Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PELAKSANAAN PRAKTIKUM

FASE RIGOR MORTIS

Kelompok 1/Perikanan A
Aulya Khoerssyfa 230110170028
Fikry Ingrya 230110170026
Gista Tanhira 230110170007
Iqbal 230110170043
Jodi Darmawan 230110170032
Josua H. Sinaga 230110170049
Khoyrunnisa Rambe 230110170036
Nisfi Setiawati 230110170002
Riva Hafidah 230110170042

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS PERIKNAN DAN ILMU KELAUTAN

BULAN NOVEMBER 2018


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena dengan rahmat-Nya penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan laporan
praktikum Fisiologi Pasca Hasil Panen mengenai penentuan Fase Rigor Mortis pada
Ikan Mas.
Tujuan dari pembuatan laporan ini adalah untuk memberikan gambaran
mengenai kegiatan praktikum Fisiologi Pasca Hasil Panen di Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dan memberikan pengetahuan yang
lebih mendalam mengenai aspek rigor mortis pada ikan.
Semoga laporan ini dapat menuntun ke arah yang lebih baik lagi dan mampu
menambah kemampuan tim penulis dalam meningkatkan ketelitian. Kritik dan
saran demi laporan ini selanjutnya sangat dinantikan.

Jatinangor, November 2018

Kelompok 1
DAFTAR ISI

BAB Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ...................................................................... ii
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Tujuan Praktikum ...................................................................... 1

II LANDASAN TEORI
2.1 Elastisitas Daging .................................................................. 2
2.2 Tekstur Daging ...................................................................... 2
2.3 Volume Drip .......................................................................... 3
2.4 pH .......................................................................................... 4
2.5 Perubahan Warna Tubuh Ikan ............................................... 5
2.6 Perubahan Aroma Tubuh Ikan ............................................... 7
2.7 Fase Rigor Mortis .................................................................. 8
2.8 Kesegaran Ikan ...................................................................... 9
2.9 Drip ........................................................................................ 11
2.10 Kemampuan Mengikat Air .................................................... 11

III ALAT DAN BAHAN


3.1 Alat Praktikum ....................................................................... 12
3.2 Bahan Praktikum ................................................................... 12
3.3 Prosedur Praktikum ............................................................... 13

IV HASIL DAN DISKUSI PRAKTIKUM


4.1 Hasil Praktikum ................................................................... 14
4.2 Diskusi Praktikum ............................................................... 16

V PENDALAMAN ........................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman


1 Pengamatan Minggu Pertama ............................................................ 14
2 Pengamatan Minggu Kedua ............................................................... 15

i
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


1 Tekstur Daging Ikan .......................................................................... 4
2 Grafik Nilai pH setelah Ikan Mati..................................................... 5

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu masalah yang timbul pada sektor perikanan adalah
mempertahankan mutu. Mutu ikan dapat terus dipertahankan jika ikan tersebut
ditangani dengan hati-hati,bersih,disimpan,dalam ruangan ikan lebih cepat
memasuki fase rigor mortis dan berlangsung lebih singkat. Jika fase rigor mortis
tidak dapat dipertahankan lebih lama maka pembusukan oleh aktivitas enzim dan
bakteri tersebut menyebabkan perubahan yang sangat pesat sehingga ikan
memasuki fase post rigor. Fase ini menunjukkan bahwa mutu ikan sudah rendah
dan tidak layak untuk dikonsumsi (FAO 1995).
Ikan harus memiliki tingkat mutu yang tinggi untuk memenuhi permintaan
pasar yang kian meningkat tetapi ikan merupakan makanan yang bersifat mudah
rusak. Kualitas produk hasil ikan identik dengan kesegaran penanganan memiliki
peranan penting untuk memperoleh nilai jual ikan yang maksimal. Salah satu faktor
yang menentukan nilai jual ikan dan hasil perikanan yang lain adalah tingkat
kesegarannya. Salah satu masalah yang sering timbul pada sektor perikanan adalah
dalam mempertahankan mutu. Mutu ikan dapat terus dipertahankan jika ikan
tersebut ditangani dengan hati-hati (carefull), bersih (clean), disimpan dalam
ruangan dengan suhu yang dingin (cold), dan cepat (quick) (Hadiwiyoto 1993).
Menurut Afrianto dan Liviawaty (2010) ada tiga tahapan proses penurunan
kesegaran ikan, yaitu pre-rigor, rigor dan post rigor mortis. Kualitas produk hasil
perikanan identik dengan kesegaran. Mutu ikan harus dapat dipertahankan
apabila ditangani dengan hati-hati, bersih dan disimpan pada ruangan dingin dan
cepat. Proses perubahan fisik, kimia, dan organoleptik berlangsung dengan cepat
setelah ikan mati. Urutan proses perubahan yang terjadi pada ikan setelah mati
meliputi pre rigor mortis, rigor mortis, dan post rigor mortis .
Pada tahap pre rigor mortis, daging ikan lembut dan lentur. Terdapat lapisan
bening disekujur tubuh karena kelenjar yang terdapat di bawah lapisan kulit

