Anda di halaman 1dari 37

PROSES KEMUNDURAN MUTU PADA IKAN

1. Reaksi Autolisis dan Reaksi Kimiawi


Di dalam jaringan tubuh ikan yang masih hidup sudah terdapat enzim. Enzim
menguraikan protein, lemak dan karbohidrat menjadi energi. Penurunan kesegaran
ikan setelah ikan mati yang disebabkan oleh reaksi enzimatis berlangsung pada tahap
pre-rigor dan rigor mortis. Perubahan awal yang terjadi ketika ikan mati adalah
peredaran darah berhenti sehingga pasokan oksigen untuk kegiatan metabolisme
berhenti menyebabkan aktivitas penurunan mutu ikan di dalam otot ikan berlangsung
dalam kondisi anaerobik. Pada saat tersebut ikan berada pada tahap pre-rigor, yang
hilang bersamaan dengan matinya ikan adalah sistem kendali. Akibatnya, proses
enzimatis berjalan tanpa kendali yang mengakibatkan perubahan biokimia yang luar
biasa. Salah satu tanda tersebut adalah ikan mulai melepaskan lendir yang cair,
bening atau transparan yang menyelimuti seluruh tubuh ikan dan proses ini disebut
hiperemia yang berlangsung 2−4 jam. Makin lama pelepasan lendir makin banyak
dan lendir ini menjadi media ideal bagi pertumbuhan bakteri pembusuk dan untuk

1
penetrasi ke dalam tubuh ikan. Beberapa saat kemudian tubuh ikan menjadi kaku
(rigor mortis) akibat berbagai reaksi biokimia. Biasanya proses ini berlangsung
sekitar 5 jam.

Selama berada dalam tahap rigor


mortis ini, ikan masih dalam keadaan
sangat segar. Ini berarti bahwa apabila
rigor martis dapat dipertahankan lebih
lama maka proses pembusukan dapat
ditekan. Ketika ikan mati, senyawa
organik di dalam otot terdekomposisi
oleh enzim yang masih aktif di dalam
jaringan. Pada tahap awal senyawa
yang terhidrolisa paling cepat adalah
karbohidrat dalam daging, yaitu dalam
bentuk glikogen dihidrolisa menjadi
asam laktat yang akumulasinya di
dalam otot menyebabkan penurunan
pH dan besarnya penurunan pH
tergantung pada jumlah glikogen yang
terdapat di dalam otot. Ketika ikan
masih hidup terdapat pasokan O2, dan

2
karbohidrat tersebut dibakar
menghasilkan karbondioksida dan air.
Oleh karena ikan mati dalam keadaan
meronta-ronta, sebagian glikogen
berkurang sehingga akumulasi asam
laktat dalam otot tidak banyak. Ikan
hidup mempunyai nilai pH daging
sekitar 7,0 dan setelah mati turun
menjadi pH 5,8 hingga 6,2. Pada
gilirannya, kejadian ini mestimulasi
enzim-enzim yang menghidrolisa
fosfat organik. Fosfat yang pertama
kali terurai adalah fosfat kreatin
dengan membentuk kreatin dan asam
fosfat, yang kemudian diikuti oleh
terurainya adenosin trifosfat (ATP)
membentuk adenosin difosfat (ADP)
dan asam fosfat. Penguraian ATP
tersebut menghasilkan energi yang
besar di dalam jaringan otot sehingga

3
mengakibatkan berkontraksinya otot
(aktin dan miosin) dan akhirnya otot
menjadi kaku dan tidak dapat kembali
ke sifat semula. Pada tahap ini ikan
memasuki tahap kekejangan (rigor
mortis). Dengan turunnya pH, enzim-
enzim dalam jaringan otot yang
aktivitasnya berlangsung pada pH
rendah menjadi aktif. Katepsin, yaitu
enzim proteolitik yang berfungsi
menguraikan protein menjadi senyawa
sederhana, merombak struktur
jaringan protein otot menjadi lebih
longgar sehingga rentan terhadap
serangan bakteri. Demikian pula
enzim lain yang ada dalam organ
tubuh ikan, misalnya dalam perut,
melakukan aktivitas yang sama.
Hal ini mengakibatkan daging ikan menjadi agak lunak. Fase perombakan
jaringan oleh enzim dalam tubuh ikan ini disebut dengan autolisis. Ikan dalam fase
auotolisis ini sering masih dianggap cukup segar dan layak dimakan. Meskipun

4
demikian, fase ini merupakan fase transisi antara segar dan busuk. Dalam fase
tersebut perubahan mutu ikan mulai dapat diamati penampilannya. Pada tahap pre-
rigor ikan masih memiliki rupa, bau, rasa dan tekstur menyerupai ikan yang baru mati
dan mendekati kondisi ikan hidup. Otot ikan masih lentur sehingga tubuh ikan lemas
dan lentur. Makin lama ikan menjadi lebih suram dan kurang cemerlang. Daging
mulai lembek dan kemampuan daging untuk menahan air mulai menurun. Mata ikan
mulai kemerahan atau buram. Bau ikan yang semula segar dan harum mulai berubah
menjadi amis. Walau demikian, selama aktivitas enzimatis masih berlangsung, ikan
masih tergolong segar. Meskipun demikian, selain menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan, proses enzimatis di atas dalam batas tertentu justru menguntungkan.
Penguraian ATP menjadi AMP (adenosine monofosfat) atau IMP (inosine
monofosfat) akan menghasilkan rasa gurih karena kedua senyawa tersebut termasuk
flavour enhancer (pemberi rasa sedap) dan jumlahnya mencapai maksimum pada
puncak rigor mortis.
Pada tahap lebih lanjut autolisis menghasilkan senyawa-senyawa hipoksantin
yang menyebabkan rasa pahit. Terurainya protein menjadi asam amino tertentu juga
memberikan rasa lezat, misalnya asam glutamate yang gurih atau glisin yang manis.
Asam amino bebas seperti itu sebenarnya sudah ada dalam daging ikan sejak ikan
hidup, terutama ikan laut. Reaksi kimiawi yang terjadi selama proses kemunduran
kesegaran ikan adalah penguraian lemak oleh aktivitas enzim jaringan tubuh dan
enzim yang dihasilkan oleh bakteri serta berlangsung akibat oksidasi dengan adanya
oksigen menjadi asam lemak. Akibat dari reaksi ini adalah terjadinya ketengikan,
perubahan warna daging menjadi pucat yang mengarah pada rasa, bau, dan perubahan
lain yang tidak dikehendaki.
Di dalam hubungannya dengan pengawetan, harus diusahakan
memperpanjang waktu pre-rigor dan rigor mortis yang merupakan faktor sangat
penting dalam kaitannya untuk mempertahankan kesegaran ikan. Ikan yang berada
dalam kondisi pre-rigor dan rigor mortis sangat disukai tidak hanya dapat dimakan
dalam keadaan mentah, tetapi juga sangat baik digunakan untuk bahan baku
pengolahan produk perikanan. Ikan yang telah memasuki tahap perubahan tekstur

5
menjadi empuk walaupun proses pembusukan belum terjadi jika diolah tidak akan
menghasilkan produk dengan mutu dan rendemen seperti yang diharapkan.
2. Aktivitas Mikroorganisme
Mikroorganisme dominan yang berperan penting di dalam proses penurunan
kesegaran ikan adalah bakteri. Pada umumnya daging ikan yang masih segar adalah
steril, bakteri dapat ditemukan di permukaan kulit, insang dan saluran pencernaan.
Setelah ikan mati, bakteri yang terkonsentrasi pada ketiga tempat tersebut secara
perlahan-lahan berpenetrasi dan bergerak aktif menyebar ke seluruh jaringan dan
organ ikan yang tadinya steril mulai dijadikan tempat berkembangbiaknya bakteri.
Dekomposisi berjalan intensif, khususnya setelah ikan melewati fase rigor mortis,
pada saat jaringan otot longgar dan jarak antarserat diisi oleh cairan. Walaupun
bakteri mampu menguraikan protein, tetapi substrat yang paling baik adalah produk-
produk hidrolitik hasil proses autolisis, seperti asam amino dan senyawa-senyawa
nitrogen non-protein (trimethilamin oksida/TMAO, histidin, urea).
Ikan laut yang mengandung senyawa-senyawa nitrogen non-protein lebih
banyak dibandingkan dengan ikan air tawar, memerlukan waktu yang lebih singkat
untuk proses dekomposisi. Dekomposisi protein oleh bakteri merubahnya menjadi
asam-asam amino. Pada tahap selanjutnya asam-asam amino mengalami deaminasi
dan dekarboksilasi yang membentuk senyawa-senyawa lebih sederhana oleh enzim-
enzim spesifik dari mikroba. Produk hasil dekomposisi yang paling sering digunakan
untuk menduga tingkat kesegaran ikan adalah amonia dan monoamin yang paling
sederhana (metilamin, dimetilamin, trimetilamin) yang lebih dikenal sebagai basa-
basa menguap; senyawa sulfor menguap H2S dan merkaptan berupa metil merkaptan
dan etil merkaptan); dan senyawasenyawa siklis (alkohol, amin). Akumulasi basa-
basa menguap, senyawasenyawa sulfur, alkohol aromatik menguap (fenol, kresol),
dan senyawasenyawa heterosiklik (indol dan skatol) bertanggung jawab terhadap
timbulnya bau yang tidak dikehendaki pada ikan. Di samping itu, monoamin skilik
(histamin dan fenilatilamin), diamin (putrscin dan kadaverin), basa oksiamonium
(neurin) dan fenol, kresol, indol dan skatol adalah senyawasenyawa beracun yang
dapat menyebabkan keracunan makanan. Asam nukleat pada nukleoprotein

