Oleh :
Ira Wiraswanti
C34103051
RINGKASAN
IRA WIRASWANTI. C34103051. Pemanfaatan Karagenan dan Kitosan dalam
Pembuatan Bakso Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) pada Penyimpanan
Suhu Dingin dan Beku. Dibimbing oleh ANNA C ERUNGAN dan
WINARTI ZAHIRUDDIN.
Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat potensial
untuk memenuhi kebutuhan protein. Tetapi sifatnya yang mudah rusak
menyebabkan ikan kurang diminati masyarakat, untuk itu perlu diupayakan
pengolahan daging ikan menjadi produk yang dapat tahan lama. Salah satu produk
olahan daging ikan adalah bakso ikan. Issue yang berkembang akhir-akhir ini
mengenai penggunaan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan manusia.
Oleh karena itu dilakukan usaha untuk mencari alternatif pengganti bahan
pengawet sintetik dengan bahan pengawet alami seperti kitosan. Penggunaan
sodium tripolifosfat (STPP) dalam pembuatan bakso sudah dibatasi. Oleh karena
itu perlu dilakukan usaha untuk mengurangi penggunaan bahan kimia dan
menggantinya dengan bahan alami yaitu karagenan.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan kitosan yang
digunakan sebagai pengawet dan karagenan sebagai pembentuk gel pada bakso
ikan kurisi (Nemiptrus nematophorus) selama penyimpanan suhu beku dan suhu
dingin.
Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap, tahap pertama
penentuan konsentrasi karagenan dan kitosan yang ditambahkan pada bakso ikan
kurisi. Konsentrasi karagenan yang digunakan yaitu 0 %; 0,5 % dan 1 %,
sedangkan konsentrasi kitosan yang digunakan yaitu 0 %; 0,1 %. Tahap kedua
yaitu membandingkan bakso ikan kurisi yang terpilih dengan bakso ikan yang
ditambahkan STPP menurut tingkat kesukaan panelis (uji sensori), uji fisik
(uji lipat, uji gigit, uji dan uji kekuatan gel), analisis kimia (uji proksimat), dan
dilakukan penyimpanan pada suhu dingin dan beku. Selama penyimpanan
dilakukan analisis terhadap nilai pH dan analisis mikrobiologi (setiap satu minggu
sekali).
Hasil penelitian tahap I diperoleh kombinasi konsentrasi karagenan dan
kitosan terpilih perlakuan A2B2 yang kemudian digunakan pada penelitian
tahap II. Bila dibandingkan dengan STPP 0,15 %, A2B2 lebih unggul dalam
membentuk gel dan daya awet. Perlakuan A2B2 umumnya memiliki nilai
rata-rata lebih tinggi dibandingkan perlakuan penambahan STPP 0,15 %, seperti
uji organoleptik (penampakan, tekstur dan aroma), uji fisik (uji lipat, uji gigit dan
uji kekuatan gel), analisis kimia (kadar abu, kadar protein dan kadar karbohidrat).
Analisis mikrobiologi bakso ikan yang dihasilkan masih di bawah
SNI 01-3819-1995 selama penyimpanan 3 minggu pada suhu dingin, dan
8 minggu pada suhu beku. Nilai pH bakso ikan pada perlakuan A2B2 selama
penyimpanan suhu dingin dan suhu beku mengalami penurunan (semakin asam).
Nilai pH pada penyimpnan suhu dingin lebih cepat menurun dibandingkan
dengan nilai pH bakso ikan yang disimpan pada suhu beku.
Skripsi
Oleh :
Ira Wiraswanti
C34103051
Judul
Nama
Ira Wiraswanti
NRP
C34103051
Menyetejui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
RIWAYAT HIDUP
Ira Wiraswanti. Lahir di Bogor pada tanggal 8 Juli 1985,
sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, putri pasangan
Bapak Adiel Suryadi dan Ibu Yusneti,
adik dari
Penulis
juga
pernah
mengikuti
pelatihan
ISO-22000
yang
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
yang berjudul
Fetria
Herlina
dan
Ibrahim
Teguh
serta
Adikku
Ezra Wira Ramadhan dan Teguh Wira Maulana atas kasih sayang dan
dukungan semangatnya.
5. DIKTI Program SP4 yang telah memberi dukungan materiil kepada
penulis dalam menyelesaikan penelitian.
6. Ibu Emma, Mas Zacky, Mas Saeful, Ibu Yati, Ibu Rubiah, Pak Sobirin
yang telah membantu penulis selama penelitian.
7. Sahabatku tercinta Ayu, Euis, Atik, Amy, Dedeh, Risma, Laksmi, Irawati
dan Eris yang setia mendengarkan keluh kesah serta memberikan
dukungan dan semangat kepada penulis selama penelitian.
8. Lianny, Almira dan Pisuko yang tak bosan mendengarkan keluh kesah
penulis dan memberikan perhatian, dukungan, semangat yang tak
terhingga serta persahabatan yang tulus dan indah kepada penulis.
9. Gami, Setyo, Andri, Rahadian, Aris, Angling, Rhama, Rudy, Putri, Oryssa,
Finda, Windo, Tomy, Indra, Johan, Fikri, Bangun, Ditya, Fitria, Helda,
Tari, Toby, Taufik, Noerhoeri atas persahabatan yang indah dan tak
terlupakan serta dukungan kepada penulis selama penelitian.
10. Temen-temen THP 40 atas kebersamaannya. THP 39, 41, 42 serta semua
pihak yang telah banyak membantu penulis selama penelitian.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan
dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari semua pihak sebagai masukan dan bahan
pertimbangan untuk perbaikan pada penulisan selanjutnya.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi penulis khususnya dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan pada
umumnya.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xi
xii
1. PENDAHULUAN .....................................................................................
24
25
25
25
25
26
26
26
26
27
27
28
28
28
32
32
32
32
34
35
36
37
38
38
40
42
42
43
43
44
44
45
46
47
47
47
48
50
50
51
52
53
53
54
56
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2. Diagram alir proses pembuatan bakso ikan pada penelitian tahap I .......... 23
3. Diagram alir proses pembuatan bakso ikan pada penelitian tahap II......... 24
4. Histogram uji organoleptik skala hedonik penampakan tahap I ................ 33
5. Histogram uji organoleptik skala hedonik warna tahap I........................... 34
6. Histogram uji organoleptik skala hedonik tekstur tahap I ......................... 35
7. Histogram uji organoleptik skala hedonik aroma tahap I .......................... 36
8. Histogram uji organoleptik skala hedonik rasa tahap I.............................. 37
9. Histogram uji lipat penelitian tahap I ........................................................ 39
10. Histogram uji gigit penelitian tahap I ........................................................ 41
11. Histogram uji organoleptik skala hedonik penampakan tahap II............... 43
12. Histogram uji organoleptik skala hedonik warna tahap II ......................... 44
13. Histogram uji organoleptik skala hedonik tekstur tahap II ........................ 45
14. Histogram uji organoleptik skala hedonik aroma tahap II ........................ 46
15. Histogram uji organoleptik skala hedonik rasa tahap II............................. 46
16. Histogram uji lipat bakso ikan tahap II ...................................................... 47
17. Histogram uji gigit bakso ikan tahap II...................................................... 48
18. Histogram uji kekuatan gel bakso ikan tahap II......................................... 49
19. Histogram uji proksimat kadar air tahap II ................................................ 50
20. Histogram uji proksimat kadar abu tahap II............................................... 51
21. Histogram uji proksimat kadar protein tahap II ........................................ 52
22. Histogram uji proksimat kadar lemak tahap II.......................................... 53
23. Histogram uji proksimat kadar karbohidrat tahap II .................................. 53
24. Nilai pH selama penyimpanan suhu dingin ............................................... 55
25. Nilai pH selama penyimpanan suhu beku.................................................. 56
26. Grafik logaritmik bakteri selama penyimpanan suhu beku........................ 57
27. Grafik logaritmik bakteri selama penyimpanan suhu dingin ..................... 59
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
11
14
15
15
39
40
42
49
54
55
57
58
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
69
69
70
71
72
73
74
75
76
77
11. Rekapitulasi data hasil uji lipat dan gigit penelitian tahap II ...................
78
79
13. Rekapitulasi data hasil uji kekuatan gel penelitian tahap II .....................
80
80
80
1. PENDAHULUAN
pengolahan
komoditas
perikanan
yang
diharapkan
mampu
alami
seperti
kitosan
yang
dipadukan
dengan
penyimpanan
pengawet seperti kitosan selain dapat meningkatkan daya simpan juga dapat
memperbaiki sifat fisik dari produk yang dihasilkan. Pengawet makanan termasuk
dalam kelompok zat tambahan makanan yang bersifat inert secara farmakologik
(efektif dalam jumlah kecil dan tidak toksis).
Kitosan adalah produk alami yang diekstrak dari kulit udang tidak beracun
dan merupakan polisakarida tidak larut air. Disamping tidak beracun senyawa ini
merupakan biopolimer kationik yang dapat didegradasi (Johnson dan Peniston
1982). Kitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang
dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan
sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal
antara produk dan lingkungannya (Hadwiger dan Adams 1978; Hadwiger dan
Loschke 1981 diacu dalam Hardjito 2006).
Penggunaan sodium tripolifosfat (STPP) dalam pembuatan bakso sudah
umum dilakukan, namun telah diketahui bahwa penggunaan bahan kimia dalam
produk makanan sudah dibatasi. Jumlah penggunaan STPP yang diizinkan adalah
3 gram untuk setiap kilogram daging atau 0,3 % dari berat daging yang digunakan
(Codex Alimentarius Abridged Version 1990). Oleh karena itu perlu dilakukan
usaha untuk mengurangi penggunaan bahan kimia dan menggantinya dengan
bahan alami. Salah satu bahan tambahan makanan alami yang fungsinya hampir
sama dengan sodium tripolifosfat yaitu karagenan. Karagenan berfungsi sebagai
stabilisator (pengatur keseimbangan), thickner (bahan pengental) dan pembentuk
gel dalam bidang industri pengolahan makanan (Winarno 1990).
