Anda di halaman 1dari 21

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Produk Ikan Layur Beku


Menurut SNI 6940.1:2011 (BSN 2011), ikan layur beku merupakan
produk hasil perikanan dengan bahan baku layur segar utuh yang mengalami
perlakuan pembekuan. Ikan layur beku merupakan produk hasil perikanan yang
diproduksi di PT. AGB Palabuhanratu. Kondisi ikan layur dipertahankan untuk
selalu dalam keadaan segar dan terhindar dari kerusakan baik fisik, kimia maupun
biologi sehingga sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan oleh konsumen serta
memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Badan Satandarisasi Nasional
(BSN) mengenai produk ikan layur beku. PT. AGB Palabuhanratu memiliki
kapasitas rata-rata produksi perhari ± 1 ton dengan deskripsi produk disajikan
pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Deskripsi Produk Ikan Layur Beku di PT. AGB Palabuhanratu


1. Nama Produk Ikan Layur Beku

2. Nama spesies  Trichiurus savala


 Trichiurus haumela
 Trichiurus lepturus
3. Produk akhir Ikan Layur Beku
4. Tahapan pengemasan Kemasan dalam : dimasukan dalam kantong
plastik
Kemasan luar : karton
5. Persyaratan Disimpan dalam cold storage dengan suhu
maksimum -20oC
6. Umur simpan 18 bulan disimpan dalam cold storage dengan
suhu maksimum -20oC
7. Label/spesifikasi Nama perusahaan, negara asal, ukuran, nama
produk, berat bersih dan kode produksi
8. Penggunaan produk Dimasak sebelum dikonsumsi

9. Pelanggan Masyarakat umum


Asia: Korea, Cina, Thailand
Sumber : PT. AGB Palabuhanratu (2013)

26
27

4.1.1 Bahan Baku Ikan Layur Beku


Bahan baku berupa ikan layur (Trichiurus sp.) segar dan utuh, disuplai
oleh nelayan sekitar Palabuhanratu sampai ke daerah Ujung Genteng. Ikan layur
ditangkap di perairan Teluk Palabuhanratu sampai ke perairan Laut Selatan Jawa
dengan dua cara yaitu dengan menggunakan rawai dan jaring. Kualitas tangkapan
yang menggunakan alat tangkap pancing dinilai lebih baik dari pada yang
menggunakan jaring, karena ikan yang ditangkap menggunakan jaring lebih
riskan mengalami kerusakan secara fisik. Proses penerimaan bahan baku ikan
layur mencakup tahapan sebagai berikut:

1) Pembongkaran
Ikan layur yang didaratkan di PPN Palabuhanratu dalam keadaan segar dan
utuh. Ikan layur hasil tangkapan nelayan menggunakan kapal berkasitas 5-15 PK
(Gambar 4). Alat tangkap yang digunakan adalah gill net dan pancing rawai. Ikan
hasil tangkapan ditangani dengan hati-hati, bersih, cepat dan diberikan perlakuan
dingin selama di kapal untuk menjaga kesegaran ikan sebelum diproses lebih
lanjut di perusahaan.

Gambar 4. Kapal Penangkapan Ikan Layur

Penerimaan bahan baku mengalami fluktuatif yang signifikan. Faktor cuaca


dan musim tangkapan menjadi penyebab terjadinya kelangkaan bahan baku dilaut.
Tangkapan melimpah produksi mencapai 17 ton/hari, namun pada saat bahan
baku sedikit produksi hanya berkisar 1 ton/hari.
28

2) Pemindahan Ikan Layur ke dalam Wadah Pengangkutan


Ikan layur dibongkar dari palka kapal kemudian dipindahkan ke dalam wadah
pengangkutan (boks plastik atau stirofoam) dengan hati-hati supaya tidak terjadi
kerusakan fisik pada ikan. Penanganan dengan rantai dingin dilakukan pada tahap
ini dengan menambahkan es curai pada boks/stirofoam yang telah berisi ikan.
Ikan disortir berdasarkan kualitas yang memenuhi standar ekspor untuk dikirim ke
perusahaan.
3) Transportasi Ikan ke Perusahaan
Ikan dari nelayan diangkut ke perusahaan menggunakan sepeda motor.
Jumlah ikan yang dikirimkan ke perusahaan oleh nelayan berkisar 50 – 200 kg.
Nelayan Ujung Genteng menggunakan mobil pick up sebagai alat transportasi
pengiriman bahan baku ikan layur ke PT. AGB Palabuhanratu (Lampiran 5).

4.1.2 Bahan Penolong Penanganan Ikan Layur Beku


Penanganan ikan layur beku menggunakan air dan es untuk menunjang
kelancaran proses produksi. Air merupakan bahan pembantu yang sangat penting
dalam proses pencucian, pembersihan alat dan tempat produksi yang dibutuhkan
dalam jumlah besar. Menurut Thaheer (2005), air dalam penanganan pangan
terdiri dari air pengolahan, air minum dan air bersih.
Air yang digunakan di PT. AGB Palabuhanratu adalah air PDAM yang
telah diuji dilaboratorium Balai Pengujian dan Pembinaan Mutu Hasil Perikanan
(BPPMHP) Cirebon. Mutu air dan es yang digunakan di PT. AGB Palabuhanratu
disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Mutu Air dan Es di PT. AGB Palabuhanratu


Hasil uji
No. Parameter Persyaratan
Air Es
1. ALT ( koloni/g) 100 100 100
2. E. Coli / Coliform (APM/g) <3 <3 <3
3. Vibrio cholerae (per 25 g) Negatif Negatif Negatif
4. Salmonella (per 25 g) Negatif Negatif Negatif
Sumber : BPPMHP (2011)
29

Es dibutuhkan dalam proses produksi ikan layur sebagai bahan untuk


mempertahankan suhu ikan selama proses penanganan. Es diproduksi oleh
perusahaan sesuai kebutuhan.

