Anda di halaman 1dari 16

Optimalisasi Perlindungan Hak Anak Buah Kapal Dalam Kerangka Hukum

Nasional Berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2017

Muhammad Baihaqi Alamsyah


Hukum Ekonomi Syariah
C72218083@uinsby.ac.id

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara maritim dengan konsep kepulauan. Indonesia
sebagai negara kepulauan memiliki pulau sebanyak 17.508 pulau dengan garis
pantai sepanjang 81.000 km dan luas sekitar 3:1 juta km². Dengan luasnya
wilayah perairan tersebut, Indonesia memiliki potensi yang melimpah akan
kekayaan lautnya. Diantaranya potensi perikanan bidang penangkapan sebesar
6,4 juta ton/tahun, potensi perikanan umum sebesar 305.650 ton/tahun serta
potensi kelautan kurang lebih 4 milliar USD/tahun. Hal ini dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai tempat untuk mencari nafkah. Banyak masyarakat
berbondong-bondong pergi ke laut sebagai nelayan untuk mencari ikan atau
sekedar bekerja sebagai anak buah kapal (ABK), baik kapal nasional maupun
kapal asing.
Berbicara tentang anak buah kapal (ABK) di indonesia, ironisnya anak buah
kapal yang bekerja di kapal nasional maupun kapal asing sering menjadi korban
perdagangan orang di industri perikanan. Mereka sangat rentan untuk
dieksploitasi, dan menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), serta
korban kekerasan seksual. Dibeberapa industri perikanan Asia termasuk
Indonesia, para anak buah kapal banyak yang mengalami kesulitan, dikarenakan
upah yang rendah, diskriminasi gender, pelanggaran di tempat kerja, pemotongan
gaji, serta keterlibatan buruh anak dan kerja paksa. Menurut Menteri Kelautan
dan Perikanan, korban perdagangan orang di sektor perikanan telah mencapai
4000 orang dan nelayan Indonesia dianggap memiliki potensi menjadi korban
TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Mereka yang menjadi korban

1
biasanya mencari pekerjaan dan berusaha bermigrasi tapi hanya mempunyai
sedikit pengalaman.
Permasalahan ABK di atas, diakibatkan oleh lemahnya perjanjian kerja laut
yang disepakati, serta minimnya pengawasan dari pemerintah. Sebagai contoh
adalah dokumen keberangkatan seperti buku pelaut kerap dipalsukan, namun
tetap mendapatkan kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN). Padahal sebelum
mengeluarkan KTKLN petugas penerbit kartu harus mengecek keabsahan
dokumen tersebut. Selain itu banyak dari para ABK yang tidak mengetahui fungsi
dari kartu tersebut. Hal ini bisa saja dikarenakan kurangnya pengaturan hukum
untuk menangani permasalahan yang terjadi pada ABK dan juga sulitnya
pengawasan terhadap pengusaha atau perusahaan yang mempekerjakan ABK
tersebut, sebab aktifitas kerja mereka yang tidak dilakukan di daratan, melainkan
di lautan baik di dalam wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia.
Selain itu, ABK merupakan salah satu aktor penting dalam misi Indonesia menjadi
negara poros maritim dunia.
Walaupun telah terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang
baik secara umum dan secara khusus mengatur tentang hak bagi para tenaga
kerja, tetapi pada kenyataannya masih banyak ditemukan praktik pelanggaran
hak asasi manusia yang terjadi pada tenaga kerja. Penelitian ini akan
memfokuskan pada pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada Anak Buah
Kapal. Oleh karena itu pembuatan karya tulis ini dilakukan untuk mendorong
peran pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap para
anak buah kapal dalam kerangka hukum nasional. Serta untuk lebih dalam lagi
mengetahui bagaimana hukum nasional mengatur perlindungan hukum terhadap
ABK.
Dalam pembuatan karya tulis ini penulis menggunakan metode studi
literatur dengan mencari beberapa referensi jurnal, artikel, dan e-book guna
memperoleh hal hal yang berkaitan dengan data dan fakta penerapan Undang-
Undang No.18 Tahun 2017 tentang perlindungan HAM di Indonesia. dengan ini

2
penulis berharap agar karya tulis ini bisa bermanfaat bagi para pembaca untuk
menambah wawasan dan refrensi di bidang perenan ABK pada sektor maritim di
Indonesia.

