Kelompok 1/Perikanan A
Aulya Khoerssyfa 230110170028
Fikry Ingrya 230110170026
Gista Tanhira 230110170007
Iqbal 230110170043
Jodi Darmawan 230110170032
Josua H. Sinaga 230110170049
Khoyrunnisa Rambe 230110170036
Nisfi Setiawati 230110170002
Riva Hafidah 230110170042
UNIVERSITAS PADJADJARAN
Puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena dengan rahmat-Nya penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan laporan
praktikum Fisiologi Pasca Hasil Panen mengenai penentuan Fase Rigor Mortis pada
Ikan Mas.
Tujuan dari pembuatan laporan ini adalah untuk memberikan gambaran
mengenai kegiatan praktikum Fisiologi Pasca Hasil Panen di Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dan memberikan pengetahuan yang
lebih mendalam mengenai aspek rigor mortis pada ikan.
Semoga laporan ini dapat menuntun ke arah yang lebih baik lagi dan mampu
menambah kemampuan tim penulis dalam meningkatkan ketelitian. Kritik dan
saran demi laporan ini selanjutnya sangat dinantikan.
Kelompok 1
DAFTAR ISI
BAB Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ...................................................................... ii
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Tujuan Praktikum ...................................................................... 1
II LANDASAN TEORI
2.1 Elastisitas Daging .................................................................. 2
2.2 Tekstur Daging ...................................................................... 2
2.3 Volume Drip .......................................................................... 3
2.4 pH .......................................................................................... 4
2.5 Perubahan Warna Tubuh Ikan ............................................... 5
2.6 Perubahan Aroma Tubuh Ikan ............................................... 7
2.7 Fase Rigor Mortis .................................................................. 8
2.8 Kesegaran Ikan ...................................................................... 9
2.9 Drip ........................................................................................ 11
2.10 Kemampuan Mengikat Air .................................................... 11
V PENDALAMAN ........................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
i
DAFTAR GAMBAR
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
melepaskan lendir ke permukaan tubuh. Daging bersifat lembut dan lentur karena
otot daging masih bisa berkontraksi dan relaksasi. Saat berkontraksi, aktin dan
miosin yang merupakan bagian dari otot akan bersatu membentuk aktin dan miosin
yang merupakan bagian dari otot akan berstu membentuk aktomiosin. Selama ikan
memiliki cadangan energi, maka aktomiosin akan diubah kembali manjadi aktin
dan miosin (Eskin 1990).
Penentuan kesegaran ikan berdasarkan fase perubahan sangat bermanfaat.
Dengan cara ini, kesegaran ikan dapat dintentukan lebih cepat. Serta dengan
mengetahui penentuan fase perubahan ikan ini memiliki peranan yang sangat
penting untuk memperoleh nilai jual ikan yang maksimal dan memerikan
pengetahuan tentang masa simpan ikan yang baik sehingga ikan tetap segar. Salah
satu faktor yang menentukan nilai jual ikan dan hasil perikanan yang lain adalah
tingkat kesegarannya (Junianto 2003).
BAB II
TUJUAN PRAKTIKUM
3
BAB III
LANDASAN TEORI
4
5
ke-7 kekerasan daging ikan mulai menurun yang artinya masa rigor mortis telah
berakhir. Ketika ikan masih dalam kondisi rigor mortis maka ikan akan kaku.
3.4 pH
Setelah ikan mati, maka pH pada daging ikan sekitar 6,8 hingga mendekati
netral (Hadiwiyoto 1993). Saat ikan akan memasuki fase rigor mortis akan
mengalami penurunan pH. Oleh karena itu, penurunan pH menjadi salah satu
indikator untuk mengetahui suatu ikan akan memasuki fase rigor mortis.
Penurunan pH terjadi akibat respirasi anaerob yang memecah glikogen menjadi
6
ATP dan asam laktat. Asam laktat tersebutlah yang membuat pH daging ikan
menjadi asam.
