Anda di halaman 1dari 48

28

PENETASAN TELUR IKAN NILA JICA (Oreochromis niloticus)


MENGGUNAKAN CORONG PENETASAN

(Laporan Tugas Akhir Mahasiswa)

Oleh :
MUKTI ARIF
16742044

POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG


BANDAR LAMPUNG
2019
PENETASAN TELUR IKAN NILA JICA (Oreochromis
niloticus) MENGGUNAKAN CORONG PENETASAN

Oleh :
MUKTI ARIF
16742044

Laporan Tugas Akhir Mahasiswa

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Sebutan


Ahli Madya Perikanan (A.Md.Pi)
pada
Program Studi Budidaya Perikanan
Jurusan Peternakan

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERIKANAN


POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK

PENETASAN TELUR IKAN NILA JICA (Oreochromis niloticus)


MENGGUNAKAN CORONG PENETASAN

Oleh

Mukti Arif
16742044

Dibimbing oleh

Pindo Witoko, S.Pi., M.P, selaku Dosen Pembimbing I


Eulis Marlina, S.Pi., M.Si, selaku Dosen Pembimbing II

Ikan Nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu ikan yang memiliki
potensi untuk dibudidayakan di Indonesia. Berdasarkan data Laporan Kerja
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi ikan nila (tilapia) tahun
2016 sebanyak 1,14 juta ton dan pada tahun 2017 sebanyak 1,15 juta ton atau
meningkat sebanyak 3,6% KKP (2017). Meningkatnya sektor perikanan budidaya
merupakan suatu peluang bagi petani budidaya untuk meningkatkan produksinya
termasuk budidaya ikan Nila. JICA (Japan for International Cooperation Agency)
adalah sebuah lembaga donor dari Jepang. Tahun 2002. Kendala utama
pengembangan budidaya ikan nila di Indonesia adalah kurangnya ketersediaan
benih ikan nila. Corong penetasan merupakan rekayasa penetasan telur secara
alami. Modifikasi tersebut terlihat pada kondisi lingkungan, suplai air untuk
gerakan telur, oksigen terlarut, dan sebagainya. Pemijahan dilakukan secara alami,
yaitu tanpa campur tangan manusia. Pemijahan dilakukan di hapa dalam bak
dengan perbandingan induk 1 : 3 yaitu 1 jantan dan 3 betina. Media penetasan
telur yang digunakan adalah corong penetasan. Jumlah telur yang dipanen adalah
16.548 butir. Penetasan telur dilakukan pada corong penetasan selama 4 – 6 hari.
HR (Hatching Rate) sebanyak 90% atau diperoleh telur yang menetas sebanyak
14000 ekor larva. SR sebanyak 96% atau didapat benih sebanyak 13440 ekor.
suhu dengan kisaran 27 – 290C. pH pada corong penetasan nilai pH yaitu 7. DO
pada corong penetasan berkisar 6 – 8 mg/l. Amonia berkisar 0,002 – 0,004 mg/l.

Kata Kunci : Penetasan Telur, Ikan Nila Jica (Oreochromis Niloticus),Corong


Penetasan, Hatching Rate, Survival Rate, Kualitas Air.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Hanura, 02 Oktober 1998

merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara dari

pasangan Bapak Sarjono dengan Ibu Tumini yang

bertempat tinggal di desa Hanura, Kecamatan Teluk

Pandan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung .

Penulis merupakan lulusan Sekolah Dasar Negeri 1

Hanura, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran tahun 2010. Lulusan

SMP N 1 Padang Cermin, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran tahun

2013, lulusan SMK N 1 Natar, Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2016.

Dan pada tahun 2016, Penulis tercatat sebagai mahasiswa aktif Politeknik Negeri

Lampung, Jurusan Peternakan dan masuk kedalam Program Studi D3 Budidaya

Perikanan pada tahun 2016.

Selama kuliah, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan dalam

anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan Peternakan (HMJ Peternakan), dan

mewakili Politeknik Negeri Lampung dalam event Agricultural Innovation

Technology Competition (AITEC) cabang packing benih ikan, dan sekaligus

penulis mendapatkan juara 2 untuk lomba packing benih ikan.


MOTTO

SEBUAH HARI TANPA TERTAWA


ADALAH HARI YANG TIDAK
BERGUNA

“Ora et labora”
Pekerjaan yang paling enak

adalah hobi yang dibayar

“Memang baik menjadi orang penting

tapi lebih penting menjadi orang baik”

Kalau orang lain bisa, kenapa


harus saya ?
iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang telah memberikan banyak

kenikmatan kepada penulis, semoga penulis senantiasa bersyukur atas nikmat dan

karunia-Nya. Atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas

Akhir Mahasiswa dengan judul “PENETASAN TELUR IKAN NILA JICA

(Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN CORONG PENETASAN”.

Penyusunan laporan ini berdasarkan pada hasil Praktik Kerja Lapang yang

dilaksankan di Lokasi Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sungai

Gelam Jambi dilaksanakan pada tanggal 04 Maret sampai dengan 03 Mei 2019.

Dalam menyusun laporan Tugas Akhir ini, penulis mendapat bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan terimakasih kepada :

1. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan, terimakasih atas doanya,

perhatian, semangat, dan dorongan yang membuat penulis menjadi

bersemangat.

2. Bapak Zairiful, M.P selaku Ketua Jurusan Peternakan Politeknik Negeri

Lampung.

3. Ibu Dian Febriani, S.Pi., M.Si selaku Ketua Program Studi Budidaya

Perikanan Politeknik Negeri Lampung.

4. Bapak Ir.Ahmad Jauhari Pamungkas, M.Si selaku kepala Balai di Balai

Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sungai Gelam yang telah

memberikan izin untuk dapat melaksankan Praktik Kerja Lapang (PKL) di

Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sungai Gelam, Jambi.

iii
5. Bapak Pindo Witoko, S.Pi., M.P selaku Dosen Pembimbing I yang telah

memberi arahan dalam menyelesaikan Laporan Tugas Akhir Mahasiswa.

6. Ibu Eulis Marlina, S.Pi., M.Si Selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan dalam menyelesaikan Laporan Tugas Akhir

Mahasiswa.

7. Bapak Mubinun, S.Pi., M.Si selaku pembimbing lapangan yang telah

memberikan arahan dan serta bimbingan selama pelaksanaan Praktik Kerja

Lapang.

8. Bapak Ahmad, bapak Irul, bapak Kawit dan pak Ali yang telah memberikan

arahan dan motivasinya selama Praktik Kerja Lapang.

9. Terimakasih kepada adik-adik PKL SMKN 1 Pasir Penyu, SMKN 1 Bantan,

SMKN 1 Pertanian Terpadu dan SMKN 1 Tembilahan. Teman-teman dari

PDD POLINELA Banyuasin, yang sudah Membantu dan memberi semangat

dalam Praktik Kerja Lapang.

