Anda di halaman 1dari 45

1. Konvensi PBB 1982 telah ditandatangani oleh lebih dari 100 negara peserta.

Konvensi
PBB 1982 dikenal sebagai United Nation Convention of Law of the Sea atau UNCLOS
1982. Sesuai dengan namanya, UNCLOS 1982 membahas perihal hukum kelautan
termasuk aturan di dalamnya. Konvensi ini ditandatangani pada 10 Desember 1982 di
Montego Bay, Jamaika. Dilansir dari United Nations, konvensi hukum laut ini mulai
berlaku pada 16 November 1994. Pemberlakukan konvensi ini berarti seluruh negara
peserta harus tunduk pada peraturannya, termasuk Indonesia. Secara garis besar,
konvensi ini terdiri atas 320 pasal dengan sembilan lampiran. Isinya berupa penetapan
batas kelautan, pengendalian lingkungan, penelitian ilmiah terkait kelautan, kegiatan
ekonomi dan komersial, transfer teknologi, serta penyelesaian sengketa yang berkaitan
dengan masalah kelautan. Baca juga: Arti Zona Ekonomi Eksklusif dan Dasar Hukumnya
Isi Konvensi PBB 1982 Agar lebih jelas, mari kita simak beberapa poin penting dalam
UNCLOS 1982: Negara pesisir (negara yang memiliki pantai) menjalankan dan
menetapkan kedaulatan laut teritorialnya tidak boleh melebihi lebar 12 mil. Kapal laut
dan pesawat udara diperbolehkan melintas di selat yang digunakan untuk navigasi
internasional. Negara kepulauan memiliki kedaulatan sendiri atas wilayah laut,
ditentukan oleh garis lurus yang ditarik di titik terluar pulau. Negara dapat menentukan
jalur laut dan rute udara yang bisa dilintasi oleh negara asing. Negara yang memiliki
perbatasan langsung dengan laut, bisa menetapkan ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif
sejauh 200 mil. Negara asing memiliki kebebasan navigasi dan penerbangan di wilayah
ZEE, termasuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut. Negara yang tidak memiliki
pantai, mendapat hak untuk mengakses laut dan melakukan transit melalui negara
transit. Seluruh negara harus turut serta dalam mencegah dan mengendalikan
pencemaran laut, termasuk bertanggung jawab atas kerusakan yang diakibatkan oleh
pelanggaran negara terhadap konvensi. Penelitian ilmiah di kelautan ZEE dan landas
kontinen haruslah tunduk pada negara pesisir. Jika penelitian ini dilakukan untuk tujuan
perdamaian atau lainnya, maka harus meminta persetujuan dari negara lainnya yang
tergabung dalam UNCLOS 1982. Permasalahan yang ada hendaknya diselesaikan dengan
cara damai. Untuk sengketa bisa diajukan ke pengadilan internasional atau ke pihak
lainnya yang terkait dengan konvensi ini. Baca juga: Zona Laut Berdasarkan
Kedalamannya Pembagian laut Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982 Menurut Wahono
dan Abdul Atsar dalam Buku Ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (2019),
berdasarkan UNCLOS 1982, wilayah laut Indonesia dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) Salah satu ketentuan dalam konvensi hukum laut yang amat
penting bagi indonesia adalah adanya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). ZEE diukur dari garis
dasar selebar 200 mil ke arah laut terbuka. Adanya zona ekonomi eksklusif membuat
Indonesia memiliki kewenangan pertama untuk mengolah dan memanfaatkan sumber
daya lautnya. Namun, ZEE juga termasuk kebebasan pelayaran dan pemasangan kabel
serta pipa bawah laut. Pemasangan ini tetap mengacu pada peraturan hukum laut
internasional, batas landas kontinen serta ZEE. Zona Laut Teritorial Zona laut ini diambil
dari jarak 12 mil laut dari garis dasar (baseline) ke arah laut lepas. Garis dasar ini
merupakan garis khayal yang mengubungkan titik ujung terluar pulau. Sedangkan laut
teritorial berarti laut yang terletak di antara batas teritorial. Negara memiliki kedaulatan
sepenuhnya terhadap laut hingga batas laut teritorial. Namun, negara juga wajib
memberikan izin dan menyediakan jalur pelayaran lintas damai, baik untuk penerbangan
ataupun pelayaran. Baca juga: Tiga Batas Wilayah Indonesia Zona landas kontinen
Landas kontinen merupakan laut yang secara geologis maupun morfologis menjadi
kelanjutan dari sebuah kontinen atau benua. Zona landas kontinen diukur dari garis
dasar, yakni jarak paling jauhnya ialah 200 mil laut. Dalam hal ini, Indonesia terletak di
dua landasan kontinen, yakni Asia dan Australia. Indonesia memiliki kewenangan untuk
memanfaatkan sumber daya alam dan menyediakan pelayaran lintas damai di dalam
garis batas landas kontinen.
2.
3. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ketentuan Konvensi PBB 1982
Tentang Hukum Laut", Klik untuk baca:
https://www.kompas.com/skola/read/2021/04/20/131425269/ketentuan-konvensi-
pbb-1982-tentang-hukum-laut.
4.
5.
6. Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
7. Download aplikasi: https://kmp.im/app6

2. Berikut yang bukan warga negara Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2006 adalah ....
A. anak yang lahir dari perkawinan yang sah antara seorang ayah dan ibu warga negara
Indonesia
B. anak hasil hubungan gelap antara ayah warga negara Indonesia dengan ibu warga
negara asing
C. anak dari seorang ayah berkewarganegaraan Indonesia dengan ibu warga negara
asing
D. anak yang dilahirkan di wilayah Indonesia, ayah dan ibunya tidak diketahui
kewarganegaraannya
E. anak warga negara asing yang telah berdomisili lebih dari lima tahun berturut-turut di
Indonesia

3. TUGAS, FUNGSI & KEWENANGAN POLRI

Peran dan Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian dinegara manapun
selalu berada dalam sebuah dilema kepentingan kekuasaan yang selalu menjadi garda
terdepan perbedaan pendapat antara kekuasaan dengan masyarakatnya. Sistem
Kepolisian suatu Negara sangat dipengaruhi oleh Sistem Politik serta control social yang
diterapkan. Berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 11/S.D Kepolisian beralih status
menjadi Jawatan tersendiri dibawah langsung Perdana Menteri. Ketetapan Pemerintah
tersebut menjadikan kedudukan Polisi setingkat dengan Departemen dan kedudukan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) setingkat dengan Menteri.

Dengan Ketetapan itu, Pemerintah mengharapkan Kepolisian dapat berkembang lebih


baik dan merintis hubungan vertikal sampai ketingkat plaing kecil seperti pada wilayah
kecamatan-kecamatan.
Kedudukan kepolisian dalam sebuah Negara selalu menjadi kepentingan banyak pihak
untuk duduk dan berada dibawah kekuasan. Pada masa pemerintahan Orde Baru
Kepolisian RI dibenamkan dalam sebuah satuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) yang bergerak dalam pengaruh budaya militer. Militeristik begitu mengikat
karena masa lebih dari 30 tahun kepolisian di balut dengan budaya militer tersebut.
Tahun 1998 tuntutan masyarakat bgitu kuat dalam upaya membangun sebuah
pemerintahan yang bersih dan mempunyai keberpihakan terhadap kepentingan
masyarakat.

Maka selanjutnya Tap MPR No.VI/2000 dikeluarkan dan menyatakan bahwa salah satu
tuntutan Reformasi dan tantangan masa depan adalah dilakukannya demokratisasi,
maka diperlukan reposisi dan restrukturisasi ABRI. Bahwa akibat dari penggabungan
terjadi kerancuan dan tumpang tindih peran dan fungsi TNI sebagai kekuatan
pertahanan dan Polri sebagai kekuatan Kamtibmas. Maka Polri adalah alat Negara yang
berperan dalam memelihara keamanan. Oleh karena itu Polri kembali dibawah Presiden
setelah 32 tahun dibawah Menhankam/Panglima ABRI, Berdasarkan Undang-Undang No
2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa (1)
Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam pemeliharaan kamtibmas, gakkum,
serta memberikan perlindungan,pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya Kamdagri. Karena dalam Bab II Tap MPR No. VII/2000
menyebutkan bahwa: (1) Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara
Kamtibmas,, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat. (2) Dalam menjalankan perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan
ketrampilan secara professional. Artinya Polri bukan suatu lembaga / badan non
departemen tapi di bawah Presiden dan Presiden sebagai Kepala Negara bukan Kepala
Pemerintahan.

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kepolisian, perlu ditata dahulu rumusan tugas
pokok, wewenang Kepolisian RI dalam Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peran dan Fungsi Kepolisian Negara Republik
Indonesia

1. Fungsi Kepolisian
Pasal 2 :” Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang
pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan,
pengayoman dan pelayanan masyarakat”. Sedangkan Pasal 3: “(1) Pengemban fungsi
Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian
khusus, b. pegawai negri sipil dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. (2)
Pengemban fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,b, dan c,
melaksanakan fungsi Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukum masing-masing.

2. Tugas pokok Kepolisian


Pasal 13: Tugas Pokok Kepolisian Negara Rrepublik Indonesia dalam UU No.2 tahun
20002 adalah sebagai berikut:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakkan hukum
c. Memberikan perlindungan,pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. “,
penjabaran tugas Kepolisian di jelaskan lagi apada Pasal 14 UU Kepolisian RI.

3. Kewenangan Kepolisian
Pada Pasal 15 dan 16 UU Kepolisian RI adalah perincian mengenai tugas dan wewenang
Kepolisian RI, sedangkan Pasal 18 berisi tentang diskresi Kepolisian yang didasarkan
kepada Kode Etik Kepolisian.
Sesuai dengan rumusan fungsi, tugas pokok, tugas dan weweang Polri sebagaimana
diatur dalam UU No. 2 tahun 2002, maka dapat dikatakan fungsi utama kepolisian
meliputi :

1. Tugas Pembinaan masyarakat (Pre-emtif)


Segala usaha dan kegiatan pembinaan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat, kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan. Tugas Polri dalam
bidang ini adalah Community Policing, dengan melakukan pendekatan kepada
masyarakat secara sosial dan hubungan mutualisme, maka akan tercapai tujuan dari
community policing tersebut. Namun, konsep dari Community Policing itu sendiri saat ini
sudah bias dengan pelaksanaannya di Polres-polres. Sebenarnya seperti yang disebutkan
diatas, dalam mengadakan perbandingan sistem kepolisian Negara luar, selain harus
dilihat dari administrasi pemerintahannya, sistem kepolisian juga terkait dengan
karakter sosial masyarakatnya.

Konsep Community Policing sudah ada sesuai karakter dan budaya Indonesia ( Jawa)
dengan melakukan sistem keamanan lingkungan ( siskamling) dalam komunitas-
komunitas desa dan kampong, secara bergantian masyarakat merasa bertangggung
jawab atas keamanan wilayahnya masing-masing. Hal ini juga ditunjang oleh Kegiatan
babinkamtibmas yang setiap saat harus selalu mengawasi daerahnya untuk
melaksanakan kegiata-kegiatan khusus.

2. Tugas di bidang Preventif


Segala usaha dan kegiatan di bidang kepolisian preventif untuk memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, memelihara keselematan orang, benda dan barang
termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan , khususnya mencegah terjadinya
pelanggaran hukum. Dalam melaksanakan tugas ini diperlukan kemampuan professional
tekhnik tersendiri seperti patrolil, penjagaan pengawalan dan pengaturan.

3. Tugas di bidang Represif


Di bidang represif terdapat 2 (dua) jenis Peran dan Fungsi Kepolisian Negara Republik
Indonesia yaitu represif justisiil dan non justisiil. UU No. 2 tahun 2002 memberi peran
Polri untuk melakukan tindakan-tindakan represif non Justisiil terkait dengan Pasal 18
ayat 1(1) , yaitu wewenang ” diskresi kepolisian” yang umumnya menyangkut kasus
ringan.

KUHAP memberi peran Polri dalam melaksanakan tugas represif justisil dengan
menggunakan azas legalitas bersama unsur Criminal Justice sistem lainnya. Tugas ini
memuat substansi tentang cara penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan hukum acara
pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bila terjadi tindak pidana, penyidik
melakukan kegiatan berupa:

1. Mencari dan menemukan suatu peristiwa Yang dianggap sebagai tindak pidana;
2. Menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan;
3. Mencari serta mengumpulkan bukti;
4. Membuat terang tindak pidana yang terjadi;
5. Menemukan tersangka pelaku tindak pidana.

