Anda di halaman 1dari 15

Praktikum ke-10

m.k. Fisiologi, Formasi, dan


Degradasi Metabolit Hasil Perairan

Hari, Tanggal : Kamis, 30 April 2015


Asisten
: Titot Bagus Arifianto

PROSES KEMUNDURAN MUTU IKAN

Rizka Mailina Putri Afifah


C34130088
Kelompok 4
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan menurut Mahatmanti et al. (2010) merupakan produk pangan yang
sangat mudah rusak. Kerusakan pada ikan mulai terjadi setelah penangkapan atau
setelah ikan mati. Cara penangkapan serta alat tangkap, kondisi suhu dan spesies
ikan dapat mempengaruhi cepat atau lambatnya proses kemunduran mutu ikan.
Pendinginan atau perlakuan dengan suhu yang rendah akan memperpanjang umur
simpan ikan sehingga kerusakan atau kemunduran mutu ikan dapat dihambat.
Ikan segar di pasaran sudah mulai diminati oleh banyak konsumen.
Permasalahan yang selalu dihadapi menurut Nurhayati et al. (2011) adalah
mudahnya ikan yang mengalami kemunduran mutu. Selain disebabkan oleh suhu,
alat serta cara penangkapan, spesies dan kebersihan ternyata enzim yang secara
alami berada di dalam tubuh ikan pun dapat mempengaruhi proses kemunduran
mutu. Salah satu enzim yang berperan dalam proses kemunduran mutu adalah
katepsin. Enzim katepsin berperan dalam pelunakan tekstur daging ikan akibat
degradasi protein miofibril sehingga mempercepat proses kemunduran mutu.
Mutu ikan menurut Munandar et al. (2009) dapat terus dipertahankan jika
ikan tersebut ditangani dengan hati-hati (carefull), bersih (clean), disimpan dalam
ruangan dengan suhu yang dingin (cold), dan cepat (quick). Ikan akan lebih cepat
memasuki fase rigor mortis dan berlangsung lebih singkat pada suhu ruang. Jika
fase rigor tidak dapat dipertahankan lebih lama maka pembusukan oleh aktivitas
enzim dan bakteri akan berlangsung lebih cepat. Aktivitas enzim dan bakteri
tersebut menyebabkan perubahan yang sangat pesat sehingga ikan memasuki fase
post rigor. Fase post rigor ini menunjukan bahwa mutu ikan sudah rendah dan
tidak layak untuk dikonsumsi.

Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari pola kemunduran mutu ikan
dari segi organoleptik, kimiawi, biokimiawi, serta aktivitas enzim proteolitik.
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Praktikum proses kemunduran mutu ikan dilaksanakan pada hari Jumat, 23
April 2015 pada pukul 14.00-16.00 WIB dan Kamis, 29 April 2015 pukul 16.0018.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku
Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada praktikum proses kemunduran mutu ikan
yaitu ikan patin (pre rigor, rigor, dan post rigor), akuades, TCA 7%, K2CO3, asam
borat, dan HCL. Alat yang digunakan pada praktikum yaitu scoresheet
organoleptik, alat bedah, wadah, homogenizer, pH meter, kertas saring, dan cawan
conway.
Prosedur Kerja
Organoleptik
Ikan patin yang digunakan dimatikan terlebih dahulu. Setelah dimatikan,
ikan patin kemudian ditimbang dan diukur morfometriknya. Setelah diukur
morfometriknya, kemunduran mutu ikan diuji secara organoleptik tiap satu jam
sekali. Pengujian dilakukan hingga ikan mencapai fase post rigor. Diagram alir
prosedur kerja Praktikum Proses Kemunduran Mutu Ikan dapat dilihat pada
Gambar 1.
Ikan patin

Pematian ikan

Pengukuran morfometrik

Pengujian organoleptik tiap satu


jam sekali

Data organoleptik kemunduran


mutu ikan

Keterangan:

: Awal dan akhir proses


: Proses
: Lanjutan proses

Gambar 1 Diagram alir prosedur kerja analisis organoleptic.


