Anda di halaman 1dari 115

PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN

DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (Carcharinus falciformis)


DAN IKAN PARI KELAPA (Trygon sephen) TERHADAP
KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Oleh :
Ade Wiguna Nur Yasin
C34101063

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
RINGKASAN
ADE WIGUNA NUR YASIN. C34101063. Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan
Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa
(Trygon sephen) terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Dibimbing Oleh JOKO
SANTOSO dan SANTOSO

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh frekuensi pencucian, pengaruh


pengkomposisian daging lumat ikan, serta pengaruh penyimpanan dingin daging lumat
tersebut terhadap karakteristik surimi ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa yang dihasilkan.
Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian
pendahuluan bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik kimia dan fisika daging lumat,
mencari frekuensi pencucian dan kombinasi komposisi daging lumat terbaik. Penelitian utama
bertujuan untuk mempelajari pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging
lumat terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan. Pengkomposisian tersebut adalah A
(cucut 100 %), B (pari 100 %), A1B1 (cucut 50 %:50 %), A2B1 (cucut 75%: pari 25%), dan
A1B2 (cucut 25%: pari 75%).
Diperoleh hasil dari penelitian pendahuluan bahwa ikan cucut pisang dan ikan pari
kelapa termasuk kedalam golongan ikan yang memiliki kadar protein tinggi (berturut-turut
sebesar 19,08 dan 18,98 %) dan kadar lemak yang rendah (berturut-turut sebesar 1,60 dan
1,36 %). Ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa memiliki kadar urea yang tinggi, dimana
kadar urea tersebut adalah 1,98 % (cucut pisang) dan 2,33 % (pari kelapa).
Frekuensi pencucian daging lumat terbaik ditentukan berdasarkan kadar protein larut
garam (PLG) dan urea. Frekuensi pencucian sebanyak tiga kali mampu mereduksi urea hingga
88 % (cucut pisang) dan 100 % (pari kelapa), dimana bau sudah tidak terdeteksi lagi. Kadar
PLG pada frekuensi pencucian tersebut adalah 13,52 % (cucut pisang) dan 13,24 % (pari
kelapa).
Komposisi daging lumat A1B2 adalah komposisi daging lumat terbaik yang mampu
menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi (sebesar 209,290 g.cm) dibandingkan dengan
komposisi daging lumat lainnya.
Selama masa penyimpanan dingin daging lumat terjadi proses kemunduran mutu yang
ditandai dengan perubahan pada nilai pH, senyawa basa volatil (TVBN dan TMA), urea dan
PLG. Kemunduran mutu daging lumat tersebut mempengaruhi karakteristik surimi yang
dihasilkan.
Pada hari ke-0 kekuatan gel surimi komposisi A, B dan A1B2 berturut-turut sebesar
276,32 g.cm, 335,375 g.cm, dan 364,327 g.cm dengan grade AA pada ketiga komposisi
tersebut. Terjadi penurunan nilai hingga hari terakhir penyimpanan, nilai tersebut berturut-
turut menjadi sebesar 162,867 g.cm, 77,525 g.cm, 73,523 g.cm dengan grade B, D, B.
Kemunduran mutu tersebut juga mempengaruhi penurunan nilai terhadap derajat putih dan
daya ikat air surimi yang dihasilkan.
Pencampuran daging lumat dengan komposisi A1B2 dapat meningkatkan karakteristik
mutu surimi pada kekuatan gel-nya, namun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan
dingin daging lumat maka kualitas surimi (kekuatan gel, derajat putih, dan daya ikat air) yang
dihasilkan akan ikut menurun pula.
PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN
DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (Carcharinus falciformis) DAN
IKAN PARI KELAPA (Trygon sephen) TERHADAP
KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan


pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
Ade Wiguna Nur Yasin
C34101063

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
SKRIPSI

Judul Penelitian : PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN


DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (Carcharinus falciformis)
DAN IKAN PARI KELAPA (Trygon sephen) TERHADAP
KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN
Nama : Ade Wiguna Nur Yasin
NRP : C34101063

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Ir. Joko Santoso, MSi. Ir. Santoso, MPhill.


NIP 131 999 592 NIP 080 064 814

Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi.


NIP 130 805 031

Tanggal lulus :
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada keluargaku Ir.
Bustami Mahyuddin, MM (papa), Ny. Yartini (mama), Adli dan Anita (adik) atas semua
bantuan, restu dan doa kepada penulis.
Dosen pembimbing Dr.Ir. Joko Santoso, MSi dan Ir. Santoso, Mphill yang telah
membimbing dan menasehati penulis dalam melakukan penelitian. Dosen penguji tamu Ir.
Djoko Poernomo BSc dan Ir. Heru Sumaryanto, MSi atas arahan yang begitu berharga. Dr.Ir.
Mita Wahyuni, MS atas ide yang telah diberikan.
Kepada seluruh staf BPPMHP Jakarta, Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan,
dinas perikanan propinsi DKI Jakarta, Laboratorium Pusat Riset Kelautan dan Perikanan,
DKP Jakarta atas sinergisitas yang telah tercipta dengan penulis.
Mahasiswa Akafarma Caraka (Okta, Dwi dan Astri) atas bantuan dan kerjasamanya
yang tidak terlupakan di BPPMHP. Nugroho J.S, Teddy K, serta semua temanku (FPIK 34,
35, 36, 37, 38, 39, & 40) atas semangat dan kerjasamanya. The gorgeous friend Esti Fitri
Lestari atas kesabaran dan curahan hati kepada penulis. Last but not least research is fun.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada
pihak yang memerlukan.

Bogor, 30 Desember 2005


1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan cucut dan ikan pari adalah jenis ikan non-ekonomis yang kurang diminati untuk
dikonsumsi di Indonesia. Kedua jenis ikan ini biasa tertangkap sebagai ikan target ataupun
ikan hasil tangkapan samping (HTS). Masalah pada kedua ikan tersebut adalah timbulnya
aroma pesing ketika dikonsumsi. Tingginya kadar urea adalah penyebab utama masalah
tersebut. Menurut Musick (2005) bau tersebut disebabkan karena kedua ikan tersebut
mengandung urea dalam jumlah yang tinggi (1-2,5 %) di dalam darah dan jaringannya,
sebagai bagian dalam kemampuannya untuk mempertahankan tekanan tubuhnya dari tekanan
air laut (aktivitas osmoregulasi).
Rendahnya minat konsumen untuk mengkonsumsinya berdampak terhadap harga jual
dari kedua daging ikan HTS tersebut. Ironis sekali jika harga jual daging tersebut
dibandingkan dengan harga jual dari sirip atau kulitnya (khususnya cucut) yang dapat dijual
mencapai puluhan bahkan jutaan rupiah. Perbandingan harga tersebut selengkapnya disajikan
pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan harga produk hasil olahan ikan cucut di Pelabuhanratu, Jawa barat
tahun 2004 (Mahyuddin 2005)
Hasil Jenis Ukuran Harga Jenis Ukuran Harga
olahan (cm) (Rp) (cm) (Rp)
Kerupuk kering - 70.000 - - -
kulit hitam
Kerupuk kering - 80.000 - - -
kulit putih
Sirip super kering 41 1.100.000 basah 41 420.000
Sirip biasa kering 35 1.000.000 basah 35 300.000
Daging kering - - basah - 5.000/kg

Harga jual daging yang rendah pada kedua ikan tersebut memicu nelayan untuk
mengambil bagian tubuh tertentu saja, yang terbatas pada sirip (cucut) dan kulitnya saja
(cucut dan pari), sedangkan dagingnya dibuang kembali ke laut atau diolah tradisional
(sebagian besar menjadi ikan asin).
Sangat disayangkan bahwa besarnya kandungan gizi yang terdapat pada kedua ikan
tersebut hanya dibuang percuma atau hanya sedikit yang dimanfaatkan, disamping itu hal ini
tidak sejalan dengan program yang dicanangkan oleh Food and Agriculture Organization
(FAO) yang menegaskan untuk memanfaatkan seluruh bagian tubuh ikan elasmobranchii
yang tertangkap, khususnya pada ikan cucut yang populasinya semakin berkurang. Program
tersebut disusun dalam International Plan of Action for Conservation and Management of
Shark (IPOA-Shark) (Musick 2005).
Dari penjabaran diatas, maka diperlukan adanya suatu upaya untuk meningkatkan minat
konsumen untuk mengkonsuminya dan meningkatkan nilai tambah serta harga jual daging
dari kedua ikan tersebut.
Salah satu alternatif upaya yang tepat untuk dikembangkan adalah melakukan
diversifikasi pengolahan surimi. Tingginya kadar urea pada daging dapat diminimalisasikan
dalam proses pengolahan surimi, sehingga masalah bau dapat diatasi. Selain itu daging ikan
tersebut memiliki nilai tambah yang tinggi dan harga jualnya akan lebih tinggi dibandingkan
dengan pemasaran dalam bentuk segar. Menurut Fis (2005) harga surimi pada bulan Oktober
2005 adalah USD 2/kg, atau setara dengan Rp. 20.000/kg (1 USD = Rp.10.000).
Surimi adalah produk antara (intermediate product) yang siap untuk diolah menjadi
produk lanjutan. Salah satu produk lanjutan yang digemari di dunia adalah produk analog dari
ikan dan kepiting. Okada (1992) menjabarkan keunggulan dari surimi adalah sebagai berikut:
1. Dapat memanfaatkan ikan yang sering digunakan (ekonomis) dan ikan yang jarang
digunakan (non-ekonomis) sebagai bahan baku.
2. Surimi beku dapat disimpan lama dan memiliki kandungan protein fungsional yang
tinggi.
3. Variasi dari produk berbahan dasar surimi dapat diproduksi dengan alternatif dari bentuk
dan kualitas rasanya dengan cara mengaplikasikan berbagai macam teknologi
pengolahan dan bumbu-bumbu.
4. Teknologi terkini sanggup menghasilkan surimi dalam jumlah besar dengan kualitas
yang konsisten.
Pengolahan surimi memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan, dimana
permintaan akan surimi di dunia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun
1990 saja permintaan akan surimi di dunia mencapai 173.000 ton, yang tercatat bahwa
mengalami peningkatan dari dekade sebelumnya (Kim et al 1996). Dilaporkan oleh globefish
(2005) bahwa pada tahun 2004 produksi surimi secara global diperkirakan mencapai angka
550.000 hingga 600.000 ton, dimana pasar surimi terbesar adalah Jepang (400.000 ton) dan
Korea Selatan (100.000 ton). Tak heran maka kedua negara tersebut adalah tujuan utama
eksportir surimi, namun Eropa khususnya Perancis mengalami pertumbuhan pasar surimi
yang cepat pada beberapa tahun belakangan ini.

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pencucian terhadap pengurangan
kadar urea, mempelajari pengaruh pengkomposisian kedua jenis daging ikan elasmobranchii
tersebut, serta pengaruh penyimpanan dingin daging lumat terhadap karakteristik surimi yang
dihasilkan.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi, Deskripsi, dan Pemanfaatan Ikan Cucut Pisang (Carcharinus


falciformis)
Ikan cucut pisang dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Lagler et al. 1977):
Phylum: Vertebrata
Sub phylum: Craniata
Super kelas: Gnathustomata
Kelas: Chondrichthyes (cartilaginous fishes)
Sub kelas: Elasmobranchii
Ordo: Squaliformes
Famili: Carcharinidae
Genus: Carcharinus
Spesies: Carcharinus falciformis
Ikan cucut pisang adalah jenis ikan yang biasa hidup di daerah pantai. Ikan ini termasuk
kedalam jenis ikan pelagis. Ikan cucut merupakan ikan bertulang rawan (chondricthyes) hidup
di perairan sub-tropis sampai tropis tepatnya pada daerah pantai sampai lepas pantai (Ditjen
Perikanan 1990).
Dilaporkan oleh BRPL (2004) bahwa ikan cucut di Indonesia tertangkap sebagai hasil
tangkapan samping dari tuna long line (rawai tuna) dan drift gillnet (jaring insang
permukaan). Menurut elasmo-research (2005) Carcharinus falciformis adalah spesies yang
sering tertangkap sebagai ikan hasil tangkapan samping pada perikanan tuna di utara pasifik
tropis. Gambar ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Carcharinus falciformis (FAO 2005)

Daerah perairan pantai di Indonesia yang menghasilkan ikan cucut yaitu: perairan pantai
barat Sumatera, Selat Malaka, timur Sumatera, selatan dan utara Jawa, Bali, Nusa Tenggara
Timur, Kalimantan Selatan/Barat, timur Kalimantan, selatan dan utara Sulawesi, Maluku dan
Papua (Nahumury 1994). Berdasarkan data statistik perikanan tangkap hingga tahun 2003
yang dikeluarkan oleh DKP (2005), daerah penangkapan cucut terbesar berada di pulau
Sumatera dengan total penangkapan sebesar 21.870 ton. Data hasil penangkapan cucut pada
tahun 2003 di Indonesia selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Produksi perikanan cucut di Indonesia tahun 2003 (DKP 2005)
Propinsi Produksi tangkapan (ton)
Sumatera 21.870
Jawa 14.499
Bali-Nusatenggara 3.148
Kalimantan 6.280
Sulawesi 5.935
Maluku-Papua 6.368
Total 58.100
Keterangan: jumlah produksi dihitung berdasarkan tempat pendaratan ikan

Menurut Camhi et al. (1998) ikan cucut memiliki sejarah hidup dengan karakteristik
fekunditas yang rendah, pertumbuhan yang lambat, tingkat kedewasaan yang lambat,
hidupnya panjang dan tingkat bertahan hidup yang tinggi.
Ikan cucut dimanfaatkan hampir semua bagian tubuhnya. Kulit ikan cucut dimanfaatkan
untuk industri tas dan sepatu, siripnya diolah menjadi bahan pencampur sup (banyak diekspor
ke Hongkong, Singapura, dan Malaysia), hatinya diolah menjadi minyak ikan dan giginya
digunakan untuk perhiasan (Nahumury 1994). Menurut Musick (2005) bagian tubuh cucut
yang dapat dimanfaatkan adalah sirip, kulit, tulang, dan hati sebagai bahan baku sup, industri
kulit, suplemen anti tumor, sumber skualen dan vitamin A, dagingnya dimanfaatkan sebagai
makanan di wilayah pesisir pantai sudah sejak 5000 tahun yang lalu.
Pemanfaatan daging ikan cucut saat ini belum optimal sebagai bahan konsumsi
masyarakat. Meskipun kandungan protein daging ikan cucut cukup tinggi (15-25 %bb). Kadar
urea yang tinggi yang mudah mengalami penguraian dan menimbulkan aroma pesing selama
penanganannya adalah salah satu penyebab mengapa daging ikan cucut kurang diminati untuk
dikonsumsi (Wahyuni 1992). Hal serupa juga diungkapkan oleh Lagler et al. (1977) bahwa
faktor penghambat dalam pemanfaatan daging ikan bertulang rawan (elasmobranchii) adalah
aroma pesing yang cukup tajam dimana aroma pesing ini timbul karena tingginya kadar urea
dalam daging, yaitu sebesar 1-2 %. Masalah aroma tersebut dapat dicegah dengan mudah,
yaitu dengan cara mengeluarkan darah segera pada saat cucut baru tertangkap, dan segera
mencuci daging tersebut dengan air laut, lalu menyimpannya pada es atau pada suhu beku
(Musick 2005).

2.2 Klasifikasi, Deskripsi, dan Pemanfaatan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen)
Ikan pari yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan pari kelapa yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut (Ridwan dan Murniarti 1985) :
Kingdom: Animalia
Sub kingdom: Metazoa
Phylum: Chordata
Sub phylum: Vertebrata
Kelas: Chondrichtyes
Sub kelas: Elasmobranchii
Ordo: Batoidei
Famili: Trigonidae
Genus: Trygon
Spesies: Trygon sephen
Ikan pari (batoid) adalah jenis ikan demersal yang mempunyai ciri tubuh berbentuk
belah ketupat, ekor seperti cambuk, bersirip ekor yang kecil ujungnya, kulit licin dan berduri.
Pada punggungnya yang berwarna merah sawo matang mengkilap terdapat duri-duri beracun
dan selaput kulit bagian bawah yang menonjol berwarna biru (Kamallan 1988). Menurut
Musick (2005) pada beberapa jenis batoid seperti skates (Rajidae), stingray (Dasyatidae), dan
eagle ray (Myliobatidae) tubuhnya didominasi oleh sirip pektoral yang menyerupai sayap,
yang berbeda dengan tubuh cucut yang berbentuk tebal dan berisi. Gambar ikan pari kelapa
dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Trygon sephen (Fishbase 2005)


Beberapa jenis batoid adalah sangat mirip dengan cucut pada morfologinya dan
pengolahan dagingnya-pun sama seperti cucut (Musick 2005). Ikan pari termasuk ikan
bertulang rawan, yang memiliki kadar urea yang lebih tinggi daripada ikan bertulang keras
(Manik 2003).
Manik (2003) melaporkan bahwa di Indonesia daging ikan pari dimanfaatkan sebagai
bahan makanan manusia dan pakan ternak. Minyaknya dapat digunakan sebagai obat-obatan.
Ikan pari yang dijual di pasaran biasanya dalam keadaan segar atau sudah dikeringkan. Ikan
tersebut merupakan ikan hasil tangkapan samping.
Ikan pari tertangkap diseluruh perairan Indonesia, dimana daerah penangkapan terbesar
berada di pulau Sumatera (23.262 ton) (DKP 2005). Selengkapnya data statistik penangkapan
ikan pari di Indonesia tahun 2003 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Produksi perikanan pari di Indonesia tahun 2003 (DKP 2005)


Propinsi Produksi tangkapan (ton)
Sumatera 23.262
Jawa 22.651
Bali-Nusatenggara 1.919
Kalimantan 6.333
Sulawesi 4.071
Maluku-Papua 1.223
Total 59.459
Keterangan: jumlah produksi dihitung berdasarkan tempat pendaratan ikan

2.3 Ikan Cucut dan Pari sebagai Ikan Hasil Tangkapan Samping (HTS)
Menurut (Camhi et al. 1998) ikan elasmobranchii memiliki tingkat produksi yang
rendah di dunia dibandingkan dengan jenis ikan target (teleostei). Jenis ikan ini memiliki nilai
yang rendah dan dalam jumlah yang besar tertangkap sebagai ikan HTS. Jenis ikan ini biasa
tertangkap pada alat tangkap jenis pukat, jaring insang, pukat cincin, dan rawai. Menurut
Francis dan Grigs (1997) diacu dalam Camhi et al. (1998) dalam penangkapan ikan teleostei
laut (misalnya tuna dan billfishes) justru cucut tertangkap lebih banyak sebagai ikan HTS
dibandingkan dengan ikan target penangkapan utama.
Bonfill (1994) diacu dalam Camhi et al. (1998) melaporkan bahwa hingga akhir tahun
1980 terdapat 12.000 ton bahkan hingga 300.000 ton elasmobranchii tertangkap sebagai HTS
setiap tahunnya. Sekitar 4.000 ton tertangkap oleh alat tangkap rawai permukaan dan lebih
dari 8.000 ton tertangkap oleh rawai tuna (pada perikanan tuna di Jepang, Korea dan Taiwan).
Sangat disayangkan sekali bahwa dari 10.000 ton ikan cucut yang tertangkap setiap tahunnya
hanya diambil siripnya saja dan dagingnya dibuang kembali ke laut (Musick 2005).
Dalam FAO International Plan of Action for the Conservation and Management of
Shark (IPOA-Shark) mewajibkan untuk memanfaatkan seluruh bagian tubuh cucut yang telah
mati, termasuk juga pada cucut yang telah dihilangkan siripnya (Musick 2005).

2.4 Kemunduran Mutu Ikan selama Masa Penyimpanan Suhu Dingin


Kualitas daging ikan yang disimpan selama suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh
degradasi senyawa kimia dan biokimia yang dipengaruhi oleh aktivitas mikrobiologis dan
enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain itu karakteristik biologi,
kondisi ikan saat ditangkap dan penanganan setelah ditangkap juga dapat mempengaruhi laju
kemunduran mutu ikan selama penyimpanan dingin (Sikorski dan Sun Pan 1994).
Kemunduran mutu terjadi sesaat setelah ikan mati. Menurut Amlacher (1961) ketika
suplai oksigen terhenti, maka akan terjadi peristiwa glikolisis pada jaringan otot ikan. Akibat
dari peristiwa tersebut maka pH akan turun, dimana glikogen akan dihidrolisis menjadi asam
laktat yang menyebabkan turunnya nilai pH (Connell 1980; Suvanich dan Marshall 1996).
Selanjutnya kreatin-fosfat (CP) (gudang dari energi ikatan fosfat) secara normal akan hilang
dari jaringan otot. Setelah kehilangan sekitar 60 % CP, penguraian terhadap adenosin trifosfat
(ATP) dimulai. Menurut Botta (1994) penguraian secara enzimatis pada daging ikan akan
menyebabkan terurainya ATP menjadi hipoksantin. Setelah ikan mati, ATP akan mengalami
penguraian secara cepat melalui reaksi defosforilasi dan deaminasi menjadi adenosin
monofosfat (AMP) dan akan terurai lagi menjadi inosin monofosfat (IMP). IMP akan terurai
dengan lambat secara defosforilasi dan hidrolisasi oleh enzim atau mikroba menjadi
hipoksantin. Hipoksantin akan teroksidasi menjadi xantin dimana xantin juga akan terurai
oleh proses oksidasi menjadi asam urat. Hipoksantin dapat menyebabkan rasa pahit pada
daging ikan. Skema proses penguraian ATP menjadi asam urat dapat dilihat pada Gambar 3.
Adenosin trifosfat (ATP)
defosforilasi
2 Pi

Adenosin monofosfat (AMP)


deaminasi NH3

Inosin monofosfat (IMP)

defosforilasi 2 Pi

Inosin
hidrolisis

Hipoksantin
oksidasi

Xantin
oksidasi

Asam urat

Gambar 3 Degradasi nukleotida pada saat fase rigormortis ikan (Botta 1994)

Menurut Clucas dan Ward (1996) mikroorganisme yang ada pada kulit, insang, dan alat
pencernaan pada kondisi ikan mati akan segera menggandakan diri untuk menyerang daging
ikan karena didukung oleh kondisi lingkungan yang baik untuk tumbuh. Selanjutnya Connell
(1980) menyatakan bahwa selama ikan hidup, tubuh ikan akan terjaga tetap steril dari
mikroorganisme pembusuk karena tubuh ikan memiliki kemampuan diri untuk
mempertahankan hidupnya.
Menurut Connell (1980) penguraian tingkat lanjut oleh enzim terjadi setelah proses
rigormortis selesai yang dimulai dengan meningkatnya nilai pH. Menurut Amlacher (1961)
setelah rigor, enzim proteolisis aktif. Enzim ini akan menguraikan protein. Tingkat akhir dari
hasil penguraian ini adalah terbentuknya senyawa amonia.
Kemunduran mutu ikan setelah mati disebabkan karena aktivitas enzimatis dan
mikrobiologis yang sudah ada secara alami pada tubuh ikan ketika hidup. Menurut Clucas dan
Ward (1996) pada suhu di bawah 4 C proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat. Pada
suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan
lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma,
warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah.

