Anda di halaman 1dari 94

54

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengamatan Good Manufacturing Practises (GMP) Tuna Steak Beku di


PT Permata Marindo Jaya
5.1.1 Penerimaan bahan baku
Proses penerimaan bahan baku bertujuan untuk mendapatkan ikan tuna
yang terbebas dari bakteri patogen dan memenuhi persyaratan mutu, ukuran dan
jenis yang telah ditetapkan PT Permata Marindo Jaya (PMJ), hal ini sesuai
dengan SNI 3457 : 2014 bahwa tujuan dari proses penerimaan bahan baku
adalah mendapatkan bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu. Tuna yang
diterima oleh PT Permata Marindo Jaya adalah tuna jenis yellow fin dan big eye
dari approval supplier yaitu PT ALLEN, PT TOBA, PT Garuda Hasil Samudra, PT
Zhang Marina, PT Hasil Melimpah, PT KMC Indonesia, PT Kilat Maju Jaya, PT
Pahala Bahari Nusantara, PT Mahkota Jaya Samudra dan daerah
penangkapannya adalah WPP 577 atau di samudera hindia. Bahan baku yang
diterima dalam bentuk segar (fresh) maupun beku (frozen) dengan size fresh
adalah 10-15, 16-19, 20-29, 30 up dan size frozen adalah 10-19 an 20 up.
Bahan baku tuna segar biasanya dibongkar dari kapal dan dipindah ke
transit terlebih dahulu untuk dilakukan sortasi grade A, B, C, D dan penimbangan
berat ikan. Perbedaan grade ini didasarkan warna daging ikan, ukuran, bentuk
tubuh, kekerasan tekstur, kecerahan serta kandungan lemak daging tuna. Hal ini
sesuai dengan Wibowo (2007) yaitu untuk mendukung aktivitas tuna yang
bermigrasi menempuh jarah yang jauh maka diperlukan jaringan otot merah, oleh
karena itu daging tuna terdapat banyak jaringan otot merah yang menyebabkan
dagingnya berwarna merah. Penentuan grade mutu ikan tuna di pasaran
ditentukan beberapa hal termasuk warna daging ikan, ukuran, bentuk tubuh,
kekerasan tekstur, kecerahan serta kandungan lemak daging tuna. Grade A dan
B akan diolah menjadi sashimi sedangkan grade C dan D akan diolah menjadi
frozen tuna seperti steak, saku, ground meat dan lainnya sehingga dibeli oleh
perusahaan-perusahaan perikanan di sekitar Muara Baru untuk dijadikan bahan
baku termasuk PT Permata Marindo Jaya. Bahan baku dibawa ke perusahaan
menggunakan mobil box yang tertutup untuk menjaga suhu produk. Setelah
bahan baku sampai di perusahaan, bahan baku masuk ke ruang penerimaan
bahan baku. Jika bahan baku berbentuk segar maka masuk ke ruang
penerimaan bahan baku segar dan jika bahan baku berbentuk beku akan masuk
ke ruang penerimaan bahan baku beku. Data penerimaan bahan baku selama 2
55

bulan dapat dilihat pada lampiran 1. Prosedur penerimaan bahan baku yang
dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Bahan baku yang diterima harus dari approval supplier.
PT Permatsa Marindo Jaya memiliki sembilan supplier yang telah menjadi
approval supplier, yaitu PT ALLEN, PT TOBA, PT Garuda Hasil Samudra, PT
Zhang Marina, PT Hasil Melimpah, PT KMC Indonesia, PT Kilat Maju Jaya, PT
Pahala Bahari Nusantara dan PT Mahkota Jaya Samudra. Perusahaan-
perusahaan yang telah menjadi approval supplier PT Permata Marindo Jaya
telah memiliki sertifikat penunjang mutu, seperti sertifikat Hazard Analysis Critical
Control Points (HACCP), Sertifikat Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB) dan
hasil pengujian mikrobiologi dan kimia dari laboratorium eksternal. Hal ini untuk
menjamin bahan baku yang diterima oleh PT Permata Marindo Jaya telah sesuai
dengan standar mutu dan keamanan pangan. Contoh hasil pengujian
mikrobiologi dan kimia approval supplier dapat dilihat pada lampiran 2.
Supplier yang telah di approve PT Permata Marindo Jaya yang memiliki
kapal penangkapan juga memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat
Ijin Usaha Perdagangan (SIUP). Hal ini sesuai dengan FAO (2017) dokumen-
dokumen yag terdapat pada Catch Documented System (CDS) terdiri dari
sertifikat penangkapan dan sertifikat perdagangan, serifikat penangkapan
membuktikan bahwa operasi penangkapan yang dilakukan legal dan sertifikat
perdagagan digunakan untuk ijin ikan diperdagangkan.
Semua kapal penangkapan yang terdapat pada approval supplier di PT
Permata Marindo Jaya harus memiliki dokumen administratif dan registrasi kapal
seperti Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Bukti Pencatatan Kapal
Perikanan, surat keterangan aktivitas transmitter, logbook kapal, Surat Laik
Operasi (SLO), Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dan berita acara hasil
pemeriksaan kapal penangkapan ikan pada saat kedatangan dan hal ini seperti
sudah sesuai dengan standar FAO (2017).
2. Suhu bahan baku segar yang diterima PT Permata Marindo Jaya harus
kurang dari 4,40C dan bahan baku beku suhu pusat ikan kurang dari -180C.
3. Dekomposisi bahan baku yang diterima PT Permata Marindo Jaya harus
kurang dari 2,5%.
4. Penanganan yang cepat dan hati-hati oleh pekerja yang terlatih.
56

Monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah


1. Pengecekan daftar approval supplier oleh QC setiap kedatangan bahan
baku dan audit approval supplier setiap 1 tahun sekali.
QC melakukan pengecekan daftar supplier yang di approve ketika bahan
baku datang. Hanya approval supplier yang dapat memasok bahan baku ke PT
Permata Marindo Jaya, hal ini dikarenakan approval supplier sudah memiliki
dokumen-dokumen yang meliputi sertifikat Hazard Analysis Critical Control
Points (HACCP), Sertifikat Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB), hasil
pengujian mikrobiologi dan kimia dari laboratorium eksternal, Surat Ijin
Penangkapan Ikan (SIPI) atau Bukti Pencatatan Kapal Perikanan, surat
keterangan aktivitas transmitter, logbook kapal, Surat Laik Operasi (SLO), Surat
Persetujuan Berlayar (SPB) dan berita acara hasil pemeriksaan kapal
penangkapan ikan pada saat kedatangan dan audit secara berkala kepada
supplier-supplier yang di approve.
PT Permata Marindo Jaya melakukan audit supplier terlebih dahulu
sebelum menentukan supplier tersebut menjadi approval supplier dan
melakukan audit approval supplier setiap 1 tahun sekali untuk memastikan
supplier memasok bahan baku yang sesuai persyaratan perusahaan. Audit
supplier meliputi kelengkapan dokumen meliputi sertifikat Hazard Analysis
Critical Control Points (HACCP), Sertifikat Cara Penanganan Ikan yang Baik
(CPIB), hasil pengujian mikrobiologi dan kimia dari laboratorium eksternal, Surat
Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Bukti Pencatatan Kapal Perikanan, surat
keterangan aktivitas transmitter, logbook kapal, Surat Laik Operasi (SLO), Surat
Persetujuan Berlayar (SPB) dan berita acara hasil pemeriksaan kapal
penangkapan ikan pada saat kedatangan dan audit secara berkala kepada
supplier-supplier yang di approve. Perusahaan juga melakukan audit terhadap
cara penanganan ikan setelah mati di kapal dan saat bongkaran apakah
menerapkan Good Handling Practises (GMP) atau tidak.
FDA (2011) menyatakan pembekuan dapat menginaktivkan beberapa
bakteri pembentuk histamin. Pembuangan isi perut dan insang dapat
mengurangi jumlah bakteri pembentuk histamin. Saat penulis melakukan
pengamatan terhadap penerapan Good Handling Practises (GMP) pada
supplier didapatkan penanganan pada ikan setelah kematian di kapal sudah
dilakukan dengan benar yaitu ikan dihilangkan ingsangnya dan dilakukan
pendinginan atau pembekuan. Suhu ikan segar pada saat bongkaran bisa
57

mencapai -0,50C sedangkan suhu ikan beku pada saat bongkaran belum
mencapai -180C yang menandakan terjadinya pembekuan lambat dan tidak
sempurna. Menurut Murniyati (2000) pembekuan lambat mengakibatkan
pembentukkan Kristal es yang besar, yang merusak dinding sel, dan ini
menyebabkan keehilangan cairan ikan dalam jumlah besar pada waktu ikan
beku dilelehkan. Makin kecil ukuran Kristal es yang terbentuk (jika ikan
dibekukan dengan cepat) menyebabkan sedikit kerusakan pada dinding sel, dan
hanya sedikit cairan ikan yang hilang waktu dilelehkan.
Penanganan saat bongkaran yang dilakukan terhadap ikan tidak
dilaksanakan dengan baik, yaitu Penanganan ikan yang dilakukan atau
Handling yang dilakukan adalah ikan diangkat dari wadah penyimpanan untuk
dinaikan ke bagian geladak kapal. Ikan diletakkan di lantai geladak kapal tanpa
alas. Namun kondisi lantai yang digunakan untuk meletakan ikan dalam
keadaan kotor serta kondisi pekerja kapal jauh dari higienis. Kondisi katrol
masih dalam keadaan cukup baik dan layak digunakan, namun beberapa alat
penangkapan yang digunakan kurang dirawat dan dijaga kebersihannya,
sehingga banyak yang sudah berkarat. Alat harus dijaga kebersihannya dan
dirawat dengan baik, hal ini bertujuan untuk mencegah kontaminasi silang pada
produk melalui peralatan yang digunakan. Pembongkaran ikan dilakukan
dengan menggunakan sistem katrol.
Sanitasi semua kapal dan hygiene pekerja kapal pada saat proses
pembongkaran dalam keadaan yang buruk. Terlihat dari kondisi lantai yang
digunakan untuk meletakan ikan dalam keadaan kotor serta kondisi pekerja kapal
jauh dari higienis. Masih ada pekerja yang tidak menggunakan sepatu boat pada
saat melakukan proses pembongkaran dan tidak ada yang memakai penutup
kepala. Hygiene pekerja harus benar-benar diperhatikan. Hal ini dimaksudkan
agar pekerja yang menangani produk tidak menjadi sumber kontaminasi.
Persyaratan bagi pekerja yaitu harus menggunakan pakaian kerja yang lengkap
dan bersih, rambut harus ditutup dengan penutup kepala yang rapat, bersih dan
dalam kondisi yang baik, tangan dicuci setiap kali akan memulai kerja, serta
pekerja dilarang merokok, meludah dan makan di area penyimpanan serta harus
dilengkapi rambu-rambu tanda larangan tersebut (DKP 2007).
PT Permata Marindo Jaya memverifikasi hasil pengujian supplier yang di
approve terutama pengujian histamin dan pengujian mikrobiologi yang meliputi
Angka Lempeng Total (ALT), E. colli, Salmonella dan Listeria monocytogenes
58

secara internal yaitu di laboratorium internal PT Permata Marindo Jaya dan


secara eksternal pada laboratorium terakreditasi. Pengujian mikobiologi secara
internal dilakukan setiap kedatangan bahan baku dan pengujian eksternal
dilakukan setiap 3 bulan sekali atau tergantung permintaan pembeli (buyer).
Pengujian logam berat meliputi merkuri, timbal dan kadium dilakukan secara
eksternal yaitu setiap 3 bulan dan setiap 6 bulan sekali. Untuk prosedur uji
mikrobiologi, kimia dan hasil pengujian logam berat dilihat pada lampiran 3.
PT Permata Marindo Jaya melakukan pengujian histamin dengan cara
mengkompositkan tiga ikan menjadi satu sampel. Jumlah sampel yang diuji
adalah 6 sampel atau 18 ikan. Batas kritis histamin menurut FDA adalah 50 ppm
untuk pengujian secara individual, batas kritis pada PT PMJ menjadi 17 ppm
dikarenakan ada 3 ikan yang dikompositkan menjadi satu, sehingga 50 ppm
dibagi tiga dihasilkan standar baru kadar histamin yang dipakai PT Permata
Marindo Jaya yaitu 17 ppm.
2. Pengecekan suhu bahan baku oleh QC saat kedatangan bahan baku.
Quality Control (QC) mengecek suhu ikan sebanyak 1 ikan/1.000 pouds/
454 kg atau minimal 12 ikan per lot kedatangan dengan standar suhu bahan
baku segar <4,40C dan bahan baku beku <-180C. Hal ini sesuai dengan FDA
(2011) bahwa ukur suhu ikan dengan menggunakan alat pengukur suhu ke ikan
yang kurang ditangani saat di kapal (misalnya kurang diberi es) yang dijadikan
perwakilan setiap lot. Ukur suhu minimal 12 ikan per lot kedatangan dan jika satu
lot kedatangan kurang dari 12 ikan maka ukur suhu semua ikan.
3. Pengecekan dekomposisi oleh QC saat kedatangan bahan baku.
QC menguji sensori ikan meliputi bau, warna dan tekstur. Hal ini bertujuan
mengetahui tingkat dekomposisi ikan. Standar dekomposisi ikan tidak lebih dari
2,5%. Hal ini sesuai dengan FDA (2011) bahwa dekomposisi ikan tidak boleh
lebih dari 2,5%.
4. Penanganan yang cepat dah hati-hati oleh pekerja yang terlatih saat
pembongkaran ikan maupun kedatangan bahan baku.
Penanganan bahan baku yang datang harus dilakukan cepat dah hati-hati
oleh pekerja yang terlatih untuk menunda kemunduran mutu bahan baku.
Tindakan koreksi yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya ketika
monitoring tidak sesuai adalah
1. Jika ada supplier yang tidak di approve pada penerimaan bahan baku, bahan
baku ditolak (reject). Jika ditemukan Bahan baku diuji terdapat kadar histamin
59

>17 ppm lakukan penolakan (reject) lot. Perusahaan berhenti memakai bahan
baku dari supplier (supplier tidak di approve) sampai mendapatkan bukti
bahwa pemasok tersebut telah memperbaharui cara penangkapan dan
penangan ikan di atas kapal sesuai standar dan evaluasi kontrol.
2. Jika suhu bahan baku yang diterima PT Permata Marindo Jaya lebih dari
4,40C (segar) atau -180C (beku), bahan baku diberi es dan dihold. PT
Permata Marindo Jaya melakukan pengujian kadar histamin dan mikobiologi
(E.colli dan Salmonella) apabila hasilnya memenuhi standar maka bahan baku
akan diproses namun apabila hasil pengujian tidak sesuai standar maka
bahan baku ditolak. Perusahaan berhenti memakai bahan baku dari supplier
(supplier tidak di approve) sampai mendapatkan bukti bahwa pemasok
tersebut telah memperbaharui cara penangkapan dan penangan ikan di atas
kapal sesuai standar dan evaluasi kontrol.
3. Jika dekomposisi bahan baku yang diterima PT Permata Marindo Jaya lebih
dari 2,5% bahan baku diberi es dan dihold. PT Permata Marindo Jaya
melakukan pengujian kadar histamin dan mikrobiologi (E.colli dan Salmonella)
apabila hasilnya memenuhi standar maka bahan baku akan diproses namun
apabila hasil pengujian tidak sesuai standar maka bahan baku ditolak.
Perusahaan berhenti memakai bahan baku dari supplier (supplier tidak di
approve) sampai mendapatkan bukti bahwa pemasok tersebut telah
memperbaharui cara penangkapan dan penangan ikan di atas kapal sesuai
standar dan evaluasi kontrol. Proses bahan baku masuk ke perusahaan dapat
diihat pada gambar 6.

Gambar 6. Penerimaan Bahan Baku (PT PMJ, 2019)


Pada gambar 6 dapat diketahui bahwa ikan masuk ke perusahaan melalui
suatu pintu kecil bertirai. Ikan ditarik dengan ganco oleh pegawai menuju meja
60

pencucian. Ikan juga diberi alas saat ditarik untuk menghindari kontak langsung
ikan dengan lantai. Quality Control (QC) mengecek suhu ikan sebanyak 1
ikan/1.000 pouds/ 454 kg atau minimal 12 ikan per lot kedatangan dengan
standar suhu <4,40C. Hal ini sesuai dengan FDA (2011) bahwa ukur suhu ikan
dengan menggunakan alat pengukur suhu ke ikan yang kurang ditangani dengan
baik saat di kapal (misalnya kurang diberi es) yang dijadikan perwakilan setiap
lot. Ukur suhu minimal 12 ikan per lot kedatangan dan jika satu lot kedatangan
kurang dari 12 ikan makan ukur suhu semua ikan.
5.1.2 Penerimaan Bahan Pengemas, Label dan CO
Bahan pengemas untuk tuna steak adalah jenis plastik vakum High
Density Polyethilen (HDPE) dari PT Century Mitra Sukses Abadi Tangerang, CO
dibeli dari PT Tira Austine Cikarang dan master carton dibeli dari PT Plastik
Karawang Flexindo Karawang. Ukuran kemasan vakum yang dipakai tuna steak
4,6/8 oz adalah 14,5 x 18 cm, ukuran 7/8 oz adalah 15 x 20 cm dan 9 up adalah
20 x 20 cm.
Prosedur pada penerimaan bahan pengemas di PT Permata Marindo
Jaya adalah
1. Hanya bahan pengemas, label dan CO yang sesuai spesifikasi PT Permata
Marindo Jaya yang dapat diterima.
Spesifikasi bahan pengemas yang dapat diterima pada PT Permata
Marindo Jaya adalah yang tidak berbau, berwarna, tidak bocor, dan tidak ada
kontaminasi dengan benda asing. PT Permata Marindo Jaya menerima CO
dengan kadar sebesar 40%, CO2 30% dan N2 sebesar 30% dan tekanan 80 Psi.
Label harus memuat nama produk, jenis ikan, nama spesies ikan, ukuran,
tanggal produksi, kode produksi, tanggal kadaluarsa, berat bersih, berat kotor,
negara pengekspor, approval number, label nutrisi, CO treated, petunjuk
konsumsi produk.
2. Keadaan mobil pengangkut, kemasan dan CO dalam keadaan tertutup dan
bersih.
3. Kedatangan bahan pengemas, label dan CO dilengkapi surat jalan yang
meliputi nomor surat jalan, jumlah barang, jenis barang, tanggal pengiriman,
nama perusahaan pengirim, nama pengemudi dan nama penerima produk.
Contoh surat jalan dapat dilihat pada lampiran 4.
61

4. Label yang kontak langsung dengan ikan harus terbuat dari bahan non
absorben, tinta dan pewarna yang digunakan pada label sudah diakui oleh
badan pemerintahan yang terakreditasi.
Monitong yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Pengecekan bahan pengemas, label dan CO oleh QC setiap kedatangan
bahan pengemas, label dan CO.
Pemeriksaan bahan pengemas dilakukan dengan cara mengisi
checksheet penerimaan bahan pengamas. Isi checksheet penerimaan bahan
pengamas terdiri dari tanggal penerimaan, jenis barang dan jumlah, nama
supplier, spesifikasi bahan pengemas, dan data pemeriksaan bahan pengemas
secara sensori. Bahan pengemas diperiksa dengan cara mengambil beberapa
sampel secara acak untuk dilakukan uji sensori yang terdiri dari parameter bau,
warna, kebocoran, dan kontaminasi benda asing. Sedangkan untuk uji
mikrobiologinya adalah dengan melakukan swabbing dan dihitung Angka
Lempeng Totalnya. Laporan hasil swabbing plastik dapat dilihat pada lampiran 5.
.Operator yang menerima bahan pengemas, label dan CO mengecek surat jalan
produk. Standar pengambilan sampel bahan pengemas mengacu pada SNI
2326:2010 tentang metode pengambilan contoh dan dapat dilihat pada tabel 17.
Tabel 17. Pengambilan Sampel pada Bahan Pengemas (BSN, 2010)
Besarnya lot Banyaknya jumlah Jumlah penyimpangan
sampel yang diperbolehkan
<4.800 6 1
4.801 – 24.000 13 2
24.001 – 48.000 21 3
48.001 – 84.000 29 4

Tabel 17 menjelaskan bahwa pengambilan sampel berdasarkan besarnya


lot. Jika lot <4.800 maka banya sampel yang diambil adalah 6 dan
penyimpangan yang diperbolehkan hanya satu. Jika besarnya lot 4.801 – 24.000
banyaknya ssampel yang diambil adalah 13 sampel dengan jumlah
penyimpangan yang diperbolehkan adalah 2 dan seterusnya.
Penerimaan CO juga dilengkapi dengan pengecekan hasil uji kadar dan
tekanan CO dari supplier yang menandakan gas CO yang diterima sesuai
dengan persyaratan buyer dan aman ditambahkan pada daging ikan. PT
Permata Marindo Jaya menggunakan kadar CO sebesar 40%, CO2 30% dan N2
sebesar 30% Hal ini tidak membahayakan kesehatan. Hal ini sesuai dengan FAO
62

(2005) ikan dapat diberi 40% CO, 30% O2 dan 30% N2 sebagai Modified
Atmosphere (MAP). Sedangkan menurut FDA (2007) pada rapatnya mengenai
Substances Generally Recognized As Safe (GRAS) menyatakan bahwa CO
aman digunakan dengan memberi label pada kemasan produk “CO treated”.
Tekanan yang digunakan untuk menyuntikkan produk dengan gas CO adalah 80
psi. Tekanan yang digunakan perusahaan ini atas permintaan buyer.
2. Pengecekan keadaan mobil pengangkut kemasan dan CO oleh operator
setiap kedatangan bahan kemasan, label dan CO.
Ketika bahan pengemas datang, operator mengecek kondisi kendaraan
yang mengangkut kemasan dan CO yang meliputi bagian luar kendaraan secara
umum dalam keadaan bersih, bak kendaraan harus dalam keadaan bersih tanpa
kotoran, lantai dan dinding bak kendaraan harus rata dan halus, tidak ada paku
atau baut dari bak kendaraaan yang keluar/lepas, bak kendaraan tidak berlubang
atau bocor, bak kendaraan tidak berbau asing, bak kendaraan harus kering, tidak
ada serangga pada kendaraan, kaca kepala kendaraan tidak pecah, khusus truk
terbuka harus dilengkapi terpal. Jika kondisi kendaraan memenuhi ketentuan-
ketentuan tersebut maka kendaraan diterima dan jika kendaraan tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan maka mobil ditolak.
3. Pengecekan surat jalan oleh operator yang menerima bahan pengemas, label
dan CO
4. Pengecekan bahan label oleh pekerja setiap pencetakkan label.
Label yang kontak langsung dengan ikan harus terbuat dari bahan non
absorben, tinta dan pewarna yang digunakan pada label sudah diakui oleh badan
pemerintahan yang terakreditasi.
Tindakan koreksi yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah :
1. Bahan pengemas, label dan CO yang tidak sesuai standar perusahaan
dilakukan penolakan (reject).
2. Jika keadaan mobil pengangkut kemasan dan CO dalam kondisi yang kotor
maka mobil tidak diperbolehkan masuk ke perusahaan.
3. Jika bahan pengemas, label dan CO tidak dilengkapi surat jalan maka reject.
4. Jika Label tidak sesuai standar perusahaan maka dilakukan penolakan
(reject).
63

5.1.3 Penyimpanan Bahan Kemasan, Label dan CO


Tujuan dari penyimapanan bahan kemasan, label dan CO adalah untuk
mencegah dan mengendalikan kontaminasi yang mungkin terjadi yang
menyebabkan turunnya mutu produk. Prosedur yang dapat dilakukan adalah
1. Ruang penyimpanan harus memiliki suhu ruangan yang tepat, tidak lembab
dan bersih untuk mencegah masuknya hewan pengerat.
2. Bahan pengemas, label dan CO harus disimpan terpisah dan diberi jarak 10-
15 cm dari dinding.
Monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Pengecekan suhu ruangan penyimpanan (280C) dan pengecekan
kebersihan ruangan oleh QC setiap hari.
2. Pengecekan penempatan bahan pengemas, label dan CO dalam ruangan
dan jarak dengan dinding oleh QC setiap hari.
Tindakan koreksi yang dilakukan oleh PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Jika suhu lebih dari 280C maka dilakukan setting suhu ulang dan apabila
ruangan dalam keadaan kotor dilakukan pembersihan ulang oleh karyawan.
2. Apabila bahan pengemas, label dan CO berada pada penempatan ruang
yang salah dan jarak dengan dinding tidak sesuai maka QC memindahkan
ke tempat yang sesuai.
5.1.4 Pencucian 1
Tujuan dari proses pencucian 1 adalah untuk menghilangkan kotoran
yang melekat pada tubuh ikan hal ini sesuai dengan SNI 01-4485.3-2006 tujuan
dari proses pencucian adalah menghilangkan sisa kotoran dan darah yang
menempel di tubuh ikan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen. Proses
pencucian dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Pencucian 1 (PT PMJ, 2019)


64

Pada gambar 7 dapat diketahui bahwa ikan tuna dicuci dengan cara
disikat dan disiram air kran dengan air ozon secara merata. Air yang digunakan
untuk proses pencucian adalah air yang bersumber dari PDAM (Perusahaan
Daerah Air Minum) yang telah memenuhi persyaratan air minum serta melewati
treatment penyinaran dengan sinar ultraviolet dan ozonisasi untuk membunuh
bakteri patogen pada air. Air tersebut digunakan untuk proses produksi, mencuci
peralatan, mencuci udang dan proses pembuatan flakes ices. Hal ini sesuai
dengan Rosal & Agüera (2008) bahwa air yang mengalami treatment ozon akan
mengurangi jumlah bakteri patogen yang dikandung air, untuk alur proses
treatment air dapat dilihat pada lampiran 6. Prosedur yang diterapkan di PT
Permata Marindo Jaya adalah
1. Kecukupan air yang sesuai standar air minum harus dapat menjangkau
seluruh permukaan tubuh ikan.
2. Suhu produk dipertahankan <4,40C (segar) dan <-180C (suhu pusat beku)
dan suhu air <250C.
3. Proses dilakukan dengan cepat dan hati hati.
Monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. QC melakukan pengecekan kecukupan air di tandon setiap hari, pengujian
fisik air setiap hari dan mikrobiologi dan kimia air setiap 3 bulan sekali.
Pengecekan visual terhadap kebersihan tubuh ikan setelah dicuci.
2. QC mengecek suhu produk pada perwakilan produk dan suhu air sebelum
proses dimulai.
3. QC memastikan proses pencucian tidak berlangsung lama.
Tindakan koreksi yang diterapkan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Jika air tandon habis maka dilakukan pengisian ulang air, apabila pengujian
fisik, mikrobiologi dan kimia tidak memenuhi standar maka dilakukan
treathment ulang dan jika tubuh ikan masih kotor maka dilakukan pencucian
ulang.
2. Jika suhu produk dan air tidak sesuai standar maka ditambahkan es atau
dibekukan ulang.
3. Training Karyawan.
Pengujian eksternal air dilakukan setiap 3 bulan sekali. Hasil pengecekan
fisik dan pengujian eksternal air dapat dilihat pada lampiran 7.
65

