesi Hukum

Penegakan Kode Etik Profesi Hakim di Indonesia Ditinjau Menurut UU


No. 48 Tahun 2009

Disusun Oleh :
Elizabeth Lbn Tobing (200200031)
Elsa Daniella Simbolon (200200033)
Dian Kartika Sihotang (200200176)
Bob Anahara Sinaga (200200374)
Muhammad Haikal Khair ( 200200483)

Dosen Pembimbing: Riadhi Alhayyan SH.,MH


Nip: 199205032017061001

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN – 2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “Penegakan Kode Etik Profesi
Hakim di Indonesia Ditinjau Menurut UU No. 48 Tahun 2009” dapat kami selesaikan dengan
baik dan tepat waktu. Tim penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca tentang Penegakan Kode Etik Profesi Hakim di Indonesia Ditinjau
Menurut UU No. 48 Tahun 2009. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang
Allah SWT karuniai kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun melalui beberapa
sumber yakni melalui kajian pustaka maupun melalui media internet.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada kedua
orang tua kami yang telah memberikan banyak kontribusi bagi kami, dan juga dosen
pembimbing kami, Bapak Riadhi Alhayyan SH.,MH. Harapan kami, informasi dan materi
yang terdapat dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di
dunia, melainkan Allah SWT. Oleh karena itu kami memohon kritik dan saran yang
membangun bagi perbaikan makalah kami kedepanya.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun
adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf. Tim
penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ 1


KATA PENGANTAR .............................................................................................. 2
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3

BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................................ 4
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 4
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 7
1.3. Tujuan Penulisan........................................................................................ 7
1.4. Manfaat Penulisan ..................................................................................... 8

BAB II. PEMBAHASAN ......................................................................................... 10

BAB III. KESIMPULAN .......................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 21

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka sebagaimana yang tercantum


dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan . Pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman adalah salah satu unsur
penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat)1. Hanya pengadilan yang
memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat
menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama
lembaga peradilan menjadi penting, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang
dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan
mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka
menegakkan hukum dan keadilan.

Sebagai officium nobile (profesi yang mulia) jabatan hakim juga penuh resiko dan
tantangan2.Sebagai aparatur peradilan didalam menjalankan Kekuasaan kehakiman dalam
menegakkan hukum dan keadilan tentu saja berpegang pada aturan atau pedoman
berperilaku. Aturan atau pedoman berperilaku sering juga disebut sebagai kode etik. Kode
etik merupakan bagian dari etika profesi. Kieser, sebagaimana dikutip B. Arief Sidharta
dalam tulisan berjudul Etika Profesi mengatakan bahwa, etika profesi sebagai sikap hidup
adalah suatu kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan profesional dari klien
dengan keterlibatan dan keahlian sebagai pelayan dalam masyarakat dalam rangka memenuhi
kewajiban masyarakat terhadap para anggota masyarakat yang membutuhkannya dengan
disertai refleksi yang seksama.3 Kode etik mempunyai fungsi dan tujuan tertentu yang apabila
dilanggar maka dapat dikenakan sanksi, kode etik bertujuan untuk menciptakan profesional
yang baik. Terdapat berbagai macam profesi yang memiliki kode etik. Kode etik profesi
adalah nilai-nilai pandangan hidup sebagai individu dan anggota masyarakat dan bukanlah

1
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 8
2
Dian Yuni Mustika Ningrum.. Studi Analitik Terhadap Kode Etik Dan Profesi Hakim Di Indonesia Dalam
Perspektif Hukum Islam. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010), hal 1
3
Heni Hendrawati et.al, “Aspek Penegakan Kode Etik Hakim Dalam Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman Yang
Bermartabat Dan Berintegritas”, Varia Justicia Volume 12, Nomor 1, Maret 2016, hal.118

4
suatu hal yang baru, kode etik profesi dimaksudkan sebagai upaya untuk mengatur setiap
perilaku kelompok tertentu dan harus dapat dievaluasi atau direvisi setiap saat. 4

Berkaitan dengan hakim sebagai penegak hukum maka menurut Abdulkadir Muhammad
dalam Etika Profesi Hukum mengartikan kode etik profesi adalah norma yang ditetapkan dan
diterima kelompok profesi yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya,
bagaimana harus berbuat sekaligus menjamin moral profesi di masyarakat. Selain itu
dibutuhkan sebagai sarana kontrol sosial; untuk mencegah campur tangan pihak lain; dan
untuk mencegah kesalahpahaman dan konflik didalam menegakan kode etik profesi hukum.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dibentuk oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Komisi Yudisial, yang dituangkan dalam Keputusan Bersama Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009-
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kode etik dan
Pedoman Perilaku Hakim menjadi pegangan para hakim di seluruh Indonesia serta pedoman
bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam
melaksanakan fungsi pengawasan internal dan eksternal5

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim terdiri dari 10 prinsip, antara lain berperilaku adil,
jujur, arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab,
menjunjung tinggi harga diri, berdisplin tinggi, berperilaku rendah hati dan bersikap
profesional. Komisi Yudisial merupakan lembaga yang berperan untuk menegakkan kode etik
dan pedoman perilaku hakim. Penegakan kode etik merupakan salah satu wewenang yang
dimiliki oleh Komisi Yudisial. Hakim yang terbukti berdasarkan hasil pemeriksaan
melakukan pelanggaran kode etik, oleh Komisi Yudisial dapat diusulkan penjatuhan sanksi
salah satunya adalah sanksi pemberhentian. Usulan tersebut akan diajukan kepada Mahkamah
Agung oleh Komisi Yudisial. Penegakan kode etik juga tidak dapat dilepaskan dari Majelis
Kehormatan Hakim.

