Anda di halaman 1dari 12

PERUBAHAN MUTU IKAN SEMAR (Mene maculata) SELAMA PENYIMPANAN SUHU

CHILLING
QUALITY CHANGES OF MOONFISH (Mene maculata) DURING CHILLING
TEMPERATURE STORAGE

Irfan Restu Fauzan1, Asriani2, Medal Lentas Perceka 2


1
Taruna Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan
2
Dosen Politeknik Ahli Usaha Perikanan Jakarta
Jl AUP No. 1, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520
e-mail : irfanrestu11@gmail.com

ABSTRAK
Perubahan mutu ikan segar merupakan proses alami yang terjadi akibat pengaruh enzim,
reaksi biokimia dan aktivitas bakteri. Penyimpanan ikan menggunakan suhu rendah/chilling
merupakan salah satu cara untuk mempertahankan mutu ikan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perubahan mutu ikan semar selama penyimpanan suhu chilling. Tahapan yang dilakukan
meliputi pengukuran morfometrik ikan semar konsumsi, analisis organoleptik, pH, TVB, dan
formaldehid alami selama penyimpanan. Dalam penelitian ini dilakukan penyimpanan menggunakan
suhu chilling selama 10 hari serta dilakukan analisis setiap 2 hari sekali. Hasil morfometrik ikan semar
yang didapatkan di TPI Muara Baru menunjukan nilai rata-rata panjang total 16,29 ± 2,1 cm, panjang
cagak 14,27 ± 1,8 cm, tinggi badan 9,56 ± 1,3 cm, panjang baku 13,66 ± 1,7 cm, lebar badan 1,69 ±
1,3 cm, dan bobot total 147 ± 14,7 gram. Ikan semar mengalami fase pre rigor dari mulai ikan mati
hingga pada hari ke-3 dengan nilai organoleptik 8, fase rigor mortis pada hari ke-4 hingga hari ke-7
dengan nilai organoleptik 7-6, dan fase post rigor pada hari ke-8 hingga hari ke-10. Kadar TVB-N ikan
semar dengan pelakuan penyiangan pada penyimpanan hari ke-2 masih dapat dikatakan segar
dengan nilai TVB-N 13,89 mg-N/100 g dan masih dapat dikonsumsi sampai hari ke-6 penyimpanan
dengan nilai TVB-N 30,63 mg-N/100 g, sedangkan ikan dengan perlakuan tanpa penyiangan masih
dapat dikonsumsi pada hari ke-2 dengan nilai TVB-N 27,9 mg-N/100 g dan mulai mengalami proses
pembusukan pada hari berikutnya. Nilai awal pH pada pengamatan awal (H+2) yaitu sebesar 6,71
untuk ikan tanpa penyiangan dan 6,84 untuk ikan dengan penyiangan serta mengalami penurunan
pada hari ke- 6 yaitu 6,4 dan 6,44. Fase rigor mortis ikan terjadi pada hari ke-6 ditandai dengan nilai
ph terendah. Nilai pH mulai naik pada penyimpanan hari ke-8 hingga mendapatkan nilai pH sebesar
6,87 dan 6,85 pada penyimpanan hari ke-10. Formaldehid pada ikan semar mulai terdeteksi pada
pengujian hari ke-4 untuk perlakuan tanpa penyiangan dan hari ke-6 untuk perlakuan dengan
penyiangan. Pada hasil tersebut dapat diketahui bahwa adanya perbedaan proses kemunduran mutu
pada ikan semar dengan perlakuan penyiangan dan tanpa penyiangan yang menghasilkan
formaldehid selama penyimpanan. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan pengujian
formaldehid secara kuantitatif untuk mengetahui kadar formaldehid yang terdapat pada ikan semar
selama penyimpanan chilling. Perubahan mutu selama penyimpanan chilling diharapkan dapat
dilakukan pada spesies ikan lain terutama ikan air laut.

Kata Kunci : Ikan Semar, Penyimpanan Suhu Chilling, Perubahan Mutu

ABSTRACT
Deterioration of fish quality is a natural process that occurs due to the influence of enzymes,
biochemical reactions and bacterial activity. Storage using low temperature/chilling is one of the ways
to maintain fish quality. For this reason, this study aims to determine the quality change during the
temperature storage chilling. The stages of the conducted include the measurement of morfometric of
Semar fish, organoleptic analysis, pH, TVB, and natural formaldehyde during storage In this research
storage was carried out using chilling temperatures for 10 days and observations were made every 2
days. The morphometric results of Semar fish obtained at Muara Baru Fish Auction showed an
average value of total length of 16.29 ± 2,1 cm, fork length of 14.27 ± 1,8 cm, body height of 9.56 ±
1,3 cm, standard length of 13.66 ± 1,7 cm, body width of 1.69 ± 0,3 cm, and a total weight of 147 ±
17,7 grams. Semar fish experienced a pre rigor phase on the 3 rd day with an organoleptic value of 8,
rigor mortis phase on the 4th day to the 7th day with an organoleptic 7-6 value, and a post rigor phase
on the 8th day to the day -10. TVB-N levels of semar fish with weeding treatment on the 2 nd day of
storage can still be said to be fresh with a TVB-N value of 13.89 mg-N/100 g and can still be
consumed until the 6th day of storage with a value of TVB-N 30, 63 mg-N/100 g, while fish with non-
weeding treatment can still be consumed on the 2 nd day with a TVB-N value of 27.9 mg-N/100 g and
begin to undergo decaying the following day. The initial pH value at the initial observation (H + 2) is
6.71 for fish without weeding and 6.84 for fish with weeding and decreased on the 6 th day of 6.4 and
6.44. The rigor mortis phase of fish occurs on the 6 th day marked by the lowest ph value. The pH
value starts to increase on the 8 th day of storage to get a pH of 6.87 and 6.85 on the 10 th day of
storage. Formaldehyde in Semar fish began to be detected on testing day 4 for treatment without
weeding and day 6 for treatment with weeding. In these results it can be seen that there are
differences in the process of deterioration in the quality of Semar fish with weeding and without
weeding treatment that produces formaldehyde during storage. Further studies are expected to
conduct a quantitative formaldehid test to determine the level of formaldehyde found in the Semar fish
during storage of chilling. Quality changes during storage of chilling are expected to be done on other
fish species especially marine fishes.

Keyword : Moonfish, Chilling Temperature Storage, Quality Changes.