6
membentuk hypoxanthine dan xanthine yang pada kondisi yang cocok berubah
menjadi amonia dan karbondioksida. Dekomposisi lipoprotein menyebabkan lipid
terurai lebih lanjut. Jika ini terjadi komponen utama fosfatida lesitin, yaitu kholin
menghasilkan monoamin sederhana dan senyawa oksiamonium beracun, yaitu
ptomain. Perubahan paling penting terhadap senyawa-senyawa nitrogen nonprotein
adalah berkurangnya trimetilamin oksida menjadi terimetilamin, dekarboksilasi
histidin menjadi senyawa beracun histamin dan dekomposisi urea menghasilkan
amonia bebas. Tidak hanya protein dan senyawa-senyawa nitrogen lainnya di
dekomposisi oleh bakteri, tetapi juga termasuk lemak. Ini melibatkan hidrolisis
trigliserida dan oksidasi lemak membentuk peroksida, aldehid, keton dan asam-asam
lemak. Akan tetapi, proses ini lebih lambat dibandingkan dengan dekomposisi
senyawa-senyawa nitrogen.
Sejak saat tersebut penguraian protein, lemak dan senyawa lainnya hingga
terbentuk senyawa-senyawa yang menyebabkan perubahan bau, rasa, dan
penampakan serta bersifat racun yang pada akhirnya jika terakumulasi dalam jumlah
yang tinggi ikan akan dinyatakan busuk. Penguraian protein menyebabkan kandungan
nitrogen non-protein di dalam ikan meningkat. Lebih lanjut akumulasi basa nitrogen
juga menyebabkan daging ikan menjadi lebih alkali sehingga meningkatkan nilai pH-
nya.
3. Pembusukan Ikan
Kecepatan pembusukan ikan sangat tergantung kepada jumlah awal
mikroorganisme yang terdapat di dalam lendir pada permukaan ikan, cara mematikan,
tingkat ketidakkenyangan dari ikan ketika masih hidup dan faktor-faktor lainnya. Jika
lingkungan sesuai bagi mikroorganisme, mereka akan berkembang secara cepat
sehingga jumlahnya perlu diperhitungkan dalam hubungannya dengan proses
pembusukan ikan. Pada suhu rendah, jumlah mikroorganisme yang rendah pada ikan
segar dapat dipertahankan. Pencucian untuk menghilangkan lendir permukaan ikan
segera setelah ikan ditangkap atau dipanen dan kemudian disimpan dalam peti atau
palka ikan yang bersih adalah praktik yang sebaiknya dilakukan. Kecepatan proses
pembusukan sangat tergantung pada jenis ikan. Pada suhu rendah, perbedaan

7
kecepatan pembusukan antarjenis ikan tidak terlihat nyata, tetapi pada suhu yang
lebih tinggi beberapa jenis ikan membusuk lebih cepat dibandingkan dengan lainnya.
Otot ikan cucut mengandung urea yang tinggi kemudian diubah menjadi
amonia dan menyebabkan otot menunjukkan alkalinitas yang kuat walaupun pada
kebusukan yang ringan. Cumi-cumi mengandung trimetilamin oksida yang dirombak
menjadi trimetilamin dan menyebabkan otot menjadi alkalin. Sebaliknya, ikan daging
merah, seperti lemuru, mackerel, dan tuna memiki kandungan trimetilamin oksida
yang rendah, tetapi mengandung glikogen relatif tinggi yang membuat otot menjadi
asam setelah ikan mati. Pada jenis ikan yang sama, ikan berukuran lebih kecil akan
membusuk lebih cepat karena kondisi fisiknya yang rapuh dan kandungan air dalam
jaringan yang lebih tinggi. Ikan yang baru bertelur memiliki kandungan air yang
tinggi. Ikan yang perutnya kenyang akan mudah pecah selama penanganan yang
kemudian menyebabkan pembusukan dari dalam tubuh ikan. Ikan dengan perut yang
kosong akan dapat dipertahankan mutu kesegarannya dari proses pembusukan untuk
waktu yang lebih lama. Bakteri akan tumbuh pada selang suhu yang lebar, yaitu
antara 0–45o C. Di dalam air, suhu kehidupannya meningkat antara 25–35 o C. Enzim
yang berperan pada proses autolisis akan bekerja dengan baik pada suhu 40–45o C
1.32 Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan z untuk ikan laut dan 23–27o C untuk
ikan air tawar. Pada suhu di bawah 10o C, pertumbuhan bakteri menurun secara nyata.
Akan tetapi, begitu proses pembusukan telah mulai terjadi, peningkatan jumlah
mikroba tidak begitu terpengaruh oleh perlakuan penurunan suhu dan pendinginan
tidak akan menunjukkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, pendinginan
sebaiknya dilakukan secepatnya setelah ikan di tangkap atau dipanen.
Mikroorganisme menyerang tubuh ikan tidak hanya dari permukaan, tetapi
juga dari bola mata, insang, dan isi perut. Pembuangan organ tersebut dan pencucian
badan ikan dengan air secara baik akan menghambat proses awal pembusukan.
Penetrasi mikroba ke dalam daging ikan dan proses dekomposisi secara perlahan-
lahan senyawa-senyawa nitrogen mulai terjadi hampir secara simultan dengan
autolisis (proteolisis). Akan tetapi, kecepatan dan intensitasnya tergantung pada suhu.
Pada suhu rendah, aktivitas bakteri dihambat, dan proses autolitik terjadi lebih

8
intensif dibandingkan dengan dekomposisi bakteri, sebaliknya pada suhu yang tinggi
dekomposisi bakterial menjadi lebih dominan. Kandungan kimia yang dominan pada
saat busuk untuk ikan bertulang, ikan bertulang rawan dan ikan air tawar berbeda.
Pembusukan pada ikan bertulang diikuti dengan pembentukan amin dalam jumlah
besar, khususnya trimetilamin (sebagai hasil dari reduksi trimetilamin oksida),
sedangkan basa menguap yang dominan pada ikan air tawar adalah amonia (sebagai
hasil proses deaminasi asam-asam amino). Terbentuknya trimetiamin adalah
merupakan ciri untuk ikan bertulang rawan, yang tidak ditemukan dalam jumlah yang
tinggi pada ikan bertulang yang hidup di laut. Seperti yang telah diterangkan
sebelumnya, ciri khas ikan bertulang rawan, seperti ikan cucut, adalah terdapatnya
amonia dalam jumlah yang besar sebagai akibat dekomposisi urea.

Pengetahuan tentang kemunduran kesegaran dan pembusukan ikan perlu


dipahami, termasuk cara penilaian terhadap kesegaran ikan. Pada dasarnya mutu ikan

9
segar dapat dilihat dari aspek kesegaran dan pembusukan. Dengan memahami
bagaimana ikan membusuk dan cara penilaiannya akan sangat bermanfaat, terutama
untuk menentukan tindakan apa, bagaimana dan kapan harus dilakukan upaya agar
ikan tetap segar dan bermutu tinggi. Daging ikan mengalami serangkaian perubahan
setelah kematian ikan sampai daging ikan tersebut busuk dan tidak dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Perubahan tersebut terutama disebabkan oleh
sistem enzim atau mikroorganisme yang terdapat pada ikan. Proses penurunan mutu
ikan segar diawali dengan proses perombakan oleh aktivitas enzim yang secara alami
terdapat di dalam ikan, proses ini disebut proses kemunduran mutu kesegaran ikan.
Proses tersebut berlangsung hingga tahap tertentu, kemudian disusul dengan makin
berkembangnya aktivitas mikroba pembusuk, proses ini dikenal dengan proses
pembusukan.