Didalam penegakan kode etik tersebut sejatinya melalui status a quo saat ini Indonesia telah
memiliki lembaga Komisi Yudisial (KY). Komisi Yudisial merupakan lembaga yang
berperan untuk menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim . Hakim yang terbukti
berdasarkan hasil pemeriksaan melakukan pelanggaran kode etik, oleh Komisi Yudisial dapat

4
Widiartana G, 2009, Silabus Etika dan Tanggung Jawab Profesi, Universitas Atma Jaya, hal. 9.
5
Keputusan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY,diakses 10 Oktober 2022

5
diusulkan penjatuhan sanksi salah satunya adalah sanksi pemberhentian. Usulan tersebut akan
diajukan kepada Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial. Penegakan kode etik juga tidak
dapat dilepaskan dari Majelis Kehormatan Hakim. Majelis Kehormatan Hakim adalah forum
pembelaan diri bagi hakim, yang berdasarkan hasil pemeriksaan dinyatakan terbukti
melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan, serta
diusulkan untuk dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian.

Walaupun sudah memiliki sanksi yang cukup tegas dan berat,tetap saja das sollen terkadang
bertentangan dengan das sein dimana apa yang kita harapkan bertentangan dengan yang
terjadi saat ini. Terdapat banyak kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim.
Pelanggaran kode etik hakim yang marak terjadi tidak hanya disebabkan oleh satu penyebab.
Pelanggaran kode etik hakim disebabkan oleh perselingkuhan yang dilakukan oleh hakim,
seperti hakim yang menerima suap, hakim yang melakukan tindak pidana korupsi dan masih
banyak penyebab lainnya termasuk dalam perbuatan yang melanggar 10 prinsip dalam kode
etik hakim. Pada tahun 2014 kasus pelanggaran kode etik hakim yang ditangani oleh Majelis
Kehormatan Hakim paling banyak adalah akibat perselingkuhan. Presentase kasus
pelanggaran kode etik hakim akibat perselingkuhan adalah 38,64% atau 5 kasus dari 13 kasus
yang ditangani oleh Majelis Kehormatan Hakim6 .

Melaju pada tahun 2020 - Komisi Yudisial (KY) menerima 721 laporan masyarakat dan 643
surat tembusan terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
(KEPPH) pada semester I tahun 2022. Jumlah itu meningkat sekitar 86,5 persen dari semester
I tahun sebelumnya dengan 387 laporan. Melihat fakta sosilogis diatas ,hal ini justru
merepresentasikan bahwa penegakan kode etik hakim saat ini belum benar benar ditegakkan
sebagaimana mestinya . Salah satu contohnya menjerat seorang hakim bernama Ramlan
Comel, Ramlan comel adalah seorang hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota
Bandung. Ramlan Comel terbukti menerima suap dan janji saat menyidangkan perkara
korupsi dana bantuan sosial di Bandung. Majelis Kehormatan Hakim sepakat untuk
memberikan sanksi berat kepada Ramlan berupa rekomendasi untuk diberhentikan dengan
tidak hormat. Majelis Kehormatan Hakim yang menangani kasus Ramlan Comel diketuai
oleh Artidjo Alkostar. Artidjo meminta Mahkamah Agung untuk membuat surat

6
Selingkuh Dominasi Pelanggaran Hakim, Sepanjang 2014,
http://nasional.kompas.com/read/2014/12/27/16393091/Selingkuh.Dominasi.Pelanggaran.Hakim.Sepanjang
2014, diakses 10 Oktober 2022.

6
pemberhentian sementara sembari menunggu surat pemecatan resmi dari Presiden.7 Dari
contoh tersebut menjadi refleksi bagi kita bahwa pentingnya penegakan kode etik profesi
hakim dikarenakan hakim adalah bentang terakhir dari keadilan itu sendiri. Degradasi moral
dengan melanggar kode etik hakim bukan hanya melanggar hukum positif melainkan
mencederai hak orang lain akan keadilan. Berdasarkan pemaparan diatas ,maka dirasa
penting untuk melakukan pengkajian melalui penulisan makalah ini yang berjudul
Penegakan Kode Etik Profesi Hakim di Indonesia Ditinjau Menurut UU No. 48 Tahun
2009

1.2. RUMUSAN MASALAH


a) Bagaimana peraturan a quo dari kode etik hakim menurut UU no 48 tahun 2009
b) Bagaimana implementasi dari kode etik Hakim di Indonesia saat ini
c) Apa yang menjadi Tantangan profesi hakim saat ini

1.3. TUJUAN PENULISAN


a) Untuk mengetahui peraturan dari kode etik hakim menurut UU No 48 Tahun 2009
b) Untuk mengetahui implementasi dari kode etik Hakim dalam menjalankan profesinya
diIndonesia
c) Untuk mengetahui apa yang menjadi tantangan profesi Hakim saat ini dalam
menegakkan kode etik Hakim

1.4. MANFAAT
1. Bagi Peneliti
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti untuk
menjelaskan kode etik hakim menurut UU No 48 Tahun 2009 serta implementasinya
b) Untuk mengimplementasi teori dan ilmu yang telah didapatkan selama dalam
perkuliahan Etika Profesi Hukum
2. Bagi Pembaca
a) Hasil penelitian diharapkan berguna sebagai bahan materi maupun evaluasi
pembelajaran perkuliahan Etika Profesi Hukum