Hak dan Kewajiban Anak Buah Kapal


Anak buah kapal adalah awak kapal selain Nahkoda. Awak kapal terdiri dari
2 golongan yaitu golongan perwira dan golongan anak buah kapal dan kedua-
duanya dicatat dalam sijil awak kapal. 1 Menurut ketentuan Pasal 1 huruf e
Konvensi ILO (International Labour Organization) Nomor 188 Tahun 2007
Tentang Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan pengertian anak buah kapal atau
awak kapal, yaitu: “Awak kapal berarti setiap orang yang dipekerjakan atau
bekerja dalam kapasitas apapun atau melaksanakan pekerjaan di kapal
penangkap ikan, termasuk mereka yang bekerja di kapal dan dibayar berdasarkan
pembagian hasil tangkapan tapi tidak termasuk mualim, personil laut, orang-
orang lain dengan layanan tetap Pemerintah, mereka yang berbasis di daratan
yang melaksanakan tugas di kapal penangkap ikan dan pengamat awak kapal”.2
ABK (Anak Buah Kapal) atau Awak Kapal ini terdiri dari beberapa bagian.
Masing-masing bagian mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri, ABK ini
bertanggung jawab terhadap Perwira Kapal tergantung Departemen masing-
masing. Pimpinan tertinggi ABK atau Awak Kapal ini adalah Mualim 1 (Chief
Officer) pada Deck Department, sedangkan Mualim 1 itu sendiri bertanggung
jawab kepada Nakhoda. 3 Di dalam pelayaran tanggung jawab utama secara
keseluruhan baik Deck Department maupun Engine Department terletak di
tangan Nakhoda yang disebut Kapten atau Master selaku pimpinan tertinggi
Pelayaran. Pengertian itu tidak berbeda jauh dengan pengertian anak buah kapal

1
Emilio Timnie, “Tinjauan Hukum Internasional Tentang Pelarungan Anak Buah Kapal (Studi
Kasus Pelarungan Anak Buah Kapal Indonesia Dari Kapal China). Skripsi, Universitas Sumatra
Utara, Fakultas Hukum 2021: 15.
2 Pasal 1 huruf e Konvensi ILO No.188 tahun 2007.
3 Emilio Timnie, “Tinjauan Hukum Internasional Tentang Pelarungan Anak Buah Kapal (Studi

Kasus Pelarungan Anak Buah Kapal Indonesia Dari Kapal China). Skripsi, Universitas Sumatra
Utara, Fakultas Hukum 2021: 17.

3
menurut hukum nasional dalam Pasal 1 angka 40 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yaitu: “Anak buah kapal atau
sering juga di sebut awak kapal merupakan orang yang bekerja atau dipekerjakan
di atas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas
kapal sesuai dengan jabatannya.4
Pemerintah Indonesia telah mengatur tentang perlindungan buruh migran
(seperti ABK) dalam sebuah Undang-Undang No.18 Tahun 2017 yang di dalamnya
mengatur tentang hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh para anak buah kapal
yang bekerja di kapal asing di mana mereka juga berstatus sebagai buruh migran.
Dalam Pasal 6 ayat 1 Undang Undang No. 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan
Buruh Migran Indonesia, hak buruh migran itu ada 13 item yaitu:
1. Mendapatkan pekerjaan di luar negeri dan memilih pekerjaan sesuai
dengan kompetensinya;
2. Memperoleh akses peningkatan kapasitas diri melalui pendidikan dan
pelatihan kerja;
3. Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja, tata cara
penempatan, dan kondisi kerja di luar negeri;
4. Memperoleh pelayanan yang profesional dan manusiawi serta perlakuan
tanpa diskriminasi pada saat sebelum bekerja selama bekerja, dan setelah
bekerja;
5. Menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianut;
6. Memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara
tujuan penempatan dan/atau kesepakatan kedua negara dan/atau
Perjanjian Kerja;
7. Memperoleh pelindungan dan bantuan hukum atas tindakan yang dapat
merendahkan harkat dan martabat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di Indonesia dan di negara tujuan penempatan;