2.5 Surimi
Surimi adalah salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal di seluruh dunia.
Surimi sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi dapat menggunakan berbagai
jenis ikan. Salah satu keunggulan dari surimi adalah kemampuannya untuk diolah menjadi
berbagai macam variasi produk-produk lanjutannya dalam berbagai bentuk dan ukuran
(Okada 1992).
Pengolahan surimi dari jenis ikan HTS dapat membantu nelayan untuk meningkatkan
nilai tambah dari ikan HTS tersebut, misalnya ikan cucut dan pari.

2.5.1 Pengertian surimi


Menurut Pipatsattayanuwong et al. (1995) surimi adalah protein miofibril ikan yang
telah distabilisasikan dan diproduksi melalui tahap proses secara kontinu yang meliputi
penghilangan kepala, penghilangan tulang, pelumatan daging, pencucian, penghilangan air,
dan pembekuan dengan cryoprotectant, juga dapat diartikan sebagai suatu proses pencucian
dan penghilangan air pada daging lumat ikan dari protein sarkoplasma, lemak, dan bahan-
bahan yang tak diinginkan seperti kulit dan tulang.
Kata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional untuk
menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai proses yang
diperlukan untuk mengawetkannya (Surimithailand 2005). Surimi adalah produk antara, yang
dapat diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan (fish jelly product) seperti: bakso ikan,
sosis ikan, siomay, otak-otak, fish cake, kamaboko, dan sebagainya yang spesifikasinya
menuntut kelenturan (spinginess) yang merupakan kriteria mutu utama produk tersebut
(BPPMHP 1987).

2.5.2 Pengolahan surimi


Pengolahan surimi yang telah umum dilakukan terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
persiapan bahan baku, pencucian, penghilangan tulang, pencucian daging lumat, pengurangan
kadar air, penambahan bahan tambahan, pengepakan, pembekuan dan penyimpanan. Diagram
alir pengolahan surimi yang umum dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4.
Ikan

Pencucian

Pemfiletan

Pemisahan tulang dan pelumatan


Meat-bone separator

Daging Lumat
Pertama: air dingin
Pencucian
Kedua: air dingin
Ketiga: air dingin + NaCl 0,2-0,3 %
Pengurangan air
Screwpress

Penambahan cryoprotectant Silent cutter

Pengepakan dan pembekuan

Surimi beku

Gambar 4 Proses pengolahan surimi (Shimizu et al. 1992)

Pada dasarnya semua jenis ikan dapat diolah menjadi produk surimi. Jenis ikan yang
ideal untuk produk surimi beku adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang
baik, sebab kemampuan pembentukan gel ini akan mempengaruhi elastisitas tekstur. Untuk
mendapatkan kualitas surimi yang baik, sebaiknya menggunakan ikan yang masih segar,
karena elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan yang segar (BBPMHP 1987).
Kualitas dari surimi beku dinilai dari kekuatan gelnya dan warna dari surimi tersebut.
Menurut Winarno (1993) kualitas surimi yang baik adalah yang berwarna putih kuat dan
dapat membentuk gel.
Faktor penting yang mempengaruhi proses pembuatan surimi yang berkualitas baik
antara lain adalah: cara penyiangan (pemotongan kepala, fillet), besarnya partikel dari daging
lumat, kualitas air, temperatur ikan, peralatan yang digunakan, dan cara pencucian (Lee
1994). Menurut Bertak dan Karahadian (1995) faktor utama yang harus diperhatikan selama
proses pembuatan surimi adalah suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan. Suhu air
yang lebih tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut garam. Kekuatan gel terbaik
diperoleh jika daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10-15 C.
Menurut Benjakul et al. (1996) pencucian adalah tahap kritis dalam proses pembuatan
surimi. Pencucian dapat menghilangkan materi yang dapat larut air, seperti darah, protein
sarkoplasma, enzim pencernaan, garam inorganik, dan senyawa organik berberat molekul
rendah seperti trimetilamin oksida.
Pencucian juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma, serta meningkatkan
kekuatan gel surimi. Menurut Lee (1986) diacu dalam Benjakul et al. (1996) komponen
utama yang dapat larut dalam air akan hilang dalam jumlah yang banyak pada siklus
pencucian pertama kali. Secara umum agitasi selama lima menit dalam setiap kali pencucian
untuk pencucian sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai cukup. Lin et
al. (1996) diacu dalam Benjakul et al. (1996) melaporkan bahwa 27 % dan 38 % protein
hilang berturut-turut pada pencucian sebanyak dua kali dan tiga kali dalam proses pengolahan
surimi.

2.5.3 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi


Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan maksud
dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, untuk
mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa (Winarno et al. 1980).
Dalam proses pembuatan surimi sering digunakan bahan-bahan tambahan yang
ditambahkan dengan maksud dan tujuan tertentu. Bahan tambahan yang ditambahkan dalam
proses pembuatan surimi bertujuan untuk meningkatkan kualitas surimi. Bahan tambahan
yang digunakan dalam pembuatan surimi antara lain adalah garam dan cryoprotectant (gula
dan polifosfat).

2.5.3.1 Garam
Garam terdiri dari 34,39 % Na dan 60,69 % Cl. Garam biasa digunakan dalam
pengolahan ikan sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet. Menurut Zaitsev et al. (1969)
garam memiliki tekanan osmosis yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan terjadinya proses
osmosis dengan sel daging ikan dan sel-sel mikroorganisme. Akibat plasmolisis sel
mikroorganisme akan turun kadar airnya sehingga mikroorganisme akan mati karena
kekurangan air sebagai media untuk hidup.
Pada pembuatan surimi penambahan garam sebanyak 0,2-0,3 % selama proses
pencucian akan memudahkan penghilangan air dari daging ikan yang telah dilumatkan (Ditjen
Perikanan 1990). Menurut KIFTC (1992) bahwa dalam pembuatan produk fish jelly, NaCl
digunakan lebih utama sebagai agen pelarut bagi protein miofibril daripada sebagai penambah
cita rasa. Penambahan NaCl pada konsentrasi dibawah 2 % akan menyebabkan protein
miofibril tidak dapat larut, namun penambahan NaCl pada konsentrasi diatas 12 % akan
menyebabkan daging terdehidrasi dan menyebabkan efek salting-out dari NaCl. Penambahan
NaCl terbaik dalam pembentukan ashi adalah dengan menggunakan kadar garam tinggi (5-10
%), tetapi selang kadar garam 2-3 % biasa digunakan pada beberapa spesies dan produk,
karena untuk menghindari rasa asinnya (Niwa 1992).

2.5.3.2 Anti denaturan (cryoprotectant)


Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan surimi yang
tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan terlebih dahulu pada
suhu beku dalam waktu yang lama.
Fungsi cryoprotectant adalah sebagai zat anti denaturan. Penyimpanan surimi dalam
waktu yang lama bertujuan untuk menjaga stok daging ikan di pasaran. Penambahan
cryoprotectant dalam pembuatan surimi dapat mencegah denaturasi protein selama masa
pembekuan (Nielsen dan Piegott 1994). Menurut Pipattasatayanuwong et al. (1995)
cryoprotectant dibutuhkan untuk meminimalisasikan denaturasi protein selama masa
penyimpanan beku. Sukrosa (4 %) dan sorbitol (4-5 %) sering digunakan bersamaan dengan
0,3 % sodium fosfat.
Penambahan polifosfat dapat menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu
tahun (Lee 1984). Menurut Peranginangin et al. (1999) penambahan cryoprotectant dapat
meningkatkan tingkat N-aktomiosin dari 350 mg% menjadi 520 mg% dan meningkatkan
kekuatan gel dari 400 g menjadi 489 g, artinya sama dengan meningkatkan nilai pelipatan.
Jenis polifosfat yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan antara lain adalah
dinatrium fosfat, natrium heksametafosfat dan natrium tripolifosfat (STPP). Menurut
Matsumoto dan Noguchi (1992) fosfat digunakan pertama kali oleh Nishiyas Group (industri
surimi di Jepang). Pirofosfat dan tripolifosfat dilaporkan memiliki efek untuk melindungi
protein. Nishiyas Group melaporkan bahwa pirofosfat dan tripolifosfat adalah lebih efektif
dibandingkan dengan tetrapolifosfat dan heksametafosfat.
Peranginangin et al. (1999) melaporkan bahwa polifosfat akan memisahkan aktomiosin
dan berikatan dengan miosin. Miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air dan menahan
mineral dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat
membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler. Polifosfat dapat
menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan
kelembutan. Polifosfat dapat memperbaiki daya ikat air (water holding capacity) dan
memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi.
Matsumoto dan Noguchi (1992) melaporkan dari beberapa studi bahwa aktivitas utama
polifosfat adalah untuk meningkatkan efek cryoprotective dari gula, dengan efek buffer dari
polifosfat pada pH otot dan dengan mengkelatkan ion metal.
Penambahan bahan tambahan makanan menurut Codex Alimentarius Abridged Version
(1990) diacu dalam Matsumoto dan Noguchi (1992) ditetapkan bahwa penggunaan sodium
tripolifosfat yang diizinkan penggunaanya adalah 3 g/kg daging ikan. Apabila ditinjau dari
komposisinya ternyata sodium tripolifosfat terdiri dari natrium dan fosfat yang keduanya tidak
mengganggu kesehatan bahkan fosfat dapat digunakan sebagai sumber mineral.
Surimi bebas fosfat dapat diproduksi dengan maksud menyingkirkan masalah konsumen
yang kawatir terhadap keseimbangan nutrisi dari kalsium dan fosfat (Matsumoto dan Noguchi
1992).

2.5.4 Mekanisme terbentuknya gel


Mutu surimi yang baik ditentukan oleh kemampuan dari surimi tersebut untuk
membentuk gel. Kemampuan membentuk gel ini berpengaruh terhadap elastisitas dari produk
lanjutan yang diolah dari surimi tersebut. Zayas (1997) menyatakan bahwa proses gelasi
tergantung pada kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil
dari interaksi antara protein-protein dan protein-air. Interaksi ini berlangsung cepat pada
kandungan protein yang tinggi karena akan sering terjadi kontak intermolekul. Air berfungsi
untuk mencegah hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak.
Pembentukan gel adalah hasil dari ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan ikatan
kovalen disulfida. Menurut Jaczynski dan Park (2004) gelasi adalah hasil dari denaturasi
protein, yang dimulai dengan interaksi intermolekul dan intramolekul kovalen dan non-
kovalen, termasuk ikatan disulfida (SS) dan interaksi hidrofobik.
Menurut Baier dan Mc Clements (2005) karakteristik fisikokimia dari pembentukan gel
adalah hasil akhir dari interaksi antara pelarut, zat terlarut dan protein yang membentuk
jaringan. Kemampuan pembentukan gel berdasarkan atas kemampuan sebuah polimer
penyusun protein untuk membentuk ikatan silang (cross linking) dalam bentuk tiga dimensi
dari protein. Kombinasi yang unik ikatan kovalen pada umumnya adalah ikatan disulfida,
ikatan intermolekul non-kovalen oleh ikatan hidrogen dan elektrostatik dan interaksi
hidrofobik secara signifikan dapat mempengaruhi terbentuknya gel. Besarnya interaksi non-
kovalen dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti pH dan konsentrasi zat terlarut. Sedangkan
ikatan hidrogen dan kekuatan hidrofobik tergantung kepada jumlah air sebagai zat pelarut
(Baier dan Mc Clements 2005).

2.5.4.1 Pengaruh garam terhadap protein miofibril


Proses gelasi daging ikan adalah peristiwa dimana daging ikan membentuk gel karena
pemberian perlakuan khusus yaitu dengan penambahan garam dan seiring dengan
peningkatan suhu tertentu (BPPMHP 1987).
Niwa (1992) melaporkan bahwa dalam proses pembentukan gel surimi, miofibril akan
hilang karena larut dalam air yang telah ditambahkan garam. Ketika garam masuk, maka ion
garam secara individu terhidrasi dengan air, kemudian akan berikatan dengan grup yang
berlawanan pada permukaan protein. Ikatan garam intermolekul diantara protein miofibril
akan melemah dan protein akan terlarut di dalam air karena peningkatan afinitasnya terhadap
air. Secara simultan miosin yang larut akan berkombinasi dengan aktin untuk membentuk
struktur makromolekul aktomiosin. Proses pembentukan aktomiosin dari miofibril dapat
dilihat pada Gambar 5.

M A A
M
NaCl

Keterangan: A = aktin
M = miosin

Gambar 5. Pembentukan aktomiosin dari miofibril (Niwa 1992)

Garam tidak hanya berpengaruh terhadap kelarutan protein miofibril, tetapi juga dapat
menstabilisasikan molekulnya terhadap denaturasi panas. Keduanya dari miosin dan
aktomiosin memiliki peranan yang penting dalam gelasi surimi. Massa ini disebut dengan sol
yang bersifat sangat adesif.
2.5.4.2 Perubahan sol menjadi gel
Menurut Hudson (1992) gel protein didefinisikan sebagai jaringan tiga dimensi dimana
polimer-polimer dan polimer-pelarut berinteraksi yang menghasilkan imobilisasi dari
sejumlah besar air dari proporsi protein yang kecil.
Niwa (1992) menyatakan bahwa ada empat tipe ikatan utama yang berkontribusi
terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi, yaitu: ikatan
garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik.
Menurut Baier dan Mc Clements (2005) protein akan segera bereaksi karena adanya
aktifitas dari air. Hal ini dapat terjadi karena sifat yang unik dari air. Air adalah ligan
terbanyak yang mengelilingi molekul protein. Niwa (1992) melaporkan bahwa asam-asam
amino tirosin, serin, hidroksiprolin, dan treonin tergabung dalam grup hidroksil, dan prolin
dan hidroksiprolin yang tergabung dalam grup imino, keduanya bertindak sebagai donor dan
akseptor proton, sedangkan glutamin dan aspargin yang keduanya mengandung grup karbonil
bertindak sebagai akseptor proton. Ikatan intermolekul hidrogen terbentuk diantara grup
imino dan karbonil. Ikatan garam bertanggung jawab terhadap peningkatan energi yang akan
memisahkan molekul air. Ikatan hidrogen akan melemah ketika dipanaskan.
Hudson (1992) membagi proses gelasi dari protein menjadi tiga bagian yang diawali
dengan proses denaturasi dari protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap
pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama.
Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Menurut Niwa (1992) ketika suhu naik, maka
ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat.
Pembentukan interaksi hidrofobik diketahui sebagai hadirnya dari beberapa poliol dan asam
amino, seperti gliserin, sukrosa, sorbitol, asam glutamat dan lisin. Interaksi hidrofobik terjadi
ketika tahap inkubasi surimi pada suhu mendekati 40 C. Menurut Jaczynski dan Park (2004)
interaksi hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilisasikan
sistem protein.
Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril (Hudson 1992). Pada tahap ini menurut Niwa
(1992) pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk
melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu
pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80 C).
Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan.
Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang
menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992).
Menurut Suzuki (1981) ketika pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging
dengan garam dipanaskan, maka pasta daging tersebut berubah menjadi gel suwari.
Dilaporkan bahwa gel suwari tidak hanya terbentuk oleh hidrasi molekul protein, tetapi juga
oleh pembentukan jaringan oleh ikatan hidrogen pada molekul protein miofibril. Gel suwari
terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh ikatan
hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwari terjadi pada pemanasan dengan suhu
mencapai 50 C.
Ketika pemanasan gel ditingkatkan hingga di atas suhu 50 C, maka struktur gel tersebut
akan hancur. Fenomena ini disebut dengan modori. Modori akan terjadi apabila pasta surimi
dipanaskan pada suhu 50-60 C selama 20 menit. Pada rentang suhu tersebut enzim alkali
proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga
dimensi gel yang telah terbentuk.
Berkaitan dengan fenomena diatas, maka dibuat sebuah metode untuk membuat gel
kamaboko yang kuat dengan melewatkan secara cepat pasta surimi tersebut pada zona rentang
suhu dimana modori dapat terjadi. Menurut Suzuki (1981) gel kamaboko yang elastis
terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati zona suhu modori. Dengan cara
pemanasan ini terbentuk jaringan dengan dimensi yang lebih besar yang disebut gel ashi.
Proses pembentukan gel kamaboko dapat dilihat pada Gambar 6.

2-3% NaCl
~50C ~60C 90C~

Daging Ikan Sol Aktomiosin Suwari Gel Modori Gel Kamaboko


(pasta daging)

Gambar 6 Proses pembentukan gel kamaboko (Suzuki 1981)

2.5.5 Mutu surimi


Karakteristik kesegaran bahan baku surimi menurut SNI (01-2694.1-1992) secara
organoleptik sekurang-kurang sebagai berikut:
a) rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jenis ikan
b) aroma : segar spesifik jenis
c) daging : elastis, padat dan kompak
d) rasa : netral agak manis
Untuk mempertahankan mutu, bahan baku harus segera diolah. Apabila terpaksa harus
menunggu, maka bahan baku harus disimpan dengan es atau air dingin (0-5C), kondisi
saniter dan higienis (SNI 01-2694.1-1992). Syarat mutu surimi beku berdasarkan SNI 01-
2693-1992 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992)


Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu
a) Organoleptik koloni/g 7
- Nilai min
b) Cemaran mikroba 5
AMP/g 5 x 10
- ALT, maks
per 25 g <3
- Escherichia coli
per 25 g 3
- Coliform
) negatif
- Salmonella *
- Vibrio cholerae *
) negatif

c) Cemaran kimia
- Abu total, maks % b/b 1
- Lemak, maks % b/b 0,5
- Protein, maks % b/b 15
d) Fisika
C -18 C
- Suhu pusat, maks
grade A
- Uji lipat, min 2
g/cm 300
- Elastisitas, min
)
* jika diminta importir
Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total
AMP = Angka Paling Memungkinkan

2.6 Non Nitrogen Protein (NNP)


Senyawa NNP memegang peranan penting dalam proses metabolisme binatang laut dan
juga berperan dalam proses pembusukan serta membentuk flavor makanan hasil laut. Pada
elasmobranchii, non nitrogen protein berjumlah sekitar 30 %, sedangkan pada teleostei yang
ditangkap di India kandungan NNP-nya adalah sekitar 10 %, dan pada golongan krustasea
mengandung NNP sekitar 23 % dari total nitrogen (Govindan 1985).
Ikan elasmobranchii (tulang rawan) mempunyai kandungan NNP yang lebih tinggi
daripada ikan bertulang keras. Menurut Simidu (1961) kandungan NNP pada ikan bertulang
keras berkisar antara 9,218,3 % dari total nitrogen, dan pada ikan bertulang rawan berkisar
antara 33-38,6 %.
Menurut Simidu (1961) senyawa yang terdapat pada fraksi NNP dapat dikelompokkan
sebagai berikut: (a) basa volatil (amonia, mono, di-, dan trimetilamin); (b) basa
trimetilamonium (trimetilamin oksida dan betain); (c) turunan guanidin (kreatin dan arginin);
(e) variasi (urea, asam amino, dan turunan purin).
Kandungan NNP dari setiap spesies ikan adalah berbeda. Kandungan NNP dari berbagai
jenis ikan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Distribusi dari senyawa NNP (%) pada beberapa spesies ikan (Shahidi 1994)

Spesies Asam Amino Peptida Nukleotida Kreatin/ Betain Lainnya


a
Bebas Kreatinin

Mackarel 25 5 10 35 - 25
b
Hiu Udang 5 5 5 10 - 75
Kepiting 65 5 5 - 5 20
Cumi-cumi 75 5 15 - 5 -
c
Kerang 50 5 15 - 10 20
35 5 35 - 15 10
Keterangan : a) amonia, urea, trimetilamin oksida dan amida, b) kandungan utamanya urea, c)
mengandung 10 % oktopin

Govindan (1985) menyatakan bahwa senyawa NNP secara umum terkandung di dalam
otot ikan. Senyawa tersebut mempengaruhi kualitas serta berkontribusi terhadap flavor. NNP
memainkan peranan yang penting dalam proses metabolisme dari hewan laut, dan juga dalam
proses kebusukan (Simidu 1961).
Urea merupakan sumber amonia, dimana senyawa ini merupakan karakteristik dari
daging ikan bertulang rawan. Urea terdapat baik pada ikan bertulang rawan, maupun ikan
bertulang keras. Perbedaannya, ikan bertulang keras mengeluarkan urea dengan cepat,
sedangkan pada ikan bertulang rawan urea tetap tinggal di dalam darah dan cairan tubuh.
Keberadaan urea di dalam ikan bertulang rawan adalah sebagai pengatur tekanan
osmosis atau sebagai osmoregulator tubuh ikan dengan lingkungannya (Musick 2005).
Tekanan osmosis laut memiliki perbedaan kurang lebih sebesar 100 kali dibandingkan dengan
air tawar (Govindan 1985).
Kandungan urea pada elasmobranchii cukup bervariasi sesuai dengan spesiesnya, yang
berkisar antara 1,42,0 % (Lagler et al. 1977; Govindan 1985). Urea terbentuk karena adanya
enzim arginase. Enzim arginase berperan mengubah arginin menjadi ornitin dan urea di
seluruh tubuh.
Urea memiliki sifat tidak berwarna, mudah larut dalam air dan alkohol, asam asetat dan
pirimidin, tidak berbahaya namun dapat menghasilkan aroma yang spesifik dan rasa sour
bitter (Kreuzer dan Ahmed 1978). Menurut Simidu (1961) sintesis senyawa ini terjadi pada
seluruh organ tubuh ikan elasmobranchii, karena dilaporkan bahwa enzim arginase terdapat di
seluruh tubuhnya.
Mekanisme pembentukan urea secara biokimia terjadi melalui siklus Krebs yang
diperlihatkan dalam Gambar 7.