Analisis pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan cara
dikalibrasi terlebih dahulu. Sampel sebanyak 10 gram digiling dan
dihomogenisasi dengan 90 ml air destilat. Homogenate diukur dengan pH meter
yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer standar pH 4 da 7. Diagram alir
prosedur pengukuran pH dapat dilihat pada Gambar 2.
Sampel 10 gram

Homogenisasi dengan akuades 90


ml

Pengukuran pH dengan pH meter

Data pH ikan patin

Keterangan:

: Awal dan akhir proses


: Proses

Gambar 2 Diagram alir prosedur kerja pengukuran pH.


Analisis TVB
Sebanyak 15 gram adging ikan patin yang sudah dicacah dihomogenasi
dengan 45 ml TCA 7%. Campuran tersebut disentrifugasi pada kecepatan 3000
rpm selama 10 menit, sehingga didapatkan supernatant yang siap untuk dianalisis.
Sebanyak 1 ml larutan asam borat dimasukkan ke inner chamber cawan conway.
Sementara itu larutan sampel jernih dimasukkan dengan jumlah yang sama ke
outer chamber cawan conway. Dalam kondisi setengah tertutup, 1 ml larutan
K2CO3 jenuh dimasukkan ke dalam outer chamber cawan conway yang lain,
cawan segera ditutup. Blanko dikerjakan seperti contoh, namun menggunakan
larutan TCA 5%. Cawan disimpan selama 2 jam pada suhu 37 0C. titrasi dilakukan
terhadap larutan asam borat menggunakan HCL 0.02 N hingga mencapai warna
merah muda. Diagram alir prosedur pengukuran TVB dapat dilihat pada Gambar
3.
15 gram sampel

Homogenisasi dengan TCA 7% 45


ml

Penyaringan

Filtrat

Pemasukan 1 ml lar. asam borat ke


inner chamber

Pemasukan 1 ml filtrat sampel ke


outer chamber

Pemasukan 1 ml K2CO3 jenuh ke


outer chamber lainnya

Penyimpanan selama 2 jam pada


suhu 37 0C

Titrasi dengan HCL 0.02 N

Data

Keterangan:

: Awal dan akhir proses


: Proses
: Lanjutan proses
Gambar 3 Prosedur kerja pengukuran kadar TVB.
Analisis Aktivitas Katepsin

Kasein dilarutkan ke dalam akuades dengan perbandingan 1:3, kemudian


pH dibuat menjadi 2,0 dengan HCl 1 N dan konsentrasi akhir hemoglobin dibuat
sebesar 2% dengan akuades. Sebanyak 1 ml dari larutan diinkubasi dengan
sejumlah larutan enzim pada 37 C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan
penambahan 2 ml TCA 7% . campuran disaring dan hasil reaksi yang dapat larut
ditambah dengan pereaksi folin serta diukur pada 720 nm. Diagram alir prosedur
kerja uji aktivitas enzim katepsin dapat dilihat pada Gambar 4
Kasein

Perlakuan sampel
1 ml buffer tris
1 ml kasein
1 ml katepsin

Perlakuan standar
1 ml buffer tris
1 ml kasein
1 ml tirosin

Inkubasi pada suhu


370C, 10 menit

Penambahan TCA
7% 1 ml

Perlakuan blanko
1 ml buffer tris
1 ml kasein
1 ml akuades

Penyaringan

Filtrat

Penambahan folin 1
ml

Inkubasi selama 10
menit

Pengukuran
absorbansi pada 720
nm
Data

Keterangan:

: Awal dan akhir proses


: Proses
: Lanjutan proses

Gambar 4 Prosedur kerja analisis aktivitas enzim katepsin.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Organoleptik
Ikan yang digunakan dalam pengujianproses kemunduran mutu adalah
ikan patin. Ikan diukur morfometriknya terlebih dahulu yang meliputi tinggi dan
lebae badan, panjang baku serta berat. Uji organoleptik kemudian dilakukan setiap
satu jam sekali. Hasil pengukuran morfometrik dapat dilihat pada Tabel.
Tabel 1 Data morfometrik ikan patin
Ikan
Patin

Berat (g)
305

P.total (cm)
31.8

P.baku (cm)
29.3

Lebar (cm)
3.7

Tinggi (cm)
11.3

Rata-rata morfometrik yang diperoleh ikan patin adalah sebesar 29,3 cm


pada panjang baku. Lebar rata-rata ikan sebesar 3,7 cm. Tinggi badan rata-rata
sebesar 11,3 cm dan berat rat-rata sebesar 305 gram.