Nilai pH akan semakin menurun seiring semakin banyaknya asam laktat yang terbentuk
dan penurunan ATP. Pada akhirnya pH akan semakin asam yaitu pada fase rigor mortis.
Penurunan pH ini pada kedua perlakuan diduga merupakan saat terjadinya kejang penuh
atau rigor mortis sempurna (full rigor). Menurut Partman (1965) dalam Rustamaji
(2009), ikan yang mengalami full rigor biasanya memiliki nilai pH antara 6,2 sampai 6,6.
Hal ini membuktikan bahwa ikan yang mati dengan cara dibunuh dengan menusuk
otaknya nilai pH lebih kecil kondisi pre rigor dan rigor dibandingkan dengan ikan yang
dibiarkan menggelepar sampai mati.
Menurut penelitian penentuan waktu rigor mortis pada ikan nila merah yang
dilakukan Liviawaty dan Afrianto (2010), bahwa ikan nila merah berada pada fase
rigor mortis hingga 11 jam setelah ikan mati, ini dicirikan dengan masih
menurunnya nilai pH. Ikan nila merah yang baru saja mati memiliki nilai pH 6,94
dan terus menurun hingga jam ke-11 yaitu 6,26 kemudian pada jam ke-12 nilai
pH naik kembali menjadi 6,29 yang menandakan berakhirnya fase rigor mortis.
Penyimpanan pada suhu dingin diduga berperan dalam menghambat kebusukan
ikan dengan pH berkisar basa. Menurut Munandar et al. (2009), penggunaan suhu
rendah mempengaruhi fluktuasi nilai pH pada ikan nila. Penyimpanan ikan nila
pada suhu rendah menyebabkan aktivitas enzim yang terdapat pada daging
menjadi terhambat sehingga kemunduran mutunya berjalan lebih lambat. Semakin
rendah suhu yang digunakan maka aktivitas enzim semakin terhambat.
bau busuk. Komponen yang bertanggung jawab atas rasa dan aroma ikan diubah
oleh aksi enzimatik. Contohnya adalah degradasi ATP (adenosine triphospat)
menjadi AMP (adenosine monophospat) dan hipoksantin. Hipoksantindihasilkan
oleh pemecahan ATP yang merupakan komponen utama dari nukleotida otot ikan.
Akumulasi hipoksantin menyebabkan rasa pahit pada otot ikan disertai dengan
hilangnya rasa ikan segar. Dengan demikian pengukuran kandungan hipoksantin
dalam ikan menunjukkan tingkat kesegaran. Ikan yang berada pada fase rigor
mortis masih memiliki bau spesifik jenisnya.
Perubahan aroma pada daging ikan juga dapat dipengaruhi oleh autolisis.
Autolisis adalah proses pelunakan daging ikan yang berlangsung pada tahap post
rigor mortis. Proses autolisis disebabkan oleh aktivitas enzim yang berasal dari
tubuhyna sendiri. Proses autolisis menyebabkan protein diubah menjadi peptida dan
diubah lagi menjadi asam amino. Lemak diubah menjadi asam lemak dan gliserol.
Hasil perombakan selama proses autolisis menjadi media yang disukai oleh
mikroba pembusuk untuk tumbuh dan berkembang biak. Oleh mikroba pembusuk
tersebut, asam amino akan diubah menjadi amonia dan hidrogen disulfida,
sementara asam lemak akan diubah menjadi senyawa keton yang menyebabkan bau
tak sedap.
Faktor yang mempengaruhi lamanya fase rigor mortis yaitu jenis ikan, suhu,
penanganan sebelum pemanenan, kondisi stress pra kematian, kondisi biologis
ikan, dan suhu penyimpanan prerigor (Skjervold et.al. 2001). Ketika ikan mati,
kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim dalam tubuh dengan
terjadinya suatu proses perubahan biokimia yang menyebabkan bagian protein otot
(aktin dan miosin) berkontraksi dan menjadi kaku (Valtria 2010). Nilai pH
daging ikan selama fase rigor mortis turun dari 7-6,5 (Delbarre et.al. 2006).