1) CO2 + NH3 Karbamilfosfat


2) Karbamilfosfat + Ornitin Sitrulin
3) Sitrulin + Aspartat Arginosuksinat
4) Arginosuksinat Arginin
Arginase
5) Arginin Urea + Ornitin
Gambar 7 Mekanisme pembentukan urea (Simidu 1961)

Musick (2005) menyatakan bahwa setelah ikan mati, urea akan diuraikan menjadi
amonia yang dapat menghasilkan aroma yang kuat dimana pada konsentrasi yang tinggi dapat
menimbulkan toksik. Selanjutnya Simidu (1961) melaporkan bahwa terjadi pembentukan
amonia dalam jumlah yang besar selama masa penyimpanan daging ikan elasmobranchii,
yang secara jelas diindikasikan bahwa urea sebagi prekursornya. Enzim urease bertanggung
jawab terhadap proses dekomposisi ini, akan tetapi aksi dari bakteri juga dapat menyebabkan
dekomposisi urea. Tidak ada periode inaktif yang ditemukan pada daging yang disimpan pada
suhu tinggi maupun rendah atau ketika dilumatkan terhadap dekomposisi urea menjadi
amonia. Menurut Walser (1981) konversi dari N-urea menjadi N-amonia disebabkan oleh
bakteri yang memproduksi enzim urease.
Dorn (2005) menjelaskan tentang konversi urea menjadi amonia. Hasil dari uraian urea
adalah amonia dan karbondioksida. Proses konversi tersebut berlangsung dalam dua tahap.
Ketika urea (CO(NH2)2) bertemu dengan air (hidrolisis) akan membentuk ammonium
karbonat (NH4)2CO3. Amonium sangat tidak stabil dan akan terurai untuk membentuk gas
amonia (NH3) dan karbondioksida (CO2). Menurut Camberato (2001) hidrolisis urea adalah
peristiwa konversi urea menjadi amonia oleh enzim urease.
3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juli 2005. Penelitian utama
dan penelitian pendahuluan dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan,
Laboratorium Kimia dan Laboratorium Organoleptik Balai Pengembangan dan Pengujian
Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP), Muara Baru, Jakarta Utara. Pengujian kadar urea pada
penelitian pendahuluan dilakukan di Laboratorium Kimia Pengujian Mutu Hasil Perikanan
Dinas Perikanan DKI Jakarta, Pluit, Jakarta Utara. Pengujian kadar urea dan derajat putih
pada penelitian utama dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat Riset Pengolahan Produk dan
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jl. KS. Tubun Petamburan VI, Jakarta Pusat dan
pengujian daya ikat air (WHC) pada penelitian utama dilakukan di Laboratorium Kimia dan
Biokimia Pangan dan Gizi, Pusat Antar Universitas (PAU-Pangan dan Gizi), Institut Pertanian
Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

3.2.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi: bahan-bahan
untuk pembuatan surimi dan analisis karakteristik surimi. Bahan-bahan yang digunakan untuk
pembuatan surimi adalah: ikan cucut pisang, ikan pari kelapa, garam, sukrosa, sodium
tripolifosfat (STPP), dan es curai. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan untuk analisis
karakteristik surimi meliputi bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis protein, lemak, total
volatil basa nitrogen (TVBN), trimetilamin (TMA), urea, dan protein larut garam (PLG)).

3.2.2 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian dapat dibagi menjadi: peralatan yang
digunakan untuk pembuatan surimi (cool box, wadah air (teris), pisau, talenan, mesin pemisah
daging-tulang (meat-bone separator) Muika Equipment MS-120, pelumat daging (grinder)
elektrik, food processor, pres hidraulik, kain kasa saring, plastik polyetilen (PE), show case
cabinet (suhu 4-5 C), termokopel digital, timbangan digital, water bath, dan
peralatan yang digunakan untuk analisis mutu surimi (proksimat (kjeltec system, oven, tanur,
desikator), pH (pH meter digital merek: InoLab), TVBN dan TMA (cawan conway), urea
(spektrofotometer uv-vis merek: Perkin Elmer), PLG (sentrifus dingin, kjeltec system),
kekuatan gel, WHC (pengepres hidraulik), dan derajat putih (Whiteness meter merek: Kett
electric).

3.3 Metode Penelitian


Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1) Penelitian pendahuluan, yaitu analisis karakteristik fisika-kimia bahan baku (rendemen
daging lumat, proksimat, pH, dan TVBN), penentuan frekuensi pencucian dan
komposisi daging lumat terbaik).
Penentuan frekuensi pencucian terbaik ditentukan berdasarkan jumlah penurunan kadar
urea dan jumlah peningkatan kadar protein larut garam daging lumat, sedangkan
komposisi daging lumat terbaik ditentukan berdasarkan nilai kekuatan gel daging lumat
tertinggi.
2) Penelitian utama, yaitu mempelajari pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan
dingin daging lumat terhadap karakteristik mutu fisika-kimia surimi (kekuatan gel, uji
lipat, uji gigit, derajat putih, dan daya ikat air).

3.3.1 Penelitian pendahuluan


Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisika dan kimia ikan,
mencari jumlah pencucian terbaik yang mampu mereduksi kadar urea daging lumat serta
meningkatkan kadar protein larut garam, dan mencari kombinasi komposisi pencampuran
daging lumat terbaik antara ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa. Kombinasi
pengkomposisian daging lumat dapat dilihat pada Tabel 6. Diagram alir penelitian
pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 8.

Tabel 6 Rasio pengkomposisian daging lumat ikan cucut dan ikan pari
Kombinasi komposisi daging lumat
Jenis ikan
A B A1B1 A2B1 A1B2
Cucut 100 % 0% 50 % 75 % 25 %
Pari 0% 100 % 50 % 25 % 75 %
Keterangan : A adalah daging lumat cucut 100 %, B adalah daging lumat pari 100 %, A1B1 adalah
daging lumat cucut 50 % : pari 50 %, A2B1 adalah daging lumat cucut 75 % : pari 25
%, dan A1B2 adalah daging lumat lumat cucut 25 % : pari 75 %.
Cucut Pari

Ditimbang

kepala, sirip, ekor, isi


Disiangi perut dan kulit

Dicuci

Dilumatkan

Daging Lumat Rendemen berat

Dikomposisikan

A B A1B1 A1B2 A2B1

Analisis kadar
proksimat, pH,
dan TVBN

Penentuan Dilarutkan pada


komposisi
Pencucian terbaik larutan garam, dan
0,1,2,3,4 X dari kelima dipanaskan dua
komposisi tahap (40 dan
90 C) selama 20
menit
Analisis PLG
dan Urea
Gel

Analisis
kekuatan gel

Jumlah pencucian dan kombinasi komposisi terbaik


Gambar 8 Diagram alir penelitian pendahuluan
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis ikan elasmobranchii yaitu ikan cucut pisang
dan ikan pari kelapa. Ikan tersebut diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara
Angke, Jakarta Utara pada pagi hari. Ikan diangkut ke Laboratorium Pengolahan Hasil
Perikanan BPPMHP Muara Baru, Jakarta Utara dengan jarak kurang lebih 10 km, waktu
tempuh kurang lebih 30 menit. Ikan terlebih dahulu dimasukkan kedalam cool box yang
ditambahkan dengan es curai dan ditutup rapat.
Setelah sampai di Laboratorium pengolahan hasil perikanan BPPMHP, kedua ikan
tersebut masing-masing ditimbang untuk mengetahui berat utuh ikan tersebut. Kemudian
ikan disiangi untuk membersihkan kulit, kepala dan isi perut. Selanjutnya daging ikan tersebut
dibersihkan dengan air dingin untuk menghilangkan darah dan kotoran-kotoran. Kemudian
daging ikan tersebut dimasukkan kedalam mesin meat-bone separator secara bergantian
untuk memisahkan daging dengan tulang, yang akhirnya didapatkan daging lumat dari hasil
pemisahan tersebut. Daging ikan akan terjepit diantara sabuk berjalan (belt conveyor) dan
silinder berpori. Daging ikan hancur (menjadi daging lumat) karena terjepit dan masuk
kedalam pori-pori, kulit dan tulang terpisah dan dibuang melalui pembuangan. Dihitung nilai
rendemen berat daging lumat dari kedua jenis ikan tersebut.
Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap karakteristik kimia dari kedua jenis daging
ikan tersebut. Pengamatan yang dilakukan adalah analisis proksimat (kadar air, abu, lemak
dan protein kasar), dan analisis kesegaran (nilai pH dan kadar TVBN).
Pada kedua jenis daging ikan tersebut dilakukan proses pencucian sebanyak empat kali.
Perbandingan air (PAM) dan daging yang digunakan adalah 4:1, dilakukan selama 10 menit,
suhu dingin (suhu < 10 C).
Pada setiap tahap frekuensi pencucian, dimulai dari tahap tanpa pencucian hingga
pencucian empat kali dilakukan pengamatan terhadap kadar urea dan PLG daging lumat
kedua jenis ikan tersebut. Frekuensi pencucian yang terbaik dinilai berdasarkan besarnya
penurunan kadar urea, dan peningkatan kadar PLG. Frekuensi pencucian terbaik tersebut akan
digunakan dalam proses pembuatan surimi pada penelitian utama.
Pencucian berulang kali diharapkan dapat menurunkan kadar urea dan meningkatkan
PLG dari daging lumat. Penggunaan frekuensi pencucian sebanyak empat kali mengacu pada
penelitian Fitrial (2000), yang menentukan frekuensi pencucian terbaik pada daging lumat
ikan cucut lanyam (Carcharinus limbatus) berdasarkan kadar PLG-nya.
Setelah mengetahui frekuensi pencucian terbaik maka daging lumat ikan cucut pisang
dan pari kelapa dikomposisikan dengan jumlah pengkomposisian yang telah ditetapkan pada
Tabel 6. Selanjutnya pada masing-masing kombinasi pengkomposisian tersebut dievaluasi
kekuatan gelnya, dengan tahapan proses sebagai berikut: pertama-tama daging dilarutkan
pada larutan garam 3 % (b/b) dan air dingin 30 % (b/v), kemudian dilakukan pemanasan
(setting) pada suhu 40 C selama 20 menit, kemudian perebusan (cooking) pada suhu 90 C
selama 20 menit. Pengukuran kekuatan gel menggunakan alat texture analyzer tipe TA-XT2i,
dengan probe berdiameter 2,5 inchi.
Satu kombinasi komposisi daging lumat terbaik berdasarkan nilai maksimum kekuatan
gel yang dihasilkan dipilih untuk dipelajari pengaruh penyimpanan pada suhu dingin. Tiga
komposisi, yaitu komposisi daging lumat A, B, serta kombinasi komposisi terpilih akan
digunakan pada tahap penelitian utama.

3.3.2 Penelitian utama


Daging lumat komposisi A, B, dan komposisi terbaik pertama-tama ditimbang sebanyak
600 g, kemudian dimasukkan kedalam plastik polyethilene (PE) dan ditutup rapat. Kemudian
semua daging tersebut disimpan pada show case cabinet (suhu 4-5 C) selama sembilan hari.
Dilakukan pengamatan berupa analisis pH, TVBN, TMA, urea dan PLG terhadap semua
komposisi daging lumat pada hari ke-0, 3, 6, dan 9.
Bersamaan dengan itu dilakukan proses pengolahan surimi, yang diawali dengan proses
pencucian yang menggunakan frekuensi terbaik. Pencucian menggunakan air PAM yang
ditambahkan es balok, dengan perbandingan air dan daging adalah 4:1. Pada proses pencucian
terakhir ditambahkan NaCl sebanyak 0,3 %. Selanjutnya dilakukan proses pengurangan kadar
air dengan mengepres daging lumat pada alat pengepres hidraulik, hingga mencapai kadar air
kurang-lebih sebesar 80 %. Daging akan tertekan oleh dua besi pengepres (berada pada sisi
atas dan bawah), karena adanya tekanan air akan keluar dari daging. Kemudian daging
dicampurkan merata dengan sukrosa 2 % dan STPP 0,3 % sebagai cryoprotectants, hingga
terbentuk surimi. Diagram alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.
A B Komposisi terbaik

Pembungkusan dengan plastik


polyethilen (PE)

Penyimpanan suhu dingin (4-5 C)


selama sembilan hari

Pengamatan Pengamatan Pengamatan Pengamatan


pada hari pada hari pada hari pada hari ke-
ke-0 ke-3 ke-6 9

Analisis pH, kadar TVBN, TMA,


urea, dan PLG

Pengolahan
daging lumat
Pencampuran Pengurangan Pencucian dari tiap-tiap
hari
dengan kadar air terbaik penyimpa-
cryoprotectant nan menjadi
(sukrosa 2%, surimi
dan Pres hidraulik Dengan air PAM
STPP 0,3 %) dingin (4:1), pada
tahap pencucian
terakhir
ditambahkan
Surimi NaCl 0,3 %

Kekuatan gel, uji


lipat, uji gigit,
WHC, dan derajat
putih

Gambar 9 Diagram alir penelitian utama

3.4 Perlakuan
Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini dilakukan pada tahap penelitian utama.
Terdapat dua perlakuan yang diberikan, yaitu perlakuan pengkomposisian daging lumat
sebagai faktor satu dan penyimpanan dingin daging lumat sebagai faktor dua.
Faktor pengkomposisian daging lumat terbagi menjadi tiga taraf perlakuan yaitu:
(1) A (komposisi cucut 100%)
(2) B (komposisi pari 100%)
(3) Komposisi terbaik
Faktor penyimpanan dingin daging lumat terbagi menjadi empat taraf perlakuan yaitu :
(1) 0 (penyimpanan pada hari pertama)
(2) 3 (penyimpanan pada hari ketiga)
(3) 6 (penyimpanan pada hari keenam)
(4) 9 (penyimpanan pada hari kesembilan)

3.5 Pengamatan
Hal yang diamati selama proses penelitian ini akan dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu:
pengamatan pada penelitian pendahuluan, pengamatan pada daging lumat, dan pengamatan
pada surimi.

3.5.1 Pengamatan pada penelitian pendahuluan


Pada penelitian pendahuluan dilakukan beberapa pengamatan yang sangat
mempengaruhi penelitian selanjutnya. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian
pendahuluan adalah: rendemen berat daging, analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, dan
protein kasar), pH, TVBN, urea, PLG dan pengamatan terhadap kekuatan gel daging lumat.

3.5.2 Pengamatan pada daging lumat


Pada daging lumat yang disimpan pada suhu dingin selama sembilan hari dilakukan
pengamatan terhadap pH, TVBN, TMA, protein larut garam dan urea, masing-masing pada
hari penyimpanan ke-0, 3, 6, dan 9 hari.

3.5.3 Pengamatan pada surimi


Pengamatan terhadap karakteristik mutu surimi dilakukan dengan menghitung nilai
kekuatan gel, uji lipat, uji gigit, derajat putih dan daya ikat air.

3.6 Uji Fisik


Uji fisik meliputi perhitungan terhadap nilai rendemen berat daging lumat, evaluasi
kekuatan gel, dan derajat putih surimi.
3.6.1 Rendemen berat (SNI-19-1705-2000 diacu dalam Pranira 2003)
Rendemen berat daging dihitung menggunakan rumus :
% Rendemen = berat daging lumat x 100 %
berat ikan utuh

3.6.2 Kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 yang telah dimodifikasi)


Pertama kali dilakukan persiapan sampel surimi. Sebanyak 300 g surimi ditambahkan
NaCl sebesar 3 % (b/b) dari berat surimi dan 30 % air dingin (b/v). Adonan tersebut diaduk
hingga merata pada food processor, sampai dihasilkan pasta surimi.
Pasta surimi selanjutnya dimasukkan kedalam stuffle dan dicetak pada selongsong
dengan diameter 25-35 mm untuk direbus dengan dua tahap perebusan yaitu tahap pertama
direbus pada suhu 40 C selama 20 menit dan tahap kedua direbus pada suhu 90 C selama 20
menit.
Selanjutnya sampel didinginkan pada suhu dingin (4-5 C) selama lima menit lalu
didiamkan pada suhu ruang (30 C) selama 12-24 jam sebelum diuji, dengan maksud untuk
mendapatkan suhu yang sama dengan suhu ruang karena pengujian kekuatan gel dilakukan
pada suhu ruang.
Pengukuran kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan alat texture analyzer jenis
TA-XT2i Texture Analyzer (Texture Technologist Corp., Scarsdale NY/Stable Microsystem,
Godalmin, Surrey, UK). Sampel dipotong dengan panjang 2,5 cm. Nilai kekuatan gel diukur
menggunakan probe dengan diameter inchi yang terbuat dari bahan baja stainless dan
kecepatan pengukuran sebesar 10 mm/detik. Nilai kekuatan gel yang dihasilkan adalah hasil
perkalian antara daya tekan (force) (g) dan jarak pecah (distance) (cm). Nilai kekuatan gel
dapat dihitung dengan rumus: Kekuatan gel (g.cm) = force (g) x distance (cm).

3.6.3 Analisis derajat putih (Kett Electric Laboratory 1981)


Pengujian terhadap derajat putih surimi dilakukan dengan menggunakan alat KETT
Digital Whiteness Meter, model C-100. Prinsip pengujian menggunakan alat ini adalah
membandingkan derajat putih sampel dengan derajat putih standar yang telah ditentukan
berdasarkan jenis sampel yang diuji.
Pertama kali dilakukan kalibrasi alat. Kalibrasi dilakukan dengan cara meletakkan
lempengan kalibrasi yang berwarna putih kedalam wadah berbentuk piring kecil, lempeng
kalibrasi yang berwarna putih menghadap keatas. Selanjutnya dimasukkan kedalam kotak
sampel dan ditutup dengan penutup. Kotak sampel yang berisi lempeng kalibrasi dimasukkan
kedalam alat whiteness meter. Tombol on ditekan dan ditunggu hingga enam menit sampai
tanda peringatan wait berhenti. Setelah itu akan terbaca pada layer (LED) nilai kalibrasi dari
lempeng kalibrasi tersebut. Nilai akan terbaca 100 %.
Perhitungan sampel dilakukan setelah proses kalibrasi selesai. Dilakukan persiapan
sampel sama seperti proses kalibrasi, namun yang diletakkan pada wadah berbentuk piring
kecil adalah sampel berupa surimi. Kemudian sampel yang telah diisikan pada wadah
berbentuk piring kecil tersebut dimasukkan kedalam kotak sampel dan ditutup dengan kover
penutup. Tombol on ditekan dan akan muncul pada LED waktu pengujian dan nilai derajat
putih dari surimi. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali ulangan.

3.7 Uji sensori

3.7.1 Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981)

Pertama kali dilakukan persiapan sampel (cara persiapan sampel sama seperti cara
persiapan sampel pada pengukuran kekuatan gel), namun menggunakan tebal sampel sebesar
4-5 mm.
Tingkat kualitas uji lipat menurut Suzuki (1981) adalah sebagai berikut :
1. Tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran, kualitas AA dengan nilai adalah 5
2. Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran, kualitas A dengan nilai adalah 4.
3. Retak jika dilipat menjadi setengah lingkaran, kualitas B dengan nilai 3.
4. Putus menjadi dua bagian jika dilipat setengah lingkaran, kualitas C dengan nilai 2.
5. Pecah menjadi bagian-bagian kecil jika ditekan dengan jari-jari tangan, kualitas D
dengan nilai 1.

3.7.2 Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981)


Persiapan sampel sama seperti pada kekuatan gel, namun menggunakan ukuran
tebal/tinggi 1 cm. Pengujian dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi
seri atas dan gigi seri bawah. Tingkat kualitas uji gigit adalah sebagai berikut :
10 : daya lenting amat sangat kuat
9 : daya lenting amat kuat
8 : daya lenting kuat
7 : daya lenting agak kuat
6 : daya lenting diterima
5 : daya lenting agak diterima
4 : daya lenting agak lemah
3 : daya lenting lemah
2 : daya lenting amat lemah
1 : tidak ada daya lenting, seperti bubur

3.8 Analisis Kimia


Analisis kimia yang dilakukan meliputi pengujian terhadap: kadar proksimat, urea, PLG,
pH, TMA, dan TVBN daging lumat serta daya ikat air surimi.

