Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Perikanan adalah suatu kegiatan perekonomian yang memanfaatkan sumberdaya


alam perikanan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
kesejahteraan manusia dengan mengoptimalisasikan dan memelihara produktivitas
sumberdaya perikanan dan kelestarian lingkungan. Salah satu komoditas perikanan
Indonesia yang sampai sekarang masih menjadi primadona adalah udang. Udang
merupakan salah satu sumberdaya hayati laut yang tersedia hampir di seluruh perairan
Indonesia dan merupakan salah satu komoditas ekspor andalandari sub sector perikanan.
Setiap tahunnya, terjadi peningkatan pangsa pasar ekspor udang ke Negara-negara tujuan
ekspor seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa (Departemen Pertanian, 1999).
Udang merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang tersedia hampir di
seluruh perairan Indonesia dan merupakan salah satu komoditas ekspor andalan dari sub
sector perikanan. Setiap tahunnya,terjadi peningkatan produk ekspor udang ke Negara-
negara tujuan ekspor seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa
Udang merupakan komoditi ekspor hasil perikan anter besar Indonesia diatas
komoditasi kan tuna yang menempati urutan kedua. Dilihat dari data volume ekspor
udang Indonesia kemancanegara dari bulan Januari sampai dengan November pada tahun
2008 mencapai 158.000 ton sedangkan volume ekspor ikan tuna hanya mencapai 111.000
ton. Volume ekspor udang ini meningkat dibandingkan pada tahun 2007 yang hanya
mencapai 154.747 ton (DJP2HP 2009). Sebagai komoditi perdagangan ekspor maka
udang senantiasa dituntut memiliki mutu yang prima. Oleh karena itu diperlukan suatu
sistem jaminan, pengendalian dan pengawasan mutu hasil perikanan.
HL (Head Less) adalah produk udang yang dibekukan tanpa kepala tetapi karapas
atau kulit masih menempel.
Head Less merupakan salah satu produk udang beku yang dibekukan dalam keadaan utuh
yang dipotong kepalanya. Produk ini merupakan komoditas yang tinggi permintaannya
dipasaran internasional dan mempunyai nilai jual yang cukup baik (Hadiwiyoto, 1993).
Berdasarkan latar belakang diatas maka Taruna taruni Sekolah Tinggi Perikanan
melaksanakan praktikum pembekuan udang head less.

1
I.2 Tujuan Praktikum
Tujuan dari pelaksanaan Praktikum adalah sebagai berikut:
1. Taruna Taruni Sekolah Tinggi Perikanan dapat mengetahui alur proses
pembekuan udang vaname head less.
2. Taruna Taruni Sekolah Tinggi Perikanan dapat mengetahi dan menerepkan
rantai dingin pada alur proses pembekuan udang vaname head less.
3. Taruna Taruni Sekolah Tinggi Perikanan dapat mengetahui nilai mutu dari
udang vaname yang segar.
4. Taruna Taruni Sekolah Tinggi Perikanan dapat mengetahui dan
menerapkan sanitasi yang baik dan benar.
5. Taruna Taruni Sekolah Tinggi Perikanan dapat mengetahui nilai rendemen
pembekuan udang vaname head less.

I.3 Batasan Masalah


Dalam praktikum ini taruna taruni membatasi permasalahan pada:
1. Pengamatan alur proses pengolahan udang vaname (Litopenaeus vannamei)
potong kepala (Head Less /HL) mulai dari penerimaan bahan baku sampai
dengan penyimpanan.
2. Pengamatan mutu organoleptik terhadap bahan baku udang segar dan produk
akhir udang kupas mentah beku (Head Less/HL).
3. Pengamatan penerapan sistem rantai dingin selama proses pengolahan udang
vaname (Litopenaeus vannamei) kupas mentah beku ((Head Less/HL)).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tinjauan Umum Udang Vannamei


Udang vannamei ini merupakan salah satu dari varietas jenis udang yang ada, dan
merupakan alternative baru yang dapat bersaing dengan udang windu. Udang memilki
karakteristik yang sama seperti komoditas hasil perikanan lainnya, yaitu mudah rusak
(Perishable). Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku agar
reaksi enzimatis, reaksi kimia serta pertumbuhan mikroba penyebab kerusakan dan
kebusukan dapat dihambat. Proses pembekuan adalah yang paling sederhana dari cara
pengawetan udang. Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari rendemen udang, dan
bentuk-bentuk produk olahan udang khususnya udang vannamei (Litopenaeus vannamei).
Metode yang digunakan dalam praktikum kali ini berupa pengukuran rendemen dan
pembentukan produk olahan. Pengukuran rendemen dilakukan dengan membandingkan
nilai rasio berat antara daging dengan dengan berat udang utuh, begitu pula pada
rendemen kepala dan kulit. Berat rata-rata Head On ialah 14 gram, berat rata-rata Head
Less 9,333 gram dan berat rata-rata PUD sebesar 8 gram. Salah satu produk olahan udang
adalah udang beku. Produk olahan udang terdiri atas Head On, Head Less, Peeled Tail
On, Peeled Deveined Tail On, Peeled Undeveined, Butterfly, dan Value Added Product.
Rendemen udang terdiri atas tiga bagian yaitu rendemen daging yang merupakan bagian
paling besar yaitu sebesar 57 %, kemudian rendemen kepala sebesar 33 % dan rendemen
kulit sebesar 10 %. Komposisi kimia udang vannamei terdiri atas air sebesar 78,2 %; abu
sebesar 1,5 %; lemak sebesar 0,8 %; protein sebesar 18,1 %; dan karbohidrat sebesar 1,4
%.