Indikator uji organoleptik seperti mata, insang, daging, tekstur, bau dan
lendir menunjukkan penurunan yang terjadi pada setiap waktu pengamatan.
Insang dan lendir tubuh ikan menunjukkan fase awal post rigor pada jam ke 12
hingga 14 ditandai dengan nilai skor organoleptik 5. Bau serta tekstur merupakan
indikator yang paling cepat menurun, pada jam ke 11 hingga 12 skor organoleptik
yang diperoleh adalah 5 dan menurun drastis menjadi 1 pada jam ke 14. Grafik
penurunan mutu ikan dapat dilihat pada Gambar 5.
10
8
6
nilai organoleptik

4
2
0

10

12

14

16

waktu (jam)
M ata
Daging

Insang
Bau

Lendir
Tekstur

Gambar 5 Grafik nilai organoleptik ikan patin.


Pengujian organoleptik menurut Naibaho et al. (2013) adalah pengujian
yang didasarkan pada proses pengindraan pengukuran atau penilaian dilakukan
dengan memberikan rangsangan atau benda rangsang pada alat atau organ tubuh
(indra), sehingga pengukuran ini disebut juga pengukuran atau penilaian subyketif
atau penilaian organoleptik atau penilaian indrawi. Pengujian organoleptik adalah
pengujian yang didasarkan pada proses pengindraan. Pengindraan diartikan
sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu kesadaran atau pengenalan alat indra
akan sifat-sifat benda karena adanya rangsangan yang diterima alat indra yang
berasal dari benda tersebut. Reaksi atau kesan yang ditimbulkan karena adanya
rangsangan dapat berupa sikap untuk mendekati atau menjauhi, menyukai atau
tidak menyukai akan benda penyebab rangsangan. Kesadaran, kesan dan sikap
terhadap rangsangan adalah reaksi psikologis atau reaksi subyektif. Kelebihan dari
uji organoleptik adalah relevansi yang tinggi dengan mutu produk karena
berhubungan langsung dengan selera konsumen. Selain itu, metode ini cukup
mudah dan cepat untuk dilakukan, hasil pengukuran dan pengamatannya juga
cepat diperoleh. Uji organoleptik juga memiliki kelemahan dan keterbatasan
akibat beberapa sifat indrawi tidak dapat dideskripsikan. Manusia merupakan
panelis yang kadang-kadang dapat dipengaruhi oleh kondisi fisik dan mental,
sehingga panelis dapat menjadi jenuh dan menurun kepekaannya. Selain itu dapat
terjadi pula salah komunikasi antara manajer dan panelis (Unimus 2013).
Fase post rigor pada ikan patin terjadi setelah 11 jam ikan tersebut
dimatikan. Ikan patin yang akan diuji organoleptik sebelumnya dimatikan terlebih
dahulu dengan cara menusuk bagian kepalanya supaya ikan tidak meronta-ronta.
Herawati et al. (2014) melakukan penelitian pengaruh cara kematian terhadap

kemunduran mutu ikan mas. Herawati et al. (2014) menyatakan bahwa ikan mas
yang dimatikan langsung akan lebih bertahan lama terhadap proses kemunduran
mutu karena ikan tidak terlalu banyak mengeluarkan energi. Perbedaan yang ada
pada hasil penelitian tersebut dan yang telah dipraktikumkan hanya pada spesies
yang digunakan. Perbedaan spesies dapat berpengaruh terhadap proses
kemunduran mutu karena kandungan kimia maupun kandungan mikroba di dalam
tubuh antar spesies berbeda.
Tahap kemunduran mutu ikan menurut Sanger (2010) dibagi menjadi
tiga, yaitu pre rigor, rigor mortis dan post rigor. Ikan pre rigor memiliki kondisi
seperti ikan hidup dengan nilai organoleptic 9-8. Amat segar atau segar, apabila
kondisi ikan masih berada dalam tahap rigormortis dengan nilai organoleptik 8-7.
Kurang segar, apabila kondisi ikan berada dalam tahap post rigor hingga
dinyatakan busuk dengan nilai organoleptic <6. Standar mutu ikan segar menurut
SNI 01-2729.2-2006 adalah semua jenis ikan hasil perikanan yang baru ditangkap
atau panen dan belum mengalami penangan dan pengolahan. Bentuk bahan baku
berupa ikan segar yang sudah atau belum disiangi. Bahan baku berasal dari
perairan yang tidak tercemar. Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang
menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas
dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak
membahayakan kesehatan, secara organoleptik bahan baku harus mempunyai
karakteristik kesegaran seperti kenampakan (mata cerah, cemerlang), bau (segar),
tekstur (elastis, padat dan kompak). Penyimpanan bahan baku yang terpaksa harus
disimpan dalam wadah yang baik dan tetap dipertahankan suhunya dengan
menggunakan es curai sehingga suhu pusat bahan baku mencapai suhu maksimal
5C, saniter dan higienis.
Analisis pH
Nilai pH yang diperoleh dari ikan patin yang diuji sangat beragam
dengan selisih yang sedikit. Nilai pH pada jam ke-0 sebesar 6,42. Nilai pH pada
jam ke-4 sebesea 6,33 dan nilai pH pada jam ke-12 sebesar 6,32. Perubahan nilai
pH disebabkan oleh kemunduran mutu ikan yang terjadi mulai dari pre rigor,
rigor mortis hingga post rigor. Grafik perubahan nilai pH ikan patin dapat dilihat
pada Gambar 6.