Pembusukan ikan adalah proses rumit yang disebabkan oleh kombinasi aksi
enzim, bakteri dan bahan kimia yang terdapat didalam ikan. Faktor-faktor yang
berkontribusi pembusukan ikan adalah kadar air tinggi, kandungan lemak tinggi,
kandungan protein tinggi, jaringan otot yang lemah, suhu lingkungan, dan
penanganan yang tidak higienis. Pembusukan ikan biasanya disertai dengan
perubahan karakteristik fisik seperti perubahan warna, bau, tekstur, warna mata,
warna insang, dan kelembutan otot. Adapun tanda-tanda yang terlihat dari proses
pembusukan adalah terjadinya perubahan bau dan rasa yang tidak diinginkan,
pembentukan lendir, produksi gas, perubahan warna, dan perubahan tekstur.
A. Proses Autolisis
Penurunan awal kualitas kesegaran ikan adalah akibat proses autolisis (aksi
enzim). Autolisis adalah proses perombakan jaringan ikan oleh enzim yang terdapat
didalam tubuh ikan itu sendiri. Setelah kematiannya, ikan akan mengalami rigor
mortis (kaku setelah mati), yaitu efek fisik pada jaringan otot ikan yang disebabkan
oleh perubahan kimia setelah kematian. Pada ikan hidup, gerakannya dikendalikan
oleh sinyal kimia yang menyebabkan kontraksi dan relaksasi otot. Setelah kematian,
sistem peredaran darah yang normal berhenti, dan sinyal kimia masuk ke dalam otot

10
sehingga menyebabkan menjadi kaku. Dengan kata lain, pada ikan hidup keberadaan
glikogen dalam otot diubah menjadi karbon dioksida dan air setelah pasokan oksigen
ke sel-sel. Setelah mati, sirkulasi darah berhenti dan pasokan oksigen terhenti. Enzim
yang ada dalam otot mengkonversi glikogen menjadi asam laktat sehingga pH otot
ikan turun. Pembentukan asam laktat ini berlanjut sampai pasokan glikogen benar-
benar habis.
Setelah selesai rigor mortis, kekakuan otot secara bertahap menurun disertai
dengan peningkatan pH, dan berakhir dengan pelunakan otot. Ini diikuti dengan
pemecahan protein oleh enzim. Proses inilah yang disebut sebagai autolisis. Dengan
demikian autolisis dapat digambarkan sebagai gangguan internal struktur protein dan
lemak karena serangkaian kompleks reaksi oleh enzim. Autolisis protein dimulai
segera setelah kekakuan dan menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk
pertumbuhan bakteri. Komponen yang bertanggung jawab atas rasa dan aroma ikan
diubah oleh aksi enzimatik. Contohnya adalah degradasi ATP (adenosine triphospat)
menjadi AMP (adenosine monophospat) dan hipoksantin. Hipoksantin dihasilkan
oleh pemecahan ATP yang merupakan komponen utama dari nukleotida otot ikan.
Akumulasi hipoksantin menyebabkan rasa pahit pada otot ikan disertai dengan
hilangnya rasa ikan segar. Dengan demikian pengukuran kandungan hipoksantin
dalam ikan menunjukkan tingkat kesegaran. Aksi enzimatik juga menyebabkan burst
belly (pecahnya dinding perut) yang disebabkan oleh aksi enzim pencernaan dalam
usus ikan.
B. Proses Bakteriologis
Proses pembusukan ikan terutama disebabkan oleh aksi bakteri. Ikan segar
yang baru tertangkap hampir bebas dari bakteri, tetapi lendir permukaan, insang, dan
usus dapat mengandung sejumlah besar bakteri. Ketika ikan sudah mati, bakteri ini
mulai menyerang daging dan menyebabkan pembusukan serta menghasilkan senyawa
yang tidak diinginkan. Adanya kerusakan fisik (luka atau memar) akan mempercepat
serangan bakteri. Sifat dan jenis bakteri yang terdapat dalam ikan tergantung pada
kondisi air dari mana dia tertangkap dan metode yang digunakan untuk menangani

11
ikan setelah penangkapan. Bakteri awal pada ikan sangat beragam, namun paling
sering didominasi oleh bakteri psychrotrophic Gram-negatif.
Bakteri Shewanella putrefaciens adalah penyebab khas pembusukan ikan dari
perairan beriklim sedang pada perlakuan es yang menghasilkan trimetilamina (TMA),
hidrogen sulfida (H2S) dan sulfida lainnya yang mudah menguap dan menimbulkan
bau busuk. Metabolit yang sama dibentuk oleh Vibrionaceae dan Enterobacteriaceae
selama pembusukan pada suhu yang lebih tinggi. Selama penyimpanan di atmosfer
bebas, bakteri psychrophilic Photobacterium yang memproduksi sejumlah besar TMA
merupakan salah satu bakteri pembusuk utama. Ikan air tawar dan ikan dari perairan
tropis, selama penyimpanan dengan peng-es-an yang kontak dengan udara (aerobik)
akan ditumbuhi bakteri Pseudomonas.
Perubahan penting yang disebabkan oleh aksi bakteri pada ikan adalah sebagai
berikut :
1. Pengurangan TMAO menjadi TMA, ikan laut mengandung persentase kecil
TMAO yang tidak berbau yang akan diubah oleh bakteri menjadi TMA yang
berbau ofensif.
2. Penguraian asam amino oleh bakteri asam amino yang hadir dalam otot ikan
menyebabkan pembentukan amina primer, contoh pembentukan histamin dari
histidin, arginin dari asam glutamat dll, dimana aksi bakteri ini dapat
menyebabkan keracunan makanan dalam kasus yang ekstrim.
3. Penguraian urea, konsentrasi yang tinggi urea dalam daging beberapa jenis
ikan akan terdegradasi menjadi amonia oleh mikroorganisme, pembentukan
amonia ini disertai dengan bau yang ofensif.
C. Proses Kimiawi
Ikan termasuk salah satu produk yang banyak mengandung lemak, terutama
lemak tidak jenuh. Lemak tidak jenuh adalah lemak yang mengandung ikatan
rangkap pada rantai utamanya. Lemak yang demikian bersifat tidak stabil dan
cenderung mudah bereaksi. Lemak pada ikan didominasi oleh lemak tidak jenuh
berantai panjang (Polyunsaturated fatty acid/PUFA).

12
Oleh karena itu, aksi kimia yang paling umum adalah perubahan yang terjadi
di fraksi lipid ikan yaitu ketengikan oksidatif. Proses oksidatif, autoksidasi, adalah
reaksi yang hanya melibatkan oksigen dan lemak tak jenuh. Pada tahap awal terjadi
pembentukan hidroperoksida, yang tidak berasa tetapi menyebabkan perubahan
warna coklat dan kuning pada jaringan ikan. Tingkat nilai peroksida dan kandungan
asam lemak bebas keduanya merupakan ukuran ketengikan oksidatif yang dianggap
sebagai indeks kualitas lemak ikan. Degradasi hidroperoksida menimbulkan
pembentukan aldehid dan keton. Senyawa ini memiliki rasa tengik yang kuat.
Oksidasi dapat dimulai dan dipercepat oleh panas, cahaya (terutama sinar UV) dan
beberapa senyawa organik dan anorganik (misalnya Cu dan Fe). Ada beberapa
antioksidan dengan efek sebaliknya yang telah dikenal (alpha-tocopherol, asam
askorbat, asam sitrat, karotenoid).
Fase pre rigor merupakan fase sesaat setelah ikan mati. Fase ini ditandai
dengan penampakan ikan yang masih seperti ikan yang masih hidup. Bau dan rasa
ikan masih segar seperti bau rumput laut. Otot ikan menjadi lemas dan mudah
dilenturkan pada fase ini. Secara biokimia terjadi penurunan kadar adenosine
triphosphate (ATP) karena terhentinya peredaran darah yang membawa oksigen
(Yunizal dan Wibowo 1998). Pada ikan tidak ditemukan tanda-tanda perubahan
warna, tetapi secara berangsur warna semakin suram. Hal ini disebabkan karena
timbulnya lendir sebagai akibat dari proses biokimiawi lebih lanjut dan
berkembangnya mikroba yang akan lebih jelas terlihat pada fase kemunduran mutu
berikutnya (Adawyah 2007).

Fase rigor mortis ditandai dengan mengerasnya otot ikan, bau dan rasa ikan
menjadi netral, perubahan tekstur pada ikan serta mulainya proses autolisis atau
penghancuran diri sendiri akibat aktivitas enzim (Huss 1995). Daging ikan mengeras
disebabkan terjadinya penggabungan protein aktin dan miosin menjadi protein
kompleks aktomiosin yang bersifat tidak dapat dikembalikan (irreversible) (DKP dan
JICA 2008). Fase rigor mortis sangat penting hubungannya dengan pemanfaatan ikan

13
sebagai bahan baku untuk dikonsumsi manusia karena mulai terjadinya perubahan
yang terlihat jelas pada ikan.