3
II.1.1 Klasifikasi Udang Vannamei

Awal perkembangannya di Indonesia udang ini dikenal dengan udang putih, namun
sekarang lebih dikenal dengan udang vanamei (Litopenaeus vannamei). Ada dua yang
termasuk sub genus Litopenaeus yaitu udang putih (L.vannamei) dan udang biru
(Litopenaeus stylirostris) (Farchan, 2006).
Klasifikasi L.vannamei (Haliman dan Adijaya, 2005) adalah sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Subgenus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei

II.1.2 Morfologi Udang Vannamei

Secara morfologis, tubuh udang terbagi atas chepalotorax (gabungan kepala dada,
perut) dan ekor. Ruas-ruas yang nampak pada seluruh bagian tubuhnya ditutupi oleh
kerangka luar yang mengeras, yang terbuat dari chitin. Pada bagian perut (abdomen)
terdapat 5 pasang kaki renang (pleopoda) yang terletak pada masing-masing ruas.
Sedangkan pada ruas keenam terdapat kaki renang telah berubah bentuk menjadi ekor
kipas yang diujungnya membentuk ujung ekor yang disebut telson (Poernomo, 2007).
Morfologi udang vanamei (Litopenaeus vannamei) dapat dilihat pada Gambar

Gambar 1. Morfologi udang L. vannamei (Wikipedia, 2010)

4
II.1.3 Komposisi Kimia Daging Udang

Udang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi meskipun bagian yang enak untuk
dimakan hanya sekitar 30-40% saja. Daging udang mempunyai kelebihan dalam hal
kandungan asam aminonya daripada daging hewan darat. Asam amino tirosin, triptofan,
dan sistin lebih tinggi terdapat pada daging udang. Disamping itu daging udang
mempunyai rasa lebih enak daripada daging hasil perikanan lainnya (Hadiwiyoto, 1993).
Udang digolongkan sebagai produk perikanan istimewa. Sebagai bahan pangan,
udang memiliki kandungan gizi yang sangat baik. Komposisi gizi dari daging udang
secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 : Komposisi Kimia Daging Udang


Komponen Gizi Persentase (%)
Air 71,5 – 79,6
Protein 18,0 – 22,0
Lemak 0,800
Garam Mineral 14,00
Kalsium 0,05420
Magnesium 0,421 – 1,05
Fosfor 2.70 – 3,50
Besi 0,00219
Tembaga 0,00397
Iodium 0,00002
Natrium 0,140

5
Kalium 0,220
NPN 0,18
Sumber: Poernomo (2007)
II.2 Persyaratan Mutu Udang

Udang adalah pangan yang sangat cepat membusuk, penanganannya harus selalu
hati-hati guna mencegah pembiakan mikroorganisme. Udang harus dilindungi terhadap
cahaya matahari dan angin yang mengeringkan, karena udang segar atau masak/rebus
cepat menurun mutunya. Udang yang sudah menurun mutunya atau dicemari atau terkena
bahan asing tidak boleh diolah selanjutnya. Udang yang akan dibekukan harus sama
perlakuannya seperti udang yang dipasarkan segar. Hanya udang segar yang terbaik yang
boleh dibekukan. Udang segar beku setelah dilelehkan, rupa, cita rasa dan teksturnya
harus seperti yang dimiliki udang baru ditangkap (Ilyas, 1993).
II.2.1 Persyaratan Mutu Bahan Baku (Udang Segar)

Udang beku merupakan produk hasil perikanan dengan bahan baku udang segar
yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, pencucian I, pemotongan atau
tanpa pemotongan kepala, sortasi, pencucian II, penimbangan, pengepakan, pengemasan
dan pelabelan (SNI 01-2728.1-2006).
Udang segar adalah udang yang baru ditangkap dengan ciri-ciri sebagai berikut
(Purwaningsih, 1995):
 Rupa dan warna : bening, spesifik jenis, cemerlang, sambungan
antar ruas kokoh, kulit melekat kuat pada daging.
 Bau : segar spasifik menurut jenisnya
 Daging : bentuk daging kompak, elastis dan rasanya
manis.
Udang yang rusak atau busuk ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut (Purwaningsih,
1995):

 Rupa dan warna : kemerahan atau kusam, sambungan antar ruas

longgar, sudah mulai ditandai adanya bercakbercak


hitam.

 Bau : tidak segar, bau busuk


 Daging : lunak, terkadang berlendir, rasa daging alkalis.

