Anda di halaman 1dari 22

I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Ikan sebagai salah satu bahan pangan merupakan sumber protein hewani
yang

sangat tinggi. Pada daging ikan terdapat senyawa-senyawa yang sangat


potensial bagi

tubuh manusia, dimana secara kimiawi unsur-unsur organik daging ikan


ialah 75%

oksigen, 10% hidrogen, 9,5% karbon dan 2,5% nitrogen. Unsur-unsur itu terdiri
dari

protein, lemak, sedikit karbohidrat, vitamin dan garam-garam mineral. Unsur


protein

paling besar terdapat pada ikan, maka ikan merupakan sumber protein
hewani yang

sangat potensial (Agus, 1997).

Salah satu jenis ikan sumber protein yang potensial untuk bahan pangan namun

masih sangat jarang pemanfaatannya terutama di Indonesia adalah daging


ikan hiu.

Ikan hiu selama ini dikenal dengan makhluk ganas bergigi tajam, gemar
memangsa

hewan lain bahkan manusia. Orang mengenal ikan hiu sebagai monster dari
samudra

yang sangat menakutkan tetapi dibalik keganasan dan keseraman namanya


tersimpan

rahasia alam yang luar biasa, yaitu manfaatnya bagi manusia. Semua
bagian tubuh

hiu dapat dimanfaatkan tanpa sisa. Oleh karena itu hiu disebut pula ikan
serbaguna

yang berkhasiat pangan, obat dan bermanfaat untuk industri. Hiu selama
ini hanya

dalam hal pemanfaatannya masih sangat terbatas. Ikan hiu diambil hanya
bagian hati

dan siripnya yang sangat mahal harganya (Wibowo, 1995).


CV. Angin Timur merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang

pengolahan hasil perikanan, berupa

fillet

ikan hiu biru (

Blue Shark

). Pada Praktek

Kerja lapang ini, mahasiswa mempelajari dan mempraktekkan semua tahapan


proses

pembuatan

fillet

ikan hiu, sehingga mahasiswa mengerti dan mampu

menginterpretasikan bagaimana tahapan proses produksi

fillet

ikan hiu.

1.2

Tujuan

Tujuan pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah mengetahui

proses produksi

fillet

ikan hiu biru (

Prionace glauca)

di CV, Angin Timur,

Gedangan, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

1.3 Manfaat

Manfaat pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah


meningkatkan

pengetahuan, ketrampilan, dan menambah wawasan mengenai tehnik dan


teknologi

yang digunakan untuk proses produksi ikan hiu (


Prionace glauca)

dalam bentuk

fillet

. Selain itu melatih mahasiswa untuk bekerja secara mandiri di lapangan


dan

sekaligus melatih mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan kondisi


lapangan

pekerjaan yang nantinya akan ditekuninya apabila telah lulus.

4.5 Tahapan Proses

Fillet

Daging Hiu

4.5.1 Penerimaan Bahan Baku

Bahan baku diterima dalam keadaan beku dalam

thermoking

dari suplier. Bahan

baku yang diterima berupa bahan baku ikan hiu beku tanpa kepala, sirip, ekor
dan isi perut. Bahan baku diterima dan segera diturunkan dan disimpan
dalam suhu rendah.

Bahan baku diangkut dengan kereta dorong menuju penyimpanan


beku (

cold

storage

). Hal ini sesuai dengan pendapat Liviawaty dan Afrianto (2010) kondisi

tempat penyimpanan harus selalu diusahakan bersuhu rendah dan kelembapan


tinggi.

Lingkungan bersuhu rendah akan menghambat aktivitas enzim dan


mikroba, maka

proses pembusukan dapat dihambat lebih lama. Oleh karena itu bahan
baku yang
datang segera dimasukkan ke dalam

cold storage

tetapi sebelumnya dilakukan

pengecekan jumlah bahan baku yang dikirim apakah sesuai pesanan yang
disebut cek

pieces

atau biasa disebut cek pes saja. Bahan baku disimpan di

cold storage

pada

suhu -17C sampai dengan -20C.

