Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIK TEKNIK PRODUKSI

PENGOLAHAN IKAN MODERN


PROSES PENURUNAN MUTU IKAN LELE

Mata Kuliah Teknik Produksi Pengolahan Ikan Modern


Tahun Akademik 2020/2021

Nama : Arista Risda Roessita

NRP : 56206213313

Semester/Kelas : III/ PP-B

Mata kuliah : Teknik Produksi Pengolahan Ikan Modern

Dosen pengampu : Dr. Tatty Yuniarti, S., M.Si.

Lilis Supenti, S.Pi., M.Si., M.M.

Hendria Suhrawardan, A.Pi., M.S.T.Pi.

PROGRAM STUDI PENYULUHAN PERIKANAN


POLITEKNIK AHLI USAHA PERIKANAN
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Ikan jenis ini sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia, dan merupakan
salah satu sumber penghasilan yang potensial di kalangan pembudidaya ikan. Perkembangan pesat
kegiatan budidaya lele di tanah air tidak terlepas dari penerimaan masyarakat secara luas terhadap
jenis ikan ini (khairuman & Amri, 2008 : hal 3).

Ikan lele merupakan jenis ikan yang mudah dibudidayakan. Kemampuan adaptasinya pun
cukup tinggi, sehingga dalam proses penyebarannya tidak mengalami kesulitan, terutama dalam
perkembangbiakannya. Pada awalnya lele belum memiliki varietas yang dapat di unggulkan
sehingga usaha budidaya ini belum dilirik oleh masyarakat. Saat itu lele yang dibudidayakan hanya
sebatas lele local dan lele dumbo yang kurang menghasilkan (Fauzi, 2013 : hal 6).

Semua bahan pangan, termasuk ikan lele, akan mengalami perubahan mutu setelah
kematian ikan, Perubahan ini dapat terjadi secara fisik, kimiawi maupun biologis. Secara garis
besarnya, perubahan yang dialami ikan berlangsung dalam tiga fase, yaitu fase pre-rigor mortis,
rigor mortis, dan postrigor mortis.

Perubahan fase ini dapat digunakan sebagai indikator perubahan kualitas ikan. Pada fase
pre-rigor dan rigor mortis ikan masih dapat dikatagorikan sebagai produk segar. Perubahan yang
dialami ikan disebabkan oleh aktivitas enzimatis, oksidasi dan mikrobiologis (Aitken,1982).
Sebelum fase postrigor mortis, perubahan pada ikan disebabkan oleh aktivitas enzimatis (Wheaton
and Lawson, 1985). Perubahan yang disebabkan oleh oksidasi dan mikrobiologi berlangsung
setelah memasuki fase post-rigor mortis.

Banyak parameter yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kesegaran ikan, baik
secara fisikawi, kimiawi, biologis dan organoleptik. Nilai pH merupakan parameter yang dapat
digunakan untuk menentukan tingkat kesegaran hasil perikanan. Berdasarkan pH, dapat ditentukan
apakah daging ikan masih pada fase rigor mortis atau sudah memasuki fase post-rigor mortis. Pada
fase pre-rigor kondisi otot ikan masih lunak, elastis dan lentur. Umumnya fase rigor mortis pada
ikan terjadi satu hingga tujuh jam setelah ikan mati (Eskin, 1990; Hadiwoyoto, 1993).

Penentuan kesegaran ikan berdasarkan fase perubahan sangat bermanfaat. Dengan cara ini,
kesegaran ikan dapat ditentukan lebih cepat. Penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan fase
rigor mortis ikan nila merah berdasarkan pola perubahan pH dan ditunjang dengan pengukuran
kekerasan daging ikan, dengan demikian dapat diketahui tingkat kesegarannya melalui waktu
masuknya rigor mortis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Ikan segar adalah ikan yang belum atau tidak diawetkan dengan apapun kecuali semata-mata
didinginkan dengan es. Ikan dikenal sebagai bahan makanan yang sangat cepat dan mudah
membusuk. Ikan yang tertangkap dan mati jika dibiarkan begitu saja esok harinya sudah tidak
begitu enak dan 2 atau 3 hari kemudian sudah tidak dapat dikonsumsi sama sekali karena busuk.
Selain itu, ikan segar masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup baik rupa, bau, rasa, maupun
teksturnya (Murniyati dan Sunarman, 2000).