4 Pasal 1 angka 40 Undang-undang no 17 tahun 2008.

4
8. Memperoleh penjelasan mengenai hak & kewajiban sebagaimana tertuang
dalam Perjanjian Kerja;
9. Memperoleh akses berkomunikasi;
10. Menguasai dokumen perjalanan selama bekerja;
11. Berserikat dan berkumpul di negara tujuan penempatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tujuan
penempatan;
12. Memperoleh jaminan pelindungan keselamatan dan keamanan
kepulangan Pekerja Migran Indonesia ke daerah asal;
13. Memperoleh dokumen dan Perjanjian Kerja Calon Pekerja Migran
Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia. 5
Selain hak tersebut, pemerintah juga telah mengatur mengenai kesejahteraan
para anak buah kapal yang tercantum dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2008
Pasal 151 yaitu, “Setiap Awak Kapal berhak mendapatkan kesejahteraan yang
meliputi: gaji, jam kerja dan jam istirahat, jaminan pemberangkatan ke tempat
tujuan dan pemulangan ke tempat asal, kompensasi apabila kapal tidak dapat
beroperasi karena mengalami kecelakaan, kesempatan mengembangkan karier,
pemberian akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan/minuman, dan pemeliharaan
dan perawatan kesehatan serta pemberian asuransi kecelakaan kerja”.
Kesejahteraan para anak kapal tersebut dimuat dalam sebuah perjanjian kerja
antara anak buah kapal dengan pemilik atau operator kapal.
Pemberian upah anak buah kapal juga harus memenuhi ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2000 Pasal 21 yaitu seorang anak
buah kapal bekerja selama 8 jam setiap hari dengan 1 hari libur setiap minggu dan
hari libur resmi, waktu istirahat paling sedikit 10 jam dari waktu 24 jam. Anak
buah kapal yang masih berusia 16 sampai 18 tahun tidak diperbolehkan bekerja
melebihi 8 jam sehari dan waktu istirahat.6

5
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Buruh Migran Indonesia.
6
Ibid.

5
Maritim Labour Convention juga merupakan sebuah konvensi yang mengatur
tentang anak buah kapal. Konvensi ini berisi 5 klausul, klausul tersebut adalah
persyaratan minimum, kondisi pekerjaan, akomodasi pelaut, kesehatan dan
keselamatan, dan tanggung jawab negara. Persyaratan minimum mengatur
tentang minimal umur anak buah kapal, kondisi kesehatan, pelatihan yang diikuti,
dan penempatan anak buah kapal yang harus sesuai dengan aturan. Kondisi
pekerjaan membahas tentang kontrak, gaji, dan kondisi kerja pelaut selama di
kapal. Ini mencakup kontrak yang jelas, waktu istirahat, hak cuti, serta
pemulangan ke negara asal. Akomodasi di sini menjelaskan tentang fasilitas yang
diterima anak buah kapal berupa tempat tinggal, fasilitas rekreasi, dan makanan
atau catering yang diberikan kepada anak buah kapal. Kesehatan dan
keselamatan memuat tentang perawatan medis di kapal dan di darat,
perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, dan keamanan sosial. Tanggung
jawab negara adalah yang terakhir dimana klausul ini membahas tentang
tanggung jawab negara di mana bendera kapal beroperasi untuk memastikan
penerapan aturan untuk kapal yang menggunakan benderanya. Setiap kapal
harus dilengkapi “Certificate of Maritime Compliance”. Setiap kapal juga
diwajibkan memiliki prosedur keluhan untuk semua kru kapal dan harus
menginvestigasi keluhan yang terjadi. 7

Fakta-Fakta Pelanggaran Yang Terjadi Pada Anak Buah Kapal Indonesia


Praktik perbudakan pada kapal perikanan diduga kuat masih terjadi hingga
saat ini di seluruh dunia. Dugaan tersebut mengemuka, setelah Greenpeace
mengungkap hasil temuan mereka pada 13 kapal perikanan yang memakai
bendera asing dan beroperasi untuk menangkap ikan di berbagai wilayah laut
dunia. Dalam temuannya, Greenpeace menyebutkan bahwa praktik perbudakan
diduga kuat dilakukan para pemilik kapal kepada para pekerja perikanan yang

7 Diah Ajeng Ariestya Putri, “Kerjasama International Organization for Migration (IOM) dan
Pemerintah Indonesia dalam Menangani Perdagangan dan Perbudakan Manusia di Industri
Perikanan PT. Pusaka Benjina Resource Tahun 2015”, Journal of International Relations 5, No.01,
(2019) : 998.