4. Apakah Anak Dapat Dipidana?


Berdasarkan pasal 1 angka 2 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (UU SPPA) diatur bahwa anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang
menjadi saksi tindak pidana. Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 1 angka 3 UU SPPA
bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Sistem peradilan anak di Indonesia mengutamakan pendekatan keadilan restoratif


(penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian
yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan) yang meliputi:

penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses
pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau
Untuk huruf a dan b wajib diupayakan diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian
perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Hal ini
diatur dalam pasal 5 UU SPPA. Diversi wajib dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
dilakukan:

diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan


bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang
tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan
pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Hasil diversi
dituang dalam bentuk kesepakatan dapat berbentuk, antara lain:

perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;


penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling
lama 3 (tiga) bulan; atau
pelayanan masyarakat.
Proses peradilan pidana anak dilanjutkan jika proses diversi tidak menghasilkan
kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan. Ketentuan beracara dalam
Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan
lain dalam UU SPPA. Pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional dan tenaga
kesejahteraan sosial, penyidik, penuntut umum, hakim, dan advokat atau pemberi
bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan
mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara dalam menangani perkara anak.
Selanjutnya dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18
(delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang
bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak.

Dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan
tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional
mengambil keputusan untuk:

menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau


mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di
instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial,
baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan
Penangkapan terhadap anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua
puluh empat) jam dan wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak.
Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14
(empat belas) tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman
pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. Penahanan untuk kepentingan penyidikan
dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling
lama 8 (delapan) hari. Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan,
penuntut umum dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari dan dapat
diperpanjang oleh hakim pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari. Dalam hal
penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim dapat
melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari dan dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan negeri paling lama 15 (lima belas) hari. Dalam hal penahanan dilakukan
untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding, hakim banding dapat melakukan
penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan
tinggi paling lama 15 (lima belas) hari. Dalam hal penahanan terpaksa dilakukan untuk
kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, hakim kasasi dapat melakukan penahanan
paling lama 15 (lima belas) hari dan dapat diperpanjang oleh ketua Mahkamah Agung
paling lama 20 (dua puluh) hari.

Pidana pokok bagi anak terdiri atas:


pidana peringatan;
pidana dengan syarat: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat atau
pengawasan;
pelatihan kerja;
pembinaan dalam lembaga; dan
penjara
Pidana tambahan terdiri atas:
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
pemenuhan kewajiban adat.
Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda,
pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Anak yang belum berusia 14 (empat belas)
tahun hanya dapat dikenai tindakan. Tindakan yang dimaksud diatur dalam pasal 82 UU
SPPA yang meliputi:
pengembalian kepada orang tua/Wali;
penyerahan kepada seseorang;
perawatan di rumah sakit jiwa;
perawatan di LPKS (paling lama satu tahun);
kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh
pemerintah atau badan swasta (paling lama satu tahun);
pencabutan surat izin mengemudi (paling lama satu tahun); dan/atau
perbaikan akibat tindak pidana
Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan anak akan
membahayakan masyarakat. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling
lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Jika
tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Jadi sebagai kesimpulan, anak dapat dipidana apabila anak tersebut berumur 14 (empat
belas) tahun sampai umur 18 (delapan belas) tahun dan digunakan sebagai upaya akhir.
Bagi anak yang berumur belum berumur 14 (empat belas) tahun hanya dapat dijatuhi
tindakan.

Sumber:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

5. Pengertian Akta Otentik


Akta otentik adalah dokumen yang dibuat sesuai dengan ketentuan yang telah diatur
oleh Undang – Undang, oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat
pembuatan akta. Contoh pejabat umum ini adalah notaris atau pejabat yang memiliki
wewenang yang serupa.

Akta otentik dikeluarkan oleh pejabat umum yang memiliki kewenangan, seperti notaris.
Pejabat ini akan mencatat perjanjian atau tindakan yang dilakukan oleh para pihak,
memastikan kesepakatan di antara mereka, dan membuat dokumen akta orang yang sah
secara hukum.

Kekuatan Pembuktian Akta Otentik


Kekuatan pembuktian akta otentik sangatlah kuat dan terjamin. Ini disebabkan oleh
beberapa faktor:

Kekuatan Pembuktian Lahiriah


Dokumen memiliki kemampuan untuk membuktikan keaslian dan keabsahan dirinya
secara langsung tanpa memerlukan tambahan bukti.
Kekuatan Pembuktian Formal
Akta harus memberikan kepastian terkait tanggal akta, tanda tangan yang sah, identitas
pihak-pihak yang terlibat, dan tempat pembuatan akta.
Kekuatan Pembuktian Materiil
Selain hanya menerangkan kepada pejabat umum, akta otentik juga membuktikan
bahwa tindakan yang dijelaskan dalam akta tersebut telah benar-benar dilakukan oleh
para pihak yang terlibat.
Ketentuan Akta otentik
Akta otentik harus memenuhi apa yang diprasyaratkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata.
Pasal ini menyatakan bahwa suatu akta harus dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang dan cakap. Kedua, akta resmi harus memenuhi persyaratan bentuk yang
ditetapkan oleh hukum.

Jika suatu akta tidak memenuhi salah satu dari kedua syarat tersebut, akta tersebut
tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentuk. Namun, akta tersebut masih memiliki
kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak yang
terlibat.

Selain itu, Pasal 1870 KUHPerdata juga menyatakan bahwa bagi para pihak yang
berkepentingan beserta para ahli warisnya atau bagi orang-orang yang mendapatkan
hak dari mereka, suatu akta resmi memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa
yang termuat di dalamnya. Artinya, akta resmi memiliki kekuatan probatif yang kuat dan
dianggap sebagai bukti yang akurat mengenai hal-hal yang tercantum di dalamnya.

Dengan demikian, akta resmi memiliki sifat kumulatif karena harus memenuhi semua
persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, baik dari segi
pembuatannya maupun bentuknya. Akta **resmi** memberikan bukti yang sempurna
dan memiliki kekuatan probatif yang kuat bagi para pihak yang terlibat serta pihak-pihak
yang memiliki kepentingan atau hak dari akta tersebut.

Contoh Akta Otentik


Akta Notaris
Akta Kelahiran
Akta Kematian
Akta Nikah
Akta Cerai
Akta Jual Beli
Akta Hibah
Akta Wakaf
Akta Pendirian Perusahaan
Perbedaan Akta Otentik dan Akta Dibawah Tangan
Dalam bidang hukum perdata, dua jenis akta yang dikenal adalah akta otentik dan akta
dibawah tangan. Kedua jenis akta ini berfungsi sebagai alat bukti berupa tulisan, tetapi
terdapat beberapa perbedaan dalam hal pembuatan, bentuk, dan kekuatan pembuktian.
Ada beberapa hal yang membedakan akta otentik dari akta di bawah tangan:

Penciptaan
Akta otentik dibuat oleh pejabat yang berwenang, seperti notaris, di tempat di mana
akta itu dibuat. Pejabat yang membuat akta ini harus mematuhi peraturan yang
ditetapkan oleh undang-undang.
Akta di bawah Tangan tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur bagaimana akta di bawah tangan dibuat; mereka dibuat oleh pihak yang
terkait tanpa campur tangan pejabat umum.
Bentuk
Akta resmi dibuat dalam bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang dan harus
mematuhi peraturan yang berlaku.
Akta dibawah Tangan tidak ada ketentuan yang mengatur secara khusus bentuk akta di
bawah tangan. Akta di bawah tangan dapat berupa surat, daftar, surat urusan rumah
tangga, atau tulisan apa pun.
Kekuatan Pembuktian
Akta otentik dianggap sebagai alat bukti yang sah dan memiliki nilai pembuktian yang
tinggi di mata hukum.
Akta Dibawah Tangan memiliki kekuatan pembuktian yang lebih rendah daripada akta
otentik. Akta di bawah tangan harus dilengkapi dengan bukti tambahan agar dapat
digunakan sebagai bukti.

6. Menyuruh melakukan (doen plegen)


Menyuruh melakukan (bahasa Belanda: doen plegen) dirumuskan dalam Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:

“ Pasal 55. (1) Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:
ke-1. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan
perbuatan;


Turut serta melakukan (medeplegen)
Turut serta melakukan (bahasa Belanda: mede plegen) dirumuskan dalam Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:

“ Pasal 55. (1) Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:
ke-1. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan
perbuatan;


Menganjurkan melakukan (uitlokking)
Menggerakan atau menganjurkan melakukan (bahasa Belanda: uitlokking) dirumuskan
dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:

“ Pasal 55. (1) Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:
ke-2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan;


Mengenai pembatasan tanggung jawab si pengajur terdapat dalam Pasal 55 ayat (2)
KUHP Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:
“ Pasal 55. (2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatny

7. Syariat menjelaskan terkait warisan dalam suatu ilmu khusus secara lengkap dan
detail. Di dalamnya termasuk membahas sejumlah sebab yang menghalangi seseorang
tak memperoleh warisan. Apa saja?
Perihal warisan atau harta yang ditinggalkan seseorang lantaran telah wafat, Islam atur
dalam ilmu yang disebut faraidh atau mawaris.

Baca juga:
Mengenal Ahli Waris Dzawil Furudh dan Pembagiannya Sesuai Dalil Al-Qur'an
Faraidh dalam buku Memahami Ilmu Faraidh oleh A. Kadir, bermakna 'mafrudhah'
artinya bagian-bagian yang telah ditetapkan kadarnya. Menurut istilah, 'faraidh' adalah
sebutan bagi suatu bagian yang ditentukan hukum syariat untuk ahli waris.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semenetara para ulama mendefinisikan faraidh sebagai ilmu fiqih yang berkaitan
dengan pembagian harta warisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat
menyelesaikan pembagian warisan dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang
semestinya dari harta peninggalan itu untuk setiap mereka yang punya hak.

Ilmu faraidh dikenal pula dengan ilmu mawaris. Kata 'mawaris' merupakan jamak dari
'mirats' artinya kekal atau perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain.
Sesuatu di sini mencakup harta, ilmu, kemuliaan, kharisma dan sebagainya.

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam buku Ringkasan Fikih Lengkap II menerangkan
bahwa ilmu ini merupakan pengetahuan yang Nabi SAW perintahkan untuk dipelajari
karena memiliki peran penting. Sebagaimana Rasul SAW sabdakan dalam riwayat Abu
Hurairah:
ُ ُ ْ ْ َ ُ َّ َ َ ُ َ َ ْ ُ َ ُ َ ْ ْ ُ ْ َ َّ َ َ َّ َ ْ ُ ِّ َ َ َ َ َ ْ ُ َّ َ َ
‫شء ُي ز زَنع ِم ْن أ َّم ِ يت‬
‫ وهو أول ي‬،‫ ف ِإنها ِنصف ال ِعل ِم وهو ينَس‬،‫تعلموا الفرا ِئض وعلموها الناس‬

Artinya: "Pelajarilah oleh kalian semud ilmu faraidh dan ajarkanlah ia oleh kalian semua
kepada orang lain karena ilmu faraidh adalah sebagiaan dari seluruh ilmu dan banyak
dilupakan. Ilmu faraidh adalah sesuatu yang pertama-tama dihilangkan dari umatku."
(HR Ibnu Majah)

Di kalangan ulama, ada yang menerangkan hukum mempelajari ilmu faraidh yakni
fardhu kifayah. Bahkan ada pula yang menyebutnya wajib untuk didalami dan diajarkan
kepada orang lain sesuai hadits Nabi SAW di atas.

Mengapa ilmu tentang warisan ini begitu dianjurkan? Abdul Wasik dalam buku Fiqh
Keluarga mengungkap alasan itu. Menurutnya, keharusan mempelajari ilmu ini
dimaksudkan agar di antara umat Islam tidak terjadi perselisihan atau pertengkaran
hebat yang disebabkan pembagian harta warisan nantinya. Untuk itu ilmu ini berguna
untuk mencegah hal tersebut terjadi.

Dalam ilmu faraidh dijelaskan terkait waris mulai dari dalil hingga siapa saja yang berhak
menerimanya. Termasuk diterangkan pula mengenai sebab seseorang tak berhak
memperoleh warisan.

3 Sebab Seseorang Tak Berhak Memperoleh Warisan


Dalam Islam dibahas sejumlah alasan atau kondisi yang membuat hak waris seseorang
gugur atau terhalang. Menukil buku Ahkamul Mawarits: 1.400 Mas'alah Miratsiyah karya
Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah dan buku Al-Mawarits fisy Syarii'atil Islamiyah oleh
Muhammad Ali Ash-Shabuni, ini 3 sebabnya:

1. Perbudakan
Seseorang yang berstatus sebagai hamba sahaya tidak punya hak untuk mewarisi harta
atau peninggalan sekali pun dari saudaranya. Lantaran segala sesuatu yang dipunyai
oleh budak, secara langsung menjadi milik tuannya.

Sebab ini berlaku atas hamba sahaya murni (qinnun), budak yang telah dinyatakan
merdeka bila tuannya meninggal (mudabbar), atau hamba sahaya yang telah
menjalankan perjanjian pembebasan kedua belah pihak bersama tuannya (mukatab).