10. Rekan seperjuangan Aquaculture 16 yang selalu memberikan motivasi.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, penulis memohon maaf apabila ada salah kata dalam penulisan laporan

ini, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Bandar Lampung, Juli 2019

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ii

KATA PENGANTAR ............................................................................... iii

DAFTAR ISI .............................................................................................. v

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vi

DAFTAR TABEL ..................................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. viii

I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................... 2
1.3 Kerangka Pemikiran...................................................................... 3
1.4 Kontribusi ..................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4


2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila JICA.................................... 4
2.1.1 Klasifikasi Ikan Nila JICA ( Oreochromis niloticus ) ....... 4
2.1.2 Morfologi Ikan Nila JICA ( Oreochromis niloticus ) ....... 4
2.1.3 Habitat Dan Kebiasaan Hidup ........................................... 5
2.2 Pemijahan Secara Alami Ikan Nila JICA...................................... 6
2.3 Penetasan Konvesional dan Corong Penetasan............................. 7

III. METODE PELAKSANAAN ............................................................ 9


3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................ 9
3.2 Alat dan Bahan .............................................................................. 9
3.3 Prosedur Kerja .............................................................................. 10
3.3.1 Pemijahan Ikan Nila ............................................................ 10
3.3.2 Proses Penetasan Telur ........................................................ 11
3.3.2.1 Persiapan Media Penetasan ..................................... 11
3.3.2.2 Penetasan Telur ....................................................... 12
3.3.2.3 Pemanenan ............................................................... 13
3.4 Parameter Pengamatan .................................................................. 14
3.4.1 Hatching Rate (HR) ............................................................. 14

v
3.4.2 Survival Rate (SR) ............................................................... 14
3.4.3 Kualitas Air ......................................................................... 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 15


4.1 Pemijahan Ikan Nila ...................................................................... 15
4.2 Penetasan Telur ............................................................................. 17
4.2.1 Media Penetasan Telur ........................................................ 17
4.2.2 Penetasan Telur ................................................................... 18
4.2.3 Hatching Rate (HR) ............................................................. 19
4.2.4 Survival Rate (SR) ............................................................... 21
4.3 Kualitas Air ................................................................................... 21

V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 25


5.1 Kesimpulan .................................................................................... 25
5.2 Saran .............................................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 26

LAMPIRAN ......................................................................................... 28

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Ikan Nila JICA (Oroechromin niloticus) ............................................. 5


2. Pemasangan corong penetasan ............................................................. 12
3. Alat pengambil telur yang mati ............................................................ 13
4. Corong Penetasan Telur ....................................................................... 18
5. Pemanenan Larva ................................................................................. 19

vii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Alat yang digunakan ............................................................................ 9


2. Bahan yang digunakan ......................................................................... 9
3. Jumlah Telur Yang Dipanen ................................................................ 17
4. Kualitas Air Pada Corong Penetasan ................................................... 22

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Data Kualitas Air ................................................................................ 29
2. Perhitungan HR, SR dan Volume Corong ........................................... 31
3. Dokumentasi ........................................................................................ 32

ix
1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan Nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu ikan yang memiliki

potensi untuk dibudidayakan di Indonesia. Berdasarkan data Laporan Kerja

Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi ikan nila (tilapia) tahun

2016 sebanyak 1,14 juta ton dan pada tahun 2017 sebanyak 1,15 juta ton atau

meningkat sebanyak 3,6% KKP (2017). Meningkatnya sektor perikanan budidaya

merupakan suatu peluang bagi petani budidaya untuk meningkatkan produksinya

termasuk budidaya ikan Nila. Ikan Nila merupakan spesies ikan budidaya air

tawar yang dikenal luas di kalangan masyarakat dan telah menjadi andalan

komoditas perikanan untuk mendukung ketahanan pangan nasional dan

meningkatkan ekspor komonditas perikanan. Hal ini disebabkan karena ikan

Nila merupakan salah satu jenis ikan yang mudah untuk berkembang biak dan

dapat di produksi secara massal.

Japan for International Cooperation Agency (JICA) adalah sebuah lembaga

donor dari Jepang. Tahun 2002, JICA bekerja sama dengan BPBAT Jambi

melakukan rekayasa genetis strain ikan nila hasil penelitian Kagoshima Fisheries

Research Station, Jepang di Jambi. Tahun 2004 dihasilkan ikan nila unggul yang

dinamakan strain JICA. Sebagian masyarakat Jambi menyebut nila Jica dengan

nama nila hiroshima. Keunggulan ikan nila JICA dibandingkan dengan ikan nila

jenis lainnya yaitu ikan nila JICA lebih cepat pertumbuhannya (20%), ikan nila

jica lebih irit pakan 25% dan tahan terhadap penyakit (Ghufron, 2010).
2

Meningkatnya permintaan pasar terhadap ikan Nila harus didukung

dengan adanya produksi ikan Nila yang berkualitas dan berkelanjutan. Salah

satu upaya untuk mendukung produksi ikan Nila adalah kesediaan benih

yang berkualitas. Kendala utama pengembangan budidaya ikan nila di Indonesia

adalah kurangnya ketersediaan benih ikan nila. Kurangnya ketersediaan benih

disebabkan saat proses pemijahan, larva yang didapat yang didapat sedikit.

Jumlah larva yang sedikit dikarenakan saat penetasan telur masih menggunakan

sistem konvensional. Nilai jumlah telur yang menetas untuk pembenihan dengan

sistem konvensional hanya mencapai 20 – 40%. Sedangkan dengan menggunakan

teknologi sistem corong, jumlah telur yang menetas didapat mencapai 90% (KKP,

2017)

Corong penetasan merupakan rekayasa penetasan telur secara alami.

Modifikasi tersebut terlihat pada kondisi lingkungan, suplai air untuk gerakan

telur, oksigen terlarut, dan sebagainya. Corong penetasan berbentuk kerucut dan

menerapkan sistem resirkulasi pada sistem pengairannya. Aliran inlet memasuki

corong penetasan pada bagian atas corong kemudian akan terjadi proses

pengadukan telur yang berada didasar corong, denggan catatan debit inlet harus

diatur sedemikian rupa sehingga telur ikan teraduk dan masih tertahan didasar

corong. Pada bagian aliran atas corong terdapat titik outlet air yang menuju bak

penampungan larva ikan.

1.2 Tujuan

Tugas akhr ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui jumlah HR

(Hatching Rate) dan SR (Survival Rate) larva nila JICA.


3

1.3 Kerangka Pemikiran

Kebutuhan benih pada masyarakat seiring dengan kebutuhan Ikan Nila JICA

konsumsi pada masyarakat. Semakin besar kebutuhan konsumsi maka

kebutuhan akan bibit nila semakin meningkat, dengan demikian peluang usaha

terbuka dalam hal pembenihan Ikan Nila JICA. Salah satu cara agar benih nila

JICA tetap terpenuhi, yaitu dengan memperhatikan saat proses penetasan telur.

Saat ini masyarakat banyak membudidayakan ikan nila dengan cara alami,

sehingga larva / benih yang didapat belum maksimal, maka dari itu dibutuhkan

teknologi yaitu sistem corong penetasan yang memodifikasi penetasan telur secara

alami, sehingga hasil yang didapat lebih optimal.

1.4 Kontribusi

Kegiatan diharapkan dapat membantu memberikan manfaat dan

pengetahuan bagi penulis, pembaca dan masyarakat dalam melakukan penetasan

telur ikan nila JICA menggunakan corong penetasan sehingga dapat

menghasilkan benih yang baik untuk produksi.