BAB II
7
Indra Wijaya, Langgar Kode Etik, Hakim Ramlan Comel Dipecat,
https://m.tempo.co/read/news/2014/03/12/063561625/langgar-kode-etik-hakim-ramlan-comeldipecat, diakses 10
Oktober 2022

7
PEMBAHASAN

A. Peraturan A Quo dari Kode Etik Profesi Hakim Menurut Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.8 Pengadilan sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang
berdasarkan hukum (rechtstaat).9 Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri
(independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak
asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan
menjadi penting, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui
putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan
kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan
keadilan.
Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui
putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan
tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Di samping itu, selain sebagai officium nobile (profesi yang mulia)
jabatan hakim juga penuh resiko dan tantangan. Mulia karena ia bertujuan menciptakan
ketentraman dan perdamaian di dalam masyarakat. Penuh resiko karena di dunia ia akan
berhadapan dengan mereka yang tidak puas dengan keputusannya, sedangkan di akhirat
diancam dengan neraka jika tidak menetapkan keputusan sesuai dengan yang seharusnya.10
Profesi hakim merupakan satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dan
pengembangannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarah dan mendasari
perbuatan luhur. Setiap profesional dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat. Franz
Magnis Suseno mengemukanan 5 (lima) kriteria nilai moral yang mendasari kepribadian
profesional Hakim, diantaranya adalah: Kejujuran, Autentik, Bertanggung Jawab,
Kemandirian Moral, dan Keberanian Moral. Untuk mewujudkan lingkungan yang sehat di
peradilan, perlu terus diupayakan secara maksimal tugas pengawasan secara internal dan
eksternal, oleh Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI. Wewenang dan tugas
pengawasan tersebut diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim sebagai
pelaksana utama dari fungsi pengadilan itu berintegritas tinggi, jujur, dan profesional,
sehingga memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan. Salah satu hal
penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim
yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam
kesehariannya. Sejalan dengan tugas dan wewenangnya itu, hakim dituntut untuk selalu
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta etika dan perilaku hakim.
8
Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
9
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 8.
10
Dian Yuni Mustika Ningrum.. Studi Analitik Terhadap Kode Etik Dan Profesi Hakim Di Indonesia Dalam
Perspektif Hukum Islam. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010), hal.1.

8
Berdasarkan wewenang dan tugasnya sebagai pelaku utama fungsi pengadilan, maka
sikap hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta merupakan
cerminan perilaku hakim yang harus senantiasa diimplementasikan dan direalisasikan oleh
semua hakim dalam sikap dan perilaku hakim yang berlandaskan pada prinsip Ketuhanan
Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, dan jujur. Ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi prinsip-prinsip kode etik dan pedoman
perilaku hakim ini bermakna pengamalan tingkah laku sesuai agama dan kepercayaan
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa ini akan mampu mendorong hakim untuk berperilaku baik dan
penuh tanggung jawab sesuai ajaran dan tuntunan agama dan kepercayaan yang
dianutnya.11
Oleh karena itu, Mahkamah Agung mengadakan kajian dengan memperhatikan
masukan dari Hakim di berbagai tingkatan dan lingkungan peradilan, kalangan praktisi
hukum, akademisi hukum, serta pihak-pihak lain dalam masyarakat. Selain itu
memperhatikan hasil perenungan ulang atas pedoman yang pertama kali dicetuskan dalam
Kongres IV Luar Biasa IKAHI Tahun 1966 di Semarang, dalam bentuk Kode Etik Hakim
Indonesia dan disempurnakan kembali dalam Munas XIII IKAHI Tahun 2000 di Bandung.
Untuk selanjutnya ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung RI Tahun 2002 di
Surabaya yang merumuskan prinsip-prinsip Pedoman Perilaku Hakim yang didahului pula
dengan kajian mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap prinsip-prinsip
internasional, maupun peraturan-peraturan serupa yang ditetapkan di berbagai Negara,
antara lain The Bangalore Principles of Yudicial Conduct. Selanjutnya Mahkamah Agung
menerbitkan pedoman Perilaku Hakim melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
RI No. KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006, tentang Pedoman Perilaku
Hakim dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 215/KMA/SK/XII/2007
tanggal 19 Desember 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim.
Demikian pula Komisi Yudisial RI, sebagaimana dalam Pasal 40 Ayat (2) UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan, dikatakan bahwa Komisi Yudisial mempunyai tugas
melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim. Dan sebab itu pula Komisi Yudisial, telah melakukan pengkajian yang
mendalam dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak melalui kegiatan
Konsultasi Publik yang diselenggarakan di 8 (delapan) kota yang pesertanya terdiri dari
unsur hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, serta unsur-unsur masyarakat termasuk
lembaga swadaya masyarakat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas
dan memenuhi pasal 32A juncto pasal 81B Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka
disusunlah Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang merupakan pegangan bagi para
Hakim seluruh Indonesia serta Pedoman bagi Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial
RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan internal maupun eksternal.
Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan
dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut: (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku

11
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 No.
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Jakarta, 2009.

