Anda di halaman 1dari 53

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu masalah yang sangat penting bagi industri, terlebih lagi industri
perikanan adalah mempertahankan mutu (Soekarto, 1990). Kesegaran ikan
umumnya diukur dengan metode sensori berdasarkan perubahan penampakan,
bau, warna, flavor, dan tekstur (Nogueras et al, 2002). Dalam menguji tingkat
kesegaran ikan tersebut dapat dilakukan dengan cara organoleptik. Cara
organoleptik adalah cara penilaian dengan menggunakan indra manusia
(sensorik). Cara ini sangat cepat, mudah dan praktis untuk dikerjakan \, tetapi
ketelitiannya tergantung pada tingkat kepandaian orang yang melaksanakannya.
(Septiarini, 2008)

B. Tujuan

1. Mahasiswa mampu menggunakan lembar penilaian sensori untuk


membedakan tingkat kesegaran ikan.
2. Mahasiswa mampu melakukan mengolah data dan menganalisis hasil
analisis sensori untuk memperoleh nilai mutu sensori ikan segar.

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Bulan – bulan

Berdasarkan Integrated Taxonomic Information System (ITIS) Report dengan


Nomor Serial: 553289 (2014) ikan bulan – bulan (Megalops cyprnoides
Broussonet, 1782) diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Superclass : Osteichthyes
Class : Actionopterygii
Order : Elopiformes
Family : Megalopidae
Genus : Megalops
Species : Megalops cyprinoides Broussonet (1782)

Menurut Saanin (1984) ciri ikan bulan – bulan, kepala simetris, garis rusuk di
atas sirip dada, sirip punggung terdiri dari jari jari lemah yang berbuku – buku,
sirip perut terletak jauh ke depan, bersisik, tidak bersungut, tidak berjari-jari
keras, lubang insang besar, bertulang dagu diantara cabang tulang rahang bawah,
bergaris rusuk pada sirip punggung, tubuh agak lebar dan pipih dengan sisik
besar, sirip punggung tunggal terletak di tengah dengan jari terakhr memanjang
dan berfilamen, rahang bawah menonjol melebihi ujung mulutnya, tidak ada sisik
tebal, hijau kebiruan diatas, warna keperakan pada sisik, ukuran tubuh sampai 150
cm (White et al, 2013).

B. Analisis Ikan Segar

Ikan segar adalah ikan yang belum atau tidak diawetkan dengan apapun
kecuali semata-mata didinginkan dengan es. Ikan dikenal sebagai bahan makanan
yang sangat cepat dan mudah membusuk. Ikan yang tertangkap dan mati jika
dibiarkan begitu saja esok harinya sudah tidak begitu enak dan 2 atau 3 hari

2
kemudian sudah tidak dapat dikonsumsi sama sekali karena busuk. Selain itu, ikan
segar masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup baik rupa, bau, rasa,
maupun teksturnya (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Menurut Hadiwiyoto (1993), berdasarkan uji organoleptik selain score sheet
hal penting lainnya adalah panelis. Adapun pengertian panelis adalah suatu alat
analistis yang digunakan untuk menera mutu. Nilai panelis tergantung kepada
ketelitian yang diberikan. Panelis harus berpengalaman dan peka terhadap
perkembangan dan perubahan-perubahan atribut mutu produk. Pelaksanaan uji
organoleptik memerlukan beberapa panelis. Tidak semua orang dapat dijadikan
panelis yang baik. Panelis ini dipilih secara sistematik atas dasar ketajaman alat
indera dan kemudian diberi latihan yang cukup untuk menjalani beberapa testing
yang diberikan.
Menurut Ilyas (1993), perubahan tekstur pada ikan yang dibekukan dengan
yang tidak dibekukan, masing-masing dalam keadaan segar dan masak adalah
sebagai berikut:
1. Ikan segar yang tidak dibekukan: tekstur padat, bergelatin, kalau ditekan
tidak mengeluarkan lender;
2. Ikan yang dibekukan disimpan beberapa waktu dalam gudang beku,
kemudian dilelahkan, kalau jaringan padatnya ditekan akan
membebaskan zat alir drip;
3. Ikan yang tidak dibekukan kalau dimasak teksturnya lembab, padat, tidak
liat selama pemanasan, bebas sedikit zat alir; dan
4. Ikan beku dalam gudang beku, dilelehkan dan dimasak, memisahkan
sejumlah drip.
Selama pemasakan tekstur mengayu dan menyerap air. Kelihatannya
perubahan tekstur itu melibatkan keadaan uap air ikan, ada yang berupa
penurunan kapasitas protein memegang uap air, penguapan air dan ada yang
berupa pembebasan zat alir.
Menurut Adawyah (2007), penentuan kesegaran ikan merupakan hal yang
sangat penting di dalam industri perikanan dan juga dunia ilmu khususnya
semenjak dimulainya perdagangan produk perikanan secara besar-besaran,

3
terutama di Jepang. Banyak sekali jumlah penelitian yang telah dilakukan yang
berkaitan dengan kesegaran ikan dimana ditujukan untuk menciptakan suatu
sistem pengujian kesegaran ikan, misalnya karakteristik apa yang perlu dipilih
untuk menentukan kesegaran ikan.
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), cara organoleptik adalah cara
penilaian dengan hanya mempergunakan indera manusia, sehingga cara
organoleptik dapat juga disebut dengan cara sensorik. Cara ini sangat cepat,
murah dan praktis untuk dikerjakan tetapi ketelitiannya sangat tergantung pada
tingkat kepandaian orang yang melaksanakannya. Cara pemeriksaan organoleptik
ini bersifat subjektif.
Beberapa uji yang termasuk dalam uji organoleptik adalah uji deskriptif
(descriptive test), uji hedonik (hedonic test), dan uji skor (scoring test). Uji
deskriptif merupakan penilaian sensorik berdasarkan sifat-sifat sensori yang lebih
kompleks, meliputi berbagai jenis sifat sensori yang menggambarkan keseluruhan
sifat komoditi tersebut. Uji ini dapat digunakan dalam industri pangan untuk
menilai tingkat pengembangan kualitas produk, mempertahankan/menyeragamkan
mutu, sebagai alat diagnosis, dan dapat berfungsi sebagai pengukuran pengawasan
mutu. Pengujian diawali dengan penilaian atribut mutu menggunakan Metode
Rating, kemudian data ditransformasikan ke dalam grafik majemuk yang disusun
secara radial dengan sudut antar dua garis radial yang sama besar. Masing-masing
garis menggambarkan himpunan nilai sedangkan titik pusat menyatakan nilai
mutu yang tertinggi (Junianto, 2003).
Ikan yang baik adalah ikan yang masih segar, tidak ada kerusakan fisik,
kualitas prima karena kualitas dari protein aktin dan miosin dalam jaringan ikan
segar masih sangat tinggi untuk menahan air. Di Indonesia sampai saat ini juga
masih menggunakan standar SNI untuk pengujian organoleptik. Metode
organoleptik masih merupakan jalan yang paling banyak digunakan untuk
mengukur kesegaran ikan dan produk ikan (Agustini et. al., 2008).

4
III. METODOLOGI

A. Bahan

Bahan yang digunakan yaitu :


1. Ikan Bulan – bulan dengan tingkat kesegaran berbeda beda

B. Alat

Alat yang digunakan yaitu :


1. Piring
2. Pinset
3. ATK (Alat Tulis Kerja)
4. Tabel Penilaian Organoleptik Ikan segar

C. Prosedur Kerja

1. Asisten praktikum menyediakan ikan dengan berbagai tingkat


kesegaran (biasa dilakukan perlakuan lebih dulu agar mutu
kesegarannya berbeda).
2. Sebaiknyya dibuat masing – masing ikan 2 kali ulangan (ikan dengan
tingkat kesegaran A sebanyak 2 ekor dan ikan dengan tingkat
kesegaran B sebanyak 2 Ekor)
3. Masing – masing ikan tersebut diberi Kode (tiga angka atau
kombinasi huruf dan angka).
4. Tampilkan masing – masing sampel yang telah diberi kode pada jarak
> 1 meter dari sampel lainnya.
5. Masing – masing praktikan menggunakan lembar penilaian sensori
ikan segar untuk mengamati sampel ikan yang telah disediakan.
6. Penilaian harus dilakukan secara mandiri dan tidak ada diskusi dengan
asisten praktikum maupun peserta lainnya.

5
7. Analisis data dan deskripsikan tingkat kesegaran masing – masing
ikan yang diamati.

