Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan ke VII, Fakultas Kelautan dan Perikanan,
Universitas Nusa Cendana
Kajian St rat egi Pemant auan Mut u Pada Produk Udang Vannamei
Verosa Legit a
9. Hasil Pembahasan
Sept iana Masi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan
Menuju Masyarakat 5.0
Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan GMP dan SSOP pada proses
pengolahan udang vannamei (litopenaeus vannamei) Peeled Deveined Tail On (PDTO). Penelitian
dilakukan bulan November 2018 sampai Desember 2018 di Unit Pengolahan Ikan di Banyuwangi.
Pengujian produk bahan baku dan produk udang vannamei di Balai Karantina Ikan dan Mutu Hasil
Perikanan Ketapang Banyuwangi. Metode dilakukan dengan studi kasus dan observasii mengikuti
langsung seluruh alur proses, mulai dari penerimaan bahan baku hingga pemuatan. Metode analisa
data dilakukan dengan analisa deskriptif. Pengamatan dilakukan pada tahapan proses pengolahan
udang vannamei masak beku, penerapan rantai dingin, mutu bahan baku dan mutu produk, rendemen
udang masak beku, penerapan GMP dan SSOP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan proses
pengolahan udang vannamei sesuai dengan alur proses pada SNI 3458:2016 udang masak beku,
penerapkan rantai dingin telah dilakukan dengan baik dengan suhu udang bahan baku 2,7 oC. Hasil
pengujian mutu organoleptik bahan baku dan produk akhir adalah 8, hasil uji mikrobiologi sesuai
dengan SNI, dan hasil uji antibiotik adalah not detected. Hasil perhitungan rendemen pada proses
pemotongan kepala adalah 69,31%, pengupasan 82,56%, dan pemasakan 86,38%. Unit Pengolahan
Ikan telah menerapkan GMP dan SSOP dengan baik.
Kata Kunci : GMP dan SSOP, mutu, Suhu, Udang Putih Vaname
adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan (Food and Drug
Administration, 2019).
Produk Peeled Deveined Tail On (PDTO) adalah salah satu usaha diversifikasi dalam
rangka peningkatan nilai tambah/ Value Added Product (VAP) yang merupakan produk
olahan udang segar dengan perlakuan pencucian, pemotongan kepala, sortasi,
penyusunan, pembekuan, pengemasan dan penyimpanan (Badan Standarisasi Nasional,
2016).
Penelitian ini dilakukan di salah satu UPI di Banyuwangi, bertujuan untuk mengetahui
penerapan rantai dingin selama proses pengolahan, mutu bahan baku dan produk akhir,
menghitung rendemen pengolahan udang kupas masak beku, mengetahui penerapan GMP,
SSOP dan persyaratan Kelayakan Dasar di Unit Pengolahan Ikan.
Penerimaan Bahan Baku. Udang diterima dalam keadaan segar didalam coolbox dan
disimpan dengan menerapkan rantai dingin yaitu meletakkan es curai pada bagian
dasarnya, kemudian udang diatasnya selanjutnya es curai, begitu seterusnya hingga
coolbox terisi penuh. Proses penerimaan bahan baku dilakukan dengan cepat dan hati-hati
agar tidak terjadi kerusakan fisik dengan tetap menerapkan rantai dingin yaitu suhu ≤5ºC
(Purwaningsih, 2000).. Pembongkaran udang dilakukan dengan cara manual dengan
menggunakan keranjang berkapasitas 20 kg, diletakkan pada jembatan stainless steel
yang langsung terhubung dengan bak pencucian I
bertujuan untuk mereduksi bakteri yang tedapat pada air dan produk yang dicuci.
(Saparinto & Diana, 2006)
Pemotongan Kepala. Proses pemotongan kepala dilakukan dengan cara udang dituang
keatas meja stainlees steel kemudian ditambahkan es tujuannya untuk mempertahankan
suhu udang agar udang tetap dalam keadaan segar. Pemotongan kepala dilakukan secara
manual menggunakan tangan dengan cara mematahkan kepala udang dari arah bawah
keatas lalu menarik kaki jalan, pemotongan kepala harus tepat dan genjer diusahan tidak
ikut terbuang karena akan dapat mempengaruhi rendemen yang dihasilkan. Pekerja pada
tahap ini berjumlah 5 – 6 orang pada setiap meja atau groupnya.