9
Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi,
(6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisplin Tinggi, (9)
Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional. Dan kemudian prinsip-prinsip dasar
tersebut termuat di dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan
Komisi Yudisial Republik Indonesia No. 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012
tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Kehadiran Komisi Yudisial di dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia
bukanlah sekedar “aksesoris” demokrasi atau “kegenitan” proses pembaharuan penegakan
hukum. Komisi Yudisial lahir sebagai konsekuensi politik dari adanya Amandemen Ketiga
UUD 1945 yang ditujukan untuk membangun sistem check and balances di dalam sistem
dan struktur kekuasaan, termasuk di dalamnya subsistem kekuasaan kehakiman.
Keberadaan Komisi Yudisial memperoleh justifikasi hukum yang sangat kuat setelah
keberadaan lembaga dimaksud secara dimuat di dalam UUD NRI 1945 sebagai pengawas
peradilan atau pengadilan etika (court of ethics) yang mengadili perkara etika (perilaku)
para hakim.12

B. IMPLEMENTASI DARI KODE ETIK HAKIM DI INDONESIA SAAT INI

Sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48


Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung
dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata

12
Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013, hal. 45.

10
usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
tersebut.

Hakim sebagai pelaku utama secara fungsional dalam melaksanakan fungsi kekuasaan
kehakiman, karena hakikatnya kekuasaan kehakiman memiliki pilar yang terdiri dari badan
peradilan yang ditegakkan berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan fungsi
kekuasaaan kehakiman, hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajiban
sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan. Setelah memahami tugas dan
kewajibannya, selanjutnya hakim harus berupaya secara profesional dalam menjalankan dan
menyelesaikan pekerjaannya.13

Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara dilindungi dan
diberi kekuasaan yang merdeka dan bebas oleh negara dari berbagai intervensi dari pihak
manapun dan dalam bentuk apapun, sebagai jaminan ketidak berpihakan hakim kecuali
terhadap hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Karena itu, dalam mewujudkan suatu kepastian dan ketertiban hukum bagi masyarakat,
hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Atas dasar itu, maka hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus dituntut harus berdasarkan atas fakta hukum di persidangan, norma/kaidahkaidah
hukum, moral hukum, dan doktrin hukum sebagai pertimbangan putusannya terhadap suatu
perkara, demi tegaknya keadilan, kepastian, dan ketertiban hukum, yang merupakan tujuan
utama hukum itu sendiri.

Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keluhuran martabat, serta


perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus
diimplementasikan secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas yudisialnya
maupun di luar tugas yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakan
hukum dan keadilan. Kehormatan adalah kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus
dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi
pengadilan. Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan
pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan
saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan
dalam masyarakat. Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat merupakan tingkat
harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi
13
Yani Andriyani, “Implementasi Kode Etik Hakim dalam Memeriksa, Mengadili dan Memutus Perkara”, Journal
of Multidisciplinary Studies, Vol. 10 Nomor 01 Juni 2019. 13-30.

11
harus dijaga dan dipertahankan oleh hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi
pekerti luhur. Hanya dengan sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah
kehormatan dan keluhuran martabat hakim dapat dijaga dan ditegakkan. Kehormatan dan
keluhuran martabat berkaitan erat dengan etika perilaku. Etika adalah kumpulan azas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak mengenai benar dan salah yang dianut satu golongan
atau masyarakat. Perilaku dapat diartikan sebagai tanggapan atas reaksi individu yang
terwujud dalam gerakan (sikap) dan ucapan yang sesuai dengan apa yang dianggap pantas
oleh kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Etika berperilaku adalah sikap dan perilaku yang
didasarkan kepada kematangan jiwa yang diselaraskan dengan norma-norma yang berlaku di
dalam masyarakat. Implementasi terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim dapat
menimbulkan kepercayaan, atau ketidak-percayaan masyarakat kepada putusan pengadilan.
Oleh sebab itu, hakim dituntut untuk selalu berperilaku yang berbudi pekerti luhur. Hakim
yang berbudi pekerti luhur dapat menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu
kemuliaan (officium nobile).14

Profesi hakim memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan
menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk
menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan mengemban profesinya. Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik
dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar
kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan
komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma – norma etika dan adaptasi kebiasaan yang
berlaku dalam tata pergaulan masyarakat. Namun demikian, untuk menjamin terciptanya
pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana
dan prasarana bagi Hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga masyarakat.
Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi jaminan
keamanan bagi Hakim dan Pengadilan, termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan
fasilitas dan anggaran. Walaupun demikian, meskipun kondisi-kondisi di atas belum
sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi Hakim untuk tidak
berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak
dan penjaga hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan
masyarakat.

14
Kode Etik Hakim, https://ms-meulaboh.go.id/kode-etik-hakim/, diakses pada 10 Oktober 2022.

12
Peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary)
merupakan salah satu prinsip penting untuk menopang bangunan negara modern. Sebagai
konsekuensi dari prinsip ini, maka hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun, termasuk oleh karena kepentingan jabatan (politik) maupun
kepentingan uang (ekonomi).

Dalam situasi sistem negara yang represif, prinsip di atas tidak mungkin berjalan
dengan semestinya karena realitasnya ada pemangku kekuasaan yang lebih dominan, yang
selalu berusaha mempengaruhi peradilan. Apabila perkara tersebut berpotensi melahirkan
putusan yang dapat membahayakan kelangsungan dan kepentingan penguasa. Berbeda halnya
dengan kondisi Negara yang lebih demokratis. Intervensi terhadap pengadilan, kendati
mungkin masih dilakukan, tidak akan ditunjukkan secara terang benderang, tetapi melalui
cara yang lebih halus. Bahkan, ada pandangan bahwa ancaman terbesar justru datang dari
lembaga pengadilan itu sendiri, yakni seberapa mampu mereka tetap memegang teguh
prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum dan independensi tadi.

