Anda di halaman 1dari 13

A.

Latar Belakang Masalah

Illegal fishing merupakan masalah klasik yang sering dihadapi oleh negara

yang memiliki banyak pantai karena masalah tersebut sudah ada sejak dulu.

Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat diberantas.

Hal itu dikarenakan untuk mengawasi wilayah laut yang banyak secara bersamaan

itu merupakan hal yang sulit. Negara yang sudah memiliki teknologi yang maju

dibidang pertahanan dan keamanan sekalipun pasti juga pernah terkena kejahatan

illegal fishing. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak

pantai mengingat status Indonesia sebagai negara kepulauan. Hal ini tentu saja

mengakibatkan Indonesia juga terkena masalah illegal fishing. Apalagi Indonesia

juga dikenal sebagai negara dengan potensi sumber daya hayati yang besar.

Sumber perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6.167.940 ton per

tahunnya. Namun, akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua

benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia) menyebabkan

wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing. Adapun daerah yang menjadi

titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi

Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera

Hindia).1

Kasus illegal fishing di Indonesia sendiri sepertinya kurang mendapat

perhatian dari pemerintah Indonesia sendiri. Padahal kejahatan illegal fishing di

ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia mengakibatkan kerugian yang tidak


1
http://news.detik.com/read/2009/10/09/080806/1218292/471/illegal-fishing-kejahatan-
transnasionalyang-dilupakan, diakses pada tanggal 12 Februari 2014.
sedikit bagi pemerintah Indonesia. Selain itu sumber perikanan di Indonesia masih

merupakan sumber kekayaan yang memberikan kemungkinan yang sangat besar

untuk dapat dikembangkan bagi kemakmuran bangsa Indonesia, baik untuk

memenuhi kebutuhan protein rakyatnya, maupun untuk keperluan ekspor guna

mendapatkan dana bagi usaha-usaha pembangunan bangsanya.2 Hal ini jelas

menunjukan betapa pentingnya sumber kekayaan hayati dalam hal ini perikanan

bagi Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya illegal fishing di

ZEE Indonesia. Salah satunya yaitu celah hukum yang terdapat dalam ketentuan

Pasal 29 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam ketentuan

Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

disebutkan bahwa orang atau badan hukum asing itu dapat masuk ke wilayah ZEE

Indonesia untuk melakukan usaha penangkapan ikan berdasarkan persetujuan

internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.3

Ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun2004 tentang

Perikanan seakan membuka jalan bagi nelayan atau badan hukum asing untuk

masuk ke ZEE Indonesia untuk kemudian mengeksplorasi serta mengeksploitasi

kekayaan hayati di wilayah ZEE Indonesia. Namun hal itu tidak dapat disalahkan

karena merupakan salah satu bentuk penerapan aturan yang telah ditentukan

dalam Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 yang merupakan salah satu konvensi

internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No.

17 Tahun 1985. Dalam ketentuan Pasal 62 ayat (3) dan (4) Konvensi Hukum Laut

Tahun 1982 mengharuskan negara pantai untuk memberikan hak akses kepada
2
Hasjim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung, hlm. 3.

3
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Pasal 29 ayat (2) tentang Perikanan
negara lain untuk mengeksploitasi kekayaan hayati di wilayah ZEE negara pantai

apabila terjadi surplus dalam hal pemanfaatan sumber daya hayati oleh negara

pantai. Kapal-kapal ikan asing yang mempunyai hak akses pada zona ekonomi

eksklusif suatu negara pantai harus menaati peraturan perundang-undangan negara

pantai yang bersangkutan, yang dapat berisikan kewajiban-kewajiban dan

persyaratan-persyaratan mengenai berbagai macam hal, seperti perizinan, imbalan

keuangan, kuota, tindakan-tindakan konservasi, informasi, riset, peninjau,

pendaratan tangkapan, persetujuan-persetujuan kerja sama, dan lain sebagainya.4

Kasus illegal fishing sampai sekarang belum terselesaikan disebabkan juga

karena belum maksimalnya upaya yang dilakukan oleh Indonesia dalam

menangani masalah illegal fishing di ZEE Indonesia. Pengawasan di seluruh

perairan Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia masih kekurangan

dalam hal kapal pengawas dan juga jumlah hari operasi. Menurut Direktur

Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP,

Syahrin Abdurrahman, dengan keterbatasan armada kapal pengawasan yang

dimiliki KKP serta terbatasnya jumlah hari operasi itu maka peran pemerintah

daerah dan seluruh masyarakat terutama nelayan dalam pemberantasan illegal

fishing menjadi penting.5

B. Rumusan masalah

4
Albert W. Koers, 1994, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 36.

5
http://dkp.kaltimprov.go.id/berita-157-kkp-kesulitan-awasi-perairan-indonesia.html, diakses pada
tanggal 19 februari 2014.
1. Bagaimana pengaturan hukum tentang illegal fishing ?