Menurut Hadiwiyoto (1993), berdasarkan uji organoleptik selain score sheet hal penting
lainnya adalah panelis. Adapun pengertian panelis adalah suatu alat analistis yang digunakan untuk
menera mutu. Nilai panelis tergantung kepada ketelitian yang diberikan. Panelis harus
berpengalaman dan peka terhadap perkembangan dan perubahan-perubahan atribut mutu produk.
Pelaksanaan uji organoleptik memerlukan beberapa panelis. Tidak semua orang dapat dijadikan
panelis yang baik. Panelis ini dipilih secara sistematik atas dasar ketajaman alat indera dan
kemudian diberi latihan yang cukup untuk menjalani beberapa testing yang diberikan.

Menurut Ilyas (1993), perubahan tekstur pada ikan yang dibekukan dengan yang tidak
dibekukan, masing-masing dalam keadaan segar dan masak adalah sebagai berikut:
1. Ikan segar yang tidak dibekukan: tekstur padat, bergelatin, kalau ditekan tidak mengeluarkan
lender;
2. Ikan yang dibekukan disimpan beberapa waktu dalam gudang beku, kemudian dilelahkan,
kalau jaringan padatnya ditekan akan membebaskan zat alir drip;
3. Ikan yang tidak dibekukan kalau dimasak teksturnya lembab, padat, tidak liat selama
pemanasan, bebas sedikit zat alir; dan
4. Ikan beku dalam gudang beku, dilelehkan dan dimasak, memisahkan sejumlah drip. Selama
pemasakan tekstur mengayu dan menyerap air. Kelihatannya perubahan tekstur itu melibatkan
keadaan uap air ikan, ada yang berupa penurunan kapasitas protein memegang uap air,
penguapan air dan ada yang berupa pembebasan zat alir.

Menurut Adawyah (2007), penentuan kesegaran ikan merupakan hal yang sangat penting di
dalam industri perikanan dan juga dunia ilmu khususnya semenjak dimulainya perdagangan
produk perikanan secara besar-besaran, terutama di Jepang. Banyak sekali jumlah penelitian yang
telah dilakukan yang berkaitan dengan kesegaran ikan dimana ditujukan untuk menciptakan suatu
sistem pengujian kesegaran ikan, misalnya karakteristik apa yang perlu dipilih untuk menentukan
kesegaran ikan.
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), cara organoleptik adalah cara penilaian dengan
hanya mempergunakan indera manusia, sehingga cara organoleptik dapat juga disebut dengan cara
sensorik. Cara ini sangat cepat, murah dan praktis untuk dikerjakan tetapi ketelitiannya sangat
tergantung pada tingkat kepandaian orang yang melaksanakannya. Cara pemeriksaan organoleptik
ini bersifat subjektif.

Beberapa uji yang termasuk dalam uji organoleptik adalah uji deskriptif (descriptive test),
uji hedonik (hedonic test), dan uji skor (scoring test). Uji deskriptif merupakan penilaian sensorik
berdasarkan sifat-sifat sensori yang lebih kompleks, meliputi berbagai jenis sifat sensori yang
menggambarkan keseluruhan sifat komoditi tersebut. Uji ini dapat digunakan dalam industri
pangan untuk menilai tingkat pengembangan kualitas produk, mempertahankan/menyeragamkan
mutu, sebagai alat diagnosis, dan dapat berfungsi sebagai pengukuran pengawasan mutu.
Pengujian diawali dengan penilaian atribut mutu menggunakan Metode Rating, kemudian data
ditransformasikan ke dalam grafik majemuk yang disusun secara radial dengan sudut antar dua
garis radial yang sama besar. Masing-masing garis menggambarkan himpunan nilai sedangkan
titik pusat menyatakan nilai mutu yang tertinggi (Junianto, 2003).