Dalam teknologi pangan, khususnya bidang teknologi pengawetan,
freezeburn yakni suatu perubahan citra rasa, perubahan warna, kehilangan zat gizi
serta perubahan tekstur dari bahan pangan beku akan cepat terjadi jika bahan
pangan disimpan pada suhu di atas -9 C. Untuk memperoleh hasil yang terbaik
dari bahan pangan yang dibekukan, suhu penyimpanan harus dijaga agar konstan
dan tidak boleh lebih tinggi dari -17 C, serta harus diikuti dengan pengemasan
yang baik atau memenuhi standar pengemasan untuk bahan pangan beku.
1.2 Tujuan
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan kitosan dan
karagenan dalam pembuatan bakso ikan kurisi (Nemiptrus nematophorus) yang
disimpan pada suhu dingin dan beku. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah :
(1) Mengetahui kombinasi karagenan dan kitosan yang menghasilkan bakso ikan
kurisi (Nemipterus nematophorus) terbaik, (2) membandingkan sifat fisik, kimia
dan mikrobiologi bakso ikan yang ditambahkan karaginan dan kitosan dengan
bakso ikan yang ditambahkan STPP, serta (3) mengetahui daya awet bakso ikan
dengan penambahkan kitosan dan karagenan yang disimpan pada suhu dingin dan
beku.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus)
Klasifikasi ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) menurut Direktorat
Prasarana Perikanan Tangkap (2001) adalah sebagai berikut :
Ordo
: Percomorphi
Subordo
: Percoidea
Famili
: Nemipteridae
Genus
: Nemipterus
Spesies
: Nemipterus nematophorus
punggung
% Berat basah
Kadar air
79,55
Kadar abu
0,97
Kadar protein
16,85
Kadar lemak
2,2
bumbu-bumbu. Daging yang baik untuk membuat bakso adalah daging segar yang
belum mengalami rigor mortis karena daya ikat air pada ikan segar lebih tinggi
dibanding daging rigor mortis maupun pasca rigor (Pearson dan Tauber 1984).
Umumnya bakso memiliki masa simpan maksimal satu hari (12-24 jam)
apabila disimpan pada suhu kamar dan maksimal dua minggu apabila disimpan
pada suhu (-1)-5 C. Bakso mengandung protein tinggi, memiliki kadar air tinggi
(aw >0,9), serta pH netral (6,0-6,5) sehingga rentan terhadap kerusakan. Tandatanda kerusakan bakso adalah rasa agak asam atau asam; tekstur lunak dan
mengelupas, mudah hancur dan berlendir, aroma busuk (www.republika.co.id
2007).
2.2.1 Bahan pembuatan bakso
Bahan yang diperlukan untuk membuat bakso ikan yaitu bahan utama
(daging ikan) dan bahan tambahan (bahan pengisi, es atau air, dan bumbubumbu).
2.2.1.1 Bahan utama
Bahan utama adalah bahan yang digunakan dalam jumlah besar dan
fungsinya tidak dapat digantikan oleh bahan lain (Winarno 1987 diacu dalam
Damuringrum 2002).
Lumatan daging ikan (minced fish) adalah kumpulan daging ikan yang
telah atau belum mengalami pencucian (washing). Sedangkan surimi adalah
campuran dari lumatan daging ikan dengan karbohidrat tertentu (sorbitol dan
gula) sehingga teksturnya dapat diperbaiki dan dipertahankan pada suhu beku
karena ditambahkan zat tambahan makanan (food additive) berupa polifosfat
(Sunarya 1996).
Persyaratan daging yang akan dibuat bakso harus sesegar mungkin,
dengan kata lain daging yang belum mengalami penyimpanan. Komponen daging
yang berperan dalam produk bakso adalah protein, khususnya protein yang
bersifat larut dalam garam, terutama aktin dan myosin. Fungsi protein dalam
bakso adalah sebagai bahan pengikat hancuran daging dan sebagai emulsifier
(Winarno dan Rahayu 1994)
3-3,5 mikron (Radly 1976 diacu dalam Febrianata 2006) dengan suhu gelatinisasi
berkisar antara 52-64 C (Osman 1967 diacu dalam Febrianata 2006). Tapioka
memiliki sifat yang sangat mirip dengan amilopektin karena tapioka sebagian
besar terdiri atas amilopektin. Sifatsifat amilopektin yaitu: a) dalam bentuk pasta
amilopektin menunjukkan penampakan yang sangat jernih sehingga dapat
meningkatkan mutu penampilan produk akhir, b) pada suhu normal pasta dari
amilopektin tidak mudah menggumpal dan kembali menjadi keras, c) mempunyai
daya
perekat
yang
tinggi
sehingga
pemakaiaan
pati
dapat
dihemat
(Tjocroadikosoemo 1986).
b. Bumbu
Bumbu-bumbu yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah
garam dapur, bawang merah, bawang putih, lada sehingga dapat memberikan rasa
yang sesuai pada produk bakso. Sebaiknya tidak digunakan penyedap masakan
monosodium glutamate atau vetsin (Wibowo 1999a). Bumbu-bumbu yang
digunakan adalah sebagai berikut :
1. Garam
Garam berfungsi sebagai pemberi rasa, pelarut protein dan
pengawet (Wibowo 1999a). Selain berfungsi untuk memberikan flavor,
garam juga berfungsi terutama untuk melarutkan protein myosin yang
berperan sebagai emulsifier utama dan meningkatkan daya ikat air
(Forrest et al. 1975).
2. Gula
Gula lebih banyak berperan memberikan citarasa dari pada
mengawetkan produk. Meskipun demikian pemakaian gula akan
menyebabkan bakteri-bakteri asam berkembang, terutama bakteri-bakteri
yang dapat memfermentasi gula menjadi asam dan alkohol. Dengan
timbulnya asam dan alkohol diharapkan akan dapat memperbaiki citarasa
produk (Hadiwiyoto 1993).
3. Bawang merah dan bawang putih
Bawang merah sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85 %,
protein 1,55 %, lemak 0,3 % dan karbohidrat 9,2 %. Selain itu dalam umbi
bawang merah juga terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan asam
amino yang tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut dalam air. Ikatan
asam amino ini disebut dengan alliicin (Wibowo 1999b). Bawang merah
mengandung cukup banyak vitamin B dan vitamin C dan biasanya bawang
merah digunakan sebagai bumbu dan obat-obatan tradisional (Ashari 1995
diacu dalam Jauharti 1997).
Bawang putih termasuk salah satu familia Liliaceae yang popular
di dunia ini dengan nama ilmiahnya Allium sativum L. Kandungan bawang
putih antara lain air mencapai 60,9-67,8%, protein 3,5-7%, lemak 0,3%,
karbohidrat 24,0-27,4% dan serat 0,7%, juga mengandung mineral penting
dan beberapa
cukup
bagus
untuk
mengenyalkan
bakso
(Anang
2006).
pada
proses
pendinginan,
pencucian
atau
pembekuan
Bahasa
Indonesia
Bahasa Inggris
Sodium
Sodium
Tripoliphosphat
Tripolifosfat
Asam asetat
Acetic acid
Batas
maksimum
penggunaan
Daging olahan,
daging hewan
3 g/kg, tunggal
atau campuran
dengan fosfat
lain
Sardin, ikan sejenis secukupnya
Sardin kalengan, kaldu
reaksi
oksidasi
serta
meningkatkan
mutu
produk
daging
(Ockerman 1983).
2.2.2
jaringan
lemak
akan
berubah
menjadi
mikropartikel
Kriteria uji
Satuan
Persyaratan
1.
Keadaan
1.1
Bau
1.2
Rasa
Gurih
1.3
Warna
Normal
1.4
Tekstur
Kenyal
2.
Air
% b/b
Maks 80,0
3.
Abu
% b/b
Maks 3,0
4.
Protein
% b/b
Min 9,0
5.
Lemak
Maks 1,0
6.
Boraks
7.
8.
Cemaran logam
8.1
Timbal (Pb)
Mg/kg
Maks 2,0
8.2
Tembaga (Cu)
Mg/kg
Maks 20,0
8.3
Seng (Zn)
Mg/kg
Maks 100,0
8.4
Timah (Sn)
Mg/kg
Maks 40,0
8.5
Raksa (Hg)
Mg/kg
Maks 0,5
9.
Mg/kg
Maks 1,0
10.
Cemaran mikroba :
Koloni/g
Maks 1x107
AMP/g
Maks 4x102
Negatif
Koloni/g
Maks 5x102
Negatif
FAO
FCC
EEC
Maks 12
Maks 12
Maks 12
Sulfat (%)
15-40
18-40
15-40
Min 5 cps
Min 5 cps
Min 5 cps
15-40
Maks 35
15-40
Logam As (ppm)
Maks 3
Maks 3
Maks 3
berat
Cu+Zn(ppm)
Maks 50
Zn (ppm)
Maks 25
Kappa
Iota
Lamda
Pada pH alkali
Stabil
Stabil
Stabil
Pada pH netral
Stabil
Stabil
Stabil
Pada pH asam
Terhidrolisis dalam
terhidrolisis
bentuk gel
dalam pembentukan gel karagenan. Jumlah sulfat pada karagenan berkisar antara
18 % sampai 40 %.
digunakan untuk melindungi sel pada pendinginan lambat pada saat terjadi efek
larutan yang dapat merusak struktur sel (Peranginangin et al. 1999)
2.5 Kitosan
Kitosan merupakan serbuk putih yang larut dalam asam, tidak dapat
dicerna atau didegradasi di dalam saluran pencernaan, tetapi dapat diuraikan
secara biologis di lingkungan (tanah dan air) oleh enzim kitinase dan kitonase
yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Kitosan adalah bahan alam yang tidak
beracun dengan nilai Lethal Dosage (LD 50) sebesar 16 g/kg berat badan pada
mencit (Hirano 1996 diacu dalam Hardjito 2006).
Kitosan termasuk salah satu jenis polisakarida yang dapat bersifat sebagai
penghalang (barrier) yang baik karena pelapis polisakarida dapat membentuk
matrik yang kuat dan kompak (Grenner dan Fennema 1994 diacu dalam
Anityoningrum 2005). Kitosan memiliki sifat reaktivitas kimia tinggi yang
menyebabkan mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya
gugus polar dan nonpolar yang dikandungnya. Oleh karena itu, kitosan dapat
digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik sebagai
pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur (Brzeski 1987).