5.1.5 Penyimpanan Sementara


Bahan baku yang telah melewati proses pencucian kemudian dimasukkan
ke dalam bak penampungan ikan sementara untuk menunngu hasil uji histamin.
Jika hasil uji <17 ppm maka ikan akan mengalami proses selanjutnya. Bahan
baku ikan segar y dimasukkan ke bak penyimpanan sementara ditimbun dengan
flakes ices untuk menjaga suhu ikan <4,40C dan bahan baku ikan beku
dimasukkan ke cold storage bahan baku untuk menjaga suhu <-180C (suhu pusat
ikan beku). Bak penampungan berukuran panjang 249 cm, lebar 490 cm dan
tinggi 92 cm. Bak penampungan ikan ini dapat memuat 7 ton ikan tuna. Cold
storage ini memakai refrigeran amoniak dan kapasitas 2000 ton. Suhu Cold
storage adalah ≤-200C.
Prosedur yang diterapkan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Ikan segera dipindahkan ke bak penyimpanan sementara atau cold storage
bahan baku secepatnya.
2. Semua produk pada bak penyimpanan sementara terselimuti oleh es.
3. Suhu cold storage bahan baku ≤-200C.
4. Suhu ikan dipertahankan <4,40C (segar) dan<-180C (suhu pusat ikan beku).
5. Produk yang dikeluarkan dari cold storage bahan baku harus menerapkan
sistem First In First Out (FIFO).
6. Tidak membuka tutup cold storage secara sering sehingga tidak
menyebabkan fluktuasi suhu.
Tindakan monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Pengecekan kecukupan es yang menyelimuti ikan dalam bak penampungan
oleh QC setiap saat oleh pekerja.
2. Pengecekan suhu data logger yang dipasang pada bak penampungan
sementara dan cold storage oleh QC setiap saat.
3. QC memastikan tidak ada yang membuka tutup cold storage bahan baku
dengan sering.
4. QC mengecek suhu bahan baku setelah dikelaurkan dari bak penampungan
sementara maupun cold storage bahan baku.
Tindakan koreksi yang dilakukan adalah
1. Jika es sudah mulai mencair maka operator akan menambahkan es.
2. QC melakukan setting ulang suhu mesin jika lebih dari -200C.
3. Jika mesin rusak, cold storage harus dipastikan tertutup dan maintenance
memperbaiki mesin kurang dari 10 jam atau lakukan penggantian mesin.
66

4. Jika ada kerusakan pada data logger segera ganti dengan yang baru atau
perbaiki.
5. Training karyawan.
5.1.6 Pemotongan Kepala
Proses pemotongan kepala tergantung jenis bahan baku. Jika bahan
baku berbentuk beku (frozen) maka dilakukan dengan mesin sedangkan jika
bahan baku berbentuk segar (fresh) dilakukan dengan manual dengan
menggunakan pisau. Kepala harus dipindahkan secepat mungkin dari meja dan
dibuang ke bak penampungan limbah untuk mencegah terjadinya kontaminasi
bakteri. QC mengecek suhu ikan secara acak (random). Hal ini sesuai dengan
BSN (2006) tujuan penyiangan adalalah mendapatkan ikan yang bersih, tanpa
kepala dan isi perut serta mereduksi kontaminasi bakteri patogen.
Kepala tuna dijual secara lokal sedangkan ekor dan perut dibeli oleh
pengempul. Untuk perut (belly) diekspor ke negara-negara di asia seperti
Singapura, Jepang dan lainnya. Operator harus memotong kepala, ekor dan isi
perut secara cepat, hati-hati dan higienis untuk mencegah kenaikan suhu.
Operator harus mencuci dan melakukan sanitasi terhadap peralatan sebelum
dan setelah digunakan dan menyimpan peralatan pada tempat yang telah
disediakan. Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Operator mengasah pisau sebelum dan sesudah digunakan jika memakai
pisau manual.
2. Operator memastikan mata pisau mesin pemotong (band saw) tidak
berkarat.
3. Pemotongan kepala dan pembuatan loin dirancang secara berurutan dalam
satu ruangan untuk mencegah adanya delay proses.
4. Pemotongan kepala dilakukan oleh tenaga ahli.
5. Suhu produk dipertahankan <4,40C (segar) atau <-180C (suhu pusat ikan
beku).
6. Proses dilakukan dengan cepat dan hati-hati.
7. Kepala dan belly ikan dimasukan wadah terpisah tertentu yang diberi es dan
bersih.
8. Kepala dan belly ikan dipindahkan ke ruangan limbah padat dengan cepat.
9. Darah ikan dialirkan ke saluran limbah cair.
67

Monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah


1. QC mengecek ketajaman pisau dengan mencoba memotong ikan dengan
pisau tersebut sebelum proses.
2. QC mengecek mata pisau mesin band saw.
3. QC melakukan pengecekan visual hasil pemotongan setiap saat.
4. QC melakukan cek suhu perwakilan ikan setelah proses.
5. QC mengecek kecukupan es dan kebersihan wadah penampung kepala ikan
dan belly setiap saat.
6. QC memastikan darah dialirkan ke saluran pembuangan limbah cair saat
proses berlangsung.
7. QC memantau waktu dan kinerja operator setiap saat.
Tindakan koreksi yang dapat dilakukan adalah
1. Jika didapati pisau tumpul maka dilakukan pengasahan pisau ulang saat itu
juga.
2. Jika mata pisau mesin band saw berkarat maka dilakukan penggantian mata
pisau.
3. Jika terjadi kesalahan pemotongan maka operator di training ulang pada
waktu yang telah dijadwakan.
4. Jika ada suhu yang tidak sesuai maka ditambahkan dengan es saat itu juga.
5. Dilakukan penambahan es pada wadah kepala dan belly dan pencucian ulang
wadah jika didapati wadah kotor saat itu juga.
6. Jika terjadi delay proses maka produk di hold dan di dinginkan saat itu juga.
5.1.7 Pencucian II
Pencucian II bertujuan untuk menghilangkan sisa sisa-sisa isi perut dan
darah yang tersisa karena pemotongan kepala, ekor dan isi perut. Ikan dicuci
dengan air yang mengalir. Pencucian dilakukan dengan cara mengalirkan air
dingin ke seluruh permukaan produk sambil digosok menggunakan tangan
supaya kotoran dan sisa daging yang menempel pada produk dapat terlepas.
Proses ini dilakukan dengan cepat, bersih dan hati-hati. Pada proses pencucian,
setiap karyawan menggunakan pakaian kerja dan peralatan yang bersih
sehingga tidak menyebabkan terjadinya kontaminasi bakteri. Suhu produk dan
air selalu dimonitor dan dicatat oleh QC.
Air yang digunakan untuk proses pencucian adalah air yang bersumber
dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) yang telah memenuhi persyaratan
air minum serta melewati treatment penyinaran dengan sinar ultraviolet dan
68

ozonisasi untuk membunuh bakteri patogen pada air. Air tersebut digunakan
untuk proses produksi, mencuci peralatan, mencuci udang dan proses
pembuatan flakes ices. Hal ini sesuai dengan Rosal & Agüera (2008) bahwa air
yang mengalami treatment ozon akan mengurangi jumlah bakteri patogen yang
dikandung air. QC melakukan pengecekan organoleptik berupa air tidak boleh
berwarna, kesadahan tidak melebihi 500 mg/l, tidak keruh, tidak berasa dan tidak
berbau. QC juga melakukan cek klorin pada bak pencucian ikan yaitu 25-17 ppm
dan untuk pencucian alat 50-100 ppm. Untuk pengujian eksternal air dilakukan
setiap 3 bulan sekali. Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Kecukupan air yang sesuai standar air minum harus dapat menjangkau
seluruh permukaan tubuh ikan termasuk lender pada permukaannya.
2. Kecukupan air yang sesuai air minum dapat menghilangkan sisa darah dan
belly.
3. Suhu produk dipertahankan <4,40C (segar) dan <-180C (beku) dan suhu air
<250C.
4. Proses dilakukan dengan cepat, hati-hati dan bersih.
Monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. QC melakukan pengecekan kecukupan air di tandon setiap hari, pengujian
fisik air setiap hari dan mikrobiologi dan kimia air setiap 3 bulan sekali.
Pengecekan visual terhadap kebersihan tubuh ikan setelah dicuci.
2. QC mengecek suhu produk setiap perwakilan ikan dan suhu air sebelum
proses dimulai.
3. QC memastikan proses pencucian berlangsung cepat dan bersih.
Tindakan koreksi yang diterapkan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Jika air tandon habis maka dilakukan pengisian ulang air, apabila pengujian
fisik, mikrobiologi dan kimia tidak memenuhi standar maka dilakukan
treathment ulang dan jika tubuh ikan masih terdapat lendir, sisa darah atau
belly maka dilakukan pencucian ulang.
2. Jika suhu produk dan air tidak sesuai standar maka ditambahkan es.
3. Training Karyawan.
5.1.8 Pemotongan Loin
Pemtongan loin bertujuan untuk mendapatkan bentuk loin sesuai dengan
standar yang ditentukan dan terbebas dari kontaminasi bakteri patogen Hal ini
sesuai dengan BSN (2006) tujuan dari pemtongan loin adalah untuk
69

mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan dan terbebas
dari kontaminasi bakteri patogen. Pemotongan loin dapat dilihat pada gambar 8.

A B

Gambar 8. Pemotogan Loin (PT PMJ, 2019)


Proses pemotongan loin tergantung dari jenis bahan baku. Pada gambar
8A dapat diketahui jika bahan baku berbentuk segar (fresh) maka pemotongan
loin dilakukan secara manual menggunakan pisau bersih yang sebelumnya telah
diasah. Pada gambar 8B dapat dketahui jika bahan baku berbentuk beku
(frozen) maka dilakukan dengan mesin pemotong otomatis (band saw).
Pemotongan loin dimulai dari dengan membelah daging ikan menjadi dua bagian
sepanjang bagian gurat sisi (Linear lateralis), lalu dilakukan pemotongan dari
bagian perut sampai pangkal ekor dan dari bagian punggung sampai pangkal
ekor dan dari panggilan punggung sampai pangkal ekor, sehingga didapatkan
dua bagian daging yang terlepas dari tulang. Sisi lainnya dilakukan proses yang
sama, sehingga dari satu ikan akan diperoleh empat bagian loin. Proses
pembentukkan loin dilakukan dengan hati-hati, cepat, cermat dan saniter.
Pemotongan loin dilakukan secara bersih, dingin, cepat, cermat dan
saniter untuk menghindari adanya keemunduran mutu. Kemunduran mutu ikan
dapat disebabkan oleh perkembangbiakan bakteri penyebab kebusukan pada
ikan. Ikan mati bakteri segera masuk ke dalam daging ikan melalui insang,
saluran darah dan permukaan kulit. Bakteri yang umumnya ditemukan ada ikan
adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, Mic-rococcus, Sarcina, Vibrio
(Junianto, 2003). Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Operator mengasah pisau sebelum dan sesudah digunakan jika memakai
pisau manual.
2. QC mengecek mata pisau mesin band saw.
3. Pemotongan loin dilakukan oleh tenaga ahli.
4. Suhu produk dipertahankan <4,40C (segar) atau <-180C (beku).
70

5. Proses dilakukan dengan cepat dan hati-hati.


6. Sashi dan tumor pada daging ikan dipotong.
Monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. QC mengecek ketajaman pisau dengan mencoba memotong ikan dengan
pisau tersebut sebelum proses.
2. Jika mata pisau mesin band saw berkarat maka dilakukan penggantian mata
pisau.
3. QC melakukan pengecekan visual hasil pemotongan setiap saat.
4. QC melakukan cek suhu perwakilan ikan setelah proses pemotongan loin.
5. QC mengecek apakah masih ada sashi maupun tumor pada daging ikan
setiap saat.
6. QC memastikan darah dialirkan ke saluran pembuangan limbah cair saat
proses berlangsung.
7. QC memantau waktu dan kinerja operator setiap saat.
Tindakan koreksi yang dapat dilakukan adalah
1. Jika didapati pisau tumpul maka dilakukan pengasahan pisau ulang saat itu
juga.
2. Jika mata pisau band saw berkarat maka dilakukan penggantian mata pisau.
3. Jika terjadi kesalahan pemotongan maka operator di Training ulang pada
waktu yang telah dijadwakan.
4. Jika ada suhu yang tidak sesuai maka ditambahkan dengan es saat itu juga.
5. Dilakukan pemotongan sashi dan tumor ikan jika masih ditemukan pada
daging ikan.
6. Jika terjadi delay proses maka produk di hold dan di dinginkan saat itu juga.
5.1.9 Perapihan dan Pengulitan
Proses perapihan dan pengulitan dilakukan untuk mendapatkan produk
yang sesuai dengan spesifikasi yaitu mendapatkan loin yang rapi dan bebas dari
tulang, daging merah dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri patogen.
Hal ini sesuai dengan BSN (2006) tujuan perapihan dan pengulitan bertujuan
mendapatkan loin yang rapi dan bebas dari tulang, daging merah dan kulit serta
terhindar dari kontaminasi bakteri patogen. Perapihan dan pengulitan dapat
dilihat pada gambar 9.
71

A B

Gambar 9. Perapihan dan Pengulitan (PT PMJ, 2019)


Pada gambar 9A dapat diketahui bahwa tahap perapihan dan pengulitan
bahan baku segar (fresh) secara manual menggunakan pisau yang sebelumnya
sudah diasah. Sedangkan pada gambar 9B dapat diketahui bahan baku beku
(frozen) pengulitan dan perapihan dilakukan dengan pembuangan daging
berwarna gelap menggunakan pisau potong kemudian menggunakan pisau yang
berbentuk lengkung untuk memudahkan dalam pembuangan daging gelap yang
menjorok ke dalam sekaligus membuang sisa-sisa tulang dan isi perut. Setelah
itu, tahap pembuangan kulit dilakukan dari kulit bagian ekor sampai ke bagian
badan ikan. Proses ini dilakukan oleh tenaga ahli dengan cermat dan teliti agar
tidak banyak daging tuna yang terbuang. Daging tuna yang berwarna gelap
dibuang karena dapat menimbulkan ketengikan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sahril & Lekahena (2015) Warna merah pada daging ikan disebabkan
kandungan hemoprotein tinggi yang tersusun atas protein miosin, globin dan
struktur heme yang dikenal dengan nama mioglobin dan hemoglobin, merupakan
senyawa bersifat peroksidan. Mioglobin dan hemoglobin merupakan jenis
hemoprotein terbanyak dalam daging ikan yaitu sekitar 80 %, sedangkan pada
daging merah ikan tuna kandungan mioglobin sekitar 3500 mg /100 g. Hal ini
yang menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan pada daging merah ikan.
Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Operator mengasah pisau sebelum dan sesudah digunakan.
2. Pengulitan dan perapihan dilakukan oleh tenaga ahli.
3. Suhu produk dipertahankan <4,40C (segar) atau <-180C (beku).
4. Proses dilakukan dengan cepat dan hati-hati.
5. Kulit ikan dan daging merah ikan dimasukan wadah terpisah tertentu yang
diberi es dan bersih.
6. Kulit ikan dan daging merah ikan ikan dipindahkan ke ruangan limbah padat
dengan cepat.
72

7. Darah ikan dialirkan ke saluran limbah cair.


Monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. QC mengecek ketajaman pisau dengan mencoba memotong ikan dengan
pisau tersebut sebelum proses
2. QC melakukan pengecekan visual hasil pemotongan setiap saat.
3. QC melakukan cek suhu perwakilan ikan setelah proses.
4. QC mengecek kecukupan es dan kebersihan wadah penampung kepala ikan
dan belly setiap saat.
5. QC memastikan darah dialirkan ke saluran pembuangan limbah cair saat
proses berlangsung.
6. QC memantau waktu dan kinerja operator setiap saat.
Tindakan koreksi yang dapat dilakukan adalah
1. Jika didapati pisau tumpul maka dilakukan pengasahan pisau ulang saat itu
juga.
2. Jika terjadi kesalahan pemotongan maka operator di training ulang pada
waktu yang telah dijadwakan.
3. Jika ada suhu yang tidak sesuai maka ditambahkan dengan es saat itu juga.
4. Dilakukan penambahan es pada wadah kulit ikan dan daging merah dan
pencucian ulang wadah jika didapati wadah kotor saat itu juga.
5. Jika terjadi delay proses maka produk di hold dan di dinginkan saat itu juga.
5.1.10 Pelelehan (Thawing) Loin Beku
Loin yang berasal dari bahan baku ikan beku dilelehkan terlebih dahulu
sebelum dilakukan penyuntikkan gas carbon monoxide (CO) hal ini bertujuan
mempermudah dan mempersingkat proses penyuntikan gas CO ke daging ikan.
Loin dimasukkan ke plastik yang berisi gas CO saat di thawing hal ini
dimaksudkan untuk menciptakan suasana anaerob sehingga bakteri aerob tidak
dapat tumbuh. PT Permata Marindo Jaya juga selalu memantau suhu loin <3,30C
agar bakteri anaerob tidak dapat tumbuh. agar bakteri anaerob tidak dapat
tumbuh, menurut FDA (2011) Clostridium botulinum tipe E dan non proteolitik B
dan F dapat tumbuh pada suhu 3,3-50C pada kondisi anaerob dalam jangka
waktu 7 hari. Pelelehan (Thawing) dilakukan di dalam ruangan dalam jangka
waktu 18-24 jam.
Prosedur yang diterapkan PT Permata Marindo Jaya adalah :
1. Patikan plastik untuk menampung loin tidak bocor.
73

2. Pastikan kadar CO yang dimasukkan ke plastik adalah 40% CO, 30 % O2 dan


N2 sebesar 30%.
3. Pastikan suhu ruangan <200C.
4. Pastikan suhu akhir loin <3,30C.
Tindakan Monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Operator mengecek kebocoran plastik sebelum digunakan.
2. QC melakukan pengecekan kadar CO sebelum digunakan.
3. QC memantau suhu ruangan setiap saat.
4. QC mengecek suhu loin perwakilan sampel setiap 2 jam sekali.
Tindakan koreksi yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Jika ditemukan kebocoran plastik maka segera dilakukan penggantian plastik.
2. Jika suhu ruangan >200C maka segera setting ulang suhu peningin ruangan.
3. Pisahkan produk yang terindikasi histamin dan uji laboratorium produk yang
terindikasi. Jika histamin produk melebihi standar maka musnahkan produk.
4. Tahan produk dan evaluasi produk berdasarkan total waktu dan suhu terjadi
5.1.11 Penyuntikan gas Carbon Monoxide (CO)
Bahan beku yang telah dilakukan pelelehan dikeluarkan dari plastik dan
dapat dilakukan penyuntikkan CO. Penyuntikan gas CO ini dilakukan secara
otomatis dengan mesin. Loin diletakkan pada conveyor yang akan berjalan
menuju mesin suntik. Penambahan gas CO berfungsi untuk menstabilkan warna
daging. Menurut Europian Commission (2001) Campuran gas CO2 dan CO
menghambat pertumbuhan L. monocytogenes, Y. Enterocolitica dan E. coli
O157: H7. Mesin gas CO dapat dilihat pada gambar 10.

Gambar 10. Penyuntikkan Gas CO (PT PMJ, 2019)


Pada gambar 10 dapat diketahui bahwa penyuntikkan gas CO di PT
Permata Marindo Jaya (PMJ) menggunakan mesin CO. Mesin dicek kondisi dan
dicuci sebelum dan setelah digunakan. Permata Marindo Jaya menggunakan
74

kadar CO sebesar 40%, CO2 30%, N2 sebesar 30% dan tekanan 80 Psi. Hal ini
tidak membahayakan kesehatan. Hal ini sesuai dengan FAO (2005) Ikan dapat
diberi 40% CO, 30% O2 dan 30% N2 sebagai Modified Atmosphere Packaging
(MAP) untuk memberikan hasil yang terbaik. Sedangkan menurut FDA (2007)
pada rapatnya mengenai Substances Generally Recognized As Safe (GRAS)
menyatakan bahwa CO aman digunakan dengan memberi label pada kemasan
produk “CO treated”. Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Pengaturan kadar dan tekanan gas pada mesin sesuai rasio CO, CO2 dan N2
sesuai standar perusahaan.
2. Pastikan suhu produk <4,40C.
3. Pastikan mesin tidak mengalami kebocoran.
4. Setelah di CO loin dimasukkan ke plastik yang hampa udara.
5. Pastikan plastik tidak bocor dan tidak mengkontaminasi produk.
6. Proses dilakukan dengan cepat, bersih dan hati-hati oleh operator terlatih.
7. Produk harus segera di masukkan ruang pendinginan sementara (chilling
room) tanpa ada waktu delay.
Tindakan monitoring yang dapat dilakukan oleh PT Permata Marindo Jaya
adalah
1. QC mengecek kadar dan tekanan gas pada mesin sesuai rasio CO, CO2 dan
N2 sesuai standar perusahaan sebelum proses dimulai.
2. QC mengecek suhu produk setelah di CO.
3. QC mengecek kebocoran mesin sebelum dan setelah proses.
4. QC mengecek kebocoran dan kondisi plastik yang harus bersih sebelum
proses dimulai.
5. QC mengecek waktu selama proses agar proses berlangsung cepat dan
tanpa delay.
6. QC mengecek semua loin masuk ke ruangan pendingin (chilling room) setelah
proses penyuntikan CO.
Tindakan koreksi yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Jika kadar dan tekanan gas pada mesin tidak sesuai rasio CO, CO2 dan N2
maka QC setting ulang mesin.
2. Jika suhu >4,40C produk segera dimasukkan ke chilling room.
3. Jika diketahui adanya kebocoran, maintenance segera memperbaiki atau
mengganti mesin.
75

4. Jika ditemukan plastik yang bocor atau ada indikasi mengkontaminasi produk,
maka QC melakukan penggantian plastik dengan yang baru.
5. Jika ada loin yang masih belum masuk ke ruangan pendingin (chilling room)
operator segera memasukkan loin.
5.1.12 Pendinginan Sementara
Pendinginan sementara ini untuk menurunkan suhu ikan setelah
mengalami penyuntikan gas CO. Ruangan Chilling dapat dilihat pada gambar 11.

A B

Gambar 11 . Penyimpanan Sementara (PT PMJ, 2019)


0
Pada gambar 11 dapat diketahui bahwa suhu chiling room 0,8 C
Pendinginan sementara dilakukan pada ruangan chilling denga suhu ruangan
0-3,30C. Pendinginan ini dilakukan selama 1-2 hari. Hal ini sependapat dengan
Djenane (2018) Pada suhu 100C ampuran gas CO2 dan CO menghambat
pertumbuhan L. monocytogenes, Y. enterocolitica dan E. colli O157: H7 namun
tidak dapat mencegah pertumbuhan bakteri Salmonella maka diperlukan
pendinginan sementara untuk menurunkan suhunya menjadi 3,30C. Menurut
FDA (2011) Salmonella dapat tumbuh dengan suhu minimal 5,20C.
Pada gambar 11B dapat diketahui bahwa loin dibungkus dengan plastik
tanpa oksigen yang memiliki kode setiap plastiknya. Penyimpanan dilakukan
dengan cara disusun di rak-rak dan menerapkan sistem First In First Out (FIFO)
yaitu barang yang masuk ke chilling room lebih dulu akan dikeluarkan pertama.
Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan nomor 78 tahun 2016
bahwa produk dalam keranjang/rak disusun dalam chilling room dan mererapkan
sistem First In First Out (FIFO). Prosedur yang diterapkan di PT Permata
Marindo Jaya adalah :
1. Suhu chilling room harus kurang dari 30C.
2. Produk disusun sesuai urutan produk masuk sehingga memudahkan dalam
sistem First In First Out (FIFO).
76

3. Produk disusun tidak bertumpukan dalam rak.


Tindakan monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. QC melakukan pengontrolan suhu setiap 2 jam dengan mengecek data
logger.
2. QC mengecek berjalannya sistem First In First Out (FIFO) saat proses
berlangsung.
3. QC mengecek penyusunan produk dalam rak saat pemasukan produk ke
ruang pendingin (chilling room).
Tindakan koreksi yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Maintenance mengatur ulang atau memperbaiki mesin. Tahan produk dan
evaluasi produk berdasarkan total waktu dan suhu yang terjadi. Pisahkan
produk yang terindikasi punya histamin dan Listeria monocytogenes tinggi dan
uji laboratorium produk terindikasi. Jika kadar histamin dan Listeria
monocytogenes melebihi standar maka musnahkan produk atau alihkan ke
produk non pangan.
5.1.13 Penyinaran Ultraviolet (UV) 1
Loin setelah dilakukan penyimpanan sementara selanjutnya disinari UV
untuk meminimalkan jumlah bakteri pada permukaan loin. Hal ini sesuai dengan
pendapat Koutchma (2014) penyinaran UV ke daging, permukaan telur dapat
menurunkan jumlah mikroba yang terdapat pada permukaannya.
Jenis sinar yang digunakan pada PT Permata Marindo Jaya adalah sinar
ultraviolet C, yaitu sinar yang memilki panjang gelombang pendek sekitar 280-10
nm. Loin dilewatkan sinar UV melalui conveyor berjalan selama 40 detik, hal ini
sesuai dengan Stermer et. al. (1987) dan Koutchma (2014) Sinar ultraviolet (UV)
sepeti radiasi gama yaang memiliki panjang gelombang 220-300 nm dapat
membunuh bakteri dengan cara menghancurkan dinding sel bakteri tersebut dan
penurunan jumlah baktri tersebut adalah 102 sampai 103. Menurut Vermeulen et.
al. (2008) strain bakteri E. colli ATCC 25922 dapat mati pada penyinaran
ultraviolet pada panjang gelombang 250-232 nm. Penurunan jumlah bakteri pada
penyinaran ultraviolet (uv) dapat dilihat pada tabel 18.
77

Tabel 18. Jumlah Bakteri setelah Penyinaran UV (PT Permata Marindo


Jaya,2019)
Hasil Uji Angka Lempeng Total
No Jenis Sampel (Koloni/gram)
Sebelum Sesudah
1 Tuna Loin 2400 300
2 Tuna Steak 1 2200 100
3 Tuna Steak 2 2000 100

