Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya negara Indonesia bukanlah sebagai negara agraris semata,
melainkan sebagai negara maritim karena negara Indonesia memiliki luas wilayah
perairan laut yang lebih luas dari pada luas daratannya. 1) Meskipun memiliki laut
yang luas, namun potensi sumber daya kelautan belum dikelola dengan baik dan
maksimal terutama di bidang perikanan, sehingga banyak kasus pencurian ikan
(illegal fishing) yang dilakukan oleh kapal-kapal berbendera asing yang pada
umumnya berasal dari beberapa negara tetangga (neighboring countries) seperti
Thailand, Vietnam, China, dan Filipina.2) Akibatnya negara ditaksir mengalami
kerugian sebesar Rp.101 triliun per tahunnya.3)
Masih maraknya pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal berbendera
asing di wilayah perairan Indonesia tentusangat merugikanpara nelayan yang
notabene didominasi oleh nelayan-nelayan skala kecil, menjadi kalah bersaing,
dan berpotensi mendesak mata pencaharian masyarakat nelayan kecil. 4) Kerugian
lain yang tidak dapat dinilai secara materiil namun sangat terkait dengan harga
diri bangsa, adalah citra negatif bangsa Indonesia di kalangan dunia internasional
karena dianggap tidak mampu mengelola sumber daya kelautan dan perikanan
dengan baik.5)
Sampai saat ini, pembangunan kelautan dan perikanan telah memberikan
sumbangan yang cukup berarti bagi perekonomian nasional dan peningkatan
penerimaan negara. Namun, pelaksanaannya masih dihadapkan pada berbagai
kendala yang harus segera mendapatkan penanganan tersendiri. Berbagai masalah
tersebut, antara lain, masih lemahnya penegakan hukum di bidang perikanan

1)
Gatot Suparmono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan,
Cetakan Pertama, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hal.2.
2)
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Profil DirektoratJenderal Pengawasan Sumber
Daya Kelautan dan Perikanan, (Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, 2012), hal.3.
3)
Ida Kusuma Wardhaningsih, “KKP: Negara Rugi Ratusan Triliun Akibat Penangkapan
Ikan Illegal”, dalamhttp://www.pikiran-rakyat.com/node/278396, diunduh 14 Desember 2014.
4)
Ibid.
5)
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Op.Cit

1
seperti masih maraknya praktik pencurian ikan (illegal fishing), terjadinya
pencemaran laut serta rendahnya kesadaran bangsa akan arti pentingnya dan nilai
strategis sumber daya kelautan.
Bidang perikanan pada dasarnya memiliki prospek masa depan yang
cukup cerah karena dipandang mudah untuk dimanfaatkan dan berpotensi
menampung berbagai aspek seperti dapat menambah pabrik-pabrik pengolahan
ikan dengan jenis produk dengan kualitas unggulan yang tentunya membutuhkan
tenaga kerja sehingga dapat mengurangi angka pengangguran.6) Apabila bidang
perikanan dikelola dengan baik dan profesional niscaya dapat memberikan
penambahan tingkat pendapatan negara yang nantinya dapat digunakan untuk
biaya pembangunan dan mensejahteraan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sejak
pemerintahan Gus Dur dibentuklah lembaga khusus yang membidangi masalah
kelautan dan perikanan yang sekarang dikenal dengan Kementrian Kelautan dan
Perikanan.
Dalam mendukung pelaksanaan pengelolaan bidang perikanan diperlukan
suatu aturan atau hukum yang memadai. Hal ini sejalan dengan konsep negara
Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat) sebagaimana yang telah ditegaskan
dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4. Sampai saat ini, pemerintah
telah mengeluarkan 3 (tiga) kali peraturan hukum tentang perikanan yaitu:
1. Undang-Undang No.9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
2. Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan; dan
3. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Pada penjelasan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
(selanjutnya disebut UU Perikanan), dinyatakan bahwa pelaksanaan penegakan
hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka
menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan berkelanjutan. Adanya
kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan dalam
penanganan tindak pidana di bidang perikanan. Dalam Undang-Undang ini lebih
memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas

6)
Gatot Suparmono, Op.Cit, hal. 3.

2
tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus,
mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim dalam menangani
tindak pidana dibidang perikanan.
Salah satu bentuk penegakan hukum di bidang perikanan yaitu
penenggelaman kapal berbendera asing yang melakukan tindak pidana perikanan
di perairan Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 69 Ayat (4) UU Perikanan
yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus
berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera
asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pada penjelasan Pasal 69 Ayat (4) UU Perikanan dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk
menduga adanya tindak pidana di bidang perikanan oleh kapal perikanan
berbendera asing. Misalnya kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki
Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan
(SIKPI), serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika
memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
Pada praktek di lapangan, SIPI dan SIKPI tidak pernah dikeluarkan untuk
kapal berbendera asing, sehingga sangat sulit bagi penyidik untuk membuktikan
bukti permulaan yang cukup terhadap kapal berbendera asing yang diduga telah
melakukan tindak pidana di bidang perikanan, kecuali apabila penyidik atau
pengawas perikanan yakin bahwa kapal perikanan berbendera asing tersebut
betul-betul melakukan tindak pidana di bidang perikanan, maka dapat melakukan
penenggelaman atau pembakaran guna memberikan efek jera kepada pelaku
pencurian ikan di wilayah Indonesia yang semakin meningkat jumlahnya.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementrian Keluatan dan Perikanan
(KKP), dari tahun 2009-2011 kapal yang telah ditenggelamkan berjumlah 32
kapal perikanan asing, 31 dari Vietnam dan 1 dari Thailand dan semuanya terjadi

3
pada tahun 2009,7) sedangkan untuk periode tahun 2011-2014 tidak ditemukan
adanya kasus penenggelaman kapal asing, karena menurut Hikmahanto Juwana
penenggelaman kapal ilegal selain melanggar hukum perdata, juga memperburuk
citra penegakan hukum. Penanganan terhadap kapal asing harus mengikuti proses
hukum, dengan menunggu keputusan pengadilan, apakah disita, dilelang,
dimusnahkan atau dikembalikan kepada pemiliknya.8)
Tujuan menciptakan efek jera dengan menenggelamkan kapal ikan asing
cukup berani karena mencerminkan ketegasan sikap pemerintah dalam
mewujudkan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) dan bertanggung
jawab (responsible fisheries). Namun demikian banyak kritik dari berbagai pihak
termasuk negara-negara yang menjadi korban penenggelaman karena dalam kasus
penenggelaman kapal asing terkait dengan ketentuan-ketentuan hukum
internasional khususnya Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).9)
Pemuatan Pasal 69 Ayat (4) UU Perikanan yang mengatur ketentuan
penenggelaman kapal asing dengan didasarkan bukti permulaan yang cukup
menjadi sulit untuk dilaksanakan untuk periode tahun 2011-2014 atau untuk
kedepannya. Namun demikian, sejak pemerintahan Jokowi mulai terlihat kembali
adanya penindakan terhadap kapal asing yang melanggar di perairan Indonesia
dengan cara mekanisme penenggelaman kapal. Penenggelaman kapal asing
tersebut tentu sangat berpengaruh dalam proses penegakan hukum perikanan
karena harus mempertimbangkan ketentuan UNCLOS 1982 yang memuat aturan
mengenai penegakan perundang-undangannegara pantai. Apabila penenggelaman
kapal asing yang melanggar ketentuan hanya didasarkan pada Pasal 69 ayat (4)
UU Perikanan tanpa mempertimbangkan hukum laut internasional, maka akan
menuai kecaman masyarakat internasional.

7)
Kementrian Kelsutan dan Perikanan, “Penegakan Hukum di Laut Rancu, UNCLOS
Harus Tetap Jadi Pedoman” dalam http://www.dekin.kkp.go.id, diunduh 4 Mei 2014.
8)
Hikmahanto Juwono, “Penenggelaman Kapal Ilegal Melanggar Hukum”,Kompas,
Selasa, 22 April 2008, dalam http://nasional.kompas.com/read/2008/04/22/21165629/
penenggelaman. kapal.ilegal.melanggar.hukum, diunduh 14 Desember 2014.
9)
Akhmad Solikhin, “Mencermati Revisi UU Perikanan”, Suara Karya Online, Selasa 24
Maret 2009, hal.1, dalam http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/38274/1/109.%20
mencermati%20revisi.pdf, diunduh 14 Desember 2014.

