34
35
Samudera Hindia dan lautan Indonesia. Bahan baku yang diperoleh berasal dari
transit atau pemasok (supplier) di Ujung Penjaringan, komplek pelabuhan Nizam
Zachman. Menurut Fadly (2009), proses penerimaan bahan baku yang dilakukan
di transit Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman adalah sebagai berikut:
2) Pembongkaran
Pembongkaran ikan dari palka kapal dilakukan setelah kapal merapat ke
tempat pembongkaran. Proses pembongkaran fresh tuna dilakukan pada pagi hari
sekitar jam 09.00 WIB sampai dengan 14.00 WIB. Pembongkaran ikan tuna
dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan alat katrol dan tali tambang.
Proses pengangkatan ikan satu persatu dari palka kapal dan dipindahkan ke bagian
geladak, kemudian ikan disemprot dengan air bersih.
peluncur. Fasilitas ini untuk melindungi ikan agar tidak terkena sinar matahari
langsung, karena jarak kapal yang bersandar di dermaga dengan tempat transit
cukup jauh, yaitu ±100 meter. Ikan yang sudah dikeluarkan dari palka diangkat ke
geladak, diangkut satu persatu ke papan peluncur. Penarikan dilakukan oleh dua
orang, satu orang bertugas menarik ikan ke papan peluncur dan satu orang lagi
mendorong ikan masuk ke dalam ruangan transit.
4) Sortasi (Seleksi)
Sortasi ikan ditujukan untuk mengklasifikasi ikan tuna segar yang
memenuhi persyaratan kualitas ekspor. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
perbedaan tersebut adalah adanya perbedaan waktu kematian, cara kematian, cara
penanganan, sanitasi, lama melaut serta penerapan rantai dingin. Proses sortasi
dilakukan secara organoleptik (penampakan, kulit, mata, tekstur dan kekenyalan
daging, serta warna daging). Penilaian organoleptik tekstur, kekenyalan, serta
warna, dilakukan terhadap sampel daging ikan yang diambil dari bagian ekor dan
belakang sirip ventral. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kerusakan fisik
terhadap ikan tuna yang akan di ekspor. Kualitas mutu ikan tuna pada tempat
transit dibedakan menjadi empat kategori, yaitu grade/kualitas A, B, C, dan D.
Kegiatan sortasi dilakukan oleh seorang pemeriksa (checker) dari
perusahaan yang akan membeli ikan tuna dengan menggunakan alat coring tube
(Lampiran 5) yaitu semacam alat yang berbentuk batang, tajam dan terbuat dari
besi. Pengambilan sampel dilakukan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip
ventral atau ekor pada sisi kanan dan kiri) dengan cara menusukan coring tube ke
tubuh ikan, sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna. Sampel daging ikan
tuna selanjutnya dilakukan pengujian organoleptik.
menggunakan bahan dasar air PDAM yang telah sesuai standar yang ditetapkan
Permenkes RI No.907/MENKES/SK/VII/2002.
Klorin digunakan sebagai desinfektan yang mempunyai kemampuan untuk
membunuh mikroba (Rachmawati 2009). Desinfektan ini bekerja secara cepat
terhadap sejumlah mikroorganisme dan harganya yang relatif murah (Thaheer
2005). Klorin yang ditambahkan ke dalam air digunakan untuk berbagai macam
keperluan. Konsentrasi klorin yang digunakan berbeda-beda sesuai dengan
keperluan (Tabel 7).
a) Pembongkaran
Proses pembongkaran dilakukan di ruang penerimaan. Kendaraan yang
digunakan untuk mengangkut tuna segar utuh ke unit pengolahan adalah truk
berisolasi dengan suhu -20oC yang dapat mempertahankankan suhu dibawah 3oC
dengan kapasitas ikan tuna 500-750 kg. Wadah yang digunakan untuk menyimpan
ikan tuna adalah bak penyimpanan ikan tuna di dalam ruangan penyimpanan
sementara. Pembongkaran ikan tuna dilakukan secara cepat dan hati-hati. Suhu
ikan tuna dipertahankan di bawah 3oC dalam rantai dingin untuk menjaga ikan
tuna tetap segar dan mencegah kemunduran mutu (Purwaningsih 1995).