Tabel 18 menunjukkan penurunan bakteri sebelum dan sesudah melewati


sinar UV cukup tinggi hal ini sesuai dengan Stermer et. al. (1987) dan Koutchma
(2014) Sinar ultraviolet (UV) sepeti radiasi gama yaang memiliki panjang
gelombang 220-300 nm dapat membunuh bakteri dengan cara menghancurkan
dinding sel bakteri tersebut dan penurunan jumlah baktri tersebut adalah 102
sampai 103. Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Pertahankan suhu produk <3,30C.
2. Pastikan lampu UV dalam keadaan tidak rusak.
3. Produk dimasukkan UV dengan cepat, bersih dan hati-hati.
Tindakan Monitoring yang dapat dilakukan adalah
1. QC melakukan pengecekan suhu setiap perwakilan sampel sebelum dan
setelah dimasukkan ke mesin UV.
2. QC mengecek keadaan lampu UV sebelum dan setelah proses.
3. QC mengecek waktu pekerja dalam memasukkan produk ke mesin UV setiap
saat.
Tindakan koreksi yang dapat dilakukan adalah
1. QC menambahkan es produk yang suhunya >3,3 0C.
2. Maintenance memperbaiki lampu UV ketika rusak.
3. Training karyawan.
5.1.14 Pembentukan Steak
Pembentukan steak bertujuan untuk mendapatkan bentuk steak yang
sesuai dengan standar konsumen dan terbebas dari bakteri patogen. Hal ini
sesuai dengan BSN (2006) tujuan dari pembentukan steak adalah mendapatkan
steak tuna dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi
bakteri patogen. Pemotongan steak dapat dilihat pada gambar 12.
78

Gambar 12. Pemotongan Steak (PT PMJ, 2019)


Pada gambar 12 diketahui bahwa pemotongan steak dilakukan secara
manual dengan menggunakan pisau yang bersih. Pisau diasah dan dicuci
dengan air yang berklorin 100 ppm dan disemprot alkohol 70%. Pada tahap ini
dilkukan dengan bersih, dingin, cepat, hati-hati dan dilakukan oleh operator yang
terlatih. Produk juga dipisahkan berasarkan warna yake (pelanginya). Produk A3
adalah produk dengan warna merah cherry (yake tipis), produk A2 adalah produk
yang memiliki warna cokelat terang (yake agak tebal) dan produk A3 adalah
produk yang dijual local karena memiliki daging cokelat tua. Buyer untuk produk
tuna steak di PT Permata Marindo Jaya adalah Hillo dan North Atlantic.
Spesifikasi produknya dapat dilihat pada tabel 19.
Tabel 19. Spesifikasi Produk Tuna Steak (PT. Permata Marindo Jaya, 2019)
No Buyer Product name Individual Gross Net Weight Steak Spect
name Weight Weight (kg) (kg) total (pcs) Berat/Mc
(gr)
1. Ocean Steak 6 ± 0,5 156-184 5,26-5,30 4,74-4,78 27 10 lbs
Prime Oz (4,54 kg)
2 Winsor Steak 4 oz 89-139 5,22 – 5,27 4,76 – 4,80 38 – 42 10 lbs
Bay Steak 6 oz 141-195 5,16 – 5,21 4,70 - 4,75 27 – 32 (4,54 kg)
Steak 8 oz 198-252 5,13 – 5,18 4,67 – 4,72 18 – 23
Steak 10 oz 255-286 5,10 – 5,15 4,66 – 4,71 16 – 18

3 Hillo Steak 5/6 oz 144 -198 7,64 – 7,69 7,03 – 7,10 38 – 42 15 lbs

(6,80 kg)
Steak 7/8 oz 201 – 255 7,57 – 7,62 6,98 – 7,02 22 – 26 15 lbs
Steak 9 oz up 255 – 422 7,53 – 7, 58 6,94 – 6,98 12 – 15 15 lbs
Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Operator mengasah pisau sebelum dan sesudah digunakan jika memakai
pisau manual.
2. Pembentukan steak dilakukan oleh tenaga ahli.
3. Suhu produk dipertahankan <3,30C.
79

4. Proses dilakukan dengan cepat dan hati-hati.


5. Pemisahan ketebalan yake ke spesifikasi produk
Monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. QC mengecek ketajaman pisau dengan mencoba memotong ikan dengan
pisau tersebut sebelum proses
2. QC melakukan pengecekan visual hasil pemotongan setiap saat.
3. QC melakukan cek suhu perwakilan ikan setelah proses.
4. QC mengecek produk sesuai spesifikasi yake setiap saat.
5. QC memantau waktu dan kinerja operator setiap saat.
Tindakan koreksi yang dapat dilakukan adalah
1. Jika didapati pisau tumpul maka dilakukan pengasahan pisau ulang saat itu
juga.
2. Jika terjadi kesalahan pemotongan maka operator di training ulang pada
waktu yang telah dijadwakan.
3. Jika ada suhu yang tidak sesuai maka ditambahkan dengan es saat itu juga.
4. Dilakukan pemisahan ualng jika ada produk tidak sesuai dengan spesifikasi
ketebalan yake dan training ulang karyawan pada waktu yang telah
dijadwalkan.
5. Jika terjadi delay proses maka produk di hold dan di dinginkan saat itu juga
5.1.15 Pengemasan Vakum
Pengemasan vakum bertujuan untuk menghilangkan oksigen yang
terkandung dalam kemasan yang menyebabkan bakteri patogen aerob dapat
tumbuh. Tuna yang sudah berbentuk steak dibungkus dalam pastik vakum lalu
disusun dalam keranjang untuk mempermudah pemindahan ke mesin vakum.
Proses pemvakuman dapat dilihat pada gambar 13.

Gambar 13. Pemvakuman Steak (PT PMJ, 2019)


80

Pada gambar 13 dapat diketahui bahwa steak divakum dengan mesin


vakum tidak satu persatu, hal ini bertujuan untuk menghemat waktu
pemvakuman. Tuna steak divakum dengan waktu 52 detik dan tekanan 1 atm.
Jika ada produk yang belum dalam keadaan vakum maka akan diganti
kemasannya dan akan dilakukan pemvakuman ulang. Produk steak tuna yang
telah divakum kemudian dilakukan penimbangan kembali untuk mengetahui
berat produk steak yang telah dihasilkan. Produk steak dilakukan penimbangan
dengan timbangan yang sebelumnya telah dikalibrasi internal oleh QC.
Sedangkan kalibrasi eksternal dilakukan satu tahun sekali.
Pengemasan dan pemvakuman bertujuan untuk melindungi produk dari
kontaminasi udara luar dan menghindari terjadinya oksidasi. Oksidasi terjadi
karena kandungan lemak yang terdapat pada daging tuna. Bentuk kerusakan
lemak yang terutama adalah ketengikan. Ketengikan pada umumnya ditandai
dengan adanya penurunan mutu berupa rasa dan bau yang terdapat pada bahan
yang berlemak. Lemak mudah mengalami ketengikan oleh karena proses
oksidasi yang sering dinamakan oto-oksidasi. Selama masa reaksi oto-oksidasi
akan terbentuk senyawa peroksida. Reaksinya dipercepat karena adanya
cahaya, kenaikan suhu, adanya oksigen, dan kelembapan (Suwetja, 2011).
Prosedur yang dilakukan di PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Kontrol temperatur produk <3,30C.
2. Pastikan produk tervakum dengan sempurna.
3. Bahan pengemas (plastik High Density Poly Ethilene/HDPE) dipastikan tidak
bocor dan mengkontaminasi produk.
4. Pemvakuman dilakukan dengan operator telatih.
5. Proses pemvakuman dilakukan dengan cepat dan hati-hati.
6. Segera lakukan pembekuan.
Monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. QC mengecek suhu perwakilan sampel saat proses berlangsug.
2. QC mengecek kebocoran plastik HDPE dan keadaan plastik HDPE apakah
dapat mengkontaminasi produk atau tidak sebelum proses dimulai.
3. QC mengecek produk tervakum dengan sempurna atau tidak setiap saat.
4. QC mengecek waktu pemvakuman dan memastikan produk secepatnya
dibekukan.
Tindakan koreksi yang dapat dilaksanakan adalah
1. Jika suhu produk >3,30C segera lakukan pembekuan secepatnya.
81

2. Jika ada plastik HDPE yang bocor atau terindikasi dapat mencemari produk
maka QC melakukan penggantian plastik sebelum proses dimulai.
3. Jika produk tidak tervakum dengan sempurna maka dilakukan pemvakuman
ulang.
5.1.16 Penyinaran Ultraviolet (UV) II
Tuna steak setelah dilakukan pemvakuman maka dilkukan penyinaran
ultraviolet lagi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi bakteri yang ada di
permukaan produk akibat kontaminasi dari pekerja dan kemasan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Koutchma (2014) penyinaran UV ke daging dan permukaan
telur dapat menurunkan jumlah mikroba yang terdapat pada permukaannya.
Produk akan disinari dengan sinar ultraviolet ke seluruh bagian produk
saat melewati mesin UV. Jenis sinar yang digunakan pada PT Permata Marindo
Jaya adalah sinar ultraviolet C, yaitu sinar yang memilki panjang gelombang
pendek sekitar 280-10 nm. Produk dimasukan satu per satu oleh karyawan
secara rapi dan tidak bertumpukan. Setiap sebelum produksi, setiap satu jam
sekali selama produksi dan setelah proses produksi, operator memeriksa
keadaan lampu dengan menggunakan alat khusus. Operator memeriksa dan
memastikan lampu dalam keadaan tidak rusak. Hasil pemeriksaan dicatat di
dalam lembar kerja yang telah tersedia.
Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Pertahankan suhu produk <3,30C.
2. Pastikan lampu UV dalam keadaan tidak rusak.
3. Produk dimasukkan UV dengan cepat, bersih dan hati-hati.
Tindakan Monitoring yang dapat dilakukan adalah
1. QC melakukan pengecekan suhu setiap perwakilan sampel sebelum dan
setelah dimasukkan ke mesin UV.
2. QC mengecek keadaan lampu UV sebelum dan setelah proses.
3. QC mengecek waktu pekerja dalam memasukkan produk ke mesin UV setiap
saat.
Tindakan koreksi yang dapat dilakukan adalah
1. QC menambahkan es produk yang suhunya >3,30C.
2. Maintenance memperbaiki lampu UV ketika rusak.
3. Training karyawan.
82

5.1.17 Pembekuan
Tuna steak yang telah dilewatkan sinar UV dimasukkan ke mesin
pembeku Air Blast Freezer (ABF). ABF di PT PMJ menggunakan refrigeran
amonia. Ruang ABF dapat dilihat pada gambar 14.

Gambar 14. Ruang ABF (PT PMJ, 2019)


Pada gambar 14 dapat dilihat bahwa suhu ABF tertulis di atas ruang
ABF. Pembekuan menggunakan ABF dilakukan selama 8 jam dengan suhu
minimum -250C dengan demikian suhu pusat ikan menjadi -180C. Menurut FDA
(2011) Pada kemasan yang direduksi oksigennya, Clostridium botulinum non-
proteolitik tidak dapat mati kecuali dengan mengatur suhu di bawah 3,30C. Waktu
tumbuh bakteri ini adalah 7 hari. Fluktuasi suhu dapat dilihat pada data logger
yang dipantau QC. Alat ini sangat fleksibel, dapat digunakan untuk membekukan
ikan dengan bentuk dan ukuran yang berlainan secara serentak (Afrianto &
Liviawaty,1989). Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah :
1. Produk harus segera dilakukan pembekuan tanpa waktu delay.
2. Pembekuan yang dilakukan adalah pembekuan cepat.
3. Suhu ruang pembeku <-250C.
4. Tidak membuka tutup ruang pembeku secara sering agar tidak terjadi fluktuasi
suhu yang tinggi.
5. Suhu pusat produk dipastikan -180C atau kurang.
6. Produk disusun sesuai urutan produk masuk sehingga memudahkan dalam
sistem First In First Out (FIFO)
Prosedur monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. QC memastikan tidak ada delay waktu pembekuan setelah proses
penyinaran UV.
2. QC memantau waktu dan fluktuasi suhu pembekuan setiap 2 jam sekali.
3. QC memastikan ruang pembekuan tidak dibuka tutup terlalu sering.
83

4. QC mengecek suhu pusat produk setelah pembekuan.


5. QC mengecek berjalannya sistem First In First Out (FIFO) saat proses
berlangsung.
Tindakan koreksi yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. QC melakukan setting ulang suhu mesin jika lebih dari -250C.
2. Jika suhu pusat produk belum mencapai -180C maka dilakukan pembekuan
ulang.
3. Jika mesin rusak, ruang pembeku harus dipastikan tertutup dan maintenance
segera mengevaluasi permasalahan dan memperbaiki mesin atau
mengganti mesin kurang dari 10 jam.
5.1.18 Pendeteksian Logam
Proses ini bertujuan untuk memastikan produk bebas dari bahan logam.
Metal Detector yang digunakan oleh PT. Permata Marindo Jaya yaitu dengan
merek ANRITSU dan MESUTRONIC. Sensitifitas kalibrasi dari alat Metal
Detector ANRITSU untuk Fe maksimal ɸ 2,5 mm, non Fe ɸ 3,0 mm dan SUS
304 adalah ɸ 2,5 mm. Sensitivitas kalibrasi dari alat Metal Detector
MESUTRONIC untuk Fe maksimal ɸ 1,75 mm, non Fe ɸ 2,5 mm dan SUS 304
adalah ɸ 4,00 mm. PT Permata Marindo Jaya mempunyai dua alat metal detector
dikarenakan permintaan buyer. Proses pendeteksian logam dapat dilihat pada
gambar 15.

Gambar 15. Proses Pendeteksian Logam (PT PMJ, 2019)


Pada gambar 15 dapat diketahui bahwa tuna Steak yang telah dikemas
kedalam polybag kemudian dilewatkan satu persatu pada alat metal detector.
Sebelum digunakan metal detector di cek Sensitivitasnya dan di setting untuk
jenis produk yang akan dilewatkan. Hasil metal fragment dan cek sensitivitas
metal detector dapat dilihat pada lampiran 8. Hal ini sesuai dengan ISO/IEC
84

17025:2008, bahwa peralatan harus dikalibrasi atau dicek terlebih dahulu untuk
menetapkan peralatan tersebut memenuhi persyaratan dan sesuai dengan
spesifikasi standar yang relevan. Prosedur yang diterapkan di PT Permata
Marindo Jaya adalah
1. Sensitivitas mesin METSUTRONIC dan ANRITSU harus sesuai (Anritsu :
Fe ≤2,00 mm, non Fe ≤3,00 mm, Sus ≤2,5 mm, Metsutronik : Fe ≤1,75 mm,
non Fe≤ 2,50 mm, Sus ≤4,00 mm)
2. Semua produk harus dilewatkan mesin metal detector.
3. Suhu pusat produk dipertahankan ≤-180C.
4. Mesin harus terkalibrasi 1 tahun sekali.
5. Semua produk harus bebas dari serpihan logam.
Tindakan monitoring yang dilakukan oleh PT Permata Marindo Jaya adalah
1. QC melakukan pengecekan sensitivitas kedua mesin metal detector dengan
cara melewatkan test piece FE, non Fe dan Sus sebelum, 2 jam sekali dan
setelah proses.
2. QC memastikan semua produk melewati mesin metal detector satu persatu
saat proses pendeteksian logam.
3. QC melakukan kalibrasi mesin di lembaga kalibrasi yang terakreditasi setiap
1 tahun sekali.
Tindakan koreksi yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Tahan dan evaluasi produk yang ditolak oleh mesin selama 2 jam operasi.
Pengerjaan ulang produk yang ditolak untuk menghilangkan serpihan logam,
alihkan produk yang ditolak untuk produk non makanan, mencari atau
memperbaiki sumber serpihan logam.
2. Jika kesalahan dari sensitivitas mesin perbaiki atau ganti mesin metal
detector secepatnya.
5.1.19 Penyinaran Ultravilolet (UV) III
Penyinaran ultraviolet yang terakhir bertujuan untuk mengurangi jumlah
mikroba yang terdapat pada permukaan produk sebelum produk dikemas di
dalam master carton dan masuk dalam cold storage. Proses penyinaran sinar
ultraviolet dapat dilihat pada gambar 16.
85

Gambar 16. Proses Penyinaran UV 3 (PT PMJ, 2019)


Pada gambar 16 dapat diketahui bahwa produk steak beku dilewatkan ke
mesin melalui conveyor berjalan. Jenis sinar yang digunakan pada PT Permata
Marindo Jaya adalah sinar ultraviolet C, yaitu sinar yang memilki panjang
gelombang pendek sekitar 280-10 nm. Operator memeriksa dan memastikan
lampu dalam keadaan utuh serta tidak retak atau pecah. Hasil pemeriksaan
dicatat di dalam lembar kerja yang telah tersedia. Jika ditemukan serpihan kaca
pada produk atau ditemukan lampu ultraviolet yang pecah, maka hold produk
yang telah melewati mesin ultraviolet 1 jam sebelum ditemukan serpihan kaca
dan akan dilakukan perbaikan mesin ultraviolet.
Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Pertahankan suhu produk ≤-180C.
2. Pastikan lampu UV dalam keadaan tidak rusak.
3. Produk dimasukkan UV dengan cepat, bersih dan hati-hati.
Tindakan Monitoring yang dapat dilakukan adalah
1. QC melakukan pengecekan suhu setiap perwakilan sampel sebelum dan
setelah dimasukkan ke mesin UV.
2. QC mengecek keadaan lampu UV sebelum dan setelah proses.
3. QC mengecek waktu pekerja dalam memasukkan produk ke mesin UV setiap
saat.
Tindakan koreksi yang dapat dilakukan adalah
1. QC membekukan ulang produk yang suhu pusatnya >-180C.
2. Maintenance memperbaiki lampu UV ketika rusak.
3. Training karyawan.
5.1.20 Pengepakan dan Pelabelan
Tujuan dari pengepakan dan pelabelan adalah agar produk tidak
terkontaminasi saat dikirim ke konsumen. Hal ini sesuai BSN (2006) tujuan dari
86

pengepakan dan pelabelan adalah melindungi produk dari kontaminasi dan


kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.
Proses pengepakan dilakukan dengan menyusun produk dalam master
carton yang di dalamnya juga terdapat bubble pack di antara produk tuna steak
yang ada. Fungsi bubble pack yaitu untuk melindungi produk dari benturan dan
kerusakan selama transportasi maupun penyimpanan.QC mengecek gross
weight, bag-plastik tare, net weight, leak vacuum, individual weight of product,
bubble pack, tanggal produksi dan kedaluarsa, size, pernyataan allergen, ada
atau tidaknya strapping band dan warna strapping band. Jika ditemukan
overweight atau weight less maka produk akan diproses ulang untuk
mendapatkan produk yang telah sesuai dengan spesifikasi.
Produk yang dikemas diberi label sesuai kode produksi yang ditetapkan.
Dalam proses pengemasan didalam master carton ini hal yang perlu dilakukan
sebagai bentuk pengawasan adalah sistem penulisan atau pengkodean yang
menyangkut antara kesesuaian isi dengan keterangan yang ada pada Master
Carton tersebut. Penulisan label dalam Master Carton diantaranya nama produk,
nama merek dagang, size produk, jenis produk vakum, komposisi, pernyataan
allergen, kode produksi, berat bersih, tanggal kedaluarsa dan tanggal produksi,
produksi negara dan cara penyajian. Prosedur yang dilakukan PT Permata
Marindo Jaya adalah
1. Pastikan label tertera sesuai dengan spesifikasi produk (Nama produk, jenis
ikan, nama spesies ikan, ukuran, tanggal produksi, kode produksi, tanggal
kadaluarsa, berat bersih, berat kotor, negara pengekspor, approval number,
label nutrisi, label pernyataan allergen, petunjuk konsumsi produk).
2. Pastikan adanya label tertera keep frozen, thawing under refrigeration,
produk yang sudah dilelehkan tidak dapat dibekukan ulang.
3. Pastikan suhu produk ≤-180C.
Tindakan monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. QC mengecek label sesuai dengan spesifikasi produk sebelum pengepakan
dan pelabelan dimulai.
2. QC mengecek adanya label tertera keep frozen, thawing under refrigeration,
produk yang sudah dilelehkan tidak dapat dibekukan ulang.
3. QC mengecek suhu produk pada perwakilan sampel setiap 2 jam sekali.
87

Tindakan koreksi yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah


1. Pisahkan, musnahkan dan ganti label yang tidak mengandung sesuai
spesifikasi produk, pernyataan keep frozen dan thaw under refrigeration,
produk yang sudah dilelehkan tidak dapat dibekukan ulang, recall semua
produk yang mempunyai label salah, perbaiki penyebab kesalahan label.
2. Pisahkan, musnahkan dan ganti label yang tidak mengandung pernyataan
contain tuna fish, recall semua produk yang mempunyai label salah,
modifikasi sistem pelabelan yang sesuai.
5.1.21 Penyimpanan Beku
Penyimpanan beku bertujuan untuk mempertahankan mutu produk dan
memperpanjang daya awet produk. Produk disimpan pada ruang penyimpanan
beku (cold storage) dengan suhu -200C. Produk yang telah dikemas dengan rapi
selanjutnya diangkut ke Cold storage. Produk disimpan berdasarkan
Penyimpanan produk dalam Cold storage diklasifikasikan sesuai dengan jenis
produk dan brand sehingga mudah untuk mencari. Hal ini bertujuan untuk
memudahkan mengidentifikasi dan keluar masuknya produk dalam gudang beku
Hal ini sesuai dengan BSN (2006) Penyimpanan tuna steak beku harus dalam
gudang beku (cold storage) dengan suhu maksimum -20°C. Penataan produk
dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi
udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran. Menurut Standar
Nasional Indonesia nomor 4110:2014 tentang ikan beku, produk disusun secara
rapi dalam gudang penyimpanan beku dan suhu penyimpanan dipertahankan
stabil maksimal -200C. Suhu cold storage selalu tercatat di data logger dan selalu
dipantau oleh QC.
PT. Permata Marindo Jaya memiliki lima cold storage untuk
penyimpanan bahan baku ikan. Pada proses penyimpanan, setiap karyawan
menggunakan pakaian kerja dan peralatan yang bersih sehingga tidak
menyebabkan terjadinya kontaminasi bakteri. Tuna steak yang telah dikemas
dalam master carton disusun secara rapi dan produk yang berada dipaling
bawah diletakkan diatas pallet. Pallet berfungsi untuk menghindari kontak
langsung dengan lantai. Palet tersebut selanjutnya diberi identitas oleh tally
produksi yang berisi informasi mengenai jenis produk, size produk, berat produk
dalam satu master karton, jumlah master karton, tanggal produksi, nama buyer,
nomor palet dan diberi tanda tangan tally dan supervisor produksi. Identitas
tersebut diletakan di sisi palet.
88

Produk yang diatur dengan dinding ruang pendingin dan diberikan jarak
sehingga ada sirkulasi udara yang baik. Setiap tumpukan terdiri dari 15-18
master carton. PT Permata Marindo Jaya menerapkan sistem FIFO (First In First
out) atau barang yang pertama kali dimasukkan maka pertama kali dikeluarkan
sehingga produk yang dikeluarkan pertama tidak selalu produk pertama yang
dimasukkan. Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah :
1. Produk harus segera dilakukan pembekuan tanpa waktu delay.
2. Pembekuan yang dilakukan adalah pembekuan cepat.
3. Suhu ruang pembeku <-200C.
4. Tidak membuka tutup ruang penyimpanan beku secara sering agar tidak
terjadi fluktuasi suhu yang tinggi.
5. Suhu pusat produk dipastikan -180C atau kurang.
6. Penataan master carton harus diberi jarak agar sirkulasi udara dingin merata,
penataan master carton diberi lorong dan jalan untuk memudahkan keluar
masuknya produk.
7. Produk disusun sesuai urutan produk masuk sehingga memudahkan dalam
sistem First In First Out (FIFO)
Prosedur monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. QC memastikan tidak ada delay waktu pembekuan setelah proses penyinaran
UV.
2. QC memantau waktu dan fluktuasi suhu pembekuan setiap 2 jam sekali.
3. QC memastikan ruang penyimpanan beku tidak dibuka tutup terlalu sering.
4. QC mengecek suhu pusat produk setelah pembekuan.
5. QC mengecek penataan master carton harus diberi jarak agar sirkulasi udara
dingin merata, penataan master carton diberi lorong dan jalan untuk
memudahkan keluar masuknya produk.
6. QC mengecek berjalannya sistem First In First Out (FIFO) saat proses
berlangsung.
Tindakan koreksi yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. QC melakukan setting ulang suhu mesin jika lebih dari -200C.
2. Jika suhu pusat produk belum mencapai -180C maka dilakukan pembekuan
ulang.
3. Jika mesin rusak, ruang penyimpanan beku harus dipastikan tertutup dan
Maintenance segera mengevaluasi permasalahan dan memperbaiki mesin
kurang dari 10 jam.
89

4. Jika master carton harus tidak dberi jarak agar sirkulasi udara dingin merata,
penataan master carton tidak diberi lorong dan jalan untuk memudahkan
keluar masuknya produk maka dilakukan penataan ulang produk.
Pada saat penulis menjalankan Kerja Praktik Akhir penerapan FIFO
terkadang terkendala karena permintaan pembeli (buyer) yang terkadang
menunda waktu pengiriman.
5.1.22 Pemuatan
Pemuatan dilakukan dengan menggunakan container berefrigerasi. Pada
saat container datang, petugas QC dan staff mekanik memeriksa kondisi
container yang terdiri dari pemeriksaan eksterior, interior dan kebersihan
container dengan tujuan untuk memastikan container dalam kondisi yang baik.
Hasil pemeriksaan dicatat pada lembar kerja yang telah tersedia. Beberapa
checksheet yang harus diisi adalah tanggal dan waktu kedatangan container,
nama container, ukuran container, nomor container, ceklist pemeriksaan
container, suhu container, nomor loket pemuatan, nama buyer, negara tujuan,
nama produk, jumlah produk, nomor Health Certificate, nomor data logger dan
hasil uji laboratorium. Sebelum proses pemuatan, suhu container harus
mencapai -25 0C.
Proses pemuatan dilakukan dengan cara memindahkan produk dari
dalam cold storage ke dalam container melalui loket pengiriman produk. Saat
pemindahan produk, blower yang berada di sepanjang anteroom dinyalakan
untuk membuat suhu ruangan tetap rendah <120C untuk mencegah kenaikan
suhu produk. Pemindahan produk dilakukan secara manual oleh karyawan
secara cepat, bersih dan hati-hati. Master karton disusun secara rapi agar sistem
pendinginan produk dapat merata. Pada kegiatan pemuatan, dilakukan
dokumentasi oleh petugas QC terhadap suhu container, foto pada saat kondisi
container kosong sampai container terisi penuh, dan foto pemasangan data
logger.
Saat container sudah terisi penuh, petugas QC menempelkan data logger
di bagian dalam container untuk mencatat dan merekam suhu container selama
pendistribusian berlangsung. Setelah segel pada data logger dicabut, secara
otomatis data logger akan merekam suhu pada container. Selama distribusi
produk beku, suhu pusat produk harus dipertahankan senantiasa maksimum -
180C. Sebelum ekspor selalu dilakukan uji laboratorium produk dan setiap satu
tahun dilakukan uji banding antara hasil uji perusahaan dan hasil uji laboratorium
90

eksternal yang terakreditasi. Produk ikan beku selama distribusi harus dilindungi
terhadap pencemaran oleh mikroba dan senyawa lainnya yang membahayakan
kesehatan manusia (Ilyas, 1993). Prosedur yang dijalankan PT Permata Marindo
Jaya adalah
1. Memastikan container dalam kondisi yang baik.
2. Memastikan suhu container ≤-250C.
3. Memastikan tanggal dan waktu kedatangan container, nama container, ukuran
container, nomor container, ceklist pemeriksaan container, suhu container,
nomor loket pemuatan, nama buyer, negara tujuan, nama produk, jumlah
produk, nomor Health Certificate, nomor data logger dan hasil uji laboratorium.
Prosedur monitoring yang dilakukan di PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Pada saat container datang, petugas QC dan staff mekanik memeriksa
kondisi container yang terdiri dari pemeriksaan eksterior, interior dan
kebersihan container dengan tujuan untuk memastikan container dalam
kondisi yang baik. Hasil pemeriksaan dicatat pada lembar kerja yang telah
tersedia.
2. QC suhu container harus mencapai -25 0C.
3. Beberapa checksheet yang harus diisi QC ketika kedatangan container adalah
tanggal dan waktu kedatangan container, nama container, ukuran container,
nomor container, ceklist pemeriksaan container, suhu container, nomor loket
pemuatan, nama buyer, negara tujuan, nama produk, jumlah produk, nomor
Health Certificate, nomor data logger dan hasil uji laboratorium. Sebelum
proses pemuatan, suhu container harus mencapai -25 0C.