6
Persyaratan mutu udang segar yang harus dipenuhi sesuai dengan SNI 01-2728.1-
2006 adalah seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Persyaratan Mutu Udang Segar
Jenis Uji Satuan Persyaratan
a. Organoleptik Angka (1 – 9) Min 7
b. Cemaran mikroba*
- ALT Koloni/g Maks 5,0 x 105
- Escherichia coli APM/g Maks <2
- Salmonella APM/25 g Negative
- Vibrio cholera APM/25 g Negative
c. Cemaran kimia
- Kloramfenikol µg/kg Maks 0
- Nitrofuran µg/kg Maks 0
- Tetrasiklin µg/kg Maks 100
d. Filth - Maks 0
CATATAN* Bila diperlukan
Sumber : SNI 01-2728.1-2006

II.2.2 Persyaratan Mutu Produk Akhir (Udang Beku)

Udang beku merupakan produk yang ditujukan untuk ekspor sehingga harus
memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Berdasarkan SNI 01-2705.1-
2006persyaratan mutu produk udang beku dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Persyaratan Mutu Udang Beku


Jenis Uji Satuan Persyaratan
a. Organoleptik Angka (1 – 9) Min 7
b. Cemaran mikroba*
- ALT Koloni/g Maks 5,0 x 105
- Escherichia coli APM/g Maks <2
- Salmonella APM/25 g Negative
- Vibrio cholera APM/25 g Negative
- Vibrio parahaemolitycus APM/g Maks <3
*
(kanagawa positif)
c. Cemaran kimia*
- Kloramfenikol µg/kg Maks 0
- Nitrofuran µg/kg Maks 0
- Tetrasiklin µg/kg Maks 100

7
d. Fisika :
Suhu pusat, maks. ºC Maks -18
e. Filth Jenis/jumlah Maks 0
CATATAN* Bila diperlukan
Sumber: SNI 01-2705.1-2006
II.3 Kemunduran Mutu Udang

Kemunduran mutu udang segar sangat berhubungan dengan komposisi kimia dan
susunan tubuhnya. Sebagai produk biologis, udang termasuk bahan makanan yang mudah
busuk bila dibandingkan dengan ikan. Oleh karena itu, penanganan udang segar
memerlukan perhatian dan perlakuan cermat. Susunan tubuh udang mempunyai
hubungan erat dengan masa simpannya. Bagian kepala merupakan bagian yang sangat
berpengaruh terhadap daya simpan, karena bagian kepala mengandung enzim pencernaan
dan bakteri pembusuk (Purwaningsih, 1995).
II.3.1 Penurunan Mutu secara Enzimatik / Autolisis

Penurunan mutu secara enzimatis terjadi karena enzim dalam tubuh udang tetap
bekerja walaupun disimpan pada suhu -40ºC, tubuh udang tetap mengalami perubahan
secara enzimatis. Cara mengatasinya adalah membekukan udang tanpa kepala karena
pada bagian ini banyak terdapat enzim, terutama yang berhubungan dengan pencernaan
(Purwaningsih, 1995).
Diantara proses enzimatik yang sangat mempengaruhi rupa udang adalah
pembentukan bercak hitam (melanosis) dengan gejala terjadinya penghitaman pada
kepala, ruas-ruas dan ekor. Penyebabnya adalah enzim dalam udang yang melalui suatu
rangkaian reaksi, mengoksidasi senyawa-senyawa tertentu, menghasilkan pigmen
melanin berwarna hitam. Proses melanosis ini segera dan cepat dipengaruhi oleh keadaan
kering, adanya oksigen, suhu tinggi dan faktor waktu (Ilyas, 1993).
II.3.2 Penurunan Mutu secara Kimiawi/ Oksidasi

Penurunan mutu secara kimiawi terjadi karena lemak bereaksi dengan oksigen dan
adanya enzim dalam tubuh udang yang membantu mempercepat reaksi. Proses ini akan
lebih cepat berlangsung bila suhu penyimpanan tidak cukup rendah. Daging udang
kelihatan kuning seperti karatan, bau menusuk hidung dan lemaknya berubah seperti
karet (Hariadi, 1994).
II.3.3 Penurunan Mutu secara Bakterial

Penurunan mutu udang secara bakteriologis terlihat bahwa kandungan udang akan
bakteri sangat bervariasi tergantung pada kebersihan udang waktu ditangkap, cara

8
penanganan setelah dipanen, dll. Pencucuian udang dengan air laut bersih jumlah bakteri
awal dapat direduksi 45% dan setelah kepala dibuang jumlah bakteri dapat direduksi
dengan 90% (Ilyas, 1993).