4.2.2 Pencucian
Menurut Hadiwiyanto (1994), perlakuan pencucian ditujukan untuk
menghilangkan kotoran, disamping itu pencucian menggunakan air bersih dapat
mengurangi jumlah bakteri yang ada. Teknik pencucian ikan tuna yang dilakukan
di PT. Awindo Internasional adalah dengan cara menyiram ikan tuna dengan air
dingin dengan suhu 10oC yang mengandung klorin 50 ppm dan membersihkan
seluruh bagian tubuh ikan tuna. Air pencucian yang digunakan sudah memenuhi
persyaratan umum sesuai dengan persyaratan air minum. Air pencucian ini selalu
dilakukan monitoring oleh QC perusahaan untuk mengawasi kadar klorin yang
terkandung dalam air agar memenuhi standar. Monitoring residu klorin dilakukan
dengan mengukur persentase jumlah klorin yang digunakan dengan jumlah air.
Laporan monitoring residu klorin dapat dilihat di Lampiran 11.
filet dibagi menjadi dua bagian lagi sehingga didapat 4 bagian loin tuna.
Pemotongan ikan tuna dilakukan menggunakan pisau filet dengan panjang mata
pisau 30 cm dan telah dicuci menggunakan air dingin dengan konsentrasi klorin
200 ppm.
Pembuangan tulang dilakukan secara manual setelah ikan dilakukan
pemfiletan. Pembuangan tulang bertujuan untuk memisahkan bagian daging ikan
tuna dengan tulang yang masih menempel. Tahap selanjutnya tulang yang telah
dibuang, diambil bagian daging ikan tuna yang masih menempel pada sela sela
tulang ikan tuna untuk dijadikan bahan dasar daging tuna giling. Pemisahan
daging yang menempel dilakukan dengan cara manual menggunakan sendok yang
telah dicuci bersih menggunakan air yang mengandung klorin 100ppm.
Tahap pemotongan kepala dan loin dilakukan monitoring menggunakan
laporan monitoring pembuatan loin dengan nomor dokumen QA/AII/HACCP/03
(Lampiran 12). Monitoring ini pada dasarnya dilakukan dengan pengecekan
pengerjaan pemotongan kepala dan pembuatan loin apakah sesuai standar GMP
atau tidak. Laporan pembuatan loin dilakukan juga pengecekan suhu ikan untuk
memantau suhu ikan agar tidak melebihi 3oC. Proses deheading dan loining
dilakukan dengan cepat dan mempertahankan rantai dingin untuk
mempertahankan suhu pusat ikan. Monitoring ini tidak hanya dilakukan pada
pengerjaan pemotongan kepala dan pembuatan loin, namun meliputi proses
pengerjaan pembuatan loin dari tahap pembuangan kepala hingga suntik CO.
dingin yang mengandung klorin 200 ppm. Pembuangan kulit harus dilakukan
dengan cepat agar suhu ikan tidak meningkat.
4.2.5 Perapihan
Tahap perapihan dilakukan untuk membuang bagian daging hitam yang
terdapat pada daging ikan tuna, merapihkan bentuk loin, membuang kulit ikan
tuna yang masih menempel pada daging ikan tuna. Tahap ini merupakan tahap
akhir dari pembuatan loin sehingga tahap ini merupakan tahap yang memperbaiki
apabila terdapat kesalahan pemotongan pada tahap sebelumnya.
Monitoring pada tahap perapihan dilakukan dengan menggunakan laporan
monitoring pembuatan loin dengan nomor dokumen QA/AII/HACCP/03
(Lampiran 12). Monitoring ini dilakukan untuk mengontrol cara kerja perapihan
dan mengontrol suhu loin pada tahap ini.