4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kasifikasi dan Morfologi Ikan Nila JICA

2.1.1 Klasifikasi Ikan Nila JICA ( Oreochromis niloticus )

Klasifikasi ikan nila JICA ( Oreochromis niloticus ) berdasarkan Keputusan

Menteri Kelautan dan Perikanan R.I Nomor : KEP. 52/MEN/2004 tentang

pelepasan ikan nila JICA :

Filum : Chordata

Sub-filum : Vertebrata

Kelas : Acanthoptherigii

Ordo : Percomorphi

Sub-ordo : Percoidea

Family : Chiclidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

2.1.2 Morfologi Ikan Nila JICA ( Oreochromis niloticus )

Ikan nila memiliki bentuk tubuh pipih memanjang kesamping, makin

keperut makin terang. Mempunyai garis vertikal 9 – 11 buah berwarna hijau

kebiruan. Pada sirip ekor terdapat 6 – 12 garis melintang yang ujungnya berwarna

kemerah – merahan, sedangkan punggungnya terdapat garis – garis miring. Mata

tampak menonjol agak besar dengan bagian tepi berwarna hijau kebiru-biruan.

Letak mulut ikan nila terminal, posisi sirip perut terhadap sirip dada thorochis,

garis rusuk (linea lateralis) terputus menjadi dua bagian. Jumlah sisik pada garis
5

rusuk 34 buah dan tipe sisik stenoid (ctenoid). Bentuk sirip ekor berpinggiran

tegak (Kordi, 1997 dalam Arifin, 2016).

Perbedaan antara ikan jantan dan betina dapat dilihat lubang genitalnya dan

juga ciri-ciri kelamin sekundernya. Pada ikan jantan, disamping lubang terdapat

lubang genital yang berupa tonjolan kecil meruncing sebagai saluran pengeluaran

kencing dan sperma. Tubuh ikan jantan juga berwarna lebih gelap, dengan tulang

rahang melebar ke belakang yang memberi kesan kokoh, sedangkan pada betina

biasanya pada bagian perutnya besar (Suyanto, 2003 dalam Khusumaningsih,

2017), memiliki 3 lubang genital yang berfungsi sebagi lubang anus, lubang urin

dan lubang pengeluaran telur.

Gambar 1. Ikan Nila JICA ( Oreochromis niloticus)

2.1.3 Habitat dan Kebiasaan Hidup

Ikan nila mempunyai habitat diperairan tawar, seperti sungai,danau, waduk

dan rawa. Tetapi karena toleransinya yang tinggi terhadap salinitas, maka ikan

dapat hidup dan berkembang baik diperairan payau dan laut. Salinitas yang dapat

ditoleransi antara 0 – 35 ppt. Ikan nila yang masih kecil lebih tahan terhadap

perubahan ligkungan dibandingkan dengan ikan yang sudah besar (Suyanto, 2003

dalam Khusumaningsih, 2017).


6

Ikan nila memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang baik dengan lingkungan

sekitarnya. Ikan ini memiliki toleransi yang tingi terhadap lingkungan hidupnya,

sehingga bisa dipelihara di dataran rendah yang berair payau maupun di dataran

tinggi dengan suhu rendah (Trewavas, 1986 dalam Setiawan 2015).

2.2 Pemijahan Secara Alami Ikan Nila JICA

Pemijahan merupakan kegiatan mengawinkan antara induk jantan dan betina

di kolam pemijahan dengan tujuan menghasilkan telur atau larva ikan. Ikan nila

dapat dipijahkan secara alami (tanpa pemberian rangsangan hormon). Induk ikan

dipilih yang matang telur, ciri induk jantan matang gonad dapat dilihat dengan

cara mengurut bagian perut ikan ke arah anus, maka akan keluar cairan putih

kental. Induk ikan betina ditandai dengan bagian perut membesar, lunak kalau

diraba, bagian anus menonjol. Jika telah tiba saat memijah, induk jantan akan

membuat sarang berbentuk cekungan didasar kolam. Diameter cekungan 30-50

cm sesuai dengan besarnya ikan. Kemudian ikan jantan akan menarik perhatian

induk betina yang siap memijah masuk kedalam cekungan. Selama proses

pemijahan induk betina berada di dalam cekungan, kemudian induk jantan

mendekati induk betina dan pada saat itu induk betina mengeluarkan telur-

telurnya dan dalam waktu bersamaan induk jantan menghamburkan spermanya

dan terjadilah pembuahan (fertilisasi) telur (Sucipto dan Prihartono, 2007 dalam

Polonia, 2015).

Induk betina akan mengerami telur didalam mulutnya selama 6-7 hari.

Ketika telur baru menetas, larva masih memiliki cadangan makanan berupa

kuning telur. Setelah 6 – 7 hari, kuning telur akan habis. Pada saat itu lah, induk
7

mulai mengeluarkan anak-anaknya agar mencari makan. Tetapi jika ada

gangguan, induk akan segera menghisap kembali larva untuk masuk ke dalam

mulutnya.

2.3 Penetasan Konvesional dan Corong Penetasan

Telur ikan Nila bentuknya bulat, berdiameter kurang lebih 2,8 mm,

berwarna abu-abu, kadang-kadang berwarna kuning, tidak lengket, dan tenggelam

di dasar perairan. Bobot telur lebih bergantung kepada umur dibandingkan

diameter telur, hubungan antara umur induk betina dengan ukuran telur adalah

induk betina muda yang memijah pertama kali memproduksi telur-telur berukuran

kecil, induk betina yang berumur sedang menghasilkan telur-telur berukuran besar

dan induk betina yang sudah tua kembali menghasilkan telur berukuran kecil,

diameter telur dan bobotnya dapat dipengaruhi faktor genetis, terutama

ketersediaan makanan bagi induk ikan Tamamdusturi dan Basuki (2012).

Pada ikan nila penetasan telur dapat dilakukan dengan dua metode yaitu

penetasan dengan metode konvesional (tradisional) dan metode itensif (corong

penetasan). Pada metode konvesional penetasan dilakukan oleh induk betina, yaitu

dengan mengerami telur selama 4 – 5 hari. Setelah telur menetas, larva tidak

langsung dilepas oleh induknya. Induk betina akan melepas larva, setelah larva

mulai bisa berenang. Setelah 5 – 7 hari kuning telur akan habis, dan pada saat itu

induk betina akan mengeluarkan anakannya agar mencari makan. Namun, jika

keadaan kurang aman induk betina akan menghisap kembali anakannya untuk

masuk ke dalam mulutnya dan larva dilepas kembali pada perairan yang relative
8

aman dari ikan atau predator lainnya. secara keseluruhan, proses ini memerlukan

waktu kurang lebih 18 hari.

Sedangkan penetasan telur ikan nila secara itensif dilakukan pada corong

penetasan selama masa inkubasi, yang merupakan modifikasi penetasan telur

secara alami. Modifikasi tersebut terlihat pada kondisi lingkungan, suplai air

untuk gerakan telur, oksigen terlarut, dan sebagainya. Air yang dialirkan ke

corong penetasan selain agar telur-telur tetap bergerak juga untuk

mempertahankan kualitas air agar tetap baik. Corong penetasan yang digunakan

terbuat dari fiber . Pada corong tetas terdapat pipa pemasukan dan pengeluaran

air. Pipa pemasukan terdapat di dasar corong penetasan, sedangkan pipa pengeluaran

terletak dibagian atas corong tetas. Sutisna dan Sutarmanto (1999) dalam Diana (2011)

menyatakan bahwa penetasan telur dengan menggunakan corong tetas berguna untuk

meningkatkan daya tetas telur.