6
berasal dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Para pekerja rerata bertugas
sebagai anak buah kapal (ABK) saat berada di atas kapal ikan asing (KIA)
tersebut.8
Dalam industri perikanan luar negeri Indonesia tidak memasukkan tenaga
kerjanya ke negara lain secara illegal, sehingga kompleksitas masalahnya lebih
rendah dibandingkan dengan korban perdagangan orang asing yang
diperdagangkan dalam industri penangkapan ikan di Thailand dan Indonesia.
Perbedaan lainnya adalah bahwa para korban kebanyakan direkrut melalui
rekomendasi saudara dekat dan teman-teman, dibandingkan dengan
memasukkan diri sendiri. Sebagian besar nelayan Indonesia korban perdagangan
manusia yang dibantu oleh IOM Indonesia, bekerja pada kapal-kapal penangkap
ikan Taiwan. Secara umum, ada dua jenis penempatan bagi nelayan Indonesia
yang bekerja pada kapal Taiwan. Pertama, penempatan resmi (Pemerintah
dengan Pemerintah), melalui BNP2TKI, dimana nelayan Indonesia ditempatkan
hanya pada kapal Taiwan yang beroperasi di perairan Taiwan. Karena
penempatan ini bersifat resmi, para nelayan Indonesia umumnya memperoleh
surat keterangan penduduk pendatang, yang menjamin hakhak mereka
berdasarkan hukum negara Taiwan.
Dengan demikian, mereka beresiko rendah menderita penyalahgunaan dan
penyiksaan tenaga kerja. Kedua, penempatan berdasarkan Surat Garansi, di mana
para nelayan Indonesia ditempatkan secara langsung oleh agen-agen penyedia
ABK tanpa keterlibatan kedua pihak pemerintah (Swasta dengan Swasta).
Sebagian besar kapal yang termasuk dalam jenis penempatan ini beroperasi di
luar perairan Taiwan (termasuk Trinidad dan Tobago, Pantai Gading, dan Afrika
Selatan). Sebagai akibat dari ketidakhadiran pemerintah dan lokasi kegiatan
penangkapan ikan yang terpencil, para nelayan Indonesia yang bekerja dengan

8 M. Ambari, “Praktik Perbudakan Pada Pekerja Perikanan dari Indonesia,” Mongabay (Situs
Berita Lingkungan), Desember 10, 2019. Accessed April 21, 2021,
https://www.mongabay.co.id/2019/12/10/praktik-perbudakan-kepada-pekerja-perikanan-
dari-indonesia/.

7
tipe penempatan ini, lebih rentan dan menghadapi potensi penyalahgunaan dan
penyiksaan yang lebih besar. Sebagian besar nelayan Indonesia yang menjadi
korban perdagangan orang, yang dibantu oleh IOM Indonesia, masuk dalam
kategori ini.9
Sebagian besar nelayan dan awak kapal Indonesia yang diperdagangkan,
yang dibantu oleh IOM Indonesia dari tahun 2011 sampai dengan 2015 merasa
enggan mencari informasi tentang peluang-peluang pekerjaan penangkapan ikan
atau melamar secara langsung kepada majikan atau perekrutan melalui agen
perekrutan. Mereka cenderung mempercayai orang-orang yang telah mereka
kenal sebelumnya (bukan hanya kenalan baru) yang memiliki pengalaman kerja
dalam industri penangkapan ikan luar negeri. Pada awalnya agen-agen
perekrutan harus melakukan pendekatan terhadap target untuk mendapatkan
kepercayaan mereka sebelum adanya bujukan atau diperdayakan agar masuk
dalam industri ini. Di samping itu, pada tahap awal perekrutan, semua korban asal
Indonesia yang diwawancarai telah memiliki sedikit informasi dasar tentang jenis
pekerjaan (sektor) yang akan mereka lakukan. Para korban perdagangan manusia
asal Myanmar, Kamboja, dan Republik Demokratik Laos tidak memiliki
pengetahuan tersebut tentang pekerjaan-pekerjaan yang mereka lamar. Agen-
agen perekrutan tidak menyediakan pilihan ragam pekerjaan kepada para korban
asal Indonesia. Mereka hanya menyebutkan jenis pekerjaan dan informasi
tentang tempat (negara atau wilayah penangkapan ikan) yang akan dituju oleh
para korban tersebut untuk bekerja.10
Bagi korban perdangan manusia asal Indonesia, faktor utama yang
mendorong mereka untuk bekerja dalam industri penangkapan ikan di luar
negeri adalah salah satunya “masalah-masaIah ekonomi” (Grafik 13). Alasan
kedua adalah untuk mencari “pekerjaan yang lebih baik”. Dalam kategori ini,

9
Laporan Mengenai Perdagangan Orang, Pekerja Paksa, Dan Kejahatan Perikanan Dalam Industri
Perikanan Di Indonesia International Organization for Migration (IOM). Jakarta. 2016: 78
10 Hafrizs Resa Damarsidi, “Analisis Anomali Kebijakan Penempatan TKI: Eksploitasi Tenaga Kerja

Indonesia sebagai Anak Buah Kapal Perikanan Taiwan”, Journal of International Relations 03,
No.04, (2017) : 44.