2. Bagaimanakah upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan illegal

fishing ?

C. Pembahasan

1. Illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing

Pengertian Illegal Fishing merujuk kepada pengertian yang dikeluarkan

oleh International Plan of Action (IPOA) – Illegal, Unreported, Unregulated

(IUU) Fishing yang diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code of

Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Pengertian Illegal Fishing dijelaskan

sebagai berikut. Illegal Fishing, adalah :

1. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau

kapal asing di perairan yang bukan merupakan yuridiksinya tanpa izin dari

negara yang memiliki yuridiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut

bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu (Activities conducted

by national or foreign vessels in waters under the jurisdiction of a state,

without permission of that state, or in contravention of its laws and

regulation).

2. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera

salah satu negara yang tergabung sebagai anggota organisasi pengelolaan

perikanan regional, Regional Fisheries Management Organization (RFMO)

tetapi pengoperasian kapal-kapalnya bertentangan dengan tindakan-tindakan


konservasidan pengelolaan perikanan yang telah diadopsi oleh RFMO.

Negara RFMO wajib mengikuti aturan yang ditetapkan itu atau aturan lain

yang berkaitan dengan hukum internasional (Activities conducted by vessels

flying the flag of states that are parties to a relevant regional fisheries

management organization (RFMO) but operate in contravention of the

conservation and management measures adopted by the organization and by

which states are bound, or relevant provisions of the applicable international

law).

3. Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan

suatu negara atau ketentuan internasional, termasuk aturan-aturan yang

ditetapkan negara anggota RFMO (Activities in violation of national laws or

international obligations, including those undertaken by cooperating stares

to a relevant regioanl fisheries management organization (RFMO).

2. Faktor Penyebab Illegal Fishing

Faktor -faktor yang menyebabkan terjadinya Illegal fishing di perairan

Indonesia tidak terlepas dari lingkungan strategis global terutama kondisi

perikanan di negara lain yang memiliki perbatasan laut, dan sistem pengelolaan

perikanan di Indonesia itu sendiri. Secara garis besar faktor penyebab tersebut

dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh) faktor, sebagaimana diuraikan di bawah ini.

1. Kebutuhan ikan dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia

menurun, terjadi overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini
mendorong armada perikanan dunia berburu ikan di manapun dengan cara legal

atau illegal.

2. Disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain

dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya surplus

pendapatan.

3. Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai habis, sementara di Indonesia

masih menjanjikan, padahal mereka harus mempertahankan pasokan ikan untuk

konsumsi mereka dan harus mempertahankan produksi pengolahan di negara

tersebut tetap bertahan.

4. Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, di sisi lain kemampuan pengawasan

khususnya armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih sangat terbatas

dibandingkan kebutuhan untuk mengawasai daerah rawan. Luasnya wilayah laut

yang menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE

Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas (High Seas) telah menjadi magnet

penarik masuknya kapal-kapal ikan asing maupun lokal untuk melakukan illegal

fishing.

5. Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat

terbuka (open acces), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap (input

restriction). Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual geografi

Indonesia, khususnya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.

6. Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan serta SDM pengawasan

khususnya dari sisi kuantitas. Sebagai gambaran, sampai dengan tahun 2008, baru
terdapat 578 Penyidik Perikanan (PPNS Perikanan) dan 340 ABK (Anak Buah

Kapal) Kapal Pengawas Perikanan. Jumlah tersebut, tentunya sangat belum

sebanding dengan cakupan luas wilayah laut yang harus diawasi. Hal ini, lebih

diperparah dengan keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan.

7. Persepsi dan langkah kerjasama aparat penegak hukum masih dalam

penanganan perkara tindak pidana perikanan masih belum solid, terutama dalam

hal pemahaman tindakan hukum, dan komitmen operasi kapal pengawas di ZEE.

3. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Illegal Fishing

Adapun upaya pencegahan dan penanggulangan Illegal Fishing yang dapat

dilakukan ialah sebagai berikut:

1. Melakukan perlindungan wilayah perairan Zona Ekonomi  Eksklusif

(ZEE) untuk pencegahan pencurian ikan (illegal fishing) di wilayah

indonesia. Hal ini harus dilakukan TNI Angkatan Laut sebagai

bentuk  perlindungan wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia  berkewajiban menjaga kedaulatan  Indonesia serta

melindungi sumber daya alam laut dari tindakan-tindakan pencurian

ikan di Zona Ekonomi Eksklusif . Salah satu faktor penyebab

terjadinya praktek pencurian ikan (illegal fishing) yang terjadi di

wilayah perairan Indonesia adalah lemahnya sikap aparat yang

berkewajiban mengawasi laut Indonesia terutama perairan Zona

Ekonomi  Eksklusif (ZEE), dan ini tidak boleh terjadi dengan cara

meningkatkan perlindungan wilayah laut, dengan menambah armada


patroli, penggunaan teknologi Vessel Monitoring System  (VMS)

sebuah sistem monitoring kapal  ikan dengan alat  transmitor  yang

berfungsi untuk mengawasi proses penangkapan ikan yang dilakukan

di wilayah perairan Indonesia. 

2. Melakukan tindakan hukum tegas bagi pelaku pencurian ikan (illegal

fishing) yang dilakukan oleh kapal asing di perairan zona ekonomi

eksklusif (zee) berdasarkan undang-undang nomor 31 tahun  2004

tentang perikanan. Tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap

pelaku pencurian ikan (illegal fishing) tersebut adalah :

a.       Pidana penjara

b.      Pidana denda

c.       Penyitaan

3. Meningkatkan kompetensi nelayan tradisional dengan pemberdayaan

nelayan dapat mencegah pencurian ikan oleh kapal asing. Cara ini

lebih mengedepankan partisipasi aktif para nelayan, lebih organik dan

efektif di samping dari pengawasan oleh pihak aparat di laut.

Pemberdayaan nelayan yang di maksud adalah dengan cara

memfasilitasi penggunaan kapal dengan GT ( Gross Tonnage ) yang

besar dengan teknologi modern, dan kompetensi yang cukup agar

kapal nelayan dapat bisa menjangkau laut leepas. Sementara ini

nelayan nelayan tradisional masih beroperasi di laut pinggir sedangkan

kapal-kapal asing melakukan pencurian di laut lepas  perairan

Indonesia dimana sumberdaya ikan sangat melimpah dan sangat


mudah di eksploitasi oleh kapal asing. Jika  nelayan tradisional ini

banyak beroperasi di laut lepas, secara alami kapal-kapal asing akan

takut masuk ke perairan indonesia 

4. Sistem Pengelolaan

Perumusan Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan dengan cara

Pelestarian: Perlindungan, Pengawetan dan Rehabilitasi, Pengalokasian

dan penataan pemanfaatan, Penyusunan Peraturan, Perijinan dan

pemanfaatan Sumberdaya ikan.

5. Kebijakan dengan Visi Pengelolaan SDKP tertib dan bertanggung

jawab

a. Meningkatkan kualitas pengawasan secara sistematis dan terintegrasi

agar pengelolaan SDKP berlangsung secara tertib dengan cara operasi

pengawasan dan penegakan hukum.

b. Meningkatkan apresiasi dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan

SDKP dengan cara pengembangan sistem pengawasan berbasis

masyarakat seperti pembentukan kelompok apengawas masyarakat

(Pokmaswas).

6. Strategi

a. Optimalisasi Implementasi MCS (Monitoring, Controlling,

Surveillancea) dalam pengawasan dengan cara Peningkatan Sarana dan

Prasarana pengewasan dan Mengintegrasikan komponen MCS (VMS,

Kapal Partroli, Pesawat Patroli Udara, Alat Komunikasi, Radar

Satelit/Pantai, Siswasmas, Pengawas Perikanan (PPNS) dan Sistem


Informasi Pengawasan dan Pengendalian SDKP) dalam satu system

yang sinergis.

b. Pembentukan Kelembagaan Pengawasan di Tingkat Daerah.