Sortasi Awal. Sortasi awal dilakukan secara manual dengan cepat oleh 2 orang karyawan
produksi pada 1 meja, untuk memastikan bahwa mutu, size dan grade setingkat/kelas
sehingga masing-masing kelas memiliki kualitas mutu yang seragam sesuai dengan
standar. Sortasi dilakukan dengan cara menuangkan udang ke atas meja yang terbuat dari
stainless steel, kemudian dipisahkan sesuai dan sama ukurannya. Penentuan size dilakukan
dengan cara mengambil sampel hasil sortasi seberat 454 gram (1 lbs), dilanjutkan dengan
menghitung udang tersebut. Apabila jumlahnya sesuai dengan standar yang ditentukan
oleh perusahaan, berarti tahap sortasi awal dinyatakan benar (Masengi, Sipahutar, &
Rahadian, 2016)
Sortasi Akhir. Sortasi akhir dilakukan dengan cara memisahkan kembali udang yang telah
disortasi pada tahap awal sehingga didapat ukuran (size) yang sesuai dengan permintaan
buyer. Proses sortasi dilakukan untuk meratakan besar kecilnya udang sehingga memenuhi
keseragaman. Sortasi akhir sebaiknya dilakukan lebih teliti agar udang yang bermutu
rendah tidak tercampur dengan udang yang bermutu lebih baik. Sortasi akhir dilakukan
dengan cara menuangkan udang keatas meja kemudian disortir oleh karyawan secara
manual untuk
Penimbangan III. Udang ditimbang dengan cara memasukkan udang dalam keranjang
yang berkapasitas ± 20 kg, selanjutnya ditimbang dengan menggunakan timbangan
duduk. Petugas timbang (telly) mencatat hasil penimbangan dan di beri kode berupa jenis
produk akhir, ukuran, tanggal penerimaan, dan kode supplier. Tujuan dari penimbangan
ini yaitu untuk mengetahui berapa banyak dari bahan baku yang akan diolah.
Pengupasan Kulit dan Pembuangan Usus. Pengupasan kulit dilakukan secara manual
menggunakan tangan dengan alat bantu berupa kuku yang terbuat dari bahan stainless
steel, untuk memudahkan dan mempercepat proses pengupasan kulit. Kulit udang dikupas
dengan cara dari ruas pertama sampai ruas kelima dihilangkan, sedangkan ruas keenam
dan ekornya disisakan. Pembuangan usus dilakukan dengan cara membelah atau mengiris
bagian punggung udang dari ruas kedua hingga mendekati ruas terakhir dengan alat bantu
pisau yang terbuat dari bahan stainless steel lalu dibuang ususnya dengan cara ditarik
sedikit keluar (Masengi et al., 2016). Tujuan alat menggunakan bahan stainlees steel agar
produk yang dihasilkan tidak terkontaminasi dengan peralatan yang digunakan karena
bahan stainless steel tahan terhadap korosi
Pencucian III. Proses pencucian III dilakukan setelah proses pengupasan kulit dan
pembuangan usus selesai dengan cara merendam udang ke dalam bak berisi air dan es
dengan ditambahkan klorin dan dikocok-kocok untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran
yang masih menempel pada udang . Air pencucian udang diganti setiap 1 jam sekali atau
kalau air sudah dalam keadaan kotor/berwarna keruh untuk mencegah terjadinya
kontaminasi silang.
Pengemasan dalam Karton. Pengemasan dilakukan dengan cara udang yang telah
selesai di glazing kemudian dimasukkan kedalam polybag menggunakan corong lalu
direkatkan menggunakan sealer sebelum dilewatkan ke metal detector. Pengemasan dalam
polybag dan sealing adalah untuk melindungi produk dari kontaminasi hazard fisik, biologi,
kimia. Menurut (Muchtadi, 2013), sifat fisik polyethilene (PE) di antaranya adalah
transparan, mudah dibentuk, kedap air dan biasanya digunakan untuk menyimpan produk
beku.
Pendeteksian Metal. Metal detector merupakan alat yang digunakan untuk mendeteksi
benda asing terutama yang terbuat dari unsur logam pada produk. Udang yang telah
dibekukan harus melewati mesin/alat pendeteksi logam (metal detector). Proses ini
dilakukan dengan cara melewatkan udang pada mesin, apabila terdapat kelebihan unsur
logam pada produk maka mesin akan berbunyi dan terhenti secara otomatis. Apabila
didapati udang yang mengandung unsur logam langsung dipisahkan oleh QC (quality
control) untuk selanjutnya dilakukan proses dicairkan (thawing) terlebih dahulu. Semua
produk akhir wajib melewati metal detector untuk mengetahui produk akhir terbebas dari
benda asing. Produk yang dinyatakan bersih, kemudian direkatkan (sealed) menggunakan
sealing machine. Setelah itu kemasan plastik dimasukkan kedalam master carton untuk
pengepakan.
dimulai dengan karyawan memasukkan master carton yang berisi produk kedalam cold
storage menggunakan troli, selanjutnya produk disusun sesuai dengan size, jenis produk,
berat timbangan yang diinginkan oleh buyer, dan tanggal masuknya produk kedalam cold
storage. Cold storage room berfungsi sebagai tempat penyimpanan produk udang beku
sementara agar tetap menjaga kualitas udang sebelum didistribusikan. Suhu yang biasa
digunakan dalam ruang cold storage sekitar -18ºC sampai -25ºC, sehingga dapat
mempertahankan suhu udang minimal -18ºC (Irianto & Giyatmi, 2015). Setiap jam suhu
dicatat agar tidak terjadi fluktuasi yang besar. Penyimpanan bertujuan untuk menjaga
kondisi udang beku agar selama menunggu proses pemasaran tetap dalam kondisi yang
segar.