Masyarakat Indonesia saat ini semakin terbiasa disajikan pemberitaan tentang


perilaku penegak hukum yang dipandang tidak memihak pada keadilan dan kebenaran.
Percakapan tentang sosok penyidik, jaksa penuntut umum, hakim, dan pengacara yang
lantang berbicara di depan media tentang sepak terjangnya yang berjalan sesuai peraturan
perundangundangan, acapkali tidak menambah penjelasan yang menc,erdaskan masyarakat,
sebab yang terjadi justru adalah permainan kata-kata belaka.

Munculnya isu-isu negatif terkait perilaku etik hakim dalam konteks penanganan
perkara di pengadilan. Isu-isu negatif itu antara lain: pertama, terdapat fenomena tentang
korupsi peradilan (judicial corruption) dalam bentuk berbagai perilaku tercela (permainan
kotor) seperti penyuapan, transaksi perkara, calo perkara, makelar kasus (markus),
pemerasan, jual beli putusan, dan sebagainya.

Implementasi kemandirian hakim dan peradilan sesungguhnya dibatasi terutama oleh


aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun
substansial atau materiil merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dalam
melakukan independensinya dan tidak melanggar hukum serta bertindak sewenangwenang.

Komisi Yudisial menerima ribuan laporan masyarakat mengenai dugaan pelanggaran


Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Beragam jenis pelanggaran yang dilakukan oleh

13
hakim, mulai dari tindakan asusila, pernyataan tidak pantas dalam persidangan, sampai hakim
yang tertidur dalam persidangan.15

Komisi Yudisial (KY) telah menerima laporan masyarakat sebanyak 1.719 terhadap
hakim sepanjang 2018. Laporan tersebut paling banyak disampaikan melalui jasa pengiriman
surat dan penghubung KY yaitu 1.106 laporan, sementara yang datang langsung ke KY
sebanyak 329, pelaporan online 188, dan informasi sebanyak 96 laporan.

Berdasarkan jenis perkara, paling banyak laporan yang masuk terkait kasus perdata
yaitu 782 laporan. Sedangkan perkara pidana sebanyak 506 laporan. "Data ini
menggambarkan dominasi perkara perdata dan pidana karena perkara tersebut berada di
ranah kewenangan peradilan umum dengan kompleksitas perkara yang tinggi dan sensitif,"
kata Ketua KY Jaja Ahmad Jayus dilansir.

Berdasarkan jenis badan peradilan atau tingkatan pengadilan yang dilaporkan, laporan
atas peradilan umum paling banyak yaitu 1.245 laporan. Selanjutnya Pengadilan Tata Usaha
Negara sebanyak 114 laporan, Mahkamah Agung sebanyak 107 laporan, Peradilan Agama
sebanyak 97 laporan Tipikor 51 laporan. Berikut di bawah ini adalah contoh kasus yang
terjadi dalam pelanggaran kode etik hakim:16

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Iswahyu Widodo dan Irwan dicokok KPK
terkait dengan dugaan suap putusan perdata. Mereka resmi menjadi tersangka dan ditahan
KPK. Hakim Widodo dan hakim Irwan ditangkap penyidik KPK di tempat kos masingmasing
di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, pada Selasa, 27 November 2018, sekitar pukul 23.00
WIB. Mereka diduga menerima suap Rp 150 juta dan SGD 47 ribu dalam kasus perkara
perdata dengan nomor perkara 262/Pid.G/2018/PN Jaksel. 15 Sebelumnya, penyidik KPK
menahan Arif Fitrawan dan seorang advokat yang merupakan rekannya di sebuah restoran
cepat saji di daerah Tanjung Barat sekitar pukul 19.00 WIB. Secara paralel, tim KPK lainnya
mengamankan panitera PN Jaksel, Muhammad Ramadhan (MR), di kediamannya di daerah
Pejaten Timur; dan seorang petugas keamanan. KPK juga menyita duit senilai SGD 47 ribu.
KPK kemudian menetapkan hakim Widodo, Irwan, dan panitera pengganti Ramadhan
sebagai tersangka penerima suap. Selaku pemberi suap, Arif dan Martin P Silitonga telah

15
Yandi Muhamad, Pelanggran Kode etik Hakim, diakses di https://beritagar.id/artikel
/berita/beragampelanggaran-kode-etik-hakim-selama-2018, 10 Oktober 2022.
16
Hestiana Dharmastuti, Fakta-fakta Kasus Suap yang Jerat 2 Hakim PN Jaksel, di akses di
https://news.detik.com/berita/d-4322153/fakta-fakta-kasus-suap-yang-jerat-2-hakim-pn-jaksel, 10 Oktober
2022.

14
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Berikut ini fakta-fakta yang terkait dengan kasus
tersebut:

1. Tetapkan 5 Tersangka

KPK menetapkan lima orang menjadi tersangka kasus suap putusan perkara perdata.
Dua di antaranya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Iswahyu Widodo dan
Irwan, sebagai tersangka penerima suap. Selain itu, panitera pengganti PN Jaktim,
Muhammad Ramadhan. Ketiganya dijerat dengan Pasal 12 huruf c dan/atau Pasal 11
UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan pengacara Arif Fitrawan dan Martin Silitonga (MPS)
ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Keduanya dikenai Pasal 6 ayat (1) huruf a
dan/atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kelima tersangka telah ditahan oleh KPK.