PENDAHULUAN
Ikan semar (Mene maculata) mengandung protein yang tinggi, diikuti oleh
kandungan karbohidrat dan lemak yang rendah, mengandung asam amino, vitamin A
yang tinggi, dan kandungan mineral serta kalsium yang tinggi. Kandungan tersebut
menunjukkan bahwa ikan semar adalah ikan yang sangat baik untuk dikonsumsi, dilihat
dari kualitas protein yang tinggi dan asam amino yang seimbang (Bharadhirajan et al.,
2014).
Daging ikan mengalami serangkaian perubahan setelah kematian ikan sampai daging
ikan tersebut busuk dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Proses
kemunduran mutu ikan disebabkan oleh tiga jenis aktivitas, yaitu reaksi autolisis, reaksi
kimiawi, dan aktivitas mikroorganisme (Irianto dan Giyatmi, 2014). Kesegaran ikan tidak
dapat ditingkatkan melainkan dipertahankan. Penurunan mutu kesegaran ikan tersebut
dapat dipertahankan dengan melakukan proses penanganan yang tepat. Teknik
penanganan yang paling umum dilakukan adalah penggunaan suhu rendah atau disebut
juga teknik pendinginan ikan. Pendinginan ikan merupakan salah satu proses yang
digunakan untuk mengatasi pembusukan ikan, baik selama penangkapan, pengangkutan,
maupun penyimpanan (Siburian et al., 2012).
Di dalam jaringan tubuh ikan yang masih hidup sudah terdapat enzim. Enzim
menguraikan protein, lemak dan karbohidrat menjadi energi. Penurunan kesegaran ikan
setelah ikan mati yang disebabkan oleh reaksi enzimatis berlangsung pada tahap pre-rigor
dan rigor mortis. Perubahan awal yang terjadi ketika ikan mati adalah peredaran darah
berhenti sehingga pasokan oksigen untuk kegiatan metabolisme berhenti menyebabkan
aktivitas penurunan mutu ikan di dalam otot ikan berlangsung dalam kondisi anaerobik
(Irianto dan Giyatmi, 2014).
Reaksi kimiawi yang terjadi selama proses kemunduran kesegaran ikan adalah
penguraian lemak oleh aktivitas enzim jaringan tubuh dan enzim yang dihasilkan oleh
bakteri serta berlangsung akibat oksidasi dengan adanya oksigen menjadi asam lemak.
Akibat dari reaksi ini adalah terjadinya ketengikan, perubahan warna daging menjadi pucat
yang mengarah pada rasa, bau, dan perubahan lain yang tidak dikehendaki (Irianto dan
Giyatmi, 2014).
Penurunan mutu secara bakterial adalah suatu proses penurunan mutu yang terjadi
karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari selaput lendir dari permukaan tubuh,
insang, dan saluran pencernaan. Penurunan mutu ini mengakibatkan daging udang terurai
dan menimbulkan bau busuk (Purwaningsih, 2000).
Kecepatan pembusukan ikan dapat tergantung kepada jumlah awal bakteri yang
terdapat pada lendir permukaan ikan, tingkat kekenyangan ketika ikan masih hidup, cara
mematikan ikan, cara penanganan, dan faktor-faktor lainnya. Jika lingkungan sesuai bagi
mikroorganisme, mereka akan berkembang secara cepat sehingga jumlahnya perlu
diperhitungkan dalam hubungannya dengan proses pembusukan ikan. Pada suhu rendah,
jumlah mikroorganisme yang rendah pada ikan segar dapat dipertahankan. Pencucian untuk
menghilangkan lendir permukaan ikan segera setelah ikan ditangkap atau dipanen dan
kemudian disimpan dalam peti atau palka ikan yang bersih adalah praktik yang sebaiknya
dilakukan. Kecepatan proses pembusukan sangat tergantung pada jenis ikan. Pada suhu
rendah, perbedaan kecepatan pembusukan antarjenis ikan tidak terlihat nyata, tetapi pada
suhu yang lebih tinggi beberapa jenis ikan membusuk lebih cepat dibandingkan dengan
lainnya. Pada jenis ikan yang sama, ikan berukuran lebih kecil akan membusuk lebih cepat
karena kondisi fisiknya yang rapuh dan kandungan air dalam jaringan yang lebih tinggi
(Irianto dan Giyatmi, 2014).
Beberapa penelitian di Indonesia mengenai ikan semar yang telah dilakukan antara
lain mengenai kajian stok ikan semar (Utami, 2018), biologi reproduksi ikan semar (Meilanur,
2018) dan ikan semar dan ikan layur sebagai sumber ide penciptaan motif batik
(Ramadhania, 2019). Oleh karena itu, penelitian perubahan mutu ikan semar (Mene
maculata) selama penyimpanan chilling perlu dilakukan agar dapat dijadikan acuan dasar
dan rekomendasi dalam rencana pengelolaan ikan semar.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui variasi morfologi ikan semar (Mene
maculata) ukuran konsumsi dengan cara mengukur morfometrik tubuh ikan semar, serta
mengetahui perubahan mutu ikan Semar selama penyimpanan suhu dingin (chilling) dengan
cara mengamati perubahan mutu ikan Semar dengan cara melakukan pengujian
organoleptik, TVB-N, derajat keasaman (pH), dan kandungan formaldehid alami selama
penyimpanan suhu dingin (chilling).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 Februari 2020 sampai 15 Mei 2020, di
Labolatorium Kimia Politeknik Ahli Usaha Perikanan Jakarta dan TPI Muara Baru, Jakarta
Utara. Sampel ikan Semar (Mene maculata) didapatkan di TPI Muara Baru, Jakarta Utara.
Pengujian organoleptik, pengujian TVB-N, pengujian pH, dan pengujian formaldehid secara
kualitatif dilakukan di Labolatorium Kimia, Politeknik Ahli Usaha Perikanan Jakarta.
Alat yang digunakan untuk praktik akhir ini yaitu scoresheet organoleptik
berdasarkan SNI 2729:2013, styrofoam, pH meter, cawan porselin, cawan conway, oven,
tanur pengabuan (furnace), selongsong lemak, centrifuge, homogenizer, spektrofotometer,
erlenmeyer, inkubator, pipet, timbangan analit 0,0001 g, alat destruksi, alat destilasi uap,
labu destruksi, corong gelas, buret 50 ml, pipet volumetrik 25 ml, batang pengaduk,
saringan, desikator, alat penjepit/tang, stomacher, gunting, peralatan ekstraktor soxhlet,
spektrofotometer visibel, Magetic stirrer, dan micropipet.
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan semar yang diperoleh
dari TPI Muara Baru dan es curai. Bahan kimia yang digunakan adalah buffer standar pH
4 dan 7, n-heksana, butir selenium, Aquades, H 2SO4, NaOH, H3BO3, HCl, Na2HPO4,
NaH2PO4, H2O2, Na2S2O3, Na2Ba4O7, asam perklorat, indikator methyl red, indikator
bromcresol green, indikator fenolftalein, dietil eter/kloroform, aseton, Coomasive Briliant
Blue, etanol, larutan asam Ortofosfat, asetil aseton, asam asetat glasial, amonium asetat,
akrilamid, bis-akrilamid, buffer tris HCl, Katalis K 2SO4, asam trikloroasetat dan Tes Kit
Formalin Easy Teach.
Ikan semar (Mene maculata) diperoleh langsung dari TPI Muara Baru ddengan
keadaan baru ditangkap secara one day fishing dan segar. Ikan semar disimpan dalam
coolbox dengan penambahan es curai selama perjalanan ke lokasi pengujian. Perbandingan
jumlah ikan dan es yaitu 1:2 dengan penambahan es setiap 12 jam sekali agar suhu chilling
tetap terjaga. Proses penyusunan ikan didalam coolbox dilakukan dengan metode bulking,
yaitu ikan dan es disusun berlapis-lapis secara berlawanan arah kemudian disimpan selama
10 hari. Selama penyimpanan ikan mendapatkan perlakuan yang berbeda yaitu disiangi dan
tidak disiangi.
Sampel dilakukan perhitungan merfometrik dengan menggunakan penggaris. Daging
ikan dilakukan analisis kemunduran mutunya setiap 2 hari selama 10 hari, analisis yang
dilakukan terdiri dari pengujian organoleptik, pengujian pH, pengujian TVB-N, dan pengujian
formaldehid (FA) secara kualitatif.
Morfometrik
Analisis morfometrik dilakukan menggunakan penggaris dalam satuan cm dengan
ketelitian 0,1 cm. Pengukuran morfometrik yang dilakukan berupa, panjang total, panjang
cagak, panjang baku, tinggi badan, lebar badan, dan bobot total.