8
peluang untuk bekerja di luar negeri diharapkan dapat memberikan penghasilan
yang lebih baik dibandingkan dengan penghasilan yang telah mereka dapatkan di
Indonesia.
Bagi korban perdangan manusia asal Indonesia, faktor utama yang
mendorong mereka untuk bekerja dalam industri penangkapan ikan di luar
negeri adalah salah satunya “masalah-masaIah ekonomi”. Alasan kedua adalah
untuk mencari “pekerjaan yang lebih baik”. Dalam kategori ini, peluang untuk
bekerja di luar negeri diharapkan dapat memberikan penghasilan yang lebih baik
dibandingkan dengan penghasilan yang telah mereka dapatkan di Indonesia. 11
Salah satu contoh kasus perbudakan anak buah kapal (ABK) yang pernah
terjadi adalah kasus praktik perbudakan yang dialami oleh anak buah kapal (ABK)
asal Indonesia di kapal penangkapan ikan Cina. Menurut laporan berita,
menyebutkan para korban perdagangan manusia dalam industri perikanan di
cina tersebut mengalami beban kerja yang belebihan dan kondisi kerja yang tidak
manusiawi. Hal itu mencakup tempat tidur yang berdempetan terkadang tanpa
kasur, fasilitas memasak yang tidak higienis, dan bahan pangan yang terbatas.
Hasilnya, banyak ABK yang jatuh sakit dan mengalami malnutrisi akut akibat
kombinasi kekurangan nutrisi dan jam kerja yang berlebihan.
Dan lebih parahnya ada tiga ABK Indonesia yang meninggal dunia di kapal
China dan dilarung ke laut. tengah menjadi sorotan pemberitaan media Korea
Selatan dan Tanah Air. Video yang dirilis oleh stasiun MBC diperoleh saat kapal
tersebut bersandar di Pelabuhan Busan, Korea Selatan. Dalam video tersebut, tiga
orang ABK meninggal dunia di kapal kemudian mereka dilarung ke laut.
Sementara satu ABK lainnya meninggal dunia di rumah sakit. Para ABK mengaku
dipekerjakan selama 18 jam dalam sehari. Bahkan mereka bisa berdiri selama 30
jam, dengan enam jam istirahat. Rekaman tersebut menguak kasus-kasus
penganiayaan yang dialami para ABK selama di atas kapal. Selain itu, peristiwa ini

11
Laporan Mengenai Perdagangan Orang, Pekerja Paksa, Dan Kejahatan Perikanan Dalam Industri
Perikanan Di Indonesia International Organization for Migration (IOM). Jakarta. 2016 : 79.

9
juga menjadi bukti nyata masih adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
terhadap ABK Indonesia.12
Perbuatan yang dilakukan oleh awak kapal china tersebut terhadap para
pekerjanya merupakan suatu tindakan eksploitasi. Karena pada dasarnya mereka
melakukan pekerjaan tersebut dengan terpaksa dan bukan sukarela bahkan
dengan penyiksaan dan pemaksaan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 pelaku perbudakan dapat dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
120.000.000,- dan paling banyak Rp. 600.000.000,-.13

Optimalisasi Peran Pemerintah Indonesia Dalam Mencegah Terjadinya


Perbudakan Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia
Indonesia telah mengatur masalah penempatan para tenaga kerja migran
Indonesia sejak penetapan Undang-Undang No. 39/2004. Namun demikian,
undang-undang tersebut lebih memberikan penekanan pada para tenaga kerja
yang bekerja di darat, sementara para tenaga kerja yang bekerja di laut, yang
mencakup nelayan dan awak kapal, disebutkan bahwa akan diatur lebih lanjut
oleh peraturan-peraturan kementerian khusus. Penempatan para tenaga kerja
migran Indonesia yang bekerja di darat umumnya berbeda dibandingkan dengan
penempatan para tenaga kerja yang bekerja di laut. Selanjutnya, pekerjaan di laut
juga dibagi ke dalam beberapa kategori, masing-masing memiliki jenis
manajemen penempatan tertentu, seperti mereka yang bekerja pada kapal-kapal
penangkap ikan, angkutan, dan pedagang. Perbedaan-perbedaan ini meliputi:

12 Gloria Setyavani Putri, “Kasus Perbudakan ABK Indonesia, SPPI Targetkan Tiga Hal Ini”,
Kompas.com, Mei 08, 2020. Accessed April 21, 2021,
https://www.kompas.com/sains/read/2020/05/08/183100323/kasus-perbudakan-abk-
indonesia-sppi-targetkan-3-hal-ini?page=all.
13
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007