Fase rigor mortis sangat penting dalam industri perikanan karena fase ini
merupakan tahapan sebelum terjadinya kebusukan oleh mikroba. Selama berada
dalam tahap ini, ikan masih memiliki kualitas yang baik dan diterima oleh
konsumen. Fase ini dihindari oleh industri fillet karena daging ikan yang
kaku sulit untuk diproses (Eskin 1997).
3.9 Drip
Drip adalah proses keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan karena suhu yang
berbeda. pada proses nya ikan sampel di bekukan terlebih dahulu dalam freezer dan
di lakukan pengujian dengan melihat seberapa besar banyak air atau cairan yang
11
keluar dari daging ikan. Wanniate (2014) menyatakan bahwa drip merupakan
hilangnya beberapa kompenen nutrient daging yang ikut bersama keluar nya cairan
daging. Cairan yang keluar dan tidak terserap kembali oleh serabut selama
penyegaran indah yang disebut drip. Sedangkan menurut Soeparno (2005) cairan
yang keluar dan tidak terserap kembali oleh serabut otot selama penyegaran inilah
yang disebut drip.
Dua faktor yang mempengaruhi jumlah drip yaitu besarnya cairan yang
keluar dari daging, dan faktor yang berhubungan dengan daya ikat air oleh protein
daging. Pada laju pembekuan yang sangat cepat, kristal es kecil-kecil terbentuk
didalam sel, sehingga struktur daging tidak mengalami perubahan. Pada laju
pertumbuhan yang lambat, kristal es mulai terjadi diluar serabut otot (ekstraselular),
karena tekanan osmotik ekstraselular lebih kecil daripada didalam otot.
Pembentukan kristal es ekstraselular berlangsung terus, sehingga cairan
ekstraselular yang tersisa dan belum membeku akan meningkat kekuatan fisiknya
dan menarik air secara osmotik dari bagian dalam sel otot yang sangat dingin.
Denaturasi protein menyebabkan hilangnya daya ikat protein daging, dan pada saat
penyegaran kembali terjadi kegagalan serabut otot menyerap kembali semua air
yang menaglami translokasi atau keluar pada proses pembekuan.
sehingga ion Cl- dari garam akan tolak-menolak dengan muatan negatif dari protein
miofibril sehingga struktur protein membengkak yang menyebabkan terjadinya
hidrasi atau penyerapan air (Li 2006).
BAB IV
ALAT DAN BAHAN
1. Ikan Mas
2. Air, digunakan untuk media penetral
13
BAB V
PROSEDUR KERJA
14
BAB VI
Hasil dan Diskusi Praktikum
15
16
T:keras
I: merah
pucat
T: keras
I: merah
pucat
T: keras
Jawaban:
Ikan masih berada dalam fase pre rigor mortis, karena ikan yang kita gunakan
saat praktikum merupakan ikan yang masih dalam keadaan hidup, lalu
dimatikan. Selain itu, dari segi karakteristik tubuh ikan mas yang di amati, otot
tubuh belum mengalami kontraksi tetap (pembentukan aktomiosin), tubuh ikan
belum tegang, dan dari segi kenampakan dan karakteristik lainnya ikan masih
tergolong kedalam fase pre rigor mortis. Ikan mas yang diamati pada minggu
pertama berada pada fase per rigor mortis karena mempunyai tekstur kenyal,
elastis, lentir, mata cembung, lendir tipis, dan memiliki aroma khas spesifik.
2. Apakah pada minggu kedua, ikan sudah memasuki fase post rigor mortis atau
masih rigor mortis? Mengapa demikian? Berikan jawaban kelompok Anda
berdasarkan data yang diperoleh selama praktikum.