6.42
7

6.33

6.32

6
5

pH 4
3
2
1
0

10

12

Waktu (Jam)

Gambar 6 Grafik nilai pH ikan patin.


Derajat keasaman (pH) merupakan jumlah konsentrasi ion hidrogen dalam
larutan, atau dapat pula didefinisikan sebagai logaritma resiprokal ion hidrogen.
Aspek yang diukur adalah kemampuan dari suatu larutan dalam mendonorkan ion
hidrogen. Nilai pH menunjukkan kondisi dari suatu larutan. Jika pH rendah atau
kurang dari 7 maka larutan tersebut bersifat asam, jika pH larutan lebih dari 7
maka sifat dari larutan tersebut adalah basa (Hermawan 2012).
Nurilmala et al. (2009) menyebutkan bahwa pH akan cepat berubah karena
jumlah kandungan glikogen yang terkandung dalam daging. Glikogen dalam
daging dapat disebabkan oleh stress yang terjadi saat pematian ikan sehingga
cadangan glikogen dagingnya berkurang sehingga asam laktat menumpuk pada
ototnya.
Kadar pH pada ikan patin menurun saat memasuki tahap rigor mortis, pada
tahap pre rigor dan post rigor pH dari ikan patin kembali meningkat. Kadar pH
pada jam ke 0 atau pada saat pre rigor sebesar 6,42, kadar pH pada jam ke-4 atau
pada fase rigor mortis sebesar 6,33 dan kadar pH pada jam ke-12 atau pada tahap
post rigor sebesar 6,32. Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh
Friski et al. (2012) terhadap ikan patin memiliki hasil yang tidak berbeda jauh
dengan hasil praktikum yang telah dilakukan. Hasil yang diperoleh Friski et al.
(2012) dari 0 hingga 12 jam memiliki nilai pH sebesar 6.49, 6.49, 6.52, 6.57 dan
6.75. perbedaan nilai pH yang diperoleh disebabkan oleh perbedaan perlakuan
yang diberikan, ikan patin sampel tidak diberikan perkakuan sedangkan ikan patin
literatur diberi perlakuan dengan disimpan dalam air dingin.
Kemunduran mutu ikan dapat mempengaruhi nilai pH yang dimiliki ikan.
Suplai oksigen yang terhenti pada ikan dapat menyebabkan pemecahan glikogen
menjadi asam laktat pada otot ikan. Asam laktat yang menumpuk pada otot ikan
akan menyebabkan penurunan nilai pH pada daging ikan (Wangsadinata 2008).
Analisis TVB
Kadar TVB ikan patin akan semakin meningkat seiring dengan semakin
lamanya penyimpanan. Kadar TVB pada waktu 0 jam atau fase pre rigor sebesar
10,70%, kadar TVB saat 4 jam atau saat ikan patin telah memasuki masa rigor

mortis sebesar 11,24% dan kadar TVB saat ikan patin memasuki 10-12 jam atau
sudah memasuki tahap post rigor sebesar 12,84%. Grafik kadar TVB ikan patin
dapat dilihat pada Gambar 7.