Larutan kitosan yang dicampur dengan asam asetat dari kitosan berbentuk
serbuk berfungsi sebagai antibakteri yang bersifat bakteriostatik. Efek hambatan
pertumbuhan bakteri karena adanya proses deasetilasi yang baik. Semakin banyak
gugus asetil yang hilang maka akan semakin kuat juga ikatan gugus aminonya.
Gugus amino (NH2) dalam keadaan asam akan menjadi polimer kationik dengan
struktur linier. Gugus NH2 yang bersifat kationik ini mampu mengikat bakteri
sehingga metabolisme bakteri terhambat dan berangsur-angsur bakteri tidak
tumbuh lagi (Pelczar dan Chan 1988).
Keunggulan lain dari kitosan adalah sebagai pengawet yang dapat
menghambat pertumbuhan berbagai mikroba perusak makanan. Kitosan juga
dapat menghambat pertumbuhan berbagai mikroba penyebab tifus yang telah
mengalami resistensi terhadap antibiotik yang ada (Yadaf dan Bhise diacu dalam
Hardjito 2006). Kitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang
dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan
sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal
antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa yang sampai saat ini masih
berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai pengawet adalah kitosan
memiliki afinitas yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat
berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan sintesa protein
(Hadwiger dan Adams 1978; Hadwiger dan Loschke 1981 diacu dalam
Hardjito 2006).
2.6 Pemanasan
Pengolahan daging yang disertai pemanasan akan menyebabkan perubahan
dalam penampakan, flavor, tekstur dan kandungan nutrien. Perubahan drastis
selama pemanasan seperti pengkerutan dan pengerasan jaringan disebabkan oleh
perubahan protein otot. Pemanasan sampai 40 C tidak memberikan pengaruh
yang berarti pada sifat mekanik daging. Pemanasan dibawah 60 C secara
perlahan dimana kolagen dapat menyusut, tidak meningkatkan keempukan. Pada
suhu yang lebih tinggi dapat terjadi koagulasi yang hebat sehingga kehilangan
berat yang mencolok (Schmidt 1988).
Pengolahan dengan panas mengakibatkan kehilangan beberapa zat gizi.
Semua perlakuan pemanasan harus dioptimasi untuk mempertahankan nilai gizi
dan mutu produk serta menghancurkan mikroba (Buckle 1987).
2.7 Pengemasan
Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling
yang tepat bagi bahan pangan (Buckle 1987). Pengemasan bertujuan untuk
melindungi produk selama penyimpanan dan pendistribusian. Kemasan yang
digunakan harus disesuaikan dengan jenis makanannya, sehingga diperlukan
syarat-syarat tertentu, yaitu melindungi kandungan air dan lemak, mencegah
masuknya bau dan gas, melindungi makanan dari sinar matahari, serta tahan
terhadap tekanan atau benturan (Hambali et al. 2004).
Pengemasan merupakan salah satu proses dalam industri permen yang
memegang peranan penting dalam upaya mencegah terjadinya penurunan mutu
produk, karena perlindungan atau pengawetan produk dapat dilakukan dengan
mengemas produk yang bersangkutan. Kemasan juga berfungsi untuk menarik
pembeli (Mustain 2002).
Salah satu bahan pengemas yang sering digunakan adalah plastik tipis
fleksibel jenis polietilen. Plastik ini merupakan plastik tipis yang murah dengan
kekuatan tegangan yang sedang dan terang, dan merupakan penahan air yang baik
tetapi jelek terhadap oksigen sehingga masih memungkinkan bahan teroksidasi
dan mengalami kerusakan (Buckle 1987).
2.8 Penyimpanan suhu dingin dan suhu beku
Penyimpanan merupakan usaha untuk melindungi bahan pangan dari
kerusakan yang disebabkan
penyimpanan
di
bawah
kondisi
beku
adalah
untuk
mempertahankan nilai bahan pangan dan melindungi produk dari kerusakan dalam
jangka waktu yang lama. Suhu penyimpanan beku yang dipakai dalam
perdagangan modern kira-kira -30 C atau bahkan di bawah suhu -60 C
(Sikorski dan Pan 1994).
Faktor yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan bahan pangan meliputi
jenis dan kualitas bahan baku yang digunakan, metode dan keefektifan
pengolahan, jenis dan keadaan pengemasan, perlakuan mekanis yang cukup berat
terhadap produk yang dikemas dalam ruang penyimpanan dan distribusi, juga
pengaruh
yang
ditimbulkan
oleh
suhu
dan
kelembaban
penyimpanan
(Desrosier 1988).
Pembekuan hanya menyebabkan sedikit perubahan terhadap nilai gizi
protein,
namun
dimungkinkan
terjadinya
proses
denaturasi
protein
3. METODOLOGI
Organoleptik
Departemen
Teknologi
Hasil
Perairan,
berikut :
3.2.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso antara lain berupa bahan
utama yaitu ikan kurisi. Ikan ini diperoleh dari Muara Baru Jakarta, rata-rata
ukuran ikan kurisi adalah 13-15 cm dan berat 120-150 gram. Bahan tambahan
seperti
bahan
pengisi
(tepung
tapioka),
kitosan,
karagenan,
STPP
metil
dan
biru
metil)
dan
bahan
analisis
mikrobiologi
stirrer.
Seperangkat
alat
untuk
analisis mikrobiologi
seperti
timbangan analitik, gelas ukur, cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer, pipet 1 ml,
tissue,
Penelitian tahap I
Konsentrasi karagenan yang digunakan yaitu 0 %; 0,5 % dan 1 %,
dari
tulang
dengan
menggunakan
mesin
pemisah
daging
(meat bone separator) atau secara manual. Daging tersebut dipotong dan
dihaluskan menggunakan meat grinder sehingga diperoleh daging lumat. Setelah
diperoleh daging lumat kemudian dilakukan perhitungan rendemen.
Proses pembuatan bakso ikan adalah sebagai berikut: daging lumat
digiling menggunakan food processor, ditambahkan garam, tepung tapioka,
bumbu-bumbu seperti bawang merah yang sudah digoreng sampai warna
kekuningan dan dihaluskan, bawang putih yang sudah dihaluskan, gula pasir, lada
dan ditambahkan es atau air es ke dalam adonan tersebut dari berat daging lumat
ikan kurisi.
Perlakuan yang diberikan adalah penambahan kitosan konsentrasi 0 % dan
0,1 % serta karagenan 0 %, 0,5 % dan 1 % (pemilihan konsentrasi karagenan di
dapat setelah dilakukan trial and error terhadap produk bakso ikan, sedangkan
pemilihan konsentrasi kitosan didapat dari penelitian sebelumnya yakni
konsentrasi 0,1 % merupakan konsentrasi terbaik dalam pembuatan bakso ikan).
Setelah itu adonan dicetak dengan menggunakan tangan sehingga membentuk
bulatan atau bola-bola. Adonan yang sudah dicetak direndam dalam air hangat
(40-45 C, selama 20-30 menit), kemudian dimasak pada suhu 85-100 C atau
sampai bakso mengapung. Bakso tersebut ditiriskan sampai dingin.
Ikan Kurisi
Daging lumat
Garam
Tepung tapioka
Gula
Bawang merah
Bawang putih
Lada
Pengadonan
Pengadukan dan
pencetakan
dengan tangan
dan analisis mikrobiologi (setiap satu minggu sekali). Prosedur penelitian tahap II
disajikan pada Gambar 3.
Ikan Kurisi
Daging lumat
Garam
Tepung tapioka
Gula
Bawang merah
Bawang putih
Lada
Pengadonan
= proses,
= masukan
= hasil proses
Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan bakso ikan pada penelitian tahap II
W1 W 2
x 100 %
W1
Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan
ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Kadar Lemak (%) = Berat lemak (g) x 100 %
Berat sampel (g)
3.4.3.3 Kadar protein dan total nitrogen (AOAC 1995)
Penentuan total nitrogen dan kadar protein menggunakan metode
mikro kjeldal. Contoh sebanyak 0,2 g dimasukkan ke dalam tabung kjeldahl 30
ml. Ditambahkan 1,9 g K2SO4 40 mg HgO dan 2,5 ml H2SO4, serta beberapa
tablet kjeldahl. Contoh dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih
kemudian didinginkan. Isi labu dituangkan ke dalam alat destilasi, labu dibilas
sebanyak 5-6 kali dengan aquades (20 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam
alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml.
Cairan yang berasal dari ujung tabung kondensor ditampung dalam
erlenmeyer 125 ml yang berisi larutan 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator
(campuran merah metil 0,2 % dalam alkohol dan biru metil 0,2 % dalam
alkohol 2:1) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh
kira-kira 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam
erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan HCL 0,02 N sampai terjadi perubahan warna
menjadi merah. Hal yang sama juga dilakukan terhadap balnko, yaitu dengan
mengganti sampel dengan akuades.
Kadar protein dapat dihitung berdasarkan kadar N :
%N
% protein
dilakukan sekitar 2-3 jam. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator, setelah
dingin cawan kemudian ditimbang. Persentase dari kadar abu dapat dihitung
menggunakan rumus :
mikrobiologi
yang
dilakukan
adalah
penentuan
TPC
(Total Plate Count) dengan metode tuang. Prinsip metode ini adalah sel bakteri
dalam sampel ditumbuhkan pada medium agar dan diinkubasi selama 24-48 jam.
Sel bakteri akan tumbuh membentuk koloni yang dapat dlihat secara visual,
sehingga dapat langsung dihitung.
Mula-mula cawan petri, tabung reaksi dan pipet disterilisasi dalam oven
pada suhu 180 C selama 2 jam. Media Plate Count Agar (PCA) dibuat dengan
cara melarutkan 8 gr PCA dalam 400 ml aquades. Media dibuat sebanyak jumlah
yang diperlukan. Media tersebut disterilkan dalam autoklaf suhu 121C selama
15 menit dengan tekanan 1 atm. Setelah disterilisasi, suhu media dipertahankan
45-55 C dalam penangas air untuk menjaga agar media tidak membeku.