II.4 Penerapan Rantai Dingin

Sistem rantai dingin dapat didefinisikan sebagai penerapan teknis pendinginan (0-
4ºC) terhadap ikan/udang secara terus-menerus dan tidak terputus sejak penangkapan,
pemanenan, penanganan, pengolahan, distribusi sampai konsumsi. Teknologi yang sudah
banyak diterapkan untuk mendinginkan ikan/udang adalah peng-es-an (icing), yaitu
mencampur ikan/udang dan es pada proporsi 1:2 (Poernomo, 2007).
Suhu memegang peranan penting dalam upaya menghasilkan produk beku bermutu
tinggi. Faktor suhu berperan dalam keseluruhan usaha produk beku, sejak awal bahan
baku ditangkap, melalui penanganan, pengolahan, distribusi, sampai saat dikonsumsi oleh
konsumen. Pola penurunan mutu dari berbagai jenis dan asal udang, tidak banyak
berbeda secara enzimatik, kimiawi (oksidatif) dan bakterial (Ilyas, 1993).
II.5 Pembekuan Udang

Pada prinsipnya pembekuan udang merupakan salah satu cara memperlambat


terjadinya proses penurunan mutu, baik secara autolisis, bakteriologis atau oksidasi
dengan suhu dingin. Walaupun dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme serta
memperlambat reaksi kimia dan aktivitas enzim, pembekuan bukanlah cara untuk
mensterilkan udang. Oleh karena itu, sesudah udang dibekukan dan disimpan dalam cold
storage (ruang beku), tidak akan lepas begitu saja dari proses penurunan mutu
(Purwaningsih, 1995).
Tujuan dari pem9bekuan adalah menerapkan metode unggul guna
mempertahankan sifat-sifat mutu tinggi pada ikan/udang dengan tehnik penarikan panas
secara efektif dari ikan/udang agar suhunya sampai pada suatu tingkat suhu rendah yang
stabil dan mengawet dari arti ikan/udang itu hanya mengalami proses perubahan mutu
yang minimum selama proses pembekuan, penyimpanan beku dan distribusi, sehingga
dapat dinikmati oleh konsumen akan nilai dan faktor mutunya dalam keadaan segar atau
keadaan olahan seperti yang dimiliki produk itu sebelum dibekukan (Ilyas, 1993).
II.6 Alat Pembeku Udang
II.6.1 Contact Plate Freezer (CPF)

Contact Plate Freezer terdiri dari beberapa lapis pelat horizontal yang dapat
digerakkan secara vertikal. Pelat-pelat tersebut berisi sebagaimana kemasan konsumsi
diatur secara rapi di atas plat yang berlapis-lapis seperti rak tersebut. Ruangan berinsulasi

9
yang sempit dan membuat produk dapat kontak langsung dengan plat pendingin pada sisi
bawah dan atasnya, menyebabkan pembekuan dapat berlangsung dengan sangat cepat dan
lebih efektif daripada air-blast freezer. (DKP, 2004) Dengan menggunakan alat Contact
Plate Freezer suhu pembekuan dapat diatur antara -35 sampai -45ºC. Untuk bahan
pembeku (refrigerant) yang digunakan tergantung dari tipe mesin tersebut (Purwaningsih,
1995).
II.6.2 Air Blast Freezer (ABF)

Air Blast Freezer biasanya berupa sebuah kamar kecil atau terowongan yang
didalamnya disirkulasikan hembusan udara dingin yang berasal dari unit evaporator yang
dilengkapi dengan kipas atau blower. Produk yang dibekukan diletakkan pada rak
dorongan yang ada dalam ruang tersebut. Ada pula yang menggunakan sistem konveyor,
suhu ruangan biasanya -35ºC atau lebih rendah (Departemen Kelautan dan Perikanan,
2004).
II.7 Teknik Penanganan Udang

Penanganan udang dapat dilakukan berdasarkan asal produksinya antara lain dari
hasil tangkapan di laut, perairan umum ataupun dari hasil panen budidaya di tambak. Dari
manapun asalnya, penanganan udang harus dilakukan secara cepat, cermat, hati-hati,
bersih dan melalui sistem rantai dingin dengan tetap menjaga suhunya sekitar 0ºC.
Penanganan seperti ini dilakukan karena ciri produk udang yang sangat mudah rusak
(Poernomo, 2007).

II.7.1 Penerimaan Bahan Baku

Udang segar diterima biasanya berada dalam bak plastik atau sterofoam yang berisi
es. Penanganan yang terlambat dapat mengakibatkan timbulnya bercak-bercak hitam
(black spot) atau garis-garis hitam pada bagian dalam terutama kulit ruas atau melintang
pada bagian ekor udang juga pada ujung kulit yang menutupi kulit ruas belakang
(Moeljanto, 1992).
Standar jumlah udang yang digunakan sebagai dasar penerimaan udang segar yang
belum diproses dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Standar Penerimaan Udang Segar yang Belum Diproses
Ukuran Jumlah udang (ekor) / kg
U–5 1– 5
U – 20 5 – 20
U – 28 21 – 28

10
T–1 29 – 35
T–2 36 – 40
K 41 – 50
KK 51– 70
Under size >70
Sumber : Purwaningsih, 1995
II.7.2 Pencucian
Udang yang telah dicetak mutu awal secara visual, dipisahkan dalam wadah
keranjang selanjutnya ditimbang dan dicuci dengan pencelupan dalam air dingin bersuhu
<5ºC secara berulang dan kemudian dibilas lagi dengan air dingin. Tujuan dari pencucian
adalah untuk membersihkan kotoran-kotoran seperti lumpur, pasir, rumput dari udang,
selain itu untuk mengurangi pertumbuhan dan kontaminasi bakteri (Poernomo, 2007).
II.7.3 Pemotongan Kepala