Stuffing/Eksport. Pada tahap ini dilakukan proses pemindahan master carton dari cold
storage kedalam container berpendingin dengan suhu -20°C ketika produk akan diekspor.
Sebelum digunakan untuk menaruh produk ruangan container dibersihkan terlebih dahulu,
dari kotoran yang ada. Quality control (QC) memeriksa container untuk memastikan
kondisi container benar-benar bersih dan suhunya telah tepat. Pemindahan menggunakan
troli besi dari cold storage kedalam container yang dilakukan secara cepat dan hati-hati.
Selanjutnya staf QC mengecek dan mencatat setiap melakukan pengangkutan untuk
memastikan produk sesuai permintaan dan mengetahui jumlah produk yang masuk
kedalam container. Stuffing merupakan tahap pendistribusian produk dari ruang
penyimpanan (cold storage) ke container. (Putra, 2011) Penyusunan dilakukan dengan
cara, disusun sesuai list yang telah disiapkan, sesuai dengan ukuran dan jenis produk yang
sama. Proses pengangkutan produk beku haruslah digunakan kendaraan yang direfrigerasi
secara mekanis untuk mempertahankan suhu produk agar tidak lebih tinggi dari
pada -180C
Pengukuran Suhu. Suhu dapat berpengaruh terhadap mutu bahan baku dan mutu produk
akhir, merupakan faktor yang sangat penting untuk diamati. Pengamatan suhu dilakukan
pada suhu udang, suhu air, dan ruangan. Hasil pengukuran suhu udang, suhu ruang dan
air dapat dilihat pada Tabel 1,
Suhu Udang. Pada Tabel 1 diatas menunjukkan hasil pengukuran suhu udang diperoleh
hasil rata-rata suhu bahan baku adalah 2,4°C. Suhu tersebut telah sesuai dengan
persyaratan SNI yaitu <5°C.. Setiap tahapan proses suhu udang tetap di pertahankan agar
tidak melebihi 5oC, dengan cara selalu menambahkan es pada udang yang bertujuan untuk
memperlambat penurunan mutu. QC dan pengawas maupun koordinator setiap tahapan
proses selalu menegur apabila ditemukan pekerja yang dalam tahapan pengolahan tidak
menggunakan es.
Suhu Ruang. Pengukuran suhu ruang dilakukan pada ruang penerimaan bahan baku,
ruang pemotongan kepala, ruang proses, ruang penyusunan dan penyimpanan.
Berdasarkan tabel diatas, untuk suhu ruangan penerimaan bahan baku, ruang pemotongan
kepala dan ruang penyusunan kisaran 22-23ºC. Suhu ruangan pembekuan IQF kisaran 19-
20ºC. Serta suhu ruangan packing kisaran 18-19ºC. Suhu ruang penyimpanan (cold
storage) berkisar -20ºC sampai -21º C. Penerapan suhu rendah pada setiap ruang produksi
pada perusahaan sangat baik. Menurut (Murniyati & Sunarman, 2000) suhu ruangan yang
rendah sangat efektif untuk menhambat pertumbuhan bakteri-bakteri psikofilik yaitu
bakteri-bakteri yang senang pada suhu rendah dan hidup pada suhu 0ºC sampai 30ºC
dengan suhu optimun 15ºC. Pengukuran suhu ruang bertujuan untuk mempertahankan
mutu udang supaya tidak mengalami penurunan mutu. Berdasarkan hasil pengukuran
terhadap suhu ruang, hasil diperoleh suhu ruangan masih sesuai dengan standar yang
ditetapkan perusahaan yaitu 19-21°C. Hal ini karena di dalam ruang proses terdapat air
conditioner dan terdapat blower yang selalu dikontrol oleh QC. Pembekuan juga dapat
dibagi lagi berdasarkan panjang-pendeknya yaitu pembekuan cepat (quick freezing) yang
tidak lebih dari dua jam dan pembekuan lambat (slow freezing) yang lebih dari dua jam
(Fellowus, 2000). Adanya pengaruh pembekuan cepat dan pembekaun lambat yaitu
mempengaruhi besar dan kecilnya kristal es yang terbentuk. Oleh karena itu, pada
pembekuan lambat apabila dicairkan kembali maka kristal akan merusak jaringan daging
ikan sehingga menimbulkan terjadinya drip yang cukup banyak. Penggunaan temperatur
untuk pembekuan perlu dipertimbangkan pada temperatur cairan daging yang telah
membeku semua disamping itu juga proses enzimatis, proteolitik, hidrolisis, oksidatif dan
aktivitas mikrobia sudah terhambat, sehingga kerusakan struktur daging dapat dikurangi
seminimal mungkin dan akan menjamin kualitas daging beku yang dihasilkan (Masengi,
Roiska, & Sipahutar, 2017).