Gambar 1. Sketsa Morfometrik Ikan Semar


Panjang total ialah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian
moncong sampai ujung terakhir sirip ekor. Panjang cagak ialah panjang ikan yang diukur
dari ujung terdepan bagian moncong sampai dasar sirip ekor. Panjang baku ialah panjang
ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian moncong sampai ujung tulang punggung.
Tinggi badan ialah jarak garis lurus pada bagian tubuh ikan terpanjang. Lebar badan ialah
jarak antara badan sebelah kiri dan kanan yang terlebar. Bobot total ialah pengukuran berat
ikan secara utuh.Pengukuran bobot total ikan dilakukan menggunakan timbangan digital
dalam satuan gram dengan ketelitian 0,1 gram.
Organoleptik (SNI 2729:2013)
Pengujian organoleptik dilakukan setiap 2 hari sekali selama 10 hari. Metode untuk
pengujian organoleptik dilakukan menggunakan score sheet berdasarkan SNI 2729:2013
tentang ikan segar. Pengujian organoleptik dilakukan untuk mengetahui perubahan fisik
yang terjadi pada ikan semar yang tidak disiangi dan disiangi selama penyimpanan suhu
chilling dengan melihat parameter mata, insang, lendir permukaan tubuh, daging, bau, dan
tekstur. Berdasarkan data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis kesegaran ikan
dengan kriteria segar apabila memiliki nilai organoleptik berkisar 7-9, kriteria agak segar
apabila memiliki organoleptik berkisar 5-6, dan kriteria tidak segar apabila memiliki nilai
organoleptik berkisar 1-3.
Pengujian Derajat Keasaman (pH) (Suwetja, 2007)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi
terlebih dahulu dengan buffer standar pH 4 dan 7. Daging ikan sebanyak 10 gram
dihomogenkan dengan aquades sebanyak 20 mL menggunakan homogenizer. Daging yang
telah homogen kemudian diukur menggunakan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi.
Elektroda dicelupkan ke dalam campuran tersebut dan nilai pH dapat dibaca pada display.
Pengujian sample dilakukan secara duplo setiap 2 hari sekali selama 10 hari.
Pengujian TVB-N (SNI 2354.8-2009)
Pengujian TVB-N berdasarkan SNI 2354.8-2009 tentang penentuan kadar TVB-N
dan TMA-N dengan menggunakan metode conway. Pada tahap ekstraksi sample ditimbang
10 g ± 0,1 g menggunakan erlenmeyer kemudian tambahkan 30 ml larutan Tricrloroasetat
(TCA) 7%, homogenkan contoh dengan homogenizer selama 1 menit kemudian sample
disaring menggunakan kertas saring. Siapkan cawan conway yang telah diolesi vaselin pada
bagian tutup, letakan cawan conway dalam posisi miring. Pipet 1 ml larutan H 3BO3 2%
masukan kebagian dalam cawan (inner chamber). Pipet 1 ml filtrat sampel masukan ke
dalam salah satu bagian luar cawan (auto chamber). Pipet 1 ml larutan K2CO3 (1:1)
masukan kedalam salah satu sisi yang lain pada bagian luar cawan (auto chamber).
Lakukan uji blanko dengan mengganti 1 ml filtrat sampel dengan 1 ml TCA 7% di cawan
yang lain. Tambahkan 2-3 tetes indikator conway pada inner chamber tempat larutan H 3BO3.
Tutup cawan conway dengan rapat, campurkan kedua larutan yang ada pada kedua sisi
auto chamber secara perlahan. Dan diamkan selama 24 jam di tempat gelap dan suhu
ruangan. Lakukan titrasi dengan mikro buret terhadap destilat sampel dan blanko dengan
menggunakan larutan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi dengan terbentuknya kembali warna
merah muda. Pengujian sample dilakukan secara duplo setiap 2 hari sekali selama 10 hari.
Pengujian Kadar Formaldehid (Test kit)
Pengujian formaldehid dilakukan dengan cara kualitatif yaitu dengan menggunakan
test kit merek Easy Teach. Pada tahap ekstraksi sample ditimbang 10 g ± 0,1 g
menggunakan erlenmeyer kemudian tambahkan 20 ml air suling (aquadest) yang telah
dipanaskan terlebih dahulu homogenkan contoh dengan homogenizer selama 1 menit
kemudian sample disaring menggunakan kertas saring. Pipet 5 ml ekstrak larutan sampel
kemudian masukan kedalam tabung reaksi. Tambahkan 4 tetes reagen A dan 4 tetes
reagen B, biarkan selama 10-20 menit. Hasil pengujian positif ditandai dengan perubahan
warna larutan ekstrak menjadi merah muda atau ungu. Lakukan pengujian dengan cara
duplo.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Morfometerik Ikan Semar (Mene maculata)
Morfometerik merupakan ciri-ciri yang berkaitan dengan ukuran bagian tubuh ikan,
misalnya panjang total, panjang baku, panjang cagak, dan sebagainya. Morfometrik
dilakukan karena dapat digunakan untuk identifikasi dan pendugaan spesies (Zahra, 2017).
Hasil pengukuran morfometrik ikan semar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Morfometrik Ikan Semar