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar. Rasul SAW bersabda, "Barang siapa
menjual pohon kurma setelah diserbukkan maka buahnya untuk penjualnya, kecuali ada
syarat dari pembelinya. Dan, barang siapa menjual seorang budak maka harta budak itu
menjadi milik penjualnya, kecuali ada syarat dari pembelinya." (HR Ibnu Majah)

2. Perbedaan Agama
Jumhur ulama termasuk empat imam madzhab menyatakan bahwa seorang muslim
tidak bisa mewariskan atau diwariskan harta dan peninggalan dari umat non muslim,
apa pun agamanya.

Hal ini disandarkan pada sabda Nabi SAW dari Usamah bin Zaid:
ْ َْ ُ َ َْ ْ ُ
‫ال َي ِرث ال ُم ْس ِل ُم الك ِاف َر َول َي ِرث الك ِاف ُر ال ُم ْس ِل َم‬

Artinya: "Orang muslim tidak boleh mewariskan (harta) kepada orang kafir dan ornag
kafir tidak boleh mewariskan harta kepada orang muslim." (HR Muslim)

3. Pembunuhan
Dikatakan bila seorang ahli waris membunuh pewaris, misal anak membunuh ayahnya,
maka ia tidak berhak mendapat warisan. Sebagaimana hadits dari Amr bin Syu'aib,
bahwa Rasulullah SAW berkata, "Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi sedikit pun."
(HR Abu Dawud)

Baca artikel detikhikmah, "Catat! Ini 3 Sebab Seseorang Tak Berhak Terima Warisan
dalam Islam" selengkapnya https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6653572/catat-
ini-3-sebab-seseorang-tak-berhak-terima-warisan-dalam-islam.
Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

8. SEBAB-SEBAB MEWARISI ATAU MENDAPATKAN WARISAN

Harta Warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris. Pewaris
adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta yang dapat diwarisi
oleh ahli waris. Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima warisan dari harta
yang ditinggalkan oleh pewaris.

Selanjutnya, mengenai permasalahan warisan cukup banyak sekali terjadi di Indonesia.


Mulai dari permasalahan siapa saja yang berhak menerima warisan, berapa
pembagiannya, dan kapan harta warisan tersebut dapat dibagi? dan apa saja yang
menyebabkan seseorang tidak mendapatkan warisan?

Maka dalam hal ini, kami akan menjabarkan terlebih dahulu terkait sebab-sebab
mewarisi atau mendapatkan warisan. Mengenai permasalahan ini, agama Islam telah
mengaturnya hal ini dapat dilihat di dalam al-Qur’an. Selain dari menurut seorang ulama
yang bernama Sayid Sabiq pernah menuturkan bahwa seseorang dapat mewarisi harta
peninggalan karena disebabkan oleh 3 (tiga) hal, yaitu: 1) Disebabkan karena adanya
hubungan kerabat atau Nasab, 2) Mendapatkan warisan disebabkan karena adanya
hubungan perkawinan dan, 3) Mendapatkan warisan disebabkan karena Memerdekakan
budak.

Menurut literatur Hukum Islam disebutkan ada 4 (empat) penyebab seseorang saling
mewarisi atau mendapatkan warisan, diantaranya, yaitu:

Hubungan Perkawinan
Hubungan Perkawinan adalah hubungan yang terbentuk dengan adanya pernikahan
atau perkawinan antara suami istri, maka dengan adanya hubungan perkawinan atau
pernikahan tersebut, mereka bisa saling mewarisi. Suami dapat mewarisi harta istrinya
yang telah meninggal dan sebaliknya Istri juga dapat mewarisi harta suaminya yang telah
meninggal.

Pembagian harta warisan yang disebabkan oleh hubungan perkawinan tentu perkawinan
yang sah baik secara agama maupun sah menurut hukum yang berlaku Indonesia. Dan
perkawinan tersebut masih dalam keadaan untuk pada waktu saling mewarisi.

2. Adanya Hubungan Kekerabatan atau Nasab

Hubungan Kerabatan atau Nasab merupakan hubungan yang ditimbulkan dari


perkawinan yang sah dan dari hubungan tersebut melahirkan keturunan, maka dengan
adanya perkawinan yang sah dan melahirkan keturunan yang sah juga, maka mereka
dapat saling mewarisi, ayah atau ibu dapat mewarisi harta anaknya yang telah
meninggal dan sebaliknya, anak dapat mewarisi harta bapak atau ibunya yang telah
meninggal dunia.

3. Wala’ atau memerdekakan Budak, dan


Wala’ atau memerdekakan budak merupakan salah satu penyebab seseorang seseorang
dapat mewarisi. Namun, pada saat ini untuk budak tersebut tidak ada lagi.

4. Hubungan sesama Islam

Literatur Hukum Islam juga menjadikan hubungan sesama Islam atau sesama muslim
menjadi salah satu penyebab saling mewarisi, namun saling mewarisi di sini terjadi
setelah Pewaris atau orang muslim yang meninggal tersebut tidak menikah lagi atau
belum pernah menikah, dan pewaris tersebut tidak mempunyai kerabat atau tidak
mempunyai keturunan, dan beliau meninggal dunia dengan meninggalkan harta
warisan, maka umat Islam yang lain dapat saling mewarisi.

Selanjutnya mengenai permasalahan warisan ini terutama mengenai penyebab saling


mewarisi tidak hanya di atur di kalangan ulama, dan hukum Islam, namun juga diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 174,
sebagai berikut;

Saling Mewarisi disebabkan karena adanya hubungan darah


Disebabkan karena adanya hubungan perkawinan, dan selanjutnya dalam hukum
Perdata Barat juga disebutkan bahwa saling mewarisi disebabkan oleh;
Karena kedudukan dia sendiri seperti hubungan darah
Disebabkan karena kedudukannya sebagai ahli waris pengganti
Saling mewarisi karena adanya surat wasiat dari pewaris.
Itulah penjelasan yang dapat kami sampaikan terkait penyebab saling mewarisi atau
mendapatkan warisan. Jika bapak, ibu, dan saudara-saudara ingin konsultasi terkait
warisan, maka bapak, ibu dan saudara-saudara dapat melakukan konsultasi melalui
Telfon/ SMS/ Whatsapp di Nomor 0877 9262 2545.

Selain masalah warisan, kami juga memberikan kesempatan untuk melakukan konsultasi
hukum terkait, permasalahan:

Perceraian
Hak Asuh Anak
Pembagaian Harta Gono Gini
Perubahan atau perbaikan nama
Itsbat Nikah
Pencatatan Pernikahan atau perkawinan
Pembatalan Perkawinan
Hutang Piutang
Sengketa Tanah
Wanprestasi
Pidana dan lain-lainnya.

8. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan. Yayasan merupakan pilihan yang dianggap paling tepat bagi seseorang
atau beberapa orang kelompok masyarakat yang bermaksud memberikan manfaat bagi
masyarakat luas. Organ yayasan terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas.

Secara tidak langsung, fungsi dan peranan yang dimiliki yayasan telah mengambil alih
sebagian dari tugas, kewajiban, dan tanggung jawab negara untuk memberikan
pelayanan fasilitas sosial kepada masyarakat. Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-
Undang No. 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001
Tentang Yayasan, adapun kedudukan yayasan sebagai badan hukum (recht persoon)
dapat diperoleh setelah akta pendiriannya memperoleh pengesahan dari Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang pengajuannya dapat dilakukan melalui Notaris yang
membuat akta pendirian tersebut. Dengan demikian, yayasan sebagai subjek hukum
memiliki legalitas untuk melakukan perbuatan hukum tertentu sesuai dengan tujuan dan
kepentingannya.

Namun, dalam perkembangannya, yayasan juga dapat mengalami berbagai


permasalahan dalam menjalankan operasionalnya yang berujung pada pembubaran
yayasan. Adapun beberapa alasan bubarnya yayasan diatur dalam Bab X Pasal 62
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, yakni sebagai berikut:

Jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir;


Tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak
tercapai
Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:
Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
Harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit
dicabut.
Tidak hanya alasan itu, menurut Pasal 71 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004,
yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya Undang-Undang a quo, namun tidak
menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan terbaru dalam Undang-Undang a
quo dan tidak mengajukan permohonan badan hukum kepada Kementerian Hukum dan
HAM dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun, maka dapat dibubarkan
berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang
berkepentingan. Tetapi dalam hal ini perlu diberi batasan dan dapat dibuktikan bahwa
pihak yang berkepentingan tersebut sebelumnya memang mempunyai hubungan hukum
tertentu dengan yayasan.

Lebih lanjut, dalam hal salah satu alasan sebagaimana dalam Pasal 62 dan Pasal 71
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 terjadi, maka prosedur yang harus dipenuhi
dalam pembubaran yayasan pertama-tama adalah menunjuk likuidator dalam rangka
penyelesaian kekayaan yayasan.

Apabila yayasan bubar karena alasan berakhirnya jangka waktu dalam Anggaran Dasar
atau tujuan yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai maupun tidak
tercapai, maka Pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan yayasan.
Dalam hal Pembina tidak menunjuk likuidator, maka mutatis mutandis Pengurus
bertindak selaku likuidator.
Sedangkan, dalam hal yayasan bubar karena putusan Pengadilan, maka Pengadilan lah
yang berhak untuk menunjuk likuidator. Ketentuan mengenai proses likuidasi yayasan
sebagaimana diatur dalam Pasal 65-Pasal 68 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
Tentang Yayasan, yakni sebagai berikut:

Likuidator ditunjuk untuk melakukan pemberesan kekayaan yayasan yang bubar atau
dibubarkan, paling lambat 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal penunjukan wajib
mengumumkan pembubaran yayasan dan proses likuidasinya dalam surat kabar harian
berbahasa Indonesia.
Likuidator dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
proses likuidasi berakhir, wajib mengumumkan hasil likuidasi dalam surat kabar harian
berbahasa Indonesia.
Likuidator dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal proses
likuidasi berakhir wajib melaporkan pembubaran yayasan kepada Pembina. Dalam hal
laporan mengenai pembubaran yayasan dan pengumuman hasil likuidasi tidak
dilakukan, bubarnya yayasan tidak berlaku bagi pihak ketiga.
Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada yayasan lain yang mempunyai kesamaan
kegiatan dengan yayasan yang bubar. Dalam hal kekayaan sisa hasil likuidasi tidak
diserahkan kepada yayasan lain atau kepada badan hukum lain, kekayaan tersebut
diserahkan kepada Negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan kegiatan
Yayasan yang bubar.
Perlu diketahui bahwa yayasan yang bubar ini tidak dapat melakukan perbuatan hukum,
kecuali untuk menyelesaikan hal terkait kekayaannya selama proses likuidasi. Semua
proses surat keluar harus mencantumkan “dalam likuidasi” di belakang nama yayasan.

Sekian informasi tentang pembubaran yayasan untuk Sobat YukLegal! Jangan lupa untuk
kalian yang sedang bingung untuk urusan pembubaran yayasan, segera hubungi
YukLegal ya!
Kamu dapat menghubungi kami di Kontak yang tertera berikut ini:
https://yuklegal.com/kontak/

Sumber:

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16


Tahun 2001 Tentang Yayasan.

Sjaifurrachman, “Analisis Terhadap Status Yayasan yang Terlambat Menyesuaikan


Anggaran Dasarnya dengan Ketentuan Undang-Undang Yayasan.”, Journal Wiraraja,
2012, hlm. 90.

8. sas presumptio iustae causa atau asas yang bermakna suatu keputusan tata usaha
negara selalu dianggap sah. Keabsahan itu baru hilang jika ada keputusan baru yang
membatalkan atau mencabut yang lama.

9Foto profil untuk Anonim

Anonim
2thn

Setiap perusahaan memiliki hirarki yag berbeda. Berikut ini hirarki di beberapa perusahaan tempat
saya pernah bekerja (dari tinggi ke rendah) pada bagian produksi.

Direktur utama => Kepala divisi => Kepala departemen => Kepala seksi => Supervisor => Leader =>
Operator.

Managing director => Direktur => Manajer => Supervisor/Staff => Leader => Operator.

Vice president => Direktur => Manajer => Supervisor => Leader => Operator

Presiden Direktur => Direktur => General Manager => Manager => Supervisor => Assisten Supervisor
=> Leader => Operator

10. Asas Lex Specialis

Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum
yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

11.

Undang-Undang Advokat ini mengatur serangkaian wewenang bagi Advokat untuk mengatur dirinya
sendiri secara otonom. Misalnya pada berbagai kewenangan vital yang sebelumnya dipegang oleh
Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, seperti pendidikan profesi, pengangkatan, Sertifikasi,
pengawasan dan penindakan kini telah diserahkan kepada masyarakat advokat sendiri sebagai
bentuk pengakuan atas kemandirian profesi Advokat.