4.2 Alur Proses Penanganan Ikan Layur Beku


Alur proses penanganan ikan layur beku yang dilakukan di PT. AGB
Palabuhanratu telah menerapkan prinsip-prinsip GMP (Good Manufacturing
Practice) dan SSOP (Sanitation Standard Operating Procedure) (Lampiran 2 dan
3). Diagram alur proses penanganan ikan layur beku di PT.AGB Palabuhanratu
disajikan pada lampiran 4. Monitoring dan pencatatan setiap tahapan alur proses
penanganan ikan layur beku di PT. AGB Palabuhanratu menggunakan lembar
pencatatan (Lampiran 5 sampai 14).

4.2.1 Penerimaan Bahan Baku (Recieving)


Menurut Hadiwiyoto (1993), hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan
bahan baku adalah mutu bahan baku atau kesegarannya, mutu bahan baku
mempengaruhi mutu produk akhir yang dihasilkan. Proses penanganan tidak dapat
meningkatkan mutu tetapi hanya dapat mempertahankan mutu dan menghambat
tumbuhnya bakteri patogen. Penerimaan bahan baku dilakukan dalam beberapa
tahapan proses diantaranya :
a) Pembongkaran
Proses pembongkaran dilakukan di ruangan penerimaan bahan baku.
Bahan baku yang diturunkan dari motor atau mobil berada dalam boks
plastik/stirofoam. Ikan dalam boks diberi es curai untuk mempertahankan
kesegaran ikan dengan perlakuan suhu rendah dan tidak melebihi 3 oC
(Purwaningsih 1995). Kapasitas boks plastik maksimum 60 kg sementara
kapasitas boks stirofoam maksimum 30 kg. Proses pembongkaran dilakukan
dengan sangat hati-hati untuk menghindari kerusakan secara fisik pada bahan
baku. Kondisi ikan dalam boks plastik disajikan pada Gambar 5 berikut ini.
30

Gambar 5. Ikan dalam Boks Plastik

b) Pengujian mutu bahan baku


Pengujian mutu bahan baku dilakukan oleh Quality Control (QC) bagian
penerimaan dengan melakukan monitoring dan pengukuran suhu terhadap bahan
baku yang diterima menggunakan thermocouple. Selain suhu bahan baku yang
diukur adalah derajat kesegarannya melalui pengujian organoleptik meliputi
penampakan, aroma, warna dan tekstur bahan baku menggunakan score sheet
(Lampiran 24). Bahan baku yang sesuai dengan standar langsung diproses oleh
bagian pengolahan dan bahan baku yang tidak sesuai dikembalikan ke nelayan.
Hasil pendataan dicatat dalam lembar penerimaan bahan baku (Lampiran 5) dan
lembar catatan suhu proses (Lampiran 8).
Bahan baku yang diterima adalah bahan baku yang memiliki suhu dibawah
o
4 C dan tidak mengalami kerusakan secara fisik. Kerusakan secara fisik
merupakan hal utama yang diperhatikan dalam pemilihan bahan baku karena akan
mempengaruhi pada kualitas ikan yang diekspor. Proses penerimaan bahan baku
juga mencatat mengenai nama pemasok, tanggal penerimaan, jumlah, alat tangkap
yang digunakan dan daerah penangkapannya.

4.2.2 Pemilihan bahan baku (sorting)


Proses pemilihan bahan baku dilakukan oleh QC di ruang proses. Proses
pemilihan bahan baku merupakan tahapan setelah bahan baku diterima sesuai
standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan melalui mekanisme yang telah
31

dilakukan oleh karyawan PT. AGB berdasarkan GMP dan SSOP. Proses
pemilihan dilakukan di meja sortir untuk memisahkan jenis dan ukuran ikan
sesuai peruntukan negara tujuan ekspor. Ukuran dan jenis ikan dipisahkan
berdasarkan gradenya. Selain itu jenis alat tangkap yang digunakan juga
mempengaruhi terhadap pengelompokan dan pemilihan untuk negara tujuan,
misalnya ikan yang ditangkap dengan alat tangkap pancing diperuntukan untuk
negara tujuan ekspor Korea sementara sisanya untuk negara tujuan seperti Cina
dan Thailand.
Proses pemilihan bahan baku selain untuk menentukan ukuran, jenis ikan
dan kualitas ikan juga berfungsi sebagai perhitungan jumlah ikan per nelayan
yang dikirim ke perusahaan. Ukuran ikan dipisahkan berdasarkan jenis dan ukuran
yang sama pada keranjang kemudian dilakukan penimbangan. Ikan ditimbang
perkeranjang dengan bobot 10 kg seluruh proses sortir dan penimbangan di catat
dalam laporan inspeksi sortir (Lampiran 6) dan laporan ukuran bahan baku
(Lampiran 7). Proses sortir dilakukan dengan mendata waktu penerimaan bahan
baku, nama pemasok, kualitas, ukuran, pengukuran suhu dan pengujian
organoleptik. Selain itu juga memeriksa bahaya fisik yang mungkin
mengkontaminasi bahan baku seperti adanya pasir, atau bahkan mata pancing
yang terbawa pada ikan sehingga pada proses sortir dicek satu persatu.