9

III. METODE PELAKSANAAN

3.1 Waktu dan Tempat

Laporan Tugas Akhir Mahasiswa ini merupakan bagian dari kegiatan

Praktek Kerja Lapang (PKL) yang telah dilaksanakan pada tanggal 4 Maret

sampai 3 Mei 2019 di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sungai

Gelam, Provinsi Jambi.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan Tugas Akhir (TA) di Balai

Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam Jambi dapat dilihat pada Tabel 1

dan Tabel 2.

Tabel 1. Alat Yang Digunakan


No Nama Spesifikasi Fungsi
1. KJA 4 x 4 x 2,5 m Wadah pemeliharaan induk
2. Bak semen 5x7m Wadah pemijahan
3. Hapa 2x5m Wadah pemijahan
4. Corong penetasan 30 x 15x 15 cm Wadah penetasan telur
5. Hapa 1 x 2,5 m Penampungan corong
6. Sendok ukur - Sampling larva
7. Paralon - Alat bantu panen
8. Baskom Plastic Menampung larva
9. Scopnet 0,5 mikrometer Mengambil larva / benih
10. Botol sampel Mengambil air sampel
11. Alat kualitas air Mengukur kualitas air

Tabel 2. Bahan Yang Digunakan


No Nama Spesifikasi Fungsi
1. Induk Ikan Nila 318 ekor 500 - 750 gram Dipijahkan
2. Pakan Pellet dan Tepung Pakan Induk dan Larva
10

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Pemijahan Ikan Nila

Media untuk pemijahan adalah hapa/jaring. Hapa yang digunakan

dimasukkan dalam bak. Bak yang digunakan untuk penempatan hapa adalah bak

permanen yang terbuat dari semen baik dinding ataupun dasarnya. Bak pemijahan

berbentuk persegi, dengan kontruksi baknya miring ke arah outlet agar

memudahkan air terbuang, terdapat inlet dan outlet, dan saluran aerasi untuk

menambah kadar oksigen terlarut di dalam bak.

Pemijahan dilakukan dengan perbandingan induk 1 : 3 yaitu 1 jantan dan 3

betina, hal tersebut dikarenakan agar tidak terjadi persaingan pada induk jantan

untuk mendapatkan induk betina, sebab ikan nila adalah salah satu ikan yang

memiliki sifat teritorial dan agresif pada saat memijah. Induk ikan nila yang

digunakan adalah induk yang sudah siap memijah. Induk ikan jantan yang telah

matang gonad berwarna lebih cerah dari pada induk betina. Tubuh lebih tinggi dan

membulat sedangkan induk betina memiliki tubuh lebih rendah dan memanjang.

Induk yang digunakan memiliki bobot rata-rata 500 g untuk betina, dan 750 g

untuk jantan.

Setelah 21 hari penebaran induk, dilakukan pemanenan. Pemanenan yang

dilakukan adalah panen total. Panen total dilakukan dengan cara mengurangi air,

sampai ketinggian air 30 cm, kemudian induk digiring ke sudut hapa

menggunakan paralon. Penarikan dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari

induk mengeluarkan telur. Karena induk ikan nila jika merasa dalam bahaya atau

terdesak akan mengeluarkan telur disembarang tempat. Hal ini akan menyulitkan

dalam mengumpulkan telur ikan nila. Setelah induk dan benih berkumpul di
11

sudut, dilakukan pemanenan dengan cara benih diambil menggunakan scopnet.

Induk yang masih mengerami telur diambil dan dilakukan pemanenan telur,

pengambilan telur ikan nila dilakukan dengan menangkap induk satu persatu.

Induk diambil dengan hati – hati agar tidak memuntahkan telur atau menelan telur

nya. Cara mengambil telur dari induk betina yaitu dengan memegang bagian

kepala ikan. Pada saat bersamaan salah satu jari tangan membuka mulut dan tutup

insang. Selanjutnya tutup insang di siram air sehingga telur keluar melalui rongga

mulut. Selanjutnya telur-telur tersebut ditampung dalam wadah. Hal yang perlu

diperhatikan adalah menghindari gerakan induk sekecil mungkin agar telur yang

telah keluar tidak berserakan. Induk yang telah diambil telurnya dan yang belum

memijah dikembalikan ke kolam pemeliharaan induk. Telur-telur yang keluar dari

mulut induk betina ditampung kedalam baskom. Pemanenan dilakukan pagi hari

saat keadaan tidak panas

3.3.2 Proses Penetasan Telur

3.3.2.1 Persiapan Media Penetasan

Media penetasan telur yang digunakan adalah corong penetasan. Corong

penetasan yang digunakan terbuat dari fiber yang berbentuk bulat mengkerucut

dan tidak ada sudut pada corong tetas tersebut. Dengan tidak adanya sudut pada

corong tetas, telur akan selalu teraduk (berputar) secara merata. Corong yang

digunakan memliki ukuran diameter atas 30 cm, bawah 15 cm dan tinggi 45 cm.

Corong penetasan yang digunakan terbuat dari fiber glass sebanyak 1 buah

dari 312 induk. Sebelum digunakan, corong tetas dibersihkan dengan cara disikat

dinding dan dasar corong, setelah dicuci corong dijemur untuk dikeringkan.
12

Langkah selanjutnya adalah setting corong penetasan, yaitu peletakan corong,

hapa, pipa paralon, dan mesin pompa air. Corong penetasan diletakkan di dalam

bak fiber, kemudian disusun sedemikian rupa, dilanjutkan pemasanan hapa

sebagai penampung larva yang keluar setelah menetas dan pemasangan filter.

Corong dipasang pipa paralon pemasukkan air yang berasal dari pompa air dan

pipa paralon pengeluaran air ke tempat penampungan benih.

Gambar 2. Pemasangan corong penetasan

Cara kerja dari corong penetasan telur tersebut adalah dengan mengalirkan

air dari bak penampungan air (dengan bantuan pompa air) masuk ke dalam

masing-masing corong melalui selang dan pipa paralon kemudian kembali lagi ke

bak penampungan air (sirkulasi air) yang mana di bak penampungan air terdapat

filter. Air yang masuk ke dalam corong akan menghasilkan arus yang dapat

menggerakan telur, sehingga telur yang ada di dalam corong tetas akan berputar

terus menerus.

3.3.2.2 Penetasan Telur


13

Telur yang dipanen kemudian dimasukkan ke dalam corong penetasan.

Jumlah telur yang dimsukkan ke dalam corong penetasan adalah 16548 butir.

Penetasan telur dilakukan pada corong penetasan selama 4 - 6 hari. Pengontrolan

dilakukan setiap hari untuk memperhatikan debit air dan kondisi telur.