Adapun kedudukan Advokat dalam Undang-undang tersebut mengatur mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan kedudukan advokat, seperti pengangkatan, sumpah, status, larangan serta hak dan
kewajiban.

Undang-Undang Advokat Telah dilakukan uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan
sebagai berikut:

112/PUU-XII/2014 dan 36/PUU-XIII/2015

"Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa "di sidang terbuka Pengadilan Tinggi" Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa "Pengadilan Tinggi atas perintah
Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa
mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yaitu Peradi dan KAI""

95/PUU-XIV/2016

"Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan UUD
NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai yang
berhak menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat adalah organisasi advokat dengan
keharusan bekerjasama dengan perguruan tinggi yang fakultas hukumnya minimal terakreditasi B
atau sekolah tinggi hukum yang minimal terakreditasi B."

12. Golongan yang Berhak Menerima Bantuan Hukum

Tujuan penyelenggaraan bantuan hukum adalah menjamin dan memenuhi hak bagi penerima
bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan.

Oleh: Willa Wahyuni

Bacaan 3 Menit

5 Golongan yang Berhak Menerima Bantuan Hukum

Hukumonline

Bantuan hukum merupakan hak yang diperoleh dengan cara umum yang telah dijamin dan tertuang
dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Awam dan Politik. Hak tersebut dijelaskan dalam
Pasal 16 dan Pasal 26.

Pasal tersebut menjamin setiap orang berhak mendapatkan proteksi hukum dan wajib dihindarkan
dari seluruh wujud diskriminasi. Dalam pengaturan lingkup bantuan hukum diberikan kepada
akseptor bantuan hukum yang mengalami permasalahan hukum.

Akseptor bantuan hukum merupakan seseorang maupun golongan orang kurang mampu yang tidak
bisa penuhi hak dasar dengan cara yang pantas dan mandiri yang sedang mengalami permasalahan
hukum.

Anda bosan baca berita biasa?

Kami persembahkan untuk Anda produk jurnalisme hukum terbaik. Kami memberi Anda artikel
premium yang komprehensif dari sisi praktis maupun akademis, dan diriset secara mendalam.

Hanya Rp42.000/bulan

Baca Juga:

Pencatatan Kematian Warga Negara Asing di Indonesia

5 Tips Mudah Menulis Artikel di Jurnal Hukum


Autopsi Forensik Sebagai Alat Bukti Perkara Pidana

Permasalahan tersebut meliputi:

1. Permasalahan hukum kejahatan

2. Hukum awas

3. Hukum litigasi

12. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana
pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan suatu hal1.

13. si Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan Penipuan dan Contoh Kasusnya

Penulis kumparan

Konten dari Pengguna

1 Maret 2022 19:09 WIB

waktu baca 2 menit

sosmed-whatsapp-white

copy-link-circle

more-vertical

Tulisan dari Berita Terkini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Ilustrasi isi Pasal 372 KUHP. Foto. dok. DNY59 (Unsplash.com)

zoom-in-white

Perbesar

Ilustrasi isi Pasal 372 KUHP. Foto. dok. DNY59 (Unsplash.com)

ADVERTISEMENT

Indonesia merupakan negara hukum yang menggunakan aturan khusus untuk mengatur segala hal
yang ada di dalam negara. Salah satu perundang-undangan yang berlaku adalah isi pasal KUHP 372.
Untuk mengetahuinya lebih dalam, mari kita simak pemaparan lengkap mengenai isi pasal KUHP 372
dalam ulasan berikut.

ADVERTISEMENT
Isi Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan Penipuan dan Contoh Kasusnya

Ilustrasi isi pasal 372. Foto. dok. Pattanaphong Khuankaew (Unsplash.com)

zoom-in-white

Perbesar

Ilustrasi isi pasal 372. Foto. dok. Pattanaphong Khuankaew (Unsplash.com)

KUHP yang merupakan singkatan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini adalah perundang-
undangan yang digunakan sebagai dasar hukum pidana yang berlaku di Indonesia. KUHP
mengandung berbagai aturan-aturan yang berlaku untuk membatasi dan mengatur segala hal yang
terjadi dalam negara, khususnya tindak pidana. Apa itu tindak pidana?

Pengertian tindak pidana dipaparkan secara rinci dalam buku berjudul Kasus-kasus Hukum Perdata
di Indonesia yang ditulis oleh Darda Syahrizal, SH (2011: 24) yang menyebutkan bahwa hukum
pidana termasuk ke dalam kategori publik yang merupakan ketentuan hukum mengatur
kepentingan umum.

Berbeda dengan hukum perdata yang mengatur hukum perseorangan, hukum pidana mengatur
hubungan hukum yang menyangkut dengan kepentingan umum. Tak hanya itu, baik hukum maupun
hukum perdata juga memiliki perbedaan dari segi yang diberikan.

ADVERTISEMENT

Baca juga:

Ilustrasi isi pasal 372. Foto. dok. Worawee Meepian (Unsplash.com)

zoom-in-white

Perbesar

Ilustrasi isi pasal 372. Foto. dok. Worawee Meepian (Unsplash.com)

Sanksi yang berlaku dalam hukum pidana dapat diberikan berupa hukuman dalam bentuk kurungan,
denda bahkan hukuman mati. Sedangkan bentuk sanksi hukum perdata dapat berupa ganti rugi
berbentuk uang atau pemenuhan tuntutan dari penggugat misalnya prestasi (melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu).

Semua tindak pidana tersebut diatur dalam KUHP yang berlaku di Indonesia. Salah satu KUHP yang
berlaku adalah pasal 372 KUHP. Pembahasan pasal 372 KUHP ini dibahas dalam buku berjudul Bisnis
Online: Strategi dan Peluang Usaha yang ditulis oleh Dicky Nofriansyah, Citrawati Jatiningrum,
Muhammad Noor Hasan Siregar (2020: 138) yang memaparkan bahwa delik tentang penggelapan
terdapat dalam Pasal 372 KUHP & 374 KUHP.

ADVERTISEMENT

Pasal 372 KUHP tersebut berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak
sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu
ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman
penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.”

Salah satu tindakan penggelapan yang paling banyak ditemukan dalam kehidupan adalah kasus
penggelapan uang, penggelapan barang inventaris perusahaan, dan masih banyak lagi kasus lainnya.

Semoga pemaparan mengenai isi pasal 372 KUHP dan contoh kasusnya di atas bisa memperluas
wawasan Anda mengenai macam-macam hukum yang berlaku di Indonesia. (DAP)

Baca juga:

13. Penetapan Tersangka, Penangkapan, dan Penahanan Harus Berdasar Minimum Dua Alat Bukti

Rabu, 19 Maret 2014 | 19:10 WIBVideo Video print this page Cetak Dibaca: 12371130Image

Kuasa Hukum Pemohon Maqdir Ismail (tengah beserta kuasa lainnya hadir mewakili pemohon dalam
sidang perdana Pengujian UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), Rabu (19/3) di Ruang Sidang Pleno
Gedung MK. Foto Humas/Ganie.

Sidang pengujian UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) - Perkara Nomor
21/PUU-XII/2014 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (19/3) siang. Pemohon adalah
Bachtiar Abdul Fatah, terdakwa kasus bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia. Majelis hakim
konstitusi yang menyidangkan perkara ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Pengujian UU tersebut dilatar belakangi dengan saat Pemohon dalam kasus tindak pidana korupsi
mengalami penahanan sejak 26 September sampai dengan 27 November 2012. Setelah itu Pemohon
dibebaskan berdasarkan putusan praperadilan, namun kemudian dipaksakan untuk ditahan lagi
sejak 17 Mei 2013 sampai dengan saat ini.

Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya
Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29, Pasal 77 huruf a, Pasal 156
ayat (2) dan ayat (4) KUHAP. Kerugian konstitusional yang dimaksud, Pemohon telah kehilangan hak
untuk bekerja serta melakukan berbagai kegiatan dan berkomunikasi secara layak dan manusiawi
karena status tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi yang disandang oleh Pemohon pada saat
penahanan hingga saat ini.

Pasal-pasal yang diujikan tersebut berbunyi sebagai berikut.

Pasal 1 angka 2

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Pasal 1 angka 14

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Pasal 17

Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Pasal 21 ayat (1)

Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa
yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya
keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau

mengulangi tindak pidana.

Pasal 29

1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal
26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau
terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:

a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan
dengan surat keterangan dokter, atau

b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.

2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal
penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari.
3) Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat
:

a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri;

b. pemeriksaan di pengadilan negari diberikan oleh ketua pengadilan tinggi;

c. pemeriksaan banding-diberikan oleh Mahkamah Agung;

d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan
secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.

5) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya
tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.

6) Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum
diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

7) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat
mengajukan keberatan dalam tingkat:

a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;

b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 77 huruf a

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan;
Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4)

2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut,
sebaiknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah
selesai pemeriksaan, maka sidang dilakukan.

4) Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima olah
pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat
penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang
berwenang untuk memeriksa perkara itu.

Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Maqdir Ismail mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 2 KUHAP
melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan kesewenang-
wenangan yang bertentangan dengan prinsip due process of law serta pelanggaran terhadap hak
atas kepastian hukum yang adil.

Dijelaskan Maqdir, Pasal 1 angka 2 KUHAP dapat diinterpretasikan dan diberi makna bahwa
seseorang dapat ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka sebelum adanya penyidikan. Menurut
Pemohon, penyidikan bukan merupakan proses pidana yang mengharuskan lahirnya tersangka pada
proses akhir. Penyidikan secara tegas memberikan syarat bahwa penetapan tersangka merupakan
tahapan lanjutan yang syaratnya hanya dapat dilakukan setelah penyidik berhasil mengumpulkan
bukti-bukti yang cukup.

“Penyidikan adalah kegiatan mengumpulkan bukti yang akan membuat terang perkara. Sehingga
kemudian akan menemukan tersangka, sehingga proses penetapan tersangka itu bukanlah
penetapan acak. Karena penetapan tersangka secara acak niscaya akan sangat merugikan orang
kebanyakan atau orang yang tidak mampu membela diri secara baik dengan cara yang baik dan
benar,” urai Maqdir. Dikatakan Maqdir, hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur dan
memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh negara dalam proses penyelidikan, penyidikan,
hingga proses peradilan dengan metode yang baku untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-
hak individu selama proses hukum berlangsung. “Sebab pada hakikatnya hukum acara pidana adalah
aturan hukum untuk melindungi warga negara dari perlakuan sewenang-wenang oleh aparatur
penegak hukum. karena diduga melakukan perbuatan pidana,” kata Maqdir.

Selain hal diatas, dalam permohonannya menyatakan Pemohon juga mempersoalkan frasa ‘bukti
permulaan’ Pasal 1 angka 14, frasa ‘bukti permulaan yang cukup’ Pasal 17, frasa ‘bukti yang cukup’
Pasal 21. Frasa yang berbeda-beda pada pasal-pasal tersebut menurut Pemohon harus diberi makna
dan dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa ’bukti permulaan’, ‘bukti
permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ harus dimaknai sebagai minimum dua alat bukti
secara kualitatif, kecuali dalam hal keterangan saksi. Pasal-pasal tersebut terkait penetapan
tersangka, penangkapan, dan penahanan, serta penahanan lanjutan.
Nasihat Hakim

Menanggapi apa yang dialami Pemohon, Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan agar Pemohon
lebih menyingkatkan tuntutan atau petitum, supaya bisa lebih praktis dan meminta tuntutannya
diformulasikan kembali. Misalnya tuntutan nomor 3 menyatakan Pasal 1 angka 2 KUHAP
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat conditionally unconstitutional yaitu
inkonstitusional secara bersyarat. Conditionally unconstitutional sepanjang frasa dan guna
menemukan tersangkanya dan seterusnya.

“Mungkin ada formula misalnya menyatakan Pasal 1 angka 2 KUHAP ya, bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai hal-hal lainnya,” kata Anwar Usman. (Nano
Tresna Arfana/mh)

15. Proses / Alur Pemeriksaan Perkara TUN

Print this pageEmail this to someone

Proses / Alur Pemeriksaan Perkara Tata Usaha Negara (TUN) Khusus

Berikut ini adalah Proses / Alur Pemeriksaan Perkara Tata Usaha Negara (TUN) Khusus. Untuk Lebih
Jelasnya Silahkan Klik Gambar Dibawah ini

Alur Sengketa Pengadaaan Tanah

Alur Fiktif Positif

Alur KIP

Alur PW

PROSES PEMILU_001

Proses / Alur Pemeriksaan Perkara Tata Usaha Negara (TUN) Umum

Berikut ini adalah Proses / Alur Pemeriksaan Perkara Tata Usaha Negara (TUN). Untuk Lebih Jelasnya
Silahkan Klik Tautan Dibawah ini :

Proses Alur Pemeriksaan Perkara Tata Usaha Negara (TUN)

Tahapan -Tahapan Penanganan Perkara Di Persidangan :


Pembacaan GUGATAN (Pasal 74 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Pemeriksaan Sengketa Dimulai Dengan Membacakan isi Gugatan dan Surat yang Memuat
Jawabannya Oleh Hakim Ketua Sidang, dan Jika Tidak Ada Surat Jawaban, Pihak Tergugat Diberi
Kesempatan Untuk Mengajukan Jawabannya.