1
2

melepaskan lendir ke permukaan tubuh. Daging bersifat lembut dan lentur karena
otot daging masih bisa berkontraksi dan relaksasi. Saat berkontraksi, aktin dan
miosin yang merupakan bagian dari otot akan bersatu membentuk aktin dan miosin
yang merupakan bagian dari otot akan berstu membentuk aktomiosin. Selama ikan
memiliki cadangan energi, maka aktomiosin akan diubah kembali manjadi aktin
dan miosin (Eskin 1990).
Penentuan kesegaran ikan berdasarkan fase perubahan sangat bermanfaat.
Dengan cara ini, kesegaran ikan dapat dintentukan lebih cepat. Serta dengan
mengetahui penentuan fase perubahan ikan ini memiliki peranan yang sangat
penting untuk memperoleh nilai jual ikan yang maksimal dan memerikan
pengetahuan tentang masa simpan ikan yang baik sehingga ikan tetap segar. Salah
satu faktor yang menentukan nilai jual ikan dan hasil perikanan yang lain adalah
tingkat kesegarannya (Junianto 2003).
BAB II

TUJUAN PRAKTIKUM

II. Tujuan Praktikum


Tujuan Praktikum penentuan saat rigor mortis adalah meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan praktikan dalam menentukan saat rigor mortis ikan
berdasarkan parameter utamanya. Selain itu untuk menentukan fase rigor mortis
ikan berdasarkan pola perubahan pH dan ditunjang dengan pengukuran kekerasan
daging ikan, dengan demikian dapat diketahui tingkat kesegarannya melalui waktu
masuknya rigor mortis.

3
BAB III
LANDASAN TEORI

3.1 Elastisitas Daging


Pada fase pre rigor terjadi, otot ikan masih dalam keadaan lembut dan lentur
disebabkan adanya sisa ATP sehingga otot ikan masih bisa melakukan relaksasi.
Sedangkan fase rigormortis ditandai dengan menghilangnya kelenturan tubuh
ikan karena menurunnya ATP sehingga energi yang tersisa tidak cukup merombak
aktomiosin menjadi aktin dan miosin yang ditandai dengan tekstur yang mengeras
dan kaku. Sehingga pada ikan yang sedang berada pada fase rigor mortis,
elastisitas daging meningkat karena daging padat dan kenyal.
3.2 Tekstur Daging
Ikan yang baru mati dan masih dalam fase pre-rigor mortis mempunyai
tekstur daging yang sama dengan ikan hidup, yaitu kenyal, elastis dan lentur, hal
ini berhubungan dengan masih adanya kontraksi dan relaksasi yang terjadi pada
otot ikan. Ikan yang baru mati masih mempunyai sisa ATP sebelum mati dan hasil
proses glikolisis anaerob yang menyebabkan otot ikan masih bisa melakukan
relaksasi, dengan demikian daging ikan mempunyai kondisi yang masih elastis
dan lentur. Tekstur daging ikan yang kenyal, elastis dan lentur secara berangsur-
angsur akan mengeras karena energi yang tersisa tidak cukup untuk merombak
aktomiosin menjadi aktin dan miosin. Akibatnya otot ikan mulai menjadi keras
dan kaku. Bergabungnya aktin dan miosin membentuk aktomiosin, akan
menyebabkan ikan menjadi kaku dan keras (Hadiwiyoto, 1993). Meningkatnya
kekerasan daging ikan merupakan indikator bahwa ikan telah memasuki fase rigor
mortis.
Menurut penelitian penentuan waktu rigor mortis pada ikan nila merah yang
dilakukan Liviawaty dan Afrianto (2010), bahwa ikan nila merah saat 2 jam
setelah kematian akan mengalami pengerasan daging ikan dan memiliki nilai rata-
rata kekerasan 0,80kg/cm2. Hingga 6,5 jam setelah kematian memiliki tingkat
kekerasan paling tinggi dalam kondisi kaku yaitu 0,91kg/cm2. Namun pada jam

4
5

ke-7 kekerasan daging ikan mulai menurun yang artinya masa rigor mortis telah
berakhir. Ketika ikan masih dalam kondisi rigor mortis maka ikan akan kaku.