14

12.84
11.24

12
10.70
10
8

Kadar TVB (%)

6
4
2
0

10

12

Waktu (Jam)

Gambar 7 Grafik kadar TVB ikan patin.


Uji TVB menurut Susanto et al. (2011) merupakan pengujian yang
dilakukan untuk mengetahui proses kemunduran mutu ikan berdasarkan
munculnya basa yang mudah menguap seperti ammonia. Nilai TVB dipengaruhi
oleh jumlah non-protein nitrogen yang ada pada ikan, yang semuanya tergantung
pada tipe makanan, musim penangkapan dan ukuran ikan. Meningkatnya kadar
TVB disebabkan oleh enzim proteolitik menjadi asam karboksilat, asam sulfida,
ammonia maupun jenis asam lain. Total Volatile Base (TVB) menurut
Ozogul et al. (2004) terjadi akibat enzim katepsin yang aktif sehingga mampu
menguraikan protein menjadi basa-basa volatil. Karungi et al. (2003) pun
menyebutkan bahwa aktivitas mikroba atau bakteri pembusuk selama
penyimpanan dapat mendegradasi protein menjadi basa volatil seperti amoniak,
histamin, dan trimetilamin.
Kadar TVB ikan patin yang diuji mengalami peningkatan secara terusmenerus. Kadar TVB tertinggi adalah 12,84% pada waktu 11-12 jam dan kadar
TVB terendah adalah 10,70% pada waktu 0 jam. Penelitian yang telah dilakukan
oleh Kaparang et al. (2013) terhadap ikan tandipang (Dussumieria acuta C.V)
memiliki hasil yang sangat berbeda dengan ikan patin yang telah dipraktikumkan.
Ikan tadipang tersebut diuji dalam bentuk olahan atau sudah diasap sedangkan
ikan patin yang digunakan adalah ikan patin segar tanpa pengolahan. Selain itu
spesies ikan pun dapat menentukan perbedaan kadar TVB yang dihasilkan karena
perbedaan kandungan protein maupun nitrogen lain dalam tubuhnya. Lama
penyimpanan pun dapat mempengaruhi kadar TVB pada tiap jenis ikan. Ikan
tandipang yang diteliti memiliki kadar TVB tertinggi sekitar 96,60 mgN/100 gram
setelah penyimpanan selama 40 hari dan terendah sebesar 64,80 mgN/100 gram
tanpa penyimpanan. Kadar TVB tersebut sangat berbeda dengan ikan patin.
Aktivitas Enzim Katepsin

Aktivitas enzim katepsin akan semakin meningkat dengan pesat selama


pre rigor hingga rigor mortis. Aktivitas enzim katepsin pada saat fase pre rigor
sebesar 0,022. Aktivitas enzim katepsin pada fase rigor mortis sebesar 0,174.
Aktivtas enzim katepsin masih tetap meningkat sedikit saat menjelang post rigor.
Fase post rigor memiliki aktivitas enzim katepsin sebesar 0,181. Grafik aktivitas
enzim katepsin dapat dilihat pada Gambar 8.
0.2

0.18

0.17

0.18
0.16
0.14
0.12

Aktivitas katepsin

0.1
0.08
0.06
0.04
0.02 0.02
0

10

12

Waktu (jam)

Gambar 8 Grafik aktivitas enzim katepsin.