2. Hakim Terima Rp 150 Juta dan SGD 47 Ribu

Hakim PN Jaksel Iswahyu Widodo dan Irwan diduga pernah menerima duit Rp 150
juta sebelum pemberian duit SGD 47 ribu atau setara dengan Rp 500 juta yang berujung
operasi tangkap tangan (OTT). "Diduga, sebelumnya majelis hakim telah menerima uang Rp
150 juta dari AF melalui MR untuk mempengaruhi putusan sela agar tidak diputus NO yang
dibacakan pada Agustus 2018 dan disepakati akan menerima lagi sebesar Rp 500 juta untuk
putusan akhir," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

3. Suap Putusan Perdata

Kedua hakim PN Jaksel itu diduga ditangkap KPK terkait dengan suap penanganan
perkara perdata. Diduga, pemberian uang terkait dengan penanganan perkara perdata dengan
penggugat Isrulah Achmad dan tergugat Williem JV Dongen dan turut tergugat PT Asia
Pacific Mining Resources. Gugatan perdata ini berhubungan dengan pembatalan perjanjian
akuisisi PT CLM (PT Citra Lampia Mandiri) oleh PT APMR di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Gugatan ini didaftarkan pada 26 Maret 2018.

4. 'Ngopi' Jadi Kode Suap

15
KPK menduga telah terjadi transaksi dari pihak penggugat, Arif Fitrawan, kepada
Ramadhan sebesar Rp 150 juta. Kemudian, diduga telah disepakati bahwa hakim akan
menerima lagi sebesar Rp 500 juta untuk putusan akhir. Dalam komunikasi tersebut, KPK
mengidentifikasi kode suap. Kode suap dimaksud adalah 'ngopi'. "Dalam komunikasi,
teridentifikasi kode yang digunakan adalah 'ngopi'. Yang ada dalam percakapan disampaikan
'Bagaimana, jadi ngopi nggak?'," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

5. OTT Ke-27 KPK di Tahun 2018

Kasus yang menjerat hakim Iswahyu Widodo dan Irwan ini berawal dari OTT yang
dilakukan KPK. Jika dihitung selama 2018, KPK sudah melakukan 27 kali OTT. Sebelum
Iswahyu dan Irwan, ada dua hakim yang harus lebih dulu berurusan dengan KPK pada 2018.
Mereka adalah hakim PN Tangerang Wahyu Widya Nurfitri dan hakim ad hoc Tipikor
Medan, Merry Purba. Wahyu Widya kini telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 5
tahun penjara karena terbukti menerima suap Rp 30 juta. Sementara itu, Merry masih
menjalani penyidikan di KPK.

C. Tantangan Profesi hakim

Hakim menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan
Kehakiman ketentuan bahwa hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

16
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan
khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

Hakim memiliki posisi sentral dalam pengadilan. Jabatan hakim adalah jabatan berkaitan
dengan hukum dan keadilan yang harus ditegakkan. 17 Putusan hakim dalam suatu perkara di
pengadilan menggambarkan keadaan penegakkan hukum dan keadilan suatu negara. Putusan hakim
dalam pengadilan sangat menentukan nasib perkembangan hukum di Indonesia, baik itu putusan yang
mengikat pihak tertentu dalam hal perkara pidana dan perdata maupun putusan yang bersifat erga
omnes seperti putusan Mahkamah Konstitusi ataupun Pengadilan Tata Usaha Negara. Wewenang
yang sedemikian besar itu, dilaksanakan dalam upaya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan. 18
Namun dengan berbagai macam fungsi dan kewenangannya tersebut itu pula profesi hakim menjadi
sangat rentan terkena isu suap, gratifikasi dan hal menyimpang lainnya yang mengganggu marwah
seorang hakim. Banyak putusan hakim yang mengundang kritik dan sinisme, yang mengarah kepada
ketidakpercayaan masyarakat, dan membentuk sikap skeptik cukup besar. 19 Untuk itu, demi
terciptanya performa hakim yang baik dalam melaksanakan tugas dan marwah profesinya
menegakkan hukum serta keadilan, dibentuklah suatu aturan yang disebut Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim (KEPPH) yang merupakan hasil keputusan bersama antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial. Tujuan dari dikeluarkannya Kode Etik Hakim ini adalah sebagai pegangan bagi para
Hakim seluruh Indonesia serta Pedoman bagi Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam
melaksanakan fungsi pengawasan internal maupun eksternal.20

Dalam Pasal 1 Poin 1 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), kode etik dan
pedoman perilaku hakim adalah panduan keutamaan moral bagi setiap hakim, baik didalam maupun
di luar kedinasan sebagai mana diatur dalam surat keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia dan ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009
– 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

10 PRINSIP PEDOMAN PERILAKU HAKIM (PPH)


1. Berperilaku Adil
Adil yang dimaksud disini bukanlah sama rata akan tetapi adil di sini adalah bagaimana
seorang hakim bisa menempatkan suatu kebenaran pada tempatnya atau pada semestinya
khususnya kepada pihak-pihak yang berperkara agar mendapatkan keadilan yang seadil-
adilnya.dari arti adil yang di maksud di Pengadilan Agama Kebumen ini Insya Allah Hakim-
hakimnya masih memegang teguh keadilan tersebut, ini di buktikan dengan belum ada
pengaduan tentang ketidakadilan Hakim pengadilan Agama Kebumen yang terbukti atau bisa
di pertanggung jawabkan kebenarannya.
2. Berperilaku Jujur
Jujur disini berarti sifat seseorang khususnya seorang hakim berani menyatakan yang benar
itu benar dan yang salah itu salah.Sehingga akan terbentuk suatu kepribadian yang kuat dan
sadar akan Hakekat mana yang hak dan mana yang batil.Jika seorang hakim bisa memegang