4
Berkenaan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis lebih
mendalam dalam bentuk penulisan tesis dengan judul: Penegakan Hukum Tindak
Pidana Perikanan Terhadap Ilegal Fishing Melalui Mekanisme Penenggelaman
Kapal.

B. Pokok Permasalahanan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana penyidik dapat melakukan penegakan hukum di bidang perikanan
melalui mekanisme penenggelaman kapal asing yang melakukan tindak pidana
perikanan di wilayah perairan Indonesia?
2. Bagaimana akibat hukum dari penegakan hukum di bidang perikanan melalui
mekanisme penenggelaman kapal asing yang melakukan tindak pidana
perikanan di perairan Indonesia apabila dihubungkan dengan UNCLOS 1982?

5
BAB II
ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Penyidik dalam Penegakan Hukum Illegal Fishing Melalui Mekanisme


Berupa Penenggelaman di Perairan Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan Negara
Kepulauan, yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari wilayah perairan
(laut) yang sangat luas, potensi perikanan yang sangat besar dan beragam.
Potensi perikanan yang dimiliki merupakan potensi ekonomi yang dapat
dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung
pembangunan nasional.
Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum pada hakikatnya
merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan,
kebenaran, kemamfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi Penegakan hukum
merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tadi menjadi
kenyataan. Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum (law
enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan hukum
dan penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang dapat
menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat
menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan
lain. Menegakkan hukum tidak persis sama dengan menggunakan hukum.10)
Penenggelaman kapal merupakan bagian dari upaya penegakan hukum
perikanan. Penegakan hukum terhadap tindak pidana di Indonesia dilakukan
melalui proses peradilan pidana sebagaimana ditegaskan dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) dimana setiap bentuk tindak pidana yang terjadi ditangani
melalui tahapan pre ajudikasi, ajudikasi dan post ajudikasi.

10)
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta:
Buku Kompas, 2006), hal. 169.

6
Pada hakikatnya, membicarakan hukum adalah membicarakan
hubungan antarmanusia. Membicarakan hubungan antarmanusia adalah
membicarakan keadilan. Hukum merupakan cita-cita keadilan masyarakat
yang membentuknya. Fungsi hukum sebagai bagian dari perangkat kerja
sistem sosial berfungsi untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan
anggota masyarakat sehingga tercipta suatu ketertiban.11 )

Penegakan hukum akan tercapai setidaknya dengan adanya upaya


penegakan hukum. Menurut Lawrence M. Friedman12) berhasil atau
tidaknya Penegakan hukum bergantung pada: Substansi Hukum, Struktur
Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum. Teori Friedman tersebut
dapat dijadikan patokan dalam mengukur proses penegakan hukum tindak
pidana perikanan.
Penegakan hukum dan penggunaan hukum adalah dua hal yang
berbeda. Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi
orang juga dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan
atau kepentingan lain. Menegakkan hukum tidak persis sama dengan
menggunakan hukum.13)
Penegakan hukum merupakan subsistem sosial, sehingga
penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti
perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan
dan sebagainya. Penegakan hukum harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip
negara hukum sebagaimana tersirat dalam UUD 1945 dan asas-asas hukum
yang berlaku di lingkungan bangsa-bangsa yang beradab (seperti the Basic
Principles of Independence of Judiciary), agar penegak hukum dapat

11)
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), Cet ke-5, hal.
159.
12)
Friedman, Lawrence M. Law and Society An Introduction. (New Jersey: Prentice Hall
Inc, 1977) dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009), hal.225.
13)
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta:
Buku Kompas, 2006), hal. 169.

7
menghindarkan diri dari praktik-praktik negatif akibat pengaruh lingkungan
yang sangat kompleks tersebut.14)
Penegakan hukum ditujukan guna meningkatkan ketertiban dan
kepastian hukum dalam masyarakat. Hal ini dilakukan antara lain dengan
menertibkan fungsi, tugas dan wewenang lembaga-lembaga yang bertugas
menegakkan hukum menurut proporsi ruang lingkup masing-masing, serta
didasarkan atas sistem kerjasama yang baik dan mendukung tujuan yang
hendak dicapai. 15)
Hikmahanto Juwono menyatakan di Indonesia secara tradisional
institusi hukum yang melakukan penegakan hukum adalah kepolisian,
kejaksaan, badan peradilan dan advokat. Di luar institusi tersebut masih ada
diantaranya, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Direktorak Jenderal Pajak,
Direktorat Jenderal Imigrasi. Problem dalam penegakan hukum meliputi
hal: 16)
1. Problem pembuatan peraturan perundang-undangan.
2. Masyarakat pencari kemenangan bukan keadilan.
3. Uang mewarnai penegakan hukum.
4. Penegakan hukum sebagai komoditas politik, penegakan hukum yang
diskriminatif dan ewuh pekewuh.
4. Lemahnya sumberdaya manusia.
5. Advokat tahu hukum versus advokat tahu koneksi.
7. Keterbatasan anggaran.
8. Penegakan hukum yang dipicu oleh media masa.
Problem tersebut di atas memerlukan pemecahan atau solusi, dan negara yang
dalam hal ini diwakili pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang
bertujuan memperbaiki kinerja institusi hukum, aparat penegak hukum dengan
anggaran yang cukup memadai sedang output-nya terhadap perlindungan
warganegara diharapkan dapat meningkatkan kepuasan dan sedapat mungkin
14)
Ibid, hal. 70
15)
Sanyoto, “Penegakan Hukum di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 8 No. 3
September 2008.
16)
Hikmahanto Juwono, Penegakan hokum dalam Kajian Law and Development: Problem
dan Fundamen Bagi Solusi di Indonesia, Jakarta : Varia Peradilan No.244, 2006, hlm. 13.

8
mampu menjamin ketentraman dan kesejahteraan sosial bagi seluruh anggota
masyarakat. 17)
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto, ada 5 hal yang mempengaruhi efektif atau tidaknya penegakan
hukum, yaitu:18)
1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri (undang-undang).
Kemungkinannya adalah bahwa terjadinya ketidak cocokan dalam
peraturan perundang-undangan mengenai bidang kehidupan tertentu.
Kemungkinan lainnya adalah ketidak cocokan peraturan perunadang-
undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala
ketidakserasian antara hukum tercatat dengan hukum kebiasaan dan
seterusnya.
2. Faktor penegak hukum. Yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum. Mentalitas petugas yang menegakan hukum atara lain
mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan dan
seterusnya. Jika hukumnya baik tapi mental orang yang
bertangggungjawab untuk menegakkan hukum tersebut masih belum
mantap, maka bisa menyebabkan terjadinya gangguan dalam sistem
hukum itu sendiri.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Kalau
hukumnya baik dan mentalitas orang yang bertugas menegakkan hukum
juga baik namun jika fasilitasnya kurang memadai, maka hukum tadi bisa
saja berjalan tidak sesuai dengan rencana.
4. Faktor masyarakat. Yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
di tetapkan. Faktor masyarakat disini adalah, bagaimana kesadaran
masyarakat akan hukum yang ada.
5. Faktor kebudayaan. Yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang di
dasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Bagaiman hukum

17)
Bagir Manan, “Persepsi masyarakat mengenai Pengadilan dan Peradilan yang baik”,
Jakarta : Varia Peradilan No.258 Mei 2007, hlm. 5.
18)
Soerjono Soekanto, FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 8