Enzim katepsin menurut Fikri et al. (2014) tergolong dalam jenis enzim
proteolitik. Enzim tersebut menguraikan protein menjadi pepton, peptida dan
asam amino. Perubahan oleh enzim tersebut dapat menyebabkan munculnya
akumulasi metabolit, perubahan cita rasa dan tekstur yang melunak, adanya
komponen basa volatil serta meningkatnya jumlah bakteri pembusuk pada ikan.
Fentiana (2009) telah melakukan pengujian terhadap aktivitas enzim
katepsin pada ikan bandeng sebelumnya. Aktivitas enzim katepsin yang dimiliki
ikan patin sebesar 0,022 pdada awal fase pre rigor yaitu jam ke-0 dan kemudian
meningkat tajam pada fase rigor mortis sebesar 0,174 pada jam ke-4. Kenaikan
enzim katepsin mulai sedikit pada jam ke-11, perbedaan aktivitasnya dengan fase
rigor mortis pun tidak terlalu berbeda jaun. Fase post rigor memiliki aktivitas
enzim katepsin sebesar 0,181. Aktivitas enzim katepsin ikan bandeng yang telah
diteliti oleh Fentiana (2009) pun memiliki struktur peningkatan yang hampir
sama. Aktivitas enzim katepsin pada ikan bandeng terus meningkat mulai jam ke0 hingga jam ke-15 dan kemudian menurun hingga jam ke-20. Kenaikan aktivitas
enzim katepsin yang sangat besar terjadi pada jam ke-10 hingga jam ke-15.
Perbedaan waktu peningkatan aktivitas enzim katepsin yang diperoleh dari ikan
patin dan ikan bandeng dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis ikan, ukuran atau
berat tubuh ikan serta cara kematian dan perlakuannya.
Enzim katepsin pada ikan menurut Simpson (2000) akan mulai aktif saat
ikan memasuki tahap rigor mortis. Nilai pH yang semakin menurun pada fase
rigor mortis dapat menyebabkan enzim katepsin menjadi aktif. Nilai pH yang
menurun diakibatkan oleh peristiwa glikolisis pada saat fase pre rigor.

Pengaktifan enzim katepsin menurut Jiang (2000) menyebabkkan terjadinya


penguraian rotein menjadi senyawa basa volatil yang dapat meningkatkan kembali
pH pada ikan dan meningkatkan jumlah koloni bakteri pembusuk. Aktivitas enzim
katepsin tersebut dapat mempengaruhi tekstur daging ikan. Daging ikan akan
kehilangan fleksibilitasnya sehingga jaringan daging menjadi lunak.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Ikan merupakan sumber bahan pangan yang mudah busuk. Tingkat
kesegaran ikan dapat diuji dengan berbagai metode, yaitu uji organoleptik, uji
nilai pH, analisis TVB dan analisis aktivitas enzim proteolitik seperti katepsin.
Ikan segar akan memiliki skor 9-7 pada skor organoleptik, nilai pH pun akan
berubah seiring dengan kemunduran mutu ikan. Ikan yang masih dalam fase pre
rigor akan memiliki pH yang lebih besar dari fase rigor mortis dan kemudian pH
tersebut akan meningkat kembali saat memasuki fase post rigor. Nilai TVB yang
dimiliki ikan akan semakin meningkat seiring dengan tahap kemunduran
mutunya. Nilai TVB dipengaruhi oleh basa volatil yang terbentuk karena proses
degradasi protein pada daging ikan dan dapat disebabkan oleh aktivitas enzim.
Aktivitas enzim yang dapat mendukung terjadinya proses kemunduran mutu ikan
adalah enzim proteolitik seperti enzim katepsin. Enzim katepsin akan aktif saat
pH ikan menurun.
Saran
Sampel yang digunakan pada uji proses kemunduran mutu ikan dapat lebih
beragam lagi. Metode uji pun dapat lebih diperkaya. Hasil uji yang diperoleh dari
sampel yang beragam dan metode yang beragam dapat dijadikan perbandingan
terhadap proses kemunduran mutu pada tiap jenis ikan.
DAFTAR PUSTAKA
(BSN) Badan Standarisasi Nasional. 2006. SNI 01-2729.2-2006. Ikan segar Bagian 2: Persyaratan bahan baku. Jakarta (ID): Badan Standarisasi
Nasional.
Fentiana N. 2009. Peranan enzim protease jeroan ikan bandeng (Chanos chanos)
dalam proses kemunduran mutu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Fikri MZ, Nurhayati T, Salamah E. 2014. Ekstraksi dan karakterisasi parsial
ekstrak kasar enzim katepsin dari ikan patin. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan. 25(1): 119-123.
Friski Y, Sari NI, Suparmi. 2012. Studi penanganan ikan patin (Pangasius
hypopthalamus) segar dengan perlakuan yang berbeda. Jurnal Akuatik.
1(1): 1-7.