Gambar 1. Tekstur Daging Ikan


3.3 Volume Drip
Berdasarkan data penelitian ini nilai kadar air semakin hari selama
penyimpanan mengalami peningkatan. Hal tersebut diduga karena kandungan
protein yang semakin menurun sehingga daya ikat air dalam protein tersebut
berkurang sehingga kandungan air dalam fillet ikan patin tersebut semakin
meningkat. Penurunan daya mengikat air disebabkan oleh makin banyaknya asam
laktat yang terakumulasi akibatnya banyak protein miofibril yang rusak, sehingga
diikuti dengan kehilangan kemampuan protein daging untuk mengikat air (Wowor
et al., 2014). Hal tersebut juga didukung oleh Pratama et al., (2014) bahwa
kehilangan kadar lemak dan air dapat terjadi karena denaturasi protein pada
jaringan dalam tingkatan yang dapat menyebabkan penurunan daya ikat air dan
sifat emulsifikasi protein. Drip merupakan sebagian cairan yang terdapat dalam
daging ikan, yang terdiri dari air, lemak dan protein, keluar dari jaringan.

3.4 pH
Setelah ikan mati, maka pH pada daging ikan sekitar 6,8 hingga mendekati
netral (Hadiwiyoto 1993). Saat ikan akan memasuki fase rigor mortis akan
mengalami penurunan pH. Oleh karena itu, penurunan pH menjadi salah satu
indikator untuk mengetahui suatu ikan akan memasuki fase rigor mortis.
Penurunan pH terjadi akibat respirasi anaerob yang memecah glikogen menjadi
6

ATP dan asam laktat. Asam laktat tersebutlah yang membuat pH daging ikan
menjadi asam.
Nilai pH akan semakin menurun seiring semakin banyaknya asam laktat yang terbentuk
dan penurunan ATP. Pada akhirnya pH akan semakin asam yaitu pada fase rigor mortis.
Penurunan pH ini pada kedua perlakuan diduga merupakan saat terjadinya kejang penuh
atau rigor mortis sempurna (full rigor). Menurut Partman (1965) dalam Rustamaji
(2009), ikan yang mengalami full rigor biasanya memiliki nilai pH antara 6,2 sampai 6,6.
Hal ini membuktikan bahwa ikan yang mati dengan cara dibunuh dengan menusuk
otaknya nilai pH lebih kecil kondisi pre rigor dan rigor dibandingkan dengan ikan yang
dibiarkan menggelepar sampai mati.
Menurut penelitian penentuan waktu rigor mortis pada ikan nila merah yang
dilakukan Liviawaty dan Afrianto (2010), bahwa ikan nila merah berada pada fase
rigor mortis hingga 11 jam setelah ikan mati, ini dicirikan dengan masih
menurunnya nilai pH. Ikan nila merah yang baru saja mati memiliki nilai pH 6,94
dan terus menurun hingga jam ke-11 yaitu 6,26 kemudian pada jam ke-12 nilai
pH naik kembali menjadi 6,29 yang menandakan berakhirnya fase rigor mortis.
Penyimpanan pada suhu dingin diduga berperan dalam menghambat kebusukan
ikan dengan pH berkisar basa. Menurut Munandar et al. (2009), penggunaan suhu
rendah mempengaruhi fluktuasi nilai pH pada ikan nila. Penyimpanan ikan nila
pada suhu rendah menyebabkan aktivitas enzim yang terdapat pada daging
menjadi terhambat sehingga kemunduran mutunya berjalan lebih lambat. Semakin
rendah suhu yang digunakan maka aktivitas enzim semakin terhambat.

Gambar 2. Grafik Nilai pH Setelah Ikan Mati


7

3.5 Perubahan Warna Tubuh Ikan


Penurunan pH menyebabkan denaturasi protein pada daging ikan. Akibat
denaturasi protein, maka terjadi penurunan kelarutan protein, daya ikat air hilang
dan intensitas warna dari pigmen daging ikan. Maka pada saat ikan mati akan terjadi
perubahan warna pada daging ikan. Perubahan pH menyebabkan sebagian protein
terdenaturasi dan perubahan muatan protein. Perubahan muatan protein akan
mengubah jarak antar serat-serat daging sehingga mempengaruhi kemampuannya
dalam menyerap dan memantulkan cahaya yang akan mempengaruhi penampakan
(warna) daging secara visual. Riyantono et al. (2009) menyampaikan bahwa
perubahan warna pada ikan menunjukkan ikan telah mengalami kemunduran mutu
atau pembusukkan dilihat dari perubahan warna insang kecoklatan, bau busuk dan
tekstur yang rusak. Weeber et al. (2008) menambahkan proses perubahan pada ikan
tersebut terjadi karena aktivitas enzim dan mikroorganisme. Kedua hal tersebut
menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun.
Proses oksidasi juga akan menyebabkan perubahan warna pada daging ikan.
Terutama ketika daging ikan bersentuhan langsung dengan oksigen yang berada di
udara terbuka. Pada saat itulah akan terjadi oksidasi. Proses oksidasi akan
menimbulkan aroma tengik, perubahan warna daging kearah coklat kusam yang
dapat menurunkan mutu ikan tersebut, hasil pengukuran pada terbentuknya
senyawa-senyawa hasil oksidasi seperti hidroperoksida menunjukkan bahwa
daging ikan yang berwarna lebih gelap mengandung angka hiperoksidasi lima kali
lebih banyak dari ikan daging terang padahari penyimpanan es, terbentuknya
senyawa tersebut akan mengakibatkan off-flavor danperubahan warna daging ikan
(Husni 2014).
3.6 Perubahan Aroma Tubuh Ikan
Pembusukkan dan lama waktu penyimpanan dapat memicu pertumbuhan
mikrobia pembusuk. Mikroorganisme ini terutama disebabkan oleh produksi
kandungan volatil (Hansel et al 1995 dalam Kalista 2018). Karungi et al. (2003)
dalam Kalista (2018) degradasi protein dan derivatnya akan membentuk basa
volatil yang mudah menguap yaitu amoniak, histamin dan H2S dan menimbulkan
8