Pembacaan JAWABAN (Pasal 74 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Pemeriksaan Sengketa Dimulai Dengan Membacakan isi Gugatan dan Surat yang Memuat
Jawabannya Oleh Hakim Ketua Sidang, dan Jika Tidak Ada Surat Jawaban, Pihak Tergugat Diberi
Kesempatan Untuk Mengajukan Jawabannya.

R E P L I K (Pasal 75 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Penggugat Dapat Mengubah Alasan yang Mendasari Gugatan Hanya Sampai Dengan Replik, Asal
Disertai Alasan yang Cukup Serta Tidak Merugikan Kepentingan Tergugat, dan Hal Tersebut Harus
Disaksikan Oeh Hakim.

D U P L I K (Pasal 75 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Tergugat Dapat Mengubah Alasan yang Mendasari Jawabannya Hanya Sampai Dengan Duplik, Asal
Disertai Alasan yang Cukup Serta Tidak Merugikan Kepentingan Penggugat dan Hal Tersebut Harus
Dipertimbangkan Dengan Seksama Oleh Hakim.

PEMBUKTIAN (Pasal 100 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Yang Dapat Dijadikan Alat Bukti Dalam Persidangan Adalah Sebagai Berikut :

Surat atau Tulisan;

Keterangan Ahli;

Keterangan Saksi;

Pengakuan Para Pihak;

Pengetahuan Hakim.

KESIMPULAN (Pasal 97 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Dalam Hal Pemeriksaan Sengketa Sudah Diselesaikan, Kedua Belah Pihak Diberi Kesempatan Untuk
Mengemukakan Pendapat yang Terakhir Berupa Kesimpulan Masing – Masing.

P U T U S A N (Pasal 108 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Pembacaan PUTUSAN (Pasal 108 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)


(1) Putusan Pengadilan Harus Diucapkan Dalam Sidang Terbuka Untuk Umum;

(2) Apabila Salah Satu Pihak atau Kedua Belah Pihak Tidak Hadir Pada Waktu Putusan Pengadilan
Diucapkan, Atas Perintah Hakim Ketua Sidang Salinan Putusan itu Disampaikan Dengan Surat
Tercatat Kepada yang Bersangkutan;

(3) Tidak Dipenuhinya Ketentuan Sebagaimana Dimaksud Dalam Ayat (1) Berakibat Putusan
Pengadilan Tidak Sah dan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum.

Materi Muatan Putusan (Pasal 109 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Kepala Putusan Yang Berbunyi : ” DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” ;

Nama, Jabatan, Kewarganegaraan, Tempat Kediaman, atau Tempat Kedudukan Para Pihak Yang
Bersengketa ;

Ringkasan Gugatan dan Jawaban Tergugat Yang Jelas ;

Pertimbangan dan Penilaian Setiap Bukti Yang Diajukan dan Hal Yang Terjadi Dalam Persidangan
Selama Sengketa Itu Diperiksa ;

Alasan Hukum Yang Menjadi Dasar Putusan ;

Amar Putusan Tentang Sengketa Dan Biaya Perkara ;

Hari, Tanggal Putusan, Nama Hakim Yang Memutus, Nama Panitera, Serta Keterangan Tentang Hadir
atau Tidak Hadirnya Para Pihak.

Amar Putusan (Pasal 97 ayat 7 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Gugatan Ditolak;

Gugatan Dikabulkan;

Gugatan Tidak Diterima;

Gugatan Gugur.

*) Sumber Informasi :

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Surat Dakwaan Batal Demi Hukum

Sebagaimana pernah dijelaskan dalam Jika Ada Ketidaksesuaian Antara Dakwaan dan Tuntutan,
surat dakwaan adalah tuduhan dari Penuntut Umum kepada Terdakwa atas perbuatan Terdakwa
sesuai dengan pasal-pasal yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal penuntut umum
berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya
membuat surat dakwaan.[1] Pada surat dakwaan, Penuntut Umum menjerat si Terdakwa, bisa
dengan pasal tunggal atau dakwaan tunggal, yaitu melakukan tindak pidana satu pasal saja.

Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Surat Dakwaan Sebagai Dasar Putusan Hakim,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP”) tidak memberikan
definisi atau pengertian mengenai Surat Dakwaan. Ramelan (mantan Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus), dalam bukunya Hukum Acara Pidana (Teori dan Implementasi) menyebutkan:[2]

Dengan memperhatikan ketentuan undang-undang mengenai syarat-syarat surat dakwaan maupun


pengalaman praktek, dapat dikatakan bahwa surat dakwaan adalah suatu surat atau akte (dalam
bahasa Belanda disebut “acte van verwizing”) yang memuat uraian perbuatan atau fakta-fakta yang
terjadi, uraian mana akan menggambarkan atau, menjelaskan unsur-unsur yuridis dari pasal-pasal
tindak pidana (delik) yang dilanggar.

Pasal 143 KUHAP mengatur mengenai surat dakwaan yang berbunyi:

Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera
mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan;

Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:

nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan tersangka;

uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal
demi hukum;

Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau
kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian
surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.

Jadi menjawab pertanyaan Anda, surat dakwaan juga bisa batal demi hukum jika tidak memenuhi
syarat materiil suatu surat dakwaan yaitu apabila tidak memuat uraian secara cermat, jelas dan
lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana itu dilakukan.

Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan (hal. 449) menjelaskan bahwa Pasal 143 ayat (3) KUHAP mengancam dengan tegas surat
dakwaan yang tidak lengkap memuat syarat materiil dakwaan, mengakibatkan surat dakwaan “batal
demi hukum”.

Jadi surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat materiil adalah merupakan surat dakwaan yang null
and avoid atau van rechtswege nietig. Namun demikian, sifat batal demi hukum yang ditentukan
Pasal 143 ayat (3) KUHAP adalah tidak murni secara mutlak. Masih diperlukan adanya pernyataan
batal dari hakim yang memeriksa perkara, sehingga sifat surat dakwaan yang batal demi hukum,
pada hakikatnya dalam praktik adalah dinyatakan batal atau vernietig baar atau annulment.[3]

Agar keadaan yang batal demi hukum tersebut efektif dan formal benar-benar batal, diperlukan
putusan pengadilan. Selama belum ada putusan pengadilan yang menyatakan surat dakwaan batal,
surat dakwaan yang batal demi hukum tersebut secara formal masih tetap sah dijadikan landasan
memeriksa dan mengadili terdakwa.[4]

Dapatkah Surat Dakwan Diajukan Kembali Pada Sidang Pengadilan?

Apakah dengan adanya putusan yang menyatakan surat dakwaan batal demi hukum dapat berakibat
hilangnya hak dan kewenangan penuntut umum untuk mengajukan perkara itu sekali lagi ke depan
sidang pengadilan? Apakah di dalam putusan penetapan yang berisi pernyataan surat dakwaan batal
demi hukum telah melekat unsur nebis in idem sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 76 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)?[5]

Yahya berpendapat bahwa dalam putusan yang menyatakan surat dakwaan batal demi hukum, sama
sekali belum melekat unsur nebis in idem. Unsur nebis in idem baru dapat dianggap melekat pada
suatu perkara, mesti terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 76 KUHP, yakni:[6]

Perkaranya telah diputus dan diadili dengan putusan “positif”.

Tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa telah diperiksa materi perkaranya di sidang
pengadilan. Kemudian dari hasil pemeriksaan, hakim atau pengadilan telah menjatuhkan putusan.

Putusan yang dijatuhkan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Jadi agar dalam suatu perkara melekat unsur nebis in idem, mesti terdapat kedua syarat tersebut.

Putusan pengadilan yang bersifat putusan positif terhadap peristiwa pidana yang dilakukan dan
didakwakan, dapat berupa:[7]
Pemidanaan

Putusan pembebasan

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum.

Dengan demikian, putusan yang dijatuhkan pengadilan atas alasan pertimbangan surat dakwaan
batal demi hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP, adalah putusan yang
berada di luar jangkauan Pasal 76 KUHP. Ke dalam isi putusan yang menyatakan surat dakwaan batal
demi hukum tidak akan pernah melekat unsur nebis in idem, karena putusan itu sendiri sama sekali
bukan menyangkut peristiwa pidana yang dilakukan terdakwa. Peristiwa pidana yang dilakukan
terdakwa belum disentuh dalam putusan. Yang dipetimbangkan baru mengenai hal kelengkapan dan
kesempurnaan surat dakwaan.[8]

Terhadap surat dakwaan yang batal demi hukum dapat disimpukan bahwa:[9]

Pada putusan pembatalan surat dakwaan tidak melekawat unsur nebis in idem;

Oleh karena itu jaksa berwenang untuk mengajukannya sekali lagi ke pemeriksaan sidang pengadilan
dengan jalan:

Mengganti surat dakwaan yang lama, dan

Mengajukan surat dakwaan baru yang telah diperbaiki dan disempurnakan sedemikian rupa
sehingga benar-benar memenuhi syarat surat dakwaan yang ditentukan Pasal 143 ayat (2) KUHAP.

Atas surat dakwaan baru yang disempurnakan tadi, pengadilan memeriksa dan memutus peristiwa
pidana yang dilakukan dan didakwakan kepada diri terdakwa.

Jadi putusan pengadilan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum, secara yuridis tidak
menghilangkan kewenangan jaksa untuk mengajukan terdakwa kembali ke pemeriksaan sidang
pengadilan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

14.

Surat Dakwaan Batal Demi Hukum

Sebagaimana pernah dijelaskan dalam Jika Ada Ketidaksesuaian Antara Dakwaan dan Tuntutan,
surat dakwaan adalah tuduhan dari Penuntut Umum kepada Terdakwa atas perbuatan Terdakwa
sesuai dengan pasal-pasal yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal penuntut umum
berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya
membuat surat dakwaan.[1] Pada surat dakwaan, Penuntut Umum menjerat si Terdakwa, bisa
dengan pasal tunggal atau dakwaan tunggal, yaitu melakukan tindak pidana satu pasal saja.

Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Surat Dakwaan Sebagai Dasar Putusan Hakim,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP”) tidak memberikan
definisi atau pengertian mengenai Surat Dakwaan. Ramelan (mantan Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus), dalam bukunya Hukum Acara Pidana (Teori dan Implementasi) menyebutkan:[2]

Dengan memperhatikan ketentuan undang-undang mengenai syarat-syarat surat dakwaan maupun


pengalaman praktek, dapat dikatakan bahwa surat dakwaan adalah suatu surat atau akte (dalam
bahasa Belanda disebut “acte van verwizing”) yang memuat uraian perbuatan atau fakta-fakta yang
terjadi, uraian mana akan menggambarkan atau, menjelaskan unsur-unsur yuridis dari pasal-pasal
tindak pidana (delik) yang dilanggar.

Pasal 143 KUHAP mengatur mengenai surat dakwaan yang berbunyi:

Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera
mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan;

Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:

nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan tersangka;

uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal
demi hukum;

Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau
kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian
surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.

Jadi menjawab pertanyaan Anda, surat dakwaan juga bisa batal demi hukum jika tidak memenuhi
syarat materiil suatu surat dakwaan yaitu apabila tidak memuat uraian secara cermat, jelas dan
lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana itu dilakukan.

Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan (hal. 449) menjelaskan bahwa Pasal 143 ayat (3) KUHAP mengancam dengan tegas surat
dakwaan yang tidak lengkap memuat syarat materiil dakwaan, mengakibatkan surat dakwaan “batal
demi hukum”.

Jadi surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat materiil adalah merupakan surat dakwaan yang null
and avoid atau van rechtswege nietig. Namun demikian, sifat batal demi hukum yang ditentukan
Pasal 143 ayat (3) KUHAP adalah tidak murni secara mutlak. Masih diperlukan adanya pernyataan
batal dari hakim yang memeriksa perkara, sehingga sifat surat dakwaan yang batal demi hukum,
pada hakikatnya dalam praktik adalah dinyatakan batal atau vernietig baar atau annulment.[3]

Agar keadaan yang batal demi hukum tersebut efektif dan formal benar-benar batal, diperlukan
putusan pengadilan. Selama belum ada putusan pengadilan yang menyatakan surat dakwaan batal,
surat dakwaan yang batal demi hukum tersebut secara formal masih tetap sah dijadikan landasan
memeriksa dan mengadili terdakwa.[4]

Dapatkah Surat Dakwan Diajukan Kembali Pada Sidang Pengadilan?