Herawati DP, Darmanto YS, Romadhon. 2014. Pengaruh cara kematian dan
tahapan penurunan kesegaran ikan terhadap kualitas pasta ikan mas
(Cyprinus carpio). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil
Perikanan. 3(3): 23-31.
Hermawan A. 2012. Hubungan salinitas terhadap persebaran ikan medaka kepala
timah (Aplocheilus panchax) di Sungai Opak Daerah Istimewa
Yogyakarta [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Negeri Yogyakarta.
Jiang ST. 2000. Enzymes and Their Effects on Seafood Texture. Di dalam: Haard
NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization and Influence
on Postharvest Seafood Quality. New York (US): Marcel Dekker Inc.
Kaparang R, Harikedua SD, Suwtja IK. 2013. Penentuan mutu ikan tandipang
(Dussunieria acuta C.V) asap kering selama penyimpanan suhu kamar.
Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. 1(1): 1-6.
Karungi C, Byaruhanga YB, Moyunga JH. 2003. Effect of pre-icing duration on
quality deterioration of iced perch (Lates niloticus). Journal of Food
Chemistry. 85: 13-17.
Mahatmanti FW, Sugiyo W, Sunarto W. 2010. Sintesis kitosan dan
pemanfaatannya sebagai anti mikrobia ikan segar. Sainteknol. 8(2): 101111.
Munandar A, Nurjanah Nurilmala M. 2009. Kemunduran mutu ikan nila
(Oreochromis niloticus) pada penyimpanan suhu rendah dengan
perlakuan cara kematian dan penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan
Hasil Perikanan Indonesia. 7(2): 88-101.
Naibaho OH, Yamlean PVY, Wiyono W. 2013. Pengaruh basis salep terhadap
formulasi sediaan salep ekstrak daun kemangi (Ocimum sanctum L.)
pada kulit punggung kelinci yang dibuat infeksi Staphylococcus aureus.
PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi. 2(2): 27-33.
Nurhayati T, Salamah E, Tampubolon K, Aprilan A. 2011. Peranan inhibitor
katepsin dari ikan patin (Pangasius hypophthalmus) untuk menghambat
kemunduran mutu ikan bandeng (Chanos chanos Forskal). Jurnal
Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 14(1): 49-55.
Nurilmala M, Nurjanah, Utama RH. 2009. Kemunduran mutu ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan
cara mati. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 7(1): 1-16.
Ozogul Y, Ozyurt G, Ozogul F, Kuley E, Polat A. 2004. Freshness assessment of
european eel (Anguilla anguilla) by sensory, chemical
microbiological methods. Jornal of Food Chemistry. 92:745-751.

and

Sanger G. 2010. Mutu kesegaran ikan tongkol (Auxis tazard) selama penyimpanan
dingin. Warta WIPTEK. 35: 39-43.
Simpson BK. 2000. Digestives Proteinases from Marine Animals. Di dalam:
Haard NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization and
Influence on Postharvest Seafood Quality. New York (US): Marcel
Dekker Inc.

Susanto E, Agustini TW, Swastawati F, Surti T, Fahmi AS, Albar MF, Nafis MK.
2011. Pemanfaatan bahan alami untuk memperpanjang umur simpan ikan
kembung (Rastrelliger neglectus). Jurnal Perikanan. 8(2): 60-69.
(Unimus) Universitas Muhammadiyah Semarang. 2013. Modul Penanganan Mutu
Fisis (Organoleptik). Semarang (ID): Fakultas Teknologi Pangan,
Universitas Muhammadiyah Semarang.
Wangsadinata V. 2008. Sistem pengendalian mutu ikan swanggi (Priacanthus
macracanthus) (studi kasus di CV Bahari Express, Pelabuhan Ratu,
Sukabumi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

LAMPIRAN
Lampiran 1 Contoh perhitungan kadar TVB
Kadar TVB (%)

( ml HCl sampelml HCl blanko ) x 14.007 xFPxN HCl


x 100
bobot sampel
( 0.160.06 ) x 14.007 x 60 x 0.0191
=
x 100%
15
= 10.70%
Lampiran 2 Contoh perhitungan aktivitas enzim katepsin
UA1

=
=

(absorbansi sampelabsorbansi blanko)


(absorbansi standarabsorbansi blanko)
(0.030.03)
(0.0560.03)

=0
UA2

UArata-rata

(absorbansi sampelabsorbansi blanko)


(absorbansi standarabsorbansi blanko)
(0.040.036)
=
(0.0450.036)
= 0.044
UA 1UA 2
=
2
00.044
=
2
= 0.022
=

Anda mungkin juga menyukai