5.2 Pengamatan Rantai Dingin


Pengamatan rantai dingin proses dilakukan selama 5 kali pengamatan
dan 3 kali ulangan. Pengamatan suhu dibedakan berdasarkan bahan baku beku
dan bahan baku segar. Pengamatan rantai dingin dimulai dari proses
penerimaan bahan baku, pencucian 1, penyimpanan sementara, pemotongan
kepala, pencucian 2, pemotongan loin, perapihan dan pengulitan, penyuntikan
gas CO, pendinginan sementara, penyinaran UV 1, pembentukan steak,
pengemasan vakum, penyinaran UV 2, pembekuan, pendeteksian logam,
penyinaran UV 3, pengepakan dan pelabelan, penyimpanan beku dan pemuatan.
Suhu rata-rata produk, ruang dan air selama 5 kali pengamatan alur proses pada
bahan baku segar dapat dilihat pada tabel 20.
91

Tabel 20. Suhu Alur Proses dengan Bahan Baku Segar (PT PMJ, 2019)
Alur Proses Ikan (0C) Ruang (0C) Air (0C)
penerimaan bahan baku 2,05 18,20
Pencucian 1 2,15 18,14 23,00
Pemotongan kepala 2,58 18,10
Pencucian 2 2,78 18,10 21,40
Pemotongan loin 3,01 18,10
Perapihan dan Pengulitan 3,14 22,28
Penyuntikan Gas CO 3,20 22,28
Pendinginan sementara 1,80 2,00
UV 1 2,00 16,00
Pembentukan Steak 2,30 16,00
Pengemasan Vakum 2,40 16,20
UV 2 2,50 16,40
Pembekuan -25,40 -33,40
Pendeteksian Logam -22,40 16,00
UV 3 -19,00 16,00
Pengepakan dan Pelabelan -18,00 16,00
Penyimpanan Beku -21,00 -28,80
Pemuatan -20,00 -26,40

Pengamatan penerapan rantai dingin dilakukan di setiap tahapan proses


dari tahap penerimaan bahan baku sampai dengan pemuatan menggunakan
termometer digital. Bahan baku yang digunakan adalah tuna segar. Standar suhu
perusahaan tahapan penerimaan bahan baku, pencucian 1, penyimpanan
sementara, pemotongan kepala, pencucian 2, pemotongan loin, perapihan dan
pengulitan, penyuntikan gas CO adalah <4,40C, rata-rata suhu selama 5 kali
pengamatan dengan 3 kali ulangan suhu pada tahapan penerimaan bahan baku,
pencucian 1, penyimpanan sementara, pemotongan kepala, pencucian 2,
pemotongan loin, perapihan dan pengulitan, tidak pernah melebihi standar
perusahaan. Sedangkan suhu standar perusahaan untuk tahapan pendinginan
sementara, penyinaran UV 1, pembentukan steak, pengemasan vakum,
penyinaran UV 2 adalah <3,30C, rata-rata suhu selama 5 kali pengamatan
dengan 3 kali ulangan suhu tahapan pendinginan sementara, penyinaran UV 1,
pembentukan steak, pengemasan vakum, penyinaran UV 2 tidak pernah
92

melewati standar. Sedangkan suhu standar perusahaan untuk tahapan


pembekuan, pendeteksian logam, penyinaran UV 3, pengepakan dan pelabelan,
penyimpanan beku dan pemuatan adalah <-180C. rata-rata suhu selama 5 kali
pengamatan dengan 3 kali ulangan suhu tahapan pembekuan, pendeteksian
logam, penyinaran UV 3, pengepakan dan pelabelan, penyimpanan beku dan
pemuatan juga tidak pernah melebihi standar suhu perusahaan. Suhu rata-rata
produk, ruang dan air selama 5 kali pengamatan pada bahan baku beku dapat
dilihat pada tabel 21.
Tabel 21. Suhu Alur Proses dengan Bahan Baku Beku (PT PMJ, 2019)
Alur Proses Ikan (0C) Ruang (0C) Air (0C)
penerimaan bahan baku -14,70 12,40
Pencucian 1 -13,50 12,40 22,30
Penyimpanan Sementara -20,80 -27,80
Pemotongan kepala -19,00 12,40
Pencucian 2 -18,50 18,10 21,40
Pemotongan loin 18,02 12,40
Perapihan dan Pengulitan -17,40 12,40
Pelelehan (Thawing) 6,00 18,00
Penyuntikan Gas CO 4,80 22,28
Pendinginan sementara 2,30 0,20
UV 1 2,50 17,08
Pembentukan Steak 2,60 17,08
Pengemasan Vakum 2,70 16,20
UV 2 2,80 17,18
Pembekuan -25,40 -34,20
Pendeteksian Logam -24,60 17,00
UV 3 -23,30 16,20
Pengepakan dan Pelabelan -22,20 16,20
Penyimpanan Beku -24,20 -26,80
Pemuatan -24,80 -28,00

Berdasarkan tabel 21 diketahui pengamatan penerapan rantai dingin


dilakukan di setiap tahapan proses dari tahap penerimaan bahan baku sampai
dengan pemuatan menggunakan termometer digital. Bahan baku yang
digunakan adalah tuna beku. Standar suhu perusahaan tahapan penerimaan
93

bahan baku, pencucian 1, penyimpanan sementara (Cold Storage Bahan Baku),


pemotongan kepala, pencucian 2, pemotongan loin, perapihan dan pengulitan
adalah <-180C, pelelehan (Thawing), penyuntikan gas CO adalah <3,30C, rata-
rata suhu selama 5 kali pengamatan dengan 3 kali ulangan suhu pada tahapan
penerimaan bahan baku, pencucian 1, penyimpanan sementara (Cold storage
bahan baku), pemotongan kepala, pencucian 2, pemotongan loin, perapihan dan
pengulitan, tidak pernah melebihi standar perusahaan kecuali penerimaan bahan
baku, pencucian 1, pelelehan (thawing) dan CO yaitu suhu ikan -14,70C; -13,50C;
60C; 4,8 0C. Maka perusahaan harus lebih giat mengontrol suhu terutama pada
tahapan penyuntikan gas CO. Sedangkan suhu standar perusahaan untuk
tahapan pendinginan sementara, penyinaran UV 1, pembentukan steak,
pengemasan vakum, penyinaran UV 2 adalah <3,30C, rata-rata suhu selama 5
kali pengamatan dengan 3 kali ulangan suhu tahapan pendinginan sementara,
penyinaran UV 1, pembentukan steak, pengemasan vakum, penyinaran UV 2
tidak pernah melewati standar. Sedangkan suhu standar perusahaan untuk
tahapan pembekuan, pendeteksian logam, penyinaran UV 3, pengepakan dan
pelabelan, penyimpanan beku dan pemuatan adalah <-180C. Rata-rata suhu 5
kali pengamatan dengan 3 kali ulangan suhu tahapan pembekuan, pendeteksian
logam, penyinaran UV 3, pengepakan dan pelabelan, penyimpanan beku dan
pemuatan juga tidak pernah melebihi standar suhu perusahaan. Penyimpangan
suhu terjadi pada pengamatan suhu bahan baku beku pertama yang penulis
lakukan. Data pengamatan suhu pertama dapat dilihat pada tabel 22.
Tabel 22. Pengamatan Suhu Alur Proses dengan Bahan Baku Beku 1
Alur Proses Ikan (0C) Ruang (0C) Air (0C)
penerimaan bahan baku -16,60 12,50
Pencucian 1 -14,60 12,50 22,30
Penyimpanan Sementara -19,60 -27,80
Pemotongan kepala -19,40 12,50
Pencucian 2 -18,80 12,50 21,40
Pemotongan loin -18,50 12,50
Perapihan dan Pengulitan -18,20 12,50
Pelelehan (Thawing) 12,80 18,00
Penyuntikan Gas CO 12,30 18,10
Pendinginan sementara 2,10 0,20
UV 1 2,20 16,90
94

Tabel 22. Lanjutan


Pembentukan Steak 2,30 16,90
Pengemasan Vakum 2,50 16,90
UV 2 2,60 16,90
Pembekuan -25,00 -35,00
Pendeteksian Logam -23,60 16,10
UV 3 -20,30 16,10
Pengepakan dan Pelabelan -18,60 16,10
Penyimpanan Beku -21,00 -27,00
Pemuatan -20,00 -28,00

Pada tabel 22 dapat diketahui terdapat beberapa penyimpangan suhu


pada alur GMP yaittu pada penerimaan bahan baku, pencucian 1, pelelehan
(thawing) dan penyuntikkan gas CO. Tindakan koreksi yang dilakukan
perusahaan ketika suhu naik adalah produk di dinginkan dan dihold serta
dilakukan pengujian mikobiologi meliputi E.colli, Salmonella, Vibrio cholera,
clostridium sp dan Yersinia enterolitica. Pengujian kimia meliputi uji histamin.
Hasil uji dapat dilihat pada lampiran 9.
5.3 Mutu Bahan Baku dan Produk Akhir
5.3.1 Nilai Organoleptik dan Sensori
Pengujian organoleptik dilakukan sesuai scoresheet ikan segar
berdasarkan SNI 2729:2013 paramater penilaian organoleptik meliputi
kenampakan, daging, bau dan tekstur. Hasil pengujian organoleptik bahan baku
ikan segar dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Nilai Organoleptik Bahan Baku Tuna Segar
Pengamatan Nilai Simpangan Nilai Organoleptik
1. 7,2 ≤ µ ≤ 7,4 7
2. 7,3 ≤ µ ≤ 7,4 7
3. 7,5 ≤ µ ≤ 7,6 7
4. 7,6 ≤ µ ≤ 7,7 8
5. 7,5 ≤ µ ≤ 7,6 7

Berdasarkan tabel 23 di atas nilai organoleptik bahan baku tuna segar


pada PT PMJ sudah sesuai standar SNI 2729:2013 bahwa nilai organoleptik
minimal 7. Ikan didistribusikan ke perusahaan diselimuti es dan diangkut dengan
mobil box yang tertutup untuk menjaga suhu produk, pengangkutan dilakukan
pada pagi hari dengan jarak antara tempat pendaratan ikan (pelabuhan) dengan
95

lokasi perusahaan adalah 1 km. Penanganan bahan baku yang baik dapat
mempertahankan mutu bahan baku tersebut. Salah satu faktor yang
mempengaruhi penanganan ikan selama pengangkutan adalah alat angkut.
Pengangkutan dengan menggunakan box akan berpengaruh terhadap besarnya
panas yang masuk dari lingkungan luar ke dalam wadah pengesan ikan selama
pengangkutan (Junianto, 2003). Penilaian organoleptik bahan baku beku dapat
dilihat pada tabel 24.
Tabel 24. Penilaian Organoleptik Bahan Baku Beku

Pengamatan Nilai Simpangan Nilai Organoleptik


1 7,3 ≤ µ ≤ 7,7 7
2 7,7≤ µ ≤ 8,0 8
3 7,2≤ µ ≤ 7,9 7
4 7,1≤ µ ≤ 7,8 7
5 7,6≤ µ ≤ 8,3 8

Berdasarkan tabel 24 di atas selama penulis melakukan lima kali


pengamatan suhu selama Kerja Praktik Akhir nilai organoleptik bahan baku tuna
beku yang diterima PT Permata Marindo Jaya (PMJ) sudah sesuai standar SNI
2729:2013 bahwa nilai organoleptik minimal 7. Ikan didistribusikan ke
perusahaan diangkut dengan mobil box yang tertutup untuk menjaga suhu
produk, pengangkutan dilakukan pada pagi hari dengan jarak antara tempat
pendaratan ikan (pelabuhan) dengan lokasi perusahaan adalah 1 km dengan
waktu tempuh 5 menit. Penanganan bahan baku yang baik dapat
mempertahankan mutu bahan baku tersebut. Salah satu faktor yang
mempengaruhi penanganan ikan selama pengangkutan adalah alat angkut.
Pengangkutan dengan menggunakan box akan berpengaruh terhadap besarnya
panas yang masuk dari lingkungan luar ke dalam wadah pengesan ikan selama
pengangkutan (Junianto, 2003).
Penilaian sensori produk akhir dilakukan menggunakan lembar sensori
tuna steak beku. Hasil penilaian organoleptik produk akhir dilihat pada tabel 25.
Tabel 25. Nilai Sensori Produk Akhir Tuna Steak Beku
Pengamatan Nilai Simpangan Nilai Organoleptik
1. 8,1 ≤ µ ≤ 8,2 8
2. 8,5 ≤ µ ≤ 8,8 7
3. 8,7≤ µ ≤ 8,8 9
4. 7,6 ≤ µ ≤ 7,8 8
5. 8,3≤ µ ≤ 8,4 8
96

Berdasarkan tabel diatas rata-rata nilai sensori produk tuna steak beku
kurang dari standar SNI 01-4485.1-2006 yaitu spesifikasi nilai organoleptik
minimal 8 adalah sebagai berikut lapisan es tidak rata, ada bagian yang terbuka
sebanyak 10%, sedikit mengalami pengeringan pada permukaan produk 10%.
sedikit mengalami perubahan warna pada permukaan produk sebanyak 10%,
setelah dilelehkan kenampakan warna spesifik jenis cerah, bentuk hampir
seragam, ketebalan seragam, bau segar, tesktur kompak, padat, dan elastis.
Mutu produk akhir dapat memenuhi standar yang ditetapkan karena
proses pembekuan menggunakan mesin ABF yang merupakan proses
pembekuan cepat. Menurut Koswara (2009), bahwa pembekuan cepat
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan cara lambat karena kristal
es yang terbentuk sehingga kerusakan mekanis yang terjadi lebih sedikit. Bahan
makanan yang dibekukan dengan cara cepat mempunyai mutu lebih baik
daripada pembekuan lambat.
Mutu sensori produk akhir lebih baik daripada mutu organoleptik bahan
baku dikarenakan yake, tumor, daging lembek pada daging tuna dibuang saat
daging dipotong menjadi steak dan PT Permata Marindo Jaya telah melakukan
CO treathment untuk memberi warna lebih cerah pada daging tuna.
5.3.2 Pengujian Mikrobiologi
Pengujian mikrobiologi dilakukan pada bahan baku dan produk akhir.
Parameter pengujian mikrobiologi untuk bahan baku adalah Angka Lempeng
Total (ALT), Escherichia coli, Salmonella, Vibrio cholerae. Parameter pengujian
mikrobiologi untuk produk akhir adalah Angka Lempeng Total (ALT), Escherichia
coli, Salmonella, Vibrio cholerae dan Listeria monocytogenes. Pengujian Listeria
monocytogenes dilakukan karena adanya proses pendinginan sementara
(chilling) pada PT Permata Marindo Jaya pada suhu 0-3,30C selama 1-3 hari.
Menurut FDA (2011) pada suhu 0,4-50C selama 7 hari Listeria monocytogenes
dapat tumbuh.
Pengujian bahan baku dilakukan di laboratorium internal yang hasilnya di
uji banding di laboratorium eksternal yang terakreditasi, sedangkan produk akhir
diuji di Pusat Produksi Inspeksi dan Sertifikasi Hasil Perikanan (PPISHP) Jakarta.
A. Pengujian Mikrobiologi Bahan Baku
Hasil pengujian bahan baku segar dapat dilihat pada tabel 26.
97

Tabel 26. Hasil pengujian Bahan Baku Segar (PT PMJ, 2019)
Pengamatan ALT E.colli Salmonella Vibrio cholerae
ke- (kol/gr) (MPN/gr) (per 25 gr) (per 25 gr)
Standar 5x105 <2 Negatif Negatif
1 10x103 <2 Negatif Negatif
2 9x103 <2 Negatif Negatif
3 8x103 <2 Negatif Negatif
4 8x103 <2 Negatif Negatif
5 12 x103 <2 Negatif Negatif

Berdasarkan hasil pengujian bahan baku pada tabel 26 yang


menunjukkan bahan baku telah memenuhi karena hasil pengujian masih
dibawah <5x105 koloni/gram. Hasil pengujian bakteri E coli pada bahan baku
rata-rata kurang 2 MPN/gr, Salmonella dan Vibrio cholerae adalah negatif. Hasil
pengujian ini memenuhi standar SNI 2729:2013 bahwa E coli maksimal 2
MPN/gr, Salmonella, Vibrio cholerae negatif.
Hasil Pengujian mikrobiologi bahan baku bentuk beku (frozen) dapat
dilihat pada tabel 27.
Tabel 27. Hasil Pengujian Bahan Baku Beku (PT PMJ, 2019)
Pengamatan ALT E.colli Salmonella Vibrio cholerae
ke- (kol/gr) (MPN/gr) (per 25 gr) (per 25 gr)
Standar 5x105 <2 Negatif Negatif
1 12x103 <2 Negatif Negatif
2 10x103 <2 Negatif Negatif
3 11x103 <2 Negatif Negatif
4 10x103 <2 Negatif Negatif
5 12 x103 <2 Negatif Negatif
Rata-rata 11 x103 <2 Negatif Negatif

Berdasarkan hasil pengujian bahan baku pada Tabel 27 yang


menunjukkan nilai ALT bahan baku ikan tuna beku telah memenuhi karena hasil
pengujian masih di bawah <5x105 koloni/gram. Hasil pengujian bakteri E coli
pada bahan baku rata-rata kurang 2 MPN/gr, Salmonella dan Vibrio cholerae
adalah negatif. Hasil pengujian ini memenuhi standar SNI SNI 4110:2014 bahwa
E coli maksimal 2 MPN/gr, Salmonella, Vibrio cholerae negatif.
B. Pengujian Mikrobiologi Produk Akhir
Hasil pengujian mikrobiologi produk akhir tuna steak dapat dilihat pada tabel 28.
98

Tabel 28. Hasil Pengujian Mikrobiologi Produk Akhir (PT PMJ, 2019)
Vibrio L. monocytogenes
Pengamat ALT E.colli Salmonella
cholerae (per 25 gr)
an ke- (kol/gr) (MPN/gr) (per 25 gr)
(per 25 gr)
Standar 5x105 <2 Negatif Negatif Negatif
1 4 x102 <2 Negatif Negatif Negatif
2 4 x102 <2 Negatif Negatif Negatif
3 4 x102 <2 Negatif Negatif Negatif
4 5 x102 <2 Negatif Negatif Negatif
5 5 x102 <2 Negatif Negatif Negatif
6 5 x 102 <2 Negatif Negatif Negatif

Berdasarkan hasil pengujian bahan baku secara mikrobiologi pada Tabel


28 yang menunjukkan telah memenuhi nilai standar SNI 2729:2013 karena hasil
pengujian masih dibawah <5x105 koloni/gram. Hasil penggujian Angka Lempeng
Total dari bahan baku ke produk akhir turun dikarenakan adanya proses
pencucian dan penyinaran ultraviolet yang menyebabkan turunnya nilai Angka
Lempeng Total (ALT). Hasil pengujian bakteri E coli pada bahan baku selama 6
kali pengujian adalah kurang dari 2 MPN/gr, Salmonella dan Vibrio cholerae
selama 6 kali pengujian adalah negatig. Hasil pengujian ini memenuhi standar
SNI SNI 2729:2013 bahwa E coli maksimal 2 MPN/gr, Salmonella, Vibrio
cholerae dan Listeria monocytogenes adalah negatif. Pengujian Listeria
monocytogenes dilakukan karena adanya proses pendinginan sementara
(chilling) pada PT Permata Marindo Jaya pada suhu 0-3,30C selama 1-3 hari.
Menurut FDA (2011) pada suhu 0,4-50C selama 7 hari Listeria monocytogenes
dapat tumbuh.
5.3.3 Pengujian Kimia
Pengujian kimia pada bahan baku dan produk akhir adalah pengujian
histamin yang dilakukan di laboratorium perusahaan. Hasil pengujian histamin
bahan baku, setelah CO dan produk akhir dapat dilihat pada Tabel 23.
Pengujian histamin dilakukan dengan Veratox. Penulis mengambil 7
sampel dari 7 kapal approval supplier. Pengambilan sampel dilakukan pada
bagian ekor, perut dan bawah sirip ikan tuna. Pengambilan sampel dilakukan
dengan cara mengkompositan 3 ikan menjadi satu sampel. Untuk hasil pengujian
kadar histamin saat penerimaan bahan baku ikan tuna dari tujuh kapal dapat
dilihat pada tabel 29 dan grafiknya dapat dilihat pada gambar 17.
99

Tabel 29. Kadar Histamin Bahan Baku , Setelah CO dan Pembentukkan Steak
Kadar Histamin (ppm)
Bagian yang
Penerimaan
Nama Kapal Dijadikan Pembentukkan
Bahan Setelah CO
Sampel Steak
Baku
KM Hasil Laut 21 Ekor 0,5 1 1
KM Bintang Mas 2 Ekor 0,2 0,4 0,5
KM Bintang Barat Perut 0,1 0,2 0,2
KM Bintang Bahari Perut 0 0,1 0,1
88
KM Cipta Jaya 89 Perut 0,5 0,6 0,7
KM Roda Terbah 9 Sirip 0,2 0,3 0,4
KM Pelita Harapan Sirip 0,2 0,3 0,4

1.2
1 1
1

0.8 0.7
0.6
0.6 0.5 0.5 0.5
0.4 0.4 0.4
0.4 0.3 0.3
0.2 0.2 0.2 0.2
0.2 0.2
0.1 0.1 0.1
0
0
KM Hasil KM Bintang KM Bintang KM Bintang KM Cipta KM Roda KM Pelita
Laut 21 Mas 2 Barat Bahari 88 Jaya 89 Terbang 9 Harapan

Penerimaan Bahan Baku Setelah Co Pembentukan Steak

Gambar 17. Kadar Histamin Bahan Baku , Setelah CO dan Pembentukkan


Steak
Untuk rata-rata suhu dan waktu selama tujuh kali pengamatan saat
penerimaan bahan baku, setelah CO dan pembentukan steak dapat dilihat pada
tabel 30.
100

Tabel 30. Suhu dan Waktu Penerimaan Bahan Baku, Setelah CO dan
Pembentukan Steak
Bagian Suhu (0C) Waktu (menit)
yang Pemben Penerimaan
Nama Kapal Penerimaan Setelah Setelah Pembentu
dijadikan tukan Bahan
Bahan Baku CO CO kan Steak
sampel Steak Baku
KM Hasil Ekor -16,6 12,3 2,3 8 5 5
Laut 21
KM Bintang Ekor 2,4 5,0 2,2 5,5 4,5 10
Mas 2
KM Bintang Perut -0,5 2,3 2,3 11 4,5 7
Barat
KM Bintang Perut -0,5 1,7 1,2 11 4,5 7
Bahari 88
KM Cipta Perut 6,9 5,3 2,5 5,5 4,5 10
Jaya 89
KM Roda Sirip 2,0 8,2 3,2 12,4 10 8
Terbang 9
KM Pelita Sirip 1,0 7,5 2,9 12,4 10 8
Harapan

Bahan baku pada KM Hasil Laut 21 adalah tuna beku (Frozen Tuna).
Kadar Histamin ekor pada KM Hasil Laut 21 pada penerimaan bahan baku
adalah 0,5 ppm, setelah mengalami penyuntikan CO adalah 1,0 ppm dan pada
pembentukan steak 1,0 ppm. Kenaikan kadar histamin dari bahan baku diterima
ke setelah penyuntikan CO dikarenakan adanya kenaikan suhu sebanyak 310C.
Penaikan suhu yang cukup tinggi ini disebabkan karena adanya proses thawing
pada suhu ruang (180C) selama 19 jam. Untuk tetap menjamin mutu produk tetap
terjaga PT Permata Marindo Jaya (PMJ) melakukan tindakan koreksi berupa
pengujian histamin. Untuk memastikan keamanan produk PT PMJ juga
melakukan pengujian Angka Lempeng Total (ALT), Salmonella, E.colli,
Clostridium botulinum, Vibrio chlorelae dan Yersinia Enterocolitica pada bahan
baku tuna setelah mengalami thawing. Untuk hasil uji dapat dilihat pada lampiran
9. Pada produk akhir kadar histamin tidak berubah karena suhu pada
pembentukan steak adalah 2,30C.
Kadar Histamin ekor pada KM Bintang Mas 2 pada penerimaan bahan
baku adalah 0,2 ppm, setelah mengalami penyuntikan CO adalah 0,4 ppm dan
pada pembentukan steak 0,5 ppm. Kenaikan kadar histamin dari bahan baku
diterima ke setelah penyuntikan CO dikarenakan adanya kenaikan suhu
sebanyak 2,60C. Pada produk akhir kadar histamin tidak berubah karena suhu
pada pembentukan steak adalah 2,20C.
101

Kadar Histamin perut pada KM Bintang Barat pada penerimaan bahan


baku adalah 0,1 ppm, setelah mengalami penyuntikan CO adalah 0,2 ppm dan
pada pembentukan steak 0,2 ppm. Kenaikan kadar histamin dari bahan baku
diterima ke setelah penyuntikan CO dikarenakan adanya kenaikan suhu
sebanyak 2,30C. Pada produk akhir kadar histamin tidak berubah karena suhu
pada pembentukan steak adalah 2,30C.
Kadar Histamin perut pada KM Bintang Bahari 88 pada penerimaan
bahan baku adalah 0 ppm, setelah mengalami penyuntikan CO adalah 0,1 ppm
dan pada pembentukan steak 0,1 ppm. Kenaikan kadar histamin dari bahan baku
diterima ke setelah penyuntikan CO dikarenakan adanya kenaikan suhu
sebanyak 3,20C. Pada produk akhir kadar histamin tidak berubah karena suhu
pada pembentukan steak adalah 1,20C.
Kadar Histamin perut pada KM Cipta Jaya 89 pada penerimaan bahan
baku adalah 0,5 ppm, setelah mengalami penyuntikan CO adalah 0,6 ppm dan
pada pembentukan steak 0,7 ppm. Pada produk akhir kadar histamin tidak
berubah karena suhu pada pembentukan steak adalah 2,50C.
Kadar Histamin perut pada KM Roda Terbang 9 pada penerimaan bahan
baku adalah 0,2 ppm, setelah mengalami penyuntikan CO adalah 0,3 ppm dan
pada pembentukan steak 0,4 ppm. Kenaikan kadar histamin dari bahan baku
diterima ke setelah penyuntikan CO dikarenakan adanya kenaikan suhu
sebanyak 6,20C. Pada produk akhir kadar histamin tidak berubah karena suhu
pada pembentukan steak adalah 3,20C.
Kadar Histamin perut pada KM Pelita Harapan pada penerimaan bahan
baku adalah 0,2 ppm, setelah mengalami penyuntikan CO adalah 0,3 ppm dan
pada pembentukan steak 0,4 ppm. Kenaikan kadar histamin dari bahan baku
diterima ke setelah penyuntikan CO dikarenakan adanya kenaikan suhu
sebanyak 6,50C. Pada produk akhir kadar histamin tidak berubah karena suhu
pada pembentukan steak adalah 2,90C.