3.8.1 Analisis proksimat

3.8.1.1 Analisis kadar air (AOAC 1995)


Cawan porselin dikeringkan di dalam oven selama satu jam dengan suhu 105 C, lalu
didinginkan didalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga mendapatkan berat
konstan (A). Ditimbang sampel sebanyak 2 g (B), dimasukkan kedalam cawan porselin
kemudian dikeringkan di dalam oven 105 C selama lima jam atau hingga berat konstan.
Setelah itu cawan yang berisi sampel itu didinginkan didalam desikator selama 30 menit, lalu
ditimbang (C). Apabila belum didapatkan berat konstan, cawan porselin dipanaskan lagi
kedalam oven (105 C) selama 30 menit, kemudian didinginkan selama 30 menit. Jika perlu,
hal tersebut dilakukan berulang kali hingga didapatkan berat konstan. Penentuan kadar air
menggunakan rumus:

Kadar air = (A + B) - C x 100 %


(B)

3.8.1.2 Analisis kadar abu (AOAC 1995)


Cawan porselin dikeringkan di dalam oven selama satu jam dengan suhu 105 C, lalu
didinginkan selama 30 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat
konstan (A). Ditimbang sampel sebanyak 2 g, dimasukkan kedalam cawan porselin dan
dipijarkan di atas nyala api pembakar bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu
dimasukkan kedalam tanur listrik (furnace) dengan suhu 650 C selama kurang lebih 5-24
jam. Selanjutnya cawan didinginkan selama 30 menit pada desikator, kemudian ditimbang
hingga didapatkan berat konstan (B).
Penentuan kadar abu menggunakan rumus:

Kadar abu = B-A x 100 %


berat sampel

3.8.1.3 Analisis kadar lemak total (AOAC 1995)


Labu lemak yang telah dikeringkan di dalam oven (105 C) ditimbang hingga
didapatkan berat konstan (A). Sebanyak 2 g daging (C) dibungkus dengan kertas saring bebas
lemak kemudian dimasukkan kedalam selongsong lemak. Selongsong tersebut dimasukkan
kedalam tabung soxhlet. Sebanyak 150 ml kloroform dimasukkan kedalam labu lemak.
Sampel direfluks selama delapan jam, dimana pelarut sudah terlihat jernih yang menandakan
lemak sudah terekstrak semua. Selanjutnya pelarut yang ada pada labu lemak dievaporasi
untuk memisahkan pelarut dan lemak, kemudian labu lemak dikeringkan dalam oven 105 C
selama 30 menit. Setelah itu ditimbang hingga didapatkan berat konstan (B). Penentuan kadar
lemak menggunakan rumus:

Kadar lemak = (B - A) x 100 %


C

3.8.1.4 Analisis protein kasar (AOAC 1995)


Penentuan kadar protein kasar ini menggunakan metode semi mikro Kjeldahl. Daging
sebanyak 0,75 g dimasukkan kedalam labu Kjeldahl. Kedalam labu tersebut ditambahkan 6,25
g K2SO4 dan 0,6225 g CuSO4 sebagai katalisator. Sebanyak 15 ml H2SO4 pekat dan 3 ml
H2O2 secara perlahan-lahan ditambahkan kedalam labu dan didiamkan selama 10 menit dalam
ruang asam.
Tahap selanjutnya adalah proses destruksi pada suhu 410 C selama 2 jam atau hingga
didapatkan larutan jernih, didiamkan hingga mencapai suhu kamar dan ditambahkan 50-75 ml
akuades.
Disiapkan erlenmeyer berisi 25 ml larutan H3BO3 4 % yang mengandung indikator
(bromcherosol green 0,1 % dan methyl red 0,1 % (2:1)) sebagai penampung destilat. Labu
Kjeldahl dipasang pada rangkaian alat destilasi uap. Ditambahkan 50 ml Na2(SO4)3 (alkali).
Dilakukan destilasi dan destilat ditampung dalam erlenmeyer tersebut hingga volume destilat
mencapai 150 ml (hasil destilat berwarna hijau).
Destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N, dilakukan hingga warna berubah menjadi abu-abu
natural. Blanko dikerjakan seperti tahapan contoh. Pengujian contoh dilakukan duplo.
Kadar protein dihitung dengan rumus :

Kadar protein = (A-B) x N HCl x 14,007 x 6,25 x 100 %


W (g) x 1000

Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel, B = ml titrasi HCl blanko

3.8.2 Kadar urea (AOAC 1995)


Persiapan larutan standar :
Dilarutkan 5 gram urea pro analyst grade kedalam akuades dan diencerkan sampai 1
liter dengan akuades. Disiapkan larutan kerja 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; 1,6; 1,8 dan 2,0
mg/ml, dengan cara memipet 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, dan 20 ml larutan stok kedalam
setiap labu ukur 250 ml, kemudian diencerkan sampai tanda tera dengan buffer fosfat.
Kurva standar dibuat dengan cara memipet 5 ml masing-masing larutan kerja kedalam
tabung reaksi 25 ml dan ditambahkan 5 ml p-dimetil amino benzaldehid (DMAB) kedalam
masing-masing tabung. Disiapkan pula pereaksi blanko yang terdiri dari 5 ml larutan buffer
dan 5 ml larutan DMAB. Semua tabung reaksi dikocok mekanik selama 10 menit dalam bak

air bersuhu 25 C. Masing-masing larutan standar dilakukan pengukuran nilai absorbansi pada
panjang gelombang 420 nm.
Pengukuran Sampel :
Sampel sebanyak 1 g ditimbang dalam labu ukur 500 ml. Kemudian ditambahkan 100 g
charcoal, 250 ml akuades, 5 ml Zn(OAc)2 dan 5 ml K4Fe(CN)6. Kemudian distirer selama 30
menit dengan kecepatan tinggi dan volumenya ditempatkan sampai tanda tera. Larutan
didiamkan sampai terjadi endapan, kemudian disaring dengan kertas Whatmann no. 40 dan
diambil filtratnya yang bening. Setelah itu filtrat dipipet sebanyak 5 ml ke dalam tabung
reaksi, ditambahkan 5 ml DMAB dan dikocok sampai merata. Bersama-sama dengan larutan

blanko 5 ml, kedua tabung tersebut dibiarkan selama 10 menit dalam bak air 25 C.
Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 420 nm.

3.8.3 Kadar protein larut garam (PLG) (Saffle dan Galbraeth 1964 diacu dalam
Wahyuni 1992)
Sampel sebanyak 5 g ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5 % kemudian dihomogenkan
dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah. Setelah itu
disentrifus pada 3400 x G selama 30 menit dengan suhu 10 C. Selanjutnya disaring
menggunakan kertas saring Whatmann no. 1, filtrat ditampung dalam Erlenmeyer, disimpan
pada suhu 4 C. Sebanyak 25 ml filtrat dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan
metode semi mikro Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah:

Kadar PLG = (A-B) x N HCl x 14,007 x FP x 6,25 x 100 %


W (g) x 1000

Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel;


B = ml titrasi HCl blanko

3.8.4 Nilai pH (Suzuki 1981)


Sebelum melakukan pengukuran, pH meter harus dikalibrasi terlebih dahulu, dengan
cara mencelupkan batang probe pada buffer pH 4 lalu dicelupkan kembali pada buffer pH 7.
Perhitungan sampel dilakukan dengan cara menimbang 5 g sampel kemudian dihomogenkan
dalam 45 ml akuades dingin. Setelah homogen diukur pH-nya dengan pH-meter. Pengukuran
menggunakan pH meter digital merk inoLAB. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali
ulangan.

3.8.5 Total volatil basa nitrogen (TVBN) (SNI-01-4495-1998 yang telah dimodifikasi)
Prinsip dari pengujian terhadap kadar TVBN contoh adalah: senyawa-senyawa basa
volatil (amonia, mono-, di-, trimetilamin, dll) yang terdapat dalam sampel yang bersifat basa
diuapkan. Senyawa-senyawa tersebut diikat oleh asam borat dan dititrasi dengan larutan HCl
0,02 N
Penentuan TVBN dilakukan dengan Metode Conway, dimana pertama-tama 25 g
sampel diblender selama 1 menit dengan 75 ml larutan TCA 7 %, lalu disaring untuk
mendapatkan filtrat yang bening. Sebanyak 2 ml H3BO3 2 % dimasukkan ke dalam inner
chamber cawan Conway dan 1 ml filtrat ke outer chamber sehingga kedua macam larutan
bercampur di outer chamber. Sebelum cawan ditutup, pinggir cawan diolesi vaselin agar
penutupan sempurna. Pada posisi hampir menutup ditambahkan K2CO3 1:1 (b/v) ke dalam
outer chamber sebanyak 1 ml kemudian cawan Conway segera ditutup.
Blanko dikerjakan dengan mengganti filtrat dengan 7 % TCA dengan prosedur yang
sama seperti di atas. Setelah itu, diinkubasi pada suhu 35 C selama jam. Selanjutnya larutan
asam borat yang mengandung sampel atau tidak (blanko) ditetesi 2 tetes indikator (methyl red
0,1 % dan bromthymol blue 0,1 % (2:1)), kemudian dititrasi dengan larutan HCl sambil
diaduk sehingga warnanya berubah menjadi pink. Kadar TVBN kemudian dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Kadar TVBN (mg N/100 g) = (i-j) x N HCl x 14,007 x FP x 100
berat sample (g)

Keterangan : i = volume titrasi sampel (ml)


j = volume titrasi blanko (ml)
FP = faktor pengenceran

3.8.6 Trimetilamin (TMA) (BPPMHP 2001)


Prinsip pengerjaan analisis TMA hampir sama dengan pengujian kadar TVBN, namun
pada analisis TMA ditambahkan formaldehid. Sampel dicacah hingga halus, kemudian
ditimbang sebanyak 25 g sampel, ditambahkan 75 ml TCA 7 % dan dihaluskan dengan
waring blender dan disaring dengan kertas Whatmann no.1 hingga didapat filtrat bening.
Filtrat dapat disimpan pada suhu 4 C apabila belum dilakukan analisis.
Cawan Conway disiapkan dengan mengolesi bagian pinggir cawan dengan vaselin
sehingga diperoleh penutup yang rapat. Dipipet 2 ml H3BO3 2 % kedalam inner chamber
Conway. Filtrat sampel dipipet sebanyak 1 ml kebagian outer chamber Conway (misal: bagian
kanan). Sebanyak 1 ml K2CO3 jenuh ditambahkan kebagian outer chamber Conway (misal:
bagian kiri). Ditambahkan 0,5 ml formaldehid kebagian tengah outer chamber Conway dan
segera cawan Conway ditutup dengan rapat. Blanko dikerjakan sama seperti pada tahap
pengerjaan sampel, namun filtrat diganti dengan larutan TCA 7 %. Kemudian cawan
digoyangkan perlahan-lahan hingga larutan pada bagian kanan dan kiri outer chamber
menyatu. Setelah itu diinkubasikan pada suhu 35 C selama 2 jam atau pada suhu kamar
selama 24 jam.
Blanko dan contoh ditetesi dengan indikator (methyl red 0,1 % dan bromtimol blue 0,1
% (2:1)). Kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna menjadi
pink. Perhitungan kadar TMA adalah sama dengan perhitungan kadar TVBN.

3.8.7 Daya ikat air (Water Holding Capacity (WHC))(Dagbjartsson dan Solberg 1972
diacu dalam Wahyuni 1992)
Contoh surimi sebanyak 0,5 g direbus dalam air panas selama 15 menit dengan suhu 70
C, ditiriskan sampai seluruh permukaannya kering dan diletakkan di antara dua kertas saring
Whatmann no.4 dan ditekan dengan pengepres hidraulik selama 2 menit dengan tekanan 200
2
kg/cm . Luas air yang tergambar pada kertas saring diukur dan diduga sebagai daya ikat air
protein contoh.
3.9 Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan interaksi (faktorial), yaitu faktor komposisi (faktor A) yang terdiri dari tiga taraf
perlakuan dan faktor penyimpanan dingin (faktor B) yang terdiri dari empat taraf perlakuan.
Pemilihan rancangan ini disebabkan karena peneliti ingin melihat respon dari taraf masing-
masing faktor serta interaksi antara kedua faktor tersebut. Rumus yang digunakan adalah
sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2002):

Yijk = + Ai + Bj + (AB)ij + ijk

Keterangan :
Yijk = nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke
k
= komponen aditif dari rataan
Ai = pengaruh utama faktor A
Bj = pegaruh utama faktor B
(AB)ij = komponen interaksi dari faktor A dan faktor B, masing-masing pada taraf ke-
i dan ke-j
2
ijk = pengaruh acak yang menyebar normal (0, )

Analisis data menggunakan analisis ragam General Linear Model. Jika hasil analisis
ragam menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey.
Data hasil uji sensori uji lipat dan uji gigit dilakukan uji statistika non-parametrik
Kruskal-Wallis. Menurut Steel dan Torrie (1989) rumus uji Kruskal-Wallis adalah sebagai
berikut:

2
H= 12 Ri 3(n+1)
n(n+1) ni

H = H
Pembagi

Pembagi = 1- T
(n-1)(n(n+1)

Keterangan :
n = jumlah data
ni = banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i
2
Ri = jumlah rangking dalam perlakuan ke-i
T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok
H = H terkoreksi
Jika hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata, selanjutnya
dilakukan uji Multiple Comparison dengan rumus sebagai berikut:

(N+
Ri R j x Z /2p 1)k
6

Keterangan :
Ri = Rata-rata rangking perlakuan ke-i
Rj = Rata-rata rangking perlakuan ke- j
k = Banyaknya ulangan
N = Jumlah total data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan


Penelitian pendahuluan dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu:
(1) Analisis proksimat, TVBN, pH, dan kandungan urea daging ikan cucut pisang dan ikan
pari kelapa.
(2) Pembuatan daging lumat dari kedua jenis ikan tersebut dengan menggunakan meat-
bone separator dan menghitung nilai rendemen dagingnya.
(3) Mencari frekuensi pencucian yang mampu mereduksi kadar urea maksimum, tetapi
mampu meningkatkan kadar protein larut garam (PLG).
(4) Mencari komposisi campuran antara daging lumat ikan cucut pisang dan ikan pari
kelapa yang menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi.

4.1.1 Komposisi kimia daging ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa
Parameter kimia yang dianalisis terhadap daging ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa
segar meliputi: analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, dan protein kasar), TVBN, pH, dan
kadar urea. Hasil analisis terhadap parameter kimia selengkapnya disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Analisis kimia daging ikan cucut pisang dan pari kelapa segar
Parameter Analisis Cucut Pisang Pari Kelapa
Air (%) 77,91 75,84
Abu (%) 1,15 3,10
Lemak (%) 1,60 1,36
Protein kasar (%) 19,08 18,98
Urea (%) 1,98 2,32
TVBN (mg N/100 g) 5,97 6,55
pH 5,62 6,98
Keterangan : Data merupakan rata-rata dari dua kali ulangan

Kedua jenis ikan yang digunakan dalam penelitian ini termasuk jenis ikan berprotein
tinggi dan lemak rendah. Menurut Stansby (1963) ikan yang tergolong berlemak rendah dan
berprotein tinggi memiliki kandungan protein 15-20 % dan kandungan lemak lebih kecil dari
5 %. Jenis ikan ini sangat cocok untuk diolah menjadi surimi karena tingginya kadar protein
dan rendahnya kadar lemak yang diharapkan mampu menghasilkan kekutan gel terbaik.
Kekuatan gel berkorelasi positif dengan kandungan protein, terutama protein miofibril (aktin
dan miosin) yang merupakan faktor utama penentu kekuatan gel. Selain itu lemak adalah
salah satu faktor penghalang komponen pembentuk gel dalam daging, dimana dengan
rendahnya kandungan lemak maka nilai kekuatan gel yang dihasilkan akan tinggi.
Kadar urea dari kedua jenis ikan tersebut adalah tinggi. Kadar urea yang tinggi adalah
ciri khas dari ikan elasmobranchii. Daging ikan elasmobranchii memiliki kadar urea dalam
daging sekitar 1-2 % yang mudah sekali terurai sehingga menimbulkan aroma pesing yang
tajam (Lagler et al. 1977).
Ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa yang digunakan dalam penelitian ini termasuk
kedalam kelompok ikan yang masih segar. Rupa dan warna daging dari kedua jenis ikan ini
masih cemerlang, berwarna putih kemerahan. Belum tercium bau amonia pada kedua ikan ini.
Tekstur daging kedua ikan ini terlihat masih kompak dan elastis. Hasil pehitungan terhadap
analisis kesegaran ikan (pH dan TVBN) menunjukkan nilai yang masih rendah (jauh berada
dibawah ambang kebusukan). Nilai-nilai pH dan TVBN pada daging ikan cucut pisang dapat
dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan nilai pH dan TVBN tersebut menandakan bahwa belum
terjadi adanya penguraian daging yang menyebabkan terbentuknya senyawa basa volatil yang
dapat meningkatkan nilai pH dan TVBN. Indeks kebusukan ikan untuk nilai TVBN adalah 30
mg N/100 g (Ozogul dan Ozogul 1999). Nilai pH bagi ikan segar berada pada kisaran pH
dibawah netral hingga pH netral, kisaran pH tersebut menandakan bahwa ikan berada dalam
kondisi rigormortis (Almacher 1961).

4.1.2 Rendemen daging lumat ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa
Daging lumat ikan diperoleh dengan cara memasukkan ikan yang telah difilet kedalam
mesin pemisah daging dan tulang (meat-bone separator) merek Muika Equipment, tipe MS-
120 buatan Jepang (Gambar 10). Rendemen dari kedua ikan tersebut dihitung berdasarkan
berat daging lumat (kg) yang dihasilkan setelah melalui alat meat-bone separator yang
dibandingkan dengan berat utuh ikan (kg).
Rata-rata perhitungan dari tiga kali ulangan, menunjukkan bahwa nilai rendemen
daging lumat ikan cucut pisang lebih besar dibandingkan dengan rendemen daging lumat dari
ikan pari kelapa. Nilai tersebut secara berturut-turut adalah 43,99 % dan 27,23 %. Perbedaan
tesebut disebabkan karena kedua ikan ini memiliki bentuk tubuh yang berbeda. Cucut pisang
memiliki badan memanjang dan langsing, badan didominasi oleh daging dibandingkan tulang.
Menurut FAO (2005) bahwa spesies Carcharinus falciformis memiliki ciri tubuh yang besar
dan ramping, dengan panjang dapat mencapai 3,3 m, sedangkan pari kelapa memiliki badan
picak (depressed), didominasi oleh tulang-tulang rawan yang menyokong daging. Daging
hanya banyak terdapat pada badannya yang menyerupai sayap. Bentuk tubuh cucut lebih tebal
dan berisi dibandingkan dengan bentuk tubuh pari, sehingga jumlah daging yang mengisi
tubuhya-pun lebih banyak.

Gambar 10 Tampak samping mesin meat-bone separator tipe MS-120 Muika


Equipment

4.1.3 Penentuan frekuensi pencucian terbaik


Penelitian tahap ini bertujuan untuk mendapatkan frekuensi pencucian daging lumat
yang mampu menghilangkan kadar urea maksimum, tetapi mempunyai kandungan PLG yang
cukup tinggi.
Menurut Matsumoto dan Noguchi (1992) pencucian adalah salah satu tahap dalam
pembuatan surimi. Pencucian bertujuan untuk meningkatkan kekuatan gel dimana akan
meningkatkan kandungan protein miofibril dan akan menurunkan jumlah protein
sarkoplasma. Pencucian juga dapat meningkatkan kualitas warna, selain itu juga dapat
melarutkan urea dan meningkatkan kualitas aromanya. Hasil pengamatan terhadap penentuan
frekuensi pencucian terbaik selengkapnya disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Kadar protein larut garam (PLG) dan urea daging lumat ikan cucut pisang dan
ikan pari kelapa yang diamati pada setiap tahap frekuensi pencucian
Frekuensi pencucian PLG (%) Urea (%)
Cucut Pari Cucut Pari
0 9,96 9,12 1,98 2,33
1 11,54 11,23 0,85 1,54
2 15,67 15,43 0,61 0,35
3 13,52 13,24 0,23 0
4 10,34 10,56 0 0

Dari Tabel 8 terlihat bahwa pencucian dapat meningkatkan jumlah kelarutan PLG dari
kedua jenis daging lumat ikan tersebut. Pencucian sebanyak dua kali pada daging lumat
mampu menghasilkan nilai PLG tertinggi, akan tetapi ketika frekuensi pencucian ditingkatkan
menjadi tiga dan empat kali menyebabkan turunnya nilai PLG.
Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian daging lumat terhadap kadar PLG
memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 2). Uji lanjut Tukey pada
kadar PLG cucut pisang dan pari kelapa menunjukkan bahwa pencucian sebanyak dua kali
adalah frekuensi pencucian terbaik yang mampu menghasilkan kadar PLG tertinggi, dimana
frekuensi pencucian tersebut memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan frekuensi
pencucian lainnya.
Meningkatnya nilai PLG daging lumat dari kedua jenis daging ikan ini hingga frekuensi
pencucian sebanyak dua kali disebabkan karena protein sarkoplasma larut dengan mudah dan
hanyut pada air pencucian. Hal ini diikuti dengan meningkatnya jumlah kelarutan protein
miofibril (PLG) hingga frekuensi pencucian sebanyak dua kali.
Lin dan Park (1996) melaporkan bahwa protein sarkoplasma mudah larut dalam air (0
% NaCl) dan terbuang pada saat pencucian pertama, sedangkan protein miofibril terbuang
paling banyak setelah tahap pencucian kedua dari tiga atau empat kali ulangan pencucian.
Pada pencucian pertama komponen utama yang larut dalam air (darah, protein sarkoplasma,
enzim pencernaan, garam anorganik dan senyawa organik berberat molekul rendah seperti
TMAO) akan terbuang banyak (Benjakul et al. 1996). Menurunnya nilai kelarutan PLG pada
frekuensi pencucian ketiga dan keempat diduga karena protein miofibril tersebut menjadi
terlarut dan hanyut dalam air pencuci pada saat proses pencucian.
Hal serupa juga dilaporkan oleh Fitrial (2000) bahwa penurunan kadar PLG daging
ikan cucut lanyam pada frekuensi pencucian ketiga dan keempat disebabkan karena PLG
tersebut terlarut dalam air pencuci karena pengaruh pencucian yang berulang-ulang.
Pencucian dengan air dingin sebanyak tiga kali mampu mengurangi kadar urea hingga
100 % (bb) pada daging ikan pari kelapa, sedangkan pada ikan cucut pisang terjadi pada
frekuensi pencucian ke-empat.
Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian daging lumat terhadap kadar urea
memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji lanjut Tukey pada
kadar urea cucut pisang menunjukkan bahwa frekuensi pencucian sebanyak empat kali adalah
frekuensi pencucian terbaik yang mampu mereduksi kadar urea terendah, dimana frekuensi
pencucian tersebut memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan frekuensi
pencucian sebanyak tiga kali. Sedangkan uji lanjut Tukey pada kadar urea pari kelapa
menunjukkan bahwa pencucian sebanyak tiga kali adalah frekuensi pencucian terbaik, dimana
frekuensi pencucian tersebut memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan
frekuensi pencucian sebanyak empat kali.
Wahyuni (1992) melaporkan bahwa daging ikan cucut lanyam yang telah dilumatkan,
direndam dan dicuci dalam air dingin pada suhu 5 C sebanyak tiga kali mampu mereduksi
kadar urea dari rata-rata sebesar 5 % (bk) menjadi tidak terdeteksi lagi.
Dari hasil pengamatan tersebut, frekuensi pencucian sebanyak tiga kali akan digunakan
dalam proses pengolahan surimi pada tahap penelitian utama. Walaupun pencucian sebanyak
dua kali mampu menghasilkan nilai PLG maksimum, namun kadar urea dari masing-masing
daging masih tinggi. Hal ini ditandai dengan bau urea yang masih terdeteksi kuat pada
pencucian sebanyak dua kali. Bau urea hampir tidak terdeteksi lagi pada pencucian sebanyak
tiga kali, selain itu kandungan PLG yang menurun dari jumlah pencucian sebanyak dua kali
tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan pencucian sebanyak empat kali.