Pengontrolan debit air dilakukan dengan cara mengatur tuas bagian atas

sebagai pengatur aliran air masuk (inlet), dengan tujuan telur di corong dapat

teraduk dengan optimal. Pengontrolan kondisi telur dengan cara mengambil telur

yang mati dengan ciri – ciri menempel di dinding corong menggunakan alat

pengambil telur yang terbuat dari selang aerasi dan dimodifikasi sedemikian rupa

supaya bisa digunakan. Pengambilan telur yang mati supaya tidak merusak

kualitas air.

Gambar 3. Alat pengambil telur yang mati

3.3.2.3 Pemanenan

Pemanenan dilakukan setelah 4 – 6 hari setelah penebaran telur. Pemanenan

dilakukan setelah semua telur sudah menetas dan larva sudah berenang keluar dari

corong ke bak penampungan. Pemanenan dilakukan dengan cara mengambil

pemberat dalam hapa dan menarik hapa dari sudut ke sudut lainnya menggunakan

kayu. Penarikan hapa bertujuan mengumpulkan larva di satu titik agar


14

memudahkan proses pemanenan. Setelah proses pemanenan dilakukan

penghitungan larva untuk mengetahui derajat kelangsungan hidup larva.

3.4 Parameter Pengamatan

3.4.1 Hatching Rate (HR)

Hatching Rate (HR) yaitu persentase jumlah telur yang menetas dari jumlah

telur yang terbuahi. Rumus perhitungan jumlah telur yang menetas :

HR (%) = x 100

3.4.2 Survival Rate (SR)

Survival Rate (SR) adalah jumlah tingkat kehidupan ikan dari penebaran

hingga akhir pemeliharaan. Perhitungan tingkat kelulusan hidup dihitung

menggunakan rumus berikut.

SR (%) = x 100

3.4.3 Kualitas Air

Air sebagai media hidup ikan harus memiliki sifat yang cocok bagi

kehidupan ikan, karena kualitas air dapat memberikan pengaruh terhadap

pertumbuhan makhluk-makhluk hidup di air (Djatmika, 1986) dalam Mulyani

(2014). Kualitas dan sumber air yang tersedia harus menjadi pertimbangan utama

dalam pemilihan lokasi budidaya, karena intensitas pemeliharaan ikan nila

tergantung pada tempat pemeliharaan dan air yang tersedia (Prihatman, 2000).

Kualitas air yang diukur antara lain: suhu, DO, pH, amoniak dan debit air.
15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemijahan Ikan Nila

Pemijahan dilakukan secara alami, yaitu tanpa campur tangan manusia.

Pemijahan dilakukan di hapa dalam bak dengan perbandingan induk 1 : 3 yaitu 1

jantan dan 3 betina. Hal tersebut sesuai dengan Khairuman dan Amri (2010) yang

menyatakan bahwa perbandingan induk jantan dan betina 1 : 3 – 1 : 5, namun

menurut SNI 6141 : 2009 menyatakan bahwa perbandingan induk jantan dan

betina adalah 1 : 3. Hal ini dilakukan dikarenakan agar tidak terjadi persaingan

pada induk jantan untuk mendapatkan induk betina. Jumlah total induk yang

ditebar di hapa sebanyak 52 ekor induk, yaitu 13 ekor jantan dan 39 ekor betina.

Jadi jumlah total induk yang digunakan adalah 312 ekor induk.

Setelah induk dipelihara selama 3 – 7 hari induk akan mulai memijah

(Sucipto, 2002) dalam (Diana, 2011). Pemijahan terjadi saat hari ke 7 setelah

penebaran induk. Hal ini dibuktikan saat pagi hari terdapat gelembung udara

dibeberapa titik di kolam pemijahan, yang menandakan bahwa induk betina

sedang mengerami telur, dan juga saat pemberian pakan induk betina terdapat

garis belang dan bagian tubuh jantan berwarna kemerah – merahan, yang mana

menandakan bahwa induk sedang melakukan aktifitas memijah. Induk yang sudah

mengerami telur biasanya tidak makan. Karena itu seminggu setelah induk

ditebar, jumlah pakan dikurangi sebanyak 25% dari jumlah semula. Selama proses

pemijahan induk diberi pakan pelet komersil yang memiliki protein minimal 30%.

Frekuensi pemberian pakan pada induk ikan nila adalah 2 kali sehari yaitu pada

pagi hari pukul 07.00 – 08.00 dan sore hari pukul 15.00 – 16.00 WIB, dengan FR
16

3%. Pakan yang digunakan memiliki kandungan protein minimal 30%. Hal ini

sesuai dengan Khairuman dan Amri (2003), menyatakan bahwa selama berada di

kolam pemijahan, induk diberi makanan berupa pakan buatan (pelet) dengan dosis

3% per bobot total perhari.

Pemanenan dilakukan setelah 21 hari penebaran induk. Pemanenan yang

dilakukan adalah panen total. Panen total dilakukan dengan cara mengurangi air,

sampai ketinggian air 30 cm, kemudian induk di giring ke sudut hapa

menggunakan paralon. Setelah induk dan benih berkumpul di sudut, dilakukan

pemanenan dengan cara benih diambil menggunakan scopnet. induk yang masih

mengerami telur juga ikut dipanen.

Induk yang mengerami telur diambil dengan hati – hati agar tidak

memuntahkan telur atau menelan telur nya. Setelah induk tertangkap, mulailah

mengeluarkan telur dengan cara membuka mulutnya dengan jari tengah dan

telunjuk. Sementara itu, ibu jari dan kelingking membuka tutup insangnya dengan

posisi kepala berada dibawah, telur bisa dikeluarkan secara mudah. Caranya,

bagian atas (tutup insang) disiram air atau dicelupkan kedalam air Khairuman dan

Amri (2010). Telur-telur yang keluar dari mulut induk betina ditampung kedalam

baskom yang telah disiapkan terlebih dahulu. Setelah ditampung, kemudian telur

ditimbang dan dihitung jumlah nya. Setelah dihitung, telur dimasukkan ke dalam

corong penetasan. Pemanenan dilakukan pagi hari saat keadaan tidak panas dan

benih tidak stress. Hasil pemanenan telur dapat dilihat pada tabel 3.
17

Tabel 3. Jumlah Telur Yang Dipanen


Bobot Biomassa Telur Induk Mengeram
Hapa Jumlah Telur (Butir)
(g) (Ekor)
1 96,0 7 10560
2 4,4 1 484
3 18,0 1 1980
4 - - -
5 8,4 1 928
6 23,6 3 2596
Total 150,4 13 16548
4.2 Proses Penetasan Telur

4.2.1 Media Penetasan Telur

Media penetasan telur yang digunakan adalah corong penetasan. Sutisna dan

Sutarmanto (1999) dalam Novi, D.H (2011), menyatakan bahwa penetasan telur

dengan menggunakan corong tetas berguna untuk meningkatkan daya tetas telur.

Corong penetasan yang digunakan terbuat dari fiber berbentuk kerucut dengan

ukuran diameter atas 30 cm, bawah 15 cm dan tinggi 45 cm, dengan ujung yang

membulat sehingga tidak ada sudut pada corong tetas tersebut. Dengan tidak

adanya sudut pada corong tetas, telur akan selalu teraduk (berputar) secara merata.