CV. Angin Timur menganut sistem FIFO (

First In First Out

). Sistem FIFO ini

bertujuan agar bahan yang lebih dahulu datang maka bahan tersebut
yang lebih

dahulu mengalami proses produksi. Hal ini sesuai dengan pendapat


Liviawaty dan

Afrianto (2010) yaitu manajemen pengeluaran produk hasil perikanan juga


harus

diperhatikan agar tidak terjadi kerusakan. Produk yang pertama


masuk, harus

dikeluarkan lebih dahulu dibandingkan produk yang disimpan kemudian.


Prinsip

yang diterapkan FIFO.

4.5.2 Proses

Fillet

Proses dari bahan baku hingga menjadi

fillet

meliputi beberapa tahapan, yaitu :

1.
Pengangkutan Bahan Baku Pengangkutan bahan baku yang akan diproses
diangkut dari

cold storage.

Pengangkutan bahan baku menuju ruang proses menggunakan kereta dorong.


Proses

pengangkutan dilakukan dengan bantuan kereta dorong dengan tujuan


untuk

mempercepat proses produksi selanjutnya.

2.

Penimbangan Bahan Baku

Penimbangan bahan baku dilakukan ketika bahan baku akan dibawa ke


ruang

proses. Timbangan bahan baku berkapasitas 3 kwintal. Setelah bahan baku


ditimbang

kemudian diangkut menggunakan kereta dorong ke ruang proses.

3.

Thawing

Proses

thawing

atau pelelehan ini dilakuan bertujuan untuk mencairkan air yang

membeku pada ikan agar ikan mudah diproses (dipotong) yaitu


dengan

menyemprotkan air ke tubuh ikan menggunakan selang kurang lebih 10


menit.

Menurut Murniyati dan Sunarman (2000)

thawing

atau pelelehan dilakukan sesaat

sebelum ikan dipakai atau diproduksi. Pada prinsipnya pelelehan dilakukan


dengan

memanaskan ikan beku. Cara-cara

thawing
atau pelelehan dapat dikelompokkan

sebagai berikut :

a.

Pelelehan dengan udara diam ; ikan beku dibiarkan meleleh pada suhu
ruangan

(suhu tidak lebih dari 16C). Ini memerlukan waktu sehari semalam,
dilakukan

untuk ikan yang dibekukan secara individual (tunggal)

b.

Pelelehan secara

air-blast

; ikan dialiri dengan udara (tidak lebih dari 21C)

berkecepatan 400m/menit, biasanya memerlukan waktu 4-5 jam tergantung


pada

ukuran blok.

c.

Pelelehan dengan air ; digunakan air 21C yang bersirkulasi dengan kecepatan
33

cm/menit.

Proses thawing yang dilakukan di CV. Angin Timur ini sesuai dengan
pendapat

Murniyati dan Sunarman (2000) yaitu menggunakan metode pelelehan


dengan

air.

4.

Pemisahan bagian perut (

Belly

Proses pemisahan bagian perut atau biasa disebut dengan

belly. Belly

ini
dilakukan setelah proses

thawing.

Proses pemisahan bagian perut dengan cara ikan

dipotong antara bagian perut dan punggung.

5.

Fillet

Ikan difilet kedua sisinya yaitu ikan dipotong melintang dari bagian
punggung

sampai ekor dengan menggunakan pisau tajam yang bersih. Setelah bagian
punggung

dan perut ikan hiu dipotong, kemudian diambil tulangnya. Kegiatan yang
dilakukan

di lokasi PKL telah sesuai dengan pendapat Moelyanto (1992) yang


menyatakan

bahwa

filleting

ikan adalah membuat irisan daging tanpa tulang, tanpa sisik dan

kadang-kadang tanpa kulit. Setelah ikan dipotong melintang dari bagian


punggung

sampai ekor kemudian daging dipotong-potong sesuai ukuran yang


ditetapkan untuk

produk lokal 15 cm, untuk produk ekspor 18 cm. Dalam proses ini, limbah
yang

dihasilkan adalah tulang ikan hiu yang dijual dengan harga Rp. 4.000,- per kg.

6.

Skinless

Skinless

atau menghilangkan bagian kulit, yang dilakukan setelah ikan dipotong-

potong sesuai ukuran. Ikan dipisahkan antara kulit dengan daging dengan
cara diiris

sedikit demi sedikit kulitnya dari satu sisi ke sisi lainnya dengan menggunakan
pisau
yang bersih. Limbah dari proses ini adalah kulit ikan hiu, dijual dengan
harga Rp.