Bagian kepala merupakan tempat terkumpulnya kotoran udang sehingga dapat


menjadi sumber bakteri. Genjer adalah kulit ari tebal yang terdapat pada sambungan
antara kepala dan badan. Pemotongan kepala dan pembersihan genjer dilakukan dengan
tangan. Cara pemotongan kepala adalah dengan mamatahkan kepala dari arah bawah ke
atas dan bagian yang dipotong mulai dari batas kelopak penutup kepala hingga batas
leher. Udang yang telah dipotong kepalanya segera direndam dalam air dingin dengan
suhu maksimum 5ºC. Selama pomotongan, udang yang belum dipotong kepalanya
ditaburi dengan es curai secara merata untuk menjaga kesegarannya (Purwaningsih,
1995).
II.7.4 Penyortiran

Udang tanpa kepala selanjutnya dirsortir dengan dipisahkan berdasarkan ukuran,


mutu dan jenisnya. Selama sortasi maka udang harus selalu dalam keadaan suhu dingin
(maksimal 5ºC). Sortasi dilakukan sampai beberapa tingkat untuk melakukan koreksi dan
pengecekan ulang dan pembersih kotoran yang masih ada sehingga diperoleh
pengelompokkan yang sesuai (Poernomo, 2007).
. Udang dikelompokkan sesuai dengan jumlah tertentu untuk setiap pound. Pada
tahapan ini udang selalu dipertahankan pada kondisi dingin yaitu dengan cara memberi es
curai pada udang yang sedang disortir. Sortasi final dilakukan untuk mengoreksi hasil
sortasi yang belum seragam, baik mengenal mutu, ukuran, maupun warna, diperlukan
pula ketelitian dan keterampilan yang tinggi dibandingkan dengan sortasi sebelumnya.
Pengecekan ukuran dilakukan per 1 pound dengan timbangan, bila jumlah udang sudah

11
sesuai dengan jumlah standar pada daftar maka proses penanganan dapat dilanjutkan
(Purwaningsih, 1995).
II.7.5 Pencucian Lanjutan

Pencucian ini dilakukan untuk menghilangkan sisa kotoran setelah dilakukan


pemotongan kepala dan penyortiran, sekaligus pembuangan benda-benda asing, seperti
potongan-potongan serangga, rambut dan lain-lain. Udang dicuci dalam air bersih yang
dicampur dengan es sehingga udang tetap dalam keadaan dingin dengan cara
mencelupkan berulang-ulang atau dengan sistem air mengalir. Pencucian ini bertujuan
untuk membersihkan lendir dan bakteri sebelum dilakukan pembekuan (Purwaningsih,
1995).

II.7.6 Penimbangan

Penimbangan dilakukan setelah udang hasil pencucian ditiriskan beberapa saat.


Penimbangan dimaksudkan agar udang tepat kapasitasnya dalam susunannya dalam
wadah seperti inner pan. Untuk mengatasi penyusutan berat dari berat semula pada saat
udang dicairkan maka pada saat penimbangan dilakukan penambahan berat sekitar 2%
berat kapasitas standarnya (Poernomo, 2007).

II.7.7 Pembekuan

Pembekuan udang dilakukan dengan menggunakan metode pembekuan cepat


sehingga suhu pusat udang maksimal dapat mencapai -18ºC selama maksimal 4 jam.
Udang disusun dalam inner pan dengan plastik, kemudian disusun lagi dalam pan yang
lebih besar (long pan) secara teratur, kemudian dimasukkan dalam rak-rak
pembekuan long pan, dibekukan dalam Contact Plate Freezer (CPF) hingga mencapai
suhu pusat yang diinginkan (Poernomo, 2007).

II.7.8 Pengemasan

Pengemasan dilakukan dengan tujuan untuk melindungi produk dari kontaminasi


dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta dapat memberikan informasi
kepada konsumen sesuai dengan label yang tertera. Bahan pengemas untuk produk udang
beku harus cukup bersih, tidak mudah tembus lemak dan minyak serta dilapisi lilin.
Bahan pengemas tidak boleh mencemari produk yang dikemas dan harus disimpan di
tempat khusus yang saniter dan higienis (Poernomo, 2007).
II.7.9 Penyimpanan Beku

12
Master karton yang berisi produk kemudian disimpan dalam cold storage dengan
suhu -25ºC. Penyusunan di dalam cold storage diatur pada pallet yang memungkinkan
terjadinya sirkulasi udara dingin. Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian
rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dingin dapat merata ke seluruh permukaan
produk (Poernomo, 2007).

BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Waktu dan Tempat Praktikum
Proses pengolahan udang potong kepala beku ini dilakukan didalam ruang produksi
khusus yang disebut teaching factory. Berikut waktu dan tempat pelaksanaannya:

Hari/tgl : Rabu, 26 Ocktober 2018 Dan Rabu, 7 November 2018

Waktu : 07.30 – 17.00

Tempat : Teaching Factory Sekolah Tinggi Perikanan dan Workshop Jurusan


Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.
III.2 Alat dan Bahan
III.2.1 Alat
1. Wadah penampung/ Box

13
2. Keranjang
3. Timbangan
4. Meja steanless steel
5. Plastik
6. Box pencucian (3 Box)

III.2.2 Bahan
1. Udang vanamei (Litopenaeus vannamei).
2. Es
3. Air

III.2.3 Alur Proses

Bahan Baku
Pencucian I
Pemotongan Kepala
Pencucian II
Pencucian menggunakan Chlorine
Pembilasan
Sortasi
Penimbangan dan Pengemasan
Pembekuan
Penyimpanan Beku

14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Alur Proses
IV.1.1 Penerimaan Bahan Baku
Penerimaan bahan baku dilakukan ketika barang datang langsung di taruh pada
wadah penampungan (box) yang sudah diisi sebelumnya dengan es dan setelah udang
masuk ditutupi kembali dengan es.
Tabel 5. Berat awal yang di peroleh dari penerimaan bahan baku.
Berat
No Produksi
(Kg)
1 Produksi I 218.08
2 Produksi II 337,44

IV.1.2 Pencucian I
Pencucian dilakukan bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang masih
menempel pada udang. Pencucian dilakukan dengan cepat, cermat dan tetap menerapkan
sistem rantai dingin.
IV.1.3 Pemotongan Kepala
Pemotongan kepala dilakukan dengan hati-hati untuk menjaga nilai rendemen dari
udang. Pemotongan kepala dilakukan dari bawah kemudian keatas hal ini dilakukan
karena bagian genjer berada pada bagian bawah
Tabel 6. Berat setelah pemotongan kepala.
No Produksi Berat

15
(Kg)
1 Produksi I 155,22
2 Produksi II 218

IV.1.4 Pencucian II
Pencucian II dilakukan bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa kotoran hasil
pemotongan kepala udang. Pencucian II dilakukan dengan cepat, cermat dan tetap
mempertahankan sistem rantai dingin.
IV.1.5 Pencucian menggunakan Chlorine
Pencucian yang selanjutnya adalah menggunakan chlorine 30 ppm penggunaan
chlorine bertujuan untuk membersihkan, memutihkan dan mengenyalkan tekstur udang.
Pencucian dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap menjaga rantai dingin.

IV.1.6 Pembilasan
Setelah dilakukan pencucian menggunakan larutan chlorine dengan konsentrasi 30
ppm mala selanjutnya dilakukan pembilasan, Pembilasan dilakukan bertujuan untuk
menghilangkan larutan chlorine yang masih menempel pada udang. Pembilasan
dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan rantai dingin.
IV.1.7 Sortasi
Sortasi dilakukan bertujuan untuk mengelompokan udang berdasarkan ukuran.
Sortasi ini dilakukan untuk mengoptimalkan mesin pembekuan, udang yang ukuranya
kecil akan lebih cepat proses pembekuanya sedangkan udang yang ukuranya besar
membutuhkan waktu yang lebih lama. Berdasarkan Praktikum sortasi dibedakan menjadi
2 yaitu kelompok I ukuran 20-25 gr sedangkan kelompok II berukuran 15-20 gr.
IV.1.8 Penimbangan dan Pengemasan
Penimbangan dilakukan untuk mengetahui berat udang yang siap untuk
dilakukannya pengemasan dan untuk dilakukan pendataan akhir berat udang. Pengemasan
dilakukan menggunakan plastik khusus dan dilakukan pemvacuman. Pemvacuman
dilakukan untuk menghambat dan mencegah pertumbuhan bakteri pda udang yang dapat
mengakibatkan pembusukan.
IV.1.9 Pembekuan
Pembekuan dilakukan dengan cara menaruh hasil kemasan pada nampan dan
disusun rapi kemudian dimasukkan kedalam cold storage. Suhu minimum pembekuan
adalah -180 C dan tidak boleh lebih dari 2 jam dalam proses pembekuan.

16
IV.1.10 Penyimpanan Beku
Penyimpana beku dilakukan untuk menjaga kualitas barang dan juga menunggu
sampai ada konsumen yang membelinya. Prinsip dalam penyimpanan beku adalah FIFO
(First In First Out) yang artinya barang yang pertama masuk adalah barangitu pula yang
pertama keluar.
IV.2 Rendemen
Dari data berat yang dicantumkan diatas, dapat dihitung rendemennya. Dapat
dilihat pada Tabel 3.

Tabel 7. Data Hasil Perhitungan Rendemen Produksi

Udang
poton Berat Jumlah Pack
Udang Utuh
g akhir @500 gr

kepala
Kg % Kg Kg 10-15 15-20
218,8 100 155,22 148 190(1 kg) 70

337,44 100 218 218 232 204


Pengolahan udang potong kepala beku ini menghasilkan rendemen akhir yaitu Produksi I
mempunyai rendemen 71,17 %, Produksi II mempunyai rendemen 64.8 %, yang didapat
dari perhitungan rumus sebagai berikut:

berat akhir (B)


Rendemen= x 100
berat awal ( A )

IV.3 Mutu
Sebelum dilakukannya proses produksi dilakukan pengujian terhadap produk jadi
yang meliputi Uji Organoleptik ikan untuk mengetahui kelayakan bahan baku untuk
diproses selanjutnya.