Gambar 1. Panelis menganalisis

6
IV. Hasil dan Pembahasan

A. Hasil

1. Penilaian Organoleptik Ikan Segar Bulan – bulan


(Terlampir)
2. Analisis data Uji Organoleptik
Tabel 1. Analisis data uji organoleptik.
No. Nama Parameter
Rupa Bau Tekstur Mata
Nilai/rata Nilai/rata Nilai/rata Nilai/rata
–rata –rata –rata –rata
1. Syahril Saili 91/6.06 30/6 34/6.8 29/5.8

2. Azizah 74/4.93 23/4.6 28/5.6 16/3.2


Purnamasari
3. Lian Nada 89/5.93 32/6.4 34/6.8 35/7
Kasih

B. Pembahasan

Pada saat praktikum, ditunjuk 3 orang sebagai panelis dalam melakukan


analisis data uji organik. Dihasilkan rata – rata nilai mutu dengan rumus :
Jumlah nilai mutu

Jumlah Keseluruhan Kode

Sehingga dihasilkan :

Syahril Saili dengan rata – rata nilai Mutu : 6.13

Azizah Purnamasari dengan rata – rata nilai mutu : 4.7

Lian Nada Kasih dengan rata – rata nilai mutu : 6.33

7
V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil praktikum yang kami dapatkan dapat disimpulkan bahwa :


1. Syahril Saili dengan rata – rata nilai Mutu : 6.13
2. Azizah Purnamasari dengan rata – rata nilai mutu : 4.7
3. Lian Nada Kasih dengan rata – rata nilai mutu : 6.33

B. Saran

1. Diharapkan kedepannya pada proses praktikum, mahasiswa tidak main


main dalam melakukan kegiatan praktikum.
2. Diharapkan Alat dan bahan yang akan digunakan pada saat praktikum
tersedia dengan lengkap.
3. Diharapkan di praktikum selanjutnya diberi pengarahan dengan baik
sehingga praktikan dapat mengerjakan dengan lancar.
4. Harapannya di praktikum selanjutnya teman – teman inisiatif untuk
mengerjakan laporan sesuai poksi yang diberikan.

8
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ikan dikenal sebagai suatu komoditi yang mempunyai nilai gizi tinggi namun
mudah busuk karena mengandung kadar protein yang tinggi dengan kandungan
asam amino bebas yang digunakan untuk metabolisme mikroorganisme, produksi
amonia, biogenik amine, asam organik, katone dan komponen sulfur (Lu et al,
2010; Delgaard et. Al, 2006). Sumber gizi yang bagus tersebut dapat diperoleh
jika kondisi ikan dalam keadaan segar. Namun karena ikan dikenal sebagai bahan
pangan yang mudah busuk, maka perlu dilakukan cara untuk memperlambat
pembusukan diantaranya adalah dengan mendinginkan dan menyimpannya dalam
es (White et al., 1990 Opara et al., 2007).
Es dapat digunakan memperlambat pembusukan dan memperpanjang shel-life
ikan (Iljas, 1993; Oehlenschlager, 2010). Tingginya suhu pada negara tropis
termasuk indonesia dan minimnya penerapan sanitasi dan hygiene pada
penangkapan ikan menyebabkan ikan lebih cepat busuk sehingga memerlukan
penanganan yang cepat dan cermat dalam upaya mempertahankan mutunya sejak
diangkat dari air.
Pendinginan merupakan perlakuan yang paling umum dalam
mempertahankan mutu hasil perikanan terutama dalam tahap penanganan. Dalam
penanganan ikan segar diupayakan suhu selalu rendah mendekati 0 C dan dijaga
pula jangan sampai suhu naik akibat terkena sinar matahari atau kekurangan es.
Penanganan ikan harus dilakukan secepat mungkin untuk menghindari
kemunduran mutu ikan sehingga diperlukan bahan dan media pendinginan yang
sangat cepat dalam menurunkan suhu ikan pada pusat thermal ikan. Suhu
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesegaran ikan. Tingkat
kesegaran ikan akan semakin cepat menurun atau ikan akan mudah menjadi busuk
pada suhu tinggi dan sebaliknya pembusukan dapat dihambat pada suhu rendah
(Suparno et al., 1993)

9
B. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui proses
pendinginan ikan

10
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Layang

Ikan layang merupakan ikan perenang cepat dan hidup secara berkelompok
dilaut yang jernih dan bersalinitas tinggi. Ikan layang hidup dengan salinitas
tinggi yaitu ± 32%. Ikan layang juga termasuk dalam jenis ikan stenohalyn yang
dapat hidup hanya dengan memakan plankton. Ikan layang memiliki badan
memanjang dan agak gepeng, memiliki dua sirip dipunggung. Ikan layang ini
termasuk kedalam famili carangidae dengan genus decapterus yang memiliki
ukuran tubuh dengan panjang sekitar 20-25 cm dan juga umumnya berwarna biru
kehijauan, hijau pupus bagian atas, putih perak bagian bawah.
Klasifikasi ikan layang menurut klasifikasi Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Divisi : Perciformes
Sub divisi : Carangi
Famili : Carangidae
Genus : Decapterus
Spesies : Decapterus sp.

B. Pendinginan

Prinsip pendinginan adalah mendinginkan ikan secepat mungkin ke suhu


serendah mungkin tetapi tidak sampai menjadi beku. Umumnya pendinginan tidak
dapat mencegah pembusukan secara total, tetapi semakin dingin suhu ikan,
semakin besar penurunan aktivitas bakteri dan enzim. Dengan demikian melalui
pendinginan proses bakteriologi dan biokimia pada ikan hanya tertunda, tidak
dihentikan. Mendinginkan ikan seharusnya ikan diselimuti oleh medium yang

11
lebih dingin darinya, dapat berbentuk cair, padat, atau gas. Pendinginan ikan dapat
dilakukan dengan menggunakan refrigerasi, es, slurry ice (es cair), dan air laut
dingin (chilled sea water).
Cara yang paling mudah dalam mengawetkan ikan dengan pendinginan
adalah menggunakan es sebagai bahan pengawet, baik untuk pengawetan di atas
kapal maupun setelah di daratkan, yaitu ketika di tempat pelelangan, selama
distribusi dan ketika dipasarkan. Penyimpanan ikan segar dengan menggunakan es
atau sistem pendinginan yang lain memiliki kemampuan yang terbatas untuk
menjaga kesegaran ikan, biasanya 10–14 hari (Wibowo dan Yunizal 1998 diacu
dalam Irianto dan Soesilo 2007). Pertama yang perlu diperhatikan di dalam
penyimpanan dingin ikan dengan menggunakan es adalah berapa jumlah es yang
tepat digunakan. Es diperlukan untuk menurunkan suhu ikan, wadah dan udara
sampai mendekati atau sama dengan suhu ikan dan kemudian mempertahankan
pada suhu serendah mungkin, biasanya 0oC. Perbandingan es dan ikan yang ideal
untuk penyimpanan dingin dengan es adalah 2 : 1. Hal lain yang juga perlu
dicermati di dalam pengawetan ikan dengan es adalah wadah yang digunakan
untuk penyimpanan harus mampu mempertahankan es selama mungkin agar tidak
mencair. Wadah peng-es-an yang ideal harus mampu mempertahankan suhu tetap
dingin, kuat, tahan lama, kedap air dan mudah dibersihkan. Untuk itu diperlukan
wadah yang memiliki daya insulasi yang baik (Wibowo dan Yunizal 1998 diacu
dalam Irianto dan Soesilo 2007).
Tujuan penyimpanan suhu dingin (cold storage) adalah untuk mencegah
kerusakan tanpa mengakibatkan pematangan abnormal atau perubahan yang tak
diinginkan sehingga mempertahankan komoditas dalam kondisi yang dapat
diterima oleh konsumen selama mungkin (Tranggono, 1990).
Proses pendinginan dan pembekuan tidak mampu membunuh semua
mikroba, sehingga pada saat dicairkan kembali (thawing), sel mikroba yang tahan
terhadap suhu rendah akan mulai aktif kembali dan dapat menimbulkan masalah
kebusukan pada bahan pangan yang bersangkutan (Hudaya, 2008).
Faktor – faktor yang mempengaruhi pendinginan yaitu:
1. Suhu

12
2. Kualitas bahan
3. Perlakuan awal pada bahan
4. Kelembaban
5. Aliran udara yang optimum

A. Es

Es air tawar terus memainkan peranan utama dalam mendinginkan ikan di


atas kapal karena manfaat yang ditawarkannya. Desain dan pengoperasian ruang
ikan dan area penyimpanan di mana es digunakan tidaklah rumit. Es berkualitas
baik memberikan penyimpanan yang bersih, lembab, dan berudara untuk ikan. Es
tidak berbahaya, dapat dipindahkan, tidak mahal, dan, karena ia mencair pada
tingkat tertentu, sejumlah tingkat pengendalian dapat dipertahankan atas suhu
ikan. Es juga memainkan peran penting dalam mencegah dehidrasi ikan selama
penyimpanan. Es mendinginkan dengan cepat tanpa banyak mempengaruhi
keadaan ikan, serta biayanya murah. Es banyak digunakan termasuk di Indonesia.