Suhu Air. Suhu air menjadi faktor yang sangat penting diamati karena air dingin dapat
mendinginkan ikan dengan cepat karena persinggungan yang lebih baik daripada
pendinginan dengan es, sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan
menghambat aktivitas mikroorganisme (Adawyah, 2007). Berdasarkan hasil pengukuran
suhu air diperoleh rata-rata 2,7°C. Hal ini karena suhu air dipertahankan suhunya <5°C
dengan ditambah es secara terus-menerus dan dilakukan pengawasan oleh QC pencucian.
Pengukuran suhu air dilakukan pada tahap pencucian telah sesuai dengan standar, dimana
pada perusahaan untuk air pencucian yang digunakan ≤ 30C. Air pencucian pada bak-bak
penampung selalu diberi es. Es berfungsi untuk menurunkan suhu pada udang maupun air,
guna menekan laju pertumbuhan bakteri pembusuk, selain itu juga untuk
mempertahankan mutu udang (Montanari, 2008)
Pengujian Organoleptik
Pengujian Bahan baku Udang Segar. Pengujian organoleptic dilakukan pada proses
penerimaan bahan baku oleh Quality Control. Udang dikelompokkan menjadi 2 kategori
mutu yaitu :
First grade dan second grade. Kriteria udang yang termasuk dalam first grade
adalah udang segar, bau spesifik jenis, tekstur daging kenyal bila ditekan akan
kembali ke bentuk awal / elastis, warna daging putih bening. kulit keras, kepala
melekat kuat dengan ruas badan. Bila kulit ruas kepala dan ruas badan renggang,
kerengangan tidak lebih dari 5 mm dengan selaput membrane masih melekat.
Second grade. meliputi : (1) Soft (S) yaitu kulit pada punggung jika ditekan
lembek, tetapi kulit pada segmen terakhir masih keras, (2) Moulting (M) yaitu
pergantian kulit pada udang biasanya kulit udang tipis dan lembek, (3) Discolour
(D) yaitu erubahan warna udang menjadi kemerahan akibat kemunduran
kesegaran udang, (4) Broken (B) yaitu dang yang rusak fisik (patah dan tubuh
tidak utuh lagi), (5) Scratch Shell yaitu terdapat luka gores pada kulit udang,
(6) Black tail yaitu ercak hitam atau bintik hitam pada ekor, (7) Black spot yaitu
penurunan mutu udang sehingga timbul bercak / bintik hitam pada tubuh udang,
(8) Broken shell yaitu dang yang rusak pada kulit atau kulit udang yang
mengelupas dan (9) Broken tail yaitu udang yang rusak pada bagian ekor.
Udang segar adalah udang yang baru ditangkap dengan ciri-ciri udang segar antara
lain rupa dan warnanya bening, spesifik jenis, cemerlang, sambungan antar ruas kokoh,
kulit melekat kuat pada daging (Purwaningsih, 2000).
Berdasarkan data tabel 2 nilai organoleptik bahan baku yang di terima perusahaan
diperoleh nilai 8, dengan karakteristik kenampakan utuh, kurang bening, cahaya mulai
pudar, berwarna asli, antar ruas kokoh. Baunya segar spesifik jenis dan teksturnya elastis,
kompak dan padat. Hal ini dikarenakan pada saat penanganan bahan baku telah dilakukan
good handling atau penanganan yang baik sesuai standar perusahaan dan SNI 01-2728.1-
2006 yaitu nilai organoleptik minimal 7. Pada penanganan proses pengangkutan udang
yang baik dengan cara udang disimpan didalam box fiberglass tertutup yang pada lapisan
dasar di beri es balok, kemudian es curai dengan perbandingan udang dan es 1:2 (150 kg
udang dan 250 kg es) sehingga udang selalu berada dalam rantai dingin dengan suhu
sekitar <50C. Menurut (Sipahutar, Ramli, Kristiani, & Prabowo, 2019), dikatakan bahwa
suhu peranan paling penting pada udang yang sudah mati peranan suhu rendah sekitar
0ºC dapat menekan kegiatan enzimatik, bakteriologis, kimiawi dan perubahan organoleptik
dengan demikian memperpanjang daya awet. Kualitas bahan baku meliputi kenampakan
secara visual dan jumlah mikroba yang terkandung dalam tubuh ikan. Bahan baku yang
prima akan sangat menentukan kualitas produk akhir (Wulandari, Abida, & Farid, 2009).