bau busuk. Komponen yang bertanggung jawab atas rasa dan aroma ikan diubah
oleh aksi enzimatik. Contohnya adalah degradasi ATP (adenosine triphospat)
menjadi AMP (adenosine monophospat) dan hipoksantin. Hipoksantindihasilkan
oleh pemecahan ATP yang merupakan komponen utama dari nukleotida otot ikan.
Akumulasi hipoksantin menyebabkan rasa pahit pada otot ikan disertai dengan
hilangnya rasa ikan segar. Dengan demikian pengukuran kandungan hipoksantin
dalam ikan menunjukkan tingkat kesegaran. Ikan yang berada pada fase rigor
mortis masih memiliki bau spesifik jenisnya.
Perubahan aroma pada daging ikan juga dapat dipengaruhi oleh autolisis.
Autolisis adalah proses pelunakan daging ikan yang berlangsung pada tahap post
rigor mortis. Proses autolisis disebabkan oleh aktivitas enzim yang berasal dari
tubuhyna sendiri. Proses autolisis menyebabkan protein diubah menjadi peptida dan
diubah lagi menjadi asam amino. Lemak diubah menjadi asam lemak dan gliserol.
Hasil perombakan selama proses autolisis menjadi media yang disukai oleh
mikroba pembusuk untuk tumbuh dan berkembang biak. Oleh mikroba pembusuk
tersebut, asam amino akan diubah menjadi amonia dan hidrogen disulfida,
sementara asam lemak akan diubah menjadi senyawa keton yang menyebabkan bau
tak sedap.

3.7 Fase Rigor Mortis


Fase rigor mortis (rigor = kaku, mortis = mati) adalah tahap yang terjadi
ketika ikan mengalami kekakuan atau kekejangan. Fase ini ditandai dengan
terjadinya penurunan pH akibat akumulasi asam laktat. Perkembangan proses rigor
mortis terdiri dari tiga fase yaitu : fase penundaan, fase cepat, dan fase kaku. Proses
hilangnya daya regang mula-mula berlangsung secara lambat selama beberapa jam
(fase penundaan), kemudian berlangsung cepat (fase cepat) dan akhirnya
berlangsung secara konstan dengan kecepatan rendah sampai tercapainya kekakuan
(rigor). Dengan demikian, kondisi rigor mortis ditandai dengan hilangnya
kelenturan, pemendekan otot dan naiknya tensi otot (Nurwantoro dan Mulyani
2003).
9

Faktor yang mempengaruhi lamanya fase rigor mortis yaitu jenis ikan, suhu,
penanganan sebelum pemanenan, kondisi stress pra kematian, kondisi biologis
ikan, dan suhu penyimpanan prerigor (Skjervold et.al. 2001). Ketika ikan mati,
kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim dalam tubuh dengan
terjadinya suatu proses perubahan biokimia yang menyebabkan bagian protein otot
(aktin dan miosin) berkontraksi dan menjadi kaku (Valtria 2010). Nilai pH
daging ikan selama fase rigor mortis turun dari 7-6,5 (Delbarre et.al. 2006).
Fase rigor mortis sangat penting dalam industri perikanan karena fase ini
merupakan tahapan sebelum terjadinya kebusukan oleh mikroba. Selama berada
dalam tahap ini, ikan masih memiliki kualitas yang baik dan diterima oleh
konsumen. Fase ini dihindari oleh industri fillet karena daging ikan yang
kaku sulit untuk diproses (Eskin 1997).