4.1.4 Penentuan komposisi daging lumat terbaik


Mengacu pada hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nugroho (In press)
yang melaporkan bahwa pengkomposisian daging lumat dari berbagai jenis ikan hasil
tangkapan samping ternyata mampu meningkatkan kualitas dari kekuatan gel-nya
dibandingkan dengan kekuatan gel masing-masing. Oleh karena itu dilakukan penelitian
dengan melakukan pengkomposisian daging lumat ikan dari elasmobranchii (cucut dan pari)
yang akan dievaluasi pengaruhnya terhadap kualitas kekuatan gel yang dihasilkan. Nilai
kekuatan gel kelima jenis variasi komposisi daging lumat ikan cucut pisang dan pari kelapa
disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Nilai kekuatan gel daging lumat dari masing-masing variasi komposisi daging
lumat
Perlakuan komposisi Kekuatan gel (g.cm)
A 64,420
B 145,319
A 1 B1 187,436
A 2 B1 177,915
A 1 B2 209,290
Keterangan: Data merupakan rata-rata dari dua kali ulangan. Simbol A, B, A1B1, A2B1, dan A1B2
merujuk keterangan pada Tabel 6.

Dapat dilihat dari Tabel 9 bahwa kelima komposisi dari ikan cucut pisang dan pari
kelapa tersebut memberikan nilai kekuatan gel yang beragam. Perlakuan pencampuran dua
jenis ikan cucut pisang dengan pari kelapa terbukti mampu meningkatkan nilai kekuatan gel,
dibandingkan dengan nilai kekuatan gel masing-masing (tanpa dikomposisikan).
Komposisi A1B2 menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi. Hal ini diduga karena
kekuatan gel yang dihasilkan dipengaruhi oleh pH. Nilai pH dari ikan pari kelapa mendekati
pH netral, sedangkan nilai pH dari cucut pisang cenderung bersifat asam. Menurut Matsumoto
dan Noguchi (1992) ikan pelagis memiliki nilai pH yang lebih kecil (sering di bawah 6),
dimana dengan rendahnya nilai pH maka otot daging ikan akan banyak kehilangan fungsi gel-
nya. Selanjutnya Suzuki (1981) menyatakan bahwa rendahnya pH menyebabkan konsentrasi
garam meningkat. Konsentrasi garam yang tinggi menyebabkan protein tidak akan larut, yang
akan mencegah terbentuknya gel kamaboko.
Walaupun cucut pisang memiliki nilai PLG yang lebih tinggi dibandingkan pari kelapa
(Tabel 7), namun pH dari cucut pisang tersebut berada pada pH yang tidak optimum bagi
PLG untuk membentuk struktur jaringan tiga dimensi protein.
Berdasarkan hasil tersebut, maka dipilih komposisi A1B2 sebagai komposisi daging
lumat terbaik yang akan dilihat pengaruh penyimpanan dingin terhadap karakteristik mutu
surimi yang dihasilkan. Tingginya nilai kekuatan gel daging lumat diharapkan dapat
menghasilkan kualitas surimi yang tinggi.
4.2 Penelitian Utama
Setelah diketahui frekuensi pencucian dan komposisi daging lumat terbaik, maka
dilakukan penelitian utama. Penelitian tersebut dibagi menjadi dua tahap, yang dilakukan
secara bersamaan, yaitu:
(1) Penyimpanan dingin daging lumat komposisi terbaik (A1B2), dan komposisi daging
lumat pembanding (A dan B) selama sembilan hari, dimana akan dilakukan beberapa
analisis kimia (pH, TVBN, TMA, urea dan PLG) pada penyimpanan dingin hari ke-0,
3, 6, dan 9.
(2) Pengolahan surimi pada hari ke-0, 3, 6, dan 9 dari ketiga jenis komposisi daging lumat
tersebut, untuk dievaluasi karakteristik mutu fisika-kimia (kekuatan gel, uji lipat, uji
gigit, WHC, dan derajat putih).

4.2.1 Penyimpanan dingin daging lumat selama sembilan hari


Dilakukan evaluasi karakteristik kimia daging lumat komposisi A1B2 dan komposisi
daging lumat pembanding (A dan B). Evaluasi yang dilakukan meliputi analisis pH, TVBN,
TMA, urea, dan PLG.

4.2.1.1 Derajat keasaman (pH)


Secara umum nilai pH daging lumat A, B, dan A1B2 yang dihasilkan selama
penyimpanan dingin mengalami kenaikan. Peningkatan nilai pH tersebut dapat dilihat pada
Gambar 11.

10,00
9,00
8,00
7,00
6,00 A
pH

5,00 B
4,00
A1B2
3,00
2,00
1,00
0,00
0 3 6 9
Lama Penyimpanan (hari)

Keterangan: Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.


Gambar 11 Nilai rata-rata pH daging lumat selama penyimpanan dingin
pH berpengaruh terhadap kelarutan dari PLG. pH yang optimum bagi kelarutan PLG
adalah pH yang berada pada kisaran pH sedikit dibawah netral hingga pH netral (Suzuki
1981). pH yang berada diluar kisaran tersebut menggambarkan rendahnya kekuatan ion bagi
terekstraknya PLG daging. Pada penyimpanan hari ke-0, nilai pH dari daging lumat A, B, dan
A1B2 berturut-turut sebesar 5,81, 6,75, dan 6,54, sedangkan pada hari terakhir penyimpanan
nilai tersebut terus meningkat, masing-masing menjadi 8,80, 8,97, dan 8,88.
Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan penyimpanan
pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai pH memberikan pengaruh yang
berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 5). Uji lanjut Tukey pada faktor komposisi dan
penyimpanan dingin daging lumat secara statistik memberikan pengaruh yang berbeda nyata
antara satu dengan lainnya. Pada penyimpanan dingin hari ke-0 dari komposisi daging lumat
A, B, dan A1B2 secara statistik saling memberikan pengaruh yang berbeda nyata antara satu
dengan lainnya, dan pada penyimpanan dingin hari terakhir (ke-9) dari masing-masing
komposisi daging lumat tersebut secara statistik memberikan pengaruh yang tidak berbeda
nyata antara satu dengan lainnya terhadap nilai pH.
Pada kondisi segar nilai pH daging lumat A1B2 tidak jauh berbeda dengan nilai pH
daging lumat B. Hal ini disebabkan karena pada komposisi A1B2 terdiri dari komposisi daging
lumat B berlebih dibandingkan komposisi daging lumat A, sehingga pH dari komposisi
daging lumat B lebih berpengaruh terhadap nilai pH.
Nilai pH daging lumat A yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua jenis
komposisi daging lumat tersebut disebabkan karena pengaruh cucut sebagai ikan pelagis aktif.
Ikan pelagis cenderung lebih aktif dalam hidupnya sehingga akan menyebabkan rendahnya
kandungan glikogen dalam dagingnya. Kandungan glikogen yang rendah akan menyebabkan
proses glikolisis berlangsung cepat dengan hasil akhir adalah cepatnya pembentukan asam
laktat. Asam laktat ini akan menyebabkan pH daging ikan akan turun.
Setelah glikolisis, terjadi proses autolisis yang dapat menguraikan protein sehingga
tercipta kondisi yang optimum bagi tumbuhnya mikroflora pembusuk yang dapat
menghasilkan senyawa amin sehingga nilai pH akan naik (Suvanich dan Marshall 1996).
Menurut Connell (1980) penguraian terhadap senyawa basa nitrogen seperti TMA dan
amonia pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya nilai pH. Pada beberapa spesies ikan
nilai pH dapat mencapai 7,5 atau hingga 8.
Hal ini menjelaskan fenomena yang terjadi pada pH daging lumat pada semua jenis
komposisi (A, B, A1B2) selama masa penyimpanan dingin, dimana pada penyimpanan daging
lumat hari ke-0 nilai pH tersebut mengalami penurunan akibat proses glikolisis, dan naik
hingga hari terakhir penyimpanan karena terjadinya proses autolisis pada komposisi daging
lumat tersebut.

4.2.1.2 Total volatil basa nitrogen (TVBN)


Analisis TVBN merupakan salah satu metode pengujian kimia yang digunakan untuk
menghitung nilai total dari senyawa volatil basa dimana pada umumnya mengandung amonia,
trimetilamin (TMA), dan dimetilamin (DMA). Nitrogen basa volatil termasuk kedalam
golongan senyawa nitrogen non protein dimana komponen terbesarnya adalah amonia
(Govindan 1985).
Menurut Ozogul dan Ozogul (1999) konsentrasi TVBN pada daging ikan digunakan
sebagai indeks dari kualitas kesegaran ikan. Nilai TVBN sebesar 30 mg N/100 g adalah batas
kelayakan ikan untuk dapat dikonsumsi. Hasil pengujian kadar TVBN daging lumat selama
penyimpanan dingin disajikan pada Gambar 12.

480
440
400
TVBN (mg N/100 g)

360
320 AB
280
240 A1B2
200
160
120
80
40
0
0 3 6 9
Lam a Pe nyim panan
(hari)

Keterangan: Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.


Gambar 12 Nilai rata-rata kadar TVBN daging lumat selama penyimpanan dingin

Dari Gambar 12 terlihat jelas bahwa terjadi peningkatan kadar TVBN dari semua
perlakuan komposisi daging lumat (A, B, A1B2) selama penyimpanan dingin. Nilai TVBN
komposisi daging lumat A, B, A1B2 pada penyimpanan hari ke-0 berturut-turut sebesar 10,51,
8,18, dan 13,64 mg N/100 g. Dalam kondisi segar (hari ke-0) kadar TVBN pada semua
komposisi daging lumat sudah terdeteksi. Hal ini adalah wajar karena basa volatil nitrogen itu
terdapat pada setiap jenis ikan walaupun dalam kondisi segar sekalipun
(Ozogul dan Ozogul 1999). Pada penyimpanan hari ke-3 nilai TVBN merangkak naik masing-
masing menjadi 24,97, 42,77, dan 41,37 mg N/100 g. Penyimpanan hari ke-3 adalah titik
kritis daging lumat mengalami kebusukan. Pada penyimpanan hari ini komposisi daging
lumat B dan A1B2 sudah dapat dikategorikan sebagai daging ikan yang sudah tidak layak
dikonsumsi lagi karena nilai TVBN sudah berada diatas nilai maksimum yang ditetapkan
(30 mg N/100 g). Pada penyimpanan hari ke-6 terjadi peningkatan kadar TVBN yang sangat
signifikan yang ditandai dengan aroma pesing (bau amonia) yang kuat dari masing-masing
perlakuan tersebut yaitu menjadi 267,19, 330,04, dan 325,54 mg N/100 g dan terus meningkat
hingga hari terakhir penyimpanan, yang masing-masing mencapai 282,08, 350,24, dan 461,29
mg N/100 g.
Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan penyimpanan
pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai TVBN memberikan pengaruh yang
berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 6). Uji lanjut Tukey pada faktor komposisi, menunjukkan
bahwa komposisi A berbeda nyata dengan tiap-tiap komposisi lainnya, sedangkan komposisi
B tidak berbeda nyata dengan komposisi A1B2. Penyimpanan dingin hari ke-6 dan ke-9
berbeda nyata dengan tiap-tiap hari penyimpanan dingin lainnya, sedangkan penyimpanan
dingin hari ke-0 tidak berbeda nyata dengan hari ke-3. Pada penyimpanan dingin hari ke-0,
komposisi daging lumat A, B, dan A1B2 secara statistik tidak berbeda nyata antara satu
dengan lainnya, kemudian pada penyimpanan dingin hari terakhir komposisi A1B2 berbeda
nyata dengan tiap-tiap interaksi perlakuan lainnya, sedangkan komposisi A tidak berbeda
nyata dengan komposisi B.
Pada proses autolisis terjadi peristiwa pemecahan protein yang akan membebaskan
senyawa alkohol dan gas seperti karbondioksida, metana, hidrogen dan amonia (dilepaskan
dalam jumlah tinggi) (Fardiaz 1992). Meningkatnya kadar TVBN selama proses penyimpanan
dingin disebabkan karena telah terjadi proses autolisis yang dimulai segera setelah ikan mati
dimana aktivitas enzim dan mikroorganisme akan memecah protein menjadi senyawa-
senyawa yang lebih sederhana yang mengandung basa menguap seperti amonia dan trimetil
amin (TMA). Pada awal penyimpanan dingin hingga memasuki hari ke-3 penyimpanan,
mikroba yang ada pada daging lumat diduga mengalami fase adaptasi. Pada fase ini enzim
lebih berperan terhadap proses autolisis. Akan tetapi setelah hari ke-3 penyimpanan, mikroba
yang terdapat pada semua komposisi daging lumat tersebut memasuki fase log, yaitu fase
pertumbuhan mikroba dimana mikroba yang tumbuh akan semakin banyak dan akan
mempercepat terbentuknya senyawa basa volatil oleh hasil penguraian terhadap protein. Hal
ini terjadi hingga hari ke-9 penyimpanan dingin. Hal serupa juga diungkapkan oleh
Ozogul dan Ozogul (1999) yang menyatakan bahwa kenaikan nilai TVBN disebabkan oleh
aktivitas bakteri dan aktivitas enzimatis.
Penguraian urea juga berpengaruh terhadap nilai TVBN. Urea akan mudah terdegradasi
oleh mikroba menjadi amonia yang termasuk kedalam senyawa basa volatil. Menurut
Amlacher (1961) amonia dapat juga terbentuk oleh penguraian bakteri terhadap urea. Ikan
cucut pisang dan pari kelapa termasuk kedalam ikan dari sub kelas elasmobranchii, yaitu jenis
ikan yang mengandung kadar urea tinggi (1-2 %) pada dagingnya.
Selama ikan hidup urea berperan dalam proses metabolisme, yaitu sebagai pengatur
tekanan cairan tubuhnya. Akan tetapi setelah mati, urea yang terurai akan lebih berpengaruh
terhadap aroma dan flavor.

4.2.1.3 Trimetil amin (TMA)


Senyawa TMA bersifat volatil. Perhitungan nilai TMA digunakan untuk mengukur
tingkat kesegaran ikan terutama pada ikan yang disimpan pada suhu dingin (Connell 1979).
Hasil analisis kimia terhadap kadar TMA daging lumat dengan berbagai komposisi selama
penyimpanan suhu dingin diperlihatkan pada Gambar 13.

25,000

20,000
TMA (mg N/100

15,000 A
B
10,000 A1B2
g)

5,000

0,000
0 3 6 9
La ma Pe nyimpa na n (ha ri)

Keterangan: Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.


Gambar 13 Nilai rata-rata kadar TMA daging lumat selama penyimpanan dingin
Menurut Ozogul dan Ozogul (1999) pola perubahan kadar TMA daging ikan selama
proses kebusukan hampir mirip dengan pola perubahan kadar TVBN daging ikan. Dari
Gambar 13 terlihat bahwa terjadi pola peningkatan kadar TMA yang hampir mirip dengan
pola peningkatan kadar TVBN.
Nilai TMA pada hari ke-0 untuk perlakuan komposisi A, B, dan A1B2 berturut-turut
sebesar 1,69, 2,54, dan 2,41 mg N/100 g. Nilai TMA tersebut terus meningkat hingga hari
terakhir penyimpanan yang mencapai nilai sebesar 13,76, 22.70, dan 22.44 mg N/100 g
berturut-turut untuk komposisi daging lumat A, B dan A1B2. Sama seperti pola peningkatan
nilai TVBN, pada hari ke-3 penyimpanan dingin adalah titik kritis bagi kadar TMA daging
lumat. Pada hari penyimpanan ini daging lumat B dan A1B2 dapat dikategorikan busuk
berdasarkan nilai TMA-nya. Pada daging lumat komposisi A hampir memasuki ambang
kebusukan. Menurut Erlina et al. (1984) indeks kebusukan ikan untuk uji TMA adalah 1-5 mg
N/100 g.
Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan penyimpanan
pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai TMA memberikan pengaruh yang
berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 7). Uji lanjut Tukey pada faktor komposisi komposisi
daging lumat, menunjukkan bahwa komposisi A berbeda nyata dengan tiap-tiap komposisi
lainnya, sedangkan komposisi B tidak berbeda nyata dengan komposisi A1B2. Semua faktor
penyimpanan dingin memberikan pengaruh yang berbeda nyata antara satu dengan lainnya.
Pada hari ke-0 penyimpanan dingin, komposisi daging lumat A, B, dan A1B2 secara statistik
tidak berbeda nyata antara satu dengan lainnya, sama halnya pada penyimpanan dingin hari
terakhir (ke-9), dimana masing-masing komposisi daging lumat saling memberikan pengaruh
yang tidak berbeda nyata.
Senyawa TMAO hanya terdapat pada ikan air laut. Menurut Clucas (1981); Hui (1992)
kebanyakan ikan air tawar tidak mengandung senyawa yang disebut trimetilamin oksida
(TMAO) seperti yang terdapat pada ikan air laut. Fungsi dari TMAO ini adalah sebagai
pengatur kestabilan tekanan tubuh ikan dengan lingkungannya dalam jaringan otot pada
organisme laut (Seibel dan Walsh 2001). Kandungan TMAO pada ikan laut bebeda-beda
tergantung dari kedalaman hidupnya di laut (Bennion dan Daggett 2004).
Menurut Hui (1992); Botta (1994) TMA dibentuk oleh aksi dari bakteri pembusuk yang
akan menyebabkan penguraian dari TMAO menjadi TMA pada suhu dingin. TMA terbentuk
oleh aktivitas bakteri fakultatif yang mereduksi TMAO. Keberadaan TMA juga dipengaruhi
oleh hadirnya bakteri yang memproduksi TMA seperti jenis Pseudomonas. Peningkatan nilai
TMA daging lumat selama penyimpanan dingin disebabkan karena aktivitas mikroba yang
menguraikan bagian tubuh ikan setelah ikan mati. Mikroba tersebut menguraikan senyawa
TMAO menjadi TMA. Penguraian TMAO menjadi TMA setelah ikan mati pada ikan air laut
akan memproduksi amonia yang akan mempengaruhi aroma dan flavor ikan (Clucas 1981).

4.2.1.4 Urea
Pengamatan terhadap kadar urea sangat penting dilakukan, mengingat ikan
elasmobranchii mengandung kadar urea dalam tubuhnya dengan jumlah yang besar. Hasil
pengamatan terhadap kadar urea daging lumat A, B, dan A1B2 selama penyimpanan suhu
dingin dapat dilihat pada Gambar 14.

2,50

2,00

1,50 A
Urea (%)

B
1,00
A1B2

0,50

0,00
0 3 6 9
Lama Pe nyimpa na n (ha
ri)

Keterangan: Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.