Pada umumnya, es sebagai bahan pendingin ikan yang paling banyak


dipakai. Es kebanyakan dibuat dari air tawar dan selebihnya dari air laut, yaitu
pada proses produksi es yang dilakukan di kapal ikan (Adawyah 2007). Es
merupakan medium pendingin yang paling baik bila dibandingkan dengan
medium pendingin lain karena es batu dapat menurunkan suhu tubuh ikan dengan
cepat tanpa mengubah kualitas ikan dan biaya yang diperlukan juga relatif lebih
rendah bila dibandingkan dengan penggunaan medium pendingin lain (Afrianto
dan Liviawaty 1989). Fungsi es dalam pendinginan ikan yaitu (Adawyah 2007):
a. Menurunkan suhu daging sampai mendekati 0℃.
b. Mempertahankan suhu ikan tetap dingin.
c. Menyediakan air es untuk mencuci lendir, sisa-sisa darah, dan bakteri dari
permukaan badan ikan.
d. Mempertahankan keadaan berudara (aerobik) pada ikan, selama disimpan di
dalam palka.

13
III. METODOLOGI

A. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu :


1. Es batu
2. Ikan Layang
3. Garam

B. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu :


1. Styrofoam
2. Baskom
3. Alat pemukul es

C. Prosedur Kerja

1. Timbang berat ikan


2. Siapkan esbatu, kemudian hancurkan menjadi ukuran kecil
3. Timbang es batu dengan perbandingan 2:1 (Es : Ikan)
4. Lakukan penyusunan es batu dan ikan secara. Dimulai dari lapisan es
dilanjutkan ikan. Diamkan selama 15”, 30”, 45”, dan 60”
5. Setelah selesai, ambil ikan dari dalam styrofoam, kemudian cek suhu dan
beratna
6. Amati hasilnya

Gambar 2. Penurunan suhu ikan

14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Dari praktikum pendinginan ikan yang dilakukan, didapat hasil pengukuran


suhu yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Hasil pengamatan suhu daging ikan
Waktu

15 menit 30 menit 45 menit 60 menit


Suhu 18oC 3.1oC 1.6oC 2.4oC
Berat 93 gram 76 gram 69 gram 50 gram

B. Pembahasan

Berdasarkan tabel di atas diperoleh bahwa hasil pengamatan pendinginan ikan


layang, perbandingan yang digunakan yaitu 2 : 1 (Es : Ikan) dimana berat ikan
adalah 288 gram sehingga berat es batu yang diperlukan harus 576 gram.
Pengamatan dilakukan dengan selang waktu 15 menit, pada waktu 15 menit suhu
ikan layang I menunjukkan 18oC. Pada pengamatan 15 menit kedua suhu ikan
layang II menunjukkan 3.1oC. Pengamatan 15 menit ketiga suhu ikan layang III
menunjukkan 1.6oC. Pengamatan 15 menit berikutnya suhu ikan layang IV
menunjukkan 2.4oC. Mengapa pada pengamatan terakhir suhu naik, itu
dikarenakan es batu yang sudah mencair sehingga suhu naik dari suhu
sebelumnya.

15
V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Ikan merupakan bahan makanan yang mudah mengalami pembusukan


sehingga upaya pengolahan dan pengawetan hasil perikanan mutlak diperlukan
untuk menjaga kualitas ikan agar sampai ditangan konsumen dalam keadaan baik
dan layak dikonsumsi sebagai makanan. Salah satu cara yang dapat dilakukan
pada penanganan hasil perikanan adalah pendinginan. Pendinginan adalah salah
satu cara memperpanjang mutu ikan dan mempertahankan kesegarannya.
Sehingga ikan yang telah mengalami pendinginan dapat dimanfaatkan dalam
jangka waktu yang lebih panjang dan ikan akan masih terlihat segar. Hal itu dapat
terlihat dari sifat organoleptik yaitu mata agak cerah, bola mata rata, warna insang
agak merah kusam, tanpa lendir, dan lapisan lendir dipermukaan mulai keruh.
Adapun hasil praktikum yang didapat yaitu 15 menit = 18oC, 30 menit = 3.1oC, 45
menit = 1.6oC, 60 menit = 2.4oC, dengan berat keseluruhan ikan 288 gram.

B. Saran

Diharapkan pada seluruh mahasiswa/i dalam melakukan praktikan agar dalam


melaksanakan praktikum teknologi hasil perikanan, khusunya dalam hal
pengawetan ikan dengan cara pendinginan ini dilakukan dengan sungguh–
sungguh supaya nantinya penulisan laporan ini akan bermanfaat bagi orang lain
serta memahami apa yang sudah dikerjakan sehingga tidak sia – sia.

16
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ikan adalah binatang berdarah dingin yang hidup didalam air dan mempunyai
sirip sebagai penggerak serta bernafas dengan insang. Ikan merupakan sumber
makanan yang mengandung protein, dikenal sebagai protein hewani, yang
merupakan bahan gizi penting bagi tubuh manusia. Permintaan ikan segar untuk
kebutuhan pasar lokal maupun pasar ekspor semakin meningkat dari tahun ke
tahun
Hal ini menuntut nelayan untuk tetap menjaga kesegaran ikan yang
diperolehnyya dengan teknik – teknik yang semakin diperbaiki, karenanya
diperlukan upaya – upaya tertentu untuk mempertahankan kesegaran ikan hingga
sampai ketangan konsumen, mengingat ikan segar mempunyai sifat yang mudah
rusak karena aktivitas mikroorganisme atau terjadinya proses kimia dalam tubuh
ikan itu sendiri
Proses dan teknik mempertahankan kesegaran ikan yyang banyak dikenal
dikalangan masyarakat secara tradisional adalah pemindangan, teknik ini biasanya
dipergunakan bagi kebutuhan ikan segar untuk pasar lokal. Sedangkan untuk
pasar ekspor, teknik yang digunakan lebih canggih dan modern seperti suhu
rendah, suhu tinggi, pengurangan kadar air, penambahan zat antiseptik, dan ruang
hampa udara.

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui proses
pengawetan ikan secara tradisional, dan mengetahui proses pemindangan ikan,
serta mengetahui teknik pemindangan ikan.

17
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemindangan Ikan

Menurut Wibowo (1996), pada dasarnya pemindangan ikan merupakan upaya


pengawetan sekaligus pengolahan ikan yang menggunakan teknik penggaraman
dan pemanasan. Pengolahan tersebut dilakukan dengan merebus atau
memanaskan ikan dalam suasana bergaram selama waktu tertentu di dalam suatu
wadah. Garam yang digunakan berperan sebagai pengawet sekaligus memperbaiki
cita rasa ikan, sedangkan pemanasan mematikan sebagian besar bakteri pada ikan,
terutama bakteri pembusuk dan patogen. Selain itu, Pemanasan dengan garam
tinggi tersebut menyebabkan tekstur ikan berubah menjadi lebih kompak. Ikan
pindang pun menjadi lezat dan lebih awet daripada ketika masih segar
Afrianto dan Liviawaty (1989), menyatakan bahwa pengolahan ikan dengan
cara pemindangan sudah cukup memasyarakat, terutama dikalangan nelayan. Hal
ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu:
1. Pemindangan sangat mudah dilaksanakan dan tidak banyak memakan
biaya, sehingga dapat dilaksanakan oleh petani ikan atau nelayan.
2. Hasil pemindangan masih berbentuk ikan segarsehingga dapat digunakan
sebagai bahan baku untuk diolah lebih lanjut, juga dapat langsung
dimakan karena memang telah matang.
3. Ikan pindang sangat disukai karena mengandung rasa yang sesuai dengan
selera masyarakat, yaitu mendekati rasa ikan hasil pengalengan.
4. Karena nilai gizi ikan pindang relatif masih tinggi, ikan hasil proses
pemindangan dapat digunakan sebagai salah satu sumber protein hewani.
5. Sebagai bahan baku pembuatan ikan pindang dapat digunakan ikan dengan
berbagai tingkat kesegaran, meskipun persyaratan tingkat kesegaran
tertentu tetap harus dipenuhi agar produk akhir yang dihasilkan lebih
bermutu.