9
yang ada bisa masuk kedalam dan menyatu dengan kebudayaan yang ada,
sehingga semuanya berjalan dengan baik.
Relevan dengan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono
Soekanto tersebut, Romli Atmasasmita mengatakan faktor-faktor yang
menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap
mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum)
akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering
diabaikan.19)
Konsepsi operasional tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat
dengan didasarkan pada dua konsep yang berbeda yaitu konsep tentang
ramalan-ramalan mengenai akibat-akibat (prediction of consequences) yang
dikemukakan oleh Lundberg dan Lansing tahun 1973 dan konsep Hans Kelsen
tentang aspek rangkap dari suatu peraturan hukum.20)
Diantara sekian banyak masalah ekonomi ilegal, praktik pencurian
ikan atau IUU (Illegal, Unregulated and Unreported  fishing practices) oleh
nelayan-nelayan dengan menggunakan kapal berbendera asing adalah yang
paling banyak merugikan negara. Dampak yang nyata adalah penangkapan
ikan berlebih (overfishing) dan kelebihan kapasitas (overcapacity) yang
mengancam kelestarian sumber daya ikan. Saat ini sebagian besar wilayah laut
dan ZEE Indonesia sudah pada level merah (overfishing don overcapacity).
IUU fishing juga menyebabkan iklim usaha perikanan tidak kondusif,
melemahnya daya saing perusahaan, dan termarginalkannya nelayan skala
kecil. Kerugian lainnya adalah munculnya citra negatif yang amat
berpengaruh terhadap harga diri bangsa, karena Indonesia dianggap tidak
mampu mengelola sumber daya kelautan dan perikanannya dengan baik.
Jumlah kerugian berdasarkan perkiraan Food and Agriculture
Organization (FAO) adaiah sebesar Rp.30 triliun/tahun, sedangkan
berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh pakar pada tahun 2009, khusus

19)
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum,
(Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 55
20)
Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum,
(Semarang: CV Agung, 1989), hal. 23

10
di Laut Arafura kerugian yang dialami mencapai Rp. 11,3 triliun/tahun.
Kerugian tersebut bisa jauh lebih besar apabila memperhitungkan kerugian
dari aspek kerusakan lingkungan sumber daya keiautan dan perikanan yang
ditimbutkan dan juga kerugian dari aspek sosial ekonomi masyarakat nelayan
yang secara langsung dirugikan oleh praktek IUU Fishing.
Aktivitas pencurian ikan oleh para nelayan asing juga merusak
kelestarian stok ikan laut Indonesia, karena biasanya mereka menangkap ikan
dengan teknologi yang tidak ramah lingkungan.  Hal yang sangat penting
dicermati adalah apabila terus membiarkan terjadinya illegal fishing, maka
kedaulatan wilayah pun bisa terongrong, oleh karenanya, harus ada upaya
strategis dan signifikan dalam rangka menanggulangi  aktivitas pencurian ikan
secara illegal di wilayah perairan laut Republik Indonesia.
Fungsionalisasi hukum sebagai sarana pengelolaan sumber daya
perikanan, disamping sarana-sarana lainnya, memiliki kelebihan yang tidak
dimiliki sarana lainnya, yakni sifat mengikat dan/atau memaksa dari hukum
itu. Namun demikian, perumusan kaidah-kaidah kebijakan pengelolaan
sumber daya perikanan dalam suatu perundang-undangan tidak serta merta
menyelesaikan permasalahan yang ada, karena efektivitas hukum tersebut
akan sangat tergantung pada aspek operasionalnya. Disinilah peran sanksi
yang seringkali dinilai penting dan sangat menentukan untuk tercapainya
kepatuhan, terlebih lagi sanksi hukum pidana.
Penegakan hukum merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan tegaknya supremasi hukum. Dalam proses penegakan hukum,
penyidik memegang peranan yang sangat penting, karena merupakan aparat
hukum yang menggerakkan mekanisme sistem peradilan pidana. Pelaksanaan
penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis
dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai
dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat
berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum
merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-Undang
Perikanan lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap

11
penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula
sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-
undang hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut
menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan, sedangkan hukum
yang baik dibentuk dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan yang
ada dalam masyarakat, baik kepentingan masyarakat dan kepentingan
individu/pribadi. 21)
Penegakan hukum dalam tataran teoretis, bukan saja hanya
memberikan sanksi kepada orang atau badan hukum yang melakukan
pelanggaran terhadap suatu peraturan perundang-undangan, tetapi perlu pula
dipahami bahwa penegakan hukum tersebut juga berkaitan dengan konsep
penegakan hukum yang bersifat preventif. Namun demikian, dalam
terminologi penegakan hukum saat ini telah mengarah pada satu tindakan
yakni menjatuhkan sanksi pidana. Penegakan hukum yang ada kaitannya
dengan kegiatan usaha perikanan ini, dikaitkan dengan suatu tindakan yang
akan memberikan sanksi kepada setiap orang atau badan hukum yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Pelanggaran hukum
dalam peraturan perundang-undangan perikanan ini, sama halnya dengan
pelanggaran pidana pada umumnya, yang prosesnya sama dengan perkara
pidana biasa yang sebelum diajukan ke pengadilan, maka terlebih dahulu
didahului oleh suatu proses hukum yang lazim disebut penyidikan.
Dalam kaitannya dengan penegakan hukum usaha perikanan, maka
untuk menopang penegakan hukum di bidang perikanan yang bersangkutan
perlu dibentuk lembaga peradilannya. Dalam Pasal 71 Undang-Undang No. 31
Tahun 2004 dinyatakan bahwa dengan Undang-Undang ini dibentuk
pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus

21)
Zainab Ompu Jainah, “Penegakan Hukum dalam Masyarakat”, Journal of Rural of
Development, Vol. III No. 12 Agustus 2012, hlm. 1.

12
tindak pidana di bidang perikanan (Ayat (1)). Pengadilan perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di lingkungan peradilan umum
(Ayat (2)). Untuk pertama kali pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak,
Bitung, dan Tual (Ayat (3)). Daerah hukum pengadilan perikanan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) sesuai dengan daerah hukum pengadilan
negeri yang bersangkutan (Ayat (4)). Pengadilan perikanan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (3) paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
Undang-Undang ini mulai berlaku, sudah melaksanakan tugas dan fungsinya
(Ayat (5)). Pembentukan pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan
dengan Keputusan Presiden (Ayat (6)).
Ketentuan yang termasuk dalam Pasal 71 Undang-Undang No. 31
Tahun 2004 telah diubah oleh Pasal 71 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009
yang menyatakan bahwa dengan undang-undang ini bentuk pengadilan
perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana
di bidang perikanan (Ayat (1)). Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1) merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan
peradilan umum (Ayat (2)). Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1) akan dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan,
Pontianak, Bitung, dan Tual (Ayat (3)). Pengadilan perikanan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) berkedudukan di Pengadilan Negeri (Ayat (4)).
Pembentukan pengadilan perikanan selanjutnya dilakukan secara bertahap
sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Ayat
(5)).
Peranan pengadilan perikanan untuk saat ini sangat dibutuhkan apalagi
melihat maraknya illegal fishing yang terjadi di wilayah perikanan Republik
Indonesia, apalagi yang dilakukan oleh warga negara asing, sehingga Pasal 71
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 ditambah satu pasal lagi yakni Pasal 71A
yang berbunyi pengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di

13
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, baik yang
dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing.
Penyidikan ini dilakukan oleh suatu lembaga tertentu yang tugas dan
tanggung jawabnya khusus di bidang penyidikan, yakni Kepolisian Republik
Indonesia. Khusus untuk perkara perikanan ini, walaupun mempunyai
pengadilan sendiri, tetapi hukum acara yang dipergunakan tetap mengacu pada
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Pasal 72
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 dinyatakan bahwa penyidikan dalam
perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan berdasarkan hukum
acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Oleh
karena itu, penyidik yang diserahi tugas untuk melakukan penyidikan atas
terjadinya tindak pidana perikanan diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang No.
31 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa penyidikan tindak pidana di bidang
perikanan dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL,
dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (ayat (1)). Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi (ayat (2)).
Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang
perikanan, Menteri dapat membentuk forum koordinasi (ayat (3)). Penyidik
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berwenang:
(a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana di bidang perikanan;
(b) Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;
(c) membawa dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/atau saksi
untuk didengar keterangannya;
(d) Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga dipergunakan
dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan
kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang
perikanan;
(e) Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;

14
(f) Memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang per-
ikanan;
(g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
tindak pidana di bidang perikanan;
(h) Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
(i) Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil
tindak pidana;
(j) Melakukan penghentian penyidikan; dan
(k) Mengadakan tindakan lain yang menurut hukum bertanggung jawab (Ayat
(4)).
Penyidik sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut
umum (Ayat (5)). Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan
tersangka paling lama 20 (dua puluh) hari (Ayat (6)). Jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) apabila diperlukan untuk kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum
paling lama 10 (sepuluh) hari (Ayat (7)). Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dan ayat (7) tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan
dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan
pemeriksaan sudah terpenuhi (ayat (8)). Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari
tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi
hukum (Ayat (9)).
Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 73 Undang-Undang No. 31
Tahun 2004 mengalami perubahan oleh Pasal 73 Undang-Undang No. 45
Tahun 2009 yang menyatakan bahwa penyidikan tindak pidana di bidang
perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia
dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira
TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Ayat (1)).
Selain penyidik TNI AL, Penyidik pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang
terjadi di ZEE (Ayat (2)). Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang

15
perikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan, diutamakan dilakukan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan (ayat (3)). Penyidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi dalam penanganan
penyidikan tindak pidana di bidang perikanan (ayat (4)). Untuk melakukan
koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (4), Menteri membentuk forum koordinasi (Ayat (5)).
Selain itu, ketentuan penyidikan terhadap tindak pidana perikanan ini
ditambah menjadi dua pasal, yaitu Pasal 73A dan Pasal 73B Undang-Undang
Perikanan. Dalam Pasal 73A dinyatakan bahwa penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 berwenang:
(a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana di bidang perikanan;
(b) Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar
keterangannya;
(c) Membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atausaksi
untuk didengar keterangannya;
(d) Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan
dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikaaan;
(e) Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan
kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang
perikanan;
(f) Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;
(g) Memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang per-
ikanan;
(h) Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak
pidana di bidang perikanan;
(i) Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
(j) Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil
tindak pidana;
(k) Melakukan penghentian penyidikan; dan

16
(l) Mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat dipertanggung-
jawabkan.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 73 A di atas, maka penyidik pegawai
negeri sipil perikanan diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk
melakukan tindakan yang ada kaitannya dengan penyidikan tersebut. Dalam
Pasal 73B Undang-Undang Perikanan dinyatakan bahwa penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 memberitahukan dimulainya
penyidikan kepada penuntut umum paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditemukan
adanya tindak pidana di bidang perikanan (ayat (1)).
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka
paling Jama 20 (dua puluh) hari (ayat (2)). Jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan
yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10
(sepuluh) hari (ayat (3)). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan
sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi (ayat (4)). Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut,
penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum (ayat
(5)). Penyidik sebagaimana dimaksud daiam Pasal 73A menyampaikan hasil
penyidikan ke penuntut umum paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
pemberitahuan dimulainya penyidikan (ayat (6)).
Untuk mewujudkan penegakan hukum di bidang perikanan yang telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan ini dengan baik, dan lebih
berdaya guna, maka Menteri mengeluarkan Peraturan No. Per.13/Men/2005
tentang forum koordinasi penanganan tindak pidana di bidang perikanan yang
merupakan peraturan pelaksanaan Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang No. 31
Tahun 2004. Dalam Pasal 1 Permen Kelautan dan Perikanan No. Per.
13/Men/2005 diatur khusus mengenai kedudukan, tugas, dan fungsi lembaga
forum koordinasi, bahwa guna mendukung kelancaran pelaksanaan tugas
penyidik dan untuk memperlancar komunikasi serta tukar menukar data,
informasi, dan hal-hal lain yang diperlukan daiam rangka efektivitas dan

17
efisiensi penanganan dan/atau penyelesaian tindak pidana di bidang perikanan
secara terpadu, dibentuk Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di
Bidang Perikanan (ayat (1)).
Forum penanganan tindak pidana di bidang perikanan ini bertanggung
jawab sepenuhnya kepada Menteri Perikanan dan Kelautan, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 2 Permen Kelautan dan Perikanan No. Per. 13/Men/2005,
bahwa Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berkedudukan di bawah dan
bertanggungjawab kepada Menteri Kelautan dan Perikanan (ayat (2)). Dengan
demikian, maka kedudukan forum ini bertugas untuk mengkoordinasikan
semua kegiatan penyidikan di bidang perikanan. Daiam Pasal 3 Permen
Kelautan dan Perikanan No. Per.13/Men/2005 dinyatakan bahwa Forum
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan sebagaimana
dimaksud daiam Pasal 1 mempunyai tugas mengkoordinasikan kegiatan
penyidikan tindak pidana di bidang perikanan (ayat (3)).
Dalam rangka menjalankan tugas dengan baik, maka forum ini
dilengkapi dengan fungsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Permen
Kelautan dan Perikanan No. Per.13/Men/2005 bahwa dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud daiam Pasal 3, Forum Koordinasi Penanganan
Tindak Pidana di Bidang Perikanan menyelenggarakan fungsi:
(a) Koordinasikegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan;
(b) Identifikasi jenis, modus operandi, volume, dan penyebaran praktik-
praktik tindak pidana di bidang perikanan;
(c) Penetapan jenis tindak pidana di bidang perikanan yang diprioritaskan
untuk diproses secara bertahap;
(d) Penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat untuk mencegah
terjadinya tindak pidana di bidang perikanan;
(e) Analisis, identifikasi, dan pengukuran signifikansi tindak pidana di bidang
perikanan secara periodik;
(f) Perancangan bentuk-bentuk koordinasi kegiatan-kegiatan pemberantasan
tindak pidana di bidang perikanan;

18
(g) Perumusan dan pemutakhiran strategi pemberantasan tindak pidana di
bidang perikanan;
(h) Pemantauan dan penyajian laporan pelaksanaan pemberantasan tindak
pidana di bidang perikanan;
(i) Pengkajian dan evaluasi efektivitas strategi pemberantasan tindak pidana
di bidang perikanan secara berkelanjutan (ayat (4)).
Sejalan dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 4 di atas, maka
forum koordinasi tindak pidana perikanan ini dilengkapi pula dengan susunan
personalia, sesuai ketentuan dalam Pasal 5 Permen Kelautan dan Perikanan
No. Per.13/Men/2005, bahwa susunan anggota Forum Koordinasi Penanganan
Tindak Pidana di Bidang Perikanan terdiri dari:
(a) Ketua: Menteri Kelautan dan Perikanan.
(b) Wakil Ketua I: Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
(c) Wakil Ketua II: Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(d) Sekretaris I merangkap anggota: Direktur Jenderal Pengawasan dan
Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, DKP.
(e) Sekretaris II merangkap Anggota: Asisten Operasional Kepala Staf
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
(f) Anggota:
(1) Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Kejaksaan Agung;
(2) Kepala Badan Pembinaan Hukum Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
(3) Dirjen Imigrasi, Departemen Hukum dan HAM;
(4) Dirjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan;
(5) Dirjen Bea Cukai, Departemen Keuangan;
(6) Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
(7) Direktur Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung (ayat (5)).

Selain itu, untuk lebih efektifnya kerja forum koordinasi tindak pidana
di bidang perikanan ini, dilengkapi pula dengan tim teknis sebagai tim yang

19
khusus menangani segala masalah di bidang penyidikan tersebut. Dalam Pasal
6 Permen Kelautan dan Perikanan No. Per.13/Men/2005 diatur khusus
mengenai kedudukan, tugas, dan fungsi lembaga forum koordinasi, bahwa
untuk mendukung tugas Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di
Bidang Perikanan, dibentuk Tim Teknis sesuai dengan kebutuhan (ayat
(1)).Keanggotaan Tim Teknis terdiri dari instansi terkait dan ditetapkan oleh
Ketua Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan
(ayat (2)). Tim Teknis dalam melaksanakan tugasnya menyampaikan laporan
dan bertanggung jawab kepada Ketua Forum Koordinasi Penanganan Tindak
Pidana di Bidang Perikanan (ayat (3)).
Sementara itu, forum tindak pidana perikanan ini juga dapat dibentuk
di daerah yang dibawahi langsung oleh Gubernur, sesuai ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 7 Permen Kelautan dan Perikanan No.
Per.13/Men/2005, bahwa Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di
Bidang Perikanan di daerah ditetapkan oleh Gubernur untuk Provinsi dan
Bupati/Walikota untuk Kabupaten/Kota (ayat (1)). Keanggotaan Forum
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan di daerah terdiri
dari instansi terkait di Provinsi atau Kabupaten/Kota setempat (Ayat (2)).
Kemudian segala pembiayaan yang timbul dari adanya kegiatan ini
dibebankan pada beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dalam Pasal 8 Permen Kelautan dan
Perikanan No. Per.13/Men/2005 dinyatakan bahwa segala biaya yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas Forum Koordinasi Penanganan Tindak
Pidana di Bidang Perikanan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Departemen Kelautan dan Perikanan.
Dalam proses hukum dalam perkara perikanan di Indonesia, saat ini
masih banyak mengalami kendala seperti masih minimnya pengadilan
perikanan, dan masih banyak pertimbangan teknis yang perlu dipersiapkan
lebih dahulu, misalnya sarana dan prasarana pendukung, serta sumber daya
manusia yang menggerakkannya, khususnya hakim yang betul-betul
memahami masalah perikanan dan wilayah pesisir dengan baik.