IV.3.1 Uji organoleptik


Uji organoleptik dilakukan dengan 8 panelis dari taruna dan taruni semester III
Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel.
Tabel 8. Hasil uji organoleptik udang vannamai potong kepala beku.
Tabel Produksi I

No Panelis Kenampakan Bau Tekstur Rata-rata

17
1 Teuku 8 9 8
2 Ahadin 8 8 8
3 Dwi 8 9 9
4 Akhirun 7 9 8
5 Indri 9 9 9
6 Mardina 7 8 8
7 Nurul 8 8 8
8 Riska 7 8 8
Jumlah

Perhitungan:
n

∑ x́= Jumlah rata−rata


Jumlah panelis
i−1

56.33333
x́=
8

=7.041667

Simpangan:

n
(x 1− x́ )2
S 2=∑
i=1 i

S= 0.787268577

Interval nilai organoleptik:

( (
P x́− 1,96.
s
√n )) ( (
≤ μ ≤ x́ + 1,96.
s
√n ))
( (
P 7,04−
1,96.0,78
√8 )) (
≤ μ ≤ 7,04 +
1,96.0,78
√8 ( ))
P(6.49 ≤ μ ≤ 7.58)

18
Interval nilai organoleptik udang vannamai potong kepala beku adalah 6.49 – 7.58

Tabel 9. Hasil uji organoleptik udang vannamai potong kepala beku.


Tabel Produksi II

No Panelis Kenampakan Bau Tekstur Rata-rata


1 Teuku
2 Ahadin
3 Dwi
4 Akhirun
5 Indri
6 Mardina
7 Nurul
8 Riska
Jumlah

Perhitungan:
n

∑ x́= Jumlah rata−rata


Jumlah panelis
i−1

56.33333
x́=
8

=7.041667

Simpangan:

n
(x 1− x́ )2
S 2=∑
i=1 i

19
S= 0.787268577

Interval nilai organoleptik:

( (
P x́− 1,96.
s
√n)) ( (
≤ μ ≤ x́ + 1,96.
s
√n ))
( (
P 7,04−
1,96.0,78
√8 )) (
≤ μ ≤ 7,04 +
1,96.0,78
(√8 ))
P(6.49 ≤ μ ≤ 7.58)

Interval nilai organoleptik udang vannamai potong kepala beku adalah 6.49 – 7.58

III.4 Sanitasi dan Higiene


Penerapan sanitasi dan higiene merupakan salah satu faktor penting dalam
pengolahan produk makanan. Karena apabila penerapan sanitasi dan higiene tidak
diterapkan dengan baik maka akan menyebabkan kontaminasi terhadap produk pangan
tersebut sehingga akan menyebabkan keracunan. 8 kunci SSOP yang perlu diterapkan
dalam proses produksi adalah sebagai berikut:

1) Keamanan Air dan Es


Selama proses produksi berlangsung dari sebelum pengolahan, selama
pengolahan, dan sesudah pengolahan pasokan air bersih selalu tersedia dan dialirkan
melalui selang dari kran air. Setelah penggunaan air selesai kran air langsung ditutup
agar tidak terjadi genangan air yang akan menjadi tempat pertumbuhan bakteri.
Pasokan es selalu tersedia didalam mesin pencetak es, es batu yang digunakan
adalah jenis es curai. Air yang digunakan untuk pembuatan es adalah air dengan
standar air minum.

2) Kondisi Dan Kebersihan Permukaan Yang Kontak Dengan Bahan Pangan


Bahan pangan yang diterima disimpan didalam box viber, dan pelelehan
dilakukan didalam box viber. Sebelum digunakan box viber dicuci menggunakan
sabun cuci dan dibilas dengan air bersih mengalir. Selain box viber, perlatan lain
yang kontak langsung dengan bahan pangan dicuci terlebih dahulu sebelum proses
pengolahan dimulai dan sesudah proses selesai seperti meja produksi, pisau, baskom,
talenan, dan pan. Peralatan dicuci menggunakan sabun cuci kemudian dibilas air
bersih dan dibilas lagi menggunakan larutan klorin 100 ppm.
Selain kebersihan peralatan, kebersihan lingkungan sekitar juga dibersihkan.
Lantai didalam ruang produksi dijaga kebersihannya dengan cara menguras jika

20
terjadi air yang menggenang terlalu banyak. Sama halnya dengan meja produksi, jika
terlalu banyak air dimeja produksi maka tim sanitasi akan mengurasnya agar mutu
bahan baku tetap terjaga.

3) Pencegahan Kontaminasi Silang


Untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang maka dilakukan pemisahan
antara meja produksi untuk pengolahan dalam bentuk bahan mentah dan meja
produksi untuk pengolahan produk jadi. Selain itu, pisau dan baskom yang
digunakan untuk bahan mentah dan produk jadi juga dipisahkan, tatuna/i untuk
pengolahan bahan mentah dan produk jadi juga dibedakan dan dibagi sama rata.