Dasar Pembentukan Kelembagaan ini yaitu : Belum adanya lembaga

pengawasan yang mandiri, Lambannya penanganan operasi dan

penanganan perkara, Rentang kendali dan koordinasi yang panjang,

Ketergantungan pada pihak lain, Tidak adanya kepastian kendali dan

pasca operasi. Rancangan kebutuhan kelembagaan pengawasan yaitu

Pangkalan Pengawasan 7 Unit, Stasiun Pengawas 31 Unit dan Satker

Pengawas 130 Unit. Sampai saat ini baru Pangkalan 2 unit, Stasiun 3

unit dan Satker unit masih jauh dari harapan.

c. Meningkatkan Intesitas Operasional Pengawasaan Baik Dengan Kapal

Pengawas Ditjen P2SDKP secara mandiri maupun kerjasama dengan

TNI AL dan Polri. Dengan Langkah ke depan :

• Meningkatkan frekuensi kerjasama operasi dengan TNI AL dan

POLAIR

• Memprogramkan pengadaan Kapal Pengawas dalam jumlah yang

mencukupi baik melalui APBN Murni maupun Pinjaman / Hibah Luar

Negeri (PHLN).

d. Operasional Penertiban Ketaatan Kapal Dipelabuhan.

Dalam operasi tersebut dilakukan pemeriksaan :

1. Ketaatan berlabuh di pelabuhan pangkalan sesuai dengan ijin yang

diberikan,
2. Ketataan Nakhoda kapal perikanan dalam melaporkan hasil

tangkapan melalui pengisian Log Book Perikanan,

3. Ketaatan pengurusan ijin untuk kapal yang belum berijin dan masa

berlaku ijinnya telah habis.

Berdasarkan hasil pemeriksaan kapal di pelabuhan pangkalan yang

tertib diterbitkan Surat Laik Operasi (SLO) Kapal Perikanan dari

Pengawas Perikanan untuk mendapatkan Surat Izin Berlayar (SIB) dari

Syahbandar dan bagi yang tidak tertib tidak akan dikeluarkan.

e. Pengembangan Dan Optimalisasi Implementasi Vessel Monitoring

System (VMS).

1. Mewajibkan Pemasangan Transmitter VMS Bagi Kapal berukuran

60 GT ketas.

2. Penerapan Transmitter VMS Off Line Bagi Kapal Berukuran 30 –

60 GT.

3. Penerapan Sanksi yang tegas sesuai ketentuan yang berlaku bagi

pemilik kapal yang tidak patuh.

f. Pengembangan Sistem Radar Pantai Yang Terintegrasi Dengan VMS.

1. Pengembangan sistem radar yang diintegrasikan dengan VMS (telah

dikembangkan bersama BRKP).

2. Stasiun-stasiun radar tersebut akan ditempatkan pada titik-titik pintu

masuknya kapal-kapal perikanan asing ke Indonesia (Selat Malaka,

Laut Natuna dsb). Apabila konsep ini terwujud Informasi pengawasan


dapat diterima lebih banyak. Hal itu akan mengurangi fungsi patroli

kapal pengawas, sehingga pengadaan kapal pengawas bisa dikurangi.

g. Koordinasi Dalam Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana.

1. Peningkatan Peran Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana

Perikanan

2. Mempercepat proses penegakan hukum (penyidikan, penuntutan dan

persidangan) antar lain melalui Pengadilan Khusus Perikanan

3. Mengantisipasi terjadinya tuntutan (Pra-peradilan, Class Action dan

Tuntutan Perdata)

4. Mengamankan dan merawat barang bukti (misal: kapal, alat

tangkap) agar nilai ekonominya dapat dipertahankan

5. Penanganan ABK Non Yustitia dari kapal-kapal perikanan asing

illegal yang tertangkap

h. Pelibatan Masyarakat dalam Pengawasan Sumberdaya Ikan melalui

SISWASMAS

1. Pembinaan berupa peningkatan teknis pengawasan dan pemberian

stimulant kepada kelompok-kelompok tersebut berupa perlengkapan

pengawas (radio komunikasi, senter, mesin tik dll).

2. Sampai dengan tahun 2006 telah terbentuk 759 Pokmaswas yang

tersebar di 30 Propinsi di Indonesia.


3. Evaluasi Pokmaswas tingkat Nasional untuk mendapatkan

penghargaan dari Presiden RI.

i. Pembentukan Pengadilan Khusus Perikanan.

Dasar Pembentukan :

1. Perkara perikanan belum mendapat perhatian serius dibanding

perkara lain

2. Mewujudkan suatu tatanan sistem peradilan penanganan perikanan

yang efektif

3. Menstimulasi kinerja pengadilan negeri dalam menangani tindak

pidana perikanan

4. Mengubah paradigma di kalangan aparat penegak hukum dalam

menangani perkara-perkara perikanan.

Sampai saat ini telah dibentuk di lima tempat yaitu Jakarta Utara,

Pontianak, Medan, Tual dan Bitung.

Anda mungkin juga menyukai