3.8 Kesegaran Ikan


Kesegaran ikan adalah parameter untuk membedakan ikan yang jelek dan
ikan yang baik kualitasnya. Ikan dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan
biokimiawi, mikrobiologi, dan fisikawi yang terjadi belum menyebabkan kerusakan
pada ikan (Ilyas 1983). Definisi ikan segar menurut SNI 01-2729 adalah produk
yang berasal dari perikanan dengan bahan baku ikan, yang telah mengalami
perlakuan pencucian, penyiangan atau tidak penyiangan, pendinginan dan
pengemasan. Sedangkan ikan segar yang didefinisikan oleh FAO (1995) adalah
ikan yang baru saja ditangkap, belum disimpan atau diolah, atau ikan yang memiliki
sifat kesegaran yang kuat serta belum mengalami pembusukan. Adwyah (2008)
menyatakan bahwa kesegaran ikan dapat digolongkan menjadi 4 kelas yaitu tingkat
kesegarannya sangat baik sekali (prima), ikan yang kesegarannya baik (advanced),
ikan yang kesegarannya mundur (sedang) serta ikan yang sudah tidak segar lagi
(busuk).
Parameter untuk menentukan kesegaran ikan terdiri atas faktor-faktor
fisikawi, organoleptik, kimiawi maupun faktor mikrobiologi. Menurut Hadiwiyoto
(1993) faktor parameter fisikawi terdiri dari :
1. Penampakan luar
10

a) Ikan yang masih segar mempunyai penampakan cerah. Keadaan ini


terjadi karena belum banyak perubahan biokimiawi yang terjadi pada
ikan dan metabolisme dalam tubuh ikan masih berjalan dengan baik.
b) Ikan yang masih segar tidak ditemukan tanda-tanda perubahan warna.
2. Kelenturan daging
a) Ikan segar mempunyai daging yang cukup lentur. Apabila daging
ditekan atau dibengkokkan, ikan akan kembali ke bentuk semula setelah
dilepaskan.
b) Kelenturan yang terjadi disebabkan oleh belum terputusnya benang-
benang daging. Pada ikan yang busuk benang-benang daging ini sudah
banyak yang putus dan dinding-dinding selnya banyak yang rusak
sehingga ikan kehilangan kelenturannya.
3. Keadaan mata
a) Perubahan kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan yang nyata
pada kecerahan mata.
b) Mata tampak kotor dan tidak jernih.
4. Keadaan daging ikan
a) Ikan yang masih segar, jika ditekan dengan jari telunjuk bekasnya akan
segera kembali karena dagingnya kenyal.
b) Daging ikan belum kehilangan cairan sehingga daging ikan masih
terlihat basah.
c) Belum terdapat lendir pada permukaan tubuh ikan.
5. Keadaan insang
a) Ikan yang segar mempunyai insang yang berwarna merah cerah.
b) Sebaliknya pada ikan yang sudah tidak segar, warna insang berubah
menjadi coklat gelap.

3.9 Drip

Drip adalah proses keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan karena suhu yang
berbeda. pada proses nya ikan sampel di bekukan terlebih dahulu dalam freezer dan
di lakukan pengujian dengan melihat seberapa besar banyak air atau cairan yang
11

keluar dari daging ikan. Wanniate (2014) menyatakan bahwa drip merupakan
hilangnya beberapa kompenen nutrient daging yang ikut bersama keluar nya cairan
daging. Cairan yang keluar dan tidak terserap kembali oleh serabut selama
penyegaran indah yang disebut drip. Sedangkan menurut Soeparno (2005) cairan
yang keluar dan tidak terserap kembali oleh serabut otot selama penyegaran inilah
yang disebut drip.

Dua faktor yang mempengaruhi jumlah drip yaitu besarnya cairan yang
keluar dari daging, dan faktor yang berhubungan dengan daya ikat air oleh protein
daging. Pada laju pembekuan yang sangat cepat, kristal es kecil-kecil terbentuk
didalam sel, sehingga struktur daging tidak mengalami perubahan. Pada laju
pertumbuhan yang lambat, kristal es mulai terjadi diluar serabut otot (ekstraselular),
karena tekanan osmotik ekstraselular lebih kecil daripada didalam otot.
Pembentukan kristal es ekstraselular berlangsung terus, sehingga cairan
ekstraselular yang tersisa dan belum membeku akan meningkat kekuatan fisiknya
dan menarik air secara osmotik dari bagian dalam sel otot yang sangat dingin.
Denaturasi protein menyebabkan hilangnya daya ikat protein daging, dan pada saat
penyegaran kembali terjadi kegagalan serabut otot menyerap kembali semua air
yang menaglami translokasi atau keluar pada proses pembekuan.