18
B. Syarat Keberhasilan Pemindangan

Keberhasilan proses pemindangan ikan sangat dipengaruhi oleh mutu bahan –


bahan yang digunakan dan kondisi lingkungan. Selain ikan, bahan utama
pembuatan ikan pindang adalah garam. Bahan – bahan yang akan digunakan harus
memenuhi syarat tertentu agar ikan pindang yang dihasilkan bermutu baik.
Syarat- syarat yang harus dipenuhi adalah:
a. Ikan harus segar. Meskipun ikan dengan tingkat kesegaran yang berbeda -
beda dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan ikan pindang, ikan
yang telah membusuk sebaiknya tidak digunakan. Penggunaan ikan
dengan tingkat kesegaran rendah akan menghasilkan produk akhir yang
kurang baik (hancur), sehingga harga jual rendah. Selain itu, penggunaan
ikan dengan tingkat kesegaran rendah akan menghasilkan ikan pindang
yang terlalu asin. Hal ini terjadi karena proses penetrasi garam kedalam
daging ikan yang kurang segar berlangsung terlalu cepat (Afrianto dan
Liviawaty, 1989).
b. Mutu garam harus baik. Selanjutnya Afrianto dan Liviawaty (1989)
menyatakan bahwa mutu garam akan mempengaruhi kecepatan penetrasi
garam kedalam tubuh ikan. Kecepatan penetrasi garam kedalam tubuh
ikan sangat tergantung pada kadar NaCl yang dikandungnya. Semakin
tinggi kadar NaCl yang dikandung, semakin cepat pula penetrasi
berlangsung.Menurut Santoso (1998), kemurnian garamsangat
mempengaruhi mutu ikan pindang yang dihasilkan. Sebaiknya tidak
sembarangan menggunakan garam. Masih banyak garam yang
mengandung bakteri, lumpur, kotoran, dan elemen- elemen tertentu
(MgCl2, CaCl2, MgSO4, CaSO4, Fe dan Cu). Jadi sebaiknya digunakan
garam murni yang mengandung NaCl (95%).
Kondisi lingkungan harus sehat. Kondisi lingkungan harus sehat Kondisi
lingkungan harus benar – benar diperhatikan karena dapat mempengaruhi produk
ikan pindang. Agar ikan pindang yang dihasilkan bermutu baik dan mempunyai
daya awet tinggi, faktor – faktor sanitasi harus diperhatikan. Alat dan bahan yang

19
digunakan harus bersih, demikian pula halnya tempat penyimpanan ikan hasil
pemindangan (Afrianto dan Liviawaty, 1989).
Cara paling mudah untuk menilai mutu ikan pindang adalah dengan menilai
mutu sensorisnya. Minimal empat cara parameter sensoris yang perlu dinilai, yaitu
rupa dan warna, bau, rasa, dan tekstur. Berikut adalah kriteria ikan pindang yang
bermutu baik pada tabel 1.
Tabel 3. Kriteria pemindangan yang baik
Parameter Keterangan
Rupa danwarna Utuh, bersih, tidak terdapat benda asing, tidak terlihat
endapan lemak atau lainnya. Warna produk spesifik jenis,
cemerlang, tidak berkapang dan berlendir.
Bau Spesifik jenis produk, bau produk ikan rebus, bau gurih
dan segar.
Rasa Gurih spesifik produk, tidak terdapat rasa asin yang
berlebihan dan keasinan merata.
Tekstur Kompak, padat, spesifik jenis produk, empuk, cukup kering
dan tidak basah

C. Jenis Pemindangan

Menurut Wibowo (1996), cara pemindangan ikan yang dilakukan sangat


bervariasi tergantung daerah, jenis ikan, dan kebiasaan pengolah. Akibatnya
proses dan mutu pindang yang dihasilkan sangat beragam. Karena itu, dapat
dibuat beberapa kelompok ikan pindang berdasarkan proses, wadah yang
digunakan, jenis ikan, perlakuan atau bumbu yang ditambahkan, dan daerah asal.

20
III. METODOLOGI

A. Bahan
Berikut adalah alat yang digunakan pada praktikum pemindangan ikan:
1. Pisau
2. Timbangan
3. Baskom
4. Panci
5. Kompor

B. Alat
Berikut adalah bahan yang digunakan pada praktikum pemindangan ikan:
1. Ikan Layang
2. Garam (5%)
3. Kunyit
4. Air

C. Prodesur Kerja

1. Ikan yang masih segar ditimbang (Timbangan 1) dan dibersihkan insang


serta isi perutnya, ikan dicuci bersih lalu tiriskan
2. Ikan ditimbang kembali setelah dibersihkan isi perut (Timbangan 2)
3. Timbang garam sebanyak 0% dari berat ikan (Tanpa garam)
4. Didihkan terlebih dahulu air garam, setelah mendidih bisa masukkan ikan
didalam air rebusan tersebut.
5. Tunggu selama 10 menit, angkat dan tiriskan
6. Ikan pindang siap diamati dan dimakan

21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel 4.Organoleptik Ikan Segar
Titik Pengamatan Nilai Kode Contoh
01 02 03 04
1. Kenampakan
Utuh, rapi, warna bercahaya 9
cemerlang
Utuh, rapi, bersih, warna kurang 8
cemerlang bercahaya
Utuh, rapi, bersih, warna kurang 7
 
bercahaya
Utuh, rapi, kurang bersih, agak kusam 6  
Utuh, tidak rapih, kurang bersih, agak 5
kusam
Utuh, tidak rapih, kusam 3
Utuh, tidak rapih, sangat kusam 1

2. Bau
Sangat segar, harum 9
Segar, harum 8   
Segar, kurang harum 7 
Kurang segar mendekati netral 6
Mulai timbul asam 5
Asam agak basi 3
Asam, busuk 1

3. Rasa
Sangat enak, gurih 9

22
Enak, gurih 8
Enak, kurang gurih 7
Kurang gurih, agak hambar 6
Netral 5
Asam agak basi 3
Asam busuk 1

4. Tekstur
Sangat padat, kompak lentur 9  
Padat, kompak lentur 8  
Netral 7
Kurang padat, kurang kompak, agak 6
lembek
Kurang padat, kurang kompak lembek 5
Lembek dan berair 4
Lembek sekali 1
5. Lendir
Tidak berlendir 9

B. Pembahasan

Analisis data uji organoleptik berdasarkan tabel hasil uji ikan layang
mengenai uji kenampakan terbaik dapat pada konsentrasi perlakuan penambahan
konsentrasi garam.
Pengamatan mengenai aroma yang memiliki tingkat yang terlalu tajam
dikarenakan konsentrasi garam yang kami gunakan 0oC pada, penambahan garam
dengan konsentrasi yang berbeda-beda berpengaruh terhadap aroma dari ikan
pindang tersebut.
Pengamatan dari segi tekstur menggunakan indera peraba yang berkaitan
dengan struktur, tekstur dan konsistensi. Struktur merupakan sifat dari komponen
penyusun, tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan mulut

23
atau perabaan dengan jari tangan. Pengujian terhadap rasa ikan pindang pada saat
itu tidak dilakukan karena praktikum bertepatan pada bulan puasa sehingga
panelis tidak dapat menilai.

Gambar 3. Pengukusan Pindang selama 30 menit

24
V. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pemindangan ikan merupakan upaya pengawetan sekaligus pengolahan


ikan yang menggunakan teknik penggaraman dan pemanasan. Pengolahan
tersebut dilakukan dengan merebus atau memanaskan ikan dalam suasana
bergaram selama waktu tertentu di dalam suatu wadah.
2. Keberhasilan proses pemindangan ikan sangat dipengaruhi oleh mutu
bahan – bahan yang digunakan dan kondisi lingkungan.
3. Pemindangan ikan menggunakan air garam adalah salah satu jenis cara
pemindangan ikan, yaitu dengan merebus ikan dalam larutan garam yang
mendidih pada suatu wadah yang disebut naya atau besek dengan lama
perebusan biasanya 30 – 60 menit atau tergantung pada ukuran ikan.
Namum pada praktikum konsentrasi garam yang kami gunakan 0oC (Tidak
ada)
4. Dari segi teknologi pengawetan makanan, produk pindang air garam
mungkin dapat diklasifikasikan sebagai produk setengah diawet (semi
preserved) mengingat daya awetnya yang relatif singkat.

B. Saran

1. Proses pemindangan ikan menggunakan air garam perlu dikembangkan


dengan cara menyebarkannya, mengingat cara pengolahannya yang cukup
sederhana, sarana dan prasarana yang dibutuhkanpun tidak mahal.
2. Karena masih kandungan gizinya relatif masih tinggi, hasil akhirnya yang
masih menyerupai ikan segar, dan berbagai keistimewaan lainnya

25
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses pengelolahan dan pengawetan ikan merupakansalah satu bagian


penting dari mata rantai industri perikanan. Tanpa adanya kedua proses
tersebut, peningkatan produksi ikan selama ini akan sia –sia, karena tidak
semua produk perikanan dimanfaatkan oleh konsumen dalam keadaan baik.
Pengelolahan dan pengawetan bertujuan untuk mempertahankan mutu dan
kesegaran ikan selama mungkin dengan cara mengahambat atau menghentikan
sama sekali penyebab kemunduran mutu ( pembusukan ) maupun penyebab
kerusakan ikan,agar ikan tetap baik hingga sampai ketangan konsumen. ( Tim
Penyusun Praktikum, 2019 )

Ikan hasil pengelolahan dan pengawetan umumnya disukai oleh


masyakarat kerena produk akhirnya mempunyai ciri –ciri khusus yakni
perubahan sifat –sifat daging seperti bau , rasa, bentuk dan tekstur. Dalam
proses pengelolahan dan pengawetan ikan terdapat banyak cara salah satunya
dengan cara penggaraman. ( Tim Penyusun Praktikum, 2019 )

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui cara
mengelolah dan pengawetan dengan metode penggaraman ( metode penggaraman
kering dan penggaraman basah.)

26
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penggaraman

Penggaraman merupakan proses pengawetan yang banyak dilakukan di


berbagai negara, termasuk Indonesia. Proses tersebut menggunakan garam sebagai
media pengawet, baik yang berbentuk kristal maupun larutan. Selama proses
penggaraman, terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan
dari tubuh ikan karena perbedaan konsentrasi. Cairan itu dengan cepat
dapatmelarutkan kristal garamatau mengencerkanlarutan garam.