4.2.3 Penimbangan (Weighing)


Proses penimbangan dilakukan menggunakan timbangan digital dan
menggunakan keranjang dengan patokan 10 kg/keranjang. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah dalam proses penyusunan. Ikan yang ditimbang di keranjang
adalah ikan untuk disusun dalam satu long pan yang memiliki ukuran 90x40x15.
Ikan telah dikelompokan berdasarkan ukuran yang sama sehingga mempermudah
pada saat penyusunan. Kalibrasi alat timbangan dilakukan setiap dua jam sekali
dan dicatat dalam catatan inspeksi timbangan (Lampiran 9). Berikut ini adalah
gambar pada saat penimbangan disajikan pada Gambar 6.
32

Gambar 6. Penimbangan Ikan

4.2.4 Pencucian (Washing)


Menurut Hadiwiyoto (1994), perlakuan pencucian ditujukan untuk
menghilangkan kotoran, disamping itu pencucian menggunakan air bersih dapat
mengurangi jumlah bakteri yang ada. Teknik pencucian ikan yang dilakukan di
PT. AGB adalah dengan memasukkan keranjang yang berisi ikan ke bak air
mengalir. Air yang digunakan adalah air dari PDAM dan telah distandarisasi
sesuai dengan kualitas baku mutu air untuk produksi. Selama proses pencucian
diawasi oleh QC. Berikut ini adalah gambar bak pencucian dan proses pencucian
disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Bak Pencucian Ikan


33

4.2.5 Penyusunan (Layering)


Ikan disusun dalam sebuah pan alumunium. Penyusunan ikan layur
dilakukan setelah melalui proses sortir dan pencucian. Ikan yang akan disusun
telah dikelompokan berdasarkan ukuran dan grade nya, hal ini dilakukan untuk
mempermudah penyusunan. Susunan ikan bervariasi antara 5-8 ekor/layer
tergantung pada ukurannya. Ukuran ikan 2-3 ons bisa mencapai 8 ekor/layer dan
bisa mencapai 5 layer atau sekitar 40-45 ekor/longpan. Sementara untuk ikan
yang ukurannya 5-7 ons hanya sekitar 5 ekor/layer dan hanya 3-4 layer atau
sekitar 20-25 ekor/longpan. Proses penyusunan setiap layer dibedakan arah
ikannya untuk membuat susunan ikan rapi. Saat penyusunan ikan gelembung
renang yang masih berisi udara dikeluarkan udaranya untuk menghindari pecah
gelembung pada saat pembekuan yang akan menurunkan kualitas ikan karena
mengalami pecah perut. Setiap layer ikan dilapisi dengan plastik untuk melapisi
dan memisahkan setiap layernya. Proses penyusunan diawasi oleh QC dan pada
proses ini dilakukan pencatatan suhu yang dicatat dilembar pencatatan suhu
proses (Lampiran 8). Pemberian kode dilakukan pada saat penyusunan untuk
mempermudah pada saat packing, kertas warna hijau digunakan untuk label
negara tujuan ekspor Korea, kuning untuk negara tujuan ekspor Cina sementara
putih untuk negara tujuan Thailand dan warna merah untuk kualitas ikan yang
mengalami pecah perut (burstbelly).

Gambar 8. Ikan Setelah disusun dalam Long pan


34

4.2.6 Pembekuan (Freezing)


Proses pembekuan produk dimulai setelah penyusunan selesai dan
langsung dimasukan kedalam Air Blast Freezer (ABF). Proses pembekuan
biasanya berlangsung sekitar 12-14 jam untuk mendapatkan suhu pusat produk
-18oC. Air blast freezer beroperasi pada suhu -25oC sampai -35oC dan dipantau
setiap 2 jam sekali kemudian hasilnya dicatat dalam lembar catatan suhu air blast
freezer (Lampiran 13).
Produk yang telah disusun pada long pan selanjutnya disusun untuk
dipindahkan kedalam ABF menggunakan roda dorong dan disusun di rak dalam
ruang ABF yang memiliki kapasitas penyimpanan 3 ton. Proses pembekuan yang
dilakukan di PT. AGB disajikan pada Gambar 9.

b
Gambar 9. Pembekuan di Air Blast Freezer. (a) Susunan Long Pan Sebelum
disusun dalam ABF (b) Susunan Long Pan dirak ABF
35

4.2.7 Pengemasan dan Pelabelan (Packing and Labeling)


Tahapan selanjutnya adalah pengemasan untuk mencegah terjadinya
kontaminasi silang dengan lingkungan. Proses pengemasan dilakukan secara
cepat, cermat dan saniter untuk mencegah kenaikan suhu secara cepat dan
kerusakan pada produk. Pengemasan ikan layur beku menggunakan karton yang
telah diberi label yang memuat informasi mengenai nama perusahaan, spesifikasi
produk, negara asal, ukuran, berat bersih, dan kode produksi. Tahap pengemasan
dan pemberian label dipantau oleh QC untuk memantau kondisi suhu dan produk
ikan layur beku supaya tidak terjadi kesalahan dan ketidaksesuaian antara label
dengan produk.
Proses pengemasan dilakukan diruang packing dan berdekatan dengan
ruang ABF agar tidak terjadi kenaikan suhu yang drastis pada produk. Tahapan
pengemasan adalah mempersiapkan perlengkapan pengemasan mulai dari meja,
air es untuk pencucian, plastik dan karton kemasan yang telah diberi label sesuai
spesifikasi produk. Setelah dikeluarkan dari ruang ABF produk dikeluarkan dari
long pan dan langsung dilakukan pencucian dengan air es untuk menghindarkan
produk dari dehidrasi selama pembekuan. Selanjutnya produk dimasukan kedalam
plastik dan kemudian dimasukan ke dalam karton, setelah itu karton dilakban dan
dimasukan kembali kedalam plastik selanjutnya karton yang telah terbungkus
plastik disusun untuk dimasukan kedalam ruang cold storage. Proses pengemasan
biasanya berlangsung sekitar 1-2 jam untuk jumlah 200-300 karton (Lampiran
26).