Menurut (Sipahutar, Suryanto, Ramli, Pratama, & Panjaitan, 2020) cara penanganan udang
yang baik dapat mencegah terjadinya kerusakan atau pembusukan udang. Setelah pasca
panen hingga bahan baku sampai di UPI dipertahankan rantai dinginnya dengan
ditambahkan es terus-menerus supaya tidak terjadi kenaikan suhu
Pengujian Sensori Produk Akhir. Hasil pengujian organoleptik produk akhir berdasarkan
SNI 3457-2014 menunjukkan nilai rata-rata 8. nilai standar yang harus dimiliki produk
udang masak beku adalah minimal 7. Hal ini dipengaruhi beberapa hal antara lain bahan
baku memiliki mutu yang bagus dan beberapa proses pengolahan di antaranya proses
soaking yang tujuannya untuk memperbaiki cita rasa udang. Mutu produk akhir sudah
memenuhi standar, hal ini dikarenakan proses pengolahan udang PDTO dilakukan dengan
baik sesuai Good Manufacturing Practices (GMP) yang diterapkan di perusahaan
(Sipahutar, Masengi, & Wenang, 2017).
Menurut Masengi, Sipahutar, & Sitorus, 2018) bahwa udang dilakukan pembekuan
yang baik sehingga udang yang dihasilkan tampak mengkilat. Selain dilakukan soaking dan
pembekuan, selanjutnya dilakukan proses glazing yang bertujuan untuk mencegah
dehidrasi selama penyimpanan dan memperbaiki kenampakan. Menurut (Tasbih, 2017)
proses soaking dapat memperbaiki cita rasa produk, dapat mempertahankan tekstur dan
kekenyalan produk, menjaga kadar air (moisture ) produk sehingga produk tampak segar
(fresh). Selain itu juga pembekuan produk akhir di UPI berjalan dengan baik sesuai dengan
pendapat (Masengi et al., 2018) proses glazing yaitu untuk mencegah terjadinya oksidasi,
dehidrasi dan memperbaiki penampilan karena terbentuk lapisan es tipis yang seragam.
Produk akhir ditangani dengan good handling dan menerapkan GMP dan SSOP yang baik
dan benar. Menurut (Nuryani., 2006), Standar Operasi Pengolahan atau yang biasa disebut
GMP adalah merupakan cara/teknik berproduksi yang baik dan benar untuk menghasilkan
produk yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu. Selama proses pengolahan UPI
telah menerapkan kunci penting dalam penanganan produk perikanan antara lain:
mempertahankan rantai dingin selama proses, menerapkan SSOP, tidak melakukan
penundaan selama proses pengolahan. Selain itu juga telah menerapkan GMP selama
proses pengolahan.
Hasil pengujian mikrobiologi bahan baku diatas menunjukkan bahwa nilai bahan baku
ALT berkisar 1.29 x 104 sampai 6.0 x 104 telah sesuai dan memenuhi persyaratan dimana
nilai ALT untuk bahan baku memenuhi standar yaitu maksimum 5x105 kol/gr, Coliform <3,
E.coli <3, Salmonella negatif dan V.chollerae negatif. Dengan demikian hasil pengujian
mikrobiologi yang dilakukan masih memenuhi standar, yaitu maksimal 5x10 5 kol/gr (Badan
Standardisasi Nasional, 2006b).
Hasil pengujian mikrobiologi diatas menunjukkan bahwa produk akhir dengan nilai ALT
berkisar 3,1 x 104 sampai 3,6 x 104 telah sesuai dan memenuhi persyaratan, dimana nilai
ALT untuk produk akhir memenuhi standar yaitu maksimum 5x10 5 kol/gr, Coliform <3 ,
E.coli <3, Salmonella negatif dan V.chollerae negatif. Dengan demikian hasil pengujian
mikrobiologi yang dilakukan pada produk akhir masih memenuhi standard untuk
persyaratan ekspor sesuai dengan SNI 01-2332-2006 (Badan Standardisasi Nasional,
2006b). (Badrin et al., 2019).
Hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan baku yang diterima masih
dalam keadaan segar dan terbebas dari kontaminasi bakteri, hal ini dikarenakan penerapan
prinsip penanganan bahan baku telah dilakukan dengan baik. Pengujian mikrobiologi
mengacu pada SNI-2332.3.2015. Berdasarkan hasil pengujian mikrobiologi terhadap
produk akhir dapat disimpulkan bahwa produk telah memenuhi standar karena selama
proses telah dilakukan good handling, sehingga layak untuk ekspor.