Bersamaan dengan keluarnya cairan daridalam tubuh ikan, partikel garam


akan memasuki tubuh ikan. Lama kelamaan kecepatan proses pertukaran garam
dan cairan semakin lambat dengan menurunnya konsentrasi garam di luar tubuh
ikan dan meningkatnya konsentrasi garam di dalam tubuh ikan. Bahkan
pertukaran garam dan cairan tersebut berhenti sama sekali setelah terjadi
keseimbangan. Proses itumengakibatkan pengentalan cairan tubuh yang masih
tersisa dan penggumpalan protein (denaturasi serta pengerutan sel-sel tubuh ikan
sehingga sifat dagingnya berubah) (Suryanto, 2003).

Selama proses penggaraman berlangsung terjadi penetrasi garam ke dalam


tubuh ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena adanya perbedaan
konsentrasi. Cairan tersebut dengan cepat akan melarutkan kristal garam atau
mengencerkan larutan garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam
tubuh ikan, partikel garam pun masuk ke dalam tubuh ikan. Ikan yang telah
mengalami proses penggaraman, sesuai dengan prinsip yang berlaku, akan
mempunyai daya simpan tinggi karena garam dapat berfungsi menghambat atau
menghentikan reaksi autolisis danmembunuh bakteri yang terdapat di dalam tubuh
ikan. Cara kerja garam di dalam menjalankan fungsi kedua sebagai berikut.
Garam menyerap cairan tubuh ikan, selain itu garam juga menyerap cairan tubuh
bakteri sehingga proses metabolisme bakteri terganggu karena kekurangan cairan,
akhirnya bakteri mengalami kekeringan dan mati (Budiman, 2004).

27
B. Metode Penggaraman

Pengawetan ikan dengan cara penggaraman terdiri dari 2 proses yaitu,proses


penggaraman dan proses pengeringan. Adapun tujuan dari prosespenggaraman
yakni untuk memperpanjang masa awet dan daya simpan ikan.Ikan yang digarami
dapat menghambat atau membunuh bakteri penyebabkebusukan ikan (Adawiyah,
2007).

1. Penggaraman Kering
Metode penggaraman keringmenggunakan kristal garam yangdicampurkan
dengan ikan. Pada umumnya,ikan yang berukuran besar dibuang isi perutdan
badannya dibelah dua. Dalam proses penggaraman ikan ditempatkandidalam wadah
yang kedap air. Ikan disusun rapi dalam wadah selapis demiselapis dengan setiap
lapisan ikan ditaburi garam. Lapisan paling atas dan palingbawah wadah merupakan
lapisan garam. Garam yang digunakan pada prosespenggaraman umumnya
berjumlah 10 % - 35 % dari berat ikan yang digarami.Pada waktu ikan bersentuhan
dengan kulit atau daging ikan (yang basah/berair),garam itu mula-mula akan
membentuk larutan pekat. Larutan ini kemudian akanmeresap kedalam daging ikan
melalui proses osmosa. Jadi, kristal garam tidaklangsung menyerap air, tetapi
terlebih dahulu berubah jadi larutan. Semakin lamalarutan akan semakin banyak dan
ini berarti kandungan air dalam tubuh ikansemakin berkurang (Budiman, 2008).

2. Penggaraman Basah
Penggaraman basah menggunakan larutan garam 30-50% (setiap 100 liter
larutan garam berisi 30-50 kg garam). Ikan dimasukan kedalam larutan itu dan
diberi pemberat agar semua ikan terendam, tidak ada yang terapung. Ikan
direndam dalam jangka waktu tertentu tergantung pada ukuran dan tebal ikan
serta erajat keasinan yang diinginkan. Didalam proses osmosis, kepekaan
makin lama makin berkurang, karena air dari dalam daging ikan secara
berangsur-angsur masuk kedalam larutangaram, sementara sebagian molekul
garam masuk kedalam daging ikan. Karenakecenderungan daging ikan
penurunan kepekaan larutan garam itu, maka prosesosmosis akan semakin

28
lambat dan pada akhirnya berhenti. Larutan garam yanglewat jenuh adalah
jumlah garam lebih banyak dari jumlah yang dapat dilarutkan sehingga dapat
dipergunakan untuk memperlambat kecenderungan itu (Adawiyah, 2007).
Bedanya dengan penggaraman kering adalah larutan garam perendamikan
dibuat lebih dulu sehingga konsentrasi larutan ini disesuaikan dengan seleradan
keperluan. Umumya larutan garam yang digunakan 30% - 50% (setiap 100liter
larutan garam berisi 30-50 kg garam). Kench salting hampir sama
denganpenggaraman kering, tetapi larutan garam yang terbentuk dibiarkan
mengalirkeluar dari wadah. Wadah yang digunakan tidak kedap air tetapi
berupakeranjang. Ikan yang dilumuri garam ditumpuk dalam keranjang dan
dipadatkanserta ditutup rapat (Moeljanto, 1992).

C. Jenis – jenis Garam

Garam dapur yang mempunyai nama kimia sodium klorida (rumus kimia:
NaCl) adalah senyawa kimia yang tersusun dari sodium (Na) dan klorida (Cl).
Sodium (Na) adalah salah satu elemen penting dalam tubuh untuk proses
metabolisme sel, dan merupakan mineral dalam darah dan cairan limpa. Sodium
(Na) juga diperlukan tubuh untuk menjaga fungsi saraf dan otot. Kebutuhan tubuh
terhadap sodium bisa didapatkan dari asupan makanan. Sumber sodium yang
murah meriah adalah garam dapur. Jelasnya, garam dapur yang kita gunakan
untuk memasak tidak hanya sebagai pelengkap rasa, tetapi juga untuk memenuhi
kebutuhan sodium dalam menjaga keseimbangan fungsi tubuh. Garam dapur atau
sodium klorida (rumus kimia: NaCl). tidak hanya diproduksi dari air laut saja.
Bahan kimia ini bisa juga ditambang dari dalam bumi, yaitu dari endapan mineral
sodium klorida yang terbentuk lama dan tertutup lapisan bumi (Martini, 2010).

Garam meja merupakan olahan dari garam laut, butirannya lebih halus, dan
biasanya diberi tambahan mineral lainnya. Namun, garam meja mempunyai
kandungan iodium lebih sedikit. Garam meja merupakan olahan dari garam laut,
butirannya lebih halus, dan biasanya diberi tambahan mineral lainnya. Namun,
garam meja mempunyai kandungan iodium lebih sedikit. Garam meja diproses

29
dengan cara yang sangat murni. Sehingga membentuk butiran yang halus dan
lembut. Meskipun garam bukan sumber yodium yang utama, tapi di dalamnya
terkandung zat yang sangat penting untuk kesehatan tiroid. Nutrisi tersebut,
pertama kali ditambahkan ke dalam garam pada tahun 1920. Bertujuan untuk
mencegah gondok dan gangguan neurokognigtif, yang muncul akibat kurang
yodium (Ishikawa, 1988).

30
III. METODOLOGI

A. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini ialah :
1. Ikan nila
2. Garam
3. Plastik packing
4. Air

B. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini ialah :
1. Pisau
2. Timbangan
3. Alat packing
4. Alat tulis
5. Baki kecil

C. Prosedur Kerja
1. Siapkan semua alat dan bahan yang diperlukan.
2. Timbang ikan. (timbang 1)
3. Buang insang ikan dan isi perut ikan. Cuci bersih, tiriskan.
4. Lakukan penimbangan yang sudah disiangi. (timbang 2)
5. Menimbang garam 40% sesuai berat ikan yang ditimbang.
6. Kemudian taburi garam pada seluruh tubuh ikan lalu dibungkus.
Diamkan selama 24 jam.
7. Setelah di diamkan selama 24jam, bungkus packing lalu jemur ikan hingga
kering

Gambar 4. Penimbangan garam

31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Berdasarkan kegiatan praktikum yang dilaksanakan, ikan nila yang bejumlah


3 ekor sebelum disiangi memiliki berat 248 gram dan sesudah disiangi berat ikan
menjadi 187 gram. Kemudian ikan dicampur garam dengan konsentrasi 10 % dari
berat ikan, maka perhitungnya sebangai berikut :

Garam yanyang dibutuhkan : 187 x 10 % = 18.7 gram, Jadi jumlah garam


yang di perlukan untuk penggaraman ikan nila adalah 18.7 gram dari total berat
ikan.

B. Pembahasan

Berdasarkan pratikum penggaraman yang kami lakukan, kami melakukan


penggaraman pada 3 ekor ikan nila, Margono ( 1993 ) menyatakan ikan yang telah
mengalami proses penggaraman, sesuai dengan prinsip yang berlaku, akan yang
mempunyai daya simpan yang tinggi karena garam dapat berfungsi ppenghambat
dan pembunuh bakteri yang terdapat didalam tubuh ikan. Cara kerja garam
didalam menjalan kan fungsi kedua adalah garam menyerap cairan tubuh ikan,
selain itu garam juga menyerap cairan tubuh bakteri sehingga proses metabolisme
bekteri terganggu karena kekurangan cairan, akhirnya bakteri mengalami
kekeringan atau mati.