17
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, Jakarta: Kencana, 2013, hlm. 217.
18
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Disparitas Putusan Hakim: “Identifikasi dan Implikasi”, Jakarta:
Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2014, hlm. 10.
19
Ibid
20
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi
Yudisial RI Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 - 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2015, hlm. 5

17
sikap ini maka dengan begitu hakim tersebut bisa bersikap tidak berpihak kesalah satu pihak
sehingga bisa mengungkapkan suatu kebenaran baik dalam persidangan maupun di luar
persidangan.
3. Berperilaku Arif dan Bijaksana
Sikap Arif dan Bijaksana memiliki makna bahwa seorang hakim dapat dapat bertindak sesuai
dengan norma-norma yang berlaku di antaranya adalah Norma Hukum, Norma Adat istiadat,
Norma Agama dan Norma Keasusilaan.dengan memandang situai dan kondisi saat itu,serta
mampu memperhitungkan atau mempertanggung jawabkan akibat dari tindakan yang di
ambil olehnya.
4. Bersikap Mandiri
Bersikap mandiri mempunyai makna bahwa setiap hakim dalam mengeluarkan suatu
keputusan harus terbebas dari campur tangan siapapun dan juga tidak berada dalam pengaruh
orang lain, dengan begitu akan terbentuk prilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh akan
prinsipnya dan keyakinannya atas suatu kebenaran sesuai tuntutan meral dan hukum yang
berlaku saat ini.
5. Berintegritas Tinggi
Berintegritas Tinggi bermakna mempunyai suatu kepribadian yang utuh yang tidak
tergoyahkan, yang diwujudkan dengan sikap setia dan berpegang pada nilai dan norma yang
berlaku dalam melaksanakan tugasnya sebagai hakim dalam melayani pihak-pihak pencari
keadilan.
6. Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab memiliki makna kesediaan seorang hakim dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya yang menjadi wewenangnya serta bersedia bertanggung jawab atas segala
akibat dari tugas dan wewenangnya tersebut. Dengan begitu akan terwujud kepribadian yang
mampu mengakkan kebenaran dan keadilan, penuh pengabdian serta tidak akan
menyalahgunakan tugas yang di amanahkan Kepadanya.
7. Menjunjung Tinggi Harga Diri
Harga diri memiliki makna bahwa dalam diri manusia terdapat harkat, martabat,dan
kehormatan yang melekat pada diri manusia yang harus di pertahankan dan di junjung tinggi.
Prinsip menjunjung tinggi kususnya bagi seorang Hakim akan membentuk pribadi yang kuat
dan tangguh, sehinnga terbentuk kepribadian yang senantiasa menjaga kehormatan dan
martabatnya sebagai aparatur pengadilan.
8. Berdisiplin Tinggi
Berdisiplin bermakna taat pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang di yakini sebagai
panggilan luhur untuk mengemban amanah serta menjaga kepercayaan masyarakat pencari
keadilan. Oleh karena itu di siplin akan mendorong seorang hakim untuk tertib, ikhlas dalam
menjalankan tugas, pengabdian serta berusaha menjadi teladan di lingkungannya,tidak
menyalahgunakan amanah yang di percayakan kepadanya.
9. Berperilaku Rendah Hati
Rendah hati memiliki makna bahwa seorang hakim hanyalah seorang manusia biasa yang
tidak luput dari salah serta jauh dari kesempurnaan. Dengan memiliki sikap rendah hati maka

18
akan tercipta sikap realistis mau membuka diri dan terus belajar menghargai pendapat orang
lain, memiliki sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan
ikhlas mengemban tugasnya.
10. Bersikap Profesional
Profesional pada hakekatnya bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk
melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian
atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.Sikap profesional akan mendorong
terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta
berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya
mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.

penanganan perkara saat ini menjadi tantangan terbesar para hakim baik di tingkat
nasional, regional maupun global. Tantangan tersebut tampak begitu nyata di tengah masalah
yang tidak mengenal batas serta mengancam keamanan global. 21 Independensi hakim menjadi
salah satu unsur utama dalam penegakan keadilan. Karena itu, Pasal 24 UUD Tahun 1945
mengatur kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Lebih lanjut, Pasal 3
ayat (1) dan (2) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menekankan hakim
wajib menjaga kemandirian peradilan. Dalam arti sempit independensi kekuasaan kehakiman
berarti independensi institusional. Dalam arti lain disebut independensi struktural atau
independensi eksternal atau independensi kolektif. Secara luas independensi kekuasaan
kehakiman meliputi juga independensi individual, internal atau personal. 22 Dapat dilihat juga
dari 2 sudut pandang yaitu independensi personal yaitu independensi seorang hakim terhadap
pengaruh sesama hakim atau koleganya. Independensi substantif yaitu independensi hakim
terhadap kekuasaan manapun baik ketika memutuskan suatu perkara atau menjalankan tugas
dan kedudukannya sebagai hakim.

Independensi hakim sebagai syarat mutlak tegaknya hukum dan keadilan. “Negara
berdasarkan hukum harus ada independensi kekuasaaan kehakiman. kebebasan hakim
dibatasi rambu-rambu akuntabilitas, integritas, moral, etika, transparansi, pengawasan,
profesionalisme, dan impersialitas. Kemandirian peradilan (independent judiciary) harus
diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability).