4.2.6 Penyuntikan CO
PT. Awindo Internasional melakukan CO treatment atau suntik CO
(karbonmonoksida) pada loin ikan tuna untuk mempertahankan warna merah
daging ikan tuna selama penyimpanan dan transportasi. Menurut Livingston dan
Brown (1981), suntik CO pada daging ikan dapat mempertahankan warna asli
ikan dengan cara pengikatan senyawa karbonmonoksida pada mioglobin menjadi
senyawa karboksimioglobin. Senyawa karboksimioglobin dapat mencegah
terjadinya proses oksidasi pada daging ikan yang dapat merubah warna daging
ikan dari merah menjadi coklat. Daging ikan tuna yang mengalami perlakuan
suntik CO pada dasarnya untuk memenuhi permintaan konsumen dari Amerika
serikat karena warna merah daging ikan tuna sangat mempengaruhi daya beli
konsumen (Pivarni et al. 2011). Suntik CO dilakukan menggunakan injektor CO
dengan konsentrasi CO 99,8% dan ukuran jarum suntik 0,3 mm.
Alat yang akan digunakan terlebih dahulu dicuci menggunakan air dingin
yang mengandung klorin 200 ppm untuk mencegah kontaminasi silang. Loin tuna
yang akan disuntik sebelumnya dimasukkan terlebih dahulu ke dalam plastik yang
telah diberi gas CO dan didiamkan selama 5 menit. Tahap selanjutnya loin
dikeluarkan dari plastik, dan dilakukan penyuntikan CO di seluruh permukaan
43
loin tuna. Loin tuna hasil penyuntikan dimasukkan kembali ke dalam plastik besar
berisi gas CO yang telah diberi busa untuk menyerap darah yang masih keluar dari
daging lalu di susun dalam rak.
pisau filet yang telah dicuci menggunakan air dingin dengan konsentrasi klorin
200 ppm. Tahap pemeriksaan akhir dan penentuan ukuran dilakukan dengan cepat
untuk mempertahankan rantai dingin dan mencegah terjadinya pertumbuhan
mikroba dalam loin.
4.2.9 Vacuuming
Vacuming merupakan salah satu cara pengawetan ikan dengan cara
memasukan loin ke dalam plastik hampa udara, selanjutnya direkat agar tidak
terdapat kontaminasi langsung dari lingkungan. Vacuuming dilakukan
menggunakan mesin vacuum sealer. Proses vakum dilakukan dengan cepat,
cermat, dan saniter untuk mempertahankan rantai dingin agar suhu ikan tidak
melebihi 3oC. Setiap loin yang telah divakum dilakukan pengecekan untuk
memastikan tidak terdapat kerusakan dalam plastik yang menyebabkan
kontaminasi langsung dari lingkungan.
4.2.11 Penimbangan II
Tahap penimbangan 2 dilakukan dengan cara mengukur bobot tuna loin
beku menggunakan neraca digital dengan satuan lbs (libras). Penimbangan 2
bertujuan untuk mengetahui rendemen tuna loin yang telah dibekukan, selanjutnya
45
dehidrasi pada tuna loin beku. Suhu ruang cold storage dilakukan pemeriksaan
dan pencatatan setiap satu jam sekali menggunakan data logger.
4.2.15 Pengangkutan
Tuna loin beku yang siap ekspor selanjutnya diangkut ke dalam kontainer
dengan sesegera mungkin dan hati-hati untuk mencegah produk dari kerusakan
fisik dan peningkatan suhu. Pengangkutan ini perlu penerapan GMP agar tidak
membahayakan konsumen yang mengkonsumsinya. Suhu kontainer merupakan
faktor penting dalam menjaga suhu pusat ikan selama transportasi, maka dari itu
pada pengangkutan dilakukan monitoring suhu kontainer pada saat awal
pengangkutan hingga kontainer berangkat. Selain itu pada pengangkutan
dilakukan monitoring kondisi kemasan (karton dan perekat) dan sanitasi dari
kontainer. Monitoring ini dilakukan dan dicatat pada laporan pengecekan
kontainer dengan nomor dokumen QA/AII/HACCP/8 (Lampiran 17).