Apakah dengan adanya putusan yang menyatakan surat dakwaan batal demi hukum dapat berakibat
hilangnya hak dan kewenangan penuntut umum untuk mengajukan perkara itu sekali lagi ke depan
sidang pengadilan? Apakah di dalam putusan penetapan yang berisi pernyataan surat dakwaan batal
demi hukum telah melekat unsur nebis in idem sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 76 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)?[5]

Yahya berpendapat bahwa dalam putusan yang menyatakan surat dakwaan batal demi hukum, sama
sekali belum melekat unsur nebis in idem. Unsur nebis in idem baru dapat dianggap melekat pada
suatu perkara, mesti terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 76 KUHP, yakni:[6]

Perkaranya telah diputus dan diadili dengan putusan “positif”.

Tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa telah diperiksa materi perkaranya di sidang
pengadilan. Kemudian dari hasil pemeriksaan, hakim atau pengadilan telah menjatuhkan putusan.

Putusan yang dijatuhkan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Jadi agar dalam suatu perkara melekat unsur nebis in idem, mesti terdapat kedua syarat tersebut.

Putusan pengadilan yang bersifat putusan positif terhadap peristiwa pidana yang dilakukan dan
didakwakan, dapat berupa:[7]

Pemidanaan

Putusan pembebasan

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum.


Dengan demikian, putusan yang dijatuhkan pengadilan atas alasan pertimbangan surat dakwaan
batal demi hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP, adalah putusan yang
berada di luar jangkauan Pasal 76 KUHP. Ke dalam isi putusan yang menyatakan surat dakwaan batal
demi hukum tidak akan pernah melekat unsur nebis in idem, karena putusan itu sendiri sama sekali
bukan menyangkut peristiwa pidana yang dilakukan terdakwa. Peristiwa pidana yang dilakukan
terdakwa belum disentuh dalam putusan. Yang dipetimbangkan baru mengenai hal kelengkapan dan
kesempurnaan surat dakwaan.[8]

Terhadap surat dakwaan yang batal demi hukum dapat disimpukan bahwa:[9]

Pada putusan pembatalan surat dakwaan tidak melekawat unsur nebis in idem;

Oleh karena itu jaksa berwenang untuk mengajukannya sekali lagi ke pemeriksaan sidang pengadilan
dengan jalan:

Mengganti surat dakwaan yang lama, dan

Mengajukan surat dakwaan baru yang telah diperbaiki dan disempurnakan sedemikian rupa
sehingga benar-benar memenuhi syarat surat dakwaan yang ditentukan Pasal 143 ayat (2) KUHAP.

Atas surat dakwaan baru yang disempurnakan tadi, pengadilan memeriksa dan memutus peristiwa
pidana yang dilakukan dan didakwakan kepada diri terdakwa.

Jadi putusan pengadilan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum, secara yuridis tidak
menghilangkan kewenangan jaksa untuk mengajukan terdakwa kembali ke pemeriksaan sidang
pengadilan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

15. Syarat batalnya perjanjian

Syarat pembatalan perjanjian adalah harus ada wanprestasi, perjanjian yang ingin dibatalkan harus
bersifat timbal-balik, dan pembatalan dilakukan melalui putusan hakim. Perjanjian dapat dibatalkan
apabila tidak sesuai dengan syarat sah perjanjian.
15. Dalam pendirian yayasan, sangat penting untuk mengikuti panduan menyusun anggaran dasar
yayasan yang benar. Hal ini dikarenakan data tersebut memuat aspek dasar yang harus dipenuhi
ketika mendirikan yayasan terkait.

Dalam anggaran dasar tersebut ada beberapa poin yang harus ditulis, seperti identitas yayasan,
kekayaannya, dan kepengurusannya. Selain itu, ada juga beberapa hal yang harus diperhatikan
ketika melakukan perubahan dalam data tersebut.

Kalau Anda membutuhkan panduan dalam menyusun anggaran dasar yayasan ini, silakan menyimak
artikel berikut ini. Di bawah ini adalah penjelasan dari poin-poin AD/ART yayasan dan juga aspek
penting di dalamnya.

Pengertian Yayasan

Sebelum Anda memahami mengenai panduan menyusun anggaran dasar yayasan yang benar, ada
baiknya jika menelusuri lebih dalam mengenai pengertian yayasan. Dengan begitu, Anda bisa lebih
mengerti dan memahami esensi dari bidang ini.

Yayasan adalah sebuah badan hukum yang senantiasa bergerak pada bidang keagamaan,
kemanusiaan, serta sosial. Yayasan didirikan tidak untuk mencari profit atau keuntungan semata,
sehingga badan hukum ini tidak memiliki anggota.

Walaupun begitu, yayasan memiliki sumber dana yang jelas dan juga sudah diatur. Sumber dana
atau pemasukan ini digunakan untuk dana operasional kegiatan yayasan.

Pengaturan mengenai yayasan sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
16 Tahun 2001. Di dalamnya terdapat pengaturan mengenai proses pendirian yayasan, AD/ART
yayasan, dan informasi lainnya yang diperlukan untuk kelancaran proses pembentukan badan
hukum ini.

Penjelasan Mengenai Panduan Menyusun Anggaran Dasar Yayasan yang Benar


Untuk kelancaran proses pendirian yayasan, ada aturan yang harus diikuti. Aturan ini sudah tertuang
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001. Salah satunya yaitu mengenai AD
ART atau Anggaran Dasar Rumah Tangga Yayasan.

Berikut ini adalah beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam AD/ART yayasan:

Nama serta tempat kedudukan. Di dalamnya juga perlu disebutkan nama desa, kecamatan,
kabupaten, kota, dan juga nama provinsinya.

Maksud tujuan dan kegiatan yang dilakukan untuk mencapainya.

Jangka waktu untuk pendirian.

Jumlah kekayaan awal. Jumlah kekayaan ini dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri, yaitu dalam
bentuk benda atau uang.

Penggunaan dan cara mendapatkan kekayaan tersebut.

Tata cara untuk pengangkatan, pemberhentian, serta penggantian anggota yayasan, seperti
Pembina, Pengurus, dan Pengawas.

Hak serta kewajiban dari Pengurus, Pembina, dan Pengawas.

Tata cara dalam penyelenggaraan rapat yayasan.

Ketentuan akan adanya perubahan di Anggaran Dasar Yayasan.

Pengaturan mengenai penggabungan serta pembubaran badan hukum yayasan.

Penggunaan kekayaan atau penyaluran kekayaan yayasan setelah dilakukannya pembubaran.

Penjelasan Mengenai Perubahan pada Anggaran Dasar Yayasan

Jika mengikuti aturan yang berlaku pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001,
anggaran dasar yayasan sangat bisa diubah. Walaupun begitu, perubahan ini tidak termasuk pada
bagian maksud dan tujuan yayasan.

Perubahan pada anggaran dasar bisa ditentukan berdasarkan keputusan rapat Pembina. Rapat ini
memiliki ketentuan, yaitu harus dihadiri oleh ⅔ jumlah anggota Pembina yayasan. Perubahan yang
dihasilkan dilakukan dengan akta notaris menggunakan bahasa Indonesia.

Mengenai perubahan nama di anggaran dasar, harus disetujui oleh Menteri. Namun, perubahan ini
tidak bisa dilakukan jika yayasan tersebut berada dalam keadaan pailit, kecuali perubahan tersebut
mendapatkan persetujuan dari kurator.
Jangka waktu pendirian menentukan seberapa lama yayasan tersebut akan berdiri. Jika hanya untuk
waktu yang sebentar saja, maka Pengurus dapat diadakan perubahan dan juga perpanjangan waktu
pendirian kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini bisa dilakukan paling lambat, yaitu
satu tahun sebelum jangka waktu berakhir.

Jika yayasan akan dibubarkan sesuai dengan jangka waktu yang sudah ditentukan, maka pengadilan
akan menunjuk likuidator. Namun, jika pembubaran terjadi karena keadaan yayasan yang pailit,
maka akan mengikuti Undang-Undang di bidang kepailitan.

Baca juga: Panduan Lengkap Prosedur dan Syarat Pendirian Yayasan

Penjelasan Mengenai Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan

Dalam panduan menyusun anggaran dasar yayasan, terdapat aspek peran anggota yayasan.
Sekarang marilah kita memahami lebih detail mengenai peran anggota yayasan tersebut.

Dalam yayasan terdapat beberapa anggota yang dibagi menjadi tiga, yaitu Pembina, Pengurus, dan
Pengawas. Peran tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Berikut ini adalah penjelasannya:

Pembina

Pembina yayasan adalah orang yang ditunjuk karena memiliki kapasitas yang pas untuk mencapai
maksud dan tujuan yayasan. Pembina memiliki kewenangan, yaitu dalam pengesahan program kerja
dan rancangan anggaran yayasan, kewenangan pengangkatan atau pemberhentian anggota
Pengurus dan Pengawas, serta keputusan mengenai perubahan di anggaran dasar.

Pengurus

Pengurus memiliki peran untuk melaksanakan aktivitas pengurusan yayasan. Anggota pengurus tidak
boleh merangkap jabatan sebagai Pembina atau Pengawas. Pengurus terdiri dari sekurang-
kurangnya, yaitu Ketua, Sekretaris dan Bendahara.

Pengawas

Pengawas yayasan adalah pihak yang memiliki tugas untuk mengawasi dan memberi nasihat kepada
Pengurus dalam aktivitas kepengurusan dan kegiatan yayasan. Pengawas tidak boleh memiliki
jabatan rangkap sebagai Pengurus atau Pembina.

Baca juga: Inilah Tugas dan Wewenang Organ Yayasan


Penjelasan Mengenai Kekayaan Yayasan

Dalam panduan menyusun anggaran dasar yayasan, terdapat poin mengenai kekayaan yayasan.
Kekayaan yayasan sendiri tidak hanya berupa uang, tetapi juga:

Wakaf

Hibah

Hibah wasiat

Sumbangan atau juga bantuan yang sifatnya tidak mengikat

Perolehan dana lainnya yang tidak bertentangan dengan panduan AD/ART yayasan yang ada.

Yayasan juga boleh menerima bantuan dari negara sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang
berlaku.

17. embukaan Wasiat Tertutup / Rahasia dan Pendaftaran Wasiat Umum

Hits: 14822

Definisi

Pembukaan Wasiat Tertutup / Rahasia dan Pendaftaran Wasiat Umum adalah pemberian layanan
kepada pemohon (ahli waris/notaris) dalam hal pembukaan wasiat tertutup/rahasia yang
berdasarkan ketentuan harus dibuka di Balai Harta Peninggalan dan pemberian layanan pendaftaran
wasiat umum atas akta wasiat yang dibuat oleh seseorang yang memuat pernyataan seseorang
tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia.

Regulasi

Pasal 874 - Pasal 1021 KUHPerdata

Instruksi Balai Harta Peninggalan di Indonesia 1872 LN.1872 No.166 Pasal 62 dan 63.

Pasal 3 huruf b Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 tahun 2021 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Balai Harta Peninggalan

Persyaratan

Surat Permohonan;

Fotokopi Akta Kematian / Surat Keterangan Kematian;

Fotokopi Akta/Surat Wasiat;


Fotokopi Identitas para Pihak;

Surat Keterangan Wasiat dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian
Hukum dan HAM RI; dan/atau

Dokumen lainnya yang menerangkan secara resmi, baik dalam bentuk surat pengganti maupun
dokumen yang terdaftar sah secara elektronik.

*Seluruh dokumen fotokopi persyaratan yang bukan berupa dokumen elektronik, diserahkan dalam
bentuk salinan/fotokopi yang dilegalisir oleh Notaris.

*Dalam pembukaan atas Wasiat Rahasia/Tertutup, Semua ahli waris dan Notaris penyimpan Wasiat
wajib hadir di BHP.