10
jenis kapal, wilayah operasi, jenis muatan, jam kerja, gaji, dan keterampilan yang
diperlukan. 14
Kebijakan tenaga kerja perikanan tangkap harus sejalan dengan kebijakan
ketenagakerjaan secara umum yang ada di Indonesia. Oleh karena itu,
harmonisasi terhadap ratifikasi Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007, konvensi
Maritime Laboure dengan kebijakan nasional harus terlebih dahulu dilakukan.
Kelemahan dari kebijakan yang ada di Indonesia adalah masih banyak kebijakan
yang bersifat sektoral tanpa melakukan harmonisasi dengan kebijakan yang
sudah lebih dahulu ada. Sehingga ketika kebijakan tersebut dilaksanakan akan
terkendala pada tahapan implementasi.
Kedua adalah lamanya penetapan aturan dibawahnya baik dalam bentuk
peraturan pemerintah, peraturan menteri, bahkan sampai petunjuk pelaksanaan
dan petunjuk teknis. Sejumlah alasan dikemukakan oleh pihak eksekutif, mulai
dari sulitnya melakukan koordinasi, kesulitan penyamaan persepsi pada tahap
inter-kementerian dan sejumlah alasan lain.
Ketiga, lemahnya sosialisasi di pemangku kepentingan utama, yaitu tenaga
kerja perikanan tangkap. Sesungguhnya permasalahan yang terjadi bukan hanya
membelenggu tenaga kerja perikanan tangkap, tetapi juga tenaga kerja di sektor
lainnya. Pemangku kepentingan utama tidak tahu mengenai hak dan kewajiban
mereka. Selain itu, pemangku kepentingan utama juga harus pro-aktif untuk
mencari informasi. Apalagi permasalahan klasik selalu dikemukakan oleh
pemerintah, seperti kekurangan anggaran atau kekurangan sumber daya manusia.
Berapapun anggaran yang diberikan proporsinya hanya akan digunakan untuk
pembiayaan rutin, bukan untuk pembiayaan pembangunan.15
Pembiayaan rutin yang dimaksud adalah lebih banyak proporsi hanya untuk
perjalanan dinas atau penambahan pegawai yang sifatnya hanya berada di kantor,

14 Lukman Adam, “Kebijakan Perlindungan Pekerja Perikanan Tangkap Indonesia”, Jurnal Kajian
21, No.04, (2016) : 333.
15 Indah Prisnasari, “Kebijakan Perlindungan Pekerja Perikanan Tangkap Indonesia”, Jurist-

Diction Journal 02, No.02, (Maret 2019) : 485.

11
bukan di lapangan. Teknologi komunikasi yang sudah mutakhir seharusnya
dimanfaatkan pemerintah untuk membantu tenaga kerja migran sektor
perikanan tangkap. Hal ini lumrah terjadi, ketika seorang WNI sampai di luar
negeri, bahkan baru menginjakkan kaki di bandara, pesan singkat akan muncul
yang memberikan informasi mengenai nomor telepon dan alamat perwakilan
Indonesia terdekat. Hal ini harus dimanfaatkan oleh tenaga kerja migran
perikanan tangkap dan pemerintah seharusnya tidak hanya memerhatikan
tenaga kerja migran yang bekerja di darat, tetapi juga termasuk tenaga kerja di
laut. Pesan singkat tersebut harus meliputi juga setiap pelabuhan perikanan di
seluruh dunia, karena di situ menunjukkan bahwa negara hadir dan
memerhatikan rakyatnya. Tenaga kerja migran sektor perikanan juga harus
memerhatikan hal tersebut dan memberikan informasi yang benar sehingga
pemerintah dapat memantau perkembangan dan pergerakan tenaga kerja migran
perikanan tangkap. Keempat, pendataan dan sertifikasi. Pendataan terhadap
tenaga kerja sektor perikanan tangkap sangat lemah. 16
Terbukti angka yang saat ini berkembang lebih kecil dari angka
sesungguhnya, karena banyak tenaga kerja yang tidak menggunakan agen dan
jalur resmi, dan tidak melapor. Bahkan ada kasus yang ditemui tenaga kerja
migran perikanan tangkap bekerja di sektor perikanan tangkap negara lain
dengan menggunakan keterangan berbeda di Indonesia. Sehingga perlu
peningkatan kesadaran dari tenaga kerja migran perikanan tangkap agar
memberikan keterangan sebenarnya, menggunakan agen tenaga kerja resmi, dan
selalu memberikan informasi pada perwakilan Indonesia terdekat, atau
menginformasikan pada keluarga dan keluarga memberikan informasi pada dinas
tenaga kerja setempat. Sertifikasi terkait dengan aspek keterampilan, karena
keterampilan akan berujung pada penghargaan dalam bentuk upah. Masih sangat
sedikit tenaga kerja perikanan tangkap Indonesia yang memiliki sertifikasi