5.4 Pengamatan Sanitation Standard Operating Prosedures (SSOP)


5.4.1 Keamanan Air dan Es
Kunci pertama SSOP ini bertujuan menjamin air dan es yang secara
langsung maupun tidak langsung bersentuhan dengan produk aman dan
memenuhi standar perusahaan. Air yang digunakan di PT. Permata Marindo
102

Jaya adalah air ozon. Air tersebut digunakan untuk proses produksi, mencuci
peralatan, mencuci ikan dan proses pembuatan flakes ices.
Air yang digunakan di area produksi pada PT. Permata Marindo Jaya
diperiksa setiap hari oleh laboratorium internal untuk parameter fisik dan setiap 3
bulan sekali untuk parameter biologi dan uji eksternal satu tahun sekali.
Sebelum digunakan air pada PT. Permata Marindo Jaya mengalami water
treathment terlebih dahulu. Water treatment terdiri dari penyaringan dengan sand
filter dan carbon filter, filter cadridge, ozon dan penyinaran UV, hal ini bertujuan
untuk menyaring air dan mematikan bakteri patogen yang terdapat pada air.
Es yang digunakan di PT. Permata Marindo Jaya adalah flakes ices. Flakes
ices dibuat sendiri oleh PT. Permata Marindo Jaya. Kapasitas maksimal perhari
yang dapat dihasilkan adalah 30 ton flakes ices. Untuk air yang digunakan
membuat es adalah air ozon yang sudah teruji atau memenuhi syarat bersih dan
terhindar dari cemaran, hal ini sesuai PERMENKES RI No.
492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum, air yang
digunakan dalam industri pangan harus memenuhi persyaratan air minum. Air
minum haruslah bebas dari bakteri dan senyawa-senyawa berbahaya, tidak
berwarna, tidak berbau, dan tidak keruh. Es yang digunakan di PT Permata
Marindo Jaya (PMJ) adalah flakes ices dapat dilihat pada gambar 18.

Gambar 18. Ruang Flakes ices (PT PMJ, 2019)


Berdasarkan Gambar 18 diatas diketahui bentuk es yang digunakan PT.
Permata Marindo Jaya adalah flakes ices hal ini sesuai dengan SNI 01-4872.1-
2006 tentang spesifikasi es untuk penanganan ikan yang menyatakan bahwa es
yang digunakan adalah es yang berasal dari air yang memenuhi persyaratan
mutu air minum yang dibekukan dalam bentuk keping (flakes ices), tabung (tube
ice), kubus (cube ice) dan pelat (plate ice). Es keping tipis (flake ice) adalah es
103

dengan lempengan-lempengan tipis dengan tebal 5 mm dan diameter ±3 cm.


Prosedur yang dapat dilakukan PT Permata Marindo Jaya meliputi
1. Air dan es harus berstandar air minum.
2. Air harus melewati water treatment sebelum digunakan.
3. Air bersih dan air kotor tidak boleh bercampur.
PT Permata Marindo Telah memisahkan antara air untuk mencuci produk
dan air untuk mencuci peralatan, hal ini dapat dilihat dari sistem pemipaan untuk
mencuci produk dan air untuk mencuci peralatan dibedakan. Hal ini dapat dilihat
pada layout pemisahan pemipaan pada lampiran 10.
Tindakan monitoring yang dilakukan perusahaan adalah air dan es diuji
fisik oleh Quality Control (QC) dengan persyaratan air tersebut tidak berwarna,
berbau, jernih dan tidak berasa hal ini masih sesuai dengan PERMENKES RI No.
492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum, air yang
digunakan dalam industri pangan harus memenuhi persyaratan air minum. Air
minum haruslah bebas dari bakteri dan senyawa-senyawa berbahaya, tidak
berwarna, tidak berbau, dan tidak keruh. Es juga harus memenuhi peryaratan
SNI 01-4872.1-2006 yaitu es untuk penanganan ikan. Untuk pengecekan fisik
dan pengujian eksternal air dan es dapat dilihat pada lampiran 7.
Tindakan koreksi yang dilakukan perusahaan jika air dan es tidak lolos uji
fisik dan uji mikobiologi dan kimia adalah melakukan pemberhentian operasi dan
water treatment. Produk yang sudah kontak langsung dengan air dan es juga
harus dihold terlebih dahulu dan diuji mutu organoleptik dan mikrobiologinya. Jika
kesalahan ada pada saat water treatment, lakukan perbaikan mesin yang
digunakan water treatment.
5.4.2 Kondisi Permukaan yang Kontak Langsung Dengan Produk
Kunci kedua SSOP ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua
peralatan yang bersentuhan dengan produk harus dalam kondisi saniter.
Peralatan yang digunakan di PT. Permata Marindo Jaya dirancang dan terbuat
dari bahan tahan karat, mudah dibersihkan, tidak menyerap air dan tidak
menyebabkan kontaminasi terhadap produk. Pencucian peralatan dilakukan
sebelum dimulai proses dan setelah proses berlangsung hal ini sesuai dengan
Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (2013),
bahwa peralatan dan perlengkapan yang digunakan berhubungan langsung
dengan ikan yang diolah harus terbuat dari bahan tahan karat, tidak menyerap
104

air, mudah dibersihkan dan tidak menyebabkan kontaminasi terhadap hasil


perikanan.
Setiap alat memiliki tanda tertentu untuk membedakan alat ruang proses
satu dengan lainnya dan untuk alat penanganan limbah dibedakan dengan alat
penanganan dan pengolahan produk. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan nomor 52A/KEPMEN-KP/2013 Peralatan dan
perlengkapan yang digunakan harus diberi tanda dan dipisahkan dengan jelas
supaya tidak dipergunakan untuk menangani ikan, bahan penolong, bahan
tambahan pangan serta produk akhir.
Bahan pembersih yang digunakan adalah hand soap atau sabun
pembersih bermerk tipol yang bening, tidak berbau dan aman untuk peralatan
dan sangat baik untuk menghilangkan kotoran pada setiap peralatan. Hal ini
sudah sesuai dengan Purnawijayanti (2001) bahwa bahan pembersih yang
sering digunakan dalam proses pembersihan antara lain : pembersih alkali,
pembersih asam, sabun dan detergen. Penggunaan bahan pembersih bertujuan
untuk membersihkan atau menghilangkan cemaran bentuk apapun pada industri
pengolahan hasil perikanan. Sedangkan untuk bahan sanitizer yang digunakan
adalah klorin 17 ppm dan alkohol 70 % dengan tujuan untuk menghilangkan
bakteri dalam industri pengolahan produk perikanan. Hal ini sudah sesuai
dengan tujuan penggunaan sanitizer untuk mereduksi atau menghilangkan
jumlah mikroorganisme patogen dan perusak di dalam industri pengolahan hasil
perikanan, serta pada fasilitas dan perlengkapan persiapan serta pengolahan.
Pencucian ini dilakukan dengan air biasa lalu direndam dengan air
berklorin 100 ppm sampai diambil digunakan kembali hal ini sesuai dengan
SSOP Perusahaan dan Purwaningsih (2000), bahwa peralatan dan
perlengkapan pembantu yang bersentuhan dengan bahan yang diolah, kecuali
terhadap produk akhir yang dikemas harus selalu dibersihkan dan desinfeksi
sekurang–kurangnya satu kali dalam satu gilir kerja. Setiap peralatan diberi tanda
agar ada pembeda antara peralatan ruang satu dengan ruang lainnya dan untuk
mencegah kontainasi silang.
Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah
1. Pembersihan peralatan meliputi tahap pembersihan dan sanitasi yaitu :
a) Pre Rinse, yaitu menghilangkan kotoran dengan menghilangkan kotoran,
membilas dengan air, menyedot kotoran dan sebagainya dan dilaakukan
pencucian.
105

b) Detergent Application, yaitu membilas kotoran dengan pemebersih seperti


detergent dari permukaan lalu memakai desinfektan untuk membunuh
mikroba (PT Permata Marndo Jaya memakai klorin sebagi desinfektan).
c) Post Rinse, yaitu dengan cara dan pembilasan dengan air bersih untuk
mengurangi maupun menghilangkan residu
d) Sanitasi, yaitu pembilasan akhir alat-alat yang dibersihkan.
2. Detergent yang digunakan adalah jenis detergent food grade.
3. Pembersihan dan sanitasi dilakukan sebelum dan setelah proses pengolahan.
4. Pembersihan selama proses pengolahan di ruang khusus sanitasi.
5. Sarung tangan pekerja harus sekali pakai dan avron harus dicuci setelah
proses produksi untuk menjaga hygiene pekerja
Monitoring yang dilakukan agar prosedur berjalan lancar adalah :
1. Tahap pembersihan (pre-rinse, detergent application, post-rinse dan sanitasi)
dicek visual setiap 4 jam dan akhir operasi oleh QC.
2. Tipe dan konsentrasi detergent dan klorin dicek dengan teskit setiap sebelum
proses.
3. Kondisi permukaan dan kebersihan yang kontak langsung dengan produk
dicek secara visual oleh QC setiap sebelum proses dan setelah proses.
4. Pengecekan secara visual kebersihan sarung tangan dan avron pekerja.
Tindakan koreksi yang dilakukan jika monitoring tidak berjalan lancar
adalah :
1. Berhentikan proses pembersihan dan sanitasi, cek kebersihan alat, lakukan
pembersihan ulang dan lakukan training karyawan.
2. Berhentikan penggunaan bahan sanitasi atau detergent yang tidak sesuai
atau tidak food grade, lakukan pembuatan bahan sanitasi ulang dan Training
karyawan.
3. Lakukan pemberhentian proses jika ada Kondisi permukaan dan kebersihan
yang kontak langsung dengan produk kotor dan lakukan pembersihan ulang.
4. Jika sarung tangan dan avron pekerja dalam keadaan kotor segera lakukan
penggantian dan training karyawan. Untuk monitoring pengecekan
kebersihan alat – alat produksi dapat dilihat pada lampiran 11.
5.4.3 Pencegahan Kontaminasi Silang
Kunci SSOP ketiga ini bertujuan untuk mencegah kontaminasi silang
antara produk dengan lingkungan pabrik, bahan tambahan dan personil.
106

PT Permata Marindo Jaya telah melakukan beberapa prosedur yang dapat


mencegah terjadinya kontaminasi terhadap produk, prosedur tersebut
diantaranya
1. Pekerja memakai seragam kerja lengkap mulai dari penutup kepala, sarung
tangan, masker wajah, sepatu boot dan avron harus dipakai setiap kali
memasuki ruang proses untuk menjaga hygiene karyawan.
2. Peralatan aministrasi yang tidak boleh dibawa ke ruang proses antara lain
tinta spidol, klip kertas semua warna dan ukuran, pisau cutter, staples, stipo,
stabilo, penggaris mika, pensil dan isinya, penghapus, polpen dengan tutup.
Hal ini bertujuan untuk mencegah kontaminasi terhadap produk.
3. Karyawan mencuci tangan pada air dengan kandungan klorin 17 ppm Sabun
yang digunakan adalah sabun yang berwarna bening dan tidak beraroma agar
tidak mengkontaminasi produk. Setiap satu jam sekali pekerja juga harus
mencuci tangan.
4. Lay out PT Permata Marindo (PMJ) disusun untuk mencegah adanya
kontaminasi silang. Hal ini sesuai pendapat Thaheer, (2005) bahwa layout
pabrik yang baik, ruang yang cukup untuk memenuhi tujuan produksi, dan
pemisahan ruang proses dengan ruangan lainnya seperti gudang
penyimpanan dan fasilitas lain. Untuk lay out dapat dilihat pada lampiran 10.
Monitoring yang dapat dilakukan agar prosedur dapat berjalan lancar
adalah
1. Pemeriksaan seragam kerja lengkap oleh QC sebelum pekerja memasuki
ruang proses.
2. Pemeriksaan secara visual oleh QC per bagian proses untuk memeriksa
apakah ada peralatan administrasi masih ada di ruang proses.
3. Pemeriksaan secara visual oleh QC perbagian proses memastikan bahwa
karyawan mencuci tangan satu jam sekali.
Tindakan koreksi yang dilakukan QC jika monitoring tidak berjalan sesuai
adalah :
1. Jika ada pekerja yang tidak memakai sseragam kerja lengkap maka
karyawan dilarang masuk proses dan dilakukan training karyawan.
2. Jika ditemukan peralatan administrasi di ruang proses maka QC
memindahkan peralatan administrasi tersebut ke luar ruang proses.
3. Apabila ada karyawan yang tidak mencuci tangan maka QC memberi
peringatan untuk pekerja dan dilakukan training karyawan
107

4. Jika layout pabrik menyebabkan adanya kontaminasi silang maka dilakukan


perubahan layout pabrik.
Pada pengamatan penulis selama di lapangan prosedur yang telah
ditetapkan untuk pencegahan kontaminasi silang belum dilakukan sepenuhnya
oleh pekerja yaitu masih ditemukan adanya klip kertas hitam besi di ruang
penyinaran UV1. Hal ini dapat mengkontaminasi produk dengan potensi bahaya
serpihan logam jika kontak langsung dengan produk.
5.4.4 Fasilitas Kebersihan, Toilet dan Cuci Tangan
Kunci keempat ini bertujuan memastikan alat cuci tangan, pencucian kaki
dan toilet dalam keadaan bersih, aman digunakan dan tidak mencemari produk.
Fasilitas kebersihan yang terdapat di ruang proses antara lain sikat, kran sabun,
serokan kecil dan serokan lantai. Fasilitas kebersihan ini diletakkan di setiap
sudut ruangan proses. Fasilitas kebersihan antar ruangan diberi tanda agar tidak
tertukar dengan ruangan lain dan dapat mengkontaminasi produk. Tempat
pencuci tangan terletak didekat pintu masuk ruang proses pengolahan. Fasilitas
pencuci tangan meliputi kran cuci tangan yang bersistem otomatis, sabun
sebagai saniter, tissue dan hand dryer untuk mengeringkan tangan. PT Permata
Marindo Jaya juga menyediakan bak pencuci kaki yang dicampur klorin dengan
konsntrasi 200 ppm di depan ruang proses.
Jumlah tempat cuci tangan adalah 5 buah dengan jumlah karyawan 67
orang. Hal ini sudah sesuai dengan PERMEN 75/M-IND/PER/7/2010 bahwa 70
karyawan membutuhkan 5 tempat pencuci tangan. Jumlah toilet yang tersedia
adalah 8 toilet untuk 67 karyawan. Jumlah fasilitas toilet ini sudah sesuai dengan
PERMEN 75/M-IND/PER/7/2010 untuk 70 karyawan membutuhkan 4 toilet yang
seharusnya tersedia dialam UPI. Sabun dan tissue membantu sanitasi dan
hygiene karyawan berjalan dengan baik sehingga tidak terjadi kontaminasi yang
dapat menimbulkan kemunduran mutu produk yang diolah. Menurut Murniati
dan Sunarman (2000), salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk
mempertahankan mutu ikan terhadap pembusukan adalah melindungi ikan
terhadap kontaminasi bakteri dan penyebab kerusakan lain yang datang dari
luar.
Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya dalam penerapan
SSOP menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet adalah :
1. Fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet harus dijaga kebersihannya untuk
mencegah kontaminasi produk. Hal ini sesuai dengan CAC/RCP 1:2011
108

bahwa fasilitas seharusnya mencangkup sarana yang memadai untuk


mencuci dan mengeringkan tangan secara higienis termasuk tempat cuci
tangan dan persediaan air panas dan dingin, toilet dengan desain yang
higienis, fasilitas ruang ganti karyawan yang memadai.
2. Fasilitas pencuci tangan meliputi kran cuci tangan yang bersistem otomatis,
sabun sebagai saniter, tissue dan hand dryer harus selalu ada dan dalam
kondisi baik.
Tindakan monitoring terhadap prosedur yang telah ditetapkan adalah
Kondisi fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet dicek kondisinya sebelum dan
selesai proses produksi. Tindakan koreksi yang dilakukan jika monitoring tidak
tercapai adalah lakukan pembersihan ulang fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan
toilet dan perbaiki atau isi bahan perlengkapan toilet dan fasilitas pencuci tangan.
5.4.5 Perlindungan terhadap Bahan-bahan Kontaminan
Kunci SSOP kelima ini bertujuan untuk memastikan agar produk dan
kemasan serta permukaan yang kontak dengan pangan terproteksi dari
microbial, bahan kimia dan kontaminasi fisik. Prosedur yang diterapkan PT
Permata Marindo Jaya adalah
1. Operasi sanitasi harus dilaksanakan sesuai prosedur dan jadwal.
2. Bahan pengemas harus dijamin kebersihannya selama penyimpanan dan
penggunaan.
3. Penanganan limbah padat dikemas dalam container/box tertutup.
4. Pastikan aliran udara atau ventilasi bekerja dengan baik untuk mencegah
kondensasi.
5. Hindari membuka tutup ruang yang memiliki suhu tinggi dan suhu rendah.
Tindakan monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah :
1. Bahan-bahan yang berpotensi toksin dicek setiap hari sekali oleh QC.
2. Penyimpanan bahan pengemas dicek setiap hari oleh QC.
3. Aliran udara dan potensi kondensasi dicek setiap 4 jam oleh QC.
Tindakan koreksi yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya saat
monitoring tidak berjalan sesuai prosedur adalah
1. Gunakan penutup untuk melindungi produk saat penggunaan produk saat
penggunaan bahan toksin dan lakukan di luar area.
2. Hilangkan bahan kontaminasi dari permukaan dan cuci.
3. Perbaiki aliran udara suhu ruang untuk mengurangi kondensasi.
4. Training.
109

5.4.6 Syarat Label dan Penyimpanan Bahan Kimia


Kunci SSOP keenam ini bertujuan untuk menjamin bahwa pelabelan,
penyimpanan, dan penggunaan bahan-bahan kimia adalah benar-benar untuk
memproteksi produk dari kontaminasi bahan-bahan kimia tersebut. Contoh label
bahan kimia dapat dilihat pada gambar 19.

Gambar 19. Label Bahan Kimia (PT PMJ, 2019)


Pada gambar 19 dapat diketahui bahwa PT. Permata Marindo Jaya
telah menerapkan prosedur pelabelan dan penyimpanan dengan baik, setiap
bahan kimia diberi label yang jelas sehingga dapat dipahami dan penyimpanan
bahan kimia induk terdapat di ruang bahan kimia yang terpisah dengan ruangan
produksi, namun setiap bahan kimia seperti alkohol, klorin dan sabun pembersih
di simpan di setiap sudut ruangan proses diberi label yang berbeda antar ruang
proses, pemberian label ini bertujuan untuk membedakan penggunaan bahan
kimia setiap ruangan dan menjaga agar tidak terjadi tercampurnya bahan kimia
satu dengan yang lainya hal ini sudah sesuai dengan Thaheer, 2005 bahwa
SSOP ini mencakup tata cara dan jenis pelabelan yang diterapkan pada bahan-
bahan kimia yang digunakan, baik untuk produksi maupun pembersihan
fumigasi, desinfeksi, dan sebagainya. Untuk itu pelabelan dan penyimpanan
dapat digolongkan berdasarkan jenis bahan. Setiap pengambilan bahan kimia
dan bahan tambahan CO selalu dicatat. Dilakukan pembersihan ruang
penyimpanan termasuk gudang bahan kimia dan hanya personil tertentu yang
punya akses.
Pada tahap pengemasan produk telah dilakukan pelabelan yang berisi
informasi nama produk, tanggal kedaluarsa, berat bersi, kode produksi, cara
penyajian dan penyimpanan, allergen, CO treatment dan segala informasi yang
berkaitan dengan produk hal ini sudah sesuai dengan 52A/KEPMEN-KP/2013
bahwa untuk tujuan pengawasan ketertelusuran (traceability) produk, digunakan
label (untuk produk yang dikemas) atau dokumen yang menyertai (untuk produk
110

yang tidak dikemas). Informasi tersebut yang mencakup: asal dan jenis produk
yang dapat ditulis secara lengkap atas singkatan dengan menggunakan huruf
besar; dan nama dan nomor registrasi UPI dan kapal penangkap atau
pengangkut ikan yang melakukan pembekuan.
Prosedur yang diterapkan oleh PT Permata Marindo Jaya adalah :
1. Penggunaan bahan kimia harus sesuai instruksi.
2. Bahan kimia disimpan di tempat yang aman dan akses terbatas.
Penyimpanan bahan kimia ini untuk pusatnya dilakukan di gudang bahan
kimia namun untuk setiap ruang proses terdapat tempat tempat khusus
penyimpanan alkohol dan sabun yang digunakan di ruang tersebut. QC
melakukan cek kondisi bahan kimia, pembersih dan sanitizer setiap harinya. Jika
bahan kimia, pembersih dan sanitizer habis maka segera dilakukan penggantian.
Semua bahan kimia, pembersih dan sanitizer yang.digunakan menurut jenisnya
dan diberi label yang jelas untuk menghindari kesalahan dalam penggunaannya.
3. Hanya personil terlatih dan ditunjuk yang menangani bahan kimia.
Monitoring dilakukan untuk memastikan prosedur berjalan dengan baik
adalah
1. Pelabelan dicek setiap hari sekali oleh QC.
2. Penyimpanan bahan kimia dicek setiap hari sekali oleh QC.
3. Penggunaan bahan kimia dicek setiap hari sekali oleh QC.
Tindakan koreksi yang dilakukan jika monitoring tidak dapat terpenuhi
adalah :
1. Buang bahan kimia tanpa label
2. Tempatkan bahan toksin dengan akses terbata. Memisahkan bahan food
grade dengan non food grade dan jauhkan dari peralatan dan barang-barang
kontak langsung dengan produk.
3. Recall produk yang terkena dan kembali praktek menurut instruksi
perusahaan.
4. Training.
5.4.7 Kesehatan Karyawan
SSOP ketujuh ini bertujuan untuk mengelola personil yang mempunyai
tanda-tanda penyakit, luka atau kondisi lain yang dapat menjadi sumber
kontaminasi. Karyawan harus dalam kondisi sehat dan tidak menderita penyakit
infeksi selama bekerja di area produksi. Petugas keamanan proses harus
111

memeriksa kondisi karyawan sebelum mereka memasuki area proses. Laporan


pemeriksaan karyawan dapat dilihat pada lampiran 12.
Prosedur yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah :
1. Saat penerimaan karyawan harus dilengkapi surat kesehatan
2. Jika terdapat karyawan dalam kondisi tidak sehat, maka petugas keamanan
tidak mengijinkan karyawan memasuki area proses, hingga mereka
mendapatkan keterangan dari dokter bahwa mereka dalam kondisi sehat.
3. PT. Permata Marindo Jaya juga memberikan medical check-up satu tahun
sekali. hal ini sudah sesuai dengan SSOP Perusahaan dan Thaheer (2005)
bahwa ketentuan mengenai cara pelaporan karyawan yang sakit atau
mendapatkan perawatan karena sakit.
Monitoring yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya adalah:
1. Pengecekan surat kesehatan personil saat penerimaan oleh personalia
2. Evaluasi hasil pelatihan karyawan oleh QC.
3. Pengecekan tanda-tanda penyakit (diare, demam, muntah, penyakit kuning,
radang tenggorokan dan lainnya)
4. QC memastikan semua karyawan mengikuti medical check-up.
Tindakan koreksi yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya jika tindakan
monitoring belum dapat tercapai :
1. Tidak menerima karyawan yang tidak dilengkapi surat kesehatan.
2. Memulangkan atau mengistirahatkan personil yang sakit.
3. Melindungi bagian luka dengan impermeable bandage.
4. Training karyawan.
5.4.8 Pengendalian Pest
Kunci kedelapan SSOP ini bertujuan memastikan tidak ada pest atau
hewan pengerat yang masuk ke dalam ruang proses. Pengendalian pest yang
dilakukan oleh PT. Permata Marindo Jaya adalah dengan memasang insect killer
dan tirai plastik agar serangga dan hewan pengerat tidak dapat memasuki ruang
produksi. Prosedur yang dilakukan adalah :
1. Buang segera limbah atau sampah jangan sampai menumpuk.
Limbah selain juga sebagai media yang rawan untuk berpotensi
perkembangbiakan hama harus disimpan dalam wadah tertutup dan segera
dipindahkan dari ruang proses ke ruang penyimpanan limbah dan segera
didistribusikan ke pembeli limbah tersebut. Beberapa bakteri yang hidup pada
sampah adalah bakteri Clostridium perfingens, Salmonella shigella, Psedomonas
112

laceae, dan Lactobacillae. Sampah juga dihuni oleh virus, khamir, kapang,
ganggang, dan lumut. Sedangkan limbah cair sisa buangan cairan digemari
jasad renik. Seluruh jasad renik yang berhubungan dengan penyakit seperti
Clostridum botulinum dan Clostridium pefringens secara alami senang sekali
hidup tahan lama di air limbah tersebut (Thaheer, 2005).
2. Barang yang tidak digunakan disingkirkan dari ruang pengolahan
3. Pintu dan bagian yang dapat dibuka dilengkapi dengan tirai plastik
4. Ventilasi dilengkapi screen
5. Saluran air pembuangan dipasang pengaman
6. Insect killer ditempatkan pada setiap akses masuk (tidak di atas tempat
penanganan/ pengolahan produk) sesuai denah.
Penggantian umpan setiap satu minggu sekali dan setiap 6 bulan sekali
dilakukan pengecekan oleh perusahaan eksternal. Beberapa hama yang
membawa penyakit adalah lalat dan kecoa. Binatang pengerat merupakan
sumber Salmonella sedangkan burung adalah pembawa bakteri patogen
Salmonella dan Listeria (Winarno, 2011).
7. Pemasangan trap untuk pengerat sesuai denah pest control.
Monitoring dilakukan oleh PT. Permata Marindo Jaya adalah :
1. Pengecekan visual, gunakan flashlight untuk mengetahui tempat tersembunyi
dan perangkap binatang. Menjaga kebersihan dan memfasilitasi pengawasan
setiap hari oleh QC.
2. Cek akses masuk pintu, jendela, ventilasi, saluran air pembuangan setiap
hari oleh QC.
3. Cek lampu setiap hari oleh QC.
Tindakan koreksi yang dilakukan adalah tambahkan air curtain di atas
pintu luar an pindahkan wadah buangan keluar.