Gambar 14 Nilai rata-rata kadar urea daging lumat selama penyimpanan dingin

Karena tubuhnya memiliki tekanan yang lebih rendah dari air laut, maka pada cairan
tubuhnya mengandung kadar urea berlebih yang berfungsi sebagai pengatur tekanan tubuh
(Seibel dan Walsh 2001; Smith dan Wright 1999). Selain berfungsi sebagai pengatur tekanan
tubuh, urea juga memiliki peranan penting terhadap aroma, flavor dan rasa pada surimi yang
dihasilkan. Urea akan mudah terurai menjadi senyawa lain dengan bentuk uraiannya adalah
senyawa amonia dan karbondioksida.
Pada hari ke-0 penyimpanan dingin rata-rata nilai kadar urea pada daging lumat
komposisi A, B dan A1B2 berturut-turut adalah 1,98, 2,33, dan 2,34 %. Kandungan urea
tersebut terus menurun dan pada hari ke-9 penyimpanan dingin berturut-turut menjadi sebesar
0,42, 0,61, dan 0,33 %. Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan
penyimpanan pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap kadar urea memberikan
pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 8). Uji lanjut Tukey pada faktor komposisi
daging lumat, menunjukkan bahwa komposisi A tidak berbeda nyata dengan komposisi A1B2,
sedangkan komposisi B memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap
komposisi lainnya. Faktor penyimpanan dingin hari ke-0 dan ke-3, masing-masing
memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap faktor penyimpanan dingin
lainnya. Pada hari ke-0 penyimpanan dingin, komposisi daging lumat A secara statistik
berbeda nyata dengan tiap-tiap interaksi perlakuan lainnya. Namun pada hari tersebut,
komposisi B tidak berbeda nyata dengan komposisi A1B2. Pada hari ke-9 penyimpanan
dingin, komposisi A tidak berbeda nyata dengan komposisi daging lumat A pada hari ke-6
penyimpanan dingin, dan pada hari ke-9 komposisi daging lumat B tidak berbeda nyata
dengan komposisi daging lumat A1B2.
Penurunan kadar urea selama masa penyimpanan dingin disebabkan karena terjadi
penguraian oleh aksi enzimatis (enzim urease) atau oleh bakteri yang memproduksi enzim
urease menjadi amonia dan karbondioksida. Urea akan dihidrolisis oleh enzim urease menjadi
amonium karbonat. Amonium karbonat memiliki sifat yang tidak stabil dan akan mudah
terdekomposisi menjadi amonia dan karbondioksida.
Penurunan terhadap kadar urea ditandai dengan timbulnya aroma pesing (aroma khas
amonia) yang semakin kuat hingga hari terakhir penyimpanan dingin pada semua komposisi
daging lumat. Saleh et al. (1979) melaporkan bahwa penurunan kadar urea pada daging cucut
yang disimpan dengan beberapa perlakuan dan kondisi penyimpanan diduga karena adanya
aktivitas mikroorganisme yang mengurai urea menjadi amonia sehingga kadar urea menurun
yang diikuti dengan peningkatan jumlah basa volatil pada daging ikan cucut. Walaupun dalam
penelitian ini tidak dilakukan perhitungan secara spesifik terhadap kadar amonia, namun
dengan terjadinya peningkatan terhadap nilai TVBN dan TMA dapat pula dianalogikan,
karena amonia adalah salah satu komponen terbesar dari basa volatil pada ikan.

4.2.1.5 Protein larut garam (PLG)


PLG adalah kelompok protein miofibril yang tersusun oleh aktin dan miosin sebagai
penyusun utamanya. Menurut Suzuki (1981) sifat dari miofibril adalah mudah larut dalam
garam dengan konsentrasi 2-3 % (0,4-0,6 M) dari berat daging. PLG bertanggung jawab
terhadap kualitas surimi, karena memiliki kemampuan untuk membentuk struktur tiga dimensi
gel. Hasil pengamatan terhadap kadar PLG pada semua komposisi daging lumat yang
disimpan selama sembilan hari pada suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 15.
10,00

8,00
A
6,00
B
PL G
(% )

4,00 A1B2

2,00

0,00
0 3 6 9
Lama Penyimpanan (hari)

Keterangan: Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.


Gambar 15 Nilai rata-rata kadar PLG daging lumat selama penyimpanan dingin

Menurut Tamarkin (2004) miofibril tersusun oleh dua mikrofilamen utama yaitu aktin
yang berbentuk globular atau menyerupai bola yang disusun oleh protein aktin dan miosin
berbentuk filamen tebal terdiri atas bagian kepala dan buntut yang disusun oleh protein
miosin.
Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa nilai PLG dari semua komposisi daging lumat
yang disimpan selama sembilan hari pada suhu dingin mengalami penurunan. Pada tahap awal
penyimpanan dingin (hari ke-0) nilai rata-rata kadar PLG daging lumat komposisi A, B, dan
A1B2 berturut-turut sebesar 9,75, 9,19, dan 10,05 %. Selanjutnya kandungan PLG pada
semua komposisi daging lumat tersebut mengalami penurunan nilai hingga hari terakhir
penyimpanan dingin, yaitu berturut-turut menjadi sebesar 4,87, 2,16, dan 3,54 %.
Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan penyimpanan
pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai PLG memberikan pengaruh yang
berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 9). Uji lanjut Tukey pada faktor komposisi daging lumat
dan penyimpanan dingin memberikan pengaruh yang berbeda nyata masing-masing antara
satu dengan lainnya. Pada penyimpanan dingin hari ke-0, dimana komposisi daging lumat A
secara statistik memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap interaksi perlakuan
lainnya, sedangkan komposisi daging lumat B tidak berbeda nyata dengan komposisi daging
lumat A1B2. Pada penyimpanan dingin hari ke-9, dimana komposisi daging lumat B secara
statistik memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap interaksi perlakuan
lainnya, sedangkan komposisi daging lumat A secara statistik tidak berbeda nyata dengan
interaksi antara komposisi daging lumat A1B2 pada hari ke-6 penyimpanan dingin. Begitu
pula dengan komposisi daging lumat A1B2 yang secara statistik tidak berbeda nyata dengan
interaksi antara komposisi daging lumat B pada hari ke-6 penyimpanan dingin.
Penurunan kadar PLG selama penyimpanan dingin disebabkan oleh banyak faktor.
Enzim proteinase adalah faktor utama yang menyebabkan protein terdegradasi. Enzim
tersebut banyak terdapat pada protein sarkoplasma daging ikan (Sikorski 1996). Enzim
proteinase yang terdapat dalam jaringan otot ikan meliputi katepsin D, kalpain, dan alkali
proteinase (Benjakul et al. 1996). Dalam proses pembuatan daging lumat hanya dilakukan
satu kali pencucian dengan air dingin saja, dengan maksud untuk membersihkan daging dari
darah dan kotoran-kotoran, sehingga diduga bahwa pada daging lumat tersebut masih terdapat
enzim proteinase yang aktif dan akan mendegradasi protein. Menurut Lin et al. (1980) diacu
dalam Kim et al. (1996) pencucian daging lumat tidak dapat menghilangkan semua enzim
proteinase tetapi hanya menurunkan jumlahnya saja. Penguraian yang terjadi pada senyawa
PLG menyebabkan tingkat kelarutannya akan semakin menurun hingga hari terakhir
penyimpanan dingin.
Pada rentang pH tinggi (alkali) enzim alkali proteinase akan aktif dan menyebabkan
degradasi protein. Nilai pH dari komposisi daging lumat B dan A1B2 pada hari ke-3
penyimpanan dingin (Gambar 11) berada pada pH alkali. Pada kondisi ini nilai PLG dari
komposisi daging lumat B dan A1B2 mengalami penurunan yang cepat dibandingkan nilai
PLG komposisi daging lumat A. Hal ini disebabkan oleh pengaruh dari pH yang
menyebabkan aktifnya enzim alkali proteinase.
Suhu lingkungan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas protein
miofibril. Menurut Lanier dan Lee (1992) suhu adalah faktor utama terhadap perubahan
bentuk dari molekul protein. Miosin, komponen utama dari protein miofibril ikan memiliki
tingkat toleransi terhadap suhu yaitu: kestabilan pada suhu di atas titik beku, yang tergantung
kepada kualitas kesegaran ikan dan stabilitas dibawah titik beku. Pada suhu dingin aktivitas
enzimatis tidak dapat dihambat secara signifikan yang menyebakan proses degradasi protein
masih dapat berjalan.
Faktor lain yang menyebabkan turunnya nilai PLG selama penyimpanan adalah
keberadaan senyawa organik larut air (TMA) yang masih terdapat pada daging lumat tersebut.
Menurut Reynolds et al. (2002) senyawa TMA dan DMA dapat menurunkan kandungan PLG
pada daging ikan. Penguraian TMAO menjadi TMA dan oksigen oleh aktivitas bakteri dapat
menurunkan kandungan protein pada ikan selama penyimpanan dalam es (suhu dingin)
(Connell 1979). Suhu dingin tidak dapat menghambat secara signfikan aktivitas enzim dan
mikroba sehingga menyebabkan kenaikan nilai TMA selama penyimpanan dingin pada semua
komposisi daging lumat yang diamati.
Kenaikan nilai TMA ini berkorelasi negatif dengan nilai PLG pada semua komposisi
daging lumat, yang berarti bahwa dengan semakin tingginya kadar TMA pada daging lumat,
akan menyebabkan laju penguraian PLG yang semakin cepat.
Dilaporkan juga oleh Bennion dan Dagget (2004) bahwa urea adalah senyawa
denaturan protein. Konsentrasi garam, pH, kekuatan ion, tegangan permukaan, dan efek fisik
dari es dan dehidrasi juga dapat mempengaruhi denaturasi protein (Reynolds et al. 2002).

4.2.2 Karakteristik mutu surimi


Komposisi daging lumat A, B, dan A1B2 yang disimpan pada suhu dingin selama
sembilan hari diolah menjadi surimi untuk dipelajari pengaruh penyimpanan dan komposisi
daging lumat terhadap karakteristik mutu surimi yang dihasilkan.

4.2.2.1 Kekuatan gel


Menurut Park (2004) diacu dalam Sakaguchi (2004) ada dua metode yang disarankan
dalam Codex Code for Frozen Surimi (FAO/WHO) yang dikembangkan oleh pemerintah
Amerika Serikat dan Jepang. Metode tersebut adalah the Japanese punch test (penekanan) dan
the US torsion test (peregangan). Pada penelitian ini digunakan metode punch untuk
mengukur kekuatan gel dari surimi. Hasil dari pengamatan nilai kekuatan gel surimi dapat
dilihat pada Gambar 16.
600

500
G el S trength (g .cm
400
A
300 B

200 A1B2

100
)

0
0 3 6 9
Lama Penyimpanan (hari)

Keterangan : Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6. Nilai kekuatan gel diukur
setelah surimi diolah menjadi gel kamaboko.
Gambar 16 Nilai rata-rata kekuatan gel surimi yang dihasilkan dari daging lumat
selama penyimpanan dingin
Kualitas surimi yang baik secara umum ditentukan oleh kemampuan daging untuk
membentuk gel dengan cara mencampurkan surimi tersebut dengan larutan garam, mencetak
adonan kedalam casing yang sesuai, dan merebusnya (Reppond dan Babbit 1997).
Pada awal penyimpanan daging lumat nilai kekuatan gel surimi dari ketiga jenis daging
lumat komposisi A, B, dan A1B2 yang disimpan pada suhu dingin berturut-turut sebesar
276,32, 335,75, dan 364,27 g.cm. Perlakuan pencampuran daging lumat dengan komposisi
A1B2 terbukti dapat menghasilkan nilai kekuatan gel surimi yang lebih baik dibandingkan
dengan surimi dari daging lumat tanpa pencampuran (komposisi A dan B). Namun seiring
dengan lamanya waktu penyimpanan dingin daging lumat, nilai kekuatan gel surimi dengan
komposisi daging lumat A1B2 mengalami penurunan. Bahkan pada pada hari penyimpanan ke-
3 nilai kekuatan gel dari surimi komposisi A1B2 (167,39 g.cm) justru lebih rendah
dibandingkan dengan surimi dengan komposisi daging lumat jenis A (260,20 g.cm) dan B
(181,49 g.cm). Nilai tersebut terus menurun hingga hari ke-9 penyimpanan dingin, nilai
kekuatan gel surimi yang dihasilkan berturut-turut adalah 162,87, 77,53 dan 73,52 g.cm
masing-masing untuk surimi dengan komposisi daging lumat A, B, dan A1B2.
Hasil analisis ragam hubungan pengaruh pengkomposisian daging lumat dan
penyimpanan pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai kekuatan gel surimi
memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 10). Uji lanjut Tukey terhadap
nilai kekuatan gel pada surimi dengan faktor komposisi daging lumat, menunjukkan bahwa
surimi komposisi daging lumat A berbeda nyata dengan tiap-tiap surimi komposisi daging
lumat lainnya. Sedangkan surimi komposisi daging lumat B tidak berbeda nyata dengan
surimi komposisi daging lumat A. Sementara itu hasil uji lanjut Tukey dari faktor
penyimpanan dingin daging lumat, menunjukkan bahwa surimi dengan penyimpanan dingin
daging lumat hari ke-0 dan ke-3 masing-masing memberikan pengaruh yang berbeda nyata
dengan tiap-tiap hari penyimpanan dingin daging lumat lainnya. Interaksi keduanya, yaitu hari
penyimpanan dingin daging lumat ke-0 pada surimi dengan komposisi daging lumat A1B2
menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi, yang secara statisitk berbeda nyata dengan surimi
komposisi daging lumat B penyimpanan dingin ke-0. Akan tetapi pada hari terakhir
penyimpanan dingin daging lumat, surimi dengan komposisi daging lumat terebut mengalami
penurunan nilai kekuatan gel bahkan memiliki nilai kekuatan gel terendah yang secara
statistik berbeda nyata dengan tiap-tiap interaksi perlakuan lainnya.
Surimi dari daging lumat dengan komposisi A1B2 dan B mengalami penurunan nilai
kekuatan gel yang lebih cepat dibandingkan dengan surimi dari daging lumat dengan
komposisi A. Hal ini menandakan bahwa daging lumat komposisi tersebut lebih tidak stabil
ketika disimpan pada suhu dingin. Proses kemunduran mutu daging lumat yang dapat
mempengaruhi kualitas kekuatan gel dari surimi adalah degradasi senyawa protein miofibril
selama penyimpanan dingin. Menurut Yoon et al. (2004) protein miofibril ikan memiliki
kemampuan untuk membentuk jaringan tiga dimensi gel yang stabil. Miosin lebih berperan
dalam mekanisme terbentuknya gel surimi dibandingkan dengan aktin. Berdasarkan hasil
pengamatan kandungan PLG daging lumat (Gambar 15), telah terjadi proses denaturasi
protein miofibril yang menyebabkan turunnya kemampuan kelarutan protein tersebut didalam
larutan NaCl 5 % selama penyimpanan dingin daging lumat.
Menurut Gomez-Guillen et al. (1998) segera setelah ikan ditangkap maka protein otot
ikan akan mengalami peristiwa proteolisis yang hebat dan akan mengakibatkan hilangnya
kemampuan membentuk gel. Penurunan terhadap kelarutan PLG ini berkorelasi positif
terhadap nilai kekuatan gel surimi, yang berarti bahwa semakin rendah nilai PLG tersebut
maka akan semakin rendah pula nilai kekuatan gel surimi yang dihasilkan. Menurut Reynolds
et al. (2002) karena menurunnya konsentrasi protein larut garam, ketegangan akan menurun
dan kemampuan untuk membentuk gel juga akan ikut menurun pula.
Degradasi senyawa PLG selama penyimpanan dingin daging lumat menyebabkan
hilanganya kemampuan PLG terhadap daya ikat air (WHC). Turunnya WHC tersebut
menyebabkan protein kehilangan viskositasnya dan kemampuan untuk mengembang. Terjadi
penurunan nilai WHC surimi (Gambar 19). Nilai ini berkorelasi positif terhadap kekuatan gel.
Nilai pH daging lumat juga dapat mempengaruhi kemampuan surimi untuk membentuk gel.
Terjadi peningkatan nilai pH yang mencapai pH alkali pada semua komposisi daging lumat
hingga hari terakhir penyimpanan dingin daging lumat. Menurut Benjakul et al. (1996) pada
rentang pH 7-8 enzim proteinase alkali lebih stabil terhadap panas. Enzim proteinase alkali
dilaporkan sebagai faktor yang menyebabkan turunnya mutu gel daging ikan (Cheng et al.
1979; Makinodan et al. 1985 diacu dalam Benjakul et al. 1996).

4.2.2.2 Uji lipat (folding test)


Uji lipat berhubungan dengan nilai kekuatan gel yang diukur dengan alat texture
analyzer yang digunakan untuk mengukur kekuatan gel secara kuantitatif. Uji lipat adalah
penilaian sensori terhadap kekuatan gel. Metode uji lipat digunakan untuk memisahkan gel
yang bermutu tinggi dan bermutu rendah (Matsumoto dan Noguchi 1992).
Skor hasil nilai uji lipat surimi selama penyimpanan dingin daging lumat dari semua
komposisi A, B, dan A1B2 selama sembilan hari mengalami penurunan (Gambar 17).

5,0
Rata-rata S ko r Uji L ip

4,0
A
3,0
B
2,0 A1B2

1,0
at

0,0
0 3 6 9
Lama Penyimpanan (hari)

Keterangan : Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6. Nilai uji lipat diukur
setelah surimi diolah menjadi gel kamaboko.

Gambar 17 Nilai rata-rata uji lipat surimi yang dihasilkan dari daging lumat selama
penyimpanan dingin
Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa surimi dengan komposisi daging
lumat A, B, dan A1B2 yang disimpan dingin selama sembilan hari (diamati pada hari ke-0, 3,
6, dan ke-9) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai uji lipat
(Lampiran 13). Dari hasil tersebut diketahui bahwa surimi dengan komposisi daging lumat B
dan A1B2 pada penyimpanan dingin hari ke-0 memiliki nilai mean rank tertinggi. Kedua
surimi tesebut memiliki kualitas AA. Nilai mean rank terkecil diperoleh pada surimi dengan
komposisi daging lumat B pada hari ke-9 penyimpanan dingin dengan kualitas surimi D.
Uji lanjut Tukey terhadap nilai uji lipat pada surimi menunjukkan bahwa surimi dengan
komposisi daging lumat B, A1B2, dan A pada penyimpanan dingin hari ke-0 secara berturut-
turut memiliki nilai uji lipat tertinggi, yang secara statistik saling memberikan pengaruh yang
tidak berbeda nyata. Akan tetapi pada hari ke-9 penyimpanan dingin daging lumat, nilai uji
lipat surimi yang dihasilkan mengalami penurunan. Surimi dengan komposisi daging lumat B
memiliki nilai terendah, yang secara statistik memberikan pengaruh yang berbeda nyata
dengan tiap-tiap perlakuan lainnya terhadap nilai uji lipat.
Seiring dengan semakin lama masa penyimpanan dingin daging lumat, akan
menyebabkan hilangnya kemampuan daging untuk membentuk gel akibat proses kemunduran
mutunya. Kemunduran mutu terhadap senyawa protein miofibril selama penyimpanan dingin
sangat mempengaruhi kemampuan daging untuk membentuk gel. Menurut Lee (1984) diacu
dalam Berlyanto (2004) menyatakan bahwa uji pelipatan dengan nilai tiga (B) menunjukkan
tingkat elastisitas cukup baik dan nlai empat (A) elastisitasnya baik. Hasil uji lipat surimi dari
daging lumat selama penyimpanan dingin menunjukkan bahwa surimi dengan komposisi
daging lumat A dan A1B2 hingga hari terakhir penyimpanan masih memiliki kualitas mutu
cukup baik (B), sedangkan surimi dengan komposisi daging lumat B hingga hari ke-3
penyimpanan sudah memiliki kualitas yang buruk. Berdasarkan syarat mutu SNI (SNI 01-
2693-1992) surimi komposisi daging lumat A masih diperbolehkan hingga hari ke-6
penyimpanan dingin. Surimi dengan komposisi daging lumat A1B2 diperbolehkan hingga hari
ketiga penyimpanan dingin daging lumat. Sedangkan surimi dengan komposisi daging lumat
B diperbolehkan hanya pada hari ke-0 penyimpanan dingin. Surimi yang diizinkan untuk
diproduksi berdasarkan syarat mutu SNI adalah surimi dengan grade A. Namun seiring
dengan proses kemunduran mutu daging lumat sebagai bahan baku surimi yang terjadi pada
hari ke-3 penyimpanan dingin, maka hingga hari penyimpanan ke-3 disarankan sebagai batas
maksimum pengolahan surimi.
4.2.2.3 Uji gigit (teeth cutting test)
Uji gigit adalah uji sensori terhadap kekenyalan surimi. Skor uji gigit surimi dari
komposisi daging lumat A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin mengalami penurunan
nilai (Gambar 18).
Surimi dari komposisi daging lumat A dan B pada penyimpanan dingin hari ke-0
memiliki daya lenting yang kuat, kemudian mengalami penurunan hingga hari terakhir
penyimpanan masing-masing menjadi daya lenting agak diterima dan lemah, untuk surimi
dari komposisi daging lumat A dan B. Surimi dari komposisi daging lumat A1B2 pada hari ke-
0 penyimpanan memiliki daya lenting amat kuat, kemudian mengalami penurunan
kelentingan hinggga hari terakhir penyimpanan.

10,0
Rata-rata Skor Uji Gigit

8,0

6,0 A
B
4,0
A1B2

2,0

0,0
0 3 6 9
Lama Pe nyimpa nan (hari)

Keterangan : Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6. Nilai uji gigit diukur
setelah surimi diolah menjadi gel kamaboko.
Gambar 18 Nilai rata-rata uji gigit surimi yang dihasilkan dari daging lumat selama
penyimpanan dingin

Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa daging lumat (komposisi A, B, dan


A1B2) yang disimpan dingin selama sembilan hari (diamati pada hari ke-0, 3, 6, dan ke-9)
memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai uji gigit (Lampiran 14).
Dari hasil tersebut diketahui bahwa surimi dengan komposisi daging lumat A1B2 pada
penyimpanan dingin hari ke-0 memiliki nilai mean rank tertinggi. Nilai mean rank terkecil
diperoleh pada surimi dengan komposisi daging lumat B pada hari ke-9 penyimpanan.
Uji lanjut Tukey terhadap nilai uji gigit pada surimi menunjukkan bahwa surimi dengan
komposisi daging lumat A1B2, A, dan B pada penyimpanan dingin hari ke-0 secara berturut-
turut memiliki nilai uji gigit tertinggi, yang secara statistik saling memberikan pengaruh yang
tidak berbeda nyata. Akan tetapi pada hari ke-9 penyimpanan dingin daging lumat, nilai uji
gigit surimi yang dihasilkn mengalami penurunan. Surimi dengan komposisi daging lumat B
memiliki nilai terendah, yang secara statistik memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
dengan surimi dari komposisi daging lumat A dan A1B2 terhadap nilai uji gigit.
Penurunan nilai uji gigit selama penyimpanan dingin tersebut menunjukkan
berkurangnya tingkat elastisitas surimi yang dihasilkan. Keelastisan ini berhubungan dengan
kekuatan gel surimi. Oleh Karena itu hal yang dapat menyebabkan turunnya nilai uji lipat
berhubungan dengan hal yang dapat menurunkan kekuatan gel surimi.