Batas suhu pusat ikan yang ditetapkan oleh PT. Awindo Internasional
untuk dijadikan bahan baku tuna loin beku maksimal 3oC. Menurut BSN (2006)
batas suhu pusat bahan baku tuna loin beku yang dapat diolah maksimal 4,4oC,
apabila melebihi batas maksimal kemungkinan bahan baku yang digunakan telah
terjadi penguraian.
Bahaya lainnya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu kadar histamin
yang terkandung dalam ikan tuna. Histamin dapat terbentuk karena proses
enzimatis histidin pada ikan scombrotoxin sejenis tuna. Kandungan histidin pada
jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan yang lainnya
sehingga meningkatkan potensi bahaya peningkatan kadar histamin, khususnya
untuk penyimpanan dan penanganan yang salah (Wahyuni 2011).
Menurut hasil penelitian Price et al. (1991), pembentukan histamin akan
terhambat pada suhu 0oC atau lebih rendah. Pada suhu 4,4oC terbentuk histamin
sebanyak 0,5-1,5 mg/100 gram ikan. Konsentrasi tersebut memenuhi aturan SNI
yaitu tidak melampaui 5 mg/100gram, oleh karena itu SNI menetapkan batas kritis
suhu untuk pertumbuhan histamin pada ikan sebesar 4,4oC.
Berdasarkan penelitian tersebut maka tindakan pencegahan yang dapat
dilakukan yaitu dengan pemantauan suhu bahan baku setiap penerimaan bahan
baku dan uji laboratorium internal setiap 3 bulan sekali. Bahaya ini dapat
dikategorikan bahaya yang sering terjadi pada saat penerimaan bahan baku dan
merupakan bahaya yang signifikan apabila tidak ditangani secara baik dengan
menerapkan SSOP dan GMP.
Bahaya lain yang mungkin timbul pada tahap penerimaan bahan baku
yaitu kontaminasi logam berat Cd, Pb, Hg yang diakibatkan oleh kontaminasi dari
lingkungan perairan. Bahaya ini dikategorikan ke dalam bahaya yang sering
terjadi, dan dapat menyebabkan dampak yang serius apabila masuk ke dalam
tubuh konsumen. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu melakukan
pengujian kadar Hg, Cd, dan Pb di laboratorium eksternal setiap 3 bulan sekali
untuk memastikan ikan yang diterima memenuhi standar. Semua bahaya di atas
dapat dikendalikan dan dicegah dengan penerapan GMP dan SSOP, hal ini
menunjukan bahwa bahan baku layak untuk diolah lebih lanjut.
48
4.3.2 Pencucian
Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini adalah pertumbuhan mikroba
(TPC, Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella) dan peningkatan histamin.
Bahaya ini disebabkan oleh air pencucian yang digunakan tidak sesuai standar
atau suhunya meningkat. Bahaya ini berhubungan dengan keamanan makanan,
namun peluang terjadinya bahaya ini rendah karena bahaya dapat dikontrol
dengan GMP dan SSOP selama pengolahan dengan semestinya. Tindakan
pencegahan yang dilakukan yaitu mempertahankan suhu di bawah 3oC serta
menggunakan peralatan yang bersih dan saniter.
4.3.6 Perapihan
Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu tumbuhnya mikroba
(TPC, Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella) dan peningkatan histamin yang
diakibatkan oleh peningkatan suhu tuna loin. Bahaya ini berhubungan dengan
keamanan makanan, namun peluang terjadinya rendah dan tidak memiliki dampak
serius karena dapat dikendalikan oleh GMP. Tindakan pencegahan yang
dilakukan yaitu dengan mempertahankan suhu ikan, dan diawasi prosesnya
apabila terdapat tuna loin yang suhunya meningkat.