Media penetasan telah sesuai dengan Gusrina (2018), yang menyatakan media

penetasan telur memiliki diameter atas 30 cm, bawah 15 cm dan tinggi 45 cm.

Corong yang berukuran tinggi 45 cm, diamater atas 30 cm dan diameter bawah 15

cm dapat menetaskan ± 15000 telur/corong (Gusrina, 2018).

Pengamatan dilakukan setiap hari, untuk mengontrol tekanan arus pada

corong penetasan dan mengatur pergerakan telur pada corong tetas. Pada saat

melakukan penetasan, ada beberpa hal yang perlu diperhatikan, yaitu air yang

digunakan untuk menetaskan telur harus bersih, kemudian mengatur pembuangan

air yang terhubung melalui paralon yang berfungsi untuk mengerakan telur secara
18

terus menerus. karena jika telur tidak bergerak, nantinya telur-telur tersebut akan

menumpuk, yang mengakibatkan telur akan gagal menetas.

Gambar 4. Corong Penetasan Telur Ikan Nila

4.2.2 Penetasan Telur

Telur yang dipanen dimasukkan ke corong penetasan. Sebelum memasukan

telur ke dalam corong penetasan, aliran air harus dihentikan sementara waktu

untuk menghindari hanyutnya telur melalui saluran pembuangan. Setelah telur-

telur tenggelam ke dasar corong, aliran air bisa dibuka secara perlahan dan

disesuaikan untuk menjaga agar telur-telur terus menerus bergerak. Telur yang

sudah menetas menjadi larva dan sudah bisa berenang akan otomatis keluar lewat

saluran menuju ke dalam hapa penampungan (BPPI, 2013).

Jumlah telur yang dimasukkan ke dalam corong penetasan adalah 16.548

butir. Penetasan telur dilakukan pada corong penetasan selama 4 – 6 hari. Selama

proses penetasan dilakukan pengambilan telur yang menempel di dinding corong

untuk mengetahui jumlah telur yang menetas atau hatching rate (HR). Larva yang

baru menetas dan sudah habis cadangan makanannya kemudian otomatis keluar
19

dari corong melalui aliran air. Larva yang sudah berenang di hapa penampungan

kemudian dipanen dan ditebar di kolam pendederan.

(a) (b)

Gambar 5. Pemanenan Larva

Pemanenan dilakukan setelah semua telur menetas. Pemanenan dilakukan

secara total. Proses pemanenan dilakukan dengan cara mengambil pemberat di

hapa kemudian menggiring larva ke satu titik dengan bantuan paralon. Tujuan

menggiring larva adalah memudahkan proses pemanenan. Proses pemanenan

dilakukan dengan cara menggiring larva ke sudut hapa dan dilakukan

penghitungan untuk mengetahui hatching rate (HR) dan survival rate (SR).

4.2.3 Hatching Rate (HR)

Hatching Rate (HR) merupakan presentase jumlah telur yang menetas dari

jumlah telur yang terbuahi. Telur ikan nila yang telah dibuahi dan dipanen dari

mulut induk betina, kemudian dimasukan kedalam corong penetasan. Sutisna dan

Sutarmanto (1999) dalam Diana (2011) menyatakan bahwa penetasan telur

dengan menggunakan corong tetas berguna untuk meningkatkan daya tetas telur.

Derajat penetasan telur ikan nila JICA pada corong penetasan kali ini

didapat hatching rate (HR) sebanyak 90% atau diperoleh telur yang menetas
20

sebanyak 14000 ekor larva. Hatching rate (HR) yang didapat sudah cukup baik

jika dibandingkan dengan penelitian Rustadi (2002), yang mana HR yang didapat

pada corong penetasan adalah 59,33 %. Hal ini diduga disebabkan karena debit air

yang digunakan lebih tinggi dari penelitian Rustadi (2002). Debit air yang dipakai

oleh Rustadi (2002) adalah 0,2 – 0,3 liter per menit atau 0,003 – 0,005 liter/detik,

sedangkan debit yang digunakan dalam kegiatan Tugas Akhir ini adalah 0,12

liter/detik. Debit air pada corong penetasan adalah 0,8 liter/detik (Gusrina, 2018).

Debit air yang kurang menyebabkan pasokan DO dalam corong menjadi kurang

dan telur kurang teraduk dan menumpuk sehingga menyebabkan telur tidak

menetas. Debit air yang terlalu kecil dapat mengakibatkan telur tidak bergerak dan

kekurangan oksigen. Telur yang tidak bergerak dan kekurangan oksigen akan mati

(Gusrina, 2018). Selain debit yang sesuai, saat penetasan telur, tidak terjadi

gangguan seperti listrik padam dan debit air didalam corong sudah optimal,

dibuktikan saat proses penetasan, telur teraduk merata, tidak terjadi penumpukkan

dan telur tidak keluar dari corong penetasan.

Proses penetasan telur selain dipengaruhi oleh faktor dalam juga

dipengaruhi oleh faktor luar, yaitu kualitas air dalam media penetasan telur

(Gusrina, 2008). Kualitar air dalam corong penetasan sudah sesuai untuk

penetasan telur ikan nila. Suhu pada corong penetasan 27 – 290C, pH 7, dan DO 6

– 8 mg/l, yang mana menurut Popma dan Masser (1999) dalam Diana, dkk (2010)

kualitas air yang baik untuk corong penetasan adalah suhu 27– 310C, pH 6 – 9 dan

DO min 3 mg/l. Proses penetasan umumnya berlangsung lebih cepat pada suhu

yang lebih tinggi karena pada suhu yang tinggi proses metabolisme berjalan lebih

cepat sehingga perkembangan embrio akan lebih cepat yang berakibat lanjut pada
21

pergerakan embrio dalam cangkang yang lebih intensif. Namun demikian, suhu

yang terlalu tinggi atau berubah mendadak dapat menghambat proses penetasan

dapat menyebabkan kematian embrio dan kegagalan penetasan. Kisaran suhu

yang optimum untuk penetasan telur adalah ± 29°C (Rustadi, 2002). Cara Untuk

mengetahui hasil HR atau derajat penetasan, adalah dengan menghitung telur yang

tidak menetas dan menghitung larva yang sudah menetas.