4) Menjaga Fasilitas Pencuci Tangan, dan Toilet


Tim sanitasi menyediakan sabun cuci tangan yang diletakkan berdampingan
dengan westafel cuci tangan dan larutan klorin 50 ppm untuk mencuci tangan yang
diletakkan didekat pintu masuk ruang produksi dan dimasing-masing meja produksi.
Tim sanitasi juga membersihkan toilet dan lingkungan disekitarnya sebelum dan
sesudah proses produksi.
Setiap taruna/iyang pergi ke toilet maka harus mencuci tangan dengan sabun
kemudian dibilas air bersih dan larutan klorin 50 ppm sebelum kembali kedalam
ruang produksi.
Bak cuci kaki dengan larutan chlorine 100 ppm setiap taruna/I yang masuk
keruang produksi wajib melewati bak cuci kaki tersebut. Hal ini dilakukan untuk
menjaga sanitasi di ruang produksi.

5) Perlindungan dari Bahan-Bahan Kontaminan


Bahan-bahan saniter seperti sabun cuci tangan dan cuci peralatan serta larutan
klorin diletakkan berjauhan dengan meja produksi dan tempat penyimpanan bahan
baku. Dan bahan pengemas juga diletakkan pada meja tempat pengemasan dan
berjauhan dengan meja produksi.

6) Pelabelan, Penyimpanan, dan Penggunaan Bahan Toksin


Label produk ditempel pada kemasan dan dicentang sesuai dengan produk
yang dikemas yaitu cakalang masak beku. Setelah itu produk disimpan didalam
mesin penyimpanan beku dengan disusun rapi pada suhu maksimum -18 oC.

7) Pengawasan Kondisi Kesehatan Personil yang Dapat Mengakibatkan


Kontaminasi
Sebelum memasuki ruang produksi, dilakukan monitoring oleh dosen
pembimbing terhadap kesehatan taruna/i. Taruna/i yang sedang mengalami sakit flu

21
dan batuk tidak diijinkan memasuki ruang produksi, dan taruna/iyang sedang terluka
fisik tidak diijinkan untuk bagian produksi.

8) Pengendalian Pest
Untuk pengendalian pest atau penghilangan serangga atau binatang
pengganggu lainnya maka dipasang insect killer didalam ruang produksi didekat
pintu masuk. Taruna/i yang bertugas sebagai tim sanitasi memastikan terlebih dahulu
bahwa didalam ruang produksi tidak ada binatang penggangu sebelum dimulainya
proses produksi.
BAB V
KESIMPILAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Dari data hasil yang didapatkan sebagai mana dipaparkan diatas, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:

1) Bahan baku yang digunakan masih segar dan layak digunakan dilihat dari hasil
pengijian nilai organoleptik pada udang vannamai segar yaitu mempunyai nilai
lebih dari 8 dan mempunyai kenampakan, tekstur, dan bau yang menandakan
ikan yang masih sangat segar.
2) Produk akhir memiliki mutu dan kualitas yang baik dilihat dari hasil nilai
interval organoleptik yaitu antara 8.
3) Rendemen akhir yang didapat memenuhi standar yaitu diatas 60%

V.2 Saran
Berdasarkan evaluasi produksi udang vannamai potong kepala, beberapa hal yang
perlu diperhatikan dan ditingkatkan yaitu dilihat dari data berat pada masing-masing
tahapan, jumlah akhir dan berat limbah tidak sinkron dikarenakan pada saat pengolahan
kurang teliti dan masih banyak produk yang terbuang terutama pada saat pemotongan
kepala karena genjer juga ikut terbuang sehingga banyak produk yang terbuang dan tidak
terhitung. Maka dari itu pada saat produksi harus memperhatikan lebih detail bagian
produk, lebih hati-hati dan teliti pada setiap proses yang dilakukan, dan limbah.
Meminimalisir kesalahan yang dilakukan oleh taruna atau taruni seperti lebih hati-
hati dalam proses pemotongan kepala udang.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ariawan, K., dkk., 2005. Peningkatan produksi udang merguiensis melalui optimasi dan
pengaturan oksigen. Laporan Tahunan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau.
Jepara.

Briggs M., Simon F.S., R. Subasinghe, and M. Phillips. 2004. Introduction and movement
of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and the Pacific. FAO-UN. Bangkok.

Cherian, G. and J. S. Sim. 1994. Omega-3 Fatty Acid Enriched Eggs as a Source of Long
Chain Omega-3 Fatty Acids for the Developing infant. In: Sim, J.S. and S. Nakai (Eds.).
Eggs Uses and Processing Technologies. CAB International, Canada.

Ekawati A.2008. Impor udang akan Diperketat. http://www.tempointeraktif.com [diakses


pada tanggal 6 Juni 2009].

Januri. 2004. Pengaruh waktu penirisan dan penyimpanan udang head less (HL) beku
terhadap perubahan berat dalam kaitannya dengan HCCP. Bogor: Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Muzaki A. 2004. Produksi udang vaname (Litopenaeus vannamei) pada saat penebaran
berbeda di tambak biocrete [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.

Pranoto SH.2007.Isolasi dan seleksi bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi sebagai agen
bioremediasi pada media pmeliharaan udang vannamei [skripsi]. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

23

Anda mungkin juga menyukai