Fase post rigor terjadi setelah rigor mortis. Fase ini ditandai dengan
melemasnya otot ikan kembali setelah menegang pada fase rigor mortis. Pada fase
post rigor, mulai terjadi aktivitas bakteri yang meningkat serta aktivitas enzim yang
semakin banyak (Huss 1995). Aktivitas enzim akan menyebabkan pelunakan jaringan
pada ikan serta aktivitas bakteri menyebabkan ikan menjadi semakin mengarah
kepada kondisi busuk (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Fase setelah post rigor adalah
fase busuk. Pada fase ini ikan tidak lagi dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan.
Hal ini disebabkan karena aktivitas bakteri yang sangat banyak serta kerusakan pada
tubuh ikan

Kecepatan kemunduran mutu pada ikan terjadi tergantung pada beberapa hal.
Hal ini terdiri dari jenis ikan, suhu, penanganan setelah ikan mati, ukuran, kondisi
fisik ikan, serta kondisi stres pada ikan (Huss 1995). Salah satu cara dalam mencegah
kemuduran mutu pada ikan adalah dengan menyimpan ikan pada suhu chilling. Suhu
chilling dapat memperlambat kemunduran mutu pada ikan dikarenakan suhu chilling
dapat menghambat aktivitas bakteri pembusuk pada ikan. Namun, suhu chilling tidak
banyak membantu dalam hal kemunduran mutu karena pengaruh enzim atau autolisis
(Medina et al. 2009).

Fase penurunan Kemunduran mutu


mutu
Pada ikan Fisik Kimiawi Mikrobiologi
Pre rigormortis Organoleptik - pH Netral Belum terdapat
masih baik ( bau - Pasokan oksigen banyak parasit
khas ikan, tekstur untuk metabolisme bakteri
elastis, insang terhenti (anaerob) psychrotrophic
masih merah, sisik Gram-negatif
masih melekat
baik, lendir nya

14
normal tidak
terlalu banyak,
matanya cerah dan
cembung)
Rigormortis Organoleptik - Penurunan pH bakteri
masih baik (bau - Penguraian psychrophilic
khas ikan, tekstur ATP oleh Photobacterium
daging kaku, enzim yang memproduksi
- TMAO sejumlah besar
TMA
Post rigormortis Organoleptik tidak - pH Basa Banyak terdapat
bagus ( bau busuk, - penguraian parasit
tidak elastis atau urea menjadi Pseudomonas
daging menjadi amoniak Flavobacterium
lunak, insang - ATP menjadi Acromobacterium
pucat, sisik lepas, AMP dan
lendir banyak, hiposantin
mata buram dan - Oksidasi lemak
cekung, warna
mulai memudar )

Apabila ikan setelah ditangkap atau dipanen yang kemudian mati tidak
ditangani dengan cepat menggunakan alat dan peralatan yang saniter dan higienis

15
serta tidak segera menurunkan suhu ikan maka ikan akan mengalami penurunan mutu
yang akhirnya menjadi busuk. Kemunduran kesegaran ikan disebabkan oleh tiga jenis
aktivitas, yaitu reaksi autolisis, reaksi kimiawi, dan aktivitas mikroorganisme.
Berdasarkan kepada penyebab penurunan mutu kesegaran ikan tersebut, tahapan
penurunan mutu kesegaran ikan digolongkan menjadi 3 tahapan, yaitu pre rigor, rigor
mortis, dan post rigor.
1. Pre Rigor
Pre rigor adalah tahap dimana mutu dan kesegaran ikan sama seperti ketika
masih hidup. Fase ini ditandai dengan pelepasan lendir cair, bening, atau transparan
yang menyelimuti seluruh tubuh ikan. Proses ini disebut hiperemia yang berlangsung
2-4 jam. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan
musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri (Junianto, 2003). Ikan
lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera mengalami fase prerigor selama 9
jam.
2. Rigormortis
Rigor mortis adalah tahap dimana produk perikanan memiliki kesegaran dan
mutu seperti ketika masih hidup, namun kondisi tubuhnya secara bertahap menjadi
kaku. Hingga tahap rigor mortis, ikan dapat dikatakan masih segar. Ketika ikan mati,
kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim dalam tubuh dengan terjadinya
suatu proses perubahan biokimia yang menyebabkan bagian protein otot (aktin dan
miosin) berkontraksi dan menjadi kaku (rigor) (Valtria, 2010). Ikan yang memiliki
cadangan energi yang sedikit akan menyebabkan fase rigor mortis cepat berakhir.
Fase rigor mortis akan berakhir ketika ATP telah habis terurai (Robb 2002). Fase
rigor mortis terjadi pertama kali pada ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan
segera setelah penyimpanan selama 9 jam dan berlangsung selama 48 jam hingga jam
ke-57. Fase ini ditandai dengan daging ikan lele dumbo yang kaku, ekor mengejang
dan sulit untuk dibengkokkan.
3. Post Rigor
Memasuki tahap post rigor mortis, proses pembusukan daging ikan telah
dimulai. Pada tahap ini daging ikan kembali melunak secara perlahan-lahan, sehingga

16
secara organoleptik akan meningkatkan derajat penerimaan konsumen sampai pada
tingkat optimal. Lamanya mencapai tingkat optimal tergantung pada  jenis ikan dan
suhu lingkungan. Darah ikan lebih cepat menggumpal daripada hewan-hewan darat
(Sulistyati, 2004). Menurut Wibowo et al. (2014), pada fase post rigor nilai pH
daging ikan nila mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut diduga terjadi karena
adanya peningkatan aktivitas bakteri pengurai senyawa nitrogen non protein yang
menghasilkan basa volatil. Ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera
mengalami fase postrigor selama 87 jam yaitu mulai jam ke-57 hingga jam ke-144.
Ikan lele dumbo memiliki bau amoniak dan sedikit bau asam pada fase postrigor
akhir. Daging ikan lunak dan bekas jari terlihat jelas bila daging ikan ditekan dengan
jari.
A. Perubahan Biochemist, Bacterial, Enzym
Perubahan-perubahan yang terjadi segera setelah ikan mati berujung pada
terjadinya pembusukan. Perubahan tersebut diakibatkan oleh adanya aktivitas enzim,
biokimia, dan bakteri di tubuh ikan.
1. Perubahan secara enzimatis (autolisis)
Ketika ikan mati, senyawa organik di dalam otot terdekomposisi oleh enzim
yang masih aktif di dalam jaringan. Pada tahap awal senyawa yang terhidrolisa paling
cepat adalah karbohidrat dalam daging, yaitu dalam bentuk glikogen dihidrolisa
menjadi asam laktat yang akumulasinya di dalam otot menyebabkan penurunan pH
dan besarnya penurunan pH tergantung pada jumlah glikogen yang terdapat di dalam
otot. Ketika ikan masih hidup terdapat pasokan O2, dan karbohidrat tersebut dibakar
menghasilkan karbondioksida dan air. Oleh karena ikan mati dalam keadaan meronta-
ronta, sebagian glikogen berkurang sehingga akumulasi asam laktat dalam otot tidak
banyak. Ikan hidup mempunyai nilai pH daging sekitar 7,0 dan setelah mati turun
menjadi pH 5,8 hingga 6,2. Pada gilirannya, kejadian ini mestimulasi enzim-enzim
yang menghidrolisa fosfat organik. Fosfat yang pertama kali terurai adalah fosfat
kreatin dengan membentuk kreatin dan asam fosfat, yang kemudian diikuti oleh
terurainya adenosin trifosfat (ATP) membentuk adenosin difosfat (ADP) dan asam
fosfat. Autolisis adalah proses perombakan sendiri, yaitu proses perombakan jaringan

17
oleh enzim yang berasal dari produk perikanan tersebut. Proses autolisis terjadi pada
saat produk perikanan memasuki fase post rigor mortis. Salah satu tanda tersebut
adalah ikan mulai melepaskan lendir yang cair, bening atau transparan yang
menyelimuti seluruh tubuh ikan dan proses ini disebut hiperemia yang berlangsung
2−4 jam. Makin lama pelepasan lendir makin banyak dan lendir ini menjadi media
ideal bagi pertumbuhan bakteri pembusuk dan untuk penetrasi ke dalam tubuh ikan.
Ikan yang mengalami autolisis memiliki tekstur tubuh yang tidak elastis (Yusra,
2012). Menurut Ozogul et al. (2004) penguraian daging ikan terjadi akibat dari
aktivitas enzim dalam tubuh ikan. Ikan yang lebih banyak mengeluarkan energi
sebelum mati akan menyebabkan pH cepat menurun dan mengaktifkan enzim
katepsin yang mampu menguraikan protein. Penguraian ini akan meningkatkan basa-
basa volatil sehingga nilai TVB meningkat. Proses autolisis juga menyebabkan
terurainya protein menjadi polipeptida, asam amino, dan amoniak (Astawan, 2008).
Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri
karena semua hasil penguraian enzim selama autolisis merupakan media yang cocok
untuk pertumbuhan bakteri dan mikroba lainnya (Buchari dan Syahrul, 2011).
2. Perubahan secara biokimia (biochemist)
Proses penurunan mutu secara kimiawi yang mencolok adalah oksidasi lemak
yang menimbulkan bau dan rasa tengik serta perubahan warna daging ikan menjadi
agak cokelat (Astawan, 2008). Menurut Suparmi et al. (2016) gejala ini dinamakan
oxidative rancidity (ketengikan oksidatif). Ikan termasuk salah satu produk perikanan
yang banyak mengandung lemak, terutama lemak tidak jenuh. Lemak tidak jenuh
adalah lemak yang mengandung ikatan rangkap pada rantai utamanya. Lemak
demikian bersifat tidak stabil dan cenderung mudah bereaksi. Lemak pada ikan
didominasi oleh lemak tidak jenuh berantai panjang (Polyunsaturated fatty acid /
PUFA). Selama penyimpanan, lemak tidak jenuh akan mengalami proses oksidasi
sehingga terbentuk senyawa peroksida (Yusra, 2012).