Bahaya lain yang mungkin terjadi yaitu adanya kontaminasi mikroba
Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella, yang diakibatkan oleh kontaminasi
silang dari peralatan. Bahaya ini berhubungan dengan keamanan pangan, peluang
terjadinya rendah dan tidak memiliki dampak serius karena dapat dikendalikan
oleh GMP dan SSOP. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu dengan
menggunakan alat yang bersih dan saniter pada tahapan proses perapihan.
4.3.7 Penyuntikan CO
Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu pertumbuhan mikroba
(TPC, Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella) dan peningkatan histamin
50
akibat peningkatan suhu tuna loin. Bahaya ini termasuk dalam kategori bahaya
keamanan makanan, namun peluang terjadinya rendah dan tidak memiliki dampak
yang serius karena dapat dikendalikan oleh GMP. Tindakan pencegahan yang
dilakukan yaitu dengan mempertahankan suhu ruangan pada 18oC agar suhu tuna
loin tidak meningkat melebihi 3oC.
Bahaya lain yang dapat terjadi pada tahap ini yaitu terjadinya kontaminasi
mikroba Coliform, Esherichia coli, dan Salmonella akibat kontaminasi dari
peralatan. Bahaya ini termasuk dalam kategori bahaya keamanan makanan, namun
peluang terjadinya rendah dan tidak memiliki dampak yang serius karena dapat
dikendalikan oleh GMP dan SSOP. Tindakan pengendalian yang dilakukan yaitu
dengan menggunakan peralatan bersih dan saniter, serta semua alat suntik
diperiksa harus dalam kondisi baik dan bersih sebelum dan sesudah digunakan.
dilakukan yaitu dengan mempertahankan suhu ruangan pada tingkat 18oC, dan
proses dilakukan dengan cepat.
Bahaya lain yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu kontaminasi
mikroba (TPC, Coliform, Salmonella, dan Esherichia coli) yang diakibatkan oleh
kontaminasi plastik. Bahaya ini termasuk dalam kategori keamanan pangan,
namun peluang terjadinya rendah dan tidak berdampak serius karena dapat
dicegah dengan SSOP. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu pengawasan
SSOP pengemasan yang harus dijaga kebersihannya.
4.3.10 Vacuuming
Bahaya yang dapat terjadi pada tahap ini yaitu dehidrasi fisik tuna loin
yang diakibatkan oleh kerusakan mesin. Bahaya ini tidak termasuk ke dalam
bahaya keamanan pangan, namun memiliki dampak yang serius apabila tidak
dilakukan tindakan pencegahan. Peluang terjadinya bahaya ini termasuk rendah
karena dapat dikendalikan oleh GMP. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu
pemeriksaan mesin vakum secara periodik, dan supervisor menginspeksi dan
mengontrol selama proses vakum berlangsung
4.3.12 Penimbangan II
Bahaya yang mungkin terjadi pada tahap ini yaitu pertumbuhan mikroba
(TPC, Coliform, Salmonella, dan Esherichia coli) dan peningkatan histamin yang
diakibatkan peningkatan suhu tuna loin. Bahaya ini termasuk dalam kategori
keamanan makanan dan berdampak serius, namun peluang terjadinya rendah
karena dapat dikendalikan oleh GMP dan SSOP. Tindakan pengendalian yang
dilakukan yaitu dengan mempertahankan suhu ruang produksi maksimal 18oC dan
proses dilakukan dengan cepat.