Parameter Nilai
Panjang Total (cm) 16,29 ± 2,1
Panjang Cagak (cm) 14,27 ± 1,8
Tinggi Badan (cm) 9,56 ± 1,3
Panjang Baku (cm) 13,66 ± 1,7
Lebar Badan (cm) 1,69 ± 0,3
Bobot Total (gram) 147 ± 17,7
n = 10
Ikan semar yang diamati merupakan ikan semar ukuran konsumsi yang terdiri dari
jantan dan bentina. Pengambilan sampel ikan berjumlah 10 ekor dari 44 jumlah total
ikanIkan ini didapatkan di TPI Muara Baru menunjukan nilai rata-rata panjang total 16,29 ±
2,1 cm, panjang cagak 14,27 ± 1,8 cm, tinggi badan 9,56 ± 1,3 cm, panjang baku 13,66 ±
1,7 cm, lebar badan 1,69 ± 0,3 cm, dan bobot total 147 ± 17,7 gram. Ikan semar menghuni
perairan pesisir yang lebih dalam di dekat bagian bawah, di dekat karang dan kadang
ditemukan di muara sungai. Ikan ini memiliki panjang maksimum 30 cm, namun biasa
ditemukan pada ukuran 20 cm (Fishbase, 2017).
Panjang dan berat dapat dipakai untuk menentukan ukuran dari ikan. Ikan yang lebih
tua memiliki ukuran lebih panjang dibandingkan dengan yang lebih muda. Ikan betina
biasanya lebih berat dibandingkan ikan jantan meskipun memiliki umur dan panjang
yang sama. Keragaman ukuran secara musiman terhadap volume dan berat terjadi
pada saat gonad sedang dalam proses perkembangan, dan kemudian mengecil
kembali segera setelah bertelur. Laju pertumbuhan ikan tergantung kepada pakan yang
tersedia di air tempat hidupnya sehingga ikan pada umur dan spesies sama yang ditangkap
pada perairan berbeda mungkin bervariasi dalam berat dan panjang (Irianto dan Giyatmi,
2014).
Organoleptik Ikan Semar Selama Peyimpanan Suhu Chilling
Pengujian organoleptik dilakukan untuk mengetahui perubahan fisik yang terjadi pada
ikan semar yang tidak disiangi dan disiangi selama penyimpanan suhu chilling dengan
melihat parameter mata, insang, lendir permukaan tubuh, daging, bau, dan tekstur. Hasil
analisis pada pengujian organoleptik ikan semar menunjukan bahwa perbedaan perlakuan
ikan disiangi dan tidak disiangi tidak memiliki pengaruh yang signifikan karena nilai t hitung <
t tabel (0,05). Hasil pengujian organoleptik ikan semar selama peyimpanan suhu chilling
disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2.

Tabel 2. Nilai Pengujian Organoleptik Ikan Semar Selama Peyimpanan Suhu Chilling
Standar Ikan
Pengujia Nila Nila
Ikan Disiangi Ikan Tidak Disiangi Segar (SNI
n i i
2729:2013)
Hari ke-2 P = 8,14 ≤ µ ≤ 8,32 8 P = 7,88 ≤ µ ≤ 8,18 8
Hari ke-4 P = 7,05 ≤ µ ≤ 7,53 7 P = 6,96 ≤ µ ≤ 7,38 7
Hari ke-6 P = 6,72 ≤ µ ≤ 6,94 7 P = 6,07 ≤ µ ≤ 6,33 6 7
Hari ke-8 P = 5,91 ≤ µ ≤ 6,57 6 P = 5,41 ≤ µ ≤ 6,55 5
Hari ke-10 P = 4,81 ≤ µ ≤ 5,37 5 P = 4,4 ≤ µ ≤ 4,94 4

Berdasarkan Tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa hasil pengujian pada hari ke-2
mendapatkan nilai 8,14 ~ 8 untuk ikan yang disiangi dan 7,88 ~ 8 untuk ikan yang tidak
disiangi sehingga dapat dikatakan masih sangat segar. Penurunan nilai mulai terjadi pada
hari ke-4 dan mendapatkan nilai terendah pada hari ke-10 dengan nilai 4,81~5 untuk ikan
yang disiangi dan 4,4~4 untuk ikan yang tidak disiangi.

Organoleptik
8 8
7 7 7
Nilai Organoleptik

8 6 6
5 5
6 4
4
2
0
Hari ke-2 Hari ke-4 Hari ke-6 Hari ke-8 Hari ke-10
Waktu Penyimpanan