Prosedur

Pembukaan Wasiat Tertutup / Rahasia

Memerintahkan kepada Pelaksana Wasiat, Ahliwaris, Notaris, untuk mengajukan permohonan


keterangan wasiat kepada Daftar Pusat Wasiat, Direktorat Perdata, Direktorat Jenderal Administrasi
Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM RI;

Menerima surat wasiat tertutup / rahasia dan akta penitipan (acte van depot) dari Notaris
penyimpan wasiat;

Membuka surat wasiat tertutup / rahasia disaksikan oleh para Ahliwaris, Pelaksana Wasiat, Notaris,
dan dituangkan dalam Berita Acara;

Mendaftarkan surat wasiat tertutup / rahasia pada Balai Harta Peninggalan (berdasarkan ketentuan
LN.1848 No.10 Pasal 41 dan 42 OV, jo. Pasal 937,942 KUH.Perdata);

Pendaftaran Wasiat Terbuka / Umum

Memerintahkan kepada Pelaksana Wasiat, Ahliwaris, Notaris, untuk mengajukan permohonan


keterangan wasiat kepada Daftar Pusat Wasiat, Direktorat Perdata, Direktorat Jenderal Administrasi
Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM RI;

Menerima surat wasiat terbuka / umum dari Notaris / ahli waris / pelaksana wasiat;

Mendaftarkan surat wasiat terbuka / umum pada Balai Harta Peninggalan (berdasarkan ketentuan
LN.1848 No.10 Pasal 41 dan 42 OV, jo. Pasal 937,942 KUH.Perdata);

Biaya/ Waktu

Berita Acara Pembukaan dan Pembacaan Wasiat Tertutup/Rahasia: Rp. 500.000,- (per wasiat)

Pendaftaran Akta Wasiat: Rp. 200.000,- (per Akta)

Waktu penyelesaian permohonan : 1 (satu) hari kerja


Penanggung Jawab

Kepala BHP

18. Melalui Permenkumham tersebut, Kemenkumham memiliki kewenangan untuk


mempertemukan adanya pihak-pihak terkait yang mengalami pertentangan antar peraturan
perundang-undangan. Kewenangan tersebut lebih khusus dilakukan oleh Ditjen Peraturan
Perundang-Undangan melalui Dirjen Litigasi.

18. Pejabat Fungsional Analis Hukum Bisa Ditempatkan Di Mana Saja

Oleh Humas BPHN 22 October, 2023 1:59:37 pm

BPHN.GO.ID – Jakarta. Sebagai jabatan fungsional yang terbilang baru, jumlah Analis Hukum di
seluruh Indonesia per September 2022, sebanyak 1.343 orang. Angka tersebut lebih tinggi bila
dibandingkan dengan pejabat fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan, yang jauh lebih
dulu terbentuk. Namun, dari segi sebarannya, pejabat fungsional Analis Hukum belum sebesar
dibandingkan pejabat fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan.

Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Kementerian Hukum dan HAM Yunan Hilmy mengatakan, “Analis Hukum lebih banyak dari
Perancang Peraturan Perundang-Undangan yang berjumlah 1.267. Tapi kalau dianalisa, komposisi
Perancang Peraturan Perundang-Undangan lebih tersebar di Kanwil Kementerian Hukum dan HAM
(berjumlah 640 orang, sementara Analis Hukum hanya 111 orang) karena sudah lebih dahulu. Analis
Hukum masih baru dan formasi yang tersedia di Kanwil lebih sedikit dan beberapa kanwil ada yang
belum punya Analis Hukum,” terang Yunan.

“Analis Hukum ruang lingkup tugasnya sangat luas. Dia ada di tahap pembentukan peraturan
perundang-undangan, penerapan hukum, pelayanan hukum, bahkan juga di penegakan hukum,”
kata Yunan dalam acara Sosialisasi Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 16 Tahun 2022
tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Hukum, Rabu (21/9) digelar virtual, diikuti seluruh
pejabat fungsional Analis Hukum internal Kementerian Hukum dan HAM.

Merujuk Pasal 8 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 16 Tahun 2022, tugas jabatan pejabat
fungsional Analis Hukum, yakni melakukan kegiatan analisis dan evaluasi di bidang peraturan
perundang-undangan dan hukum tidak tertulis, pembentukan peraturan perundang-undangan,
permasalahan hukum, pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, dokumen
perjanjian dan pelaksanaan perjanjian, pelayanan hukum, perizinan, informasi hukum, dan advokasi
hukum.
Peran pejabat fungsional Analis Hukum, kata Yunan, semakin penting terutama pasca lahirnya UU
Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni terkait Pasal 98 ayat (1a) yang mengatur Analis
Hukum dapat diikutsertakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Di samping itu,
Yunan optimis pejabat fungsional Analis Hukum yang besar jumlahnya menjadi modal dalam
pembinaan hukum nasional bersama pejabat fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan.

Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Fasilitasi Pembinaan dan Pengembangan Jabatan
Fungsional Analis Hukum Apri Listiyanto menyebutkan, saking luasnya lingkup pekerjaan, pejabat
fungsional Analis dapat ditempatkan di mana saja. Artinya, tetap bisa ditempatkan di tempat dahulu
Analis Hukum bertugas sebelumnya. Merujuk unsur kegiatan sebagaimana Pasal 9 ayat (1) Peraturan
Menteri Hukum dan HAM Nomor 16 Tahun 2022, pejabat fungsional Analis Hukum tidak akan
rebutan angka kredit dengan jabatan lainnya yang serumpun.

“Kalau misal ada kegiatan Konsultasi Hukum, Analis Hukum itu bisa dilibatkan. Tidak ada istilah
rebutan angka kredit karena Analis Hukum kumpulkan angka kreditnya sendiri. Analis Hukum
membuat laporannya sendiri,” kata Apri.

Yang perlu diingat oleh pejabat fungsional Analis Hukum, lanjut Apri, sekalipun Sasaran Kinerja
Pegawai (SKP) atasan pejabat langsungnya tidak berisi butir kegiatan jenjang jabatannya, Analis
Hukum bisa melakukan butir kegiatan terkait analisis dan evaluasi sepanjang ditugaskan oleh pejabat
berwenang. Meskipun dalam SKP tertulis sebagai tugas tambahan, nantinya penilaian angka kredit
dianggap sama bobotnya dengan kegiatan utama.

“Misalkan, dari bagian pelayanan lalu dilibatkan dalam pembahasan produk hukum daerah, itu
dimasukkan ke dalam SKP. Kalau butir itu tidak ada di atasan langsung, bisa dimasukan di Tugas
Tambahan dan kita (tim penilai) perhitungkan sebagai unsur kegiatan utama,” papar Apri.

Share this Post

Pejabat Fungsional Analis Hukum


19.
Bisa Ditempatkan Di Mana Saja
Oleh Humas BPHN 22 October, 2023 1:59:37 pm

BPHN.GO.ID – Jakarta. Sebagai jabatan fungsional yang terbilang


baru, jumlah Analis Hukum di seluruh Indonesia per September 2022,
sebanyak 1.343 orang. Angka tersebut lebih tinggi bila dibandingkan
dengan pejabat fungsional Perancang Peraturan Perundang-
Undangan, yang jauh lebih dulu terbentuk. Namun, dari segi
sebarannya, pejabat fungsional Analis Hukum belum sebesar
dibandingkan pejabat fungsional Perancang Peraturan Perundang-
Undangan.

Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan


Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM
Yunan Hilmy mengatakan, “Analis Hukum lebih banyak dari
Perancang Peraturan Perundang-Undangan yang berjumlah 1.267.
Tapi kalau dianalisa, komposisi Perancang Peraturan Perundang-
Undangan lebih tersebar di Kanwil Kementerian Hukum dan HAM
(berjumlah 640 orang, sementara Analis Hukum hanya 111 orang)
karena sudah lebih dahulu. Analis Hukum masih baru dan formasi
yang tersedia di Kanwil lebih sedikit dan beberapa kanwil ada yang
belum punya Analis Hukum,” terang Yunan.

“Analis Hukum ruang lingkup tugasnya sangat luas. Dia ada di tahap
pembentukan peraturan perundang-undangan, penerapan hukum,
pelayanan hukum, bahkan juga di penegakan hukum,” kata Yunan
dalam acara Sosialisasi Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor
16 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis
Hukum, Rabu (21/9) digelar virtual, diikuti seluruh pejabat fungsional
Analis Hukum internal Kementerian Hukum dan HAM.

Merujuk Pasal 8 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 16


Tahun 2022, tugas jabatan pejabat fungsional Analis Hukum, yakni
melakukan kegiatan analisis dan evaluasi di bidang peraturan
perundang-undangan dan hukum tidak tertulis, pembentukan
peraturan perundang-undangan, permasalahan hukum, pengawasan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan, dokumen perjanjian
dan pelaksanaan perjanjian, pelayanan hukum, perizinan, informasi
hukum, dan advokasi hukum.

Peran pejabat fungsional Analis Hukum, kata Yunan, semakin penting


terutama pasca lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang
Perubahan Kedua Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni terkait Pasal 98
ayat (1a) yang mengatur Analis Hukum dapat diikutsertakan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan. Di samping itu, Yunan
optimis pejabat fungsional Analis Hukum yang besar jumlahnya
menjadi modal dalam pembinaan hukum nasional bersama pejabat
fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan.

Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Fasilitasi Pembinaan dan


Pengembangan Jabatan Fungsional Analis Hukum Apri Listiyanto
menyebutkan, saking luasnya lingkup pekerjaan, pejabat fungsional
Analis dapat ditempatkan di mana saja. Artinya, tetap bisa
ditempatkan di tempat dahulu Analis Hukum bertugas sebelumnya.
Merujuk unsur kegiatan sebagaimana Pasal 9 ayat (1) Peraturan
Menteri Hukum dan HAM Nomor 16 Tahun 2022, pejabat fungsional
Analis Hukum tidak akan rebutan angka kredit dengan jabatan lainnya
yang serumpun.

“Kalau misal ada kegiatan Konsultasi Hukum, Analis Hukum itu bisa
dilibatkan. Tidak ada istilah rebutan angka kredit karena Analis
Hukum kumpulkan angka kreditnya sendiri. Analis Hukum membuat
laporannya sendiri,” kata Apri.

Yang perlu diingat oleh pejabat fungsional Analis Hukum, lanjut Apri,
sekalipun Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) atasan pejabat
langsungnya tidak berisi butir kegiatan jenjang jabatannya, Analis
Hukum bisa melakukan butir kegiatan terkait analisis dan evaluasi
sepanjang ditugaskan oleh pejabat berwenang. Meskipun dalam SKP
tertulis sebagai tugas tambahan, nantinya penilaian angka kredit
dianggap sama bobotnya dengan kegiatan utama.

“Misalkan, dari bagian pelayanan lalu dilibatkan dalam pembahasan


produk hukum daerah, itu dimasukkan ke dalam SKP. Kalau butir itu
tidak ada di atasan langsung, bisa dimasukan di Tugas Tambahan
dan kita (tim penilai) perhitungkan sebagai unsur kegiatan utama,”
papar Apri.
Share this Post