4.2.2.4 Daya ikat air (Water Holding Capacity)


Water holding capacity (WHC) adalah kemampuan daging untuk menyerap dan
menahan air selama perlakuan mekanis (pengadukan, pelumatan, pencampuran bumbu-
bumbu, dan pencetakan), perlakuan suhu, dan pengaruh penyimpanan dan transportasi (Zayas
1997). Sejumlah besar air dalam otot terdapat pada miofibril, pada ruang antara filamen tebal
dari miosin dan filamen tipis dari aktin/tropomiosin (Lawrie 1991).
Terjadi penurunan nilai WHC pada surimi dari semua komposisi daging lumat yang
disimpan selama sembilan hari pada suhu dingin. Hasil pengamatan terhadap nilai WHC
tersebut dapat dilihat pada Gambar 19.

40,00
35,00
30,00
25,00
WHC (% )

AB
20,00 A1B
15,00 2
10,00
5,00
0,00
0 3 6 9
Lama Penyimpanan (hari)

Keterangan : Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.


Gambar 19 Nilai rata-rata WHC surimi yang dihasilkan dari daging lumat selama
penyimpanan dingin

Menurut Wahyuni (1992) daya ikat air sangat berpengaruh pada kemampuan protein
untuk membentuk gel selama proses pengolahan, besarnya viskositas dan kemampuan untuk
mengembang. Interaksi antara protein daging dan air secara signifikan akan mempengaruhi
karakteristik tekstur dari daging (Zayas 1997). Selama proses pembentukan gel, air diikat oleh
matriks protein, yang akan diikat bersamaan dengan ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik
(Venugopal 1992). Jaringan tiga dimensi pada miofibril menyediakan sebuah tempat terbuka
bagi air yang terikat. Penurunan terhadap jumlah air terikat akan menghasilkan penyusutan
tempat antara jaringan miofibril yang disebabkan oleh denaturasi protein (Zayas 1997).
Menurut Pipatsattayanuwong et al. (1995) deteorasi protein berhubungan dengan penurunan
yang tajam terhadap kemampuan membentuk gel, daya ikat air dan kapasitas emulsi lemak.
Dari Gambar 19 terlihat bahwa nilai WHC surimi dari daging lumat pada semua
komposisi (A, B, A1B2) selama penyimpanan suhu dingin mengalami penurunan nilai. Nilai
tersebut (berturut-turut) pada hari ke-0 penyimpanan dingin daging lumat adalah sebesar
31,15, 33,60, 35,53 %, kemudian terus mengalami penurunan hingga hari terakhir
penyimpanan, yaitu (berturut-turut) menjadi sebesar 20,53, 24,00, dan 28,08 %.
Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan penyimpanan
pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai WHC surimi memberikan pengaruh
yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 11). Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa baik
faktor komposisi dan faktor penyimpanan dingin daging lumat memberikan pengaruh yang
berbeda nyata dengan tiap-tiap taraf perlakuan lainnya pada masing-masing faktor tersebut.
Penyimpanan dingin daging lumat hari ke-0 menghasilkan nilai WHC surimi tertinggi
dibandingkan dengan hari penyimpanan lainnya, baik pada surimi dengan komposisi A, B,
ataupun A1B2. Pada hari penyimpanan tersebut, surimi komposisi B dan A1B2 secara statistik
memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap interaksi perlakuan lainnya,
sedangkan surimi komposisi A secara statistik berbeda nyata dengan interaksi surimi
komposisi B3, A1B23, dan A1B26. Seiring dengan lamanya penyimpanan, nilai WHC surimi
yang dihasilkan mengalami penurunan, dimana surimi komposisi A pada hari penyimpanan
dingin daging lumat hari ke-9 secara statistik berbeda nyata dengan tiap-tiap interaksi
perlakuan lainnya. Sedangkan surimi komposisi B pada hari penyimpanan tersebut secara
statistik tidak berbeda nyata dengan interaksi perlakuan A6, dan surimi komposisi A1B2
secara statistik tidak berbeda nyata dengan interaksi perlakuan A3.
Dengan adanya pengkomposisian daging lumat (A1B2) mempengaruhi peningkatan
nilai WHC surimi yang berkorelasi positif terhadap nilai kekuatan gel yang dihasilkan. Hal ini
disebabkan karena jumlah protein miofibril (PLG) daging lumat A1B2 lebih besar
dibandingkan dengan daging lumat komposisi A dan B. Semakin besarnya jumlah PLG maka
akan semakin besar kemampuannya dalam mengikat air diantara filamennya.
Semakin lama waktu penyimpanan dingin daging lumat menyebabkan turunnya nilai
WHC surimi. Hal ini berkorelasi positif dengan kandungan PLG daging lumat. Selama
penyimpanan dingin, protein miofibril akan semakin terdegradasi. Degradasi dari protein
miofibril tersebut menyebabkan ruang diantara jaringan akan semakin sempit sehingga jumlah
air yang terikat (terperangkap) akan semakin berkurang.
Menurut Zayas (1997) interaksi antara protein dan air memainkan peranan penting
dalam pembentukan gel, terutama selama fase perubahan sol menjadi gel. Menurut Suzuki
(1981) gel suwari terbentuk dengan cara protein mengikat air di dalam ikatan molekul yang
membentuk ikatan hidrofobik dan interaksi hidrogen. Rendahnya kandungan air yang terikat
pada protein akan mempengaruhi reaksi antara protein-air dalam proses pembuatan gel
kamaboko. Menurut Zayas (1997) pembentukan gel disebabkan karena reaksi antara protein-
protein dan protein-air. Apabila reaksi antara protein-protein yang terjadi lebih banyak
dibandingkan dengan protein-air, maka akan menghasilkan gel yang rapuh. Turunnya nilai
WHC surimi akibat proses kemunduran mutu miofibril daging lumat menyebabkan kekuatan
gel surimi ikut menurun. Hal ini disebabkan karena dalam proses pembentukan gel, reaksi
antar protein-air akan semakin berkurang seiring dengan lamanya penyimpanan yang
menyebabkan kualitas gel semakin memburuk.

4.2.2.5 Derajat Putih (Whiteness)


Pengujian terhadap derajat putih dilakukan pada sampel surimi yang dibuat dari daging
lumat yang disimpan pada suhu dingin selama sembilan hari. Pada empat titik pengamatan
yaitu pada penyimpanan dingin hari ke-0, 3, 6, dan 9 dilakukan pengolahan daging lumat
menjadi surimi. Hasil pengamatan terhadap rata-rata dua kali ulangan evaluasi nilai derajat
putih surimi dapat dilihat pada Gambar 20.
45,00
40,00
35,00
30,00
Derajat P utih A
25,00
B
20,00
15,00 A1B2
(% )

10,00
5,00
0,00
0 3 6 9
Lama Penyimpanan (hari)

Keterangan: Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.

Gambar 20 Nilai rata-rata derajat putih surimi yang dihasilkan dari daging lumat
selama penyimpanan dingin
Dari Gambar 20 terjadi pola penurunan nilai derajat putih pada surimi dari daging lumat
yang disimpan dingin hingga hari terakhir masa penyimpanan. Pada hari ke-0 penyimpanan
dingin daging lumat, nilai derajat putih surimi komposisi daging lumat A, B, dan A1B2 yang
dihasilkan berturut-turut adalah 41,10, 32,50, dan 36,45 %. Nilai tersebut terus mengalami
penurunan seiring dengan lama waktu penyimpanan dingin daging lumat. Hingga hari
terakhir, nilai tersebut berturut-turut menjadi sebesar 38,30, 29,35, dan 32,75 %.
Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan penyimpanan
pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai derajat putih surimi memberikan
pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 12). Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa
baik faktor komposisi dan faktor penyimpanan dingin daging lumat memberikan pengaruh
yang berbeda nyata dengan tiap-tiap taraf perlakuan lainnya pada masing-masing faktor
tersebut. Surimi dengan komposisi A, penyimpanan dingin daging lumat hari ke-0 memiliki
nilai derajat putih tertingi. Secara statistik nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan nilai
derajat putih surimi komposisi A, penyimpanan dingin daging lumat hari ke-3. Sedangkan
surimi dengan komposisi B, penyimpanan dingin daging lumat hari ke-9 memiliki nilai
derajat putih terendah. Secara statistik nilai tersebut berbeda nyata dengan nilai derajat putih
dari tiap-tiap interaksi perlakuan lainnya.
Reaksi pencoklatan yang terjadi pada makanan, disebabkan oleh aktivitas enzimatis dan
aktivitas non enzimatis (Hutchings 1994). Penurunan nilai derajat putih surimi dari tiga jenis
komposisi daging lumat (A, B, dan A1B2) diduga lebih disebabkan oleh reaksi non-enzimatis.
Reaksi non-enzimatis utama yang terjadi selama proses pengolahan dan penyimpanan
makanan adalah (Hutchings 1994):
1 Maillard, reaksi antara karbohidrat dan asam amino, reaksi ini biasa terjadi pada
makanan atau buah yang disimpan pada suhu yang tinggi;
2 karamelisasi, yang disebabkan oleh degradasi senyawa gula tanpa partisipasi senyawa
amin (reaksi antara senyawa gula-gula); dan
3 efek dari oksidasi lemak yang menghasilkan dekomposisi pada protein.
Selama proses penyimpanan dingin daging lumat, diduga telah terjadi oksidasi terhadap
senyawa lemak. Oksidasi terhadap senyawa lemak ini dapat memacu laju penguraian protein,
yang pada akhirnya menyebabkan reaksi pencoklatan. Tingkat pencoklatan surimi
dipengaruhi oleh waktu penyimpanan daging lumat, yang berarti bahwa dengan semakin
lamanya waktu penyimpanan maka proses oksidasi semakin hebat dan warna coklat yang
terbentuk akan semakin nyata.
Selain itu dalam proses pembuatan surimi terjadi pula reaksi pencoklatan non-enzimatis
lain, yaitu reaksi Maillard. Menurut Bertak dan Karahadian (1995) perubahan nilai derajat
putih pada surimi lebih disebabkan karena terjadinya reaksi pencoklatan Maillard. Reaksi
Maillard didefinisikan sebagai urutan peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus amino pada
asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik pada gula yang diakhiri
dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin (deMan 1997).
Pada proses pembuatan surimi ditambahkan sukrosa sebanyak 2 %. Sukrosa tersebut
bertindak sebagai gula pereduksi yang akan bereaksi dengan gugus amino dari protein yang
akan membentuk senyawa melanoidin yang berwarna coklat.
Hutchings (1994) menjelaskan mekanisme reaksi pencoklatan non-enzimatis (Maillard
dan oksidasi lemak). Mekanisme reaksi Maillard dimulai dengan terjadinya proses kondensasi
yang melibatkan senyawa aldosa dan karbonil heksosa, yang dipecahkan dari reduksi gula dan
grup asam amino bebas dari asam amino protein. Air hilang dari proses kondensasi ini untuk
membentuk schiff base, dan memulai proses siklikasi menjadi aldosilamin. Hal ini dimulai
dengan proses pengaturan kembali senyawa amadori menjadi ketosamin. Pada tahap tidak
terdapat perubahan pencoklatan serta aroma dan flavor. Walaupun nilai nuritif makanan
dilporkan menurun. Tahap akhir dari reaksi ini adalah terbentuknya senyawa melanoidin yang
berwarna coklat gelap.
Sedangkan mekanisme dari oksidasi lemak disebabkan oleh oksidasi pada senyawa
asam lemak tak jenuh yang dapat bereaksi dengan protein untuk membentuk pigmen coklat.
Faktor yang dapat mempercepat laju reaksi pencoklatan adalah sifat asam amino dan
sifat karbohidrat. Menurut Hutchings (1994) pencoklatan pada makanan tergantung pada pH,
suhu, dan aktivitas air (aw). Makanan yang tinggi kandungan gulanya memiliki sifat
mereduksi yang sangat reaktif (deMan 1997). Reaksi Maillard cenderung terjadi pada pH
lebih besar dari 6 (deMan 1997). Terdapat korelasi negatif antara pH daging lumat dan nilai
derajat putih surimi. Selama penyimpanan dingin daging lumat, terjadi peningkatan nilai pH
hingga mencapai pH alkali pada hari terakhir penyimpanan (Gambar 11). Peningkatan nilai
pH dapat mempercepat laju reaksi Maillard pada surimi yang dihasilkan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Pencucian mampu meningkatkan kadar PLG dan menurunkan kadar urea pada daging
lumat ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa yang diteliti. Frekuensi pencucian sebanyak tiga
kali adalah frekuensi terbaik, yang mampu mengurangi kadar urea hingga 88 % pada ikan
cucut pisang dan 100 % pada ikan pari kelapa. Sedangkan kadar PLG daging ikan cucut
pisang dan ikan pari kelapa yang dihasilkan pada frekuensi pencucian tersebut berturut-turut
sebesar 13,52 % dan 13,24 %.
Dari hasil pengamatan nilai kekuatan gel terhadap pengkomposisian daging lumat ikan
cucut pisang dan ikan pari kelapa, dengan lima macam komposisi (A, B, A1B1, A2B1, dan
A1B2) diperoleh hasil bahwa komposisi A1B2 memiliki nilai kekuatan gel tertinggi, yaitu
sebesar 209,290 g.cm. Pengkomposisian dengan mencampurkan kedua daging ikan tersebut
mampu meningkatkan kekuatan gel-nya. Hal ini menandakan bahwa terjadi sinergisitas antara
kedua daging ikan tersebut yang dicampurkan, sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel-
nya.
Komposisi daging lumat A1B2 dan dua komposisi pembanding (A dan B) akan dilihat
pengaruh dari proses penyimpanan dingin daging lumat terhadap karakteristik surimi yang
dihasilkan.
Selama sembilan hari penyimpanan dingin daging lumat, telah terjadi proses
kemunduran mutu. Kemunduran mutu tersebut mempengaruhi karakteristik surimi, dimana
seiring dengan semakin lamanya masa penyimpanan dingin daging lumat, karakteristik surimi
yang dihasilkan akan semakin buruk pula. Kemunduran mutu daging lumat ditandai dengan
adanya perubahan terhadap nilai pH, TVBN, TMA, urea dan PLG yang semakin buruk hingga
masa penyimpanan terakhir.
Kemunduran mutu yang terjadi pada daging lumat menyebabkan karakteristik surimi
yang dihasilkan ikut menurun pula. Secara umum penurunan terhadap karakteristik fisika-
kimia surimi yang telah dievaluasi (kekuatan gel, uji gigit, uji lipat, WHC, dan derajat putih)
disebabkan karena selama proses penyimpanan dingin terjadi peristiwa yang menyebabkan
mundurnya mutu daging tersebut. Aktivitas dari bakteri diduga lebih berperan dalam proses
kemunduran mutu pada suhu dingin.
Masa penyimpanan yang baik pada suhu dingin bagi kedua jenis daging lumat ikan ini
adalah kurang dari tiga hari masa penyimpanan. Mengingat tingginya kadar urea pada kedua
jenis ikan ini, dimana akan mudah sekali mengalami penguraian, sehingga proses kebusukan
dagingnya akan berlangsung cepat.

5.2 Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk mengevaluasi cemaran mikroba (ALT, Escherichia coli, Coliform, Salmonella, dan
Vibrio cholerae) dan cemaran kimia (kadar abu, lemak, dan protein) sesuai ketentuan yang
disyaratkan oleh SNI surimi beku.
Penelitian lebih lanjut untuk memperpanjang umur simpan daging lumat kedua ikan
tersebut, seperti: pengaruh penambahan bahan pengawet (gula dan sodium tripolifosfat
(STPP)), teknik penyimpanan beku daging lumat, serta teknik pengemasan yang tepat.
Penelitian lebih lanjut untuk mengolah surimi yang dihasilkan menjadi berbagai macam
produk lanjutannya, khususnya produk-produk tradisional seperti bakso dan siomay agar
dapat langsung diaplikasikan didalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods
of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Edisi ke-14.
Washington, D.C.

Amlacher E. 1961. Rigormortis in Fish. Di dalam. Borgstrom G, Editor. Fish as Food.


Volume 1. New York: Academic Press.

Baier KS, McClements DJ. 2005. Influence of cosovalent systems on the gelation mechanism
of globular protein: thermodynamic, kinetic, and structural aspects of globular
protein gelation. Comperhesive Reviews in Food Science and Food Safety 4: 43-54.

Benjakul S, Seymour TA, Morrissey MT, Haejung AN. 1996. Proteinase in pacific whiting
surimi wash water: identification and characterization. J. Food Sci. 61 (6): 1165-
1170.

Bennion BJ, Daggett V. 2004. Counteraction of urea-induced protein denaturation by


trimethylamine N-oxide: A chemical chaperone at atomic resolution. PNAS 101
(17): 6433-6438.

Berlyanto BS. 2004. Pengaruh lama waktu penyimpanan beku daging lumat ikan kurisi
(Nemiphterus nematophorus) terhadap mutu fisiko-kimia surimi [skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bertak JA, Kahardian C. 1995. Surimi-based imitation crab characteristic affected by heating
method and end point temperature. J. Food Sci. 60 (2): 292-296.

Botta JR. 1994. Freshness quality of seafoods: a review. Didalam. Shahidi and R.Bota,
Editors. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality.
London:Blackie Academic & Professional.

[BBPMHP] Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 1987. Petunjuk Praktis
Pengolahan Surimi. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. Jakarta.

[BPPMHP] Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 2001. Instruksi Kerja
Pengujian Contoh Hasil Perikanan. Laboratorium Kimia BPPMHP. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Tidak Diterbitkan.

[BRPL] Balai Riset Perikanan Laut. 2004. Musim Penangkapan Ikan Di Indonesia. Badan
Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Camberato JJ. 2001. Nitrogen in Soil and Fertilizer. SC Trufgrass Foundation. 8(1): 6-10.

Camhi M, Fowler S, Musick J, Barutigam A, Fordham S. 1998. Shark and their relatives
ecology and conservation. Occasional Papper of the IUCN Species Survival
Commission 20.
Clucas IJ. 1981. Fish Handling, Preservation and Processing in the Tropics:Part
1.London:Tropical Products Institute.

Clucas IJ, Ward AR. 1996. Post-Harvest Fisheries Development: A Guide to Handling,
Preservation, Processing and Quality. Natural Research Institute.

Codex Alimentarius Abridged Version. 1990. Joint FAO/WHO Food Standards Programs.
Food Additive no. Codex 452 a. Food and Agricultural Organization of the United
Nation World Health Organization. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, Editors. 1992.
Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc.

Connell JJ. 1979. Advance in Fish Science and Technology. Farnham: Fishing News Books
Ltd.

. 1980. Control of Fish Quality. Farnham: Fishing News Books Ltd.

deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi ke-2. Panduwinata K, penerjemah. Bandung:
Penerbit ITB. Terjemahan dari: Food Chemistry.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1990. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut.
Jakarta: Departemen Pertanian.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2005
Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2003. Jakarta: DKP.

Dorn T. 2005. Nitrogen sources. Facts 288(01): 444-447.

Elasmo-research. 2005. Biologi of shark and ray. Homepage: http://www.elasmo-


research.org. [8 Desember 2005].

Erlina MD, Tazwir, Aryani F. 1984. Studi pembuatan bakso dari campuran daging cucut
(carcharinus limbatus) dan jangilus (Istiophorus gladius) I (penyimpanan suhu
rendah). Laporan Penelitian Teknologi Perikanan. 31: 31-39.

[FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2005. A world overview of
species of interest to fisheries Carcharinus falciformis. Homepage: http://www. fao.
org/ figis/ Serulet/ fsSearchSerulet. [8 Desember 2005].

Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Polusi Udara. Bogor: PAU-Pangan dan Gizi, IPB.

Fis. 2005. Surimi. Homepage: http:// www. fis. Com // samples / fis /newfis2005
/index_files/fis.css/. [8 Desember 2005]

Fishbase. 2005. Fishbase. Homepage: http://www.fishbase.org/. [8 Desember 2005].

Fitrial Y. 2000. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka, suhu dan lama perebusan terhadap mutu
gel daging ikan cucut lanyam (Carcharinus limbatus) [thesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Globefish. 2005. homepage: http:// www.globefish.org. [8 Desember 2005].

Gomez-Guillen MC, Montero P, Solas MT, Borderias AJ. 1998. Thermally induced
aggregation of giant squid (Dosidicus gigas) mantle proteins: physicochemical
contribution of added ingredients. J.Agric.Food Chem. 46: 3440-3446.

Govindan TK. 1985. Fish Processing Technology. New Delhi: Oxford & IBH Publishing
Co.Pvt.Ltd.

Hudson BJF. 1992. Biochemistry of Food Proteins. London: Elsevier Applied Sci.

Hui YH. 1992. Encyclopedia of Food Science and Technology Volume 2. New York: John
Wiley & Sons, Inc.

Hutchings JB. 1994. Food Colour and Appearance. London: Blackie Academic and
Proffesional.

Jaczynski J, Park JW. 2004. Physicochemical changes in alaska pollock surimi and surimi gel
as affected by electron beam. J. Food Sci. 69 (1) : C53-C57.

Kamallan MT. 1988. Pengaruh konsentrasi bahan pengikat dan sodium tripolifosfat terhadap
mutu dan daya awet kamaboko ikan pari kelapa (Trygon sephen) [skripsi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Kett Electric Laboratory. 1981. Operating Instruction Kett Digital Whiteness Meter.
Unpublished.