Untuk mewujudkan independensi hakim itu tidak mudah. Hakim Agung Kamar
Pidana Mahkamah Agung (MA), Dwiarso Budi Santiarto menyebut sedikitnya ada 3
tantangan. Pertama, tuntutan masyarakat yang tinggi terhadap pemenuhan rasa keadilan. MA
telah berupaya meningkatkan pelayanan terhadap mayarakat dengan membuat berbagai

21
https://www.beritasatu.com/news/849615/ma-perkara-lingkungan-jadi-tantangan-besar-hakim-semua-
negara (diakses 10 Oktober 2022)
22
https://www.hukumonline.com/berita/a/hakim-agung-kamar-pidana-beberkan-3-tantangan-independensi-
hakim-lt6298313bc46eb/ (diakses 10 Oktober 2022)

19
aplikasi. Selain itu, memberikan pembinaan terhadap aparat peradilan untuk mendorong
peningkatan pelayanan.23

Kedua, revolusi industri 4.0 memudahkan masyarakat mendapatkan informasi, tapi juga
dapat menjadi media disinformasi dan framing dengan tujuan mempengaruhi putusan
pengadilan. Ketiga, keterbatasan anggaran untuk melakukan pengamanan. Misalnya
menyesuaikan struktur pengadilan agar sesuai dengan standar pengamanan, perekrutan, dan
pelatihan tenaga pengamanan.

Soal keterbatasan anggaran, Dwiarso mengusulkan anggaran MA ditingkatkan setiap tahun.


Apalagi jika ada peresmian pengadilan baru yang membutuhkan biaya lebih besar.
Menurutnya, anggaran untuk MA harusnya sudah ditentukan sejak awal seperti anggaran
untuk pendidikan sebesar 30 persen.

BAB III

23
Ibid hal 3

20
KESIMPULAN

a. Berdasarkan peraturan a quo dari kode etik hakim menurut UU no 48 tahun 2009 bahwa
Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Prinsip-prinsip dasar Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku
sebagai berikut: (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan
Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7)
Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10)
Bersikap Profesional. Dan kemudian prinsip-prinsip dasar tersebut termuat di dalam
Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik
Indonesia No. 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
b. Implementasi kode etik kehakiman dewasa ini terbilang tidak terlaksana dengan baik
dimana Komisi Yudisial (KY) telah menerima laporan masyarakat sebanyak 1.719
terhadap hakim sepanjang 2018. Laporan tersebut paling banyak disampaikan melalui
jasa pengiriman surat dan penghubung KY yaitu 1.106 laporan, sementara yang datang
langsung ke KY sebanyak 329, pelaporan online 188, dan informasi sebanyak 96 laporan.
Yang menandakan bahawasannya citra hakim di mata masyarakat Indonesia buruk
sehingga kode etik kehakiman tidak terimplementasikan dengan baik.
c. Tantangan profesi kehakiman menurut Dwiarso Budi Santiarto memiliki 3 tantangan.
Pertama, tuntutan masyarakat yang tinggi terhadap pemenuhan rasa keadilan.
Kedua, revolusi industri 4.0 memudahkan masyarakat mendapatkan informasi, tapi juga
dapat menjadi media disinformasi dan framing dengan tujuan mempengaruhi putusan
pengadilan.
Ketiga, keterbatasan anggaran untuk melakukan pengamanan. Misalnya menyesuaikan
struktur pengadilan agar sesuai dengan standar pengamanan, perekrutan, dan pelatihan
tenaga pengamanan.

SARAN

1. Seyogyanya seorang Hakim yang melakukan pelanggaran itu diberikan sanksi tegas oleh
Majelis Kehormatan Hakim sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan dan berpedoman
dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Karena hubungan Undang-undang

21
dengan kede etik Hakim itu terletak pada ketentuan kode etik Kehormatan Hakim yang juga
diatur dalam Undang-undang.
2. Kiranya para Hakim dapat lebih memahami sejauh mana perbuatan itu dapat dikatakan
sebagai pelanggaran kode etik, bagaimana sanksinya dan upaya hukum apa yang dapat
dilakukan apabila seorang Hakim terkena kasus pelanggaran kode etik dan Kiranya Komisi
yudisial dapat lebih aktif dalam menjalankan tugas pembinaan dan pengawasan terhadap
Hakim tidak hanya menunggu pengaduan dari pihak luar, akan tetapi di awasi sebelum
adanya laporan agar tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan hakim dan masyarakat yang
dilayaninya dan citra kehakiman di Indonesia tidak memburuk di mata masyarakat.
3. Kiranya dengan adanya tantangan-tantangan kehakiman menjadikan hakim lebih
berbenah diridewasa ini dengan mengutamakan prinsip keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum sehingga tujuan hukum tercapai dalam sistem kehakiman Indonesia dan
juga memperketat pola rekrutmen hakim dengan tidak sekadar mengedepankan kompetensi
melainkan yang berkarakter unggul.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
E.Sumaryono, Etika Profesi Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2013.

Jurnal:
Dian Yuni Mustika Ningrum. Studi Analitik Terhadap Kode Etik Dan Profesi Hakim
Di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam. Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2010.

Peraturan Perundang-Undangan:

22
 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI
047/KMA/SKB/IV/2009 No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.
 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

23
24

Anda mungkin juga menyukai