Ikan yang baik adalah ikan yang masih segar, tidak ada kerusakan fisik, kualitas prima
karena kualitas dari protein aktin dan miosin dalam jaringan ikan segar masih sangat tinggi untuk
menahan air. Di Indonesia sampai saat ini juga masih menggunakan standar SNI untuk pengujian
organoleptik. Metode organoleptik masih merupakan jalan yang paling banyak digunakan untuk
mengukur kesegaran ikan dan produk ikan (Agustini et. al., 2008).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Bahan dan Alat


Alat yang digunakan dalam praktikum materi Uji Organoleptik Ikan Lele tersaji dalam tabel :

No Nama Alat dan Bahan Kegunaan


1. Ikan Lele 100 gram Sebagai sampel
2. Tali Rafia Untuk mengikat kepala ikan
3. Talenan Sebagai alas tempat ikan
4. Pisau Unruk membelah tubuh ikan
5. Alat tulis Mencatat hasil praktikum
6. Kalkulator Menghitung hasil uji organoleptic
7. Piring Ikan Untuk tempat ikan

3.2 Prosedur Praktek


Prosedur praktik yang digunakan pada praktikum materi uji organoleptic ikan lele
sebagai berikut :
1. Siapkan ikan lele dalam keadaan sudah mati dan ditaruh di talenan yang sudah disiapkan
2. Kemudian, posisikan ikan lele dengan kepala ikan berada di talenan sedangkan badan
ikan menggantung ke bawah
3. Ikat kepala ikan dengan menggunakan tali raffia dengan tujuan untuk mengetahui proses
pre rigor, rigor dan post rigor.
4. Amati ikan beberapa jam untuk membutuhkan setiap proses itu dan catat waktu yang
dialami setiap proses
5. Setelah ke tahap post rigor amati tubuh ikan bagian luar dan lihat perbedaan antara
keadaan awal dan keadaan akhir
6. Setelah itu letakkan ikan lele ke piring dan belah tubuh ikan dengan menggunakan pisau
untuk menguji ikan dengan menggunakan skore organoleptic dan catat hasilnya
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengertian Uji organoleptik atau uji indra atau uji sensori merupakan cara pengujian
dengan menggunakan indra manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan
terhadap produk. Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting dalam penerapan mutu. Dari
pengujian ini ada beberapa indera yang digunakan yaitu indera pengelihatan, indera penciuman,
indera perasa dan indra peraba. Dalam produk perikanan yang akan diuji adalah warna,tekstur,bau
dan rasa dari suatu produk perikanan.

Hasil pengamatan saya selama melaksanakan praktik untuk mengamati uji argoneloptik
pada ikan lele berat 100 gram 25 cm banyak mengalami perubahan fisik. Sebelum menguji uji
argoleptik ikan lele, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan. Pada tahapan ini, ikan lele akan
mengalami tahap pre rigor, rigor, dan post rigor. Banyak parameter yang dapat digunakan untuk
menentukan tingkat kesegaran ikan, baik secara fisikawi, kimiawi, biologis dan organoleptik. Nilai
pH merupakan parameter yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kesegaran hasil
perikanan. Berdasarkan pH, dapat ditentukan apakah daging ikan masih pada fase rigor mortis atau
sudah memasuki fase post-rigor mortis. Pada fase pre-rigor kondisi otot ikan masih lunak, elastis
dan lentur. Umumnya fase rigor mortis pada ikan terjadi satu hingga tujuh jam setelah ikan mati
(Eskin, 1990; Hadiwoyoto, 1993)

Penentuan kesegaran ikan berdasarkan fase perubahan sangat bermanfaat. Dengan cara ini,
kesegaran ikan dapat ditentukan lebih cepat. Penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan fase
rigor mortis ikan lele berdasarkan pola perubahan pH dan ditunjang dengan pengukuran kekerasan
daging ikan, dengan demikian dapat diketahui tingkat kesegarannya melalui waktu masuknya rigor
mortis.