4.2.4 Survival Rate (SR)

Survival Rate (SR) merupakan persentase jumlah ikan yang hidup pada

akhir pemeliharaan dari jumlah ikan awal pemeliharaan. Setelah telur menetas dan

berada di hapa penampungan, dilakukan pemanenan. Pemanenann dilakukan 1

hari setelah larva menetas semua dan keluar dari corong. Pemanenan dilakukan

secara total, dengan cara mengambil pemberat di tiap – tiap sudut hapa, kemudian

dilakukan penarikan menggunakan batang kayu. Penarikan bertujuan untuk

mengumpulkan benih ke satu sudut supaya mempermudah pemanenan. Dari

kegiatan yang telah dilaksanakan, didapat survival rate (SR) sebanyak 96% atau

didapat benih sebanyak 13440 ekor. Hal ini cukup baik jika dibandingkan dengan

Cahyo (2017), yaitu 47 – 99,4%. Hal ini dikarenakan saat pemanenan kondisi

benih tidak strees ,sehingga tidak banyak terjadi kematian. Saat proses penetasan,

terjadi kematian sebanyak 560 ekor. Hal ini disebabkan saat proses penetasan

terjadi penurunan daya listrik sementara, sehingga debit air yang masuk tidak

stabil, yang menyebabkan larva dalam corong keluar ke dalam hapa dan

menyebabkan kematian.
22

4.3 Kualitas Air

Kualitas air dari hasil penetasan selama 6 hari diperoleh data penunjang
mengenai parameter kualitas air berupa suhu, pH, DO, amoniak dan debit air.
Parameter kualitas air dapat dilihat dari tabel 4 :

Tabel 4. Kualitas Air Pada Corong Penetasan


No Parameter Corong Tetas Acuan

1 Suhu (0C) 27 – 29 27 – 33 (Rustadi, 2002)

2 pH 7 6,5 – 8,5 (SNI 6141, 1999 )

3 DO (mg/l) 6–8 >5 (SNI 6141, 1999)

4 Amonia (mg/l) 0 0 (SNI 6141, 1999)

5 Debit air (l/detik) 0,12 0,8 (Gusrina, 2018)

Kualitas air memegang peran penting sebagai media tempat hidup ikan.

Kualitas air berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan.

Suhu mempengaruhi aktifitas metabolisme dan nafsu makan organisme. Pada

suhu rendah metabolisme ikan akan menurun sehingga nafsu makan ikan akan

menurun, dan pada suhu yang tinggi metabolisme ikan akan meningkat sehingga

nafsu makan ikan akan bertambah. Berdasarkan hasil pengukuran suhu yang

dilakukan pada corong penetasan diperoleh suhu dengan kisaran 27 – 290C.

Kisaran suhu selama penetasan masuk kedalam kisaran suhu yang cukup baik.

Kisaran suhu untuk penetasan telur ikan nila adalah berkisar 27 – 330C dan suhu

optimum untuk penetasan telur adalah ± 29°C (Rustadi, 2002).

Proses penetasan umumnya berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih

tinggi karena pada suhu yang tinggi proses metabolismo berjalan lebih cepat

sehingga perkembangan embrio akan lebih cepat yang berakibat lanjut pada

pergerakan embrio dalam cangkang yang lebih intensif. Namur demikian, suhu
23

yang terlalu tinggi atau berubah mendadak dapat menghambat proses penetasan

dapat menyebabkan kematian embrio dan kegagalan penetasan. Batas toleransi

perkembangan embrio nila adalah 17 – 200C untuk suhu rendah, sedangkan untuk

suhu tingginya adalah 34,5 – 39,50C Rana (1988) dalam Rustadi (2002).

Kandungan pH dalam corong penetasan adalah 7 atau netral. Hasil yang

didapat cukup baik menurut SNI 6141 (2009), yaitu kandungan pH dalam corong

penetasan adalah 6,5 – 8,5.

Kandungan oksigen terlarut dalam corong penetasan cukup baik, yaitu 6 – 8

mg/l jika mangacu pada SNI 6141 (1999) yaitu kandungan oksigen terlarut di

media corong penetasan adalah >5 mg/l. Pada saat sebelum dilakukan penebaran,

DO yang diperoleh adalah 8 mg/l, sedangkan saat akhir pemeliharaan DO yang

didapat adalah 6 mg/l. DO yang berkurang disebabkan karna telur dan larva

mengkonsumsi oksigen terlarut di air. Oksigen terlarut yang cukup sangat penting

dalam pembenihan karena telur dan benih memiliki tingkat metabolisme yang

tinggi. Telur membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Oksigen

masuk ke dalam telur secara difusi melalui lapisan permukaan cangkang telur,

oleh karena itu konsentrasi oksigen terlarut tidak kurang dari 4 – 5 mg/l setiap saat

dalam penetasan (Aryani, 2015) dalam Hutagulung, dkk (2016).

Debit aliran air adalah banyaknya volume zat jarak yang melalui suatu

penampang tiap satuan waktu. Debit air berfungsi untuk mengalirkan air ke

corong penetasan, sehingga telur dalaam corong dapat teraduk dan menerima

oksigen. Hasil dari debit air di corong penetasan adalah 0,12 liter / detik. Debit

yang didapat dari corong penetasan ini lebih rendah dari Gusrina (2018) yaitu
24

debit air corong penetasan 0,8 liter/detik, namun masih dapat ditoleransi

dikarenakan dalam pelaksanaan telur dapat teraduk dan tidak ada telur yang keluar

lewat saluran outlet. Debit air yang terlalu besar dapat mengakibatkan kematian

telur karena tekanan air sehingga telur dapat terbentur ke dindind corong tetas

atau terbawa air keluar corong tetas. Sebaliknya debit air yang terlalu kecil dapat

mengakibatkan telur tidak bergerak dan kekurangan oksigen. Telur yang tidak

bergerak dan kekurangan oksigen akan mati Gusrina (2018).

Hasil pengukuran amoniak pada corong penetasan yaitu 0 mg/l. Berdasarkan

data tersebut kualitas air pada corong penetasan cukup baik, yaitu 0 mg/l. Menurut

SNI 6141 (1999) kandungan amonia 0 mg/l. Rendahnya kandungan amoniak

dalam perairan adalah saat ada telur yang mati, dilakukan pengambilan telur agar

kualitas air dicorong penetasan tetap terjaga.


25

V . KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kegiatan Tugas Akhir yang telah dilakukan dapat disimpulkan:

1. Penetasan telur ikan nila JICA (Oreochromis niloticus) meliputi beberapa

tahapan, yaitu pengelolaan induk, pemijahan, persiapan media penetasan,

setting media penetasan, penebaran telur, dan pemanenan larva.

2. Hatching rate (HR) yang diperoleh dari penetasan telur ikan nila JICA di

corong penetasan sebanyak 90% dan survival rate (SR) 96%.

5.2 Saran

Saran yang diberikan penulis adalah :

1. Persiapan media dan pengontrolan perlu dilakukan agar tidak ada hama

yang masuk.

2. Sebaiknya dalam pembuatan corong penetasan diberi tower penampungan

air diatas corong tetas, agar pada saat listrik padam, aliran air pada corong

tetas tidak berhenti. Sehingga telur/larva dapat terus bergerak untuk

beberapa waktu/jam
26

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M.Y. 2016. Pertumbuhan Dan Survival Rate Ikan Nila (Oreochromis sp)
Strain Merah Dan Strain Hitam Yang Dipelihara Pada Media
Bersalinitas. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. Vol. 16
No.1.Fakultas Pertanian Universitas Batanghari.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. 2013.


Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan 2013. ISBN 978-979-
3692-49-4. Tim Komisi Litbang Kelautan dan Perikanan.

Cahyo, Y.D. 2017. Pembenihan Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) Di Bak
Terpal. [Laporan Proyek Mandiri]. Program Studi Budidaya Perikanan.
Jurusan Peternakan. Politeknik Negeri Lampung.

Diana, A.N. 2011. Embriogenesis Dan Daya Tetas Telur Ikan Nila (Oreochromis
niloticus) Pada Salinitas Berbeda. [Skripsi]. Fakultas Perikanan
dan Kelautan Universitas Airlangga.