Pembuatan larutan pengencer dengan cara melarutkan 8,5 g NaCl dalam 1 liter
aquades yang kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121C selama
15 menit.
Sebanyak 10 g sampel dihaluskan lalu dilarutkan dalam 90 ml larutan
pengencer steril sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Dari larutan tersebut
dipipet 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml
larutan pengencer steril untuk memperoleh pengenceran 10-2. demikian seterusnya
sampai diperoleh pengenceran 10-7, sesuai dengan pendugaan tingkat kebusukan
bakso ikan pada saat pengamatan. Dari tiap pengenceran, dipipet 1 ml dan
dimasukkan ke dalam cawan petri steril (dilakukan secara duplo). Lalu ke dalam
setiap cawan petri ditambahkan media sebanyak 1/3 bagian. Kemudian cawan
petri tersebut digerakkan di atas meja dengan gerakan melingkar agar media PCA
merata. Setelah PCA membeku, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik
dalam inkubator pada suhu 30 C selama 48 jam. Setelah waktu inkubasi, koloni
yang tumbuh pada cawan petri dapat dihitung dengan jumlah koloni yang diterima
30-300 koloni per cawan.
Nilai TPC produk bakso ikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
jumlah koloni
1
x
cawan
faktor pengenceran
berikut :
2
R
12
i
-3(n+1)
H=
n ( n + 1)
ni
H =
Pembagi = 1Keterangan : n
H
Pembagi
T
dengan T = (t 1)( t + 1)
(n 1)(n + 1)n
= jumlah data
ni
Ri2
= H terkoreksi
= simpangan baku
Ri Rj >< Z/2p
k (n + 1)
6
p= k(k+1)/2
Keterangan :
Ri
Rj
: banyaknya ulangan
rancangan acak
karagenan, yang terdiri dari tiga taraf yaitu 0%, 0,5%, 1% sedangkan faktor yang
kedua adalah konsentrasi kitosan yang terdiri dari dua taraf, yaitu dari 0 %
dan 0,1 %. Adapun rumusan matematikanya menurut Steel dan Torrie (1989)
adalah sebagai berikut:
Yij = + i + j + ()ij + ij
Keterangan:
i
= 1, 2, 3
= 1, 2, 3
Yij
= Hasil pengamatan dari faktor ke-1 ulangan ke-i, faktor ke-2 ulangan ke-j
= Rata-rata sebenarnya
tubuh
dan
umur
(Suzuki
1981).
Rendemen
digunakan
untuk
memperkirakan bagian tubuh ikan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan
(Hadiwiyoto 1993). Rendemen
daging
lumat ikan
kurisi berkisar
didasarkan
pada
rangsangan
sensorik
pada
organ
indra
(Soekarto 1995). Analisis sensori yang dilakukan pada penelitian ini meliputi
uji skala hedonik terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan penampakan
bakso ikan.
4.1.2.1 Penampakan
Penampakan merupakan karakteristik pertama yang dinilai panelis dalam
mengkonsumsi suatu produk. Bila kesan penampakan baik atau disukai, maka
konsumen baru akan melihat karakteristik lainnya (aroma, rasa dan seterusnya).
Meskipun penampakan tidak menentukan tingkat kesukaan konsumen secara
mutlak, tetapi penampakan juga mempengaruhi penerimaan konsumen. Produk
dengan bentuk yang rapi, bagus dan utuh, pasti lebih disukai konsumen
dibandingkan dengan produk yang kurang rapih dan tidak utuh (Soekarto 1985).
Data hasil uji sensori skala hedonik untuk parameter penampakan
bakso ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 4.
Nilai organoleptik
6.80
6.70
6.60
6.50
6.40
6.30
6.20
6.10
6.00
5.90
5.80
5.70
6.67
6.53
6.43
6.20
6.07
A1B1
6.03
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi perlakuan
4.1.2.2 Warna
Warna merupakan salah satu sifat visual yang pertama kali dilihat oleh
konsumen. Warna mempunyai arti dan peranan yang sangat penting pada
komoditas pangan. Di antara sifat-sifat produk pangan yang paling cepat menarik
perhatian konsumen dan paling cepat memberi kesan disukai atau tidak disukai
adalah warna. Arti dan peranan warna pada produk pangan antara lain sebagai
perinci jenis, tanda-tanda kerusakan, petunjuk tingkat mutu dan pedoman proses
pengolahan (Soekarto 1985). Data hasil uji sensori skala hedonik untuk parameter
warna bakso ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 5.
7.00
6.70
Nilai organoleptik
6.80
6.60
6.70
6.80
6.57
6.50
6.40
6.20
6.07
6.00
5.80
5.60
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi perlakuan
pada saat pemasakan warna bahan pangan atau produk pangan dapat mengalami
perubahan, misalkan menjadi lebih cerah. Hal ini disebabkan oleh hilangnya
sebagian pigmen akibat pelepasan cairan sel pada saat pemasakan atau
pengolahan, sehingga intensitas warna semakin menurun.
4.1.2.3 Tekstur
Pada umumnya tekstur makanan ditentukan oleh kandungan air, lemak,
protein dan karbohidrat (Fellows 1992). Kisaran nilai uji sensori skala hedonik
untuk parameter tekstur berada pada 4,0-8,0 dengan spesifikasi produk biasa
sampai amat sangat suka. Nilai rata-rata tertinggi uji sensori tekstur terdapat
pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan
kitosan 0,1 %) sebesar 6,67 dengan spesifikasi produk sangat suka.
Karagenan dapat meningkatkan daya mengikat air sehingga dapat
memperbaiki tekstur produk (Keeton 2001). Selain itu kitosan memiliki sifat
reaktivitas kimia tinggi yang menyebabkan mampu mengikat air dan minyak
sehingga dapat digunakan sebagai pembentuk tekstur (Brzeski 1987). Sedangkan
nilai rata-rata terendah uji sensori tekstur terdapat pada bakso ikan perlakuan
A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 5,53. Hal ini
diduga karena penggunaan karagenan yang terlalu tinggi (konsentrasi 1%)
mengakibatkan panelis kurang menyukai tekstur bakso yang dihasilkan. Menurut
Keeton (2001), umumnya karagenan digunakan pada konsentrasi kurang dari 1 %.
Data hasil uji sensori skala hedonik parameter tekstur dapat dilihat pada
Gambar 6.
7.00
6.50
6.33
6.47
6.67
6.20
5.53
Nilai organoleptik
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi perlakuan
Berdasarkan
analisis
ragam
(Lampiran
9),
pengaruh
perlakuan
penambahan karagenan dan kitosan berbeda nyata terhadap produk bakso ikan
yang dihasilkan. Setelah dilakukan uji lanjut Tukey, perlakuan A1B1
(penambahan karagenan 0 % dan kitosan 0 %), A1B2 (penambahan
karagenan 0 % dan kitosan 0,1 %), A2B1 (penambahan karagenan 0,5 % dan
kitosan 0 %) dan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %)
berbeda nyata dengan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan
kitosan 0,1 %).
Penambahan karagenan dan kitosan memberikan pengaruh terhadap
tekstur bakso ikan yang dihasilkan. Hal ini diduga karena karagenan dan kitosan
memiliki kemampuan menghasilkan tekstur yang cukup baik. Penggunaan
karagenan dimaksudkan untuk memperbaiki tekstur dan kekenyalan gel produk
(Keeton 2001) dan kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental atau
pembentuk gel yang sangat baik karena berfungsi sebagai pengikat, penstabil dan
pembentuk tekstur (Brzeski 1987). Karagenan mampu melakukan interaksi
dengan makromolekul yang bermuatan misalnya protein, sehingga mempengaruhi
peningkatan
viskositas,
pembentukan
gel,
pengendapan
dan
stabilisasi
(Winarno 1990).
4.2.2.4 Aroma
Pembauan disebut juga pencicipan jarak jauh karena manusia dapat
mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium bau atau
aroma makanan tersebut dari jarak jauh (Soekarto 1985). Data uji sensori skala
hedonik aroma yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 7.
6.50
Nilai organoleptik
6.40
6.40
6.30
6.30
6.17
6.20
6.03
6.10
6.00
6.00
5.90
5.90
5.80
5.70
5.60
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi perlakuan
Hasil uji sensori skala hedonik terhadap aroma berada pada kisaran 4,0-7,0
dengan spesifikasi produk biasa sampai sangat suka. Nilai rata-rata tertinggi
uji sensori aroma terdapat pada bakso ikan perlakuan A1B1 (penambahan
karagenan 0 % dan
kitosan
suka. Nilai rata-rata terendah uji sensori aroma terdapat pada bakso ikan
perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 5,90.
Aroma pada produk bahan pangan sebagian besar berasal dari bumbu-bumbu
yang ditambahkan pada adonan. Semakin banyak bumbu yang ditambahkan maka
aroma yang dihasilkan semakin kuat (Zaika et al. 1978). Penggunaan
tepung karbohidrat yang terlalu banyak akan mengurangi aroma daging pada
bakso. Bakso seperti ini kurang disukai oleh konsumen (Purnomo 1990).
Berdasarkan
analisis
ragam
(Lampiran
9),
pengaruh
perlakuan
Nilai organoleptik
6.80
6.67
6.63
6.60
6.73
6.37
6.40
6.23
6.20
6.00
5.80
5.80
5.60
5.40
5.20
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi perlakuan
Kisaran nilai uji sensori skala hedonik terhadap rasa antara 5,0 8,0
dengan spesifikasi produk agak suka sampai amat sangat suka. Nilai rata-rata
tertinggi uji sensori rasa terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan
karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,73 dengan spesifikasi produk
sangat suka. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia,
konsentrasi dan interaksinya dengan komponen yang lain (Winarno 1997).
Nilai rata-rata terendah uji sensori rasa terdapat pada bakso ikan perlakuan A3B2
(penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0 %) sebesar 5,33. Hal ini diduga
karena terlalu tingginya konsentrasi karagenan yang diberikan pada bakso ikan
sehingga penerimaan panelis terhadap bakso tersebut menjadi turun. Menurut
Food Chemicals Codex (1980), karagenan merupakan tepung berwarna putih atau
kekuningan yang memiliki rasa getah (mucilaginous).