5.5 Penerapan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP)


5.5.1 Pembentukan Tim
PT. Permata Marindo Jaya mempermudah perencanaan HACCP dengan
membentuk tim yang terdiri dari berbagai elemen perusahaan agar informasi
yang dibutuhkan dalam perencanaan HACCP mudah diperoleh, hal ini sesuai
dengan BSN (1998) bahwa pengembangan rencana HACCP yang efektif secara
optimal dapat dicapai dengan pembentukan sebuah tim dari berbagai disiplin
ilmu. Menurut Muhandri et. al. (2015) Industri pangan harus menjamin bahwa
113

kemanpuan (pengetahuan dan keahlian) spesifik produk yang tersedia untuk


pengembangan dan penerapan HACCP. Karena itu tim HACCP harus terdiri
dari berbagai disiplin ilmu yang diperlukan. Jika industri tidak tersedia karyawan
dengan spesifikasi yang dibutuhkan, maka diperlukan keterlibatan konsultan dari
luar. Adapun tim HACCP pada PT Permata Marindo Jaya dapat dilihat pada tabel
31.
Tabel 31. Tim HACCP (PT Permata Marindo Jaya, 2019)
Nama Jabatan Pendidikan Kompetensi
Terakhir
Muji Sukisto QA S1- pengalaman 25 tahun di
Perikanan perikanan, HACCP, BRC Global
Standart untuk keamanan pangan
versi 6, 7, 8, ISO 22000
Nyoman Kepala S1-Pangan pengalaman 15 tahun di
Rentia Produksi perikanan, BRC Global Standart
untuk keamanan pangan versi 6,
7, 8, ISO 22000
Jaka Wiguna Kepala QC S1- keamanan pangan versi 6, 7, 8
Perikanan
Amir Maintenance S1-Teknik Pengalaman 15 tahun di
Mesin perikanan, pernah mengikuti
pelatihan kalibrasi alat ukur,
sensori, pest control, HACCP
BRC Global Standart untuk
keamanan pangan versi 8

Berdasarkan Tabel 31 dapat diketahui tim HACCP PT. Permata Marindo


Jaya memiliki ketua dan anggota tim. Tim HACCP terdiri atas Quality Assurance,
kepala produksi, kepala QC dan Maintenance. Hal ini sesuai dengan ISO
22000:2005 dan BRC (2019) tim keamanan pangan HACCP harus
dikembangkan dan dikelola oleh tim keamanan pangan yang multidisiplin ilmu,
yang termasuk di dalamnya bertanggung jawab menjamin mutu (Quality
Assurance), manajemen teknis, sistem produksi dan teknisi mesin atau yang
lainnya yang berhubungan dengan kemananan pangan (HACCP).
PT Permata Marindo Jaya telah menerapkan sistem multidisiplin ilmu,
yaitu QA pada PT. Permata Marindo Jaya berdasarkan latar belakang pendidikan
S1-Perikanan, kepala produksi mempunyai latar belakang penidikan S1-Pangan,
kepala QC memiliki latar belakang pendidikan S1-Perikanan dan maintenance
memiliki latar belakang S1-Teknik Mesin. PT Permata Marindo Jaya juga
memiliki tim HACCP yang berhubungan dengan keamanan pangan yaitu Quality
Assurance (QA), kepala produksi, kepala QC, dan maintenance.
114

Menurut BRC (2019) Ketua tim harus memiliki pengetahuan yang dalam
mengenai HACCP maupun sistem keamanan pangan yang dapat
mendemonstrasikan kemampuan tersebut, mempunyai pengalaman dan
mengikuti pelatihan terkait. Hal ini sudah sesuai dengan tim HACCP yang dimiliki
oleh PT Permata Marindo Jaya yaitu ketua tim HACCP, yaitu QA memiliki
pengalaman di bidang perikanan selama 25 tahun dan pernah mengikuti
pelatihan HACCP, BRC Global Standart untuk keamanan pangan versi 6, 7, 8
dan ISO 22000.
Menurut BRC (2019) Anggota tim HACCP harus memiliki kemampuan
khusus di bidang HACCP, memiliki pengetahuan tentang produk, proses dan
bahaya yang berkaitan. Hal ini sudah dilaksanakan oleh PT Permata Marindo
Jaya di mana semua anggota tim HACCP nya memiliki pengalaman di bidang
perikanan lebih dari 10 tahun terutama kepala QC nya memiliki pengalaman 20
tahun di bidang perikanan terutama di pengolahan tuna beku dan hal ini
membuktikan anggota tim HACCP PT Permata Marindo Jaya memiliki
kemampuan khusus di bidang HACCP, memiliki pengetahuan tentang produk
tuna beku, proses dan bahaya yang berkaitan dengan produk.
Tugas dan tanggungjawab tim HACCP perusahaan adalah melakukan
perancangan dan penerapan HACCP di PT. Permata Marindo Jaya hal ini sudah
sesuai dengan Muhandri et. al. (2015) bahwa ada 2 tugas pokok di dalam tim
HACCP sebagai berikut: (1). Mendefinisikan dan mendokumentasi kebijakan
keamanan pangan. Tahap ini sangat disarankan sehingga pihak manajemen
perusahaan dapat menunjukkan komitmennya terhadap keamanan pangan dan
pengembangan sistem HACCP. (2). Mendefinisikan lingkup rencana HACCP.
Lingkup kerja yang direncanakan oleh tim HACCP harus terdefinisi secara baik
sebelum memulai studi HACCP.
5.5.2 Deskripsi Produk
Tim HACCP selanjutnya melakukan pendeskripsian produk yang meliputi
deskripsi bahan baku dan deskripsi produk akhir hal ini sesuai dengan Hariyadi
dan Ratih (2009), tim HACCP memulai pekerjaanya dengan mendeskripsikan
produk pangan yang akan disusun di rencana HACCPnya. Tujuan dibuatnya
deskripsi produk untuk mengetahui secara lengkap mengenai suatu produk yang
dihasilkan Untuk deskripsi produk tuna steak beku dapat dilihat pada tabel 32.
115

Tabel 32. Deskripsi Produk (PT Permata Marindo Jaya, 2019)


1. Nama Produk Tuna Steak Beku
2. Nama Spesies -Yellow Fin Tuna (Thunnus albacores)
-Big Eye Tuna (Thunnus obesus)
-Albacore (Thunnus alalunga)
3. Asal Bahan Baku Bahan baku tuna ditangkap oleh kapal
penangkapan di perairan WPP 577 menggunakan
longline atau purse line. Bahan baku dalam
keadaan segar maupun dalam keadaan beku
4. Penerimaan Ikan dalam bentuk segar atau beku dibongkar dari
Bahan Baku kapal dan dipisahkan jenis dan sizenya. Saat
bongkaran dilakukan pengecekan suhu ikan (<4,4)
dan kualitas ikan secara organoleptic. Ikan
didistribusikan ke perusahaan diselimuti es yang
cukup dan diangkut dengan mobil box tertutup. Ikan
diuji kadar histamine ketika sampai di perusahaan.
5. Tahapan Proses 2, pembekuan, pendeteksian logam, penyinaran UV
3, pengepakan dan pelabelan, penyimpanan beku,
pemuatan
6. Komposisi Ikan Tuna, CO
7. Bahan Tambahan Gas CO
10. Produk Akhir Tuna Steak Beku
11. Metode Penyimpanan di cold storage ≤-20 oC
Penyimpanan
12. Umur Simpan 2 tahun dalam kondisi beku
(suhu pusat maksimal -18 oC)
14. Negara Tujuan Eropa, Amerika, Asia
15. Jenis Kemasan Produk dikemas dengan plastik High Density Poly
Ethylene (HDPE) dalam keadaan vakum dan
kemasan sekunder berupa master carton.
16. Metode Distribusi Menggunakan container berefrigerasi dengan suhu
≤ -25 oC (sesuai spesifikasi buyer).
17. Label/Spesifikasi Nama produk, jenis ikan, nama spesies ikan,
ukuran, tanggal produksi, kode produksi, tanggal
kadaluarsa, berat bersih, berat kotor, negara
116

Tabel 32. Lanjutan


pengekspor, approval number, label nutrisi, label
(pernyataan alergen), CO treated, petunjuk konsumsi
produk
18. Saran Produk ready to cook. Produk dilelehkan terlebih
Penggunaan dahulu sebelum dimasak. Produk yang telah
dilelehkan tidak dapat dibekukan kembali.
. Konsumen yang Semua usia kecuali bayi di bawah 6 bulan dan yang
disarankan memiliki alergi terhadap ikan

Pada Tabel 32 dijelaskan bahwa deskripsi produk dimulai dari nama


produk sampai saran penggunaan. Hal ini sesuai dengan Muhanri et. al. (2015)
Mendeskripsikan produk artinya membuat gambaran yang lengkap tentang
produk yang dihasilkan. Informasi ini biasanya mencakup komposisi bahan,
perlakuan-perlakuan mikrosidal (pemanasan, pembekuan, pengasapan,
penggaraman dan lain-lain), pengemasan, daya tahan produk, dan cara
distribusi. Jika terdapat label khusus, label tersebut dilampirkan, termasuk
petunjuk mengenai penggunaan produk.
5.5.3 Identifikasi Rencana Penggunaan
Produk tuna steak beku banyak diminati oleh konsumen terutama sebagai
produk ekspor. Produk ini merupakan suatu produk ready to cook artinya produk
ini siap dimasak untuk berbagai makanan sesuai selera dengan petunjuk
penggunaan dilelehkan terlebih dahulu. Produk yang telah dilelehkan tidak dapat
dibekukan kembali. Umur simpan produk selama 2 tahun. Produk ini dapat
dikonsumsi oleh semua kalangan. Menurut Thaheer, (2005) bahwa produk yang
memiliki resiko tinggi apabila masuk kedalam salah satu kategori konsumsi
populasi bayi, ibu hamil menyusui, orang sakit dan alergi senyawa tertentu.
5.5.4 Penyusunan Diagram Alir
Diagram alir yang telah disusun untuk proses pembekuan tuna steak di
PT Permata Marindo Jaya adalah penerimaan bahan baku, penerimaan bahan
pengemas, label dan bahan tambahan pangan, penyimpanan bahan pengemas,
label dan bahan tambahan pangan, pencucian 1, penyimpanan sementara,
pemotongan kepala, pencucian 2, pemotongan loin, perapihan dan pengulitan,
penyuntikan gas CO, pendinginan sementara, penyinaran UV 1, pembentukan
steak, pengemasan vakum, penyinaran UV 2, pmbekuan, pendeteksian logam,
117

penyinaran UV 3, pengepakan dan pelabelan, penyimpanan beku dan pemuatan.


Diagram alir dapat dilihat pada lampiran 13.
5.5.5 Verifikasi Diagram Alir di Lapangan
Setiap diagram alir yang dibuat harus sesuai dengan proses pengolahan
yang dikerjakan di UPI. Diagram alir yang sudah dibuat oleh Tim HACCP akan di
verifikasi oleh Tim HCCP dan melakukan pemeriksaan pada setiap tahapan
proses dilapangan selama kurang lebih 7 hari. Setiap tahapan proses harus
tercantum dengan jelas pada diagram alir. Jika ditemukan ketidaksesuaian
antara diagram alir dengan proses di lapangan, maka harus dilakukan perbaikan.
Perbaikan akan dicatat kemudian hasilnya akan dicantumkan pada buku Manual
HACCP. Pada pengamatan penulis saat melakukan kegiatan Kerja Praktik Akhir
di PT Permata Marindo Jaya, alur proses yang terdapat pada panduan manual
HACCP sama dengan yang ada di lapangan.
5.5.6 Analisa Potensi Bahaya (Hazard)
Penerapan prinsip HACCP yang pertama yaitu analisa bahaya, PT.
Permata Marindo Jaya telah mengidentifikasi bahaya (hazard) yang mempunyai
potensi atau peluang yang ada selama proses produksi berlangsung mulai dari
penerimaan bahan baku hingga pemuatan kemudian menentukan tindakan
pencegahan terhadap bahaya yang telah teridentifikasi agar bahaya (hazard)
tersebut dapat dicegah atau dapat diminimalisasi kemunculan bahaya tersebut.
Hal tersebut sesuai dengan yang ditulis oleh Winarno, (2012) yaitu prinsip
pertama dari HACCP mencakup identifikasi semua potensi bahaya, analisa
bahaya, dan pengembangan tindakan pencegahan. Tabel analisa bahaya dapat
di lihat lebih lengkap pada Lampiran 14. Berikut analisa bahaya dan tindakan
pencegahan pengolaahan tuna steak beku di PT Permata Marindo Jaya.
1. Penerimaan Bahan Baku
a. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini termasuk bahaya biologi. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kenaikan suhu saat bahan baku diterima.
Potensi bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP. Peluang terjadi bahaya adalah
rendah dan tingkat keparahan adalah sedang. Pertumbuhan Bakteri Patogen (
E.colli, Salmonella) bukan merupakan bahaya yang signifikan karena dapat
dikendalikan dengan GMP. Tindakan pengendaliannya adalah Quality Control
(QC) mengecek suhu ikan sebanyak 1 ikan/1.000 pouds/ 454 kg atau minimal 12
ikan per lot kedatangan dengan standar suhu <4,40C.
118

b. Histamin
Bahaya ini termasuk bahaya kimia. Histamin adalah senyawa amin
biogenik yang dihasilkan dari proses dekarboksilasi histidin bebas (α-amin-
βinidosal asam propionate. Proses pembentukkan histamin sangat dipengaruhi
oleh aktivitas enzim L.Histidine Decarboksilase (Hdc) (Nurjanah et al., 2011).
Bahaya ini disebabkan oleh aktivitas enzim dan bakteri penghasil histamin.
Namun paling signifikan disebabkan oleh bakteri penghasil histamin. Bakteri-
bakteri ini akan tumbuh apabila terjadi kenaikan suhu pada ikan tuna.
Pada penerimaan bahan baku bahaya histamin terjadi dikarenakan dua
hal, yaitu penanganan ikan setelah mati oleh supplier dan kandungan histamin
pada tubuh ikan saat bongkaran dan kenaikan suhu saat penerimaan bahan
baku. Bahaya yang disebabkan oleh penanganan ikan setelah mati oleh supplier
dan kandungan histamin pada tubuh ikan memiliki peluang sedang dan
keparahan tinggi sehingga bahaya ini merupakan bahaya signifikan. Bahaya ini
tidak bias dikendalikan dengan GMP dan SSOP. Tindakan pengendalian bahya
ini adalah prusahaan memakai supplier-supplier yang sudah di approve.
Bahaya histamin yang dikarenakan kenaikan suhu memiliki peluang
rendah dan keparahan tinggi, sehingga bahaya ini bukan merupakan bahaya
yang signifikan. Bahaya ini dapat dikendalikan dengan GMP yaitu pengecekan
suhu 12 ikan/lot atau semua ikan jika 1 lot kurang dari 12 ikan dan pastikan suhu
ikan diterima <4,40C.
c. Logam Berat (Pb, Cd, Hg)
Bahaya kimia yang mungkin terjadi adalah cemaran logam berat.
Cemaran logam berat dapat terjadi di wilayah penangkapan ikan. Logam berat
yang ada pada tubuh ikan adalah hasil akumulasi dari rantai makanan dan
pencemaran perairan. Bahaya ini memiliki keseringan rendah dan keparahan
medium karena bahaya ini akan memiliki keparahan tinggi jika sudah
terakumulasi pada tubuh dan bukan merupakan bahaya signifikan karena Hg
diujikan 3 bulan sekali dan Pb, Cd 6 bulan sekali. Hasil uji tidak pernah melebihi
standar dan memberikan kesimpulan bahwa ikan tidak ditangkap pada peraiaran
tercemar dan di dalam tubuh ikan kandungan logam beratnya sangat kecil atau
bahkan tidak ada.
d. Kontaminasi Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini termasuk bahaya biologis yang disebabkan oleh dua hal yaitu
oleh kontaminasi asal bahan baku dan kontaminasi personal dan peralatan saat
119

penerimaan bahan baku. Bahaya ini bukan merupakan bahaya yang signifikan
karena dapat dikendalikan dengan GMP. Peluangnya adalah rendah dan
keparahannya medium. Tindakan pencegahannya adalah dengan program
approval supplier dan menggunakan peralatan yang bersih dan pekerja harus
hygiene.
2. Penerimaan Pengemas label dan CO
a. Kontaminasi bakteri patogen (E.colli dan Salmonella)
Bahaya ini disebabkan dua hal yaitu oleh kontaminasi kendaraan, Bahan
Pengemas, label dan CO maupun lingkungan saat penerimaan dan Kontaminasi
dari bahan bahan pengemas, label dan bahan tambahan CO. Bahaya ini memiliki
peluang rendah dan keparahan sedang. Bahaya ini dapat dikendalikan dengan
GMP sehingga bukan merupakan bahaya yang signifikan. Pengendalian dengan
cara dilakukan pengecekan kendaraan yang mengangkut bahan pengemas,label
dan bahan tambahan pengecekan kondisi bahan pengemas label dan bahan
tambahan dan bahan pengemas label dan bahan tambahan yang diterima dalam
keadaan bersih tertutup dan hanya bahan pengemas dan label yang memenuhi
standar perusahaan dapat diterima.
b. Kontaminasi Kimia
Bahaya ini merupakan bahaya kimia yang disebabkan oleh dua hal yaitu
kontaminasi dari bahan pengemas, tinta dan pewarna pada label dan
kontaminasi dari bahan pengemas, label dan bahan tambahan CO. Bahaya ini
memiliki peluang rendah dan keparahan sedang. Bahaya ini bukan merupakan
bahaya signifikan karena dapat dikendalikan dengan GMP, yaitu label yang
kontak langsung dengan ikan harus terbuat dari bahan non absorben, tinta dan
pewarna yang digunakan pada label sudah diakui oleh lembaga berwenang yang
terakreditasi pemerintah dan hanya Bahan tambahan pangan, bahan pengemas
dan label yang memenuhi standar perusahaan dapat diterima.
c. Kontaminasi Fisik
Bahaya ini merupakan bahaya fisik yang disebabkan kontaminasi
kendaraan maupun lingkungan saat penerimaan dan Kontaminasi dari bahan
pengemas, label dan CO. Bahaya ini memiliki peluang rendah dan keparahan
sedang. Bahaya ini merupakan bahaya yang bukan signifikan dikarenakan dapat
dikendalikan dengan GMP yaitu dilakukan pengecekan kendaraan yang
mengangkut bahan pengemas, label dan bahan tambahan pengecekan kondisi
bahan pengemas label dan bahan pengemas label dan bahan tambahan yang
120

diterima dalam keadaan bersih dan tertutup dan hanya bahan tambahan pangan,
bahan pengemas dan label yang memenuhi standar perusahaan dapat diterima.
3. Penyimpanan Bahan Pengemas, Label dan CO
a. Kontaminasi Mikrobiologi
Bahaya ini merupakan bahaya biologi disebabkan oleh suhu dan
kelembapan ruang penyimpanan bahan pengemas, label dan CO dan
Kontaminasi dari alat atau pekerja saat pendistribusian bahan pengemas, label
dan CO. Bahaya ini memiliki peluang rendah dan keparahan rendah sehingga
bukan merupakan bahaya yang signifikan. Bahaya yang disebabkan suhu dan
kelembapan ruang penyimpanan bahan pengemas, label dan CO dapat
dikendalikan dengan GMP yaitu pengemas, label dan CO disimpan pada suhu
yang tepat tidak lembab dan bersih. Bahaya yang disebabkan Kontaminasi dari
alat atau pekerja saat pendistribusian bahan pengemas, label dan CO dapat
dikendalikan dengan SSOP yaitu menggunakan peralatan yang bersih dan
pekerja harus hygiene.
b. Kontaminasi Mikrobiologi, Fisik dan Kimia
Bahaya ini disebabkan oleh migrasi mikroorganisme, bahan fisik dan
kimiawi. Bahaya ini memiliki peluang rendah dan keparahan sedang sehingga
bukan merupakan bahaya yang signifikan. Bahaya ini dapat dikenalikan oleh
GMP yaitu Bahan pengemas,label dan CO disimpan terpisah untuk mencegah
kontaminasi silang.
4. Pencucian 1
a. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini termasuk bahaya biologi. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kenaikan suhu saat pencucian. Potensi
bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP. Peluang bahaya adalah rendah dan
tingkat keparahannya adalah sedang. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli,
Salmonella) bukan merupakan bahaya yang signifikan karena dapat dicegah
dengan GMP. Tindakan pencegahannya adalah mempertahankan suhu bahan
baku agar tetap rendah (kurang dari 4,40C). Quality Control (QC) mengecek suhu
ikan secara acak. Jika ada suhu yang melebihi standar maka diberi es
secepatnya.

b. Kontaminasi Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)


121

Bahaya ini termasuk bahaya biologis yang disebabkan oleh kontaminasi


asal bahan baku dan air yang digunakan untuk pencucian. Bahaya ini bukan
merupakan bahaya yang signifikan karena dapat dikendalikan dengan SSOP.
Peluang bahaya adalah rendah dan keparahannya medium. Tindakan
pengendalikannya adalah dengan melakukan water tretment pada air dan
pengecekan warna, TDS, kekeruhan, rasa dan bau (pengecekan fisik) setiap hari
dan pengujian mikrobiologi dan kimia di laboratorium eksternal yang terakreditasi
selama 3 bulan sekali.
c. Kenaikan Kadar Histamin
Bahaya kenaikan kadar histamin disebabkan adanya kenaikan suhu yang
menyebabkan bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh. Bahaya ini bukan
merupakan bahaya yang bukan signifikan karena memiliki peluang rendah dan
keparahan tinggi. Tindakan pencegahannya adalah mempertahankan suhu
bahan baku agar tetap rendah (kurang dari 4,40C) tidak lebih dari 4 jam.
5. Penyimpanan sementara
a. Pertumbuhan Bakteri Patogen ( E.colli, Salmonella)
Bahaya ini termasuk bahaya biologi. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kenaikan suhu saat penyimpanan
sementara. Potensi bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP. Bahaya memiliki
peluang adalah rendah dan tingkat keparahannya adalah sedang. Sehingga
bukan merupakan bahaya signifikan. Pertumbuhan Bakteri Patogen ( E.colli,
Salmonella) bukan merupakan bahaya yang signifikan karena dapat dikendalikan
dengan GMP. Tindakan pengendaliannya adalah mempertahankan suhu rendah
bahan baku dengan menyelimuti produk dengan es yang cukup dan memonitor
suhu setiap waktu agar suhu ikan tetap <4,40C.
Pertumbuhan bakteri juga dapat terjadi pada bahan baku beku
disebabkan oleh fluktuasi suhu di cold storage bahan baku beku. Bahaya ini
memiliki peluang rendah dan keparahan medium dan dapat dikendalikan dengan
GMP yaitu mempertahankan suhu pusat ikan <-180C.
b. Kontaminasi Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini adalah bahaya biologi yang disebabkan oleh kontaminasi alat
dan pekerja yang keluar masuk ruang pembeku. Bahaya ini punya peluang
rendah dan keparahan sedang sehimgga bukan merupakan bahaya signifikan.
Tindakan pengendaliannya adalah menggunakan peralatan yang bersih dan
pekerja harus menerapkan hygiene karyawan.
122

c. Kenaikan Kadar Histamin


Bahaya ini termasuk bahaya kimia. Bahaya ini dikarenakan kenaikan
suhu. Bahaya ini dapat dikendalikan dengan GMP. Bahaya ini memiliki peluang
rendah dan keparahan tinggi. Bahaya ini menjadi bukan bahaya signifikn dan
tindakan pengendaliannya perusahaan adalah mempertahankan suhu rendah
bahan baku dengan menyelimuti produk dengan es yang cukup dan memonitor
suhu setiap waktu agar suhu ikan tetap <4,40C kurang dari 3 jam.
6. Pemotongan Kepala
a. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini termasuk bahaya biologi. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kenaikan suhu saat pemotongan kepala.
Potensi bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP. Peluang terjadi bahaya adalah
rendah dan tingkat keparahannya adalah sedang. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) bukan merupakan bahaya yang signifikan karena dapat
dicegah dengan GMP. Tindakan pencegahannya adalah mempertahankan suhu
bahan baku agar tetap rendah (kurang dari 4,40C). Quality Control (QC)
mengecek suhu ikan secara acak. Jika ada suhu yang melebihi standar maka
diberi es secepatnya.
b. Kontaminasi Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini merupakan bahaya biologi. Kontaminasi Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kontaminasi dari pekerja atau peralatan.
Bahaya ini dapat dikendalikan oleh SSOP dan peluang bahaya adalah rendah
dan keparahannya adalah sedang. Bahaya ini bukan merupakan bahaya yang
signifikan. Tindakan pencegahannya adalah Menggunakan peralatan yang bersih
dan pekerja harus hygiene.
c. Serpihan Logam
Bahaya ini merupakan bahaya fisik yang dikarenakan kontaminasi pisau.
Bahaya ini dapat dikendalikan dengan GMP. Bahaya ini memiliki peluang rendah
dan keparahan tinggi sehingga merupakan bahaya yang signifikan. Tindakan
pengendaliannya adalah dengan pengendalian sensitivitas mesin metal detector.
d. Kenaikan Kadar Histamin
Bahaya histamin disebabkan adanya kenaikan suhu yang menyebabkan
bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh. Bahaya ini bukan merupakan bahaya
yang signifikan karena memiliki peluang rendah dan keparahan tinggi. Tindakan
123

pencegahannya adalah mempertahankan suhu bahan baku agar tetap rendah


(kurang dari 4,40C) tidak lebih dari 4 jam.
7. Pencucian 2
a. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini termasuk bahaya biologi. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kenaikan suhu saat pencucian 2. Potensi
bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP. Peluang bahaya adalah rendah dan
tingkat keparahannya adalah sedang. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli,
Salmonella) bukan merupakan bahaya yang signifikan karena dapat dikendalikan
dengan GMP. Tindakan pengendaliannya adalah mempertahankan suhu bahan
baku agar tetap rendah (kurang dari 4,40C). Quality Control (QC) mengecek suhu
ikan secara acak.
b. Kontaminasi Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini termasuk bahaya biologis yang disebabkan oleh kontaminasi
asal bahan baku dan air yang digunakan untuk pencucian. Bahaya ini bukan
merupakan bahaya yang signifikan karena dapat dikendalikan dengan SSOP.
Peluang bahaya adalah rendah dan keparahannya medium. Tindakan
pengendaliannya adalah dengan melakukan water treatment pada air dan
pengecekan warna, TDS, kekeruhan, rasa dan bau (pengecekan fsik) setiap hari
dan pengujian mikrobiologi dan kimia di laboratorium eksternal selama 6 bulan
sekali.
c. Kenaikan Kadar Histamin
Bahaya kenaikan kadar histamin disebabkan adanya kenaikan suhu yang
menyebabkan bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh. Bahaya ini bukan
merupakan bahaya yang signifikan karena memiliki peluang rendah dan
keparahan tinggi. Tindakan pengendaliannya adalah mempertahankan suhu
bahan baku agar tetap rendah (kurang dari 4,40C) tidak lebih dari 4 jam.
8. Pemotongan Loin
a. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini termasuk bahaya biologi. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kenaikan suhu saat pemotongan loin.
Potensi bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP. Tingkat keparahannya adalah
rendah dan tingkat keparahannya adalah sedang. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) bukan merupakan bahaya yang signifikan karena dapat
dikendalikan dengan GMP. Tindakan pengendaliannya adalah mempertahankan
124

suhu bahan baku agar tetap rendah (kurang dari 4,40C). Quality Control (QC)
mengecek suhu ikan secara acak. Jika ada suhu yang melebihi standar maka
diberi es secepatnya.
b. Kontaminasi Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini merupakan bahaya biologi. Kontaminasi Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kontaminasi dari pekerja atau peralatan.
Bahaya ini dapat dikendalikan oleh SSOP dan peluang bahaya adalah rendah
dan keparahannya adalah sedang. Bahaya ini bukan merupakan bahaya yang
signifikan. Tindakan pencegahannya adalah Menggunakan peralatan yang bersih
dan pekerja harus hygiene.
c. Serpihan Logam
Bahaya ini merupakan bahaya fisik yang dikarenakan kontaminasi pisau.
Bahaya ini tidak dapat dikendalikan dengan GMP dan SSOP. Bahaya ini memiliki
peluang medium dan keparahan medium (sedang) sehingga merupakan bahaya
yang signifikan. Tindakan pengendaliannya adalah dengan mengendalikan
sensitivitas metal detector.
d. Kenaikan Kadar Histamin
Bahaya kenaikan kadar histamin disebabkan adanya kenaikan suhu yang
menyebabkan bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh. Bahaya ini bukan
merupakan bahaya yang signifikan karena memiliki peluang rendah dan
keparahan tinggi. Tindakan pencegahannya adalah mempertahankan suhu
bahan baku agar tetap rendah (kurang dari 4,40C) tidak lebih dari 4 jam.
9. Perapihan dan Pengulitan
a. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini termasuk bahaya biologi. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kenaikan suhu saat perapihan dan
pengulitan. Potensi bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP. Tingkat
keseringannya adalah rendah dan tingkat keparahannya adalah sedang.
Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella) bukan merupakan bahaya
yang signifikan karena dapat dikendalikan dengan GMP. Tindakan
pengendaliannya adalah mempertahankan suhu bahan baku agar tetap rendah
(kurang dari 4,40C). Quality Control (QC) mengecek suhu ikan secara acak.
b. Kontaminasi Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini merupakan bahaya biologi. Kontaminasi Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kontaminasi dari pekerja atau peralatan.
125