20
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Undang-
Undang Perikanan terdapat 3 (tiga) instansi yang berwenang dalam penegakan
hukum perikanan, yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), serta Kepolisian Negara
Republik Indonesia (POLRI). Ketiga instansi tersebut sama-sama berwenang
untuk menangani perkara yang sama, artinya sama-sama bisa melakukan
penyidikan, pemberkasan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) serta
menyerahkannya kepada Jaksa Penuntut Umum tanpa ada keterpaduan sistem
dalam pelaksanaannya. Sehingga dalam kenyataan di lapangan seringkali
terjadi konflik kewenangan dalam penegakan hukum perikanan. Konflik
kewenangan ini bisa bersifat negatif tetapi bisa juga konflik kewenangan yang
bersifat positif (sama-sama berwenang). Konflik kewenangan yang terjadi
sangatlah tidak menguntungkan dan harus segera di carikan jalan keluarnya
secara hukum.
Dalam dunia hukum mengenal ada tiga sumber kewenangan, yaitu
Kewenangan atribusi, delegasi dan mandat. Dikaitkan dengan ini maka
kewenangan penegakan hukum perikanan oleh ketiga instansi penegakan
hukum perikanan tersebut yang bersumberkan pada Undang-Undang
Perikanan, maka kewenangan tersebut merupakan kewenangan atribusi.
Secara hukum ketiga instansi penegak hukum perikanan tersebut sama-sama
berwenang untuk membuat aturan hukum yang bersifat regulasi dalam
menjalankan kewenangannya untuk menegakan hukum perikanan.
Pembentukan aturan hukum regulasi tersebut harus berdasarkan Undang-
Undang No.11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, karena disadari bahwa seluruh tindak pemerintahan di bidang
penegakan hukum harus berdasarkan pada asas legalitas (berdasarkan pada
aturan hukum yang jelas).
Penyelesaian konflik-konflik kewenangan ini perlu dilakukan dengan
pendekatan hukum. Perlu dibentuk suatu forum koordinasi seperti yang telah
ditentukan dalam Pasal 73 ayat (5) Undang-Undang No.45 tahun 2009 tentang
Perikanan. Meskipun pada kenyataannya telah dikeluarkan peraturan Menteri

21
Kelautan dan Perikanan No.PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi
Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan, belumlah dapat
menyelesaikan konflik kewenangan dalam penegakan hukum perikanan.
Dilihat dari kewenangan kelembagaan jelas Forum Koordinasi tidak
mempunyai wewenang kelembagaan artinya apabila salah satu dari ketiga
instansi penegak hukum perikanan tersebut tidak melakukan koordinasi maka
tidak ada akibat hukumnya. Dan kenyataan yang ada di lapangan penegakan
hukum perikanan dilakukan tanpa koordinasi dan berjalan sendiri-sendiri
(sektoral) tanpa ada keterpaduan sistem. Hal ini dapat menimbulkan tindakan
penyalahgunaan wewenang (membuka pintu Korupsi Kolusi dan Nepotisme)
dan tindakan sewenang-wenang oleh ketiga instansi penegak hukum perikanan
tersebut. Disamping itu juga tidak adanya lembaga pengawas yang mengontrol
dan mengawasinya. Oleh karena itu perlu adanya lembaga pengawasan
penegakan hukum perikanan serta perlu adanya keterpaduan sistem
(Integrated System) dalam pelaksanaannya. Keterpaduan sistem itu misalnya
dengan Online Integrated System. Contohnya apabila salah satu instansi
penegak hukum perikanan tersebut melakukan penangkapan terhadap kapal
yang melakukan illegal fishing, instansi lain juga bisa memonitor tindakan itu.
Bahkan instansi Kejaksaan dan Pengadilan Perikanan juga bisa memantau.
Sehingga otomatis juga akan terjadi suatu pengawasan terhadap ketiga instansi
penegak hukum perikanan tersebut. Apabila dengan cara online integrated
system ini belum bisa dilaksanakan, maka perlu dipikirkan untuk membentuk
suatu lembaga pengawasan independen yang dibentuk dengan Undang-
Undang dan laporan pertanggungjawabannya langsung ke DPR.
Berdasarkan hal tersebut, penenggelaman dan pembakaran kapal
berbendera asing dapat dilakukan apabila Indonesia sudah memiliki perjanjian
bilateral dengan negara bendera kapal yang akan dikenakan proses penegakan
hukum berupa penenggelaman dan pembakaran kapal. Apabila penyidik
melakukan tindakan berupa penenggelaman dan pembakaran kapal berbendera
asing sebelum adanya perjanjian bilateral, maka tindakan tersebut melanggar
hukum internasional dalam hal ini Unclos 1982.

22
Salah satu bentuk penegakan hukum tindak pidana perikanan yaitu
penenggelaman kapal oleh penyidik. Untuk menjamin terlaksananya Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 yang memberikan kewenangan
penyidikan kepada PPNS perikanan, Perwira TNl AL dan pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia, perlu disusun pedoman yang dapat digunakan
oleh ketiga unsur penyidik tersebut, agar seluruh unsur penyidik tersebut dapat
melaksanakan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dengan
hasil yang lebih optimal.
Sebagian besar mekanisme penenggelaman kapal yang dilaksanakan
adalah berdasarkan putusan pengadilan. Adapun pelaksanaan Pasal 69 Ayat
(4) Undang-Undang Perikanan dilaksanakan apabila kapal ikan asing pelaku
IUU fishing melakukan tindakan atau manufer yang membahayakan
keselamatan aparat penegak hukum. Hal tersebut juga dijelaskan dalam
Piagam Kesepakatan Bersama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan
Dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut (KKP-Polri-TNI AL), bahwa kebijakan penenggelaman kapal
dapat dilakukan dalam hal kapal melakukan manuver yang membahayakan
dan atau ABK melakukan perlawanan tindak kekerasan maka dapat diambil
tindakan bela diri berupa penenggelaman kapal atau dalam kondisi forced
major seperti halnya jika Nakhoda atau ABK kapal asing melakukan
perlawanan yang membahayakan keselamatan kapal penyidik TNI AL atau
pengawas perikanan, maka dapat melakukan penenggelaman.
Penegakan hukum merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan tegaknya nasi hukum. Dalam proses penegakan hukum, penyidik
memegang peranan yang penting, karena merupakan aparat hukum yang
menggerakkan mekanisme Sistem lan Pidana, yaitu mulai dari ditemukannya
suatu peristiwa yang patut diduga merupakan pidana di bidang perikanan,
diteruskan dengan proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik akan menjadi
bahan penyusunan dakwaan oleh penuntut umum dalam proses persidangan

23
pidana . Oleh karenanya berhasil atau tidaknya fungsi proses pemeriksaan
sidang pengadilan untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan sangat
tergantung dari hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. 22)
Menurut Piagam Kesepakatan Bersama antara Kementerian Kelautan
dan Perikanan Dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut (KKP-Polri-TNI AL) tentang Standar Operasoional
dan Prosedur (SOP) Penanganan Tindak Pidana Perikanan Pada Tingkat
Penyidikan, khususnya terkait dengan mekanisme penenggelaman kapal
berbendera asing terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 ayat (4) UU No 45 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dapat
dilakukan setelah memenuhi syarat obyektif dan/ atau syarat subyektif:
a. Syarat obyektif terdiri dari:
(1) Syarat kumulatif:
(a) kapal berbendera asing dengan semua ABK Asing;
(b) tempat kejadian perkara (focus delicti) berada di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Rl (WPP-RI);
(c) tidakmempunyai dokumenapapun dari Pemerintah Rl;
(2) Syarat alternatif:
(a) kapal tua didukung dengan fakta surat dan/ atau tidak memiliki
nilai ekonomis tinggi;
(b) kapal tidak memungkinkan untuk dibawa ke Pangkalan/
Pelabuhan/ Dinas yang membidangi perikanan, dengan
pertimbangan;
(c) Kapal mudah rusak atau membahayakan;
(d) Biaya penarikan/ membawa kapal tersebutakan menjadi terlalu
tinggi;
(e) Kapal mengangkut barang yang mengandung wabah penyakit
menular/bahan beracun dan berbahaya;

22)
Ahkam Jayadi, “Problematika Penegakan Hukum dan Solusinya”, Jurnal Al-Risalah,
Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 15 No. 2. (2015), hlm. 9.