Berdasarkan
analisis
ragam
(Lampiran
9),
pengaruh
perlakuan
penambahan karagenan dan kitosan berbeda nyata terhadap produk bakso ikan
yang dihasilkan. Berdasarkan uji lanjut Tukey, perlakuan A1B1 (penambahan
karagenan 0 % dan kitosan 0 %), A2B1 (penambahan karagenan 0,5 % dan
kitosan 0 %), A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %)
berbeda nyata dengan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan
kitosan 0,1 %). Hal ini berarti bakso ikan perlakuan A1B1, A2B1, A2B2 memiliki
rasa yang berbeda dengan bakso ikan perlakuan A3B2.
4.1.3 Hasil analisis fisik
Analisis fisik yang dilakukan pada penelitian tahap I ini berupa uji lipat
dan uji gigit. Uji lipat dan uji gigit diuji secara subjektif dilakukan oleh 30 orang
panelis. Uji lipat dan gigit dilakukan untuk mengetahui karakteristik mutu gel dari
bakso ikan kurisi yang dihasilkan.
4.1.3.1 Uji lipat
Hasil uji lipat menunjukkan bahwa mutu gel terbaik dihasilkan oleh bakso
ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) yaitu
dengan nilai 5,0 yang artinya elastisitas gel produk bakso ikan sangat baik dan
mempunyai kemampuan untuk dilipat menjadi seperempat lingkaran. Hasil ini
menunjukkan bahwa perlakuan penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %
lebih baik dalam membentuk gel bakso ikan dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Nilai hasil uji lipat dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil uji lipat produk bakso ikan kurisi
Jenis sampel
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
mutu
4
4
4
5
4
4
Keterangan
Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran
Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran
Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran
Tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran
Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran
Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran
mudah retak bila dilipat. Hasil rata-rata uji lipat dapat dilihat pada Gambar 9.
4.80
4.60
4.40
4.20
4.00
3.80
3.60
4.73
4.40
4.60
4.53
4.47
4.10
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi karaginan
karagenan 1 % dan
(penambahan
karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) lebih rendah dibanding dengan perlakuan lain.
Hal ini diduga akibat penambahan karagenan yang terlalu tinggi dan juga
penambahan kitosan yang mengakibatkan bakso tersebut terlalu keras. Menurut
Keeton (2001), umumnya karagenan digunakan pada konsentrasi kurang dari 1 %
Tabel 7. Hasil uji gigit produk bakso ikan kurisi
Jenis sampel
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Mutu
7
7
7
7
6
4
Keterangan
Kekenyalan cukup kuat
Kekenyalan cukup kuat
Kekenyalan cukup kuat
Kekenyalan cukup kuat
Kekenyalan dapat diterima
Kekenyalan lemah
Sama halnya dengan uji lipat, nilai pada uji gigit bakso ikan dengan
perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) menunjukkan
nilai rata-rata tertinggi uji gigit yaitu sebesar 7,40 (Gambar 10) dengan sifat
kekenyalan cukup kuat. Sedangkan rata-rata terendah uji gigit terdapat pada
bakso ikan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %)
sebesar 5,97 dengan sifat kekenyalan dapat diterima. Hasil ini diduga akibat
tekstur bakso ikan yang dihasilkan cukup baik sehingga apabila di gigit produk
tersebut terasa kenyal. Selain itu dapat pula disebabkan karena produk bakso ikan
yang dihasilkan memiliki protein pembentuk gel (protein miofibril) sehingga
tekstur produk juga menjadi lebih baik. Protein miofibil memiliki kemampuan
mengikat air dan lemak sehingga berperan penting dalam pembentukan gel, proses
koagulasi dan peningkatan kekenyalan produk daging olahan (Wilson et al. 1981).
Hasil rata-rata uji gigit dapat dilihat pada Gambar 10.
Nilai u ji g ig i
8.00
7.23
7.27
7.23
7.40
6.53
6.00
5.97
4.00
2.00
0.00
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi perlakuan
yang dikandungnya. Oleh karena itu, kitosan dapat digunakan sebagai bahan
pengental atau pembentuk gel yang sangat baik sebagai pengikat, penstabil dan
pembentuk tekstur (Brzeski 1987). Pada umumnya, karagenan dapat berinteraksi
dengan
makromolekul
bermuatan,
misalnya
protein
sehingga
mampu
karagenan
dimaksudkan
untuk
memperbaiki
tekstur
dan
Berat daging
lumat (gr)
300
300
Rendemen
(%)
161,33
159
karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %. Hal ini terjadi karena kitosan memiliki sifat
molekul
higrokopis
dan
banyak
diketahui
dapat
menyerap
air
(Suptijah et al. 1992). Selain itu karagenan juga dapat meningkatkan daya
mengikat air (Keeton 2001).
4.2.2 Hasil uji sensori
Analisis sensori yang dilakukan pada penelitian tahap II ini adalah uji
skala hedonik terhadap warna, penampakan, tekstur, rasa dan aroma. Analisis
organoleptik adalah uji dengan menggunakan indera manusia, kadang-kadang
disebut uji sensorik karena penilaiannya didasarkan pada rangsangan sensori
organ indera (Soekarto 1985).
4.2.2.1 Penampakan
Penampakan merupakan karakteristik pertama yang dinilai panelis dalam
mengkonsumsi suatu produk (Soekarto 1995). Data hasil uji sensori skala hedonik
Nilai organoleptik
8,00
6,07
5,40
6,00
4,00
2,00
0,00
A2B2
STPP 0,15 %
Konsentrasi perlakuan
penampakan suatu produk karena memiliki daya mengikat air dan minyak yang
kuat serta tahan panas (Brzeski 1987).
4.2.2.2 Warna
Sifat produk yang paling menarik perhatian konsumen dan memberikan
kesan disukai atau tidak adalah warna (Soekarto 1995). Data hasil uji sensori skala
8,00
6,07
6,13
A2B2
STPP 0,15 %
6,00
4,00
2,00
0,00
Konsentrasi perlakuan
Gambar 13.
8,00
6,33
5,67
6,00
4,00
2,00
0,00
A2B2
STPP 0,15 %
Konsentrasi perlakuan
8,00
6,27
5,93
A2B2
STPP 0,15 %
6,00
4,00
2,00
0,00
Konsentrasi perlakuan
uji sensori
skala hedonik
Nilai organoleptik
Gambar 15.
8,00
6,00
5,93
6,07
A2B2
STPP 0,15 %
4,00
2,00
0,00
Konsentrasi perlakuan
(penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 5,93. Perbedaan tingkat
kesukaan panelis pada produk bakso ikan ini diduga karena rasa dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, konsentrasi dan interaksinya dengan
komponen yang lain (Winarno 1997).
4.2.3 Hasil analisis fisik
Analisis fisik yang dilakukan pada produk bakso ikan ini meliputi uji lipat,
gigit dan kekuatan gel.
4.2.3.1 Uji lipat
Nilai rata-rata uji lipat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan
karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
penambahan STPP 0,15 % yaitu sebesar 4,73. Hal ini diduga karena karagenan
dapat berikatan secara baik dengan protein dan air, sehingga
memiliki
kemampuan menahan tekanan dari luar dan kembali ke bentuk semula setelah
tekanan dihilangkan. Sifat ini disebut sifat kenyal. Nilai rata-rata terendah uji lipat
terdapat pada bakso perlakuan penambahan STPP 0,15 % sebesar 4,67.
Data hasil uji lipat bakso ikan penelitian tahap II dapat dilihat pada
Gambar 16.
Nilai u ji lip at
5,00
4,73
4,67
A2B2
STPP 0,15 %
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
Konsentrasi perlakuan
Nilai u ji g ig it
10,00
8,00
7,67
7,60
A2B2
STPP 0,15 %
6,00
4,00
2,00
0,00
Konsentrasi perlakuan
memperbaiki daya potong atau daya iris produk akhir daging olahan
(Keeton 2001).
Nilai rata-rata terendah uji gigit terdapat pada bakso ikan perlakuan
penambahan STPP 0,15 % sebesar 7,60. Menurunnya kandungan air dalam bakso
menyebabkan struktur matriks semakin kuat, sehingga kekerasan bakso semakin
meningkat dan daya potong atau kemampuan menggigit bakso juga semakin
meningkat. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Indrarmono (1987) yang
menyatakan bahwa kekerasan bakso ditentukan oleh tingkat kerapatan struktur
matriks yang terbentuk. Jika semakin tinggi kerapatan struktur matriks maka
semakin tinggi nilai kekerasan bakso.
ulangan
2
337,5
350
412,5
366,67
250
225
225
233,33
1
325
350
312,5
329,16
200
200
175
191,67
rata-rata
STPP 0.15%
rata-rata
3
287,5
312,5
325
308,33
200
287,5
250
212,5
rata-rata
334.72
212.5
Secara umum, kekuatan gel dari setiap ulangan mengalami fluktuasi nilai
dalam tiap perlakuan. Nilai rata-rata tertinggi uji kekuatan gel terdapat pada bakso
ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan
kitosan 0.1 %) sebesar
perlakuan
penambahan STPP 0,15 % sebesar 212,5 g cm. Data hasil uji kekuatan gel bakso
K e k u a ta n g e l (g c m )
400,00
334,72
300,00
212,50
200,00
100,00
0,00
A2B2
STPP 0,15 %
Konsentrasi perlakuan
Gambar 18. Histogram uji kekuatan gel bakso ikan penelitian tahap II
Bakso dengan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan
0,1 %) memiliki nilai rata-rata kekuatan gel tertinggi. Hal ini diduga karena
kitosan mampu mengikat air dan lemak. Oleh karena itu kitosan dapat digunakan
sebagai pembentuk gel yang sangat baik (Brzeski 1987). Selain itu juga
disebabkan oleh interaksi antara karagenan dan protein pada daging ikan yang
berpengaruh pada proses pembentukan gel. Menurut Winarno (1990), karagenan
mampu melakukan interaksi dengan makromolekul yang bermuatan, misalnya
Kad ar air (% )
80,00
66,95
68,76
A2B2
STPP 0,15 %
60,00
40,00
20,00
0,00
Konsentrasi perlakuan
Gambar 19. Histogram hasil uji proksimat kadar air penelitian tahap II
Nilai rata-rata tertinggi kadar air terdapat pada bakso ikan perlakuan
penambahan STPP 0,15 % sebesar 68,76 %. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %). Nilai
rata-rata
kadar
air
bakso
ikan
pada
perlakuan
A2B2
(penambahan
karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) lebih rendah dibandingkan dengan bakso ikan
perlakuan penambahan STPP 0,15%. Hal ini diduga karena kitosan memiliki sifat
reaktivitas kimia tinggi yang menyebabkan mampu mengikat air dan minyak
(Brzeski 1987). Selain itu penambahan kitosan dapat menghambat aktivitas kerja
mikroorganisme dalam menguraikan protein yang menyebabkan pembebasan air
terikat dari suatu produk. Jika kadar air pada produk bakso ikan terlalu tinggi akan
mengurangi keawetan produk karena bakteri dan jamur mudah berkembang biak
(Fardiaz 1989).