Jawaban:
Hasil pengamatan elastisitas, ikan yang diamati masih tergolong kedalam fase
rigor mortis. Pernyataan tersebut timbul dari elastitas ikan yang berubah
menjadi kaku. Ikan mengalami kontraksi otot, atau yang biasa disebut dengan
aktomiosin (reaksi antara aktin dan miosin yang saling berkontraksi dan tetap
pada posisi tersebut setelah kehabisan energi). Terjadinya kontraksi otot
tersebut, ada pada fase rigor mortis. Berbeda halnya dengan fase post rigor,
ikan akan mengalami pelunakan otot kembali (aktomiosin sudah tidak terjadi
lagi), Ikan mas pada minggu kedua pH nya menurun. Oenurunan pH sebagai
salah satu indikator bahwa ikan mas telah memasuki fase rigor mortis. Ikan
yang diamati mengalami susut bobot, hal ini terjadi karena kemampuan
mengikat air menurun sehingga terjadi drip pada ikan yang mengakibatkan
susut bobot.
BAB VII
PENDALAMAN
18
19
Fase post rigor mortis ditandai dengan meningkatnya pH. Penigkatan nilai pH terjadi
karena enzim yang berasal dari daging ikan dan mikroba melakukan perombakan
terhadap protein dan lemak sehingga menghasilkan senyawa-senyawa bersifat basa
(suparno 1993). Kenaikan nilai pH pada fase post rigor ini juga disebabkan karena
terakumulasinya basa-basa volatil akibat aktivitas bakteri (Huss 1995).
6. Jelaskan hubungan perubahan warna dengan post rigor mortis
Pada saat fase post rigor mortis warna ikan berubah menjadi merah kecoklatan. Hal ini
disebabkan karena timbulnya lendir sebagai akibat dari proses biokimiawi lebih lanjut
dan berkembangnya mikroba yang akan lebih jelas terlihat pada fase kemunduran mutu
berikutnya (Adawyah 2007).
7. Jelaskan hubungan perubahan aroma dengan post rigor mortis
Hubungannya dengan post rigor kondisi ikan sudah hampir membusuk yang
menyebabkan aroma pada ikan sudah tidak sedap atau khas spesifik jenis. Karena
setelah fase post rigor mortis selanjutnya fase busuk. Pada fase ini ikan tidak lagi dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Hal ini disebabkan karena aktivitas bakteri yang
sangat banyak serta kerusakan pada tubuh ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara Jakarta. Hal.
1-19.
Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition. Academic Press, Inc.
San Diego.
Kalista, A., Redjo, A., & Rosidah, U. 2018. Analisis Organoleptik (Scoring Test)
Tingkat Kesegaran Ikan Nila Selama Penyimpanan. Jurnal Teknologi Hasil
Perikanan Vol.7 No.1: 98-103.
Li, J.Y., dan Yeh, A.I. 2001. Relationship Between Thermal, Rheological
Characteristics, and Swelling Power for Various Starches. J. Food
Engineering Vol 50 : 141-148
Liviawaty, E. & Afrianto, E. 2014. Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila Merah
(Oreochromis niloticus) Berdasarkan Pola Perubahan Derajat Keasaman.
Jurnal Akuatika Vol.V No.1: 40-44.
Munandar. A., Nurjannah, dan M. Nurilmala. 2009. Kemunduran Mutu Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) pada Penyimpanan Suhu Rendah dengan Perlakuan
20
Cara Kematian dan Penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia. (12) 2.
Nurwantoro dan S. Mulyani. 2003. Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Universitas
Diponegoro. Semarang
Pratama, R. I., I. Rostini, dan E. Liviawaty. 2014. Karakteristik Biskuit dengan
Penambahan Tepung Tulang Ikan Jangilus (Istiophorus sp.). Jurnal Akuatika.
5(1). ISSN 0853-2532.
Rustamaji. 2009. Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dari Daging Ikan
Bandeng (Chanos chanos Forskall) Selama Periode Kemunduran Mutu Ikan.
[Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian, Bogor,
87 hlm.
Skjervold P. O., Fjæra S. O., Ǿstby P. B., Einen O., 2001. Live chilling and
crowding stress before slaughter of Atlantic salmon (Salmo salar).
Aquaculture, 19, 265–280.
Soeparno. 1992. Pilihan Produksi Daging Sapi dan Teknologi Prosesing Daging
Unggas. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan Keempat. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
21