Pengujian Kimia Antibiotik. Pengujian antibiotik dapat menentukan apakah bahan baku
diterima atau tidak. Bahan baku yang
Berdasarkan pengujian antibiotik dapat disimpulkan bahwa bahan baku dan produk
akhir tidak mengandung antibiotik, sehingga bahan baku layak untuk diproses pengolahan
lebih lanjut, dan produk akhirnya layak untuk diekspor. Bahaya yang dapat ditimbulkan
dari residu antibiotik chloramphenicol adalah sebagai berikut: depresi sumsum tulang;
kelainan darah seperti anemia dan anemia aplastik; hepatitis kronis; neurophatiec; anemia
haemolitik; pneumonitis; vertigo, dan nyeri otot. Adapun efek dari residu nitrofuran:
karsinogenik; gangguan hormon yang dapat menyebabkan disfungsi pada sistem endokrin
manusia, hal ini diakibatkan sel yang terekspos oleh furazolidone (Umbas, Hutabarat, &
Agustini, 2012).
Pengujian antibiotik di UPI menetapkan standar kadar Chloramphenicol yakni
maksimal 0,3 ppb. Pengujian antibiotik dilakukan pada setiap supplier. Hasil analisa dari 5
kali pengujian terhadap antibiotik Chloramphenicol pada udang yakni tidak terdeteksi sama
sekali. Berdasarkan pengujian antibiotik dapat disimpulkan bahwa bahan baku tidak
mengandung antibiotik, sehingga bahan baku layak untuk diproses pengolahan lebih lanjut,
dan produk akhirnya layak untuk diekspor. Bahaya yang dapat ditimbulkan dari residu
antibiotik chloramphenicol adalah sebagai berikut: depresi sumsum tulang; kelainan darah
seperti anemia dan anemia aplastik; hepatitis kronis; neurophatiec; anemia haemolitik;
pneumonitis; vertigo, dan nyeri otot. Adapun efek dari residu nitrofuran: karsinogenik;
gangguan hormon yang dapat menyebabkan disfungsi pada sistem endokrin manusia, hal
ini diakibatkan sel yang terekspos oleh furazolidone (Umbas et al., 2012).
Menurut (Afrianto & Liviawati, 2010), ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
rendemen salah satunya adalah mutu bahan baku (faktor kesegaran udang sangat
berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan), sarana dan prasarana, tenaga kerja,
ukuran dan jenis bahan baku.
Seleksi Bahan Baku. Bahan baku yang akan diproses adalah bahan baku yang
berasal dari tambak milik perusahaan. Bahan baku diangkut dengan menggunakan
truk yang telah dimodifikasi yang di lengkapi dengan coolbox yang berbahan dasar
fiber glass yang satu bos berkapasitas 1,5 ton. selama pengankutan suhu udang
dipertahankan <50C, dengan cara udang disusun pada lapisan dasar es balok,
kemudian es curai lalu udang dengan perbandingan udang dan es 2:1 (250 kg
udang :125 kg es).
Produk Akhir. Produk akhir yang akan di ekspor harus memiliki standar kualitas
sesuai dengan spesifikasi perusahaan dan pembeli. Sebelum produk akhir
didistribusi wajib dianalisa organoleptik, fisik, kimia dan mikrobiologi. Apabila
masih terdapat adanya logam atau sisa kotoran pada produk akhir disebabkan
kurangnya perhatian terhadap pencucian dan sanitasi selama proses berlangsung
hal ini dapat menyebabkan mesin metal detector berhenti. Tindakan
pencegahannya dengan melakukan defrost terhadap produk yang terdeteksi,
kemudian dilakukan pengujian di laboratorium (BRC Global Standard, 2018) .
kesehatan dan kebersihan karyawan, serta pengendalian pest (Pratama, Afrianto, &
Rostini, 2017).
Pasokan Air dan Es. Pasokan air berasal dari sumur di belakang pabrik. Sebelum
disalurkan ke dalam ruang pengolahan terlebih dahulu air mendapat perlakuan
dengan menggunakan ozon kemudian air ditampung ke dalam tandon yang
berkapasitas 108m3. Tandon penyimpanan air dibersihkan enam bulan sekali. Air
yang digunakan untuk proses pengolahan udang disalurkan terpisah dan tidak
berhubungan dengan sistem aliran air kotor. Untuk mengontrol keamanan air,
dilakukan pengujian mikrobiologi terhadap air secara rutin setiap hari, pengujian
fisik dan kimia setiap 6 bulan sekali. Jadi air yang digunakan sudah memenuhi
standar air minum (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009).
Perusahaan dapat memproduksi es balok sebanyak ±500 balok setiap
harinya dan sebagiannya digunakan untuk membuat es curai. Sebelum digunakan
es terlebih dahulu dicuci. Air merupakan komoditi yang sangat essensial dalam
persiapan dan pengolahan pangan. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk
diperhatikan bahwa semua air yang ditujukan untuk pengolahan bahan pangan
harus bebas dari bakteri pathogen (Ujianti, 2017).
yang jelas tiap tahapan proses, antara bahan baku yang diterima dan produk akhir,
bahan kimia dan sanitizer disimpan pada tempat terpisah, pemisahan saluran
antara air bersih dan air bekas proses
.