Ikan Disiangi Ikan Tidak Disiangi


Gambar 2. Grafik Nilai Organoleptik Ikan Semar Selama Peyimpanan Suhu Chilling

Gambar 2 menunjukan bawa ikan semar mengalami penurunan mutu seiring dengan
waktu penyimpanan pada suhu chilling, diantaranya pada hari ke-2 mendapatkan nilai
organoleptik 8 dan 8, pada hari ke-4 mendapatkan nilai 7 dan 7, pada hari ke-6
mendapatkan nilai 7 dan 6, pada hari ke-8 mendapatkan nilai 6 dan 5, pada hari ke-10
mendapatkan nilai 5 dan 4. Ikan semar mengalami fase pre rigor dari ikan mati hingga pada
hari ke-3 dengan mendapatkan nilai organoleptik 8. Fase pre rigor ditandai dengan
kenampakan ikan yang utuh, kornea mata cerah, insang berwarna merah tua, lendir jernih,
warna kulit masih cemerlang, dan memiliki bau masih sangat segar spesifik jenis. Tekstur
pada ikan masih padat, kompak dan sangat elasits, serta memiliki daging dengan warna
yang sangat cemerlang. Pada fase ini ikan memiliki kualitas yang sangat baik dan termasuk
kedalam kriteria ikan segar dengan kisaran nilai 7-8 (BSN, 2013).
Rigor mortis merupakan fase selanjutnya setelah pre rigor ditandai dengan ikan
mulai kaku (kejang). Ikan semar mulai mengalami fase rigor mortis pada penyimpanan hari
ke-4 hingga ke-6 dengan memiliki nilai organoleptik berkisar 8-6. Fase rigor mortis ini
ditandai dengan bola mata yang rata dan kurang cemerlang, daging ikan yang memiliki
warna sedikit kurang cemerlang serta agak padat, bau ikan yang netral, tekstur mulai
berkurang kelenturan tubuh ikan dikarenakan ikan menjadi kaku. Menurut Zahra, (2017)
dalam penilitiannya mengatakan bahwa fase rigor mortis ikan terjadi pada penyimpanan hari
ke-4 sampai ke-6 dengan nilai kisaran 8 - 6,5. Faktor yang mempengaruhi lamanya fase
rigor mortis pada ikan yaitu jenis ikan, suhu, cara penanganan, cara mati ikan, kondisi
biologis ikan dan suhu saat ikan disimpan (Morkore, 2006). Ikan mengalami rigor mortis
(kaku) akibat berbagai reaksi biokimia. Selama berada dalam tahap rigor mortis ini ikan
masih dalam keadaan segar, dan apabila fase ini dapat dipertahankan lebih lama maka
proses pembusukan dapat ditekan (Irianto dan Giyatmi, 2014).
Ikan semar mengalami fase post rigor pada penyimpanan hari ke-8 hingga hari ke-10
yang ditandai dengan penurunan nilai organoleptik pada semua aspek parameter. Ikan
semar pada fase ini terjadi perubahan kenampakan seperti mata ikan yang cekung dan
kornea yang keruh, dilapisi lendir yang tidak jernih dan banyak, insang berwarna merah
pudar, tekstur ikan tidak lagi elastis, daging yang tidak lagi padat atau kompak, dan memiliki
bau busuk atau amoniak yang kuat. Menurut Zahra, (2017) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa ikan beloso dengan penyimpanan menggunakan es dapat bertahan 10 hingga 12
hari. Ikan yang disimpan menggunakan es atau suhu chilling dapat memperpanjang masa
simpan ikan dibandingkan dengan menggunakan suhu ruangan, namun hal tersebut
tersebut tergantung pada bahan baku ikan, metode penyimpanan, dan lama waktu
penggunaan es. Selama fase post rigor, fase autolisis, dan kerusakan ikan, maka faktor
aktivitas enzim endogen (terutama enzim-enzim proteolitik) akan menjadi salah satu faktor
penyebab kerusakan (Astawan, 2008).
Total Volatile Base (TVB) Ikan Semar Selama Peyimpanan Suhu Chilling
TVB adalah cara yang umum digunakan untuk menentukan mutu ikan, yang dapat
juga mengukur kadar trimetilamin (TMA) yang diproduksi oleh bakteri pembusuk,
dimetilamin (DMA) yang diproduksi oleh enzim autolitik selama penyimpanan, amonia (NH3)
hasil deaminasi dari asam amino dan katabolit nukleotida dan senyawa nitrogen dasar yang
mudah menguap lannya terkait dengan pembusukan (Jinadasa, 2014).
Hasil analisis pada pengujian TVB-N ikan semar menunjukan bahwa perbedaan
perlakuan ikan disiangi dan tidak disiangi tidak memiliki pengaruh yang signifikan karena
nilai t hitung < t tabel (0,05). Nilai TVB-N ikan semar selama penyimpanan suhu chilling
dapat dilihat pada Gambar 3.

TVB-N
60 53.8
48.03
50 43.42 Ikan
40 34.28 disiangi
27.9 43.94
30 36.76 Ikan tidak
29.67 30.63 disiangi
20
10 13.89
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Penyimpanan hari ke-

Gambar 3. Nilai TVB-N Ikan Semar Selama Peyimpanan Suhu Chilling


Hasil pengujian kadar TVB-N pada Gambar 5 menunjukan adanya peningkatan
selama peyimpanan suhu chilling, baik pada ikan semar dengan perlakukan penyiangan
ataupun tanpa penyiangan. Kadar TVB-N ikan semar dengan pelakuan penyiangan pada
awal penyimpanan hingga hari ke 2 masih dapat dikatakan segar dengan nilai TVB-N 13,89
mg-N/100 g dan masih dapat dikonsumsi sampai hari ke-6 penyimpanan dengan nilai TVB-
N 30,63 mg-N/100 g, sedangkan ikan dengan perlakuan tanpa penyiangan masih dapat
dikonsumsi pada hari ke-2 dengan nilai TVB-N 27,9 mg-N/100 g dan mulai mengalami
proses pembusukan pada hari berikutnya.
Nurjanah et al, (2004) menyebutkan ikan termasuk kategori sangat segar apabila nilai
TVB-N kurang dari 10 mg-N/100 g. Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg-N/100 g
termasuk kategori segar. Ikan dengan nilai TVB-N antara 20-30 mg-N/100 g merupakan
batas penerimaan ikan untuk dikonsumsi, sedangkan jika nilai TVB-N ikan lebih dari 30 mg-
N/100 g termasuk kategori ikan busuk. Hardianto dan Yunianta (2015) mengatakan bahwa
TVB merupakan indikator kualitas ikan dengan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi 30
mg-N/100 g. Menurut Rachmawati et al., (2007) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa
ikan kerapu sudah tidak layak dikonsumsi sejak hari ke-6 penyimpanan dengan nilai TVB
telah mencapai 35,05 mgN% dan pada hari penyimpanan terakhir hari ke-14 mecapai 64,29
mgN%. Fitriani, (2016) menyebutkan bahwa keadaan dan jumlah kadar TVB tergantung
pada mutu kesegaran ikan, makin mundur mutu ikan, kadar TVB akan meningkat jumlahnya.
Derajat Keasaman (pH) Ikan Semar Selama Penyimpanan Suhu Chilling
Nilai pH merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan tingkat
kesegaran ikan. Nilai derajat keasaman (pH) yang diukur untuk menentukan tingkat
kesegaran hasil perikanan secara kimiawi. Derajat keasaman menjadi salah satu indikator
pada kemunduran mutu ikan (Zahra, 2017). Hasil analisis pH menunjukan Ikan semar yang
disiangi dan tidak disiangi tidak memiliki pengaruh yang signifikan karena nilai t hitung < t
table (0,05). Nilai pH ikan semar selama penyimpanan suhu dingin terdapat pada Gambar 4.

pH
8
7.5
6.84 6.73 6.72 6.87
7
6.44
Nilai pH

6.5 6.71 6.75 6.85


6.6 Ikan
6 6.4
tidak
5.5 disiangi
Ikan
5 disiangi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Penyimpanan hari ke-