2.000,- per kg. Berdasarkan bentuknya, Liviawaty dan Afianto (2010) membagi

fillet

ikan menjadi dua jenis yaitu

fillet

berkulit (

normal skin

) dan filet tidak berkulit (

white

skin

). Untuk

fillet

ikan hiu di CV. Angin Timur ini termasuk ke dalam jenis

white

skin

yaitu

fillet

tanpa kulit.

7.

Trimming

Trimming

atau proses merapikan daging

fillet

untuk penentuan

grade

pada proses

selanjutnya, dilakukan setelah proses

skinless
. Proses

trimming

akan menghasilkan

limbah berupa daging sisa

trimming

, dibawah meja proses

trimming

terdapat tempat

untuk pembuangan limbah hasil

trimming

, hal ini sesuai dengan pendapat Alasavar

dan T. Taylor (2001) bahwa dalam proses

trimming

harus ada tempat pembuangan

limbah daging sisa

trimming

, hal ini bertujuan agar mempercepat proses

trimming

Limbah yang dihasilkan dari proses ini adalah daging sisa

trimming

, dijual dengan

harga Rp. 3.000,- per kg.

8.

Grading

Pembagian

grade

untuk
fillet

ikan hiu di CV. Angin Timur ada dua, yaitu

first

grade

adalah

fillet

daging hiu yang berwarna putih, cemerlang dan teksturnya keras.

biasa disebut

grade

A, untuk grade A dijual Rp 19.700,-/kg

grade

A ini berstandar

ekspor.

Second grade

adalah

fillet

hiu yang berwarna coklat kemerahan, kurang

cemerlang dan agak lunak, biasa disebut

grade

B, untuk

grade

B dijual 17.000,-/kg

grade

ini berstandar lokal.

9.

Penimbangan daging

fillet

Penimbangan daging
fillet

dilakukan setelah

grading

. Daging

fillet

ditimbang

sesuai gradenya masing-masing setiap 7 kg. Setelah ditimbang setiap 7 kg


kemudian

ditaruh didalam keranjang plastik. Penimbangan daging

fillet

selesai kemudian

menuju ke tahap proses selanjutnya yaitu pencucian.

10.

Pencucian

Langkah berikutnya yaitu pencucian dengan air dingin

(air diberi es batu).

encucian disini bertujuan untuk menghilangkan semua kotoran-kotoran


yang

menempel pada tubuh ikan baik itu sisa-sisa darah ataupun kotoran. Hal
ini sesuai

dengan pendapat Hadiwiyoto (1993), yang menyatakan bahwa pencucian


bertujuan

menghilangkan sisa-sisa darah dan kotoran. Air pencucian ini diganti


setiap 1 jam

sekali. Dan selanjutnya masuk ke dalam proses pengemasan

fillet

. Hal ini sesuai

dengan pendapat Liviawaty dan Afrianto (2010) dalam penanganan


higienis, air
merupakan komponen penting. Air digunakan untuk membersihkan ikan
dari

kotoran dan mikroba. Penggunaan air secara benar dapat menghilangkan


bercak

darah.

Proses pencucian

fillet

ikan ini dilakukan satu persatu dalam air mengalir. Air

bekas pencucian

fillet

langsung masuk ke lubang selokan yang ada di bawah meja

proses. Hal ini sesuai dengan pendapat menurut Alasavar dan T. Taylor
(2001)

perusahaan

fillet

ikan harus ada tempat pembuangan air berbentuk seperti selokan

kecil untuk hasil pencucian dari

fillet

ikan.

4.5.3 Pengemasan

Fillet

1. Pengemasan Primer

Pengemasan primer dilakukan setelah produk dicuci. Kemasan primer


yang

digunakan adalah plastik PE (

Poli Etilene

), dengan ukuran 20x20 cm untuk lokal dan

40x40 cm untuk ekspor. Setiap potong plastik yang digunakan untuk


mengemas

setiap potongan
fillet

ikan. Selanjutnya, produk disusun dalam long pan sesuai grade

masing-masing.