Menjaga Fasilitas Tempat Cuci Tangan dan Toilet. Pintu masuk ruang proses
terdapat 25 kran pencuci tangan yang mengalir dengan menggunakan kran dorong
yang menggunakan kaki. Kran air pencuci tangan dilengkapi dengan sabun serta
bak cuci tangan. Pencucian tangan dilakukan tiap 1 jam sekali, air yang sudah
digunakan satu kali kerja, dibuang kemudian diganti tiap satu kali kerja. Air cuci
tangan ini merupakan air dengan penambahan larutan klorin sebanyak 100 ppm
(Masengi et al., 2017).
Bahan Kimia, Pembersih dan Saniter. Bahan kimia, pembersih dan saniter
terletak di ruangan yang terpisah dari ruangan pengolahan, hal ini bertujuan untuk
mencegah kontaminasi silang dengan produk. Bahan-bahan tersebut juga harus
diberi label sehingga memudahkan dalam proses pencarian. Pengawasan terhadap
bahan-bahan yang menjadi sumber kontaminasi bertujuan untuk menjamin
bahwa produk pangan dari kontaminasi mikroba, kimia dan fisik. Pemakaian
bahan-bahan kimia sesuai dengan petunjuk dan instruksi dari perusahaan dan
dikembalikan ke gudang apabila tidak diperlukan.
binatang pengerat dan serangga dilakukan dengan cara inspeksi secara rutin oleh
petugas Quality Control.
Penerapan kelayakan dasar unit pengolahan pada UPI sudah cukup baik, meliputi
persyaratan fisik dan operasional, tetapi masih terdapat beberapa penyimpangan pada
penilaian kelayakan dasar seperti fasilitas toliet perlu diadakan berupa alat pembersih
tangan pada toilet tentunya sangat mempengaruhi sanitasi dan hygiene dari karyawan,
dan perlu diadakan alat pengering tangan yang sangat digunakan dan bermanfaat ketika
setelah selesai mencuci tangan dengan tujuan agar karyawan tidak dapat
mengkontaminasi produk (Sutresni, Mahendra, & Aryanta, 2016).
Berdasarkan pengamatan kelayakan dasar yang dilakukan dengan menggunakan
kuisioner penilaian dasar dengan 21 klausul, ditemukan 2 klausul yang belum memenuhi
standar, karena masih ditemukan penyimpangan pada klausul fasilitas toilet, yaitu
perlengkapan sanitasi toilet (sabun dan tissue) yang perlu diadakan dan klausul fasilitas
sanitasi (hand dryer) yang perlu diadakan.
Kesimpulan. Alur proses pengolahan udang Vannamei masak beku dari UPI berjumlah
21 tahapan, dengan penerapan rantai dingin pada setiap tahapan. Nilai organoleptik bahan
baku adalah 8 dan nilai organoleptik produk akhir adalah 8. Semua hasil pengujian
mikrobiologi terhadap bahan baku sudah sesuai dengan standar, dan hasil pengujian kimia
antibiotik terhadap bahan baku hasilnya adalah tidak terdeteksi kandungan antibiotik di
dalam daging udang. Nilai rata-rata perhitungan rendemen pada proses pemotongan
kepala adalah 69,31%, pengupasan 82,56% dan pemasakan 86,38%. Selain itu,
Penerapan kelayakan dasar sudah cukup baik namun ada dua yang belum memenuhi
syarat yaitu perlengkapan sanitasi toilet (sabun dan tissue) dan klausul fasilitas sanitasi
(hand dryer) yang perlu diadakan.
Daftar Pustaka
(2013). Jakarta.
Markenih, E. (2016). Sanitasi dan Higienitas serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan
yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Blanakan, Subang. Institut Pertanian
Bogor.
Masengi, S., Roiska, R., & Sipahutar, Y. H. (2017). Penetapan dan Pengendalian Critical
Control Point (CCP) pada Pengolahan Sotong (Sepia sp) Utuh Beku (Frozen Whole
Clean Cuttlefish) di PT. Yasuriang Samudera Rezeki, Medan Belawan-Sumatera Utara.
Jurnal Teknologi Dan Penelitian Terapan STP, 20(2), 109–122.
Masengi, S., Sipahutar, Y. H., & Rahadian, T. (2016). Penerapan Sistem Ketertelusuran
(Traceability) pada Pengolahan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Kupas
Mentah Beku (Peeled and Deveined) di PT Dua Putra Makmur, Pati, Jawa Tengah.
Jurnal STP(Teknnologi Dan Penelitian Terapan), (1), 201–210.