4.3.16 Pengangkutan
Bahaya yang dapat terjadi pada tahap pengangkutan adalah bahaya
pertumbuhan mikroba (TPC, Coliform, Salmonella, dan Esherichia coli) dan
peningkatan histamin yang diakibatkan peningkatan suhu tuna loin. Bahaya
termasuk dalam kategori bahaya keamanan makanan dan memiliki dampak yang
serius, namun peluang terjadinya bahaya ini termasuk rendah karena dapat
dikendalikan oleh GMP. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu monitoring
suhu kontainer dan ante room selama proses pengangkutan. Selama ekspor suhu
kontainer dipertahankan pada suhu -20oC.
Bahaya lain yang mungkin terjadi yaitu kesalahan pengangkutan yang
diakibatkan oleh kesalahan manusia. Bahaya ini dapat mengakibatkan kemasan
produk rusak dan akan membahayakan tuna loin pada saat ekspor. Bahaya ini
tidak termasuk dalam kategori bahaya keamanan makanan, namun memiliki
dampak yang serius apabila tidak dilakukan dengan benar. Peluang terjadinya
54
bahaya ini termasuk rendah karena dapat dikendalikan oleh GMP. Tindakan
pencegahan yang dilakukan yaitu monitoring selama pengangkutan oleh QC
perusahaan.
dilihat pada Lampiran 22. Bahaya potensial nyata yang dapat terjadi pada tahap
penerimaan bahan baku dan penimbangan I yaitu penguraian yang telah terjadi
dalam tubuh ikan tuna. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu dengan cara
pengukuran suhu ikan menggunakan termometer serta dilakukan pengecekan
secara organoleptik. Pengukuran suhu dan pengecekan secara organoleptik
dilakukan pada setiap ikan yang diterima dari pemasok oleh QC bagian
penerimaan. Batas kritis yang ditetapkan pada setiap upaya pencegahan yaitu
batas maksimal suhu pusat ikan pada 3oC serta ikan telah mengalami kehilangan
bau alami. Tindakan koreksi yang dilakukan yaitu penolakan ikan apabila terdapat
ikan yang memiliki suhu pusat di atas 3oC serta telah mengalami kehilangan bau
alami. Pengawasan ini dilakukan pencatatan pada laporan penerimaan bahan baku
dengan nomor dokumen QA/AII/HACCP/01A (Lampiran 9) dan diperiksa oleh
QA (Quality Assurance).
Bahaya potensial nyata lainnya yang dapat terjadi pada tahap penerimaan
bahan baku dan penimbangan I yaitu tingginya kadar histamin dalam tubuh ikan
tuna. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu dengan cara pengukuran suhu
ikan menggunakan termometer serta dilakukan uji kadar histamin. Pengukuran
suhu dilakukan pada setiap ikan yang diterima dari pemasok oleh QC bagian
penerimaan. Pengujian kadar histamin dilakukan dengan cara tes laboratorium di
laboratorium perusahaan. Batas kritis yang ditetapkan yaitu batas maksimal suhu
pusat ikan pada 3oC serta kadar histamin tidak melebihi 50 ppm. Tindakan koreksi
yang dilakukan yaitu penolakan ikan apabila terdapat ikan yang memiliki suhu
pusat di atas 3oC serta kadar histamin ikan di atas 50 ppm. Pengawasan ini
dilakukan dengan cara pencatatan pada laporan penerimaan bahan baku
(Lampiran 9) serta laporan analisis laboratorium (Lampiran 25). Pengawasan ini
diperiksa oleh QA (Quality Assurance) yang menyatakan bahwa pengawasan ini
telah dilakukan dengan baik dan benar.
Bahaya potensial nyata pada tahap deteksi logam yaitu bahaya teknis dari
alat metal detektor. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu uji sensitivitas alat
pendeteksi logam setiap jam oleh staf QC. Batas kritis yang ditetapkan yaitu
tingkat sensitivitas alat pendeteksi logam dalam mendeteksi logam dengan ukuran
56
minimal Ferrous (Fe) sebesar 2,5 mm dan stainless steel sebesar 3 mm. Alat
pendeteksi logam yang sensitivitasnya menurun dilakukan tindakan koreksi
dengan cara perbaikan dan pengesetan ulang alat. Pengawasan ini dilakukan
dengan cara pencatatan pada laporan pendeteksi logam (Lampiran 16) dan
diperiksa oleh QA perusahaan.