24
b. Syarat Subyektif yaitu:
Kapal melakukan manuver yang membahayakan dan/atau Nakhoda/ABK
melakukan perlawanan tindak kekerasan.
Sebelum melakukan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman
kapal, dapat diambil tindakan:
a. Menyelamatkan semaksimal mungkin seluruh ABK Kapal;
b. Menginventarisir seluruh perlengkapan dan peralatan yang ada pada kapal
dengan menyebutkan kondisi secara lengkap dan terinci;
c. Mendokumentasikan baik menggunakan kamera/ kamera digital maupun
audio visual/video;
d. Ikan hasil tangkapan kapal tersebut sebagian disisihkan untuk
kepentingan pembuktian;
e. Membuat Berita Acara pembakaran dan/atau penenggelaman
kapal, untuk dimasukkan dalam berita pelautofeh instansi yang
bersangkutan;
Selanjutnya untuk kapal perikanan berbendera Indonesia, dilaukan
tindakan sebagai berikut:
a. Perwira pemeriksa memberitahukan kepada nahkoda bahwa telah terjadi
tindak pidana perikanan dan untuk itu kapal akan dibawa ke pangkalan/
pelabuhan/Dinas yang ditentukan.
b. Meminta kepada Nahkoda untuk memberikan tanda tangan pada peta
posisi gambar situasi pengejaran dan penghentian; dan
c. Komandan Kapal Pengawas Perikanan/Kapal Polri/KRI/KAL
mengeluarkan surat perintah untuk membawa kapal dan ABK ke
pangkalan/Dinas/Pelabuhan yang telah ditentukan.
Setelah selesai melakukan tindakan sebagaimana diuraikan di atas, hal-
hal lain yang harus dilakukan nahkoda/komandan kapal pengawas
perikanan/kapal polri/KRI/KAL adalah membuat surat pernyataan tertulis dan
ditanda tangani oleh nahkoda kapal yang menerangkan bahwa selama
pemeriksaan berjalan dengan tertib tidak terjadi kekerasan, kerusakan atau
kehilangan. Selanjutnya membuat surat pernyataan tertulis dan ditandatangani

25
oleh nahkoda kapal yang menerangkan tentang hasil pemeriksaan
surat-surat/dokumen menyebutkan tempat, posisi dan waktu serta mencatat
dlam buku jurnal kapal yang diperiksa.
Selanjutnya berdasarkan standard operating procedur (SOP) sendiri
untuk menenggelamkan kapal masih mengacu pada hukum yang berlaku,
seperti KUHAP Pasal 48, Pasal 49, dan KUHP 51. Tindakan
menenggelamkan kapal yang dilakukan sebagai satu tujuan penegakan hukum
yang berdasarkan atas perintah undang-undang yang dilakukan oleh penyidik
dalam hal ini bukan suatu bentuk pelanggaran sebagaimana yang ditegaskan
dalam Pasal 51 KUHP.
Dijelaskan pula dalam prosedur tetap penegakan hukum dan penjagaan
keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional yang dikeluarkan oleh TNI AL
bahwa penangkapan dan penyelidikan kapal dapat dilakukan apabila adanya
dugaan awal kapal berbendera asing melakukan suatu tindak pidana di
wilayah perairan Indonesia, maka prosedur yang pertama-tama dilakukan
yaitu:
Penghentian kapal, apabila kapal dicurigai melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup, diadakan penghentian dengan
alasan-alasan sebagai berikut:
1. Di Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial, melakukan tindak
pidana yang diatur dalam perundang-undangan Indonesia.
2. Di Zona Tambahan, melakukan tindak pidana yang berhubungan
dengan kepabeanan, imigrasi, fiskal dan karantina.
3. Di ZEEI danLandas Kontinen Indonesia:
a) Melakukan penelitian ilmiah kelautan tanpa ijin.
b) Melakukan eksplorasi/eksploitasi sumber daya di ZEEI/ Landas
Kontinen tanpa ijin pemerintah RI.
c) Meletakkan/membongkar kabel dasar laut/pipa saluran tanpa
ijin.
d) Membangun dan menggunakan pulau buatan, instalasi dan
bangunan tanpa ijin.

26
e) Melakukan pencemaran.
f) Melakukan kegiatan lain yang bertentangan dengan hukum
nasional dan internasional.
2. Di laut lepas, kapal melakukan kegiatan yang bertentangan
dengan hukum internasional. Contoh: Perompakan, penyiaran
gelap, dll.

Prosedur penghentian, pada dasarnya penghentian kapal dilakukan


bilamana ada dugaan yang cukup telah terjadi pelanggaran hukum dan atau
untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Pada saat KRI/KAL akan
melaksanakan penghentian suatu kapal, laksanakan peran pemeriksaan dan
penggeledahan yang didahului peran tempur bahaya permukaan. Dimulai
dengan memberikan isyarat untuk berkomunikasi dengan cara:
1. Mengibarkan bendera:“K” (pada batas cuaca yang dapat dilihat).
2. Optis lampu “KKK” (pada batas cuaca yang dapat dilihat).
3. Semaphore, huruf “K” (pada batas cuaca yang dapat dilihat).
4. Radio komunikasi channel 16.
Apabila komunikasi gagal, perintah berhenti dapat dilaksanakan
dengan cara mengibarkan bendera Upen “L” (pada batas cuaca yang dapat
dilihat) dan megaphon (pada batas yang dapat didengar) atau dengan cara
Isyarat Gauk.
Jika permintaan untuk berkomunikasi dan perintah berhenti menurut
cara-cara di atas tidak di indahkan, maka diberikan peringatan tembakan
dengan menggunakan amunisi jenis peluru hampa atau tajam ke arah atas. Jika
peringatan ini tidak diindahkan, laksanakan tembakan ke arah laut disekitar
kapal yang percikannya dapat dilihat oleh kapal yang dicurigai.
Apabila dengan peringatan tersebut kapal tidak juga berhenti, dapat
diambil tindakan sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 jo pasal 7 ayat
(1) huruf j KUHAP dalam rangka mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung jawab dengan menembak ke arah badan kapal pada tempat

27
yang diperkirakan tidak ada ABKnya dan laksanakan pertolongan jika
diperlukan.
Dalam hal kapal melakukan manuver yang membahayakan dan atau
ABK melakukan perlawanan tindak kekerasan maka dapat diambil tindakan
bela diri. Dalam melakukan penghentian kapal asing harus memperhatikan
hak-hak kapal tersebut selama melakukan lintas di Perairan Kepulauan dan
Laut Teritorial sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut 1982.
Berdasarkan SOP tersebut, maka penembakan kapal asing tersebut
dibenarkan dalam hukum Indonesia, tetapi hanya bisa dilakukan apabila kapal
pencuri ikan melakukan perlawanan saat hendak ditangkap, selain itu apabila
penembakan dilakukan sebagai upaya pembelaan diri. Meskipun demikian,
masih ditemukan adanya kelemahan dalam penegakan hukum dibidang
perikanan karena wilayah perairan Indonesia sangat luas, sedangkan
kemampuan pihak pengawas dan teknologi untuk mendeteksi adanya kapal
asing di wilayah perarian Indonesia sangat terbatas, sehingga apa yang perlu
dilakukan untuk mengatasi masalah pencurian ikan hanyalah meningkatkan
kemampuan penegak hukum dengan cara meningkatkan anggaran.
Terdapat perbedaan pandangan dalam hal penenggelaman dan
pembakaran kapal asing. KKP boleh melakukan penenggelaman dan
pembakaran kapal asing untuk menjaga kelestarian sumber daya perikanan di
perairan Indonesia dengan mengacu Pasal 69 Ayat 4 Undang-Undang
Perikanan. Dalam hal kapal asing membahayakan keamanan laut Indonesia,
TNI AL dapat melakukan penenggelaman sesuai dengan SOP.
Berkaitan dengan penegakan hukum di bidang perikanan, maka dalam
melaksanakan fungsinya penyidik dan/atau pengawas perikanan berwenang
melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman
kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang
cukup, namun hal ini bertentangan dengan HAM karena merampas barang
milik orang lain. Suatu benda atau barang yang dapat dimusnahkan oleh
negara seharusnya sudah melalui proses sistem peradilan pidana terlebih
dahulu untuk dibuktikan kesalahannya. Apabila terbukti bersalah dan