Bahaya ini dapat dikendalikan SSOP dan peluang adalah rendah dan
keparahannya adalah sedang. Bahaya ini bukan merupakan bahaya yang
signifikan. Tindakan pencegahannya adalah Menggunakan peralatan yang bersih
dan pekerja harus hygiene.
c. Serpihan Logam
Bahaya ini merupakan bahaya fisik yang dikarenakan kontaminasi pisau.
Bahaya ini dapat dikendalikan dengan GMP. Bahaya ini memiliki peluang bahaya
medium dan keparahan medium sehingga merupakan bahaya yang signifikan.
Tindakan pencegahannya adalah dengan mengendalikan sensitivitas metal
detector.
d. Kenaikan Kadar Histamin
Bahaya kenaikan kadar histamin disebabkan adanya kenaikan suhu yang
menyebabkan bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh. Bahaya ini bukan
merupakan bahaya yang signifikan karena memiliki tingkat keseringan rendah
dan keparahan tinggi. Tindakan pencegahannya adalah mempertahankan suhu
bahan baku agar tetap rendah (kurang dari 4,40C) tidak lebih dari 4 jam.
10. Pelelehan (Thawing)
a. Kenaikan Kadar Histamin
Bahaya ini merupakan bahaya kimia yang disebabkan oleh kenaikan
suhu. Bahaya ini tidak dapat dicegah dengan GMP dan SSOP dan memiliki
peluang sedang dan keparahan tinggi sehingga menjadi signifikan.
Pengendaliannya adalah mengontrol suhu produk tidak boleh >3,30C.
Pengecekan suhu perwakilan produk setiap 2 jam sekali oleh QC.
b. Clostridium botulinum
Bahaya ini merupakan bahaya biologis yang disebabkan oleh kenaikan
suhu. Bakteri ini dapat tumbuh jika tidak ada oksigen (anaerob) Jenis bakteri
yang mungkin tumbuh adalah Clostridium botulinum tipe A, E, non proteolitik tipe
B dan F, proteolitik tipe B dan F. Bahaya ini tidak dapat dikontrol dengan GMP
dan SSOP. Bahaya ini memiliki peluang sedang dan keparahan tinggi sehingga
tergolong bahaya signifikan. Upaya pencegahannya adalah mengontrol suhu
produk tidak boleh >3,30C. Pengecekan suhu perwakilan produk setiap 2 jam
sekali oleh QC.

11. Penyuntikan Gas CO


a. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
126

Bahaya ini termasuk bahaya biologi. Pertumbuhan Bakteri Patogen


(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kenaikan suhu saat penyuntikan gas CO.
Potensi bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP. Peluang adalah rendah dan
tingkat keparahannya adalah sedang. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli,
Salmonella) bukan merupakan bahaya yang signifikan karena dapat dicegah
dengan GMP. Tindakan pencegahannya adalah mempertahankan suhu bahan
baku agar tetap rendah (kurang dari 4,40C). Quality Control (QC) mengecek suhu
ikan secara acak.
b. Gas CO, CO2, N2
Bahaya ini merupakan bahaya kimia. Bahaya ini dapat dikendalikan
dengan GMP. Bahaya ini memiliki peluang rendah dan keparahan sedang.
Bahaya ini bukan merupakan bahaya yang signifikan dan tindakan
pencegahannya adalah Mengatur setting alat penyuntik CO,CO2,,N2 sesuai
standar dan mengecek kebocoran alat sebelum dan sesudah dipakai.
c. Kontaminasi Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini merupakan bahaya biologi. Kontaminasi Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kontaminasi dari pekerja atau peralatan.
Bahaya ini dapat dikendalikan oleh SSOP dan tingkat peluang adalah rendah
dan keparahannya adalah sedang. Bahaya ini bukan merupakan bahaya yang
signifikan. Tindakan pencegahannya adalah Menggunakan peralatan yang bersih
dan pekerja harus hygiene.
d. Kenaikan Kadar Histamin
Bahaya kenaikan kadar histamin disebabkan adanya kenaikan suhu yang
menyebabkan bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh. Bahaya ini bukan
merupakan bahaya yang signifikan karena memiliki tingkat peluang rendah dan
keparahan tinggi. Tindakan pencegahannya adalah mempertahankan suhu
bahan baku agar tetap rendah (kurang dari 4,40C) tidak lebih dari 4 jam.
12. Pendinginan Sementara
a. Kenaikan Kadar Histamin
Bahaya ini merupakan bahaya kimia yang disebabkan oleh kenaikan
suhu. Bahaya ini tidak dapat dicegah dengan GMP dan SSOP dan memiliki
peluang sedang dan keparahan tinggi sehingga menjadi signifikan.
Pengendaliannya adalah mengontrol suhu Chilling room dengan data logger
tidak boleh >30C.
b. Clostridium botulinum
127

Bahaya ini merupakan bahaya biologis yang disebabkan oleh kenaikan


suhu. Bakteri ini dapat tumbuh jika tidak ada oksigen (anaerob) Jenis bakteri
yang mungkin tumbuh adalah Clostridium botulinum tipe A, E, non proteolitik tipe
B dan F, proteolitik tipe B dan F. Bahaya ini tidak dapat dikontrol dengan GMP
dan SSOP. Bahaya ini memiliki peluang sedang dan keparahan tinggi sehingga
tergolong bahaya signifikan. Upaya pencegahannya adalah mengontrol suhu
Chilling room dengan data logger tidak boleh >30C.
c. Listeria monocytogenes
Bahaya ini termasuk bahaya biologis yang disebabkan oleh kenaikan
suhu. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 0,4-50C dengan waktu tumbuh 7 hari.
Proses pendinginan sementara di PT Permata Marindo Jaya maksimal adalah 3
hari, jadi kemungkinan bakteri ini belum tumbuh. Untuk membuktikannya PT
Permata Marindo Jaya melakukan uji Listeria monocytogenes sebelum proses
ekspor. Bahaya ini tidak dapat dikontrol dengan GMP. Bahaya ini memiliki
peluang medium dan keparahan medium namun tergolong bahaya signifikan
karena jika tidak dikontrol kemungkinan dapat tumbuh. Upaya pengendaliannya
adalah mengontrol suhu Chilling room dengan data logger tidak boleh >30C.
13. Penyinaran UV 1
a. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini termasuk bahaya biologi. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kenaikan suhu saat dilewatkan sinar UV.
Potensi bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP. Tingkat peluangnya adalah
rendah dan tingkat keparahannya adalah sedang. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) bukan merupakan bahaya yang signifikan karena dapat
dicegah dengan GMP. Tindakan pencegahannya adalah mempertahankan suhu
loin agar tetap rendah (kurang dari 3,30C). Quality Control (QC) mengecek suhu
ikan secara acak. Jika ada suhu yang melebihi standar maka diberi es
secepatnya.
a. Survival Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini merupakan bahaya biologi. Survival Bakteri Patogen (E.colli,
Salmonella) disebabkan oleh beberapa bakteri tertentu masih belum mati setelah
melewati sinar UV. Bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP dan tingkat peluang
adalah rendah dan keparahannya adalah sedang. Bahaya ini bukan merupakan
bahaya yang signifikan. Tindakan pencegahannya adalah adanya penyinaran UV
2.
128

b. Kenaikan Kadar Histamin


Bahaya histamin disebabkan adanya kenaikan suhu yang menyebabkan
bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh. Bahaya ini bukan merupakan bahaya
yang signifikan karena memiliki tingkat peluang rendah dan keparahan tinggi.
Tindakan pencegahannya adalah mempertahankan suhu agar tetap rendah
(kurang dari 3,30C) tidak lebih dari 4 jam.
14. Pembentukan Steak
a. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini termasuk bahaya biologi. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kenaikan suhu saat pembentukan steak.
Potensi bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP. Tingkat peluangnya adalah
rendah dan tingkat keparahannya adalah sedang. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) bukan merupakan bahaya yang signifikan karena dapat
dicegah dengan GMP. Tindakan pencegahannya adalah mempertahankan suhu
steak agar tetap rendah (kurang dari 3,3 0C). Quality Control (QC) mengecek
suhu ikan secara acak.
b. Kontaminasi Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini merupakan bahaya biologi. Kontaminasi Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kontaminasi dari pekerja atau peralatan.
Bahaya ini dapat dikendalikan oleh SSOP dan tingkat peluangnya adalah rendah
dan keparahannya adalah sedang. Bahaya ini bukan merupakan bahaya yang
signifikan. Tindakan pencegahannya adalah menggunakan peralatan yang bersih
dan pekerja harus hygiene.
c. Serpihan Logam
Bahaya ini merupakan bahaya fisik yang dikarenakan kontaminasi pisau.
Bahaya ini dapat dikendalikan dengan GMP. Bahaya ini memiliki peluang sedang
dan keparahan sedang sehingga merupakan bahaya yang signifikan. Tindakan
pengendaliannya adalah dengan mengendalikan sensitivitas mesin detector.
d. Kenaikan Kadar Histamin
Bahaya kenaikan kadar histamin disebabkan adanya kenaikan suhu yang
menyebabkan bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh. Bahaya ini bukan
merupakan bahaya yang signifikan karena memiliki tingkat keseringan rendah
dan keparahan tinggi. Tindakan pencegahannya adalah mempertahankan suhu
bahan baku agar tetap rendah (kurang dari 4,40C) tidak lebih dari 4 jam.
15. Pengemasan Vakum
129

a. Kontaminasi Bakteri Patogen (Clostridium botulinum)


Bahaya ini merupakan bahaya biologis yang disebabkan oleh kenaikan
suhu. Bakteri ini dapat tumbuh jika tidak ada oksigen (anaerob) Jenis bakteri
yang mungkin tumbuh adalah Clostridium botulinum tipe A, E, non proteolitik tipe
B dan F, proteolitik tipe B dan F. Bahaya ini tidak dapat dikontrol dengan GMP
dan SSOP. Bahaya ini memiliki peluang medium dan keparahan tinggi sehingga
tergolong bahaya signifikan. Upaya pencegahannya adalah mengontrol suhu
produk >3,30C, dilakukan proses pembekuan dan label tertera thawing instruction
dan keep frozen.
b. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini termasuk bahaya biologi. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kenaikan suhu. Potensi bahaya ini dapat
dikendalikan oleh GMP. Tingkat peluang adalah rendah dan tingkat
keparahannya adalah sedang. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli,
Salmonella) bukan merupakan bahaya yang signifikan karena dapat dikendalikan
dengan GMP. Tindakan pengendaliannya adalah mempertahankan suhu steak
agar tetap rendah (kurang dari 3,3 0C).
c. Kontaminasi Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini merupakan bahaya biologi. Kontaminasi Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kontaminasi dari pekerja atau peralatan.
Bahaya ini dapat dikendalikan oleh SSOP dan tingkat peluang rendah dan
keparahannya adalah sedang. Bahaya ini bukan merupakan bahaya yang
signifikan. Tindakan pencegahannya adalah Menggunakan peralatan (mesin
vakum) yang bersih dan pekerja harus hygiene.
d. Kenaikan Kadar Histamin
Bahaya kenaikan kadar histamin disebabkan adanya kenaikan suhu yang
menyebabkan bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh. Bahaya ini bukan
merupakan bahaya yang signifikan karena memiliki tingkat keseringan rendah
dan keparahan medium. Tindakan pencegahannya adalah mempertahankan
suhu bahan baku agar tetap rendah (kurang dari 3,30C).
16. Penyinaran UV 2
a. Pertumbuhan Bakteri Patogen (Clostridium botulinum)
Bahaya ini merupakan bahaya biologis yang disebabkan oleh kenaikan
suhu. Bakteri ini dapat tumbuh jika tidak ada oksigen (anaerob) Jenis bakteri
yang mungkin tumbuh adalah Clostridium botulinum tipe A, E, non proteolitik tipe
130

B dan F, proteolitik tipe B dan F. Bahaya ini tidak dapat dikontrol dengan GMP
dan SSOP. Bahaya ini memiliki peluang sedang dan keparahan tinggi sehingga
tergolong bahaya signifikan. Pengendaliannya adalah mengontrol suhu produk
>3,30C, dilakukan proses pembekuan dan label tertera thawing instruction dan
keep frozen.
b. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini termasuk bahaya biologi. Pertumbuhan Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kenaikan suhu. Potensi bahaya ini dapat
dikendalikan oleh GMP. Tingkat peluang adalah rendah dan tingkat
keparahannya adalah sedang. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E.colli,
Salmonella) bukan merupakan bahaya yang signifikan karena dapat dicegah
dengan GMP. Tindakan pencegahannya adalah mempertahankan suhu steak
agar tetap rendah (kurang dari 3,3 0C).
c. Survival Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini merupakan bahaya biologi. Kontaminasi Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh beberapa bakteri tertentu masih belum mati
setelah melewati sinar UV. Bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP dan
peluang bahaya adalah rendah dan keparahannya adalah sedang. Bahaya ini
bukan merupakan bahaya yang signifikan. Tindakan pencegahannya adalah
adanya penyinaran UV 3.
d. Kenaikan Kadar Histamin
Bahaya histamin disebabkan adanya kenaikan suhu yang menyebabkan
bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh. Bahaya ini bukan merupakan bahaya
yang signifikan karena memiliki tingkat peluang rendah dan keparahan yang
tinggi. Tindakan pengendaliannya adalah mempertahankan suhu bahan baku
agar tetap rendah (kurang dari 3,30C).
17. Pembekuan ABF
a. Kontaminasi Bakteri Patogen (Clostridium botulinum)
Bahaya ini merupakan bahaya biologis yang disebabkan oleh kenaikan
suhu. Bakteri ini dapat tumbuh jika tidak ada oksigen (anaerob) Jenis bakteri
yang mungkin tumbuh adalah Clostridium botulinum tipe A, E, non proteolitik tipe
B dan F, proteolitik tipe B dan F. Bahaya ini tidak dapat dikontrol dengan GMP
dan SSOP. Bahaya ini memiliki peluang sedang dan keparahan tinggi sehingga
tergolong bahaya signifikan. Pengendaliannya adalah Monitoring suhu pada data
logger ≤-250C.
131

18. Pendeteksian Logam


a. Serpihan Logam
Bahaya ini termasuk bahaya fisik. Bahaya disebabkan oleh serpihan
logam dari pisau dan ketidaksesuaian sensitivitas mesin. Bahaya tidak dapat
dkendalikan dengan GMP dan SSOP. Bahaya ini memiliki peluang medium dan
keparahan medium dan merupakan bahaya signifikan karena pada tahap inilah
logam dideteksi dan dihilangkan dari produk. Pengendalian bahaya serpihan
logam adalah Semua produk dilewatkan mesin metal detector dan pengecekan
sensitivitas mesin pendeteksi logam dengan metal piece Fe, Non Fe, Sus yaitu
mesin Anritsu : (Fe 2,00 mm, non Fe 3,00 mm, Sus 2,5 mm) dan mesin
Mesutronik : (Fe 1,75 mm, non Fe 2,50 mm, Sus 4,00 mm).
b. Kontaminasi Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini merupakan bahaya biologi. Kontaminasi Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh kontaminasi dari pekerja atau peralatan.
Bahaya ini dapat dikendalikan oleh SSOP dan tingkat peluang adalah rendah
dan keparahannya adalah sedang. Bahaya ini bukan merupakan bahaya yang
signifikan. Tindakan pencegahannya adalah menggunakan peralatan yang bersih
dan pekerja harus hygiene.
19. Penyinaran UV 3
a. Survival Bakteri Patogen (E.colli, Salmonella)
Bahaya ini merupakan bahaya biologi. Kontaminasi Bakteri Patogen
(E.colli, Salmonella) disebabkan oleh beberapa bakteri tertentu masih belum mati
setelah melewati sinar UV. Bahaya ini dapat dikendalikan oleh GMP dan tingkat
peluang adalah rendah dan keparahannya adalah sedang. Bahaya ini bukan
merupakan bahaya yang signifikan. Tindakan pencegahannya adalah adanya
penyimpanan di cold storage.
20. Pengepakan dan Pelabelan
a. Kontaminasi Bakteri Patogen (Clostridium botulinum)
Bahaya ini merupakan bahaya biologi yang disebabkan Kesalahan
pelabelan dan tidak ada pernyataan thawing instruction dan keep frozen. Bahaya
ini merupakan bahaya yang tidak dapat dikendalikan dengan GMP dan SSOP.
Bahaya kontaminasi Clostridium bolutinum memiliki peluang sedang dan
keparahan tinggi. Bahaya ini merupakan bahaya signifikan dan upaya
pengendaliannya adalah pernyataan label harus thawing instruction, keep frozen
dan jika produk sudah di thawing tidak dilakukan pembekuan ulang, lalu pada
132

penerimaan label dilakukan pengecekan label dan pemisahan label yang tidak
sesuai, dan dilakukan perbaikan label yang tidak sesuai.
b. Allergen
Allergen adalah sesuatu yang dapat menyebabkan alergi pada kelompok
orang tertentu. Bahaya ini merupakan bahaya kimia yang tidak dapat
dikendalikan oleh GMP dan SSOP. Bahaya ini disebabkan oleh kesalahan
pelabelan, tidak ada pernyataan Allergen (Tuna). Bahaya ini dapat dikendalikan
dengan GMP dan memiliki tingkat keseringan sedang dan keparahan tinggi
sehingga merupakan bahaya yang signifikan. Tindakan pengendaliannya adalah
Pernyataan label harus ada Allergen (tuna).
21. Penyimpanan Beku
a. Kontaminasi Bakteri Patogen (E. colli, Salmonella)
Bahaya ini merupakan bahaya biologi. Kontaminasi Bakteri Patogen (E.
colli, Salmonella) disebabkan oleh kontaminasi dari pekerja atau peralatan.
Bahaya ini dapat dikendalikan oleh SSOP dan peluang adalah rendah dan
keparahannya adalah sedang. Bahaya ini bukan merupakan bahaya yang
signifikan. Tindakan pencegahannya adalah Menggunakan peralatan yang bersih
dan pekerja harus hygiene.
b. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E. colli, Salmonella)
Bahaya ini merupakan bahaya biologis yang disebabkan oleh fluktuasi
suhu. Bahaya ini dapat dikontrol dengan GMP. Bahaya ini memiliki keseringan
rendah dan keparahan sedang sehingga tergolong bahaya bukan signifikan.
Upaya pencegahannya adalah Monitoring suhu pada data logger Monitoring
suhu ruang pada data logger ≤-200C.
22. Pemuatan
a. Pertumbuhan Bakteri Patogen (E. colli, Salmonella)
Bahaya ini merupakan bahaya biologis yang disebabkan oleh fluktuasi
suhu. Bahaya ini dapat dikontrol dengan GMP. Bahaya ini memiliki peluang
rendah dan keparahan sedang sehingga tergolong bahaya bukan signifikan.
Upaya pengendaliannya adalah Monitoring suhu pada data logger Monitoring
suhu container pada data logger -≤250C.
5.5.7 Identifikasi Titik-Titik Kritis / Critical Control Points (CCP)
Setelah Tim HACCP menganalisa bahaya apa saja yang mungkin terjadi
pada setiap tahapan proses kemudian mengidentifikasi tahapan proses mana
yang merupakan titik - titik kritis. Tahapan yang memiliki bahaya signifikan dalam
133

analisa bahaya akan diidentifikasi apakah tahapan tersebut termasuk critical


control point menggunakan pohon keputusan (decision tree) sehingga dapat
ditentukan langkah-langkah pengendaliannya. Hal ini sesuai dengan Muhandri
dan Kadarisman (2008) Batas kritis yang telah ditetapkan tidak memiliki arti jika
tidak dilakukan monitoring selama kegiatan atau proses produksi tersebut
berjalan. Kita harus memiliki rencana untuk memonitor kondisi pengendalian
CCP sehingga dapat menjamin bahwa batas kritis tidak dilampaui. Monitoring
dapat dilakukan dengan pengamatan secara visual atau dengan pengukuran
(terhadap batas kimia dan fisik). Teknik dan waktu monitoring hendaknya
direncanakan dengan baik. Karyawan yang dipercaya untuk melakukan
monitoring adalah karyawan yang memiliki akses ke titik CCP, telah terlatih dan
memiliki pengalaman yang cukup untuk menjamin bahwa tujuan monitoring dapat
dicapai.
Menurut decision tree PT Permata Marindo Jaya telah menetapkan
tahapan penerimaan bahan baku, pendinginan sementara, pendeteksian logam
dan pengemasan dan pelabelan. Decision tree dapat dilihat pada lampiran 15.
5.5.8 Penentuan Batas Kritis/Critical Limits (CL)
Proses selanjutnya adalah melakukan identifikasi terhadap tahapan
proses apa saja yang termasuk dalam CCP, kemudian langkah selanjutnya
adalah menentukan batas kritis dari setiap CCP tersebut. Tim HACCP pada PT
Permata Marindo Jaya dalam menentukan batas - batas kritis ini berpedoman
pada permintaan buyer dan peraturan pemerintah. Laporan batas kitis dapat
dilihat pada lampiran 16. Penetapan batas kritis sesuai dengan CCP yang ada
dan dilakukan oleh Tim HACCP di perusahaan adalah sebagai berikut :
1. Penerimaan Bahan Baku
Bahaya siginifikan yang menjadi CCP adalah histamin. Batas kritis
histamin Tidak ada bahan baku yang diterima perusahaan selain dari supplier
yang di approve dan Kadar histamin yang diterima adalah maksimal 17 ppm
dengan pengujian histaimin komposit 3 saat kedatangan ikan dengan acuan FDA
Guidance Fourth Edition 2011.
2. Pelelehan (Thawing)
Bahaya signifikan yang menjadi CCP adalah kenaikan histamin dengan
batas kritis suhu loin tidak boleh lebih dari 3,3 0C. Acuan yang digunakan adalah
FDA Guidance Fourth Edition 2011. Bahaya signifikan kedua yang dijadikan CCP
pada tahapan proses ini adalah bakteri Clostridium botulinum. Batas kritisnya
134

dalah suhu internal produk harus dipertahankan <3,30C. Acuan yang digunakan
adalah FDA Guidance Fourth Edition 2011.
3. Pendinginan Sementara
Bahaya signifikan yang menjadi CCP adalah kenaikan kadar histamin
dengan batas kritis Suhu chilling room tidak boleh lebih dari 3 0C dan Suhu
internal produk harus dipertahankan <3,30C. Acuan yang digunakan adalah FDA
Guidance Fourth Edition 2011. Bahaya signifikan kedua yang dijadikan CCP
pada tahapan proses ini adalah bakteri Clostridium botulinum. Batas kritis
bahaya ini adalah Suhu chilling room tidak boleh lebih dari 3 0C dan suhu
internal produk harus dipertahankan <3,30C. Acuan yang digunakan adalah FDA
Guidance Fourth Edition 2011.
4. Pendeteksian logam
Bahaya signifikan yang menjadi CCP adalah serpihan logam, yaitu tidak
boleh ada serpihan logam pada produk. Batas kritis tidak adanya serpihan logam
pada produk dan sensitivitas mesin harus sesuai Anritsu : (Fe ≤2,00 mm, non Fe
≤3,00 mm, Sus ≤2,5 mm) dan Metsutronik : (Fe ≤1,75 mm, non Fe≤ 2,50 mm,
Sus ≤4,00 m). Acuan yang dipakai adalah FDA Guidance Fourth Edition 2011
dan spek mesin Anritsu dan Meutronik.
5. Pengemasan dan Pelabelan
Bahaya signifikan yang menjadi CCP adalah Clostridium botulinum yang
memiliki batas kritis Semua label tertera Keep Frozen, thawing under
refrigeration, semua produk yang sudah dilelehkan tidak bisa dibekukan ulang.
Acuan yang digunakan adalah FDA Guidance Fourth Edition 2011.
Bahaya signifikan yang menjadi CCP kedua adalah allergen yang
memiliki batas kritis adanya pernyataan Tuna. Acuan yang digunakan adalah
British Retail Consortium (BRC) Standard Guidelines of Allergen requirement in
regulation dan FDA Guidance Fourth Edition 2011.
5.5.9 Pemantauan Titik-Titik Kritis / Critical Control Points (CCP)
Jika batas kritis telah ditetapkan kemudian Tim HACCP menetapkan
prosedur pemantauan CCP. Prosedur ini dibuat untuk memantau apakah CCP
dapat dikendalikan hingga di bawah batas kritis atau tidak. Prosedur pemantauan
titik-titik kritis / Critical Control Points (CCP) yang dilakukan adalah
1. Bahaya Signifikan : Histamin (Tahapan Penerimaan Bahan Baku)
Prosedur pemantauannya adalah pengecekan Approval Supplier, Uji histamin
laboratorium internal minimal 18 ikan/lot (komposit 3) setiap penerimaan.
135

2. Bahaya Signifikan : Clostridium botulinum (Tahapan Pelelehan)


Prosedur Pemantauannya adalah kontrl suhu produk <3,30C setiap 2 jam sekali
oleh QC.
3. Bahaya Signifikan : Histamin (Tahapan Penyimpanan Sementara)
Prosedur pemantauannya adalah Kontrol suhu produk tidak boleh >30C setiap 2
jam oleh QC.
4. Bahaya Signifikan : Clostridium botulinum (Tahapan Pendinginan
Sementara)
Prosedur pemantauannya adalah Kontrol suhu Chilling room dengan data logger
tidak boleh >30C setiap 2 jam sekali.
5. Bahaya Signifikan : Histamin (Tahapan Penyimpanan Sementara)
Prosedur pemantauannya adalah Kontrol suhu Chilling room dengan data logger
tidak boleh >30C setiap 2 jam sekali.
6. Bahaya Signifikan : Serpihan Logam (Tahapan Pendeteksian Logam)
Prosedur pemantauannya dalah Masukkan setiap produk ke alat metal detector
dan cek sensitivitas mesin sebelum, 2 jam sekali dan setelah proses.
7. Bahaya Signifikan : Clostridium botulinum (Tahapan Pengemasan dan
Pelabelan)
Prosedur pemantauannya adalah QC mengecek label tertera keep frozen,
thawing under refrigeration, produk yang sudah dilelehkan tidak dapat dibekukan
ulang sebelum proses pengepakan dan pelabelan.
8. Bahaya Signifikan : Allergen
Prosedur pemantauannya adalah QC melakukan cek label apakah tertera
allergen (tuna) sebelum proses pengepakan dan pelabelan. Adapun prosedur
pemantauan lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 17.