Tabel 9. Hasil Uji Titik Kendali Kritis Tahap Penerimaan Bahan Baku (Suhu,
Organoleptik, dan Histamin)
Uji Organoleptik Batas
Batas Kritis Bau Batas Warna texture Kritis
No Lot KG ˚C Histamin
Suhu kritis Kadar
bau Histamin
K674A 40 0,7 Segar Pink Daging
Kenyal
H308M 72 1,2 Segar Bau Pink Daging
3oC 0,7 ppm 100ppm
busuk Kenyal
K310M 36 2,2 Segar Pink Daging
Kenyal
Pengujian titik kendali kritis pada tahap penerimaan bahan baku yang
dilakukan pada lembar laporan penerimaan bahan baku (Lampiran 5) serta lembar
laporan analisis laboratorium (Lampiran 13). Pengujian pada tahap deteksi logam
dilakukan pada lembar laporan pendeteksi logam (Lampiran 11). Parameter yang
diuji pada tahap penerimaan bahan baku yaitu suhu pusat ikan, sifat organoleptik,
serta kadar histamin. Parameter yang diuji pada tahap deteksi logam yaitu alat
pendeteksi logam.
Suhu pusat sampel ikan tuna yang diukur yaitu 0,7oC, 1,2oC, dan 2,2oC,
sehingga setiap ikan tuna yang diterima di PT. Awindo Internasional telah
dilakukan pengawasan suhu secara ketat agar tidak didapatkan ikan tuna dengan
57
suhu pusat di atas 3oC. Hasil uji organoleptik pada sampel ikan tuna di PT.
Awindo Internasional tidak melebihi batas kritis yang ditetapkan yaitu ikan tuna
yang diterima memiliki bau yang segar. Satu dari tiga sampel ikan tuna dilakukan
pengujian histamin dengan hasil uji 0,7 ppm yang tidak melebihi batas kritis.
Berdasarkan hasil uji CCP pada tahap penerimaan bahan baku dapat diambil
kesimpulan bahwa setiap ikan tuna yang diterima memiliki suhu pusat, kadar
histamin, serta sifat organoleptik yang tidak melebihi batas kritis serta PT.
Awindo Internasional telah melakukan pengawasan menyeluruh pada tahap
penerimaan bahan baku.
Tabel 10. Hasil Uji Titik Kendali Kritis pada Tahap Deteksi Logam
Sensitifitas
pendeteksi Menemukan Hasil
Waktu logam
No. Serpihan Sesuai/Tidak Batas Kritis
inspeksi
Tidak Logam Sesuai
Baik
Baik
1
9.00 √ - √
2 10.00 √ - √
3 11.00 √ - √ Sensitivitas alat
4 12.00 √ - √ pendeteksi logam pada:
5 13.00 √ - √ Fe: 2,5mm
6 14.00 √ - √ Stainless: 3,0mm
7 15.00 √ - √
8 16.00 √ - √
Berdasarkan hasil uji di atas bahwa pada jam 9.00 sampai 16.00 tidak
ditemukan adanya serpihan logam pada kemasan tuna loin beku. Setiap satu jam
sekali dilakukan uji sensitivitas alat pendeteksi logam apakah dapat mendeteksi
logam dengan ukuran 2,5 mm atau tidak. Apabila tidak dilakukan uji sensitivitas
alat pendeteksi logam, kemungkinan besar lolosnya serpihan logam dengan
ukuran 2,5 mm ke atas.