3.7 Kemampuan Mengikat Air


Ikan mengandung air dalam jumlah yang relatif tinggi sehingga mudah
mengalami kerusakan. Ikan juga mengandung enzim pengurai protein menjadi
isobutilamin, kadaverin dan puresin yang menyebabkan aroma kurang sedap
sehingga penanganan ikan sangat menentukan kualitas ikan. Water Holding
Capacity (WHC) atau daya ikat air didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk
mengikat air baik yang berasal dari daging itu sendiri maupun yang berasal dari
luar. Proses pembentukan gel melibatkan garam, protein dan air, sehingga reaksi
antara protein-air-garam memegang peranan yang sangat penting.
Pembuatan surimi menggunakan NaCl untuk meningkatkan interaksi
protein miofibril dengan air serta meningkatkan WHC. Ketika pH ikan berada di
atas titik isoelektris, protein miofibril lebih banyak mengandung muatan negatif
12

sehingga ion Cl- dari garam akan tolak-menolak dengan muatan negatif dari protein
miofibril sehingga struktur protein membengkak yang menyebabkan terjadinya
hidrasi atau penyerapan air (Li 2006).
BAB IV
ALAT DAN BAHAN

4.1 Alat Praktikum


1. Hardness tester, digunakan untuk menguji kekerasan daging ikan
2. pH meter, digunakan untuk mengukur pH
3. Talenan, digunakan untuk alas memotong daging ikan
4. Pisau, digunakan untuk memotong daging ikan
5. Timbangan, digunakan untuk mengukur bobot ikan
Baki, digunakan untuk wadah ikan
6. Beaker glass, digunakan untuk wadah air
7. Plastic wrap, digunakan untuk mengemas produk
8. Tisu, digunakan untuk menyerap drip pada ikan
9. Plastik yang sudah dibolongi, digunakan untuk menyaring drip pada ikan

4.2 Bahan Praktikum

1. Ikan Mas
2. Air, digunakan untuk media penetral

13
BAB V

PROSEDUR KERJA

5.1 Prosedur Kerja


Adapun prosedur kerja yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Ikan dimatikan dengan cara dipukul bagian kepalanya menggunakan


gagang pisau kemudian ikan Nila disiapkan dan diletakkan pada
piring/nampan.
2. Pengamatan dilakukan setiap 30 menit terhadap bobot ikan, elastisitas
daging, tekstur daging (secara organoleptic dan menggunakan hardness
tester),wrna dan aroma tubuh ikan, dan pH.
3. Setelah diamati, ikan diletakkan pada piring stirofom dan dikemas dengan
clingwrapp.
4. Ikan yang telah dikemas dimasukkan ke dalam freezer dan didinginkan
selama seminggu.
5. Setelah didinginkan selama seminggu, maka dilakukan pengamatan
terhadap parameter:
a. Bobot ikan
b. Elastisitas daging
c. Tekstur daging
d. Volume drip
e. pH
f. Perubahan warna tubuh ikan
g. Perubahan aroma tubuh ikan

14
BAB VI
Hasil dan Diskusi Praktikum

6.1 Hasil Praktikum


Berdasarkan pengamatan selama praktikum, diperoleh data hasil pengamatan
minggu pertama (Tabel 1) dan minggu kedua (Tabel 2).

Tabel 1. Pengamatan Minggu Pertama


Tekstur
Waktu Bobot
Hardness pH
Pengamatan ikan Elastisitas
organoleptik tester
(menit) (g)
(g/cm2)
L: Transparan
M: Cembung
cemerlang
Elastis (Pre A: Spesifik ikan 7
1 169 gr 0,835
Rigor) (segar)
T: Elastis, padat
W: Cemerlang
I: Merah
L: Tipis,
transparan
sedikit
M: Cembung
Elastis(Pre A: Masih segar 7,1
30 169 gr 0,811
Rigor) (aroma spesifik)
T: Elastis,
padat, kenyal
W: Cemerlang
I: Cembung
L: Sedikit
M: Cembung
A: Segar
Agak
spesifik 7,1
60 169 gr Elastis(Pre 0,802
T: Agak
Rigor)
Kenyal
W:Cemerlang
I: Merah

15
16

Tabel 2. Pengamatan Minggu Kedua


Bobo Tekstur Perubahan
Waktu t Elastisit
Pengamat ikan Hardne pH
as Organolept Aroma Warna
an (menit) ss tester
(g) ik (g/cm2)

160 Kaku L: tipis 0,800 6,6 Bau Cemerlan


gr (Rigor 7 spesifi g
1 Mortis) M: agak k
cekung hilang
I: merah
pucat

T:keras

160 Kaku L: agak 0,914 6,8 Bau Cemerlan


gr (Rigor tebal spesifi g
30 Mortis) k
M: agak hilang
cekung

I: merah
pucat

T: keras

160 Kaku L: agak 0,75 6,9 Bau Cemerlan


gr (Rigor tebal 3 spesifi g
60 Mortis) k
M: agak hilang
cekung

I: merah
pucat

T: keras

6.2 Diskusi Praktikum

Berdasarkan data yang Anda peroleh selama kegiatan praktikum berlangsung,


diskusikan hal berikut dengan kelompok Anda. Cantumkan poin-poin yang
diperoleh selama diskusi.
17

1. Apakah selama kegiatan praktikum pada minggu pertama, ikan sudah


memasuki tahap rigor mortis? Mengapa demikian? Berikan jawaban
kelompok Anda berdasarkan data yang diperoleh selama praktikum.