Proses selanjutnya ikan dibawa ke dalam ABF (

Air Blast Freezer

) untuk

dibekukan hingga suhu mencapai -30C hingga -40C dengan mengunakan


kereta

lori. Kegiatan pembekuan ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993),


yang

menyatakan bahwa pembekuan dikerjakan pada suhu sekurang-kurangnya


-35C.

Selama proses pembekuan di ABF di lokasi PKL membutuhkan waktu 8-16 jam.
Hal

ini sesuai dengan pendapat Murniyati (2000) keuntungan utama

freezer

ini ialah dapat

membekukan berbagai produk, dapat mengatasi berbagai ragam bentuk


produk. Jika

ikan yang akan dibekukan mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam,
maka

Air

Blast Freezer

merupakan pilihan yang terbaik. Produk ditaruh dalam

Air Blast

Freezer

selama 8-16 jam.

2. Pengemasan Sekunder

Produk dikeluarkan dari ABF (

Air Blast Freezer

) untuk di
packing

menggunakan kemasan sekunder yaitu kardus karton untuk produk ekspor


setiap

kardus karton berisi 15 kg dan untuk produk lokal setiap kardus karton berisi 10
kg.

Bahan pengemas sekunder yang digunakan yaitu

master carton

yang permukaannya

berlapis lilin sehingga kedap air dan tidak mudah rusak. Bahan pengemas
yang

digunakan di lokasi PKL telah sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993),


yang

menyatakan bahwa pengemas yang digunakan pada umumnya karton yang


telah

dilapisi dengan wax, yaitu sejenis lilin, sehingga tidak rusak atau tembus
oleh air.

Master carton

(MC) disiapkan untuk

grade

A, beri alas pada dasar MC, Setelah itu

MC ditutup dengan menggunakan flagband kemudian diberi tali


dengan

menggunakan mesin

strapping band

. Warna

strapping band

dibedakan antara

grade

A dan

grade

B, untuk
grade

A menggunakan tali berwarna putih sedangkan

grade

menggunakan warna biru. Setelah itu, produk yang telah di

packing

dengan kardus

karton disimpan dalam

cold storage

dengan suhu -20C sampai dengan -30C hingga

produk dipasarkan. Kondisi

cold storage

ini telah sesuai dengan pendapat Muniyati

dan Sunarman (2000), yang menyatakan bahwa suhu didalam

cold storage

umumnya

-30C hingga -60C. .6

Sistem Kemanan Produk yang Diterapkan di CV. Angin Timur

4.6.1 HACCP

Hazard Analysis Critical Control Point

Sistem HACCP diterapkan dalam perusahaan CV. Angin Timur.


Menurut

Winarno dan Surono (2004) HACCP adalah suatu system jaminan mutu
yang

mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa

hazard

(bahaya) dapat
timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, tetapi dapat
dilakukan

pengendalian untuk mengontrol bahaya-bahaya tersebut. Kunci utama HACCP


adalah

antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan


kepada

tindakan pencegahan daripada mengandalkan pengujian produk akhir.

CV. Angin Timur menerapkan sistem HACCP dalam produk

fillet

ikan hiu

terutama dalam hal kontaminasi bakteri

E.coli

dan

Salmonella sp

. Bakteri tersebut

berasal dari air, karyawan, peralatan dan bahan pengemas. Analisis bahaya
yang

dilakukan di CV. Angin Timur dilakukan mulai tahap awal penerimaan


bahan baku

sampai pemuatan hasil produk dapat dikontrol dengan GMP

ood Manufacturing

Practices

) dan SSOP

(Sanitation Standart Operating Procedure)

, berikut ulasannya :

1.

Penerimaan Bahan Baku, tahap penerimaan bahan baku berpotensi


dapat
membahayakan dekomposisi pada ikan. Dekomposisi terjadi karena
penanganan

yang kurang baik saat ikan berada dalam kapal dan dalam proses
distribusi atau

transportasi. Tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu cek penerimaan


bahan

baku dan himbauan kepada suplyer.

2.

Penyimpanan Sementara

(Cold Storage)

, penyimpanan sementara dilakukan

setelah proses penerimaan bahan baku. Penyimpanan sementara dilakukan


di

dalam

cold storage.

Tahap penyimpanan ini berpotensi menumbuhkan bakteri,

untuk menghindari hal tersebut maka perlu dikontrol dengan GMP.