28
termasuk dalam benda terlarang maka dapat dirampas untuk dimusnahkan atau
dimanfaatkan untuk kepentingan negara.
Penulis berpandangan bahwa meskipun penenggelaman kapal
sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang No. 45 Tahun
2009 secara substansial dan redaksional berpotensi menimbulkan distorsi
dalam penerapan di lapangan karena melanggar asas praduga tak bersalah dan
asas kepastian hukum. Penanganan terhadap kapal asing harus mengikuti
proses hukum, dengan menunggu keputusan pengadilan, apakah disita,
dilelang, dimusnahkan atau dikembalikan kepada pemiliknya. Masalah
penenggalama kapal juga berpotensi menimbulkan reaksi di antara negara
tetangga. Salah satunya adalah Malaysia yang mempertanyakan kebijakan
pemerintah Indonesia tersebut. Hal ini mengingat kedua negara, Indonesia dan
Malaysia, telah menandatangani MoU (Memorandum Kesepakatan) pada
tanggal 27 Januari 2012.
Terkait masalah penenggelaman kapal, Hikmahanto Juwana 
mengemukakan ada 2 (dua) cara proses penenggelaman kapal asing yang
melanggar yaitu dengan putusan pengadilan dan penenggelaman langsung di
tengah laut. Beliau juga mengemukakan bahwa penenggelaman yang
dilakukan oleh TNI bukan dalam rangka pelaksanaan Pasal 69 ayat 4 Undang-
Undang-Undang Perikanan. Penenggelaman dilakukan atas dasar upaya paksa
berupa eksekusi atas barang bukti yang harus dimusnahkan berdasarkan suatu
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.23
Adapun proses penenggelaman kapal asing dapat dilihat dalam bagan
berikut ini.

23)
Hikmahanto Juwono, “Dua Cara Penenggelaman Kapal Asing, http://www.
tribunnews.com/ nasional/2014/12/06, diunduh 18 Maret 2015.

29
Penenggelama Kapal Ikan Asing

Di tengah Laut Berdasarkan:


1. Persetujuan Pengadilan (Pasal
76 A UU 45/2009)
2. Putusan Pengadilan Yang
Telah Memiliki Kekuatan
Pasal 69 Ayat (4) UU Hukum Tetap (KUHAP)
Perikanan
Piagam Kesepakatan
Bersama antara Ditjen,
PSDKP, TNI AL dan Polri

Syarat:
1. Kapal asing tanpa dokumen
2. Melakukan perlawanan/maneuver membahayakan jiwa aparat penegak
hukum, atau
3. Kondisi kapal rusak parah sehingga membahayakan untuk ditarik ke
pelabuhan.
* Sebelum ditenggelamkan awak kapal telah diselamatkan terlebih dahulu.

Sumber: PSDK, Maret 2015.

Menurut pendapat penulis, apabila melihat ketentuan Undang-Undang


No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan sejatinya memang harus dilaksanakan agar terciptanya
penegakan hukum di bidang perikanan sesuai dengan amanat Pasal 69 ayat 4
Undang-Undang Perikanan. Pelaksanaan penegakkan hukum ini bukan saja
diperuntukkan bagi PSDKP saja, akan tetapi semua penyidik (TNI AL dan
POLRI), namun baru PSDKP saja yang telah melakukan penenggelaman dan
pembakaran kapal berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang
cukup. Sedangkan penenggelaman yang dilakukan oleh TNI-AL bukan dalam
rangka pelaksanaan Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan 2009, melainkan atas

30
dasar upaya paksa berupa eksekusi atas barang bukti yang harus dimusnahkan
berdasarkan suatu putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Bukti permulaan yang cukup ini  adalah bukti permulaan untuk
menduga adanya tindak pidana di bidang perikanan oleh kapal perikanan
berbendera asing, misalnya kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki
SIPI dan SIKPI, serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan
ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Hal ini
menunjukkan bahwa tindakan khusus tersebut tidak dapat dilakukan dengan
sewenang-wenang, tetapi hanya dilakukan apabila penyidik dan/atau
pengawas perikanan yakin bahwa kapal perikanan berbendera asing tersebut
betul-betul melakukan tindak pidana di bidang perikanan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka apabila dikaitkan dengan
teori Lawrence M. Friedman yang menegaskan bahwa penegakan hukum
tergantung pada substansi hukum, struktur hukum/pranata hukum dan
budaya hukum. Dari ketiga unsur tersebut, secara substansi hukum
masalah tindak pidana perikanan dan proses penenggelaman kapal telah
diatur dengan undang-undang dan Piagam Kesepakatan Bersama antara
Kementerian Kelautan dan Perikanan Dengan Kepolisian Republik Indonesia
dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (KKP-Polri-TNI AL).
Struktur hukum/pranata hukum dalam penanganan tindak pidana
perikanan berupa lembaga-lembaga penegak hukum yaitu penyidik
(PPNS, Polri dan TNI AL) dan budaya hukum yaitu kinerja para penegak
hukum yang dalam hal ini terdapat peredaan pandangan dalam hal
penenggelaman kapal dan pembakaran kapal asing. PSDKP boleh
melakukan penenggelaman dan pembakaran kapal asing untuk menjaga
kelestarian sumber daya perikanan di perairan Indonesia dengan mengacu
Pasal 69 Ayat 4 Undang-Undang Perikanan. Dalam hal kapal asing
membahayakan keamanan laut Indonesia, TNI AL dapat melakukan
penenggelaman sesuai dengan SOP. Budaya hukum yang belum terlaksana
yaitu belum dilibatkannya peran serta masyarakat dalam hal ini nelayan
sebagai unsur pendukung dalam upaya pemberantasan illegal fishing.

31
Melihat kondisi yang demikian, maka penegakan hukum tindak pidana
perikanan melalui mekanisme penenggelaman kapal asing yang melakukan
tindak pidana perikanan belum berjalan optimal karena belum ada peran serta
masyarakat yang dilibatkan dalam mendukung pemberantasan IUU Fishing.
Untuk itu diperlukan peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan IUU
Fishing perlu ditingkatkan dengan menjadikan nelayan sebagai unsure
pendukung utama dalam memerangi pelaku illegal fishing.

B. Akibat Hukum Dari Penegakan Hukum Melalui Mekanisme


Penenggelaman Kapal Asing Yang Melakukan Tindak Pidana Perikanan
di Perairan Indonesia Dihubungkan Dengan UNCLOS 1982
Penenggelaman kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah
perairan Indonesia merupakan bagian dari penegakan hukum di bidang
perikanan. Setelah melalui beberapa kali perubahan, Undang-Undang
Perikanan telah memberi kewenangan kepada penyidik untuk melakukan
tindakan penenggelaman kapal berbendera asing apabila diketahui adanya
bukti permulaan yang cukup atau ada keyakinan penyidik/pengawas perikanan
bahwa kapal berbendera asing tersebut benar-benar melakukan tindak pidana
perikanan.
Penenggelaman kapal berbenedera asing tersebut tentunya
berimplikasi hukum terhadap pelaku. Pelaku dalam tindak pidana perikanan
dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu pelaku ABK yustisia seperti Nahkoda dan
Kepala Kamar Mesin, sedangkan ABK lainnya selain Nahkoda dan Kepala
Kamar Mesin termasuk ABK non yustisia. Dengan demikian, pihak yang
dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap dugaan tindak pidana
perikanan adalah Nahkoda dan Kepala Kamar Mesin, sedangkan ABK non
yustisia dapat dipulangkan ke negara asalnya melalui kantor imigrasi setempat
setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.
Implikasi lain dari penenggelaman kapal berbendera asing yang diduga
melakukan tindak pidana perikanan di wilayah perairan Indonesia, maka
terbuka celah bagi Indonesia untuk digugat oleh pemilik kapal asing, apabila