4.2.4.2 Kadar abu
Sebagian besar bahan makanan (96 %) terdiri dari bahan organik dan air.
Dalam proses pembakaran sampai suhu 600C bahan organik mudah terbakar,
sedangkan zat anorganik tidak terbakar. Zat anorganik yang tidak terbakar disebut
abu. Abu yang terbentuk berwarna abu-abu, berpartikel halus dan mudah
dilarutkan (Winarno 1997).
Data hasil uji proksimat kadar abu yang diperoleh dapat dilihat pada
Gambar 20.
Kad ar ab u (% )
2,00
1,63
1,58
A2B2
STPP 0,15 %
1,50
1,00
0,50
0,00
Konsentrasi perlakuan
Gambar 20. Histogram hasil uji proksimat kadar abu penelitian tahap II
Nilai rata-rata tertinggi kadar abu terdapat pada bakso ikan perlakuan
A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 1,63.
Banyaknnya karagenan dan kitosan yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan
akan mempengaruhi besar kecilnya kadar abu. Hal ini diduga karena sifat kitosan
yang memiliki kemampuan untuk menarik ion-ion logam yang tergolong mineral
(Knorr 1984). Selain itu diduga akibat adanya unsur mineral yang terkandung
dalam kitosan yang berupa CaCO3 dan Ca(PO4)2 yang tidak larut dalam air
(Suptijah et al. 2002). Semakin tinggi karagenan yang diberikan maka kadar abu
produk akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena rumput laut memberikan
sumbangan zat mineral yang cukup tinggi. Rumput laut Eucheuma cottonii
mengandung mineral antara lain kalium, kalsium, fosfor, zat besi dan iodium
(Arasaki et al. 1984 diacu dalam Anggadiredja 1992).
K a d a r p ro te in (% )
12,00
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
10,85
A2B2
9,92
STPP 0,15 %
Konsentrasi perlakuan
gugu amina kitosan yang ikut terhitung sebagai kadar N total, yang dugunakan
untuk menentukan kadar protein produk (Knorr 1992).
4.2.4.4 Kadar lemak
Lemak merupakan pangan yang berenergi tinggi, karena setiap gramnya
mengandung lebih banyak energi daripada karbohidrat atau protein (Buckle
1987). Kadar lemak terutama bergantung pada musim, letak geografis, pakan yang
tersedia, umur dan jenis kelamin serta faktor yang tidak diketahui lain
(Harris dan Karmas 1989).
Berdasarkan Gambar 22, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata tertinggi kadar
lemak terdapat pada bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % sebesar
0,24 %, sedangkan nilai rata-rata terendah kadar lemak terdapat pada bakso ikan
perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1) yaitu sebesar
0,16 %. Kerusakan bahan pangan berlemak disebabkan oleh absorbsi bau oleh
lemak, aktivitas enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak, aktivitas
mikroba, oksidasi oleh oksigen, kombinasi dari dua atau lebih penyebab
kerusakan tersebut (Ketaren 1986). Rendahnya kadar lemak diduga karena kitosan
memiliki daya pengikat minyak yang kuat dan tahan panas (Breszki 1987). Data
K a d a r le m a k (% )
hasil uji proksimat kadar lemak yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 22.
0,30
0,25
0,20
0,15
0,10
0,05
0,00
0,24
0,16
A2B2
STPP 0,15 %
Konsentrasi perlakuan
(Winarno 1992). Gambar 23 merupakan hasil uji kadar karbohidrat bakso ikan
K ad ar k arb o h id rat (% )
yang dihasilkan.
25,00
20,41
19,49
A2B2
STPP 0,15 %
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
Konsentrasi perlakuan
Gambar
23
dapat
dilihat
bahwa
nilai
rata-rata
tertinggi
(penambahan
sedangkan rata-rata
terendah kadar karbohidrat terdapat pada bakso ikan perlakuan STPP 0,15 %
sebesar 19,49.
4.2.4.6 Nilai pH
Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui sifat suatu produk pangan
apakah bersifat asam, netral atau basa. Pengamatan terhadap pH adonan bakso
penting dilakukan karena perubahan pH bakso ikan dapat menentukan kualitas
bakso yang dihasilkan. Nilai pH selama penyimpanan suhu dingin dan beku dapat
dilihat pada Tabel 10 dan Tabel 11.
Tabel 10. Nilai pH selama penyimpanan suhu dingin
Minggu ke0
1
2
3
A2B2
6,67
6,12
5,94
5,68
STPP 0,15 %
6,81
6,48
6,33
5,56
mengalami penurunan hingga minggu ke-3 menjadi 5,68. Nilai pH bakso ikan
perlakuan penambahan STPP 0,15 % pada minggu ke-0 sebesar 6,81 dan terus
mengalami penurunan hingga minggu ke-3 menjadi 5,56. Nilai pH selama
penyimpanan suhu dingin bakso ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 24.
8
7
Nilai pH
6
5
4
3
2
1
0
0
Minggu keA2B2
STPP 0,15 %
A2B2
6,67
6,67
6,65
6,63
6,61
6,60
6,58
6,51
6,42
STPP 0,15 %
6,81
6,78
6,76
6,71
6,69
6,62
6,55
6,49
6,38
8
7
Nilai pH
6
5
4
3
2
1
0
0
Minggu keA2B2
STPP 0,15 %
Tabel 12. Jumlah koloni mikroorganisme pada bakso ikan kurisi selama
penyimpanan suhu beku
Lama penyimpanan
Perlakuan
A2B2
(koloni/cawan)
5 X 101
1,8 X 102
2,1 X 102
2,9 X 102
4,05 X 102
5,05 x 102
1,3 X 103
1,5 X 103
2,65 X 103
(minggu)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Keterangan : A2B2
STPP 0,15 %
STPP 0,15 %
(koloni/cawan)
10 X 101
1,92 X 102
2,8 X 102
3,25 X 102
3,55 X 102
9 x 102
1,45 X 103
1,57 X 104
2,06 X 104
Logaritmik bakter
5.00
4.50
4.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0
Minggu keA2B2
Gambar 26.
Jumlah
STPP 0,15 %
koloni mikroorganisme
perlakuan A2B2
perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) dari minggu
ke-0 sampai minggu ke-4 cenderung stabil tetapi pada minggu ke-5 sampai
minggu ke-8 cenderung meningkat (Gambar 26).
Pertumbuhan mikroorganisme pada bakso ikan dengan perlakuan
penambahan STPP 0,15 % selama penyimpanan suhu beku dari minggu ke-0
sampai minggu ke-4 cenderung stabil tetapi pada minggu ke-5 sampai minggu
ke-8 cenderung meningkat (Gambar 26). Secara umum kenaikan jumlah koloni
bakteri yang terjadi selama penyimpanan, karena pertumbuhan mikroorganisme
ini dipengaruhi oleh waktu (Gaman dan Sherington 1992).
Tabel 13. Jumlah koloni mikroorganisme bakso ikan kurisi selama
penyimpanan suhu dingin
Lama penyimpanan
(minggu)
0
1
2
3
Jumlah
Perlakuan
A2B2
(koloni/cawan)
5 X 101
3,15 X 102
1,49 X 103
2,1 X 104
koloni mikroorganisme
STPP 0,15 %
(koloni/cawan)
10 X 101
3,0 X 103
3,35 X 103
2,19 X 104
perlakuan A2B2
kitosan 0,1 %. Hal ini terjadi karena kitosan mampu menghambat kerja bakteri
pembusuk. Penggunaan kitosan efektif dalam menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Mekanisme kerja larutan kitosan yang bersifat bakteriostatik
diduga hanya menghambat metabolisme kerja sel bakteri sehingga dapat
menghambat pertumbuhannya (Hardjito 2006). Laju pertumbuhan bakteri selama
penyimpanan suhu beku bakso ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 27.
Logaritmik bakter
5.00
4.50
4.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0
Minggu keA2B2
STPP 0,15 %
Gambar 27. Grafik logaritmik bakteri pada bakso ikan kurisi selama
penyimpanan suhu dingin
Menurut Hadwiger dan Adams (1978), Hadwiger dan Loschke (1981)
diacu dalam Hardjito (2006), kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengawet
karena sifat-sifat yang dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme perusak dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga
terjadi interaksi yang minimal antara produk dan lingkungannya. Berbagai
hipotesa sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan
sebagai pengawet adalah kitosan memiliki afinitas yang sangat kuat dengan DNA
mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu
rmRNA dan sintesis protein.
Dari Tabel 12 dan Tabel 13, dapat dilihat perbedaan lama penyimpanan
produk bakso ikan baik pada perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan
kitosan 0,1 %) dan perlakuan penambahan STPP 0,15 %. Bakso ikan kurisi yang
disimpan pada suhu beku masih layak dikonsumsi hingga minggu ke-8, karena
memiliki angka lempeng total yang lebih rendah dari angka lempeng total
menurut SNI 01-3819-1995 yaitu maksimal 1 x 107 koloni/g. Pada minggu ke-8
jumlah
mikroorganisme
bakso
ikan
perlakuan
A2B2
(penambahan
karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 2,65 x 104 koloni/g, dan jumlah
mikroorganisme bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % pada minggu
ke-8 sebesar 2,06 x 106 koloni/g.