konsumen dan menjaga keamanan pangan. Parameter uji pada pengujian tuna loin
beku meliputi suhu pusat, jumlah bakteri (TPC, Esherichia coli, Salmonella,
Cholera), organoleptik, histamin, serta logam berat (Tabel 11)
Tabel 11. Hasil Uji Tuna Loin Beku di PT. Awindo International
Jenis uji Persyaratan SNI Hasil uji Metode Pengujian
01-4104.1-2006
Uji Organoleptik minimal 7 7 SNI 2346:2011
Uji Mikrobiologi:
- ALT (koloni/g) 500,000 50,000 SNI 01-2332.3-2006
- Escherichia coli (MPN/g) <2 <2 SNI 01-2332.1-2006
- Vibrio cholera(per25g) negatif negatif SNI 01-2332.4-2006
- Salmonella (per25g) negatif negatif SNI 01-2332.2-2006
- Coliform (MPN/g) <2 <2 SNI 01-2332.1-2006
Uji Kimia:
- Histamin (mg/kg) 100 1,91 SNI 2354.10-2009
- Merkuri/Hg(mg/kg) 1,00 0,025 DMA
- Timbal/Pb (mg/kg) 0,4 0,010 SNI 2354.5-2011
- Kadmium/Cd (mg/kg) 0,10 0,031 SNI 2354.5-2011
Uji Fisik:
- Suhu pusat (oC) -18 -18 SNI 01-4104.3-2006
- Serpihan logam 0 0 Metal Detector
Sumber: BPMPHP (2013)
Berdasarkan Tabel 11 bahwa hasil uji organoleptik pada tuna loin beku
masih memenuhi persyaratan standar yang ditetapkan oleh SNI yaitu dengan nilai
organoleptik 7. Hal ini dikarenakan pada tahap penerimaan bahan baku telah
dilakukan sortir untuk penentuan grade ikan tuna dan pemilihan karakteristik
bahan baku yang baik agar tidak didapatkan produk tuna loin beku yang memiliki
skor organoleptik di bawah 7. Hasil ini dikarenakan pada tahap penanganan tuna
loin beku dilakukan suntik CO untuk menghambat terjadinya oksidasi pada tuna
loin beku yang akan mempertahankan warna merah dari tuna loin beku, sehingga
kenampakan tuna loin beku tetap baik.
Hasil uji mikrobiologi didapatkan hasil uji produk dengan jumlah ALT,
E.Coli, Vibrio cholera, Salmonella, serta Colliform yang jauh di bawah standar
SNI yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan pada tahap penerimaan pahan baku
yang teridentifikasi sebagai CCP telah dilakukan pengawasan suhu pusat ikan
59
pada setiap bahan baku yang diterima, apabila didapatkan ikan tuna yang
memiliki suhu pusat di atas batas yang ditentukan maka PT. Awindo Internasional
langsung melaksanakan tindakan koreksi dengan cara menolak bahan bahan baku
yang diteruma. Selain itu semua tahapan proses penanganan tuna loin beku
dilakukan dengan menerapkan rantai dingin untuk menghambat laju proses
pertumbuhan mikroba.
Pengujian kimia didapatkan hasil uji histamin, kadmium, timbal, dan
merkuri yang memenuhi standar SNI. Hal ini dikarenakan penanganan tuna loin
beku di PT. Awindo International mempertahankan rantai dingin, serta menolak
ikan tuna yang memiliki suhu pusat di atas 3oC.
Hasil uji produk tuna loin beku tidak ditemukan adanya serpihan logam
karena telah dilakukan tahapan deteksi logam pada seluruh tuna loin beku. Tuna
loin beku yang terkontaminasi oleh serpihan logam tidak dipasarkan untuk
menghindari terjadinya penolakan dari negara importir. Setiap alat pendeteksi
logam dilakukan uji sensitivitas setiap jam untuk memantau apakah alat tersebut
masih dapat mendeteksi logam dengan ukuran 2,5 mm atau tidak. Maka dari itu
didapatkan tuna loin beku yang memenuhi standar SNI 01-4104.1-2006 tentang
spesifikasi tuna loin beku.