4.2.8 Pendeteksian logam (Metal detecting)


Pemeriksaan logam dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari
serpihan logam. Ikan layur beku yang telah dikemas dan diberi label selanjutnya
dilakukan pemeriksaan logam dengan cara melewatkan karton yang berisi produk
layur beku pada mesin pendeteksi logam (metal detector). Sensitifitas metal
detector di kalibrasi setiap 1 jam sekali dan hasil monitoring pendeteksian logam
dicatat dalam catatan pendeteksian logam (Lampiran 12).
36

4.2.9 Penyimpanan (Storing)


Ikan layur yang telah dikemas dimasukan ke dalam cold storage setelah
lolos pemeriksaan logam. Penyusunan produk berdasarkan spesifikasi produk
kesamaan ukuran dan negara tujuan. Produk disusun dengan baik untuk
mendapatkan suhu yang merata selama penyimpanan dalam cold storage. Suhu
maksimum dalam cold storage adalah -20oC. Kapasitas penyimpanan yang
dimiliki oleh PT. AGB adalah cold storage berkapasitas 100 ton. Pengecekan
suhu cold storage dilakukan setiap 2 jam sekali dan dicatat dalam lembar catatan
suhu cold storage (Lampiran 14).

4.2.10 Pengangkutan (Transporting)


Produk layur beku yang telah siap diekspor selanjutnya diangkut dalam
truk Thermoking berkapasitas 4 ton menuju pelabuhan Tanjung Priuk untuk
selanjutnya diekspor ke negara tujuan seperti Korea dan Cina. Proses
pengangkutan produk dilakukan dengan sangat hati-hati dan dijaga agar tidak
terjadi kenaikan suhu secara drastis yang akan menurunkan mutu produk. Suhu
dalam kendaraan dipertahankan pada suhu -18oC. Penerapan GMP dalam proses
pengangkutan sangat penting untuk menjaga suhu pusat ikan agar tetap dalam
keadaan beku.

4.3 Analisis Bahaya


Setelah dilakukan pengamatan pada setiap tahapan alur proses penanganan
ikan layur beku di PT. AGB Palabuhanratu maka dapat dianalisis bahaya yang
mungkin terjadi pada tahapan proses penanganan layur beku. Tabel analisis
disajikan pada Lampiran 15.

4.3.1 Penerimaan Bahan Baku (Recieving)


Kemungkinan bahaya yang timbul pada proses penerimaan bahan baku
adalah adanya penguraian oleh mikroorganisme pembusuk dalam tubuh ikan.
Bahaya ini disebabkan karena adanya peningkatan suhu ikan pada saat ikan
dipindahkan dari kapal ke perusahaan. Bahaya ini di kategorikan sebagai bahaya
keamanan pangan (food safety) dengan tingkat keparahan yang ditimbulkan
37

sedang. Bahaya ini dapat dikendalikan dengan penerapan GMP yang baik dan
benar. Tindakan yang dilakukan untuk pencegahan adalah dengan melakukan
pengecekan suhu ikan yang akan dipilih sebagai bahan baku menggunakan
thermocouple. Kebanyakan bakteri akan mati atau sekurang-kurangnya berhenti
aktifitasnya apabila suhu diturunkan sampai 0 oC atau dinaikkan diatas 100oC
(Murniyati dan Sunarman 2000).
Standar suhu ikan bahan baku yang ditetapkan oleh PT. AGB
Palabuhanratu yang dijadikan sebagai bahan baku ikan layur beku adalah
maksimal 4oC. Batas suhu pusat bahan baku layur beku yang dapat diolah
maksimal 4,4oC, apabila melebihi batas maksimal kemungkinan bahan baku yang
digunakan telah mengalami penguraian (BSN 2006).
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan
pemantauan suhu bahan baku setiap penerimaan. Bahaya ini merupakan kategori
bahaya yang sering terjadi pada saat penerimaan bahan baku dan merupakan
bahaya yang signifikan apabila tidak ditangani secara baik dan benar dengan
penerapan SSOP dan GMP.
Bahaya lain yang mungkin muncul pada tahap penerimaan bahan baku
adalah adanya kontaminasi logam berat seperti Cd, Pb, dan Hg yang diakibatkan
dari adanya pencemaran lingkungan perairan tempat penangkapan ikan. Bahaya
ini masuk kedalam kategori bahaya yang sering terjadi dan dapat menyebabkan
bahaya yang serius apabila terakumulasi dalam tubuh konsumen. Tindakan
pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan uji laboratorium secara
berkala setiap tiga bulan sekali dengan penerapan GMP dan SSOP untuk tindakan
pencegahan serta pengendalian bahaya yang dimaksud.