Gambar 4. Nilai pH Ikan Semar Selama Penyimpanan Suhu Chilling


Gambar 4 menunjukan adanya perubahan pH terhadap waktu penyimpanan dingin
ikan semar selama 10 hari. Nilai awal pH pada pengamatan awal (H+2) yaitu sebesar 6,71
untuk ikan tanpa penyiangan dan 6,84 untuk ikan dengan penyiangan serta mengalami
penurunan pada hari ke- 6 yaitu 6,4 dan 6,44. Fase rigor mortis ikan terjadi pada hari ke-6
ditandai dengan nilai pH terendah. Nilai pH mulai naik pada penyimpanan hari ke-8 hingga
mendapatkan nilai pH sebesar 6,87 dan 6,85 pada penyimpanan hari ke-10. Menurut Zahra,
(2017) dalam penelitiannya mengatakan bahwa fase rigor mortis ikan beloso terjadi pada
penyimpanan hari ke-6 dengan nilai pH 6,2 - 6,5 serta ditandai dengan keadaan otot yang
kaku dan keras karena akumulasi asam laktat.
Alparslan et al., (2012) menyatakan bahwa pH ikan barramudi/kakap putih pada
penyimpanan suhu dingin hari ke-12 mengalami kenaikan nilai pH sebesar 7,13 pada
pengamatan hari ke-12. Menurut Liviawaty dan Afrianto, (2014) dalam penelitiannya ikan
nila mengalami fase rigor mortis pada 11 jam waktu penyimpanan suhu ruang dengan nilai
pH 6,17. Kenaikan pH pada fase post rigor terjadi karena meningkatnya basa-basa akibat
dari aktivitas enzim dan bakteri (Zahra, 2017). Semua reaksi enzim dipengaruhi oleh pH
medium tempat terjadinya reaksi. Setiap enzim memiliki pH optimum yang khas, yaitu pH
yang menyebabkan aktivitas maksimal (Nurhayati et al., 2013). Variasi perubahan nilai pH
tergantung pada spesies, proses penangkapan, kondisi biologis, variasi musim, dan metode
penanganan (Susanto et al., 2011).
Ikan yang sudah tidak segar pH dagingnya tinggi (basa) dibandingkan ikan yang
masih segar. Hal itu karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa misalnya
amoniak, trimetilamin, dan senyawa volatile lainnya. Mikroorganisme yang dominan
penyebab kerusakan berupa bakteri karena pH daging ikan mendekati netral sehingga
menjadi media yang cocok untuk pertumbuhan bakteri (Widyastuti dan Putro, 2010).
Kadar Formaldehid Ikan Semar Selama Penyimpanan Dingin (Teskit)
Metode yang digunakan untuk menentukan kandungan formaldehid pada ikan semar
selama penyimpanan dingin yaitu dengan cara pengujian kualitatif (tes kit) dengan melihat
perubahan warna cairan sampel menjadi warna keunguan maka sampel tersebut positif
mengandung formaldehid. Hasil uji formaldehid dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Hasil Pengujian Formaldehid Secara Kualitatif

Hasil Pengujian
Waktu Penyimpanan
Penyiangan Tanpa Penyiangan
Hari ke-2 - -
Hari ke-4 - +
Hari ke-6 + +
Hari ke-8 + +
Hari ke-10 + +