Penyebab

bakteri ini tumbuh karena adanya perubahan suhu yang tidak sesuai, oleh
karena

itu perlu sering di cek.

3.

Pencucian I, tahap pencucian I dilakukan setelah proses penyimpanan


sementara.

Tahap pencucian ini berpotensi menyebabkan adanya kontaminasi


bakteri

patogen

E. Coli

dan

Salmonella sp

. Kontaminasi ini disebabkan oleh kontaminasi


dari air dan karyawan. Kontaminasi ini dapat dikontrol dengan GMP

dan SSOP.

Pemfiletan, tahap pemfiletan berpotensi menimbulkan kontaminasi


bakteri

patogen

E. Coli

dan

Salmonella sp

serta serpihan logam. Kontaminasi pada tahap

ini berasal dari peralatan dan karyawan. Kontaminasi ini dapat dikontrol
dengan

GMP

dan SSOP

Pembuangan Kulit

(Skinles)

, tahap pembuangan kulit berpotensi menimbulkan

kontaminasi bakteri patogen

E. Coli

dan

Salmonella sp

. Kontaminasi pada tahap

ini berasal dari peralatan dan karyawan. Kontaminasi ini dapat dikontrol
dengan

GMP
dan SSOP.

Perapihan Daging

(Trimming)

, tahap perapihan daging berpotensi menimbulkan

kontaminasi bakteri patogen

E. Coli

dan

Salmonella sp

. Kontaminasi pada tahap

ini berasal dari peralatan, karyawan, dan kenaikan suhu. Kontaminasi ini
dapat

dikontrol dengan GMP

dan SSOP

Penimbangan, tahap penimbangan berpotensi menimbulkan kontaminasi


bakteri

patogen

E. Coli

dan

Salmonella sp

. Kontaminasi pada tahap ini berasal dari

peralatan, dan karyawan. Kontaminasi ini dapat dikontrol dengan GMP


dan

SSOP.

8.
Pencucian II, tahap pencucian II berpotensi menimbulkan kontaminasi
bakteri

patogen

E. Coli

dan

Salmonella sp

. Kontaminasi pada tahap ini berasal dari

peralatan, karyawan, dan kenaikan suhu. Kontaminasi ini dapat dikontrol


dengan

GMP.

9.

Pembungkusan dan Penataan di

Long Pan

, tahap pembungkusan dan penataan di

long pan

berpotensi menimbulkan kontaminasi bakteri patogen

E. Coli

dan

Salmonella sp

. Kontaminasi pada tahap ini berasal dari karyawan, dan bahan

pengemas. Kontaminasi ini dapat dikontrol dengan GMP dan SSOP.

10.

Pembekuan dalam ABF

(Air Blast Frezeer)

, tahap pembekuan dalam ABF harus

sering di cek, karena jika tidak akan menyebabkan pembekuan pada ikan
hanya

sebagian saja, karena pembekuan berlangsung lambat.

11.
Pengepakan, tahap pengepakan berpotensi menimbulkan kontaminasi
bakteri

patogen

E. Coli

dan

Salmonella sp

. Kontaminasi pada tahap ini berasal bahan

pengemas. Kontaminasi ini dapat dikontrol dengan GMP dan SSOP.

12.

Penyimpanan dalam

Cold Storage

, penyimpanan dalam

Cold Storage

harus sering

di cek, karena jika tidak akan menyebabkan kerusakan struktur pada ikan. Hal ini

bisa terjadi karena fluktuasi suhu. Untuk menghindari bisa dikontrol dengan GMP

dan SSOP.

13.

Pemuatan, tahap pemuatan berpotensi menimbulkan kontaminasi bakteri


patogen

Kontaminasi pada tahap ini berasal fluktuasi suhu. Kontaminasi ini


dapat

dikontrol dengan GMP.

Sistem GMP yang dilakukan di CV. Angin Timur sesuai dengan pendapat

Winarno dan Surono (2004) sistem HACCP bukan merupakan sistem


jaminan

keamanan pangan yang zero-risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang


untuk

meminimumkan resiko bahaya keamanan pangan. Sistem HACCP juga


dianggap
sebagai alat manajemen yang digunakan untuk memproduksi rantai
pasokan pangan

dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya-bahaya mikrobiologi,


kimia dan

fisik

Anda mungkin juga menyukai