16
Lukman Adam, “Kebijakan Perlindungan Pekerja Perikanan Tangkap Indonesia”, Jurnal Kajian
21, No.04, (2016) : 334.

12
seperti yang diinginkan pemberi kerja. Bahkan hal ini juga terjadi pada pemberi
kerja asal Indonesia. Seperti di Sulawesi Utara, pengusaha besar lebih senang
mempekerjakan fishing master asal Filipina daripada asal Indonesia, karena
kemampuan dan kepemilikan sertifikasi.
Oleh karena itu, pemerintah, baik melalui KKP atau Kementerian Tenaga
Kerja seharusnya memberikan pelatihan secara berkala pada calon tenaga kerja
asal Indonesia, dengan instruktur yang berpengalaman dan sertifikasi memadai.
Kelima, penegakan kebijakan yang lemah. Tindakan tegas pemerintah terhadap
agen tenaga kerja nakal harus terus ditingkatkan. Pemerintah seringkali lemah
dalam menindak agen tenaga kerja tersebut. Sanksi administratif dan juga pidana
terhadap pengelola seharusnya berani dilakukan pemerintah. Mengingat tenaga
kerja migran sektor perikanan tangkap memiliki harapan besar untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan merupakan WNI yang berada di
negara lain, dan sesungguhnya benar-benar bertindak sebagai duta bagi
Indonesia.
Keenam, rendahnya perhatian pemerintah. Keberadaan mereka seringkali
dilupakan. Hanya apabila ada kasus tragis atau beberapa saat sesudah kabinet
baru terbentuk, maka perhatian akan terpusat pada keadaan tenaga kerja sektor
perikanan tangkap. Pemerintah juga tidak memiliki sasaran dan tujuan yang
nyata untuk meningkatkan kualitas mereka. Pergantian pejabat yang sering
terjadi, tidak ada arah dan sasaran yang memadai membuat masa depan tenaga
kerja sektor perikanan tangkap menjadi tidak menentu. Diperlukan semacam
peta jalan bagaimana mengelola sumber daya manusia Indonesia yang besar,
yang berhasrat untuk menjadi tenaga kerja sektor perikanan tangkap.
Keberadaan sekolah tinggi perikanan di wilayah perikanan memberikan bukti
bahwa sesungguhnya pemerintah sudah menyiapkan tempat untuk pemuda yang
berminat menimba ilmu di sini. Namun, keseriusan dari seluruh jajaran
pemerintah, bukan cuma dari satu sektor, tapi dari seluruh sektor yang terkait

13
harus bekerja bersama, terpadu, dan bahu-membahu. Sehingga dalam membuat
peta jalan harus melibatkan sektor-sektor terkait.17
Berkaca dari sistem pengawasan tenaga kerja perikanan tangkap di
beberapa negara, seperti Filipina dan Australia, pemerintah seharusnya
melakukan pendataan terhadap penempatan dan lokasi kerja setiap tenaga kerja
perikanan tangkap sehingga petugas pengawas di luar negeri sewaktu-waktu
dapat melaksanakan monitoring terhadap pemenuhan hak-hak pekerja
perikanan tangkap Indonesia di setiap kapal. Selain itu, keterbatasan petugas
pengawas tenaga kerja di luar negeri juga merupakan salah satu hambatan
efektifitas pengawasan selama ini. Tingginya peningkatan jumlah tenaga kerja
perikanan tangkap yang bekerja di kapal perikanan asing setiap tahun, terutama
di beberapa negara tujuan utama, seperti Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan
Australia menyebabkan pengawas di luar negeri yang jumlahnya cenderung tidak
bertambah harus kewalahan dalam melaksanakan pengawasan. Pengawas-
pengawas ini juga seharusnya tidak hanya menunggu laporan, tetapi secara
berkala melaksanakan monitoring terhadap keadaan pekerja perikanan tangkap
sehingga langkah-langkah yang diperlukan dapat diambil untuk mencegah kasus
pelanggaran yang dialami oleh pekerja di sub sektor ini. 18

Kesimpulan
Indonesia sebagai Negara Maritim di Asia Tenggara yang menjadi
penyumbang terbesar tenaga kerja di bidang industry perikanan. Dalam industry
ini, Anak Buah Kapal merupakan tenaga kerja yang paling banyak mengambil
peran. Dalam industry perikanan ini, para Anak Buah Kapal yang kemudian
disebut sebagai ABK, sering mengalami perlakuan yang tidak adil. Kasus-kasus
yang sering menimpa ABK Indonesia diantaranya adalah: kecelakaan,

17 Dyah Wahyuning Tyas, “Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Memerangi Perdagangan


Manusia (Studi Kasus: Kontribusi Indonesia Dalam Pemecahan Kasus Benjina Pada Tahun 2015).
Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Syariah dan Hukum 2021 : 51.
18 Riza Amalia, ”Perlindungan Hak Anak Buah Kapal Dalam Kerangka Hukum Nasional Dan Hukum

Internasional”, Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Lampung.