Tabel 3 menunjukan bahwa pada awal penyimpanan tidak terdeteksi sanyawa


formaldehid pada ikan semar, hal ini dikarenakan ikan semar masih segar dan belum terjadi
proses kemunduran mutu. Formaldehid pada ikan semar mulai terdeteksi pada pengujian
hari ke-4 untuk perlakuan tanpa penyiangan dan hari ke-6 untuk perlakuan dengan
penyiangan. Pada hasil tersebut dapat diketahui bahwa adanya perbedaan proses
kemunduran mutu pada ikan semar dengan perlakuan penyiangan dan tanpa penyiangan
yang menghasilkan formaldehid selama penyimpanan. Reaksi kimia yang terjadi antara
reagen dengan sampel yang mengandung formalin akan menghasilkan senyawa kompleks
yang berwarna ungu tetrazine dan air. Hal ini terjadi dikarenakan adanya reaksi hidrolisis
dari 4-amino-3-hydrazino-5-mercapto-1,2,4-triazol (Rahmawati, 2017). Menurut Arbajayanti,
(2017) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ikan beloso yang disimpan dingin mulai
terdeteksi formaldehid pada pengujian hari ke-3 baik pada ikan dengan perlakuan
penyiangan maupun tanpa penyiangan. Hal ini menunjukan bahwa telah terjadi proses
penurunan mutu yang disebabkan oleh aktivitas enzim. Leelapongwattana et al., (2010)
menyebutkan bahwa enzim trimetilamina-N-oksida demethylase (TMAOase) merupakan
enzim yang dapat mengkatalis konversi TMAO menjadi dimetilamin (DMA) dan formaldehid
(FA). Pada tahap awal deteriorasi ikan, terjadi pemecahan TMAO menjadi TMA, atau
menjadi TMA dan FA (formaldehid), tergantung pada jenis enzim dan bakteri. Pemecahan
TMAO menjadi DMA dan FA terjadi karena adanya enzim Trimethylamine Oxide
Dimethylase atau TMAOase (Rachmawati et al., 2007).
Pembentukan formaldehid alami dapat berlangsung selama proses pembusukan
(Murtini et al., 2014). Formaldehid dapat terbentuk oleh proses demetilisasi TMAO yang
banyak dimiliki oleh komoditas perairan. Formaldehid pada ikan terbentuk secara alami
melalui reaksi reduksi trimetilamin oksida (TMAO) menjadi formaldehid secara enzimatik
oleh bantuan enzim TMAOase dengan hasil samping dimetilamin (DMA)
(Leelapongwattana et al., 2010). Proses deteriorasi ikan oleh bakteri sendiri menyebabkan
terbentuknya senyawa hasil penguraian protein, asam amino dan lemak, dan beberapa jenis
aldehid termasuk formaldehid (Rachmawati et al., 2007). Pembentukan formaldehid pada
tubuh ikan dapat terjadi secara alami melalui kerja enzim Trimethylamine-N-Oxide
Demethylase (TMAO)ase yang memecah TMAO menjadi formaldehid dan dimetilamin.
Pembentukan formaldehid pada ikan dapat terjadi selama penyimpanan (Nuraini et al.,
2017).
Murtini et al., (2014) dalam penelitiannya menyampaikan apabila yang bekerja untuk
pemecahan TMAO adalah bakteri maka hanya akan terbentuk trimetilamin (TMA). Bila
penyimpanan ikan dilakukan pada suhu ruang, pemecahan oleh bakteri lebih dominan
dibandingkan pemecahan karena aktivitas enzim, sedangkan bila penyimpanan ikan
dilakukan pada suhu dingin aktivitas bakteri sedikit terhambat dan aktivitas enzim untuk
memecah TMAO menjadi lebih tinggi.
Penyimpanan ikan pada suhu dingin aktivitas bakteri sedikit terhambat dan aktivitas
enzim untuk memecah TMAO menjadi lebih tinggi. Hal ini yang menjadikan nilai TMA tetap
meningkat selama penyimpanan karena meskipun aktivitas bakteri untuk memecah TMAO
terhambat, tapi pemecahan TMAO secara enzimatis tetap berlangsung. TMAO paling
banyak ditemukan pada jenis ikan air laut (Jaman et al., 2015). Formaldehid (FA) pada ikan
secara alamiah terbentuk melalui reaksi reduksi TMAO menjadi FA secara enzimatik oleh
bantuan enzim TMAOase dengan hasil samping DMA (Nurhayati et al., 2019). Fluktuasi
dalam formaldehid alami dapat terjadi karena kandungan dari trimethylamine n-oksida
(TMAO) dan konsentrasi dalam sampel ikan. Waktu penyimpanan ikan dan suhu dapat
memainkan peran penting dalam berbagai tingkat formaldehida dalam spesies ikan (Putri et
al., 2018). Diketahui bahwa TMAO jauh lebih tersedia dalam ikan laut daripada di ikan air
tawar karena fungsinya untuk sistem osmoregulatory (Putri et al., 2018). Dengan demikian,
formaldehida yang diproduksi secara alami dalam otot ikan baik oleh bakteri atau reaksi
enzim menjadi kovalen terikat untuk linkage silang di antara rantai peptida (Bhowmik et al.,
2017).
Komposisi kimia dari daging ikan yang berperan dalam pembentukan formaldehida
dalam tubuh ikan setelah kematian adalah lemak dan protein (Putri et al., 2018). Menurut
Murtini et al., (2017) dengan lebih dari 20% kandungan protein, ikan Opah yang digunakan
dalam kajian ini diklasifikasikan sebagai ikan dengan kandungan protein tinggi. Selanjutnya,
dalam kompleks protein ikan, ada TMAO degradasi dari Kolin senyawa dalam matriks
protein ikan yang dapat terurai menjadi formaldehida dan DMA melalui kemunduran kualitas
ikan. Selain itu, kandungan lemak daging juga berkorelasi secara tidak langsung pada
pembentukan formaldehida ikan selama proses kerusakan melalui pembentukan asam
lemak bebas yang pada tahap kemudian dapat diurai menjadi Kolin dan terus sebagai
TMAO. Belakangan, kandungan protein tinggi dari sampel ikan opah yang digunakan dalam
kajian ini nampaknya merupakan prekursor dalam pembentukan formaldehida alam (Murtini
et al., 2017).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai perubahan mutu ikan semar selama
peyimpanan suhu chilling maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Morfometrik ikan semar yang didapatkan di TPI Muara Baru menunjukan nilai rata-rata
panjang total 16,29 ± 2,1 cm, panjang cagak 14,27 ± 1,8 cm, tinggi badan 9,56 ± 1,3
cm, panjang baku 13,66 ± 1,7 cm, lebar badan 1,69 ± 0,3 cm, dan bobot total 147 ±
17,7 gram.
2) Ikan semar mengalami fase pre rigor pada hari ke-2 dengan nilai organoleptik 8, fase
rigor mortis pada hari ke-4 hingga hari ke-6 dengan nilai organoleptik 7-6, dan fase
post rigor pada hari ke-8 hingga hari ke-10. Kadar TVB-N ikan semar dengan
pelakuan penyiangan pada penyimpanan hari ke-2 masih dapat dikatakan segar
dengan nilai TVB-N 13,89 mg-N/100 g dan masih dapat dikonsumsi sampai hari ke-6
penyimpanan dengan nilai TVB-N 30,63 mg-N/100 g, sedangkan ikan dengan
perlakuan tanpa penyiangan masih dapat dikonsumsi pada hari ke-2 dengan nilai
TVB-N 27,9 mg-N/100 g dan mulai mengalami proses pembusukan pada hari
berikutnya. Nilai pH pada penyimpanan hari ke-2 yaitu sebesar 6,71 untuk ikan tanpa
penyiangan dan 6,84 untuk ikan dengan penyiangan serta mengalami penurunan
pada hari ke- 6 yaitu 6,4 dan 6,44. Fase rigor mortis ikan terjadi pada hari ke-6
ditandai dengan nilai ph terendah. Nilai pH mulai naik pada penyimpanan hari ke-8
hingga mendapatkan nilai pH sebesar 6,87 dan 6,85 pada penyimpanan hari ke-10.
Formaldehid pada ikan semar mulai terdeteksi pada pengujian hari ke-4 untuk
perlakuan tanpa penyiangan dan hari ke-6 untuk perlakuan dengan penyiangan.

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan pengujian formladehid secara


kuantitatif untuk mengetahui kadar formaldehid yang terdapat pada ikan semar dengan
ukuran yang berbeda selama penyimpanan suhu chilling. Perubahan mutu selama
peyimpanan suhu chilling diharapkan dapat dilakukan pada spesies ikan lain terutama ikan
air laut.