Sedangkan jumlah mikroorganisme bakso ikan yang disimpan pada suhu
dingin masih layak dikonsumsi hingga minggu ke-3 karena memiliki angka
lempeng total yang lebih rendah dari angka lempeng total menurut
SNI 01-3819-1995 yaitu maksimal 1 x 107 koloni/g. Bakso ikan perlakuan A2B2
(penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) mempunyai jumlah
mikroorganisme pada minggu ke-3 sebesar 2,1 x 106 koloni/g, dan jumlah
mikroorganisme bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % pada minggu
ke-3 sebesar 2,19 x 106 koloni/g.
Mikroorganisme yang terdapat pada bakso ikan selama penyimpanan suhu
dingin lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan penyimpanan suhu beku, hal ini
terjadi karena penggunaan suhu beku (suhu 0 C atau lebih rendah) dapat
menghambat pertumbuhan dan kegiatan metabolisme mikroorganisme untuk
jangka waktu lama (Pelczar dan Chan 1988).
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tahap I, diperoleh produk terpilih yaitu bakso
ikan dengan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %).
Pada
penelitian
karagenan
tahap
II,
bakso
ikan
perlakuan
A2B2
(penambahan
pada
A2B2 (penambahan
karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 4,73. Nilai rata-rata uji gigit pada
bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %)
sebesar 7,67. Nilai rata-rata uji kekuatan gel pada bakso ikan perlakuan A2B2
(penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0.1 %) sebesar 334,72 g cm.
Nilai rata-rata kadar air pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan
karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 66,95 %. Nilai rata-rata kadar abu
terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan
kitosan 0,1 %) sebesar 1,63. Nilai rata-rata kadar protein pada bakso ikan
perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar
10,85 %. Nilai rata-rata kadar lemak pada bakso ikan perlakuan A2B2
(penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1) sebesar 0,16 %. Nilai rata-rata
kadar
karbohidrat
pada
bakso
ikan
perlakuan
A2B2
(penambahan
dingin hingga minggu ke-3 sebesar 5,68 dan nilai pH pada penyimpanan suhu
beku sebesar 6,42.
Hasil analisis mikrobiologi bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan
karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) selama penyimpanan suhu dingin dan suhu
beku masih di bawah SNI 01-3819-1995. Pada penyimpanan suhu dingin jumlah
mikroorganisme hingga minggu ke-3 sebesar 2,1x 104 koloni/cawan dan pada
penyimpanan suhu beku hingga minggu ke-8 sebesar 2,65x103 koloni/cawan.
Berdasarkan uji mikrobiologi pada produk bakso ikan dapat disimpulkan bahwa
penggunaan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 % dapat menghambat aktivitas kerja
mikroorganisme selama penyimpanan.
5.2 Saran
Disarankan untuk melakukan pengujian lebih lanjut terhadap (1) elastisitas
bakso ikan kurisi selama penyimpanan suhu dingin dan beku, (2) derajat putih
bakso
ikan
kurisi
selama
penyimpanan
suhu
dingin
dan
beku,
dan
(3) uji mikrobiologi terhadap kapang maupun khamir selama penyimpanan suhu
dingin dan beku.
DAFTAR PUSTAKA
Anang. 2006. Kenalkan Pengenyal Bakso. www. Suaramerdeka.com [16 mei
2006].
Anggadiredja, TJ. 1992. Etnobotany and Etnopharmacology Study of Indonesian
Marine Macro Algae. Jakarta: Study Report BPP Technology.
Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor : Pusat Kajian
Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Anityoningrum H. 2005. Pengaruh edible coating kitosan terhadap mutu
organoleptik ikan asin kering di Muara Angke, Jakarta Utara [skripsi].
Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of
Analysis. Ed ke-14. Washington Dc: Association of Official analytical
Chemist Inc.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Hantu Formalin
Gentayangan. http://suarapembaharuan.com [5 Juni 2007].
Brzeski MM. 1987. Chitin and chitosan putting waste to good use. Infofish Vol 5.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995a. Standar Nasional Indonesia.
SNI 01-3819-1995. Bakso Ikan. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995b. Standar Nasional Indonesia.
SNI 01-0222-1995. Bakso Ikan. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.
Buckle, KA, Edward RA, Fleet GH, Wootton M. 1987. Ilmu Pangan.Di dalam:
Purnomo H, Adiono, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Chapman, VJ dan Chapman DJ. 1980. Seaweed and Their Uses. New York:
Chapman and Hall in Assosiation with Metheun, Inc.
Codex Alimentarius Abridged Version. 1990. Joint FAO/WHO Food Standarts
Programme Codex Alimentarius commission Food Aditive no. Codex
452 a Food an Agriculture Organization of the United Nation World
health Organization.
Damuningrum AA. 2002. Mempelajari karakteristik ikan nila (Oreochromis
niloticus) dengan penambahan bubuk flavor dari ekstrak kepala udang
windu [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
F.
2006.
Ikan
Menyehatkan
http://www.indonesia.go.id. [23 Januari 2008].
dan
Jakarta:
Menverdaskan.
Zaika LL, Tatiana EZ, Palumbo SA and Smith SL. 1978. Effect of spices and salt
on fermentation of Lebanon bologna-type sausage. J. Food Sci. 43:
186-189.
Zhou A, Benjakul S, Pan K, Ging J, Liu X. 2006. Cryoprotective effects of
trehalose and sodium lactate on tilapia (sarotherodon nilotica) surimi
during frozen storage. Journal Food Chemistry. 96:96-103.
Lampiran 1. Tabel scoresheet uji organoleptik skala hedonic bakso ikan kurisi
(Nemipterus nematophorus)
SCORESHEET ORGANOLEPTIK SKALA HEDONIK
Nomor
Tanggal
Panelis
Nama Produk
Instruksi
:
:
:
: Bakso ikan kurisi (Nemapterus nematophorus)
: Nyatakan penilaian anda pada kolom yang tersedia
kode
sampel
301
speisifikasi
101
201
401
501
601
Aroma
Rasa
Warna
Tekstur
Penampakan
Sumber : Soekarto (1985)
Ket :
9. amat sangat suka sekali
8. amat sangat suka
7. sangat suka
6. suka
5. agak suka
4. biasa
3. agak tidak suka
2. tidak suka
1. sangat tidak suka
:
:
: Bakso ikan kurisi (Nemapterus nematophorus)
: Beri tanda ( ) pada kolom yang sesuai dengan pilihan anda
penilaian
101
5 = tidak retak jika dilipat
seperempat lingkaran
4 = tidak retak jika dilipat
setengah lingkaran
3= retak jika dilipat setengah
lingkaran
2 = putus menjadi dua bagian
jika
jika dilipat setengah lingkaran
1 = pecah menjadi bagianbagian
kecil jika ditekan dengan jarijari
tangan
sumber :Suzuki (1981)
201
kode sampel
301
401
501
601
:
:
: Bakso ikan kurisi (Nemapterus nematophorus)
: Beri tanda ( ) pada kolom yang sesuai dengan pilihan anda
sifat kekenyalan
101
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
201
kode
sampel
301
401
501
601
panelis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
jumlah
rata-rata
Penampakan
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
7
7
5
6
6
6
7
6
7
6
6
5
9
7
7
6
8
7
9
6
5
8
7
5
5
7
7
7
6
5
195
6.50
7
7
7
7
7
7
7
7
7
5
6
5
8
7
7
7
7
8
8
7
5
6
6
6
6
7
7
7
7
6
201
6.70
7
6
7
7
7
7
6
7
8
6
7
7
8
7
7
6
8
7
7
6
5
6
7
7
7
6
7
7
5
6
201
6.70
8
7
6
7
7
8
6
7
6
7
6
8
7
8
7
7
6
7
7
6
5
7
8
8
6
8
6
7
5
6
204
6.80
7
6
7
7
7
6
6
7
8
5
6
7
8
7
6
6
8
8
5
7
5
7
6
7
6
7
7
7
5
6
197
6.57
7
7
5
7
7
7
6
7
6
5
6
5
7
8
6
5
7
7