Hal pertama kali kami lakukan adalah menimbang berat ikan dengan hasil
timbang adalah 248 gram. Kemudian ikan disiangi ( dibuang isi perut dan
ingsangnya ) menggunakan pisau, setelah itu ikan dicuci dengan air bersih.
kemudian ikan kembali kami timbang dengan hasil timbang adalah 187 gram.
Konsentrasi garam yang kami gunakan adalah 10 % dari berat ikan yang telah
kami siangi sehingga garam yang kami gunakan adalah 18.7 gram untuk
penggaraman. Setelah itu ikan dicampuri garam sesuai dengan hasil yang telah
kami dapatkan dan ikan tersebut dimasukkan didalam plastik selama 24 jam untuk
persiapan pengeringan.

32
V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan kami menimbang berat ikan


dengan hasil timbang adalah 248 gram. Kemudian ikan disiangi ( dibuang isi
perut dan ingsangnya ) menggunakan pisau, setelah itu ikan dicuci dengan air
bersih. kemudian ikan kembali kami timbang dengan hasil timbang adalah187
gram. Konsentrasi garam yang kami gunakan adalah 10 % dari berat ikan yang
telah kami siangi sehingga garam yang kami gunakan adalah 18.7 gram untuk
penggaraman. Setelah itu ikan dicampuri garam sesuai dengan hasil yang telah
kami dapatkan dan ikan tersebut dimasukkan didalam plastik dan didiamkan
selama 24 jam untuk persiapan pengeringan.

B. Saran

1. Saat menyiangi ikan lakukan dengan hati – hati karena menggunakan


alat tajam.
2. Jaga kebersihan laboratorium agar selalu bersih, sehingga nyaman saat
mengerjakan praktikum.
3. Hitunglah dengan seksama garam sesuai konsentrasi garam yang
diarahakan oleh asisten praktikum.
4. Lakukan dengan baik dan senang hati agar praktikum berjalan lancar.

33
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses pengolahan dan pengawetan ikan merupakan salah satu bagian penting
dari mata rantai industri perikanan. Tanpa adanya kedua proses tersebut,
peningkatan produksi ikan yang telah dicapai selama ini akan sia – sia, karena
tidak semua prduk perikanan dimanfaatkan oleh konsumen dalam keadaan baik.
Pengolahan dan pengawetan bertujuan untuk mempertahankan mutu dan
kesegaran ikan selama mungkin dengan cara mengahambat atau menghentikan
sama sekali penyebab kemunduran mutu (pembusukan) maupun penyebab
kerusakan ikan, agar ikan tetap baik hingga sampai ketangan kosnumen
Ikan hasil pengolahan dan pengawetan umumnya disukai oleh masyarakat
karena produk akhirnya mempunyai ciri-ciri khusus yakni perubahan sifat – sifat
daging seperti bau, rasa, bentuk dan tekstur. Dalam proses pengolahan dan
pengawetan ikan terdapat banyak cara salah satunya ialah dengan cara
penggaraman.

B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui cara
pengolahan dan pengawetan dengan metode penggaraman (metode penggaraman
kering dan penggaraman basah).

34
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Pengeringan

Proses pengeringan dapat meningkatkan daya awet ikan karena dapat


disimpan cukup lama dan dalam keadaan layak sebagai makanan manusia.
Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air bahan sampai mencapai kadar
air tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan produk akibat aktivitas
biologi dan kimia. Pengeringan pada dasarnya merupakan proses perpindahan
energy yang digunakan untuk menguapkan air yang berada dalam bahan, sehingga
mencapai kadar air tertentu agar kerusakan bahan pangan dapat diperlambat.
Kelembapan udara pengering harus memenuhi syarat yaitu sebesar 55 – 60%
(Pinem, 2004).
Menurut Hasibun (2005) bahwa bahasa pengeringan merupakan
penghidratan, yang berarti menghilangkan air dari suatu bahan. Proses
pengeringan atau penghidratan berlaku apabila bahan yang dikeringkan
kehilangan sebahagian atau keseluruhan air yang dikandungnya. Proses utama
yang terjadi pada proses pengeringan adalah penguapan. Penguapan terjadi
apabila air yang dikandung oleh suatu bahan teruap. Hal ini terjadi apabila panas
diberikan kepada bahan tersebut. Panas ini dapat diberikan melalui berbagai
sumber, seperti kayu api, minyak dan gas, arang baru ataupun tenaga surya.
Pengeringan dapat dilakukan dengan memanfaatkan energi surya
(pengeringan alami) dan dapat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan
khusus yang digerakkan dengan tenaga listrik. Proses pengeringan bahan pangan
dipengaruhi oleh luas permukaan bahan pangan, suhu pengeringan, aliran udara,
tekanan uap air dan sumber energi yang digunakan serta jenis bahan yang akan
dikeringkan.
Meskipun pengeringan itu akan mengubah sifat daging ikan dari sifatnya
ketika masih segar, tetapi nilai gizinya relatif tetap. Kadar air yang mengalami
penurunan akan mengakibatkan kandungan protein di dalam bahan mengalami
peningkatan. Selama pengeringan juga terjadi perubahan antara lain warna

35
menjadi cokelat. Perubahan warna tersebut dikarenakan reaksi browning. Reaksi
browning nonenzimatis pada ikan yang paling sering terjadi adalah reaksi antara
asam organik dengan gula pereduksi, serta antara asam-asam amino dengan gula
pereduksi disebut juga reaksi Maillard. Reaksi anatara asam-asam amino dengan
gula pereduksi dapat menurunkan nilai gizi protein yang terkandung di dalamnya.
Vitamin - vitamin yang terdapat dalam bahan pangan yang dikeringkan akan
mengalami penurunan mutu, hal ini disebabkan karena ada berberapa vitamin
yang tidak tahan terhadap suhu tinggi. Proses pengeringan yang berlangsung pada
suhu yang sangat tinggi akan menyebabkan terjadinya case hardening, yaitu
bagian permukaan bahan pangan sudah kering sekali bahkan mengeras sedangkan
bagian dalamnya masih basah.

B. Prinsip Pengeringan

Dasar pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena


perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Dalam
hal ini, kandungan uap air udara lebih sedikit atau udara mempunyai kelembapan
nisbi yang rendah sehingga terjadi penguapan (Adawyah, 2006). Proses
pengeringan didasari oleh terjadinya penguapan air (pengisapan air oleh udara)
sebagai akibat perbedaan kandungan air produk dengan udara sekitar. Apabila
kandungan uap air diudara cukup rendah berarti udara mempunyai kelembaban
nisbi yang rendah sehingga kesempatan untuk terjadinya penguapan semakin
besar. Makin tinggi perbedaan kandungan uap air di udara dengan produk, maka
semakin banyak kandungan air yang dikeringkan dapat menguap karena
kesanggupan udara untuk menampungnya semakin besar
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), cara yang umum untuk
mengeringkan ikan adalah dengan menguapkan air dari tubuh ikan, yaitu dengan
menggunakan tiupan udara panas. Penguapan dimulai dari bagian permukaan,
kemudian menjalar kebagian – bagian yang lebih dalam. Kecepatan penguapan
atau pengeringan ditentukan oleh faktor – faktor sebagai berikut:
- Kecepatan Udara, Makin cepat udara bertiup di atas ikan, makincepat ikan
menjadi kering.

36
- Temperatur Udara, Makin tinggi temperature, makin cepat ikan menjadi
kering.
- Kelembapan Udara, Makin lembab udara, makin lambat ikan menjadi
kering
- Ukuran dan Tebal Ikan, Makin tebal ikan, makin lambat ikan kering.
Namun makin luas permukaan ikamn, makin cepat ikan menjadi kering.
- Arah Aliran Udara Terhadap Ikan, Makin kecil sudut antara ikan dengan
arah aliran udara, makin cepat pengeringannya.
- Sifat Ikan, Makin ikan tersebut berlemak, makin lama dan sulit
pengeringannya.

C. Proses Pengeringan

Proses pengeringan diperoleh dengan cara penguapan air. Cara tersebut


dilakukan dengan menurunkan kelembaban nisbi udara dengan mengalirkan udara
panas di sekeliling bahan, sehingga tekanan uap air bahan lebih besar dari tekanan
uap air di udara. Perbedaan tekanan itu menyebabkan terjadinya aliran uap air dari
bahan ke udara. Faktor-faktor yang mempengaruhi penguapan adalah laju
pemanasan waktu energi panas dipindahkan pada bahan, jumlah panas yang
dibutuhkan untuk menguapkan air, suhu maksimum pada bahan, tekanan pada
saat terjadinya penguapan.
Pengeringan yang terlampau cepat dapat merusak bahan sehubungan
permukaan bahan terlalu cepat kering sehingga kurang bisa diimbangi dengan
kecepatan gerakan air bahan menuju permukaan. Lebih lanjut, pengeringan cepat
menyebabkan pengerasan pada permukaan bahan sehingga air dalam bahan tidak
dapat lagi menguap karena terhambat. Di samping itu, kondisi pengeringan
dengan suhu yang terlalu tinggi dapat merusak bahan. Pengaturan suhu dan
lamanya waktu pengeringan dilakukan dengan mem perhatikan kontak antara alat
pengering dengan alat pemanas (baik berupa udara panas yang dialirkan maupun
alat pemanas lainnya). Namun demi pertimbangan-pertimbangan standar gizi
maka pemanasan dianjurkan tidak lebih dari 850C.