4.3.2 Pemilihan (Sorting)


Bahaya yang mungkin terjadi pada tahapan ini adalah pertumbuhan
mikroba (Coliform, Escherichia coli, dan Salmonella). Bahaya ini disebabkan
oleh kontaminasi meja sortir yang kurang higienis, saniter dan peningkatan suhu
pada saat proses sortir dilakukan. Kontaminasi pekerja bisa jadi salah satu
penyebab bahaya pada tahap sortir ini, maka sanitasi pekerja sangat diperhatikan
38

dalam proses ini. Bahaya ini berkaitan dengan bahaya keamanan pangan (food
safety), namun peluang terjadinya bahaya ini masih rendah karena bisa
dikendalikan dan dikontrol dengan GMP dan SSOP selama proses sortir.
Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan tetap mempertahankan
suhu rendah dibawah 4oC menggunakan es curai serta memperhatikan kebersihan
dan sanitasi meja sortir dan peralatan yang digunakan. Tahapan pemilihan juga
dilakukan pemeriksaan terhadap bahaya fisik yang mungkin terjadi seperti adanya
jaring atau mata pancing yang masih menyangkut dan terbawa pada ikan. Hal ini
dianggap efektif karena pada tahapan sortir ikan diperiksa satu persatu sebelum
dikelompokan berdasarkan kualitas dan ukurannya.

4.3.3 Penimbangan (Weighing)


Bahaya yang mungkin terjadi pada tahapan proses penimbangan adalah
pertumbuhan mikroba (Coliform, Vibrio cholerae dan Salmonella). Kontaminasi
bisa berasal dari pekerja dan peralatan serta peningkatan suhu bahan baku. Bahaya
ini termasuk kedalam kategori keamanan pangan (food safety) dan berdampak
serius, namun peluang terjadinya bahaya ini rendah karena dapat dikendalikan
oleh GMP dan SSOP. Tindakan pengendalian dan pencegahan yang dilakukan
yaitu dengan mempertahankan suhu ruang produksi dengan AC untuk tidak
melebihi suhu maksimal ruang produksi 18oC serta melakukan proses
penimbangan dengan cepat dan cermat dan memperhatikan kebersihan dan
sanitasi peralatan yang digunakan.

4.3.4 Pencucian (Washing)


Bahaya yang mungkin terjadi pada proses pencucian adalah adanya
kontaminasi dan pertumbuhan mikroba(Coliform, Vibrio cholerae, dan
Salmonella). Bahaya ini disebabkan oleh air pencucian yang digunakan tidak
sesuai standar yang telah ditetapkan dan adanya peningkatan suhu pada saat
proses pencucian. Kebersihan dan sanitasi alat serta pekerja juga memungkinkan
untuk menjadi sumber kontaminan. Bahaya yang ditimbulkan merupakan bahaya
yang berhubungan dengan keamanan pangan (food safety), namun peluang
terjadinya bahaya ini rendah karena bahaya dapat dikontrol dengan GMP dan
39

SSOP selama proses pencucian dengan semestinya. Tindakan pencegahan yang


dilakukan yaitu dengan mempertahankan suhu bahan baku untuk tetap dibawah
4oC dan memperhatikan kebersihan dan sanitasi peralatan yang digunakan.

4.3.5 Penyusunan (Layering)


Bahaya yang mungkin timbul dari proses penyusunan ikan adalah
terjadinya pertumbuhan mikroba (Coliform, Vibrio cholerae, dan Salmonella).
Kemungkinan bahaya ini terjadi karena adanya kontaminasi dari peralatan yang
digunakan dan terjadi kenaikan suhu pada saat proses penyusunan berlangsung.
Bahaya yang ditimbulkan termasuk kategori bahaya keamanan pangan yang
kemungkinan terjadinya rendah karena bisa dikontrol dengan GMP dan SSOP
yang baik dan benar. Tindakan pengendalian yang bisa dilakukan adalah dengan
menjaga untuk tidak terjadi kenaikan suhu pada bahan baku dan menjaga suhu
ruangan produksi dengan melakukan pengecekan suhu bahan baku pada setiap
tahapan proses serta memperhatikan kebersihan dan sanitasi peralatan yang
digunakan.pengecekan gelembung renag dilakukan pada proses penyususnan, jika
gelembung dalam keadaan kembung maka anginnya dikeluarkan untuk mencegah
terjadinya kerusakan produk pada saat proses pembekuan.

4.3.6 Pembekuan (Freezing)


Penyebab bahaya yang mungkin terjadi pada proses pembekuan adalah
peningkatan suhu ruang pendingin. Bahaya ini akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan suhu ikan diatas 4oC dan akan berdampak pada pertumbuhan
mikroba (Coliform, Vibrio cholerae, dan Salmonella). Bahaya ini termasuk pada
kategori bahaya keamanan pangan (food safety), namun peluang terjadinya rendah
karena dapat dikendalikan oleh GMP dan SSOP. Bahaya ini memiliki dampak
yang serius apabila tidak dilakukan tindakan pencegahan sesuai dengan GMP dan
SSOP. Tahapan pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan mempertahankan
suhu ruangan pendingin untuk tidak melebihi kisaran suhu -25oC dan pengawasan
terhadap suhu ruangan pembekuan dilakukan setiap 2 jam sekali (Lampiran 13).
40