3. Perubahan secara bakterial

18
Penyebab utama pembusukan pada ikan ialah kegiatan bakteri. Kerusakan
mikrobiologi pada produk perikanan dapat disebabkan oleh aktivitas mikroba patogen
dan pembusuk, baik berupa bakteri, virus, jamur, kamir ataupun protozoa. Produk
perikanan mengandung sejumlah mikroba, baik mikroba yang menguntungkan
maupun merugikan. Mikroba ini hidup secara berdampingan. Mereka biasa disebut
sebagai flora alami. Mikroba merugikan terdiri dari mikroba pembusuk dan patogen.
Mikroba pembusuk akan merombak produk perikanan menjadi komponen yang tidak
diinginkan, seperti protein yang diubah menjadi amonia dan hidrogen sulfida;
karbohidrat menjadi alkohol, dan lemak menjadi keton dan asam butirat.
Dekomposisi protein oleh bakteri merubahnya menjadi asam-asam amino. Pada tahap
selanjutnya asam-asam amino mengalami deaminasi dan dekarboksilasi yang
membentuk senyawa-senyawa lebih sederhana oleh enzim-enzim spesifik dari
mikroba. Produk hasil dekomposisi yang paling sering digunakan untuk menduga
tingkat kesegaran ikan adalah amonia dan monoamin yang paling sederhana
(metilamin, dimetilamin, trimetilamin) yang lebih dikenal sebagai basa-basa
menguap; senyawa sulfor menguap H2S dan merkaptan berupa metil merkaptan dan
etil merkaptan); dan senyawa-senyawa siklis (alkohol, amin). Akumulasi basa-basa
menguap, senyawa-senyawa sulfur, alkohol aromatik menguap (fenol, kresol), dan
senyawa-senyawa heterosiklik (indol dan skatol) bertanggung jawab terhadap
timbulnya bau yang tidak dikehendaki pada ikan. Di samping itu, monoamin skilik
(histamin dan fenilatilamin), diamin (putrscin dan kadaverin), basa oksiamonium
(neurin) dan fenol, kresol, indol dan skatol adalah senyawa-senyawa beracun yang
dapat menyebabkan keracunan makanan. Ciri khas dari peningkatan aktivitas
mikroba pembusuk antara lain tercium bau busuk, bahan menjadi lunak berair dan
masih banyak lainnya (Yusra, 2012). Serangan bakteri dimulai setelah fase rigor
mortis yang mana jutaan bakteri yang terpusat pada tiga tempat, yaitu lendir kulit,
insang, dan isi perut mulai menyerang jaringan tubuh ikan lainnya (Suparmi, 2016).

Fase Pada Saat


Perubahan Fisika Perubahan Biokimia Perubahan Mikrobiologi
Ikan Mati

19
Pre rigormortis Ikan masih segar
belum ada lendir
yang keluar.
Insang masih
cerah. Aromanya - -
masih khas aroma
ikan segar yaitu
amis yang tidak
menusuk.
Rigormortis Tekstur ikannya Terbentuk glikogen
mulai kaku. Mulai dihidrolisa menjadi
adanya lendir asam laktat yang
yang keluar. Mata akumulasinya di
ikannya masih dalam otot
jernih. menyebabkan
-
penurunan pH dan
besarnya penurunan
pH tergantung pada
jumlah glikogen
yang terdapat di
dalam otot.
Post rigormortis Matanya cekung, Oksidasi lemak yang Pada tahap selanjutnya
insangnya menimbulkan bau asam-asam amino
bewarna pucat dan rasa tengik serta mengalami deaminasi
dan berlendir. perubahan warna dan dekarboksilasi yang
Aromanya busuk, daging ikan menjadi membentuk senyawa-
banyak lendir agak cokelat. senyawa lebih sederhana
pada kulit. Dan meningkatkan basa- oleh enzim-enzim
teksturnya basa volatil sehingga spesifik dari mikroba.
lembek. nilai TVB Produk hasil

20
meningkat. Proses dekomposisi yang
autolisis juga paling sering digunakan
menyebabkan untuk menduga tingkat
terurainya protein kesegaran ikan adalah
menjadi polipeptida, amonia dan monoamin
asam amino, dan yang paling sederhana
amoniak. (metilamin, dimetilamin,
trimetilamin) yang lebih
dikenal sebagai basa-
basa menguap; senyawa
sulfor menguap H2S dan
merkaptan berupa metil
merkaptan dan etil
merkaptan); dan
senyawa-senyawa siklis
(alkohol, amin).

KEMUNDURAN MUTU IKAN

21
FISIKA KIMIA BIOLOGIS

Pre  Daging masih lunak dan  ATP masih  Bakteri


Rigormorti lentur tinggi pembusuk
s  Organo masih baik belum
 Insang segar dan tumbuh
bewarna merah mudah
cerah
 Mata
cembungdanlensaputihb
ersih
 Lender dan bau masih
normal
Rigormorti  Daging ikan mulai kaku  ATP terpecah  Bakteri
s dan kejang-kejang dan pembusuk
lemas kembali. belum
 Bau dan lender ikan tumbuh
masih normal
 Insang dan mata masih
bagus
Post  Tubuh ikan lembek dan  Proses enzimatis  Bakteri
Rigormorti tidak elastis (autolysis) sudah pembusuk
s  Otot ikan menjadi bekerja dan
kendor  TerdapatAmonia pathogen
 Insang bewarna gelap k mulai
kehitaman  Terjadinya tumbuh
 Bau tengik yang rancidity seperti
menyengat  Terjadinya bakteri
 Bentuk ikan mulai proses TVB dan Pseudomo
hancur TVA nas,
 Lender sangat banyak  pH nail menjadi achromoba
 Sisik terkelupas basah> 8 cter, dan
flavobacte
 Mata ikan menjadi
rium
cekung dan lensa mata
ikan memerah

Produk perikanan akan mengalami serangkaian proses perombakan yang


mengarah kepenurunan mutu. Proses perombakan yang terjadi pada ikan dapat dibagi
menjadi tiga tahap, yaitu tahap pre rigor, rigor dan post rigor mortis.
1. Pre Rigor

22
Pre rigor adalah tahap dimana mutu dan kesegaran ikan sama seperti ketika
masih hidup. Fase ini ditandai dengan pelepasan lendir cair, bening, atau transparan
yang menyelimuti seluruh tubuh ikan. Proses ini disebut hiperemia yang berlangsung
2-4 jam. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan
musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri(Junianto, 2003). Ikan
lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera mengalami fase prerigor selama 9 jam
(Junianto, 2003).
2. Rigormortis
Rigor mortis adalah tahap dimana produk perikanan memiliki kesegaran dan
mutu seperti ketika masih hidup, namun kondisi tubuhnya secara bertahap
menjadikaku. Hingga tahap rigor mortis, ikan dapat dikatakan masih segar. Ketika
ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim dalam tubuh dengan
terjadinya suatu proses perubahan biokimia yang menyebabkan bagian protein otot
(aktindanmiosin) berkontraksi dan menjadikaku (rigor) (Valtria, 2010). Ikan yang
memiliki cadangan energi yang sedikit akan menyebabkan fase rigor mortis cepat
berakhir. Fase rigor mortis akan berakhir ketika ATP telah habis terurai (Robb 2002).
Fase rigor mortis terjadi pertama kali pada ikan lele dumbo dengan perlakuan
dimatikan segera setelah penyimpanan selama 9 jam dan berlangsung selama 48 jam
hingga jam ke-57. Fase ini ditandai dengan daging ikan lele dumbo yang kaku, ekor
mengejang dan sulit untuk dibengkokkan.
3. Post Rigor
Memasuki tahap post rigor mortis, proses pembusukan daging ikan telah
dimulai. Pada tahap ini daging ikan kembali melunak secara perlahan-lahan, sehingga
secara organoleptik akan meningkatkan derajat penerimaan konsumen sampai pada
tingkat optimal. Lamanya mencapai tingkat optimal tergantung pada  jenis ikan dan
suhu lingkungan. Darah ikan lebih cepat menggumpal dari pada hewan-hewandarat
(Sulistyati, 2004). Menurut Wibowoet al. (2014), pada fase post rigor nilai pH
daging ikan nila mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut diduga terjadi karena
adanya peningkatan aktivitas bakteri pengurai senyawa nitrogen non protein yang
menghasilkan basa volatil. Ikan lele dumbo dengan perlakuan dimatikan segera

23
mengalami fase postrigor selama 87 jam yaitu mulai jam ke-57 hingga jam ke-144.
Ikan lele dumbo memiliki bau amoniak dan sedikit bau asam pada fase post rigor
akhir. Daging ikan lunak dan bekas jari terlihat jelas bila daging ikan ditekan dengan
jari.