37
III. METODOLOGI

A. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu :
1. Ikan Nila
2. Garam
3. Plastik Packing

B. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu :
1. Pisau
2. Timbangan
3. Alat Packing
C. Prosedur Praktikum
1. Siapkan semua alat dan bahan yang diperlukan
2. Timbang ikan (timbang 1)
3. Buang insang dan isi perut. Cuci bersih, Tiriskan
4. Lakukan penimbangan ikan yang sudah disiapkan (timbang 2)
5. Menimbang garam 5%, 10%, 15% dst (kelipatan 5%) sesuai berat ikan
yang ditimbang (metode penggaraman kering)
6. Kemudian taburi garam pada seluruh tubuh ikan lalu dibungkus. Diamkan
selama 24 jam
7. Setelah didiamkan selama 24 jam, buka bungkus packing lalu jemur ikan
hingga kering.

Gambar 5. Penjemuran

38
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel 5. Penilaian sensori ikan asin kering

No. Spesifikasi Nilai Kode


Contoh
1 2 3
1. Kenampakan
 Utuh, rapi, bercahaya menurut jenis 9
 Utuh, bersih, kurang rapi, bercahaya 8 
menurut jenis
 Utuh, bersih, agak kusam 7  
 Utuh, kurang bersih, agak kusam 6
 Sedikit rusak fisik,kurang bersih, 5
beberapa bagian berkarat
 Sedikit rusak fisik, kurang bersih, warna 4
sudah berubah
3
 Sedikit hancur, kotor
1
 Hancur kotor sekali warna berubah dari
spesifik jenis
2. Bau
 Harum, spesifik jenis tanpa bau 9
tambahan 8
 Kurang harum, tanpa bau tambahan 7  
 Hamper netral, sedikit bau tambahan 6 
 Netral, sedikit bau tambahan 5
 Bau tambahan menganggu, tidak busuk,
agak tengik 4
 Tengik, agak apek, bau amoniak 3
1
 Tidak enak, agak busuk, amoniak keras
 Busuk
3. Rasa
 Sangat enak sekali, spesifik jenis, tanpa 9
rasa tambahan
 Sangat enak, spesifik jenis, tanpa rasa 7
tambahan
 Enak, spesifik jenis, sedikit rasa 6
tambahan 5
 Agak enak, spesifik jenis, sedikit rasa 4
tambahan
 Kurang enak, sedikit rasa tambahan 3
 Tidak enak, agak busuk 1

39
4. Tekstur
 Padat, kompak, lentur, cukup kering 9
 Padak, kompak, lentur, kurang kering 8  
 Terlalu keras, tidak rapuh 7
 Padat, tidak rapuh 6 
 Padat, basah, tidak mudah terurai 5
 Kering, rapuh, mudah terurai 3
1
 Sangat rapuh, ,udah terurai
5. Jamur
 Tidak ada 9
 Ada 1 

B. Pembahasan

Berdasarkan praktikum yang dilaksanakan tentang penggaraman yang telah


dilakukan karena melakukan penggaraman pada ikan nila. Seperti yang telah kita
ketahui bahwa garam bersifat higroskopis. Garam tersebut saat dilumuri diseluruh
permukaan tubuh ikan yakni dengan garam tersebut menarik keluar air dari dalam
tubuh ikan atau dapat dikatakan garam menyerap cairan tubuh ikan, selain itu
garam juga menyerap cairan tubuh bakteri sehingga proses metabolisme bakteri
terganggu karena kekurangan cairan, akhirnya bakteri mengalami kekeringan dan
menyebabkan kematian. Hal ang pertama dilakukan saat praktikum adalah
menimbang berat ikan lalu menyiangi atau membersihkan bagian dalam tubuh
ikan baik jeroan ataupun insang setelah itu ikan dicuci bersih, kelompok kami
mendapatkan konsentrasi garam 10% dari total bobot ikan.
Penggunaan garam yakni menggunakan garam halus, dengan ikan yang
memiliki ukuran cukup besar maka sebelum garam halus tersebut terserap
kedalam tubuh ikan permukaan ikan sudah dehidrasi duluan sehingga
menyebabkan kemunduran mutu sebelum air dalam tubuh ikan keluar. Setelah
penggaraman dilanjutkan dengan pengeringan selama 24 jam (suhu panas). Ikan
yang digarami dan dikeringkan menjadi awet karena garam dapat menghamabat
atau membunuh bakteri penyebab kemunduran mutu. Selain itu dengan
dilakukannya pengeringan kadar air dalam ikan yang menjadi faktor dasar

40
pertumbuhan bakteri semakin kecil sehingga proses pengawetan dapat lebih
sempurna. Namun pada saat selama pengeringan ikan terlihat berjamur ini
dikarenakan kurangnya konsentrasi garam hanya 10% dari total bobot ikan.

41
V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan :


1. Ikan yang digunakan yaitu ikan nila (oreochromis niloticus) dengan
jumlah 3 ekor
2. Ikan dikeringkan selama 24 jam dengan catatan selalu dalam keadaan
matahari terik/panas.
3. Ikan terlihat berjamur selama saat penjemuran, ini dikarenakan kecil
nya konsentrasi garam yaitu hanya 10% dari total bobot ikan

B. Saran

1. Diharapkan panelis lebih teliti dalam melakukan analisi sensori ikan


asin kering
2. Selalu menjaga kekompakan tim dengan cara berkomunikasi dengan
baik
3. Panelis harap menjaga ikan dalam proses penjemuran, karena rawan
diambil kucing

42
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam industri pengelolaan ikan, kesempurnaan penanganan ikan segar


memegang peranan penting karena ini menentuakan hasil olahan, sehingga perlu
dipikirkan suatu teknologi yang dapat memperbaiki penangann pasca panen dan
dapat menganekaragamkan hasil olahan dari ikan. Alternatif penanganan ikan
yang hingga kini masih dilakukan secara tradisional adalah olahan pembuatan
terasi. Menurut afrianto dan liviawaty (2005) terasi adalah salah satu produk hasil
fermentasi ikan atau udang yang hanya mengalami perlakuan penggaraman
(tamoa diikuti dangan penambahan asam), kemudian dibiarakan beberapa saat
agar terjadi proses fermantasi.

Prinsip dari fermentasi ikan atau udang adalah fermentasi didalam larutan
garam Kristal sehingga terbentuk flavor yang masih enak atau falvour yang
menyerupai daging. Proses dari fementasi dari substrat tidak diharapkan sempurna
dalam pembuatan terasi karena produk harus mengandung protein yang
terhidrolisis atau tahap hidrolisis, salah satu perubahan selama fermentasi dari
substras tidak di harapkan adalah liquid fiks. Setelah proses penggaraman, cairan
mula-mula rendah tapi setelah disimpan beberapa hari, yaitu selama proses
fermentasi menyebabkan terjadinya proses hidrolisis protein sehingga kandungan
nitrogen terlarut naik.

Terasi biasanya menggunakan bahan dari ikan-ikan kecil seperti ikan teri atau
udang rebon pada pratikum kali ini menggunakan udang rebon yang selama ini
udang rebon sering dikatagori sebagai udannya kaum marginal. Dibandingkan
dengan udang lainnya, rebon jauh lebih murah harganya, namun dari gizi udang
rebon tidak kalah dari jenis udang lain. Keunggulan dari udang adalah kalsium
yang tinggi.

Pada umumnya masyarakat menggunakan terasi sebagai penyedap rasa atau


bumbu tambahan dalam masakan.Baunya yang khas menambah aroma dan cita

43
rasa pada makanan.Sehingga dalam hal ini mengetahui mengenai pembuatan
terasi dengan dengan konsentrasi garam yang berbeda cukup penting untuk
mengetahui sebagai bentuk kemampuan dalam pengolahan hasil sumberdaya
perairan (undang rebon) dengan bentuk diversifikasi pangan yang berbeda.Dengan
demikian dapat diketahui konsentrasi garam terbaik pada pembuatan terasi udang.

B. Tujuan
Adapun tujuan dalam pratikum ini telah mengtahui cara pembuatan terasi

44
II. TINJAUAN PUSTAKA

Terasi merupakan suatu bahan tambahan makanan yang biasanya dibuat dari
rebon (Acets sp) maupun ikan atau udang yang bernilai ekonomis rendah. Produk
ini biasanya berwarna coklat, abu-abu atau merah. Seperti halnya produk
fermentasi lainnya, terasi juga mempunyai aroma yang khas yang ditimbulkan
oleh adanya komponen volatile di dalamnya.