4.3.7 Pengemasan dan Pelabelan (Packing and Labeling)


Kemungkinan bahaya yang muncul pada proses pengemasan dan pelabelan
adalah terjadinya kenaikan suhu bahan baku karena kerusakan kemasan sehingga
mengakibatkan kontaminasi silang dengan lingkungan yang menyebabkan
pertumbuhan mikroba (Coliform, Vibrio cholerae, dan Salmonella) dan adanya
kesalahan dalam pemberian label. Bahaya ini tidak termasuk dalam kategori
bahaya keamanan pangan (food safety), namun peluang terjadinya bahaya ini
rendah karena bisa dikontrol dengan GMP dan SSOP. Bahaya ini memiliki
dampak yang serius apabila tidak dilakukan sesuai dengan GMP dan SSOP
dengan baik dan benar. Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan
mempertahankan suhu bahan baku agar tidak terjadi kenaikan suhu secara drastis
pada saat pengemasan dengan melakukan pengecekan suhu bahan baku pada
setiap tahapan proses. Pengemasan dilakukan dengan cepat dan cermat oleh
karyawan yang terampil dan berpengalaman serta diawasi secara ketat oleh QC
dan supervisor bagian produksi.

4.3.8 Pendeteksian Logam (Metal Detecting)


Bahaya yang mungkin terjadi pada tahapan proses ini adalah adanya
serpihan logam pada layur beku. Penyebab bahaya ini yaitu adanya peralatan
produksi yang tertinggal pada ikan dan adanya mata pancing yang masih
menyangkut pada mulut ikan. Bahaya ini dikategorikan sebagai bahaya keamanan
pangan (food safety) dan memiliki dampak yang serius, namun peluang terjadinya
rendah karena masih bisa dikontrol dan dikendalikan dengan GMP dan SSOP.
Proses pendeteksian logam ini memerlukan monitoring yang ketat dari QC karena
bahaya ini termasuk bahaya yang signifikan dan sering terjadi terutama
tertinggalnya mata pancing pada mulut ikan layur. Tindakan pencegahan yang
dapat dilakukan adalah dengan melakukan pendeteksian logam pada setiap
kemasan yang akan diekspor dan melakukan pengecekan sensitivitas alat setiap 1
jam sekali. Selain itu ketelitian pada saat proses sortir dalam memeriksa setiap
ikan terutama mengenai adanya kontaminasi fisik berupa mata pancing

.
41

4.3.9 Penyimpanan (Storing)


Bahaya yang mungkin terjadi pada tahapan proses penyimpanan adalah
adanya peningkatan suhu ruang penyimpanan beku. Bahaya ini akan memicu
pertumbuhan mikroba (Coliform, Vibrio cholerae, dan Salmonella) dengan cepat.
Bahaya ini masuk dalam kategori bahaya keamanan pangan (food safety) namun
peluang terjadinya sangat rendah karena dapat dikontrol dan dikendalikan dengan
GMP dan SSOP. Dampak yang ditimbulkan dari bahaya ini cukup serius apabila
tidak dilakukan sesuai dengan GMP dan SSOP. Tindakan pencegahan yang bisa
dilakukan adalah mempertahankan suhu ruangan penyimpanan beku (cold
storage) dengan suhu maksimum -20oC dan pemantauan suhu ruang penyimpanan
beku setiap 1 jam sekali.
Kemungkinan terjadinya bahaya lain yang bisa terjadi adalah produk
mengalami dehidrasi akibat waktu pembekuan terlalu lama. Bahaya ini tidak
termasuk dalam kategori bahaya keamanan pangan (food safety) namun memiliki
dampak yang cukup serius apabila tidak dilakukan tindakan pencegahan. Bahaya
ini dapat dikontrol dan dikendalikan dengan GMP dan SSOP.

4.3.10 Pengangkutan (Transporting)


Bahaya yang mungkin timbul dari proses pengangkutan adalah terjadinya
pertumbuhan mikroba (Coliform, Vibrio cholerae, dan Salmonella) akibat adanya
kenaikan suhu produk. Bahaya ini dkategorikan sebagai bahaya keamanan pangan
(food safety) dan memiliki dampak yang serius apabila tidak dilakukan tindakan
pencegahan, namun peluang terjadinya bahaya ini cukup rendah karena bahaya
bisa dikendalikan dan dikontrol dengan GMP dan SSOP. Tindakan pencegahan
yang bisa dilakukan adalah dengan mengontrol suhu kontainer dan
mempertahankannya pada suhu -18oC.
Bahaya lain yang mungkin terjadi adalah adanya kesalahan pada saat
pengangkutan yang disebabkan oleh kesalahan manusia. Bahaya ini dapat
mengakibatkan rusaknya kemasan produk dan membahayakan produk pada saat
ekspor. Bahaya ini tidak termasuk kedalam bahaya keamanan pangan (food
safety), namun memiliki dampak yang serius apabila tidak dilakukan tindakan
42

pencegahan. Peluang terjadinya bahaya ini dinilai cukup rendah karena bisa
dikendalikan dengan GMP dan SSOP.