Jawaban:

Ikan masih berada dalam fase pre rigor mortis, karena ikan yang kita gunakan
saat praktikum merupakan ikan yang masih dalam keadaan hidup, lalu
dimatikan. Selain itu, dari segi karakteristik tubuh ikan mas yang di amati, otot
tubuh belum mengalami kontraksi tetap (pembentukan aktomiosin), tubuh ikan
belum tegang, dan dari segi kenampakan dan karakteristik lainnya ikan masih
tergolong kedalam fase pre rigor mortis. Ikan mas yang diamati pada minggu
pertama berada pada fase per rigor mortis karena mempunyai tekstur kenyal,
elastis, lentir, mata cembung, lendir tipis, dan memiliki aroma khas spesifik.

2. Apakah pada minggu kedua, ikan sudah memasuki fase post rigor mortis atau
masih rigor mortis? Mengapa demikian? Berikan jawaban kelompok Anda
berdasarkan data yang diperoleh selama praktikum.

Jawaban:

Hasil pengamatan elastisitas, ikan yang diamati masih tergolong kedalam fase
rigor mortis. Pernyataan tersebut timbul dari elastitas ikan yang berubah
menjadi kaku. Ikan mengalami kontraksi otot, atau yang biasa disebut dengan
aktomiosin (reaksi antara aktin dan miosin yang saling berkontraksi dan tetap
pada posisi tersebut setelah kehabisan energi). Terjadinya kontraksi otot
tersebut, ada pada fase rigor mortis. Berbeda halnya dengan fase post rigor,
ikan akan mengalami pelunakan otot kembali (aktomiosin sudah tidak terjadi
lagi), Ikan mas pada minggu kedua pH nya menurun. Oenurunan pH sebagai
salah satu indikator bahwa ikan mas telah memasuki fase rigor mortis. Ikan
yang diamati mengalami susut bobot, hal ini terjadi karena kemampuan
mengikat air menurun sehingga terjadi drip pada ikan yang mengakibatkan
susut bobot.
BAB VII
PENDALAMAN

1. Jelaskan mengapa data elastisitas dan tekstur dapat digunakan untuk


menentukan saat rigor mortis.
Karena saat rigor mortis daging ikan mengeras sehingga tidak elastis lagi hal ini
disebabkan terjadinya penggabungan protein aktin dan miosin menjadi protein
kompleks aktomiosin yang bersifat tidak dapat dikembalikan (irreversible) (DKP dan
JICA 2008) sedangkan pada saat pre rigor ikan masih elastis dan pada saat post rigor
ikan sudah tidak elastis dan tidak keras.

2. Jelaskan hubungan antara data pH dengan saat rigor mortis


pH akan turun pada saat fase rigor mortis, hal ini disebabkan karena akumulasi asam
laktat akibat respirasi anaerob. Respirasi anaerob sendiri terjadi akibat terhentinya
aliran darah yang membawa oksigen pada ikan setelah ikan itu mati sehingga terjadi
respirasi anaerob glikogen yang menghasilkan asam laktat (Delbarre-Ladrat et al.
2006).

3. Jelaskan hubungan drip dengan post rigor mortis


Fase post rigor terjadi setelah rigor mortis. Fase ini ditandai dengan melemasnya otot
ikan kembali setelah menegang pada fase rigor mortis. Pada fase post rigor, mulai
terjadi aktivitas bakteri yang meningkat serta aktivitas enzim yang semakin banyak
(Huss 1995). Aktivitas enzim akan menyebabkan pelunakan jaringan pada ikan serta
aktivitas bakteri menyebabkan ikan menjadi semakin mengarah kepada kondisi busuk
(Delbarre-Ladrat et al. 2006). Aktivitas enzim tersebut dapat menyebabkan terjadinya
drip yang dapat mengeluarkan nutrien-nutrien sehingga dapat mempercepat
pembusukan dan juga air yang berada bersama ikan akan menyatu dengan ikan
sehingga dapat menyebabkan ikan menjadi lebih cepat busuk.