A. Proses Pengolahan Terasi

Bahan baku terasi adalah Udang atau ikan teri, Air, dan garam. Sedangkan
alat untuk pembuatan terasi adalah mesin penggiling ikan serta pembungkus dan
alat alat dapur. Untuk terasi ikan biasanya menggunakan ikan kecil - kecil dan
sejenisnya, yang harus dibuang kepalanya terlebih dahulu sebelum diproses lebih
lanjut.
Prinsip pengolahan terasi didasarkan pada proses penguraian daging udang
atau ikan oleh enzim pemecah protein yang ada dalam tubuh udang atau ikan itu
sendiri (Yunizal 1998). Proses ini terjadi dalam suasana beragam dan dalam
kondisi tertentu sehingga diperoleh terasi udang atau ikan dengan bau, aroma dan
rasa yang sangat spesifik.
Adapun jika akan membuat terasi udang maka rebon dapat digunakan.
Dalam pembuatan terasi, garam ini mempunyai manfaat ganda yaitu :
1. Sebagai pemantap cita rasa terasi.
2. Sebagai bahan pengawet (pada konsentrasi 20 % ; 2 ons per kg bahan
baku).

Proses pembuatan terasi menurut Winarno et.al.(1973) dalam Rahayu


et.al.(1992) dapat dilihat pada gambar 2.

45
Gambar 6. Bagan Proses Pembuatan Terasi

a. Persiapan Bahan Baku


Bahan baku yang berupa udang kita sortasi sesuai ukurannya dan dicuci
untuk menghilangkan kotoran, lendir, dan ditiriskan. Proses pencucian
menggunakan air sumur yang sudah ditaruh dalam wadah lalu kemudian udang
dimasukkan kedalam wadah untuk dicuci.

b. Penjemuran

Proses penjemuran dilakukan dibawah terik matahari, hingga setengah


kering dan dibolak-balik. Menurut Hadiwiyoto (1983), maksud dari penjemuran
ini tidak hanya untuk mengeringkan sama sekali tetapi cukup kira-kira setengah
kering saja supaya mudah untuk digiling atau ditumbuk.

.
Gambar 7. Proses Penjemuran Udang/ikan

46
c. Penggilingan dan Penumbukan
Pada proses ini udang dimasukkan kedalam alat penggiling untuk
menghaluskan udang. Proses penggilingan bahan terasi ini menggunakan mesin
penggiling yang terbuat dari baja, selain itu penggilingan digunakan untuk
mendapatkan hasil yang homogen dan menghemat tenaga dan waktu. Didalam
penumbukan ditambahkan garam, air dan pewarna dengan perbandingan 1 gayung
air dan 2 kg garam serta 1 sendok pewarna untuk 5 kwintal udang. Menurut
Afrianto dan liviawaty (2005) jumlah garam yang ditambahkan tergantung selera,
maksimal 30% dari berat total ikan atau udang agar terasi yang diproduksi tidak
terlalu asin.

Gambar 8. Proses Penjemuran Pasca Penggilingan

d. Fermentasi
Terasi yang sudah dibungkus lalu kita fermentasikan didalam ruang
khusus yang terdiri dari rak-rak tempat meletakkan adonan yang sudah dibungkus.
Proses fermentasi ini dimaksudkan untuk proses penguraian senyawa-senyawa
yang kompleks dari daging udang menjadi senyawa yang sederhana. Menurut
Afrianto dan liviawaty (1989) enzim yang berperan dalam proses fermentasi pada
produk perikanan terutama didominasi oleh enzim proteolitik yang mampu
menguraikan protein. Proses pemerahan (fermentasi) ini berlangsung 3-4 minggu
dan dilakukan pada suhu kamar, jika terdapat pada inkubator pemerahan dapat

47
dilakukan pada suhu 20-30oC yang merupakan suhu optimum untuk fermentasi
terasi (Anonymous, 2005)

B. Mikroba dalam terasi


Mikroba yang tumbuh selama fermentasi sangat mempengaruhi mutu hasil
produksi hasil fermentasi. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa mikroba
yang berperan dalam fermentasi terasi berbeda jenis dan jumlahnya. Menurut
Pedersen (1971), mikroba yang berperan dalam fermentasi terasi adalah bakteri
asam laktat, asam asetat, khamir dan jamur. Strain dari bakteri asam laktat adalah
leuconostoc mesenteroides, Pediococcus cereviceae, Lactobacillus plantarum,
dan Steptococcus faecalis. Sedangkan menurut perangin angina et al. (1981).
Khamir dan kapang tidak berperan selama fermentasi pembuatan terasi. Menurut
Vong dan Jackson (1977), diacu dalam marliana (1992), mikroba dalam terasi
berasal dari genus Bacillus, Sarcina, Staphylococcus, Clostridium.
Pada produk fermentasi ikan bergaram terdapat dua jenis mikroba yaitu
bakteri obligat halofilik dan bakteri halofilik. Bakteri obligat halofilik tumbuh
pada suhu 5-50oC dan tumbuh optimum pada suhu 35-40oC, pH Antara 6-10. Pada
konsentrasi garam yang tinggi menghasilkan gas H2S dan Indol dengan warna
koloni merah muda (Shewan and Hobbs, 1967 diacu dalam Sjafi,I 1988).
Menurut Rahayu (1989) Menduga bahwa pada terasi terdapat mikroba jenis
Micrococcus, Corynebachterium, Cytophaga, Bacillus, HaloBacterium, dan
Acinobacter. Menurut Sjafi,I (1988), yang bertanggung jawab atas pembentukan
cita rasa khas yag dihasilkan produk fermentasi adalah Staphylococcus sp. Saisthi
(1967), menemukan bahwa bakteri gram positif batang yang menghasilkan aroma
asam organik yang khas, gram negatif oval batang nonmotil yang memproduksi
bau khas daging yang merangsang, dan gram positif berbentuk batang panjang,
memproduksi aroma yang berasal dari degradasi asam amino.
Menggunakan enzim dehidrogenase glutamat selama proses fermentasi
(Hajep and Jinap, 2012). Rasa umami produk fermentasi tergantung pada

48
konsentrasi glutamat didalamnya. Terasi mengandung asam glutamate sebesar
1508 mg/ 100 g.

49
III. METODOLOGI

A. Bahan
1. Udang rebon
2. Plastik
3. Garam
4. Air
B. Alat
1. Timbangan
2. Nampan
3. Kendi
4. Ulekan

C. Prosedur pratikum
1. Haluskan udang rebon menggunakan ulekan
2. Siapkan garam dengan konsentrasi 2% - 10%dari berat udang
3. Setelah itu campur dengan garam sesuai porsi yang sudah ditetapkan pada
masing-masing kelompok
4. Homogenkan hingga merata dan tambahkan sedikit air
5. Bungkus menggunakan plasik
6. Lalu fermetasikan selama 7 hari dan keringkan

50
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Nama peneliti : Muhammad noer hidayah

Tanggal : 01 juni 2019

Table 6. Penilaian organokeptik terasi udang pasta

No Spesifikasi nilai
1. Penampakan Coklat kemerahan kusam 5
sedikit kotoran
2. Bau Kurang harum, sedikit bau 6
tambahan
3. Rasa - -
4. Tekstur Agak keras, kurang 6
homogen, agak kasar
5. Jamur Tidak ada 9

B. Pembahasan

1. Penumbukan
pada proses ini udang dimasukan dikendi untuk ditumbuk, tumbuk udang
sampai halus di dalam penumbukan di tambahkan garam, dan air. Jumlah garam
yang di tambahkan 2% dari total udang.

2. Pencetakan
udang yang sudah di kasih garam dan dihaluskan lalu di cetak sesuai selera,
setelah itu di masukan di glass Tupperware yang ada tutupnya

51
3. Fermentasi
Terasi yang sudah di masukan di glass lalu kita fermentasikan, proses
fermentasi ini dimaksudkan untuk proses penguraian senyawa-senyawa yang
komleks dari daging udang yang sederhana. Menurut afrianto dan liviawaty
(1989) enzim yang berperan dalam proses fermentasi pada produk perikanan
didominasikan oleh enzim proteolitik yang mampu nguraikan protein. Frementasi
ini berlangsung 1 minggu dan dilakukan pada suhu kamar.

Gambar 9. Proses pembentukan terasi

52
V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Dapat di simpulkan bahwa proses pembuatan terasi dapat mikroorganisme


yang berperan dalam proses pengolahanya yaitu bakteri lactobacillus sp dan
bakteri mesofil.Mikroorganisme tersebut dimanfaatkan untuk mengubah laktosa
menjadi asam laktat. Mikroorganisme tersebut digunakan pada saat pematangan
yaitu dalam proses pembentukan arome khas terasi.

B. Saran
Dalam praktikum yang telah dilaksanakan sudah baik, dan sangat bermanfaat
bagi kami, khususnya bagi kami kelompok 1 yang semua anggotanya telah
mengikuti pratikum dasar-dasar teknologi hasil perikanan

53

Anda mungkin juga menyukai