Pada abad XIX sosiologi kriminal (kriminologi) timbul akibat dari berkembangnya sosiologi dan
statistik kriminal. Sehingga studi mengenai tindak pidana dan pelaku tindak pidana sudah mulai
sungguh-sungguh dipelajari. Adolphe Quitelet 1796 –1874 seorang Belgia ahli ilmu pasti dan
sosiologi, Guerry 1802 –1866 seorang Perancis dan Meyhew di Inggris mempelajari dan memetakan
penyebaran tindak pidana dalam studinya yang pertama-tama menggunakan statistik sosial.
Kelompok masyarakat yang lain, di bawah kepemimpinan Joseph Gall dan Spurzheim terlibat dalam
studi phrenology(hubungan konfigurasi otak –sebagai bagian dari struktur otak-terhadap pelaku),
dan menghasilkan beberapa studi keilmuan “awal” tentang pelaku tindak pidana. Namun awal
kriminologi yang diterima oleh umum, adalah pada tahun 1870 dengan adanya tulisan Lombroso
L’uomo delinquente (manusia penjahat). Lombroso meneliti hubungan keterkaitannya bentuk fisik,
kepribadian dan pelaku tindak pidana. Selanjutnya mencetuskan teori pelaku tindak pidana bawaan
dan mengembangkan studi tentang genetika dan studi tentang turun-temurun, yangselama periode
inilah istilah kriminologi menjadi populer. Lombroso –nama lengkapnya Cesare Lombroso-(1835 –
1909) lahir di Verona, menempuh pendidikan di Padua, Turin, Viena dan Paris adalah pencetus dan
pengembang kriminologi. Lombroso seorang tabib (dokter) penjara memimpin rumah sakit jiwa di
Pesaro dan ahli psikhiater, kemudian guru besar dalam ilmu kedokteran kehakiman di Pavia yang
selama 30 (tiga puluh) tahun sebagai profesor dalam ilmu penyakit jiwa dan anthropologi pada
Universitas Turin. Jalan pikiran Lombroso dipengaruhi oleh pandanganGall seorang ahli anatomi dan
phisiologi yang mengajarkan bahwa; bakat dan watak manusia ditentukan oleh otak, dan otak
mempengaruhi bentuk tengkorak, oleh karena otak dapat diperhatikan dan diukur, maka
pembawaan, watak dan bakat manusia dapat dipelajari secara ilmiah. Lombroso –sebagai seorang
doktertentara-terpukul denganfrekuensi tato yang relatif besardengan gambar-gambar yang relatif
tidak patut (tidak senonoh)yang terdapat pada prajurit yang “kejam" apabila dibandingkan pada
prajurit yang “tulus hati”. Hal ini mendorong untuk menyelidiki ciri fisik pasien dan belakangan dari
penjahat. Bapak Kriminologi ini dikesankan oleh ketidakbiasaan (keadaan luar biasa) yang ditemukan
waktu otopsi mayat pada sejumlah penjahat ulung. Lombroso melakukan penelitian terhadap 3000
(tiga ribu) tentara dan serangkaian 383 tengkorak para penjahat dan dengan demikian berusaha
untuk menunjukkan tanda-tanda yang membedakan antara penjahat dan bukan penjahat. Lombroso
lewat rekam mediknya mencatat prosentase frekuensi suatu daftar yang amat banyak tentang
kelainan atau keluarbiasaan pada gigi, kekuatan tengkorak, bentuk dahi yang menonjol, hidung yang
bengkok, telinga yang tidak sesuai ukuran dan seterusnya yang telah ditemukan.Sementara pikiran
Lombroso juga dipengaruhi oleh ajaran Agus Comte dan Charles Darwin, sementaraahli
menggolongkan ajaran Lombroso ke dalam aliran “positivisme”.57Pada tahun 1876 menulis buku
termasyhurnya L’uomo delinquente (manusia penjahat) dan pendiri serta tokoh aliran anthropologis
atau mazhab Italia, ajarannya dikenal dengan nama leer van de geboren misdadiger (teori tentang
manusia penjahat karena kelahiran). Kelahiran manusia telah menentukan aanleg ataubakat/dasar
manusia untuk kemudian menjadi penjahat. Hampir 40 % dari penjahat-penjahat, yang biasanya
diberi nama beroepsmisdadigers yaitu orang-orang yang melakukan kejahatan karena memang
sudah menjadi pekerjaannya, adalah penjahat karena menjadi penjahat sesuai dengan bakat mereka
yang telah ditentukan karena kelahiran mereka. 58Selain itu Lombroso juga menganut ajaran
Virchow seorang genius dari banyak bidang yang melakukan penelitian para pelaku kejahatan. Dari
ajaran Virchow, Lombroso memungut dasar-dasar pikiran mengenai atavismedan degenerasi yang
ditemukan pada tengkorak manusia penjahat.59Kemudian diperluas dengan suatu penyelidikan
yang meliputi antropometri dan ilmu firasat mengenai 5097 penjahat. Perbandingan tengkorak
orang biadab dengan orang pra sejarah membawa suatu kesimpulan bahwa penjahat dari lahirnya
menurut tipe fisik dapat dikatakan sebagai pemunculan kembali di jaman modern ini yang
menggambarkan sifat orang primitif dan bahkan binatang. Orang pra sejarah sifatnya adalah a
moral, bahwa kemudian dengan perjalanan waktu ia dapat memperoleh sifat-sifat susila (moral),
maka seorang penjahat merupakan suatu gejala avatisme, artinya bahwa ia dengan sekonyong-
konyong mendapat kembali sifat-sifat yang sudah tidak dimiliki oleh nenek moyangnya yang
terdekat, namun dimiliki oleh nenek moyangnya yang lebih jauh yang dinamakan pewarisan sifat
secara jauh kembali. Atau dengan perkataan lain timbulnya kemunduran dari kondisi manusia
budaya, kembali surut pada kondisi manusia liar, buas dan primitif sebagai sifat nenek
moyang.Mereka yang mempunyai bakat untuk menjadi penjahat pada umumnya mempunyai
beberapa tanda biologis tertentu pada badan mereka. Misalnya sebagai tanda anatomis (tampang
penjahat?) orang yang bersangkutan mempunyai bentuk schedelvorm atautengkorak yang tertentu,
sedangkan sebagai tanda psikhis orang itu sangat malas, kejam dan sebagainya. Penjahat adalah
suatu tipe manusia tertentu, yaitu suatu tipe manusia yang degenerasi atau mundur.Penjahat
memiliki kondisi yang sangat rendah dalam proses evolusi, sehingga mereka tertinggal dan tetap
pada kondisi pada alam primitif yang liar, buas dan ganas.61Justru tanda-tanda biologis itu
menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan ditakdirkan menjadi penjahat.Ajaran Lombroso masih
tetap ada penganutnya, meski jumlahnya sudah berkurang. Apalagi mereka yang masih tetap
menganut ajaran Lombroso dipaksa memperhatikan juga pengaruh milieu atau lingkungan atas sikap
manusia. Betapa pun bakat manusia dianggap faktor terpenting yang menentukan apakah seseorang
menjadi penjahat atau bukan. Aliran yang tetap berpegang pada konsep geboren misdadiger dikenal
dengan nama Neo-Lombroso. Ajaran Lombroso dengan aliran anthropologisnya mendapat
tentangan hebat oleh aliran milieu. Lacassagne sebagai tokohnya atau juga disebut mazhab Perancis,
dalam Premier Congres International d’ Anthropologie Criminelle pada tahun 1885. Menurut
Sutherland, beberapa pendapat Lombroso adalah sebagai berikut: 1.Penjahat dilahirkan dengan tipe
tertentu; 2.Tipe termaksud, dapat dikenal dengan beberapa tanda, misalnya bentuk kepala yang
asimetris, dagu yangmemanjang, hidung pesek, jenggot yang jarang dan mudah merasa
sakit;3.Tanda-tanda itu tidak merupakan penyebab kejahatan; lebih menunjukkan pada pribadi yang
cenderung untuk melakukan kejahatan dan sebagai pribadi yang kembali memiliki tipe dan watak
manusia liar (suatu atavisme/timbulnya sifat nenek moyang)atau suatu degenerasi yang sejenis
epilepsi; 4.Oleh karena alam pribadi yang demikian, mereka tidak mampu untuk menghindari
kejahatan, kecuali bilamana keadaan lingkungan tidak memberi kesempatan untukberbuat
jahat;5.Beberapa pengikut Lombrosoberpendapat bahwa ada beberapa jenis penjahat, misalnya
pencuri, pembunuh atau pelanggar sex dapat dibedakan antara yang satu dengan lainnya,
yaitudengan meneliti tanda-tanda phisik mereka.63Sedangkan George Godwinsecara tegas
menyatakan sebagai berikut:“Though Lombroso’s positivism is now mainly discredited, he remains
the father of criminology, since he was the firsf man of science to study the criminalrather than the
crime. He thus retarding it by untenable theory of criminal. Demikian George Godwin memandang
Cesare Lombroso sebagai Bapak Kriminologi, oleh karena penyelidikan Lombroso lebih diarahkan
pada unsur manusia, manusia yang melakukan kejahatan, dan bukan diarahkan pada
kejahatan.65Tidak semua ahli kriminologi mengakui keunggulan Lombroso, sebab dalam melakukan
penelitian kepribadian penjahat meggunakan tindakan atau metode kuantitatif yang berakibat
timbulnya suatu penekanan berlebihan yang memancarkan pada aspek kepribadian fisik dan pada
faktor turun temurun. Lombroso dikritik oleh ahli biologi karena sedikit pengetahuannya ilmu
keturunan (genekhologi), ciri-ciri kepercayaan yang nyata yang diperolehnya itu diwariskan,
memakai metode statistik yang keliru dan pengetahuan tentang orang primitif yang tidak
sempurna.66Kriminologi pertengahan abad XX telah membawa perubahan pandangan dari semula
kriminologi menyelidiki kausa kejahatan dalam masyarakat, kemudian mengalihkan pandangannya
kepada proses pembentukan perundang-undangan yang berasal dari kekuasaan (negara) sebagai
penyebab munculnya kejahatan dan para penjahat baru dalam masyarakat. Kriminologi yang
memandang bahwakekuasaan (negara)adalah penyebab dari kejahatandan seharusnya bertanggung
jawab atasmerebaknya kejahatan dalam masyarakat yang dikenal sebagai aliran kriminologi kritis.
Aliran ini menyebar luas ke Amerika Serikat dan melahirkanaliran New Criminology. Beberapa studi
tentang kejahatan dan alirak klasik (abad XVIII), aliran positivis dan aliran sosiologis (abad XIX) dan
aliranSocial Defence(abad XX) merupakan perkembangan studi kejahatan yang berkisar pada
peranan hubungan individu dan masyarakat, terlepas dari peranan hubungan antara negaradan
masyarakatnya. Aliran kriminologi kritis telah berusaha membalikkan sejarah dan arah
perkembangan studikejahatan dengan menegaskan bahwa perundang-undanganlah yang
mengakibatkan munculnya kejahatan. Pendapat aliran kriminologi kritis tersebut harus diartikan
bahwa dalam perkembangan kejahatan maka peranan negara yang nota benepengatur ketertiban
dan keamanan dalam masyarakat, sangat besar sehingga setiap proses pembentukan perundang-
undangan (pidana) serta langsung atau tidak langsung merupakan proses kriminalisasi (baru).
Pandangan aliran ini bertolak belakang dengan tujuan kita hidup bernegara -antara lain-
mendambakan ketertiban, keamanan dan kesejahteraan sosial, sehingga pandangan ini
menimbulkan pertanyaantentang siapa yang harus dilindungi oleh siapa karena negara sendiri
sebagai “penyebab kejahatan”. Kebenaran pandangan ini sesungguhnya berkaitan dengan proses
stigmatisasi yang melekat terhadap siapa saja yang terbukti sebagai pelaku kejahatan terlepas dari
status sosial, ekonomi, dan status hokum yang dimilikinya. Uraian di atas dapat diterima dalam
kerangka analisis masalah kejahatan yang bersifat individual, dan tidak sepenuhnya dapat
diberlakukan untuk mengungkapkan kejahatan yang bersifat organized crime.

a. Era Global

Era global yang dimulai sekitar tahun 1970 sering dinamakan globalisasi mengandung makna yang
dalam dan terjadi pada segala aspek kehidupan, misalnya ekonomi, sosial budaya, politik, ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan sebagainya, sebagai dampak kemajuan teknologi transpotasi,
komunikasi dan informatika moderen yang luas biasa. Globalisasiyang ditandai oleh informasi
menuntut nilai-nilai dan norma baru dalam kehidupan nasional dan antar bangsa.Kriminologi
sebagai suatu ilmu pada era global memperluas cakrawala keilmuan dengan mengkaji berbagai
kejahatan moderen yang menuntut penanggulangannya secara moderen pula. Ketentuan hukum
yang sesuai dan berlaku serta penegakanhukum atas terjadinya kejahatan menjadi sorotan pula
sebagai bahan kajian kriminologi.Analisis kriminologi tentang organized crimedimulai dengan
penelitian Sutherland(1960) tentang white collar crimeyang terjadi di Amerika Serikat. Sebagian
besar pelaku kejahatan ini adalah mereka yang tergolong kaya, terhormat dan memiliki reputasi
sosial yang baik serta usahawan sehingga kemudian muncul penggolongan kejahatan atas

20.

itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu. Sebagai contoh ketikaSeorang ibu,
yang sengaja tidak memberi susu kepada anaknya, menghendaki dansadar perbuatannya tersebut.
Kealpaan yaitu kurang penduga-duga dan kurangpenghati-hati, maksudnya seseorang berbuat
dengan dapat mengirakan (kennenverwachten) timbulnya akibat, mengetahui adanya kemungkinan,
dapat mengetahuiadanya kemungkinan. Tetapi tidak menghindarkan perbuatannya. Kealpaan
orangtersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik, atau psychis.
Tidaklahmungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguhnya, makaharuslah
ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambilukuran sikap batin orang
pada umumnya apabila ada dalam situasi yang sama dengansi pembuat itu. Sebagai contoh ketika
seorang bapak dengan kealpaanya menaruhpisau di meja dan anaknya mengambil pisau tersebut
dan menusuk seseorang. Sangbapak dapat dipidana karena kealpaanya tersebut.tidak adanya alasan
penghapus pertanggungjawaban pidana yaitu seseorang hanyadapat dipidana apabila tidak adanya
alasan penghapus pertanggung jawaban pidana.Alasan penghapus pertanggungjawaban pidana itu
sendiri yaitu yaitu alasan-alasanyang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi rumusandelik/tindak pidana tidak dipidana. Terbagi menjadi 2 yaitu alasan pembenar
denganmenghapus sifat melawan hukumnya dan alasan pemaaf dengan menghapus
unsurkesalahannya. Seseorang yang memiliki alasan penghapus pertanggungjawabanpidana tidak
dapat dipidana sebagai contoh ketika seorang polisi yang sedang bertugasmengejar maling lalu
maling tersebut melakukan penyerangan terhadap polisi tersebut,lalu polisi tersebut melakukan
penembakan. Polisi ini tidak dapat dipidana karena iamemiliki alasan pemb

21. Bagaimana prosedur berlakunya perjanjian internasional?

Singkatnya, ada 3 tahapan pembuatan perjanjian internasional hingga berlaku mengikat terhadap
suatu negara. Ketiga tahapan pembuatan perjanjian internasional tersebut adalah
negosiasi/perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi (ji

Anda mungkin juga menyukai