4. Jelaskan hubungan susut bobot dengan post rigor mortis


Pada fase post rigor mortis otot ikan akan melemas kembali setelah menegang pada fase
rigor mortis hal itu terjadi akibat aktivitas enzim. Dengan daging ikan yang lunak itu
dapat menyebabkan penyusutan akibat adanya aktivitas enzim tadi yang menyebabkan
terjadi drip sehingga cairan keluar dan terjadi penyusutan.
5. Jelaskan hubugan pH dengan post rigor mortis

18
19

Fase post rigor mortis ditandai dengan meningkatnya pH. Penigkatan nilai pH terjadi
karena enzim yang berasal dari daging ikan dan mikroba melakukan perombakan
terhadap protein dan lemak sehingga menghasilkan senyawa-senyawa bersifat basa
(suparno 1993). Kenaikan nilai pH pada fase post rigor ini juga disebabkan karena
terakumulasinya basa-basa volatil akibat aktivitas bakteri (Huss 1995).
6. Jelaskan hubungan perubahan warna dengan post rigor mortis
Pada saat fase post rigor mortis warna ikan berubah menjadi merah kecoklatan. Hal ini
disebabkan karena timbulnya lendir sebagai akibat dari proses biokimiawi lebih lanjut
dan berkembangnya mikroba yang akan lebih jelas terlihat pada fase kemunduran mutu
berikutnya (Adawyah 2007).
7. Jelaskan hubungan perubahan aroma dengan post rigor mortis
Hubungannya dengan post rigor kondisi ikan sudah hampir membusuk yang
menyebabkan aroma pada ikan sudah tidak sedap atau khas spesifik jenis. Karena
setelah fase post rigor mortis selanjutnya fase busuk. Pada fase ini ikan tidak lagi dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Hal ini disebabkan karena aktivitas bakteri yang
sangat banyak serta kerusakan pada tubuh ikan.
DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara Jakarta. Hal.
1-19.

Delbarre L.C., R.Cheret, R. Taylor, V.Bagnis. 2006. Trends in


postmortem aging in fish: Understanding of proteolysis and
disorganization of the myofibrillar structure. Critical Reviews in food Science
and Nutrition, 46(5):409-421.

Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition. Academic Press, Inc.
San Diego.

Hadiwiyoto, S, 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Penerbit Liberty,


Yogyakarta.

Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Yogyakarta:


Liberty.
Husni, A. & Putra, M.P. 2014. Pengendalian Mutu Hasil Perikanan. Yogyakarta:
GadjahMada University Press.
Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan 1, Teknik Pendinginan Ikan.

Kalista, A., Redjo, A., & Rosidah, U. 2018. Analisis Organoleptik (Scoring Test)
Tingkat Kesegaran Ikan Nila Selama Penyimpanan. Jurnal Teknologi Hasil
Perikanan Vol.7 No.1: 98-103.
Li, J.Y., dan Yeh, A.I. 2001. Relationship Between Thermal, Rheological
Characteristics, and Swelling Power for Various Starches. J. Food
Engineering Vol 50 : 141-148
Liviawaty, E. & Afrianto, E. 2014. Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila Merah
(Oreochromis niloticus) Berdasarkan Pola Perubahan Derajat Keasaman.
Jurnal Akuatika Vol.V No.1: 40-44.
Munandar. A., Nurjannah, dan M. Nurilmala. 2009. Kemunduran Mutu Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) pada Penyimpanan Suhu Rendah dengan Perlakuan

20
Cara Kematian dan Penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia. (12) 2.
Nurwantoro dan S. Mulyani. 2003. Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Universitas
Diponegoro. Semarang
Pratama, R. I., I. Rostini, dan E. Liviawaty. 2014. Karakteristik Biskuit dengan
Penambahan Tepung Tulang Ikan Jangilus (Istiophorus sp.). Jurnal Akuatika.
5(1). ISSN 0853-2532.
Rustamaji. 2009. Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dari Daging Ikan
Bandeng (Chanos chanos Forskall) Selama Periode Kemunduran Mutu Ikan.
[Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian, Bogor,
87 hlm.
Skjervold P. O., Fjæra S. O., Ǿstby P. B., Einen O., 2001. Live chilling and
crowding stress before slaughter of Atlantic salmon (Salmo salar).
Aquaculture, 19, 265–280.

Soeparno. 1992. Pilihan Produksi Daging Sapi dan Teknologi Prosesing Daging
Unggas. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan Keempat. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Vatria, Belvi. 2010. Pengolahan Ikan Bandeng(Chanos Chanos) Tanpa Duri.


Jurusan ilmu kelautan dan rekayasa. Politeknik Negeri Pontianak.Pontianak.

Wanniaite, Veronica. Dian Septianan, Tiatin kritin. Maing Purwaningsih. 2014.


Pengaruh pemberian tepung temulawak dan kunyit terhadap cookies Drip loss
dan uji kebusukan daging puyuh jantang.

Wowor, A. K. Y., T. A. Ransaleleh, M. Tamasoleng, dan S. Komansilan. 2014.


Lama Penyimpanan Padauhu Dingin Daging Broiler yang Diberi Air Perasan
Jeruk Kasturi (Citrus madurensis Lour.) Jurnal Zootek. 34(2) : 148-158.
ISSN: 0852-2626.

21

Anda mungkin juga menyukai