24
Perubahan Biochemist, Bacterial, Enzym, danFisik-Mekanik

Perubahan-perubahan yang terjadi segera setelah ikan mati berujung pada


terjadinya pembusukan. Perubahan tersebut diakibatkan oleh adanya aktivitas enzim,
biokimia, dan bakteri di tubuhikan.
1. Perubahan secara enzimatis (autolisis)
Autolisis adalah proses perombakan sendiri, yaitu proses perombakan jaringan
oleh enzim yang berasal dari produk perikanan tersebut. Proses autolisis terjadi
pada saat produk perikanan memasuki fase post rigor mortis. Ikan yang
mengalami autolisis memiliki tekstur tubuh yang tidak elastis (Yusra, 2012).
Menurut Ozogul et al. (2004) penguraian daging ikan terjadi akibat dari aktivitas
enzim dalam tubuh ikan. Ikan yang lebih banyak mengeluarkan energi sebelum
mati akan menyebabkan pH cepat menurun dan mengaktifkan enzim katepsin
yang mampu menguraikan protein. Penguraian ini akan meningkatkan basa-basa
volatil sehingga nilai TVB meningkat. Proses autolisis juga menyebabkan
terurainya protein menjadi polipeptida, asam amino, dan amoniak (Astawan,
2008). Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah
bakteri karena semua hasil penguraian enzim selama autolisis merupakan media
yang cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroba lainnya (Buchari dan
Syahrul, 2011).
4. Perubahan secara biokimia (biochemist)
Proses penurunan mutu secara kimiawi yang mencolok adalah oksidasi lemak
yang menimbulkan bau dan rasa tengik serta perubahan warna daging ikan
menjadi agak cokelat (Astawan, 2008). Menurut Suparmi et al. (2016) gejala ini
dinamakan oxidative rancidity (ketengikan oksidatif). Ikan termasuk salah satu
produk perikanan yang banyak mengandung lemak, terutama lemak tidak jenuh.
Lemak tidak jenuh adalah lemak yang mengandung ikatan rangkap pada rantai
utamanya. Lemak demikian bersifat tidak stabil dan cenderung mudah bereaksi.
Lemak pada ikan didominasi oleh lemak tidak jenuh berantai panjang

25
(Polyunsaturated fatty acid / PUFA). Selama penyimpanan, lemak tidak jenuh
akan mengalami proses oksidasi sehingga terbentuk senyawa peroksida (Yusra,
2012).

5. Perubahan secara bakterial


Penyebab utama pembusukan pada ikan ialah kegiatan bakteri. Kerusakan
mikrobiologi pada produk perikanan dapat disebabkan oleh aktivitas mikroba
patogen dan pembusuk, baik berupa bakteri, virus, jamur, kamir ataupun
protozoa. Produk perikanan mengandung sejumlah mikroba, baik mikroba yang
menguntungkan maupun merugikan. Mikroba ini hidup secara berdampingan.
Mereka biasa disebut sebagai flora alami. Mikroba merugikan terdiri dari
mikroba pembusuk dan patogen. Mikroba pembusuk akan merombak produk
perikanan menjadi komponen yang tidak diinginkan, seperti protein yang diubah
menjadi amonia dan hidrogen sulfida; karbohidrat menjadi alkohol, dan lemak
menjadi keton dan asam butirat. Ciri khas dari peningkatan aktivitas mikroba
pembusuk antara lain tercium bau busuk, bahan menjadi lunak berair dan masih
banyak lainnya (Yusra, 2012). Serangan bakteri dimulai setelah fase rigor mortis
yang mana jutaan bakteri yang terpusat pada tiga tempat, yaitu lendir kulit,
insang, dan isi perut mulai menyerang jaringan tubuh ikan lainnya (Suparmi,
2016).
6. KerusakanFisik-Mekanis
Kerusakan fisiologis adalah kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi
metabolisme dalam bahan atau oleh enzim-enzim yang terdapat di dalam bahan
itu sesdiri secara alami sehingga terjadinya autolisis dan berakhir dengan
kerusakan serta pembusukan.Kerusakan mekanis adalah kerusakan yang
disebabkan karena adany abenturan-benturan mekanis penangkapan,
pengemasan, pengemasan (tertindih atau tertekan) (Afriantoet al, 2010). Tanda-
tanda kerusakan mekanis adanya memar, tersobek atau terpotong pada
permukaan kulit dan jaringan bahan baku akibat benturan makanan sehingga

26
dapat memicu kerusakan lebih lanjut akibat tumbuhnya mikroorganisme. Tanda
– tanda yang disebabkan oleh mekanis adalah :
A. Memar
Memar yang dialami oleh produk perikanan yang disebabkan karena
dipukul, terbanting atau tergencet. Ikan yang memberontak sesaat sebelum
mati atau pedagang yang membanting ikan gurame agar segera mati akan
menyebabkan ikan mengalami memar. Semua upaya mematikanikan
dimaksudkan agar ikan menjadi mudah untuk disiangi. Bahan baku hasil
perikanan yang memar akan mudah mengalami proses pembusukan.
Jaringan dibagian yang memar akan menyebabkan peningkatkan aktivitas
proteolitik. Pada ikan bagian yang memar cenderung menjadi lunak dan
kemerahan(Afriantoet al, 2010)..
Penggunaan alat memukul untuk mematikan ikan dapat menyebabkan
terjadinya memar atau luka. Ikan yang tertangkap dengan pancing huhate
juga mengalami memar saat terbaring ke kapal dan terbanting.
Penangkapan ikan dengan pancing huhate dimana ikan yang tertangkap
akan lepas dari pancing dan jatuh ke geladah kapal. Ikan dibagian ujung
dan lilitan tali jarring (panah) lebih cenderung mengalami memar
dibandingkan ikan di bagian lainnya. Selain itu ikan yang ditangkap
dengan jaring trawl atau pukat cincin akan mengalami tekanan berat
terutama ikan yang berada di bawah. Beban berat yang menghimpit ikan
ke tali jaring trawl atau pukat cincin yang menyebabkan daging ikan
menjadi memar. Pada bagian daging ikan yang mengalami memar
aktivitas enzimnya meningkat sehingga akan mempercepat proses
pembusukan. Enzim akan merombak karbohidrat, protein, lemak menjadi
alcohol, ammonia dan keton(Afriantoet al, 2010)..
B. Luka
Produk perikanan dapat mengalami luka yang diakibatkan tusukan
atau sayatan oleh benda tajam. Penggunaan pengait pada saat akan
mengangkat ikan hasil tangkapan dapat menyebabkan luka pada ikan.

27
Apabila tidak segera ditangani dengan benar, luka tersebut dapat menjadi
jalan bagi mikroba pembusuk untuk memasuki bagian tubuh ikan dan
merombak komponen di dalamnya(Afriantoet al, 2010).