5.5.10 Penentuan Tindakan Koreksi


Jika produk setelah dilakukan pemantauan CCP jika ditemukan CCP yang
melewati batas kritis, langkah selanjutnya adalah Tim HACCP melakukan
tindakan koreksi. Tindakan koreksi yang dilakukan di PT Permata Marindo Jaya
adalah sebagai berkut :
1. Bahaya signifikan : Histamin (penerimaan bahan baku)
Tindakan Koreksinya adalah Jika ada supplier yang tidak di approve pada
penerimaan bahan baku, bahan baku reject. Jika ditemukan Bahan baku diuji
136

terdapat kadar histamin >17 ppm lakukan penolakan (reject) lot. Perusahaan
berhenti memakai bahan baku dari supplier (supplier tidak di approve) sampai
mendapatkan bukti bahwa pemasok tersebut telah memperbaharui cara
penangkapan dan penangan ikan di atas kapal sesuai standar dan evaluasi
control
2. Clostridium botulinum (Pelelehan)
Tindakan koreksinya adalah tahan produk dan evaluasi produk
berdasarkan total waktu dan suhu terjadi
3. Kadar Histamin (Pelelehan)
Tindakan koreksinya adalah Pisahkan produk yang terindikasi histamin
dan uji laboratorium produk yang terindikasi. Jika histamin produk melebihi
standar maka musnahkan produk
4. Clostridium botulinum (Pendinginan Sementara)
Tindakan koreksinya adalah atur ulang atau perbaiki mesin pendingin.
Tahan produk dan evaluasi produk berdasarkan total waktu dan suhu terjadi.
5. Kadar Histamin (Pendinginan Sementara)
Tindakan koreksinya adalah Atur ulang atau perbaiki mesin pendingin.
Pisahkan produk yang terindikasi histamin dan uji laboratorium produk yang
terindikasi. Jika histamin produk melebihi standar maka musnahkan produk.
6. Serpihan Logam (Pendeteksian Logam)
Tindakan koreksinya adalah Tahan dan evaluasi produk yang ditolak oleh
mesin selama 2 jam operasi. Pengerjaan ulang produk yang ditolak untuk
menghilangkan serpihan logam, alihkan produk yang ditolak untuk produk non
makanan, mencari atau memperbaiki sumber serpihan logam dan Jika kesalahan
dari sensitivitas mesin perbaiki atau ganti mesin metal detecting secepatnya.
7. Pertumbuhan Bakteri Patogen (Clostridium botulinum) (Pengepakan dan
Pelabelan)
Tindakan koreksinya adalah pisahkan, musnahkan dan ganti label yang
tidak mengandung pernyataan keep frozen dan thaw under refrigeration, produk
yang sudah dilelehkan tidak dapat dibekukan ulang recall semua produk yang
mempunyai label salah, perbaiki penyebab kesalahan label.
8. Allergen (Pengepakan dan Pelabelan)
Tindakan koreksinya adalah Pisahkan, musnahkan dan ganti label yang
tidak mengandung pernyataan allergen tuna, recall semua produk yang
137

mempunyai label salah, modifikasi sistem pelabelan yang sesuai. Lembar


tindakan koreksi dapat dilihat pada lampiran 18.
5.5.11 Penetapan Prosedur Verifikasi
Menurut CAC/RCP 52-2003 Sebuah perusahaan harus membangun
sebuah prosedur verifikasi yang dijalankan oleh pekerja yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan penilaian penerapan dan kesesuaian program
HACCP secara periodik. Hal ini bertujuan untuk menentukan apakah CCP sudah
terkendali dengan baik atau belum. Contoh pelaksaan prosedur verifikasi adalah
1. Validasi semua komponen perencanaan HACCP (termasuk kaji ulang sistem
HACCP, prosedur dan sistem pencatatan). Menurut Muhandri, et.al (2015)
Validasi HACCP meliputi : konfirmasi bahwa system HACCP sudah benar
seblum diiplementasikan, konfirmasi bahwa semua bahaya sudah
teridentifikasi, tindakan pencegahan sudah diidentifikasi untuk setiap
bahaya, batas kritis cukup dan prosedur pemantauan dan peralatan
memadai dan dikalibrasi.
2. Kaji ulang tindakan koreksi dan tindakan disposisi produk ketika critical limits
tidak tercapai .
3. Pengamatan, pengukuran dan tindakan audit internal.
Saat penulis melakukan praktik masih ditemukan klip hitam besi di ruang
penyinaran UV 1. Hal ini menunjukan audit internal terhadap kunci SSOP
pencegahan kontaminasi silang belum terlalu ketat. Untuk contoh prosedur
verifikasi internal dan eksternal yang diterapkan di PT Permata Marindo Jaya
dapat dilihat pada lampiran 19.
5.5.12 Dokumentasi dan Pencatatan
Pencatatan ini merupakan catatan yang berisi hasil dari segala sesuatu
yang dipantau atau diawasi dalam kegiatan proses. Tujuan dari tahap pencatatan
adalah untuk memudahkan dalam monitoring atau pengawasan dalam proses
produksi. Selain itu pencatatan yang dilakukan PT Permata Marindo Jaya juga
bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan – penyimpangan yang ada di
lapangan serta mengetahui tidakan koreksi yang telah dilaksanakan agar produk
yang dihasilkan benar-benar aman dan layak untuk ekspor. Cara atau sistem
pencatatan yang ada di PT Permata Marindo Jaya dilaksanakan oleh Quality
Control (QC) dan Tally pada laporan harian masing – masing bagian proses
produksi. Untuk pencatatan jumlah udang yang diproduksi dilakukan oleh tally,
sedangkan untuk pencatatan hasil pengawasan mutu dan sanitasi dilakukan oleh
138

QC pada masing - masing bagian produksi. Secara umum, pencatatan ini


dilakukan dalam bentuk form-form yang telah ada sesuai proses produksi
sehingga mempermudah dalam menentukan tindakan perbaikan atau evaluasi
bila diperlukan.
5.6. Penetapan dan Pengendalian Critical Control Point (CCP)
Histamin adalah bahaya yang merupakan salah satu critical control point
di PT Permata Marindo Jaya. Untuk pohon keputusan Histamin sebagai critical
control point di PT. Permata Marindo Jaya dapat dilihat pada tabel 33.
Tabel 33. Penetapan Critical Control Points Histamin
Tahapan Proses Penerimaan Bahan Baku
Bahaya Histamin
Apakah ada tindakan pencegahan YA
pada tahapan tersebut untuk
mencegah atau meminimalkan
bahaya yang mungkin terjadi
Apakah tahap ini didesain khusus Tidak
untuk dapat menghilangkan atau
mengurangi kemungkinan terjadinya
hazard sampai tingkat yang diterima.
Apakah bahaya yang terjadi dapat YA
meningkat melebihi level yang dapat
diterima atau melebihi batas kritis.
Apakah tahapan berikutnya dapat Tidak
mengurangi bahaya signifikan yang
telah diidentifikasi pada tahapan
tersebut
Hasil CCP

Tabel 33 menjelaskan bahwa bahaya histamin pada tahapan proses


penerimaan bahan baku merupakan bahaya yang memiliki tindakan
pengendalian yang bersifat mencegah bahaya tersebut yaitu persyaratan surat
jaminan supplier dan pengujian histamin pada bahan baku. Tahapan proses
tersebut tidak dirancang khusus untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya
sampai tingkatan yang diterima, tetapi histamin ini sangat mudah untuk
meningkat dan terjadi melebihi tingkatan yang diterima apabila suhu lebih dari
4,4°C. Tahapan berikutnya tidak dapat mengurangi histamin meskipun proses
pembekuan atau proses penyimpanan beku sehingga bahaya ini menjadi titik
kritis atau critical control point.
Prosedur pemantauan yang dilakukan perusahaan untuk bahaya histamin
adalah Surat Garansi Supplier (Approval Supplier), Uji laboratorium internal
139

minimal 18 ikan/lot (komposit 3) setiap penerimaan dan audit supplier setiap 1


tahun sekali.
Menurut FDA (2011) prosedur pengendalian untuk bahaya histamin
meliputi pengendalian kapal saat bongkaran, pengujian histamin, pemantauan
pembongkarn di tempat transit, pemantauan saat proses dan pemantauan
penyimpanan.
1. Pengendalian kapal saat bongkaran
Batas kritis yang ditetapkan dalam pengendalian kapal saat bongkaran
adalah pemantauan dokumen kapal penangkapan, uji sensori dan pengukuran
suhu internal ikan.
a. Pemantauan Dokumen Kapal Penangkapan
Semua ikan yang dapat membentuk scombrotoxin (termasuk tuna) yang
diterima perusahaan dilengkapi dengan dokumen kapal penangkapan yang
menujukkan ketentuan-ketentuan (batas kitis) berikut :
a) Jika ikan terekspos udara atau air di atas suhu 28,30C harus diletakkan di
es, air laut berpendingin, serpihan es atau brine pada suhu 4,40C atau
kurang secepatnya setelah penangkapan tidak lebih dari 6 jam dari waktu
kematia ikan.
b) Jika ikan terekspos udara atau air pada suhu 28,30C atau kurang harus
diletakkan di es, air laut berpendingin, serpihan es atau brine pada suhu
4,40C atau kurang secepatnya setelah penangkapan tidak lebih dari 9 jam
dari waktu kematia ikan.
c) Jika ikan yang telah dibuang insang dan disiangi harus diletakkan di es,
air laut berpendingin, serpihan es atau brine pada suhu 4,40C atau kurang
secepatnya setelah penangkapan tidak lebih dari 6 jam dari waktu
kematia ikan.
d) Jika ikan yang ditangkap pada kondisi ikan mati berada pada air yang
bersuhu 18,30C atau waktu kematian kurang dari 24 jam harus
ditempatkan di es, atau air laut berpendingin, serpihan es atau brine pada
suhu 4,40C atau kurang secepatnya setelah penangkapan.
Jika dokumen kapal penangkapan tidak sesuai dengan batas kritis maka
tindakan koreksi yang dilakukan adalah lakukan pendinginan dan hold lot dan
lakukan pengujian histamin pada minimal 60 ikan perwakilan lot atau semua ikan
jika jumlah ikan dalam lot tersebut kurang dari 60 ikan.
140

Pengujian histamin dilakukan dengan cara individual sample (ikan di uji


kadar histaminnya secara individu) maupun secara komposit 3 (Kadar histamin
diuji dengan cara menggabungkan 3 ikan menjadi satu sampel). Ikan diuji kadar
histaminnya saat kedatangan bahan baku. Batas kritis yang dapat diterima untuk
individual sample adalah kurang dari 50 ppm dan batas kritis yang dapat diterima
untuk komposit 3 adalah kurang dari 17 ppm. Jika melebihi batas kritis yang telah
ditentukan lakukan penolakan (reject) lot, hentikan penerimaan bahan baku dari
supplier tersebut sampai diperoleh bukti bahwa penangkapan, penanganan ikan
di atas kapal dan control telah diperbaharui.
b. Uji Sensori
Uji sensori perwakilan sampel ikan yang dapat membentuk scombrotoxin
(termasuk tuna) yang menunjukkan gejala kemunduran mutu pada lot saat
kedatangan bahan baku. Sampel yang diambil adalah 118 ikan per lot atau
semua ikan jika satu lot jumlahnya kurang dari 118 ikan. Batas kritis yang dapat
diterima adalah jumlah ikan yang terdekomposisi kurang dari 2,5 % jumlah ikan
per lot.
Jika uji sensori tidak sesuai dengan batas kritis maka tindakan koreksi
yang dilakukan adalah lakukan pendinginan dan hold lot dan lakukan pengujian
histamin pada minimal 60 ikan perwakilan lot termasuk ikan-ikan yang
menunjukkan tanda-tanda kemunduran mutu atau semua ikan jika jumlah ikan
dalam lot tersebut kurang dari 60 ikan.
Pengujian histamin dilakukan dengan cara individual sample (ikan di uji
kadar histaminnya secara individu) maupun secara komposit 3 (Kadar histamin
diuji dengan cara menggabungkan 3 ikan menjadi satu sampel). Ikan diuji kadar
histaminnya saat kedatangan bahan baku. Batas kritis yang dapat diterima untuk
individual sample adalah kurang dari 50 ppm dan batas kritis yang dapat diterima
untuk komposit 3 adalah kurang dari 17 ppm. Jika melebihi batas kritis yang telah
ditentukan lakukan penolakan (reject) lot, hentikan penerimaan bahan baku dari
supplier tersebut sampai diperoleh bukti bahwa penangkapan, penanganan ikan
di atas kapal dan kontrol telah diperbaharui.
Jika ikan-ikan tersebut diproses untuk menjadi bahan pangan maka
pastikan tidak ada ikan yang terdekomposisi masuk ke dalam proses atau ikan
yang terdekomposisi dapat dialihkan ke produk yang bukan pangan.
141

c. Pengukuran suhu internal ikan


Pengukuran suhu internal ikan dilakukan dengan mengukur minimal 12
perwakilan ikan terbesar dan terfokuskan kepada ikan yang menunjukkan tanda
mengalami penanganan kurang baik saat ditagkap per lot kedatangan atau
semua ikan jika jumlah ikan dalam lot kedatangan kurang dari 12 ikan. Batas
kritis yang dapat diterima adalah :
a) Jika ikan dalam keadaan tidak beku atau hanya didinginkan saat di
atas kapal dalam jangka waktu 24 jam atau lebih setelah kematian
ikan, suhu internal ikan harus dipertahankan 4,40C atau kurang.
b) Jika ikan dalam keadaan tidak beku atau hanya didinginkan saat di
atas kapal dalam jangka waktu 15 sampai kurang dari 24 jam setelah
kematian ikan, suhu internalnya harus dipertahankan 100C atau
kurang.
c) Jika ikan dalam keadaan tidak beku atau hanya didinginkan saat di
atas kapal dalam jangka waktu 12 sampai kurang dari 15 jam setelah
kematian ikan, suhu internalnya harus dipertahankan 15,60C atau
kurang.
d) Jika ikan dalam keadaan tidak beku atau hanya didinginkan saat di
atas kapal dalam jangka waktu kurang dari 12 jam setelah kematian
ikan, suhu internalnya harus kurang dari suhu air dan udara yang
menunukkan pendinginan ikan di atas kapal telah dilakukan.
Jika pengukuran suhu internal ikan tidak sesuai dengan batas kritis maka
tindakan koreksi yang dilakukan adalah lakukan pendinginan dan hold lot dan
lakukan pengujian histamin pada minimal 60 ikan perwakilan lot termasuk ikan-
ikan yang suhunya tidak sesuai dengan batas kritis atau semua ikan jika jumlah
ikan dalam lot tersebut kurang dari 60 ikan.
Pengujian histamin dilakukan dengan cara individual sample (ikan di uji
kadar histaminnya secara individu) maupun secara komposit 3 (Kadar histamin
diuji dengan cara menggabungkan 3 ikan menjadi satu sampel). Ikan diuji kadar
histaminnya saat kedatangan bahan baku. Batas kritis yang dapat diterima untuk
individual sample adalah kurang dari 50 ppm dan batas kritis yang dapat diterima
untuk komposit 3 adalah kurang dari 17 ppm. Jika melebihi batas kritis yang telah
ditentukan lakukan penolakan (reject) lot, hentikan penerimaan bahan baku dari
supplier tersebut sampai diperoleh bukti bahwa penangkapan, penanganan ikan
di atas kapal dan kontrol telah diperbaharui.
142

2. Pemantauan Bongkaran di Transit


Batas kritis yang ditetapkan dalam pemantauan bongkaran di transit
adalah pengiriman ikan yang didinginkan dengan es dan pengiriman ikan yang
didinginkan dengan media pendingin kimia.
a. Pengiriman Ikan yang Didinginkan dengan Es.
Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan adalah ikan dipantau suhu
internalnya selama transportasi dan suhu sekitar ikan (termasuk pemantauan
suhu dalam alat transportasi) dengan menggunakan alat perekam suhu
berkelanjutan seperti data logger. Batas kritis yang dapat diterima adalah :
a) Semua lot yang diterima disertai dengan dokumen transportasi yang
menunjukkan bahwa ikan dipertahankan suhunya 4,40C atau kurang saat
melalui transit.
b) Ikan diselimuti es saat pengiriman.
c) Ikan yang dikirim dengan mobil box terbuka harus diselimuti dengan es
dan dipertahankan suhunya 4,40C.
d) Ikan yang dibongkar pada transit tidak boleh melewati waktu transit 4 jam
dan suhu ikan saat pengiriman ttidak melebihi 4,40C.
Jika suhu internal ikan tidak sesuai dengan batas kritis maka tindakan
koreksi yang dilakukan adalah lakukan pendinginan dan hold lot dan lakukan
pengujian histamin pada minimal 60 ikan perwakilan lot termasuk ikan-ikan yang
suhunya tidak sesuai dengan batas kritis atau semua ikan jika jumlah ikan dalam
lot tersebut kurang dari 60 ikan.
Pengujian histamin dilakukan dengan cara individual sample (ikan di uji
kadar histaminnya secara individu) maupun secara komposit 3 (Kadar histamin
diuji dengan cara menggabungkan 3 ikan menjadi satu sampel). Ikan diuji kadar
histaminnya saat kedatangan bahan baku. Batas kritis yang dapat diterima untuk
individual sample adalah kurang dari 50 ppm dan batas kritis yang dapat diterima
untuk komposit 3 adalah kurang dari 17 ppm. Jika melebihi batas kritis yang telah
ditentukan lakukan penolakan (reject) lot, hentikan penerimaan bahan baku dari
supplier tersebut sampai diperoleh bukti bahwa penangkapan, penanganan ikan
di atas kapal dan kontrol telah diperbaharui.
b. Pengiriman Ikan yang Didinginkan dengan Media Pendingin Kimia
Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan adalah kecukupan media
pendingin kimia, seperti gel packs dan ikan dipantau suhu internalnya selama
transportasi dan suhu sekitar ikan (termasuk pemantauan suhu dalam alat
143

transportasi) dengan menggunakan alat perekam suhu berkelanjutan seperti


data logger. Batas kritis yang dapat diterima adalah :
a) Kecukupan jumlah gel packs untuk mempertahankan suhu ikan 4,40C
atau kurang selama di transit.
b) Suhu ikan dipertahankan 4,40C atau kurang saat pengiriman.
c) Ikan yang dibongkar pada transit tidak boleh meleati waktu transit 4 jam
dan suhu ikan saat pengiriman ttidak melebihi 4,40C.
Jika suhu internal ikan tidak sesuai dengan batas kritis maka tindakan
koreksi yang dilakukan adalah lakukan pendinginan, hold lot dan lakukan
pengujian histamin pada minimal 60 ikan perwakilan lot termasuk ikan-ikan yang
suhunya tidak sesuai dengan batas kritis atau semua ikan jika jumlah ikan dalam
lot tersebut kurang dari 60 ikan.
Pengujian histamin dilakukan dengan cara individual sample (ikan di uji
kadar histaminnya secara individu) maupun secara komposit 3 (Kadar histamin
diuji dengan cara menggabungkan 3 ikan menjadi satu sampel). Ikan diuji kadar
histaminnya saat kedatangan bahan baku. Batas kritis yang dapat diterima untuk
individual sample adalah kurang dari 50 ppm dan batas kritis yang dapat diterima
untuk komposit 3 adalah kurang dari 17 ppm. Jika melebihi batas kritis yang telah
ditentukan lakukan penolakan (reject) lot, hentikan penerimaan bahan baku dari
supplier tersebut sampai diperoleh bukti bahwa penangkapan, penanganan ikan
di atas kapal dan kontrol telah diperbaharui.
3. Pengendalian Proses
Ikan selama mengalami proses seperti, pencucian, pemotongan kepala ,
thawing dan pemfilletan, pembuatan steak secara manual dan lainnya
memungkinkan adanya kenaikan kadar histamin. Pengendalian dilakukan
dengan cara pengamatan visual lamanya produk pada kondisi tidak beku (lebih
dari 4,40C) dan ukur suhu ruangan menggunakan alat pengukur suhu
berkelanjutan, seperti data logger atau continuous thermometer atau tempatkan
thermometer di setiap area proses dan modifikasi proses jika diperlukan untuk
mengurangi waktu dan paparan suhu. Batas kritis y6rtgukang dapat diterima
adalah :
a) Produk-produk tidak boleh terekspos suhu di atas 4,40C lebih dari 4 jam,
secara komulatif jika bagian dari waktu itu terdapat suhu ruangan di atas
21,10C.
144

b) Produk-produk tiak boleh terekspos suhu di ats 4,40C lebih dari 8 jam,
secara komulatif jika jika bagian dari waktu itu tidak ada suhu ruangan di
atas 21,10C.
Jika batas kritis tidak terpenuhi maka tindakan koreksi yang dapat
dilakukan adalah :
a) Lakukan pendinginan produk dan hold produk sampai mendapatkan
evalasi berdasarkan total waktu dan paparan suhu, termasuk paparan
suhu pada proses sebelumnya.
b) Lakukan pendinginan, hold produk dan lakukan pengujian histamin pada
minimal 60 ikan perwakilan lot termasuk ikan-ikan yang suhunya tidak
sesuai dengan batas kritis atau semua ikan jika jumlah ikan dalam lot
tersebut kurang dari 60 ikan. Pengujian histamin dilakukan dengan cara
individual sample (ikan di uji kadar histaminnya secara individu) maupun
secara komposit 3 (kadar histamin diuji dengan cara menggabungkan 3
ikan menjadi satu sampel). Batas kritis untuk individual sample adalah 50
ppm dan komposit 3 adalah 17 ppm. Jika kadar histamin melewati batas
kritis musnahkan produk atau alihkan produk menjadi produk non pangan.
c) Pengambilan tindakan koreksi berikut untuk mengembalikan
ketidaksesuaian kontrol saat operasi ssetelah adanya penyimpangan
batas kritis, yaitu untuk mencegah penyimpangan suhu berkelanjutan
tambahkan es pada produk atau pindahkan produk dari cooler lain dari
cooler yang rusak dan buat pengaturan pengoperasian mesin es.
4. Pengendalian Penyimpanan
Pengendalian yang dilakukan adalah mengukur suhu cooler
menggunakan alat pengukur suhu berkelanjutan, seperti data logger atau
continuous thermometer atau untuk penyimpanan dengan menggunakan es
dilakukan pengamatan secara visual tentang kecukupan es pada perwakilan
container. Batas kritis yang dapat diterima adalah untuk penyimpanan dingin
atau penyimpanan bahan baku, selama proses atau produk akhir
a) Produk dipertahankan pada suhu 4,40C atau di bawahnya. Di sisi lain, variasi
minor pada pengkuran suhu cooler dapat dicegah dengan mencelupkan
sensor alat perekam suhu pada cairan yang meniru karakteristik pada
produk dan juga perhatikan batas kritis selama dalam ruang pendingin yang
menentukan waktu komulatif dan suhu paparan tidak boleh lebih dari 4,40C.
145

b) Bahan baku, produk in process atau produk akhir yang disimpan dengan es.
Produk harus diselimuti es secara berkelanjutan selama proses
penyimpanan.
Jika batas kritis tidak terpenuhi maka dilakukan tindakan koreksi sebagai berikut :
a) Lakukan pendinginan produk dan hold produk sampai mendapatkan evalasi
berdasarkan total waktu dan paparan suhu, termasuk paparan suhu pada
proses sebelumnya.
b) Lakukan pendinginan, hold produk dan lakukan pengujian histamin pada
minimal 60 ikan perwakilan lot termasuk ikan-ikan yang suhunya tidak sesuai
dengan batas kritis atau semua ikan jika jumlah ikan dalam lot tersebut
kurang dari 60 ikan. Pengujian histamin dilakukan dengan cara individual
sample (ikan di uji kadar histaminnya secara individu) maupun secara
komposit 3 (kadar histamin diuji dengan cara menggabungkan 3 ikan
menjadi satu sampel). Batas kritis untuk individual sample adalah 50 ppm
dan komposit 3 adalah 17 ppm. Jika kadar histamin melewati batas kritis
musnahkan produk atau alihkan produk menjadi produk non pangan.
Pengambilan tindakan koreksi berikut untuk mengembalikan ketidaksesuaian
kontrol saat operasi ssetelah adanya penyimpangan batas kritis, yaitu untuk
mencegah penyimpangan suhu berkelanjutan tambahkan es pada produk
atau pindahkan produk dari cooler lain dari cooler yang rusak dan buat
pengaturan pengoperasian mesin es.
146
147

Anda mungkin juga menyukai