4.4 Identifikasi Titik Pengendalian Kritis (CCP)


Identifikasi titik kendali kritis (CCP) pada alur proses dilakukan untuk
memudahkan pengendalian titik kritis terhadap bahaya yang telah teridentifikasi
(Lampiran 17). Penentuan CCP dilakukan menggunakan diagram pengambilan
keputusan (decision tree) (Lampiran 1). Berdasarkan diagram pengambilan
keputusan terdapat dua titik kendali kritis (CCP) pada alur proses penanganan
ikan layur beku yaitu pada tahap penerimaan bahan baku (Receiving raw material)
dan tahap pengemasan (Packing). Identifikasi titik kendali kritis penanganan ikan
layur beku disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Identifikasi Titik Kendali Kritis Ikan Layur Beku


Hazard
Proces step
Significant Hazard Belong to Q1 Q2 Q3 Q4 CCP
(tahapan
(bahaya yang nyata) (kategori
proses)
bahaya)
Penerimaan - Dekomposisi
Bahan baku FS
- Pertumbuhan Y Y - - YES
KP
bakteri patogen
Pengemasan - Kesalahan
penempatan label FS
Y Y - - YES
- Kontaminasi silang KP
dengan lingkungan
Keterangan:
FS : Food Safety
KP : Keamanan Pangan
Q1 : adakah tindakan pengendalian? Jika tidak bukan CCP, jika ya lanjut ke
Q2
Q2 : apakah tahapan dirancang secara spesifik untuk menghilangkan atau
mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai tingkat yang dapat
diterima? Jika ya CCP, jika tidak lanjut ke Q3.
Q3 : dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi terjadi melebihi
tingkatan yang dapat diterima atau dapatkah ini meningkat sampai
tingkatan yang dapat diterima? Jika tidak bukan CCP, jika ya lanjut ke
Q4.
Q4 : akankah tahapan berikutnya menghilangkan atau mengurangi tingkatan
kemungkinan terjadinya sampai tingkatan yang dapat diterima? Jika ya
bukan CCP, jika tidak CCP.
43

4.5 Pengawasan Terhadap Titik Kendali Kritis (CCP)


Titik kendali kritis yang teridentifikasi selanjutnya dikendalikan dengan
menentukan tindakan pemantauan/pengawasan yang sistematis dan menyeluruh
pada setiap CCP. Tabel pengawasan terhadap setiap titik kendali kritis disajikan
Lampiran 18. Bahaya potensial nyata yang dapat terjadi pada tahap penerimaan
bahan baku adalah penguraian yang telah terjadi dalam tubuh ikan layur.
Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu dengan cara melakukan pengukuran
suhu ikan menggunakan termometer serta dilakukan pengecekan mutu ikan secara
organoleptik menggunakan score sheet (Lampiran 24). Pengukuran suhu dan
pengecekan secara organoleptik dilakukan pada setiap penerimaan bahan baku
dari setiap pemasok oleh QC bagian penerimaan. Batas kritis yang ditetapkan
pada setiap upaya pencegahan yaitu perusahaan menerapkan standar suhu bahan
baku tidak boleh melebihi 4oC dan ikan harus dalam keadaan segar dengan
ditandai ikan belum kehilangan bau alami yang dimilikinya. Monitoring
penerimaan bahan baku dicatat pada lembar penerimaan bahan baku (Lampiran
5).
Bahaya potensial nyata pada tahap pengemasan adalah adanya kesalahan
dalam pengemasan yang menyebabkan kerusakan pada kemasan sehingga terjadi
kontaminasi silang dengan lingkungan, selain itu kelalaian pekerja dalam
pemberian label mengakibatkan adanya produk yang terlewat dalam pelabelan.
Tindakan koreksi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengawasan
secara ketat oleh QC pada proses pengemasan.

4.6 Hasil Uji pada Titik Kendali Kritis (CCP)


Pengujian titik kendali kritis dilakukan untuk memantau tahapan
penanganan ikan layur beku yang diidentifikasi sebagai titik kendali kritis agar
tidak melebihi atau melewati batas kritis yang ditetapkan. Titik kendali kritis yang
teridentifikasi pada tahap penanganan ikan layur beku di PT. AGB Palabuhanratu
yaitu tahap penerimaan bahan baku dan tahap pengemasan. Hasil uji titik kendali
kritis disajikan pada Tabel 6.
44

Tabel 6. Hasil Uji Titik Kendali Kritis Tahap Penerimaan Bahan Baku (suhu dan
organoleptik)

Time Nama Unit Suhu OrganolepticTest

(Waktu) (pemasok) (kg) (oC) Appreance Odour Colour Texture

08.00 Ended 115,5 2 baik segar cerah kenyal


09.00 Dendi 106 2 baik segar cerah kenyal
13.00 Elf 354,5 3 baik segar cerah kenyal
14.00 Aki 325 3 baik segar cerah kenyal
Sumber : PT. AGB (2013)

Pengujian titik kendali kritis pada tahap penerimaan bahan baku yang
dilakukan pada lembar laporan penerimaan bahan baku (Lampiran 5). Parameter
yang diuji pada tahap penerimaan bahan baku adalah yaitu pemeriksaan suhu
pusat ikan dan sifat organoleptik (Lampiran 24).
Suhu pusat sampel ikan layur yang diukur yaitu 2 oC sampai 3oC sehingga
setiap ikan layur yang diterima di PT. AGB Palabuhanratu telah melalui
pengawasan suhu secara ketat agar tidak didapatkan ikan layur yang memiliki
suhu diatas 4oC. Hasil uji organoleptik juga menunjukan bahwa bahan baku yang
diterima di PT. AGB Palabuhanratu tidak melebihi batas kritis yang telah
ditetapkan yakni ikan yang diterima memiliki kenampakan yang baik, bau yang
spesifik dan tekstur yang masih kenyal. Berdasarkan hasil uji CCP pada tahap
penerimaan bahan baku maka dapat diambil kesimpulan bahwa setiap bahan baku
yang diterima memiliki suhu pusat dan sifat organoleptik yang tidak melebihi
batas kritis serta PT. AGB Palabuhanratu telah melakukan pengawasan
menyeluruh pada tahap penerimaan bahan baku.
Pengawasan yang ketat dilakukan juga pada titik kendali kritis tahap
pengemasan. Tindakan koreksi yang dilakukan adalah pengemasan dilakukan oleh
pekerja yang terampil dan berpengalaman sehingga bisa meminimalisir kesalahan
yang terjadi akibat kelalaian pekerja. Tindakan koreksi dilakukan untuk
memastikan ketidaksesuaian yang terjadi pada proses pengemasan dapat diatasi
dan dicegah untuk tidak terulang kembali.
45