28
Perubahan Yang Terjadi Setelah Ikan Mati
Proses perubahan setelah ikan mati terjadi karena aktifitas enzim,
mikroorganisme & kimiawi yang menyebabkan tingkat kesegaran menurun. Hal ini
terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada ikan, yang
mengarah ke pembusukan.
Urutan proses perubahan yg terjadi setelah ikan mati adalah :
1. Prarigormortis (hyperaemia).
2. Rigormortis.
3. Autolysis ( proses perubahan karena anzim ).
4. Proses perubahan karena aktivitas mikroba ( bakteri).
5. Perubahan karena oksidasi.
1. Prarigormortis
Yaitu merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar dibawah
permukaan kulit. Kemudian membentuk lapiosan bening menutupi seluruh
permukaan kulit. Lendir tersebut sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin
yg merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri.
2. Rigormortis
Akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yg komplek di dalam otot ikan
sesudah kematian. Ikan mati sirkulasi darah berhenti suplai oksigen berkurang shg
terjadi perubahan glicogen menjadi Asam laktat pH tubuh turun diikuti penurunan
jumlah ATP ( adenosin tri posfat ), serta ketidak mampuan otot mempertahankan
kekenyalan.
Waktu yg diperlukan utk masuk dan melewati fase rigormortis tergantung
pada : Species, kondisi fisik ikan, ukuran, perjuangan ukan menjelang mati, cara
penangkapan, cara penanganan setelah penangkapan dan suhu setelah penyimpanan
(Anonim, 2016).
Pada fase ini pH tubuh ikan menurun ( 6,2 – 6,6 ) dari mula-mula 6,9 – 7,2.
Tinggi / rendahnya tergantung pH awal ikan, tergantung pd jumlah glikogen yg ada
dan kekuatan penyangga ( buffering power ) pada daging ikan. Kekuatan penyangga

29
pd daging ikan disebabkan oleh : protein, asam laktat, asam fosfat, T M A O dan
basabasa menguap.
Setelah fase rigormortis pembusukan bakteri pH daging ikan naik mendekati
netral hingga 7,9 – 8,0 / lebih. Tingkat keparahan pembusukan kadar senyawa-2 yg
bersifat basa pH naik. Semakin singkat proses rigormortis pd ikan, maka semakin
cepat ikan itu membusuk.
3. Proses perubahan karena aktifitas enzim ( autolisis )
Semua jaringan ikan mengandung enzim ( sebagai katalisator dlm
pembangunan dan penguraian kembali setiap senyawa dan zat yg merupakan
komponen ikan). Ikan hidup kerja enzim terkontrol. Ikan mati enzim masih punya
kemampuan untuk bekerja secara aktif tetapi tidak terkontrol enzim bisa merusak
jaringan / organ ikan. Ciri-2 proses ini adalah : dg dihasilkannya amoniak sbg hasil
akhir.
Penguraian protein dan lemak dlm autolisis menyebabkan perubahan : rasa,
tekstur dan penampakan ikan. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dg
meningkatnya jumlah bakteri; sebab semua hasil penguraian enzim merupakan media
yg sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri / mikroorganisme lainnya.
4. Perubahan karena aktifitas mikroorganisme (bakteri)
Pada fase ini bakteri terdapat dalam jumlah yang banyak sekali, sebagai akibat
fase sebelumnya. Aksi bakteri ini mula-mula hampir bersamaan dengan autolysis, dan
kemudian berjalan sejajar.
Selama ikan masih dalam keadaan segar, bakteri-bakteri tersebut tidak
mengganggu. Akan tetapi jika ikan mati, suhu badan ikan menjadi naik,
mengakibatkan bakteri-bakteri tersebut segera menyerang. Segera terjadi
pengrusakan jaringan-jaringan tubuh ikan, sehingga lama kelamaan akan terjadi
perubahan komposisi daging. Mengakibatkan ikan menjadi busuk.
Pada saat ikan hidup, pusat konsentrasi bakteri terdapat pada kulit, insang dan
saluran pencernakan. Bakteri-2 yg umum terdapat pada ikan antara lain :
Pseudomonas, Alcaligenes, Micrococcus, Serratia, Bacillus, Aeromonas,
Lactobacillus, Bevibacterium, Streptococcus dll.

30
Senyawa yang dihasilkan dlm dekomposisi bakterial dapat dipakai sebagai
petunjuk dlm penilaian kesegaran ikan. Antara lain :H2S, indol, hipoksantin,
histamin, volating reducing subtance ( VRS ), Total volatile Base ( TVB ) dan Tri
metil amin ( TMA ).
5. Karena oksidasi
Oksidasi lemak timbul aroma / rasa tengik, perubahan rupa serta warna daging
kearah coklat kusam.
Pengamatan keadaan kematian ikan
Pada umumnya Rigormortis pdd ikan berlangsung antara 1 jam sampai
beberapa hari tergantung beberapa faktor, antara lain :
1. Species dan ukuran ikan.
2. Kondisi fisik dan biologi ikan.
3. Derajat kelelahan sebelum mati.
4. Cara penangkapan.
5. Suhu
Beberapa hal yang menyebabkan ikan mudah diserang oleh bakteri adalah sebagai
berikut :
• Ikan segar dan kerang-kerangan mengandung lebih banyak cairan dan sedikit
lemak, jika dibanding dengan jenis daging lainnya. Akibatnya bakteri lebih mudah
berkembang biak.
• Struktur daging ikan dan kerang-kerangan tidak begitu sempurna susunannya,
dibandingkan jenis daging lainnya. Kondisi ini memudahkan terjadinya penguraian
bakteri.
• Sesudah terjadi peristiwa rigor, ikan segar dan kerang-kerangan mudah
bersifat alkaline/basa. Kondisi Ini memberikan lingkungan yang sesuai bagi bakteri
untuk berkembang biak.
Penurunan mutu ikan oleh pengaruh fisik
Penurunan mutu ikan juga dapat terjadi oleh pengaruh fisik. Misal kerusakan
oleh alat tangkap waktu ikan berada di dek, di atas kapal dan selama ikan disimpan di
palka. Kerusakan yang dialami ikan secara fisik ini disebabkan karena penanganan

31
yang kurang baik. Sehingga menyebabkan luka-luka pada badan ikan dan ikan
menjadi lembek.
Hal-hal ini dapat disebabkan karena:
• Ikan berada dalam jaring terlalu lama, misal dalam jaring trawl, penarikan
trawl terlalu lama. Kondisi ini dapat menyebabkan kepala atau ekor menjadi luka atau
patah.
• Pemakian ganco atau sekop terlalu kasar, sehingga melukai badan ikan dan
ikan dapat mengalami pendarahan.
• Penyimpanan dalam palka terlalu lama.
• Penanganan yang ceroboh sewaktu penyiangan, mengambil ikan dari jaring,
sewaktu memasukkan ikan dalam palka, dan membongkar ikan dari palka.
• Daging ikan juga akan lebih cepat menjadi lembek, bila kena sinar matahari.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Mutu Ikan Cara Penangkapan


Ikan yang ditangkap dengan alat trawl, pole, line, dan sebaginya akan lebih
baik keadaannya bila dibandingkan dengan yang ditangkap menggunakan ill-net dan
long-line. Hal ini dikarenakan pada alat-alat yang pertama, ikan yang tertangkap
segera ditarik di atas dek, sedangkan pada alat-alat yang kedua ikan yang tertangkap
dan mati dibiarkan terendam agak lama di dalam air. Kondisi ini menyebabkan
keadaan ikan sudah tidak segar sewaktu dinaikkan ke atas.
Reaksi Ikan Menghadapi Kematian
Ikan yang dalam hidupnya bergerak cepat, contoh tongkol, tenggiri, cucut,
dan lain-lain, biasanya meronta keras bila terkena alat tangkap. Akibatnya banyak
kehilangan tenaga, cepat mati, rigor mortis cepat terjadi dan cepat pula berakhir.
Kondisi ini menyebabkan ikan cepat membusuk.
Berbeda dengan ikan bawal, ikan jenis ini tidak banyak memberi reaksi
terhadap alat tangkap, bahkan kadang-kadang ia masih hidup ketika dinaikkan ke atas
dek. Jadi masih mempunyai banyak simpanan tenaga. Akibatnya ikan lama memasuki
rigor mortis dan lama pula dalam kondisi ini. Hal ini menyebabkan pembusukan
berlangsung lambat.

32
Jenis dan Ukuran Ikan
Kecepatan pembusukan berbeda pada tiap jenis ikan, karena perbedaan
komposisi kimia ikan. Ikan-ikan yang kecil membusuk lebih cepat dari pada ikan
yang lebih besar.
Keadaan Fisik Sebelum Mati
Ikan dengan kondisi fisik lemah, misal ikan yang sakit, lapar atau habis
bertelur lebih cepat membusuk.
Keadaan Cuaca
Keadaan udara yang panas berawan atau hujan, laut yang banyak bergelombang,
mempercepat pembusukan.