DAFTAR PUSTAKA Southeast coast of India. Journal of


Coast. Life Med. 2(1): 53-58.
Alparslan Y, Gürel Ç, Metin C, Hasanhocaoğlu H,
Baygar T. 2012. Determination of Bhowmik, S., Begum, M., Hossain, M. A., Rahman,
sensory and quality changes at treated M., and Alam, A. N. 2017. Determination
sea bass (Dicentrachus labrax) during of formaldehyde in wet marketed fish by
cold-storage. Journal Food Processing HPLC analysis: A negligible concern for
and Technology. 3(10): 1-5. fish and food safety in Bangladesh. The
Egyptian Journal of Aquatic Research,
Arbajayanti, Rahma D. 2017. Pembentukan 43(3), 245-248.
Formaldehid Alami pada Ikan Beloso
(Saurida tumbil) Selama Penyimpanan [FAO] Food and Agriculture Organization. 2001.
Suhu Chilling [skripsi]. Institut Pertanian FAO Species Identification guide for
Bogor. Bogor. Fishery Purposes “The Living Marine
Resources of The Eastern Central
Astawan, Made, 2008. Penanganan dan Pacific ” FAO, Rome (ITA).
Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas
Terbuka. Jakarta. Fitriani, Aisyah. 2016. Kemunduran Mutu Ikan
Baronang (Siganus javus) Pada
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. SNI 2354.3- Penyimpanan Suhu Chilling [Skripsi].
2017. Penentuan Kadar Lemak Total Institut Pertanian Bogor. Bogor.
pada Produk Perikanan. Badan
Standarisasi Nasional. Jakarta. Fishbase, 2017. Mene maculata. [internet]. [diunduh
20 Januari 2019]. Tersedia pada:
. SNI http://www.fishbase.se/summary/Mene-
2354.2-2015. Penentuan Kadar Air pada maculata.html
Produk Perikanan. Badan Standarisasi
Nasional. Jakarta. Hardianto, Ludi., dan Yunianta. 2015. Pengaruh
Asap Cair Terhadap Sifat Kimia dan
. SNI Organoleptik Ikan Tongkol (Euthynnus
01-2729.2013. Ikan Segar. Badan affinis). Jurnal pangan dan
Standarisasi Nasional. Jakarta. agroindustri 3.4: 1356-1366.

. SNI Irianto, Hari E., dan Giyatmi, Sri. 2014. Teknologi


2354.8-2009. Penentuan Kadar Total Pengolahan Hasil Perikanan
Volatil Base Nitrogen (TVB-N) dan LUHT4443/Modul 1. Universitas
Trimetil Amin Nitrogen (TMA-N) pada Terbuka. Jakarta.
Produk Perikanan. Badan Standarisasi
Nasional. Jakarta. Jaman, N., Hoque, S., Chakraborty, S.C., Hoq, E.,
and Seal, H.P. 2015. Determination of
Bharadhirajan P., Periyasamy N., and Murugan S. formaldehyde content by
2014. Nutritional evaluation of the spectrophotometric method in some
moonfish Mene maculata(Bloch & fresh water and marine fishes of
Schneider, 1801) from Parangipettai, Bangladesh. International Journal of
Fisheries and Aquatic Studies. 2(6): 94- [Skripsi]. Universitas Negeri Raden Intan.
98. Lampung.

Jinadasa, B. K. 2014. Determination of Quality of Rachmawati, Novalia., Riyanto, Rudi., Ariyani,


Marine Fishes Based on Total Volatile Farida. 2007. Pembentukan Formaldehid
Base Nitrogen test (TVB-N). Journal pada Ikan Kerapu Macan (Ephnephelus
Nature and Science. 12(5): 106-111. fuscoguttatus) Selama Penyimpanan
Suhu Dingin. Jurnal Pascapanen dan
Leelapongwattana K, Benjakul S, Visessanguan W, Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
Howell N K. 2010. Effects of Vol.2 No.2
trimethylamine-N-oxide demethylase
(TMAOase) inhibitors and antioxidants Siburian ETP, Dewi P, Kariada N. 2012. Pengaruh
on physicochemical and biochemical Suhu Dan Waktu Penyimpanan
changes of haddock muscle induced Terhadap Bakteri Dan Fungi Ikan
by lizardfish TMAOase during frozen Bandeng. Unnes Journal of Life Science.
storage. Journal Food Biochem. 34: 1(2):101-105.
1032-1048.
Susanto E, Agustini T.W., Ritanto E.P., Dewi E.N.,
Morkore. 2006. Relevance of dietary oil source for Swastawati F. 2011. Changes in
contraction and quality of prerigor filleted oxidation and reduction potential (Eh)
atlantic cod, Gadus morhua. Journal and pH of tropical fish during storage.
Aquaculture. 25(1): 56-65. Journal of Coastal Development. 14(3):
223-234.
Meilanur, Rulliyanti. 2018. Biologi Reproduksi Ikan
Semar (Mene maculata) Di Teluk Suwetja, I. Ketut. 2007. Biokimia Hasil Perikanan.
Pelabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat Jilid III. Fakultas Perikanan dan Ilmu
[skripsi]. IPB. Bogor. Kelautan. Uversitas Sam Ratulangi
Manado.
Murtini, J. T., Ariyani, Farida., Januar, H. I.,
Barokah, G. R., Putri, A. K., Annisah, U., Utami, Tiya A. 2018. Kajian Stok Ikan Semar (Mene
and Wibowo, S. 2017. Pb formaldehid maculata) di Teluk Pelabuhanratu,
alami opah - final. Jakarta. Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. IPB.
Bogor.
Murtini T., Riyanto R., Priyanto N, Hermana I.
2014. Pembentukan Formaldehid Alami Widyastuti, Indah., dan Putro, Sumpeno. 2010.
Pada Beberapa Jenis Ikan Laut Selama Analisis Mutu Ikan Tuna Selama Lepas
Penyimpanan Dalam Es Curai. JPB Tangkap. Maspri Jurnal Vol 1 Hal 22-29.
Perikanan. 9(2): 143–151. Universitas Sriwijaya Indralaya.
Palembang.
Nurhayati, Tati., Abdullah, Asadatun., dan Sari,
Sharah N. 2019. Penentuan Formaldehid Zahra, Nadya. 2018. Perubahan Mutu Ikan Beloso
Ikan Beloso (Surida tumbil) Selama (Saurida tumbil) Selama Penyimpanan
Penyimpanan Beku. JPHPI 2019, Suhu Dingin [skripsi]. Institut Pertanian
Volume 22 Nomor 2. IPB. Bogor. Bogor. Bogor.

Nurjanah, Setyaningsih I, Sukarno, Muldani M.


2004. Kemunduran mutu ikan nila merah
(Oreochromis Sp.) selama penyimpanan
pada suhu ruang. Buletin Teknologi Hasil
Perikanan 7(1): 37-42.

Purwaningsih, S. 2000. Teknologi Pembekuan


Udang Cetakan ke-2. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Putri, A. K., Anissah, U., Ariyani, F., & Wibowo, S.


2018. Probabilistic Health Risk
Assessment Due to Natural
Formaldehyde Intake Through Opah
Fish (Lampris Guttatus) Consumption in
Indonesia. Squalen Bulletin of Marine
and Fisheries Postharvest and
Biotechnology, 13(2), 69-78.

Rahmawati, Hefi. 2017. Identifikasi Kandungan


Formalin Pada Ikan Asin yang Dijual Di
Kawasan Sukarame, Bandar Lampung

Anda mungkin juga menyukai