14
perkelahian, perdagangan manusia, tidak terpenuhinya hak-hak, dan terjadi
tindak kekerasan lainnya. Salah satu kasus yang sering menimpa ABK Indonesia
yaitu perbudakan. Melihat hal tersebut, Pemerintah Indonesia memberikan
perlindungan terhadap ABK melalui beberapa regulasi. Diantaranya adalah
Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Undang-Undang No 13 tahun 2003
tentang Ketenakerjaan dan Undang No.18 Tahun 2017 tentang perlindungan
HAM di Indonesia. Sedangkan dalam regulasi Internasional, terdapat Konvensi
ILO No.188 Tahun 2007 yang mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Daftar Pustaka
Emilio Timnie, “Tinjauan Hukum Internasional Tentang Pelarungan Anak Buah Kapal
(Studi Kasus Pelarungan Anak Buah Kapal Indonesia Dari Kapal China). Skripsi,
Universitas Sumatra Utara, Fakultas Hukum 2021.
Diah Ajeng Ariestya Putri, “Kerjasama International Organization for Migration (IOM)
dan Pemerintah Indonesia dalam Menangani Perdagangan dan Perbudakan
Manusia di Industri Perikanan PT. Pusaka Benjina Resource Tahun 2015”,
Journal of International Relations 5, No.01, (2019) : 998-1006.
M. Ambari, “Praktik Perbudakan Pada Pekerja Perikanan dari Indonesia,” Mongabay
(Situs Berita Lingkungan), Desember 10, 2019. Accessed April 21, 2021,
https://www.mongabay.co.id/2019/12/10/praktik-perbudakan-kepada-
pekerja-perikanan-dari-indonesia/.
Laporan Mengenai Perdagangan Orang, Pekerja Paksa, Dan Kejahatan Perikanan Dalam
Industri Perikanan Di Indonesia International Organization for Migration (IOM).
Jakarta. 2016: 02-102.
Hafrizs Resa Damarsidi, “Analisis Anomali Kebijakan Penempatan TKI: Eksploitasi
Tenaga Kerja Indonesia sebagai Anak Buah Kapal Perikanan Taiwan”, Journal of
International Relations 03, No.04, (2017) : 40-48.
Gloria Setyavani Putri, “Kasus Perbudakan ABK Indonesia, SPPI Targetkan Tiga Hal Ini”,
Kompas.com, Mei 08, 2020. Accessed April 21, 2021,

15
https://www.kompas.com/sains/read/2020/05/08/183100323/kasus-
perbudakan-abk-indonesia-sppi-targetkan-3-hal-ini?page=all.
Lukman Adam, “Kebijakan Perlindungan Pekerja Perikanan Tangkap Indonesia”, Jurnal
Kajian 21, No.04, (2016) : 321-338.
Indah Prisnasari, “Kebijakan Perlindungan Pekerja Perikanan Tangkap Indonesia”, Jurist-
Diction Journal 02, No.02, (Maret 2019) : 475-499.
Dyah Wahyuning Tyas, “Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Memerangi
Perdagangan Manusia (Studi Kasus: Kontribusi Indonesia Dalam Pemecahan
Kasus Benjina Pada Tahun 2015). Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, Fakultas Syariah dan Hukum 2021.
Riza Amalia, ”Perlindungan Hak Anak Buah Kapal Dalam Kerangka Hukum Nasional Dan
Hukum Internasional”, Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum,
Universitas Lampung.
M. Rizqy Darulzain, “Penerapan Foundational Principles Of The State Duty To Protect
Human Rights Dalam United Nations Guiding Principles On Business And
Human Rights (Studi terhadap Perlindungan HAM Pekerja di Sektor Perikanan
Indonesia)”. Diponegoro Law Jurnal 6,No.02 (2017) : 1-16.
Tashya Alfadia Azwan, “Analisis Peran International Labour Organization (Ilo) Dalam
Menangani Masalah Perbudakan Pekerja Di Industri Perikanan Thailand”.
Laporan Tugas Akhir, Universitas Pertamina, Fakultas Komunikasi dan
Diplomasi (2021).

16

Anda mungkin juga menyukai