5
6
5
5
5
5
5
7
7
7
5
5
182
6.07
7
7
5
6
6
5
7
5
6
7
6
6
7
6
7
6
7
6
6
6
5
7
6
5
6
7
5
7
5
5
182
6.07
7
6
7
7
7
7
6
6
7
6
6
5
6
7
7
6
8
8
8
5
5
6
6
6
6
7
6
7
6
6
193
6.43
7
6
7
7
6
6
6
6
8
6
7
7
7
8
7
6
7
7
7
5
5
6
7
6
7
6
7
7
7
5
196
6.53
7
7
7
7
7
7
7
7
6
6
6
7
7
8
7
7
7
7
7
7
5
6
7
6
6
7
7
7
6
5
200
6.67
7
5
6
6
6
6
6
7
7
5
6
7
7
7
6
6
7
6
5
5
5
7
6
7
6
7
7
7
6
5
186
6.20
7
6
5
7
6
6
6
7
6
5
6
5
7
7
6
5
7
8
5
5
5
6
5
5
5
7
7
7
6
6
181
6.03
Keterangan :
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
panelis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
jumlah
rata-rata
Aroma
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
7
7
5
6
5
6
7
5
6
7
6
6
8
7
7
7
8
6
7
6
6
8
6
6
7
6
8
7
6
6
195
6.50
7
6
6
7
7
7
7
5
7
6
5
5
7
8
7
6
8
6
6
5
6
7
5
6
6
6
8
7
5
6
190
6.33
7
5
8
7
6
5
7
5
8
6
6
7
5
8
6
7
5
6
5
5
7
7
6
7
7
7
8
8
8
5
194
6.47
7
6
7
7
7
7
8
7
6
7
7
7
8
7
7
5
6
7
6
9
6
6
6
7
6
6
6
7
7
5
200
6.67
7
6
6
5
6
5
6
6
7
5
5
7
7
6
6
6
7
7
5
5
6
7
6
7
5
8
8
7
7
5
186
6.20
7
7
4
4
6
4
4
7
5
4
5
5
4
6
6
5
6
6
4
6
5
8
5
5
5
8
5
6
8
6
166
5.53
7
6
5
7
5
6
6
6
6
7
6
6
7
7
7
7
8
5
8
6
7
7
5
5
6
7
8
7
7
5
192
6.40
7
5
5
7
6
6
6
7
7
6
6
6
7
7
6
7
6
5
6
5
7
6
5
5
6
7
8
7
6
5
185
6.17
7
5
7
7
7
6
7
7
8
6
6
6
6
7
6
6
6
6
5
5
7
5
5
5
7
7
8
7
7
5
189
6.30
7
6
6
7
7
7
7
5
6
6
5
7
6
7
7
5
5
5
6
5
7
5
5
5
6
6
7
7
5
6
181
6.03
7
5
5
5
5
7
6
5
7
6
5
7
7
6
6
6
7
7
5
6
6
7
5
5
5
6
7
7
6
6
180
6.00
7
6
6
5
6
6
6
7
5
5
5
6
5
6
6
5
5
5
5
6
7
6
5
5
6
6
8
7
8
6
177
5.90
Keterangan :
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
panelis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
jumlah
rata-rata
8
7
5
6
6
6
7
6
6
7
7
5
8
8
7
6
8
5
8
6
7
8
6
5
6
7
7
8
7
6
199
6.63
6
6
7
6
6
7
6
5
7
6
6
6
7
8
6
7
7
5
7
6
7
7
6
6
6
6
6
7
8
5
191
6.37
8
6
8
7
5
6
6
5
8
6
6
6
8
8
7
5
8
5
7
6
7
7
6
5
7
7
8
8
7
7
200
6.67
7
6
8
6
7
7
6
7
6
8
5
7
6
7
8
6
7
5
8
6
7
7
8
6
7
7
6
8
6
7
202
6.73
7
5
7
5
5
7
6
6
7
5
5
7
8
7
6
6
8
7
5
7
6
5
5
6
5
7
8
8
5
6
187
6.23
Keterangan :
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
7
7
7
5
8
7
5
5
5
5
5
6
6
6
6
5
5
5
5
5
5
7
5
5
6
8
5
7
5
6
174
5.80
Keterangan :
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
A1B2
Gigit
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
6
6
7
8
7
7
8
8
7
8
7
7
8
7
7
7
8
6
8
6
8
6
8
8
7
6
8
8
8
7
217
6
6
8
7
8
8
8
6
7
8
7
6
8
8
8
6
8
8
7
6
7
8
8
6
6
9
8
8
8
6
218
7
8
8
7
8
8
8
8
8
7
7
6
6
7
7
6
8
8
7
6
7
6
8
7
8
8
8
6
7
7
217
8
7
8
6
7
6
8
8
7
7
6
7
7
6
7
7
8
7
6
7
8
8
8
8
7
7
8
7
8
8
217
8
7
7
3
6
6
7
8
7
6
6
8
7
7
6
6
8
6
6
6
8
6
7
6
6
6
8
6
6
6
196
6
6
6
3
6
6
6
6
6
6
6
7
6
6
6
6
7
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
179
7.23
7.27
7.23
7.40
6.53
5.97
Keterangan :
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
A1B2
A2B1
Lipat
A2B2
A3B1
A3B2
5
5
4
5
5
3
3
4
5
5
5
4
5
5
3
5
5
4
5
4
5
3
4
3
5
5
5
3
5
5
132
5
5
5
5
5
4
5
5
5
4
5
4
5
4
3
4
5
4
5
5
5
3
3
4
5
5
5
3
5
4
134
4
5
5
4
5
5
5
5
5
5
5
4
5
5
4
5
3
4
4
5
4
5
5
3
5
3
5
5
5
4
136
5
5
5
5
5
5
5
5
5
4
5
5
4
4
5
5
4
5
4
5
4
5
4
5
5
5
5
4
5
5
142
5
5
3
3
5
5
5
5
5
4
5
4
5
4
5
5
5
4
5
5
5
5
3
3
5
5
5
5
5
5
138
5
5
4
3
3
3
5
5
3
4
5
4
4
4
5
5
5
3
3
5
5
3
3
3
5
5
4
4
3
5
123
4.40
4.47
4.53
4.73
4.60
4.10
Lampiran 9. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey organoleptik skala hedonik
penelitian tahap I
Test Statistics(a,b)
Warna
Tekstur Penampakan
Chi-Square
10.816
18.740
15.327
df
5
5
5
Asymp. Sig.
.055
.002
.009
a Kruskal Wallis Test
b Grouping Variable: Perlakuan
Aroma
6.966
5
.223
Penampakan
Tukey HSD
Subset for alpha =
Perlakuan
N
.05
1
2
A3B2
30
6.03
A1B1
30
6.07
A3B1
30
6.20
6.20
A1B2
30
6.43
6.43
A2B1
30
6.53
6.53
A2B2
30
6.67
Sig.
.140
.198
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
Rasa
18.208
5
.003
Rasa
Tukey HSD
Subset for alpha =
.05
1
2
A3B2
30
5.80
A3B1
30
6.23
6.23
A1B2
30
6.37
6.37
A1B1
30
6.63
A2B1
30
6.67
A2B2
30
6.73
Sig.
.212
.345
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
Perlakuan
Lampiran 10. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey uji lipat dan gigit penelitian
pendahuluan
Test Statistics(a,b)
Uji
lipat Uji gigit
Chi-Square
10.6
51.047
10
df
5
5
Asymp. Sig.
.060
.000
a Kruskal Wallis Test
b Grouping Variable: Perlakuan
Uji gigit
Tukey HSD
Subset for alpha =
.05
1
2
A3B2
30
5.97
A3B1
30
6.53
A1B1
30
7.23
A2B1
30
7.23
A2B2
30
7.23
A1B2
30
7.27
Sig.
.089
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
Perlakuan
Lampiran 10. Rekapitulasi data hasil uji organoleptik skala hedonik penelitian tahap II
panelis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Jumlah
Rata-rata
Warna
A2B2
7
6
6
7
6
6
4
7
4
7
6
6
5
7
7
91
6.07
STPP
0,15 %
7
6
6
7
6
6
5
6
4
7
6
6
5
8
7
92
6.13
tekstur
A2B2
5
6
5
8
6
6
7
8
7
7
6
6
5
7
6
95
6.33
STPP
0,15 %
7
6
6
7
6
6
4
6
4
4
6
5
5
7
6
85
5.67
Keterangan :
A2B2 : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1%
rasa
A2B2
6
5
6
7
6
6
4
6
7
5
5
6
6
7
7
89
5.93
STPP
0,15 %
7
5
5
7
7
6
5
6
5
5
7
6
6
7
7
91
6.07
Penampakan
A2B2
STPP
0,15 %
7
6
5
5
6
6
7
7
6
6
6
6
6
4
5
4
7
4
6
4
6
6
6
5
5
5
7
7
6
6
91
81
6.07
5.4
Aroma
A2B2
STPP
0,15 %
5
7
5
5
6
5
7
6
9
9
6
6
5
5
7
6
7
4
5
5
6
6
6
6
6
5
7
7
7
7
94
89
6.27
5.93
Lampiran 11. Rekapitulasi data hasil uji lipat dan gigit penelitian tahap II
panelis
A2B2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Jumlah
Ratarata
lipat
STPP
0,15 %
A2B2
gigit
STPP
0,15 %
4
5
5
5
5
5
4
4
5
4
5
5
5
5
5
71
5
5
5
5
5
5
4
3
5
3
5
5
5
5
5
70
6
7
9
9
6
6
8
9
8
8
8
7
8
9
7
115
7
7
8
8
6
6
8
6
8
7
9
7
9
9
9
114
4.73
4.67
7.67
7.60
Keterangan :
A2B2 : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %
ulangan
1
rata-rata
2
rata-rata
3
rata-rata
1
rata-rata
2
rata-rata
3
rata-rata
1
rata-rata
2
rata-rata
3
rata-rata
1
rata-rata
2
rata-rata
3
rata-rata
kadar karbohidrat
(%)
1
rata-rata
2
rata-rata
3
rata-rata
A2B2
67.572
66.1467
66.86
65.99
65.72
65.855
67.9437
68.329
68.14
1.7138
1.6289
1.67
1.5927
1.5338
1.56325
1.6705
1.6268
1.65
10.5462
10.7589
10.65255
10.5498
10.4589
10.50435
11.7243
11.0633
11.39
0.1891
0.1914
0.19
0.2671
0.2546
0.26
0.017
0.0239
0.02
perlakuan
STPP
0.15%
69.3487
69.5698
69.45925
69.881
66.7718
68.31
68.4893
68.5505
68.52
1.4289
1.4793
1.45
1.4314
1.3999
1.42
1.8644
1.8666
1.87
8.9652
9.2014
9.0833
10.5687
10.4791
10.5239
10.2815
10.033
10.16
0.2258
0.2191
0.22
0.1837
0.2048
0.19
0.3029
0.3281
0.32
27.4409
28.6652
28.0531
21.6004
22.0327
21.81655
20.33888
20.26075
20.29981
25.927
26.3221
26.1246
16.868
20.4294
18.6487
20.234525
20.19455
20.2145375
Lampiran 13. Rekapitulasi data hasil uji kekuatan gel penelitian tahap II
jenis sampel
A2B2
rata-rata
STPP 0,15 %
rata-rata
1
325
350
312.5
329.1667
200
200
175
191.67
ulangan
2
337.5
350
412.5
366.67
250
225
225
233.33
3
287.5
312.5
325
308.33
200
287.5
250
212.5
rata-rata
334.7222
212.5
Keterangan :
A2B2 : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %
Lampiran 14. Rekapitulasi data hasil uji pH penyimpanan suhu chilling penelitian
tahap II
Minggu ke0
1
2
3
A2B2
6,67
6,12
5,94
5,68
STPP 0,15 %
6,81
6,48
6,33
5,56
A2B2
6,67
6,67
6,65
6,63
6,61
6,60
6,58
6,51
6,42
STPP 0,15 %
6,81
6,78
6,76
6,71
6,69
6,62
6,55
6,49
6,38