4.7 Hasil Uji Ikan Layur Beku


Pengujian terhadap hasil produk ikan layur beku dilakukan di laboratorium
BPPMHP (Balai Pengujiandan Pembinaan Mutu Hasil Perikanan) Cirebon setiap
3 bulan sekali. Pengujian ini harus dilakukan sebagai persyaratan ekspor ke
negara luar untuk menjamin bahwa produk ikan layur beku tidak membahayakan
kesehatan konsumen dan menjaga keamanan pangan. Parameter uji pada
pengujian ikan layur beku meliputi pengujian mikrobiologi, kimia, fisika dan
organoleptik. Hasil pengujian mikrobiologi, kimia dan fisika disajikan pada
Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Uji Ikan Layur Beku di PT. AGB Palabuhanratu


Hasil
Standar
Metoda Analisis Analisis
Analisis
No. Jenis Analisis (Analysis) (Method of (Result
(Standard
Analysis) of
of Analysis)
Analysis)
1. Uji Organoleptik SNI 2346:2011 Minimal 7 7
2. Uji Mikrobiologi
ALT (koloni/g) SNI 01-2332.3.2006 50.000 50.000
E. Coli/Coliform (MPN/g) SNI 01-2332.1.2006 <3 <3
Vibrio Cholerae (per 25 g) SNI 01-2332.4.2006 Negative Negative
Salmonella (per 25 g) SNI 01-2332.2.2006 Negative Negative
3. Uji Kimia
Merkuri/Hg (mg/kg) DMA 1,00 0,035
Timbal/Pb (mg/kg) SNI 2354.5-2011 0,2 0,011
Kadmium/Cd (mg/kg) SNI 2354.5-2011 0,10 0,045
4. Uji Fisik
Suhu Pusat (oC) SNI 01-4104.3-2006 -18 -18
Sumber : BPPMHP (2011)

Hasil uji organoleptik pada ikan layur beku masih memenuhi persyaratan
standar yang ditetapkan oleh SNI yaitu dengan nilai organoleptik 7 (Tabel 5). Hal
ini dikarenakan pada tahap penerimaan bahan baku telah dilakukan sortir untuk
penentuan grade bahan baku dan memilih bahan baku yang nilai organoleptiknya
tidak kurang dari 7. Selain itu kualitas bahan baku ditunjang oleh jarak waktu
setelah ditangkap sampai kepada penanganan di perusahaan tidak pernah melebihi
46

dari 12 jam ditambah dengan penanganan yang baik selama dikapal sehingga
kualitas dan mutu bahan baku masih sangat bagus.
Hasil uji mikrobiologi didapatkan hasil uji produk dengan jumlah TPC,
E. Coli, Vibrio cholera, dan Salmonella yang belum melampaui batas standar SNI
yang telah ditetapkan, monitoring pada proses penerimaan bahan baku yang
teridentifikasi sebagai titik kendali kritis menghasilkan bahan baku yang sesuai
dengan ketentuan yang diberlakukan. Apabila terdapat bahan baku yang melebihi
suhu standar yang telah ditetapkan maka tindakan koreksi yang dilakukan
perusahaan adalah menolak dan mengembalikan bahan baku tersebut kepada
pemasok. Upaya dilakukan untuk menghambat laju pertumbuhan mikroba pada
seluruh tahapan proses ialah dengan menerapkan rantai dingin.
Hasil uji kimia menunjukan bahwa produk ikan layur beku memiliki
kandungan merkuri, kadmium dan timbal yang nilainya lebih kecil dari standar
yang diperbolehkan oleh SNI hal tersebut berarti produk ikan layur beku tidak
membahayakan konsumen. Hal ini membuktikan bahwa bahan baku layur beku
yang diterima oleh PT. AGB Palabuhanratu merupakan bahan baku yang berasal
dari perairan yang bersih dan terbebas dari pencemaran logam berat serta zat
kimia berbahaya.
Hasil pengawasan terhadap pendeteksian logam pada produk ikan layur
beku, menunjukan tidak ditemukan adanya serpihan logam karena telah dilakukan
tahapan pendeteksian logam dengan baik. Produk layur beku yang terkontaminasi
oleh serpihan logam tidak dipasarkan untuk menghindari adanya penolakan dari
negara importir. Selain itu uji sensitifitas alat metal detektor dilakukan setiap 1
jam sekali untuk mengetahui apakah alat tersebut masih sensitif atau tidak
terhadap adanya logam pada produk ikan layur beku. Proses yang baik tersebut
menghasilkan mutu produk ikan layur beku yang sesuai dengan standar SNI
6940.1:2011 mengenai spesifikasi ikan layur beku.

Anda mungkin juga menyukai