Untuk mengetahui perubahan tersebut ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk
menguji kesegaran ikan yaitu pertama kita posisikan ikan lele ke talenan atau tempat lainnya yang
bisa digunakan untuk menali, kemudian ikat bagian kepala dengan posisi tidur dan badan ikan lele
menggantung kebawah. Setelah itu, kita amati ikan lele perubahan apa saja yang terjadi.
Gambar 1. Ikan lele pre rigor

Menurut pengamatan saya tahap pre rigor seperti gambar diatas keadaan bentuk fisik ikan
lele belum mengalami perubahan karena untuk menuju tahap rigor sangat membutuhkan waktu
yang lama. Hasil pengamatan diiperoleh bahwa 3 jam setelah mati ikan lele dari fase pre-rigor
mulai memasuki fase rigor. Ikan lele berada pada fase rigor hingga 3 jam setelah mati.

Gambar 2. Ikan Lele Post Rigor


Ikan lele mulai memasuki fase post rigor mortis pada 6 jam setelah mati. Fase Post rigor
mortis ditandai dengan meningkatnya pH dengan tubuh ikan menjadi kaku kebawah. Peningkatan
nilai pH terjadi karena enzim yang berasal dari daging ikan dan mikroba melakukan perombakan
terhadap protein dan lemak sehingga menghasilkan senyawa-senyawa bersifat basa (Suparno,
1993). Pada tahap ini sudah terlihat banyak perubahan yang terjadi dari mata ikan, insang ikan,
daging ikan, darah ikan, dan bau ikan seperti pada gambar dibawah ini

Gambar 3. Ikan lele uj Argoleptik

Untuk menguji agoleptik pada ikan lele ada beberapa yang perlu diperhatikan seperti
mata ikan, insang ikan, daging ikan, darah ikan, dan bau ikan. Untuk itu ada skore penilaian
untuk bisa diambil penilaian sebagai berikut
Setelah itu kita akan menilai uji argoleptik dengan menggunakan lembar penilaian ikan
segar ( skore sheet). Tujuan dari skore sheet ini adalah untuk menghitung semua skore yang dan
mencatat semua yang ada pada tabel skoring sheet selama pengamatan. Pada bagain mata ikan
lele terjadi perubahan yaitu mata cembung, kornea berkabut, pupil keabu- abuan dan redup. Pada
insang merah kecoklatan, bau amis keras, pucat pada ujung filament meluas. Untuk dinding perut
da nisi perut terjadi perubahan yaitu perut utuh tidak ada perubahan tetapi warna ikan mulai
redup. Untuk pada bagian dagingnya terlihat elastis, sedikit amis, sayatan tidak berair, dan darah
tulang belakang merah. Untuk pada bagian bau ikan adalah bau amis hamper netral. Setelah kita
melihat skore diatas kita bisa mengambil skore sejumlah 36.
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan praktek untuk menentukan waktu rigor selama 3 jam dengan
terjadi perbahan badan tubuh ikan mengeras namun, belum sepenuhnya. Untuk tahap selanjutnya
yaitu post rigor selama 3 jam. Jadi total untuk melakukan praktek pada setiap fase pre rigor, rigor,
dan post rigor selama 6 jam. Penentuan kesegaran ikan berdasarkan fase perubahan sangat
bermanfaat. Dengan cara ini, kesegaran ikan dapat ditentukan lebih cepat. Penelitian ini
dimaksudkan untuk menentukan fase rigor mortis ikan lele berdasarkan pola perubahan pH dan
ditunjang dengan pengukuran kekerasan daging ikan, dengan demikian dapat diketahui tingkat
kesegarannya melalui waktu masuknya rigor mortis. Perubahan yang terjadi pada ikan lele adalah
mata ikan lele terjadi perubahan yaitu mata cembung, kornea berkabut, pupil keabu- abuan dan
redup. Pada insang merah kecoklatan, bau amis keras, pucat pada ujung filament meluas. Untuk
dinding perut da nisi perut terjadi perubahan yaitu perut utuh tidak ada perubahan tetapi warna
ikan mulai redup. Untuk pada bagian dagingnya terlihat elastis, sedikit amis, sayatan tidak berair,
dan darah tulang belakang merah. Untuk pada bagian bau ikan adalah bau amis hamper netral.

Anda mungkin juga menyukai