Masengi, S., Sipahutar, Y. H., & Sitorus, A. C. (2018). Penerapan Sistem Ketertulusuran
(Traceability) Pada Produk Udang Vannamei Breaded Beku (Frozen Breaded Shrimp)
di PT. Red Ribbon Jakarta. Jurnal Kelautan Dan Perikanan Terapan, 1(1), 46–54.
Montanari, R. (2008). Cold chain tracking a managerial perspective. Trends in Food Science
& Technology 19, 425–435.
Muchtadi, T. (2013). Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bandung: Alfabeta.
Murniyati, & Sunarman. (2000). Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan.
Yogyakarta: Kanisius.
Nuryani., A. G. B. (2006). Pengendalian Mutu Penanganan Udang Beku dengan Konsep
Hazard Analysis Critical Control Point. Universitas Diponegoro.
Pratama, R. I., Afrianto, E., & Rostini, I. (2017). Pengantar Sanitasi Industri Pengolahan
Pangan. Publisher:Yogyakarta.
Purwaningsih, S. (2000). Teknologi Pembekuan Udang. Jakarta: Penebar Swadaya.
Putra, P. D. (2011). Peran Dokumen-Dokumen Penunjang dalam Proses Pengiriman Barang
melalui Ekspor Udara. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Saparinto, C., & Diana. (2006). Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius.
Sipahutar, Y. H., Masengi, S., & Wenang, V. (2017). Kajian Penerapan Good Manufacturing
Practices dan Sanitation Standard Operation Procedure pada Produk Pindang Air
Garam Ikan Tongkol (Euthynnus Affinis) dalam Upaya Meningkatkan Keamanan
Pangan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Prosiding Simposium Nasional Ikan Dan
Perikanan, 1063–1075.
Sipahutar, Y. H., Ramli, H. K., Kristiani, M. G. E., & Prabowo, G. (2019). Quality of
consumer on vannamei shrimp (Litopenaeus vannamei) from intensive addition and
traditonal pond Bulukumba District, South Sulawesi. Prosiding Simposium Nasional
Kelautan Dan Perikanan VI Universitas Hasanuddin, 359–366.
Sipahutar, Y. H., Suryanto, M. R., Ramli, H. K., Pratama, R. B., & Panjaitan, T. F. (2020).
Organoleptic quality of whiteleg shrimp ( Litopenaeus vannamei ) cultivated from
intensive and traditional pond at Bulukumba District , South Sulawesi Organoleptic
quality of whiteleg shrimp ( litopenaeus vannamei ) cultivated from intensive and
tradition. In The 3rd International Symposium Marine and Fisheries (ISMF) 2020. IOP
Conf. Series: Earth and Environmental Science 564 (2020) 012040 IOP.
https://doi.org/10.1088/1755-1315/564/1/012040
Sutresni, N., Mahendra, M. S., & Aryanta, I. W. R. (2016). Penerapan Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) Pada Proses Pengolahan Produk Ikan Tuna Beku Di Unit
Pengolahan Ikan Pelabuhan Benoa - Bali. ECOTROPHIC : Jurnal Ilmu Lingkungan
(Journal of Environmental Science), 10(1), 41–45.
https://doi.org/10.24843/ejes.2016.v10.i01.p07
Tasbih, M. (2017). Proses Pengolahan Udang Beku (Frozen Shrimp) Peeled and Deveined
(PD) dengan Metoda Pembekuan Individually Quick Frozen (IQF) Pada PT Dua Putra
Utama Makmur TBK, Pati, Jawa Tengah. Repositori Uninersitas Jambi, 1–11.
Thaheer, H. (2005). Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control). Jakarta:
Bumi Aksara.
Ujianti, R. M. D. (2017). Produksi Bersih Pada Industri Pangan Berbasis Perikanan (Cleaner
Production in Food Fisheries Industrial). Jurnal Ilmu Pangan Dan Hasil Pertanian, 1(1),
28–36. https://doi.org/10.26877/jiphp.v1i1.1383
Umbas, A. P., Hutabarat, J., & Agustini, T. W. (2012). Evaluasi Implementasi Kebijakan
Program Pengendalian Mutu dan Kemanan Hasil Perikanan Budidaya Udang. In
Seminar Nasional ke II ; Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Semarang:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.
Winarno, F. G. (2011). Good Manufacturing Practices (GMP). Bogor: M-Brio Press.
Winarno, F., & Surono. (2012). HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan. Bogor:
M Brio Press.
Wulandari, D. A., Abida, I. W., & Farid, A. (2009). Kualitas Mutu Bahan Mentah dan Produk
Akhir pada Unit Pengalengan Ikan Sardine di PT. Karya Manunggal Prima Sukses
Muncar Banyuwangi. Jurnal Kelautan, 2(1), 40–49.