32
ternyata pemilik kapal belum tentu terlibat dalam praktik pencurian ikan.
Artinya kapal yang dipergunakan untuk menangkap ikan secara ilegal
diperairan Indonesia itu belum tentu milik si pelaku, bisa saja itu kapal
sewaan.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa tindak pidana
perikanan terbagi menjadi dua yaitu kejahatan dan pelanggaran. Dalam
kaitannya dengan penenggelaman kapal berbendera asing yang melakukan
kegiatan pencurian ikan di wilayah Indonesia apabila mengacu pada ketentuan
Undang-Undang Perikanan, hal tersebut dapat dibenarkan sesuai dengan Pasal
69 ayat (4). Menurut KKP, bentuk penenggelaman kapal asing tersebut dapat
dilakukan untuk melindungi sumber daya alam yang ada di wilayah ZEEI.
Namun demikian, penulis berpendapat bahwa mengenai kapal asing
yang melakukan pencurian di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI) tidak dapat dilakukan upaya penenggelaman karena Indonesia hanya
memiliki kewenangan untuk memanfaatkan kekayaan alam yang ada dalam
wilayah ZEEI. Berdasarkan UNCLOS 1982 telah memuat ketentuan yang
jelas mengenai hal ini, sesuai dengan hukum yang berlaku pada masing-
masing zona atau wilayah. Pada Pasal 73, misalnya, UNCLOS memuat aturan
mengenai penegakan peraturan perundang-undangan negara pantai.
Setidaknya terdapat empat hal yang harus diperhatikan oleh setiap
negara pantai (coastal state) dalam melakukan penegakan hukum
sebagaimana yang tertuang pada Pasal 73 UNCLOS :
1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk
melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil
tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap
dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk
menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang
ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.

33
2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera
dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau
bentuk jaminan lainnya.
3. Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif
tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian
sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap
bentuk hukuman badan lainnya.
Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing Negara
pantai harus segera memberitahukan kepada Negara bendera, melalui
saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap
hukuman yang kemudian dijatuhkan
Tujuan menciptakan efek jera dengan menenggelamkan kapal ikan
asing cukup berani karena mencerminkan ketegasan sikap pemerintah dalam
mewujudkan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) dan bertanggung
jawab (responsible fisheries). Dalam penanganan kasus seperti ini, diperlukan
sikap kehati-hatian dari pemerintah sebelum melakukan rencana
menenggelamkan kapal asing yang diduga melakukan tindak pidana pencurian
ikan di wilayah perairan Indonesia, karena ada kaidah-kaidah hukum
internasional yang berlaku dalam penanganan terhadap para pelanggar hukum
di wilayah perairan ZEEI. Oleh karena itu, upaya pengaturan penenggelaman
kapal harus dikaji secara lebih teliti dan bijak. Untuk itu, penyusunan aturan
ini perlu melibatkan para pakar hukum internasional, khususnya yang
mendalami hukum laut internasional.
Menurut Arif Hidayatullah akibat hukum dari penegakan hukum di
bidang perikanan melalui mekanisme penenggelaman kapal asing yang
melakukan tindak pidana perikanan di perairan Indonesia apabila dihubungkan
dengan UNCLOS 1982, selama ini memang tidak ada akibat negatif yang
dialami Indonesia akibat tindakan tegas tersebut, hal ini dikarenakan secara
internasional IUU fishing telah menjadi musuh bersama dan tindakan tegas

34
penenggelaman kapal tersebut merupakan pelaksanaan kedaulatan hukum
Negara Republik Indonesia.

35
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu, diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Penyidik dapat melakukan penegakan hukum di bidang perikanan melalui
mekanisme penenggelaman kapal melalui 2 (dua) cara yaitu
penenggelaman langsung di tengah laut berdasarkan Pasal 69 ayat (4) UU
Perikanan dan piagam Kesepakatan bersama antara Ditjen, Polri PSDKP,
TNI AL dan Polri apabila kapal melakukan manuver yang
membahayakan dan/atau Nakhoda/ABK melakukan perlawanan tindak
kekerasan serta melalui upaya persetujuan pengadilan (Pasal 76 A UU
Perikanan) dan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
(inkraht). Penegakan hukum tindak pidana perikanan belum berjalan
optimal karena belum ada peran serta masyarakat yang dilibatkan dalam
mendukung pemberantasan IUU Fishing serta masih adanya perbedaan
pandangan dalam hal penenggelaman kapal dan pembakaran kapal
asing antara PSDKP, Polri dan TNI AL terkait bukti permulaan yang
cukup. Hal tersebut tidak sejalan dengan teori Lawrence M. Friedman
yang menegaskan bahwa penegakan hukum tergantung pada substansi
hukum, struktur hukum/pranata hukum dan budaya hukum.

2. Selama ini tidak ada akibat negatif yang dialami Indonesia akibat tindakan
tegas tersebut, hal ini dikarenakan secara internasional IUU fishing telah
menjadi musuh bersama dan tindakan tegas penenggelaman kapal tersebut
merupakan pelaksanaan kedaulatan hukum Negara Republik Indonesia.

36
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Para penyidik (PSDKP, Polri dan TNI AL) terkait dengan masalah bukti
permulaan yang cukup harus memiliki satu pandangan sehingga upaya
penenggelaman kapal dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan amanat
Pasal 69 Ayat 4 Undang-Undang Perikanan.
2. Ditjen PSDKP perlu meningkatkan efektifitas pengawasan Wilayah
Perairan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) dari ancaman
IUU Fishing seperti penambahan jumlah kapal pengawas, personel
pengawas perikanan dan peningkatan keterampilan personil pengawas
perikanan melalui pelatihan-pelatihan.
3. Bagi masyarakat diharapkan dapat memberikan peran sertanya dalam
upaya IUU Fishing harus ditingkatkan dengan menjadikan nelayan
sebagai unsur pendukung utama dalam perang melawan IUU Fishing.

37
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Friedman, Lawrence M. Law and Society An Introduction. (New Jersey:
Prentice Hall Inc, 1977) dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum
(Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk
Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009).

Gatot Suparmono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang


Perikanan, Cetakan Pertama, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011).

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Profil DirektoratJenderal Pengawasan


Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, (Jakarta: Kementrian Kelautan
dan Perikanan RI, 2012).

Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan


Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2001).

Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-


Masalah Hukum, (Semarang: CV Agung, 1989).

Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua,


(Jakarta: Buku Kompas, 2006).

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000).

Soerjono Soekanto, FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008).

B. Jurnal Nasional
Ahkam Jayadi, “Problematika Penegakan Hukum dan Solusinya”, Jurnal Al-
Risalah, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 15 No. 2. (2015).

Bagir Manan, “Persepsi masyarakat mengenai Pengadilan dan Peradilan yang


baik”, Jakarta : Varia Peradilan No.258 Mei 2007.

Hikmahanto Juwono, Penegakan hukum dalam Kajian Law and Development:


Problem dan Fundamen Bagi Solusi di Indonesia, Jakarta : Varia
Peradilan No.244, 2006.

38
Sanyoto, “Penegakan Hukum di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 8
No. 3 September 2008.

Zainab Ompu Jainah, “Penegakan Hukum dalam Masyarakat”, Journal of


Rural of Development, Vol. III No. 12 Agustus 2012.

C. Internet
Akhmad Solikhin, “Mencermati Revisi UU Perikanan”, Suara Karya Online,
Selasa 24 Maret 2009, hal.1, dalam
http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/38274/1/109.%20
mencermati%20revisi.pdf, diunduh 14 Desember 2014.

Hikmahanto Juwono, “Dua Cara Penenggelaman Kapal Asing, http://www.


tribunnews.com/ nasional/2014/12/06, diunduh 18 Maret 2015.

Hikmahanto Juwono, “Penenggelaman Kapal Ilegal Melanggar


Hukum”,Kompas, Selasa, 22 April 2008, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2008/04/22/21165629/
penenggelaman. kapal.ilegal.melanggar.hukum, diunduh 14
Desember 2014.

Ida Kusuma Wardhaningsih, “KKP: Negara Rugi Ratusan Triliun Akibat


Penangkapan Ikan Illegal”,
dalamhttp://www.pikiran-rakyat.com/node/278396, diunduh 14
Desember 2014.

Kementrian Kelsutan dan Perikanan, “Penegakan Hukum di Laut Rancu,


UNCLOS Harus Tetap Jadi Pedoman” dalam
http://www.dekin.kkp.go.id, diunduh 4 Mei 2014.

39

Anda mungkin juga menyukai