Ghufron, M. H. Kordi, K. 2010. Budidaya Ikan Nila Dikolam Terpal Lebih


Muda, Lebih Murah, Lebih Untung. Andi. Yogyakarta.

Gusrina. 2018. Genetik Dan Reproduksi Ikan. Deepublish. Yogyakarta.

Hutagulung, J . 2016. Pengaruh Suhu dan Oksigen Terhadap Penetasan Telur dan
Kelulushidupan Awal Larva Ikan Pawas (Osteochilus hasselti C.V.).
Fakultas Perikanan dan Kelautan Riau.

KEP. 52/MEN/2004. Pelepasan Varietas Ikan Nila Jica

Khairuman dan Amri, K. 2003. Budidaya Ikan Nila. Agromedia Pustaka. Jakarta
Selatan.

Khairuman dan Amri, K. 2010. Budidaya Ikan Nila. Agromedia


Pustaka.Jakarta
Selatan.

Khusumaningsih, F.A. 2017. Teknik Budidaya Ikan Nila (Oreochromis


niloticus)diBalai Benih Ikan Pari, Desa Kebonagung, Kecamatan Puri,
Kabupaten Mojokerto, Propinsi Jawa Timur. Praktek Kerja Lapang.
Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga
27

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2017. Subsektor Perikanan Budidaya


Sepanjang Tahun 2017 Menunjukkan Kinerja Positif. Sesditjen.

Mulyani, R. 2014. Pendederan 1 dan 2 Benih Ikan Nila Merah (Oreochromis sp)
Di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT)
Sukabumi Jawa Barat. [Laporan Praktik Kerja Lapang]. Program Studi
Ilmu Perikanan. Fakultas Perikana. Universitas PGRI Palembang.

Polonia, H. 2015. Teknik Pembenihan Ikan NIla Merah (Oreochromis niloticus).


[Laporan Kerja Praktik Akhir]. Kementrian Kelautan Dan Perikanna.
Bidang Pengembangan Kelautan Dan Perikanan. Politeknik Kelautan
Dan Perikanan Sorong.

Prihatman, K. 2000. Budidaya Perikanan : Budidaya Ikan Nila (Oreochromis


niloticus), Makalah, Bappenas, Jakarta.

Rustadi. 2002. Pengaruh Suhu Air Terhadap Daya Tetas Telur Dan
Perkembangan Larva Ikan Nila Merah (Oreochromis Sp). Fakultas
Pertanian UGM.

Setiawan, R. 2015. Potensi Penggunaan Acepromazine Sebagai Bahan Alternatif


Anestesi Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Deparetemen Teknologi
Hasil Perairan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan.
InstitutTeknologi Bogor.

SNI 6138 : 2009. Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) Kelas
Induk Pokok (Parent Stock). Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.

SNI. 6140 : 2009. Produksi Ikan Nila (Oreochromis niloticus Bleeker) Kelas
Pembesaran Dikolam Air Tenang. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta.

SNI 6141: 2009. Produksi Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker)
Kelas Benih Sebar. Direktorat Pembenihan.Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta.

Tamamdusturi, R. Basuki, F. 2012. Analisis Karakter Reproduksi Ikan Kunti


(Oreocromis niloticus) F4 Dan F5. Jurnal Of Aquaculture Management
and Technology. Vlume 1. Halaman 180-192. Program Studi Budidaya
Perairan. Jurusan Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Diponegoro.
28

LAMPIRAN
29

Lampiran 1. Data Kualitas Air

Tabel 5. Kualitas Air Kolam Pemijahan A (Hapa 1, 2, 3)


Hari Suhu (oC) Amonia DO pH
Hari / Tanggal
ke-
Pagi Sore

12 Maret 2019 1 28 32
13 Maret 2019 2 27 32 0,002 6 6
14 Maret 2019 3 27 31
15 Maret 2019 4
16 Maret 2019 5
17 Maret 2019 6
18 Maret 2019 7
19 Maret 2019 8
20 Maret 2019 9
21 Maret 2019 10
22 Maret 2019 11
23 Maret 2019 12
24 Maret 2019 13
25 Maret 2019 14 27 31 0,027 8 7,5
26 Maret 2019 15 28 31
27 Maret 2019 16 27 32
28 Maret 2019 17 29 32
29 Maret 2019 18
30 Maret 2019 19
31 Maret 2019 20
01 April 2019 21
Rata-rata (Kisaran) 27 – 32 0,002 – 0,027 6–8 6 – 7,5
30

Tabel 6. Kualitas Air Kolam Pemijahan B (4, 5, 6)


Hari Suhu (oC) Amonia DO pH
Hari / Tanggal
ke-
Pagi Sore

12 Maret 2019 1 28 32
13 Maret 2019 2 27 32 0,003 6 7
14 Maret 2019 3 26 31
15 Maret 2019 4
16 Maret 2019 5
17 Maret 2019 6
18 Maret 2019 7
19 Maret 2019 8
20 Maret 2019 9
21 Maret 2019 10
22 Maret 2019 11
23 Maret 2019 12
24 Maret 2019 13
25 Maret 2019 14 26 31 0,028 8 7,5
26 Maret 2019 15 28 31
27 Maret 2019 16 27 32
28 Maret 2019 17 29 32
29 Maret 2019 18
30 Maret 2019 19
31 Maret 2019 20
01 April 2019 21
Rata-rata (Kisaran) 26 – 32 0,003 – 0,028 6–8 6 – 7,5

Tabel 7. Kualitas Air Corong Penetasan


H Suhu (0C)
Amoni D
Hari / Tanggal ari P S Ph
a O
ke- agi ore

01 April 2019 1
2 2 0,0 8 7
2
02 April 2019 7 9
03 April 2019 3
04 April 2019 4
2 2
5
05 April 2019 7 9
2 2 0,0 6 7
6
06 April 2019 7 9
Rata-rata 27 – 29 0,0 – 6
7
(Kisaran) 0,0 -8
31

Lampiran 2. Perhitungan HR, SR, dan Volume Corong

Perhitungan Hatching Rate (HR)

HR (100%) = x 100

= 90 %

Perhitungan Survival Rate (SR)

SR (100%) = x 100

=96%
28

Perhitungan Debit Air

Debit = = =

= 0,12 liter / detik

Perhitungan volume corong penetasan

V=
=

= 41,866 ( 225 + 112,5 + 56,25 )

= 41,866 . 393,75 cm3

= 16,484 liter
29

Lampiran 3. Dokumentasi

Gambar 6. Pemeliharaan Induk


Gambar 7. KJA Pemeliharaan Induk

Gambar 8. Seleksi Induk


Gambar 9. Persiapan Media
Pemijahan

Gambar 10. Pengeringan Media Gambar 11. Pemasangan Pemberat


Pemijahan
30

Gambar 12. Bak Pemijahan Gambar 13. Penambahan Air

Gambar 14. Pemanenan Benih Gambar 15. Penghitungan Benih

Gambar 16. Corong Penetasan Gambar 17. Pemasangan Corong


Penetasan
31

Gambar 18. Media Penetasan Telur Gambar 19. Pemanenan Telur

Gambar 20. Pakan Induk Gambar 21. Kandungan Nutrisi


Pakan Induk

Anda mungkin juga menyukai