Proses Bakteriologis
Proses pembusukan ikan terutama disebabkan oleh aksi bakteri. Ikan segar
yang baru tertangkap hampir bebas dari bakteri, tetapi lendir permukaan, insang, dan
usus dapat mengandung sejumlah besar bakteri. Ketika ikan sudah mati, bakteri ini
mulai menyerang daging dan menyebabkan pembusukan serta menghasilkan senyawa
yang tidak diinginkan. Adanya kerusakan fisik (luka atau memar) akan mempercepat
serangan bakteri. Sifat dan jenis bakteri yang terdapat dalam ikan tergantung pada
kondisi air dari mana dia tertangkap dan metode yang digunakan untuk menangani
ikan setelah penangkapan. Bakteri awal pada ikan sangat beragam, namun paling
sering didominasi oleh bakteri psychrotrophic Gram-negatif. Ikan yang ditangkap di
daerah tropis, dapat mengandung bakteri gram-positif dan bakteri enterik sedikit lebih
tinggi. Selama penyimpanan bakteri berkembang, tetapi hanya sebagian saja yang
berkontribusi pada pembusukan (Marlina, 2011).
Bakteri Shewanella putrefaciens adalah penyebab khas pembusukan ikan dari
perairan beriklim sedang pada perlakuan es yang menghasilkan trimetilamina (TMA),
hidrogen sulfida (H2S) dan sulfida lainnya yang mudah menguap dan menimbulkan
bau busuk. Metabolit yang sama dibentuk oleh Vibrionaceae dan Enterobacteriaceae
selama pembusukan pada suhu yang lebih tinggi. Selama penyimpanan di atmosfer
bebas, bakteri psychrophilic Photobacterium yang memproduksi sejumlah besar TMA

33
merupakan salah satu bakteri pembusuk utama. Ikan air tawar dan ikan dari perairan
tropis, selama penyimpanan dengan peng-es-an yang kontak dengan udara (aerobik)
akan ditumbuhi bakteri Pseudomonas.
Perubahan penting yang disebabkan oleh aksi bakteri pada ikan adalah
sebagai berikut : (1) Pengurangan TMAO menjadi TMA, ikan laut mengandung
persentase kecil TMAO yang tidak berbau yang akan diubah oleh bakteri menjadi
TMA yang berbau ofensif; (2) Penguraian asam amino oleh bakteri asam amino yang
hadir dalam otot ikan menyebabkan pembentukan amina primer, contoh pembentukan
histamin dari histidin, arginin dari asam glutamat dll, dimana aksi bakteri ini dapat
menyebabkan keracunan makanan dalam kasus yang ekstrim; dan (3) Penguraian
urea, konsentrasi yang tinggi urea dalam daging beberapa jenis ikan akan terdegradasi
menjadi amonia oleh mikroorganisme, pembentukan amonia ini disertai dengan bau
yang ofensif.
Kegiatan mikrobiologi juga menyebabkan pembusukan pada produk ikan
yang telah diawetkan dan disimpan pada suhu >0°C. Penambahan sejumlah kecil
garam dan asam, seperti dalam produk ikan yang diawetkan ringan, mengubah
mikroflora yang mendominasi terutama terdiri dari spesies bakteri gram positif
(bakteri asam laktat, Brochotrix), juga beberapa Enterobacteriaceae dan
Vibrionaceae. Produk ikan dengan pengawetan yang lebih kuat seperti ikan asin
kering atau produk fermentasi dapat rusak karena aksi mikroorganisme tertentu. Flora
yang mendominasi pada produk ini adalah gram positif, halofilik atau micrococci
halotolerant, ragi, pembentuk spora, bakteri asam laktat dan jamur. Bakteri pembusuk
halophile ekstrim menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai "pink". Bakteri ini
(Halococcus dan Halobacterium) menyebabkan perubahan warna merah muda pada
garam, air garam dan ikan asin serta bau dan rasa yang terkait dengan pembusukan
(hidrogen sulfida dan indole). Beberapa jamur halofilik (Sporendonema, Oospora)
juga diklasifikasikan sebagai pembusuk. Mereka tidak menghasilkan bau busuk,
tetapi kehadirannya mengurangi nilai produk karena penampilan yang tidak
diinginkan.
Proses Kimiawi

34
Ikan termasuk salah satu produk yang banyak mengandung lemak, terutama
lemak tidak jenuh. Lemak tidak jenuh adalah lemak yang mengandung ikatan
rangkap pada rantai utamanya. Lemak yang demikian bersifat tidak stabil dan
cenderung mudah bereaksi. Lemak pada ikan didominasi oleh lemak tidak jenuh
berantai panjang (Polyunsaturated fatty acid/PUFA). Selama penyimpanan, lemak
tidak jenuh akan mengalami proses oksidasi sehingga terbentuk senyawa peroksida.
Oleh karena itu, aksi kimia yang paling umum adalah perubahan yang terjadi
di fraksi lipid ikan yaitu ketengikan oksidatif. Proses oksidatif, autoksidasi, adalah
reaksi yang hanya melibatkan oksigen dan lemak tak jenuh. Pada tahap awal terjadi
pembentukan hidroperoksida, yang tidak berasa tetapi menyebabkan perubahan
warna coklat dan kuning pada jaringan ikan. Tingkat nilai peroksida dan kandungan
asam lemak bebas keduanya merupakan ukuran ketengikan oksidatif yang dianggap
sebagai indeks kualitas lemak ikan. Degradasi hidroperoksida menimbulkan
pembentukan aldehid dan keton. Senyawa ini memiliki rasa tengik yang kuat.
Oksidasi dapat dimulai dan dipercepat oleh panas, cahaya (terutama sinar UV) dan
beberapa senyawa organik dan anorganik (misalnya Cu dan Fe). Ada beberapa
antioksidan dengan efek sebaliknya yang telah dikenal (alpha-tocopherol, asam
askorbat, asam sitrat, karotenoid).

35
DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E danLiviawaty, E. 2010. PenangananIkan Segar Proses Penurunandan Cara


MempertahankanKesegaranIkan. Bandung: WidyaPadjajaran.
Ahmadawaludin. 2016. Fase Kemunduran Mutu Ikan. Kimia Biokimia Hasil perikanan.
[Internet]. [Diunduh 17 November 2019]. Tersedia pada:
http://akhmadawaludin.web.ugm.ac.id/fase-kemunduran-mutu-ikan/

Anonim. 2016. Ikan sebagai Pangan Kemunduran Mutu Ikan. https://www.kompasiana.


com/lhapiye/56e7bade329773e7093cb75e/ikan-sebagai-pangan-2-kemunduran-mutu-
ikan?page=all. Diakses pada tanggal 18 November 2019
Astawan, Made. 2008. Penanganan dan pengolahan hasil perikanan. Tangerang: Universitas
Terbuka.
Buchari D dan Syahrul. 2011. Teknologi penanganan hasil perikanan. Pekanbaru: Pusat
Pengembangan Pendidikan Universitas Riau.
Junianto. 2003.Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya
Liviawaty, Evi dan Edy Afrianto. 2014. Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila Merah
Berdasarkan Pola Perubahan Derajat Keasaman. Jurnal Akuatika. Sumedang. 5(1) :
40-44.

Marlina. 2011. Perubahan yang terjadi setelah ikan mati http://marlina0936.blogspot.com


/2011/09/perubahan-yang-terjadi-setelah-ikan.html. Diakses pada tanggal 18
November 2019
Ozogul Y, Ozyurt G, Ozogul F, Kuley E, Polat A. 2004. Freshness assessment of european
eel (Anguilla anguilla) by sensory, chemical and microbiological methods. Journal of
Food Chemistry 92:745-751.
Robb D. 2002. The killing of quality: the impact of slaughter procedures of fish flesh. Dalam
Seafood-Quality, Technology and Nutraceutical Applications. Alasavar C, Taylor T
(Eds). New York: Springer.
Sulistyati. 2004. Kajian penyaringan dan lama penyimpanan dalam pembuatan fish pephone
dari ikan selar kuning. Teknologi hasil perikanan FPIK IPB. Bogor.
Suparmi, Sumarto, Syahrul. 2016. Dasar-dasar teknologi hasil perikanan. Pekanbaru: Pusat
Pengembangan Pendidikan Universitas Riau.
Utomo, Trisno. 2016. Kemunduran Mutu Ikan. [Internet]. [Diunduh 17 November 2019].
Tersedia Pada:

36
https://www.kompasiana.com/lhapiye/56e7bade329773e7093cb75e/ikan-sebagai-
pangan-2-kemunduran-mutu-ikan?page=all

Valtria, Belvi. 2010. Pengolahan ikan bandeng (Chanos chanos) tanpa duri. Jurusan Ilmu
Kelautan dan Rekayasa. Politeknik Negeri Pontianak. Pontianak.
Wibowo IR, Darmanto YS, dan Anggo AD. 2014. Pengaruh cara kematian dan tahapan
penurunan kesegaran ikan terhadap kualitas pasta ikan nila (Oreochromis niloticus).
Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan 3(3):95-103.

Yusra, Yempita Efendi. 2012. Pengendalian Mutu Hasil Perikanan. Sumatra Barat: Bung
Hatta University Press.

37

Anda mungkin juga menyukai