[KIFTC] Kanagawa International Fisheries Training Centre. 1992. Science of Processing


Marine Food Products. Volume II. Japan.

Kim JM, Liu CH, Eun JB, Park JW, Oshimi R, Hayashi K, Ott B, Aramaki T, Sekine M,
Horikita Y, Fujimoto K, Aikawa T, Welch L, Long R. 1996. Surimi from fillet of
channel catfish. J. Food Sci. 61 (2): 428-432.

Kreuzer R., Ahmed R. 1978. Shark Utilization and Marketing. Rome: Food and Agriculure
Organization of The United Nations.

Lagler KF, Bardach JE, Miller RR, Passino DRM. 1977. Ichtiology. Edisi ke-2. New York:
John Willey and Sons Inc.

Lawrie RA. 1991. Meat Science. Edisi ke-5. Oxford: Pergamon Press. Hlm 54-60, 190-191.

Mahyuddin B. 2005. Pengeloaan ikan cucut di Palabuhanratu. Apresiasi Pengelolaan Cucut


dalam Rangka Penyiapan NPOA Shark Management; Bali, 5 Januari 2005. Tidak
diterbitkan

Manik N. 2003. Beberapa catatan mengenai ikan pari? Oseania: XXVIII (4); Hlm 17 23,
Matsumoto JJ, Noguchi SF. 1991. Cryostabilization of Protein in Surimi. Di dalam. Lanier
TC, Lee CM, Editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan. Jilid I, Edisi ke-2. Bogor: IPB
Press.

Musick JA. 2005. Shark Utilization. Paper 14: 323-336.

Nahumury M. 1994. Reduksi urea secara enzimatis pada file daging ikan cucut (Carcharinus
falciformis) segar dengan biji durian [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.

Nielsen RG, Piggot GM. 1994. Gel strength increased in low grade heat set surimi with
blended phospates. J. Food Sci. 59(2): 285-298.

Niwa E. 1992. Chemistry of surimi gelation. Di dalam. Lanier TC, Lee CM, Editor. Surimi
Technology. New York: Marcel Dekker Inc.

Okada M. 1992. History of Surimi Technology in Japan. Di dalam. Lanier TC, Lee CM,
Editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc.

Ozogul F, Ozogul Y. 1999. Comparision of methods used for determination of total volatile
base nitrogen (TVB-N) in Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Turk J. Zool
24(2000): 113-120.
Pipatsattayanuwong S, Park JW, Morrissey MT. 1995. Functional properties and shelf life of
fresh surimi from pacific whitting. J. Food Sci. 60(6): 1241-1244.

Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta:


Balai Penelitian Perikanan Laut Slipi.

Pranira S. 2003. Pemanfaatan ikan pelagis ekonomis rendah sebagai bahan baku surimi
[skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Ridwan A, Murniati B. 1985. Ikhtiologi Sistematika. Bogor: Fakultas Perikanan IPB.

Reppond KD, Babbit JK. 1997. Gel properties of surimi from various fish species as affected
by moisture content. J. Food Sci. 62(1): 33-36.

Reynolds J, Park JW, Choi YJ. 2002. Physicochemical properties of Pacific Whiting surimi as
affected by various freezing and storage conditions. J. Food Sci. 67(6): 2072-2078.

Saleh M, Bukit T, Wikanta T. 1979. Studi kemunduran mutu daging cucut segar pada
berbagai kondisi penyimpanan. Laporan Penelitian Teknologi Perikanan. 56: 1-14.

Park JW. 2004. Surimi gel preparation and texture analysis for better quality control.
Didalam. Sakaguchi M, Editor. 2004. More Efficient Utilization of Fish and
Fisheries Products. Editor. Proceedings of the International Symposium on the
th
Occasion of the 70 Anniversary of the Japanese Society of Fisheries Scienc; Kyoto,
7-10 October 2001. Amsterdam: Elsevier.

Seibel BA, Walsh PJ. 2001. Trymethilamine oxide accumulation in marine animals:
relationship to acylglycerol storage. J. Experimental Biol. 205: 297-306.

Shahidi F. 1994. Seafoods Proteins and Preparation of Protein Concentrates. Didalam.


Shahidi and R.Bota, Editors. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology
and Quality. London: Blackie Academic & Professional.

Sikorski ZE. 1999. Seafood: Resources, Nutritional Compositio, and Preservation. Florida:
CRC Press.

Sikroski ZE, Sun Pan B. 1994. Preservation of Seafood quality. Didalam. Shahidi and
R.Bota, Editors. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality.
London: Blackie Academic & Professional.

Simidu W. 1961. Non Protein Nitrogenous Compounds. Di dalam. Borgstrom G, Editor. Fish
as Food. Volume 1. New York: Academic Press.

Smith CP, Wright PA. 1999. Molecular characterization of an elasmobranch transporter. The
American Sociological Society 0363-6119/99: R622-R626.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Syarat mutu bahan baku surimi. 01-2693-1992.
Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

. . 1992. Syarat mutu bahan baku surimi. 01-2694-1992. Jakarta: Badan


Standarisasi Nasional.

. 1998. SNI-01-4495-1998. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Stansby M. 1963. Industry Fishery Technology. Washington: Reinhold Publishing Corp.

Surimithailand. 2005. Surimi (all about surimi FAQ). Homepage:


http://www.surimithailand.com/surumi.html. [8 Desember 2005].

Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein in Processing Technology. London: Applied Science
Publishing. Ltd.

Tamarkin AD. 2004. Myofibril composition. STCC Foundation Press. Di Dalam. Distance.
2005. Homepage: http:// distance.stcc.edu. [8 Desember 2005].

Van Hoeve W. 1992. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna ikan. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve: 256 hlm. Di dalam. Manik N. 2003. Beberapa catatan mengenai ikan pari?
Oseania: XXVIII (4). Hlm 17 - 23.

Venugopal V. 1992. Mince from low-cost fish species. Trend in Food Science Technology.
January (3): 2-5.
Wahyuni M. 1992. Sifat kimia dan fungsional ikan hiu lanyam (Charcarinus limbatus) serta
penggunaanya dalam pembuatan sosis [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.

Waterlow JC, Stephen JML. 1981. Nitrogen Methods in Man. London: Applied Science
Publish.

Winarno FG., Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta:


PT. Gramedia.

Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Yoon WB, Gunasekaran S, Park JW. 2004. Evaluating viscosity of surimi paste at different
moisture content. Applied Rheology 14(2004): 133-139.

Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Makarova T, Minder L, Podsevalov V. 1969. Fish Curing


and Processing. Moscow: MIR. Publishing. Translated from the Russian by: De
Merindol A.

Zayas JF. 1997. Functionality of Proteins in Food. Springer. Valey.

.
Lampiran 1 Lembar penilaian sensori surimi beku

Nama Panelis: ............................ Tanggal: .............................


1. Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian.
2. Berilah tanda pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji.
Kode Contoh
Spesifikasi Nilai
1 2 3 4 5
1. Uji Lipat
Tidak retak bila dilipat 4 5
Sedikit retak bila dilipat 4 4
Sedikit retak bila dilipat 2 3
Retak tetapi masih menyatu bila dilipat 2 2
Patah seluruhnya bila dilipat 2 1
2. Uji Gigit
Amat sangat kuat kekenyalannya 10
Sangat kuat kekenyalannya 9
Kuat kekenyalannya 8
Agak kuat kekenyalannya 7
Kekenyalannya masih dapat diterima 6
Agak lunak 5
Lunak 4
Sangat lunak 3
Hancur 1
Lampiran 2 Nilai PLG, analisis ragam dan uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pencucian
daging lumat ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa terhadap kadar PLG

Lampiran 2a Nilai PLG (%) daging ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa dari setiap
frekuensi pencucian

Frekuensi PLG (%)


Pencucian Cucut Pari
0 9,85 9,00
10,07 9,24
1 11,32 11,32
11,76 11,14
2 15,46 15,46
15,88 15,40
3 13,02 13,33
14,03 13,15
4 10,50 10,60
10,18 10,52

Lampiran 2b Analisis ragam frekuensi pencucian daging lumat ikan cucut pisang terhadap
kadar PLG
ANOVA

plg cucut
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 45,418 4 11,355 73,688 ,000
Within Groups ,770 5 ,154
Total 46,189 9

Lampiran 2c Analisis ragam frekuensi pencucian daging lumat ikan pari kelapa terhadap
kadar PLG

ANOVA

plg pari
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 48,456 4 12,114 914,959 ,000
Within Groups 6,620E-02 5 1,324E-02
Total 48,522 9
Lampiran 2d Uji lanjut Tukey frekuensi pencucian daging lumat ikan cucut pisang terhadap
kadar PLG
plg cucut
a
Tukey HSD
Subset for alpha = .05
PLG N 1 2 3 4
leaching 0 2 9,9600
leaching 4 2 10,3400 10,3400
leaching 1 2 11,5400
leaching 3 2 13,5250
leaching 2 2 15,6700
Sig. ,859 ,128 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

Lampiran 2e Uji lanjut Tukey frekuensi pencucian daging lumat ikan pari kelapa terhadap
kadar PLG
plg pari
a
Tukey HSD
Subset for alpha = .05
PLG N 1 2 3 4 5
leaching 0 2 9,1200
leaching 4 2 10,5600
leaching 1 2 11,2300
leaching 3 2 13,2400
leaching 2 2 15,4300
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 3 Nilai kadar urea, analisis ragam dan uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi
pencucian daging lumat ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa terhadap kadar
urea.
Lampiran 3a Nilai kadar urea (%) daging ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa dari setiap
frekuensi pencucian

Frekuensi Urea (%)


Pencucian Cucut Pari
0 1,87 2,38
2,09 2,26
1 0,66 1,62
1,04 1,46
2 0,60 0,32
0,62 0,38
3 0,31 0,00
0,15 0,00
4 0,00 0,00
0,00 0,00

Lampiran 3b Analisis ragam frekuensi pencucian daging lumat ikan cucut pisang terhadap
kadar urea
ANOVA

urea cucut
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4,748 4 1,187 54,253 ,000
Within Groups ,109 5 2,188E-02
Total 4,858 9

Lampiran 3c Analisis ragam frekuensi pencucian daging lumat ikan pari kelapa terhadap
kadar urea
ANOVA

urea pari
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 8,663 4 2,166 496,752 ,000
Within Groups 2,180E-02 5 4,360E-03
Total 8,685 9
Lampiran 3d Uji lanjut Tukey frekuensi pencucian daging lumat ikan cucut pisang terhadap
kadar urea
urea cucut
a
Tukey HSD
Subset for alpha = .05
urea N 1 2 3 4
leaching 4 2 ,0000
leaching 3 2 ,2300 ,2300
leaching 2 2 ,6100 ,6100
leaching 1 2 ,8500
leaching 0 2 1,9800
Sig. ,575 ,212 ,543 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

Lampiran 3e Uji lanjut Tukey frekuensi pencucian daging lumat ikan pari kelapa terhadap
kadar urea
urea pari
a
Tukey HSD
Subset for alpha = .05
urea N 1 2 3 4
leaching 3 2 ,0000
leaching 4 2 ,0000
leaching 2 2 ,3500
leaching 1 2 1,5400
leaching 0 2 2,3200
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 4 Nilai kekuatan gel daging lumat komposisi A, B, A1B1, A1B2, dan A2B1.

Lampiran 4a Nilai kekuatan gel (g.cm) komposisi daging lumat A

Ulangan Komposisi Force (g) Distance (cm)

1 A
77.948 14.383
2 A
89.349 8.490
3 A
73.929 5.693
4 A
75.149 5.668
5 A
87.361 5.655

Lampiran 4b Nilai kekuatan gel (g.cm) komposisi daging lumat B

Ulangan Komposisi Force (g) Distance (cm)

1 B
120.326 14.870
2 B
123.332 9.640
3 B
122.456 8.630
4 B
136.775 9.960
5 B
125.872 14.680

Lampiran 4c Nilai kekuatan gel (g.cm) komposisi daging lumat A1B1

Ulangan Komposisi Force (g) Distance (cm)

1 A1B1
154.054 14.990
2
A1B1 140.093 13.825
3
A1B1 149.707 12.700
4
A1B1 132.109 10.910
5
A1B1 149.244 12.190
Lampiran 4d Nilai kekuatan gel (g.cm) komposisi daging lumat A2B1

Ulangan Komposisi Force (g) Distance (cm)

1 A2B1
93.721 13.850
2
A2B1 99.42 13.240
3
A2B1 87.748 9.370
4
A2B1 79.446 7.440

Lampiran 4e Nilai kekuatan gel (g.cm) komposisi daging lumat A1B2

Ulangan Komposisi Force (g) Distance (cm)

1 A1B2
227.452 7.558
2
A1B2 191.438 14.220
3
A1B2 274.541 8.128
4
A1B2 259.802 8.053
5
A1B2 281.537 8.018
6
A1B2 223.406 6.973
7
A1B2 220.944 8.128
Lampiran 5 Nilai pH, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai pH daging lumat komposisi
A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Lampiran 5a Nilai pH daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

pH Selama Penyimpanan
Komposisi 0 3 6 9
5,84 7,84 8,49 8,70
A
5,78 7,91 8,36 8,70
6,73 8,64 8,87 8,98
B
6,76 8,58 8,87 8,95
6,55 8,62 8,76 8,88
A1B2
6,52 8,63 8,77 8,88

Lampiran 5b Analisis ragam nilai pH daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama
penyimpanan dingin
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: nilai pH


Type I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 25.920a 11 2.356 1772.823 .000
Intercept 1561.868 1 1561.868 1175073 .000
FAKT1 1.632 2 .816 613.959 .000
FAKT2 23.933 3 7.978 6001.892 .000
INTER .355 6 5.925E-02 44.576 .000
Error 1.595E-02 12 1.329E-03
Total 1587.804 24
Corrected Total 25.936 23
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .999)

Lampiran 5c Uji lanjut Tukey nilai pH terhadap faktor komposisi daging lumat
nilai pH
a,b
Tukey HSD
Subset
Komposisi N 1 2 3
A 8 7.7025
A1B2 8 8.2013
B 8 8.2975
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1.329E-03.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000.
b. Alpha = .05.
Lampiran 5d Uji lanjut Tukey nilai pH terhadap faktor penyimpanan dingin daging lumat
nilai pH
a,b
Tukey HSD
Subset
Penyimpanan N 1 2 3 4
0 hari 6 6.3633
3 hari 6 8.3700
6 hari 6 8.6867
9 hari 6 8.8483
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1.329E-03.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = .05.

Lampiran 5e Uji lanjut Tukey nilai pH terhadap interaksi kedua faktor tersebut

nilai pH

Tukey
a ,b
H S D v
komposisi Subset
penyimpan N 1 2 3 4 5 6 7 8 9
A0 2 5.8100
A1B20 2 6.5350
B0 2 6.7450
A3 2 7.8750
A6 2 8.4250
B3 2 8.6100
A1B23 2 8.6250 8.6250
A9 2 8.7000 8.7000
A1B26 2 8.7650 8.7650
B6 2 8.8700 8.8700
A1B29 2 8.8800 8.8800
B9 2 8.9650
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 .433 .061 .174 .367
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1.329E-03.
a.Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b.Alpha = .05.
Lampiran 6 Nilai TVBN, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai TVBN daging lumat
komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Lampiran 6a Nilai TVBN (mg N/100 g) daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama
penyimpanan dingin

A B A1B2
10,51 8,18 12,03
0
10,51 8,18 15,24
24,61 42,37 42,96
3
25,34 43,17 39,78
284,09 309,16 315,3
6
250,28 350,92 335,77
281,27 344,97 416,41
9
282,89 355,51 506,18

Lampiran 6b Analisis ragam nilai TVBN daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama
penyimpanan dingin
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: nilai tvbn


Type I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 635663.023a 11 57787.548 120.600 .000
Intercept 776027.596 1 776027.596 1619.537 .000
FAKT1 16630.426 2 8315.213 17.353 .000
FAKT2 597592.921 3 199197.640 415.717 .000
INTER 21439.676 6 3573.279 7.457 .002
Error 5749.996 12 479.166
Total 1417440,6 24
Corrected Total 641413.019 23
a. R Squared = .991 (Adjusted R Squared = .983)
Lampiran 6c Uji lanjut Tukey nilai TVBN terhadap faktor komposisi daging lumat
nilai tvbn
a,b
Tukey HSD
Subset
Komposisi N 1 2
A 8 146.1875
B 8 182.8075
A1B2 8 210.4588
Sig. 1.000 .064
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 479.166.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000.
b. Alpha = .05.

Lampiran 6d Uji lanjut Tukey nilai TVBN terhadap faktor penyimpanan dingin daging lumat

nilai tvbn
a,b
Tukey HSD
Subset
Penyimpanan N 1 2 3
0 hari 6 10.7750
3 hari 6 36.3717
6 hari 6 307.5867
9 hari 6 364.5383
Sig. .232 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 479.166.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = .05.
Lampiran 6e Uji lanjut Tukey nilai TVBN terhadap interaksi kedua faktor tersebut

nilai tvbn
a,b
Tukey HSD
komposisi vs Subset
penyimpanan N 1 2 3
B0 2 8.1800
A0 2 10.5100
A1B20 2 13.6350
A3 2 24.9750
A1B23 2 41.3700
B3 2 42.7700
A6 2 267.1850
A9 2 282.0800
A1B26 2 325.5350
B6 2 330.0400
B9 2 350.2400
A1B29 2 461.2950
Sig. .887 .066 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 479.166.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
Lampiran 7 Nilai TMA, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai TMA daging lumat
komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Lampiran 7a Nilai TMA (mg N/ 100 g) daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama
penyimpanan dingin

A B A1B2
0 1,610 2,620 2,410
1,770 2,450 2,410
3 4,840 6,390 7,160
4,840 8,790 7,950
6 12,070 19,270 17,190
13,680 22,480 18,840
9 13,760 21,080 23,240
13,760 24,320 21,640

Lampiran 7b Analisis ragam nilai TMA daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama
penyimpanan dingin
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: nilai TMA


Type I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1433.714a 11 130.338 89.082 .000
Intercept 3141.195 1 3141.195 2146.914 .000
FAKT1 121.697 2 60.848 41.588 .000
FAKT2 1253.637 3 417.879 285.608 .000
INTER 58.381 6 9.730 6.650 .003
Error 17.557 12 1.463
Total 4592.467 24
Corrected Total 1451.272 23
a. R Squared = .988 (Adjusted R Squared = .977)
Lampiran 7c Uji lanjut Tukey nilai TMA terhadap faktor komposisi daging lumat
nilai TMA
a,b
Tukey HSD
Subset
Komposisi N 1 2
A 8 8.2913
A1B2 8 12.6050
B 8 13.4250
Sig. 1.000 .393
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1.463.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000.
b. Alpha = .05.

Lampiran 7d Uji lanjut Tukey nilai TMA terhadap faktor penyimpanan dingin daging lumat

nilai TMA
a,b
Tukey HSD
Subset
Penyimpanan N 1 2 3 4
0 hari 6 2.2117
3 hari 6 6.6617
6 hari 6 17.2550
9 hari 6 19.6333
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1.463.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = .05.
Lampiran 7e Uji lanjut Tukey nilai TMA terhadap interaksi kedua faktor tersebut
nilai TMA
a,b
Tukey HSD
komposisi vs Subset
penyimpanan N 1 2 3 4 5
A0 2 1.6900
A1B20 2 2.4100
B0 2 2.5350
A3 2 4.8400 4.8400
A1B23 2 7.5550
B3 2 7.5900
A6 2 12.8750
A9 2 13.7600 13.7600
A1B26 2 18.0150 18.0150
B6 2 20.8750
A1B29 2 22.4400
B9 2 22.7000
Sig. .368 .535 1.000 .101 .058
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1.463.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
Lampiran 8 Nilai kadar urea, analisis ragam dan uji lanjut Tukey kadar urea daging lumat
komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Lampiran 8a Nilai kadar urea (%) daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama
penyimpanan dingin

A B A1B2
1,98 2,32 2,33
0
1,99 2,35 2,35
1,03 0,97 0,64
3
1,00 0,99 0,64
0,46 0,76 0,33
6
0,48 0,78 0,32
0,42 0,61 0,59
9
0,44 0,59 0,62

Lampiran 8b Analisis ragam kadar urea daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama
penyimpanan dingin
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: urea


Type I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 12.176a 11 1.107 5012.588 .000
Intercept 26.021 1 26.021 117830,2 .000
FAKT1 .203 2 .101 459.226 .000
FAKT2 11.593 3 3.864 17499.390 .000
INTER .380 6 6.337E-02 286.975 .000
Error 2.650E-03 12 2.208E-04
Total 38.200 24
Corrected Total 12.179 23
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Lampiran 8c Uji lanjut Tukey kadar urea terhadap faktor komposisi daging lumat
urea
a,b
Tukey HSD
Subset
Komposisi N 1 2
A 8 .9750
A1B2 8 .9775
B 8 1.1712
Sig. .940 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 2.208E-04.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000.
b. Alpha = .05.

Lampiran 8d Uji lanjut Tukey kadar urea terhadap faktor penyimpanan dingin daging lumat
urea
a,b
Tukey HSD
Subset
Penyimpanan N 1 2 3
6 hari 6 .5217
9 hari 6 .5450
3 hari 6 .8783
0 hari 6 2.2200
Sig. .077 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 2.208E-04.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = .05.
Lampiran 8e Uji lanjut Tukey kadar urea terhadap interaksi kedua faktor tersebut
urea

Tukey
a ,b
HS D
komposisi vs Subset
penyimpanan N 1 2 3 4 5 6 7
A1B26 2 .3250
A9 2 .4300
A6 2 .4700
B9 2 .6000
A1B29 2 .6050
A1B23 2 .6400
B6 2 .7700
B3 2 .9800
A3 2 1.0150
A0 2 1.9850
B0 2 2.3350
A1B20 2 2.3400
Sig. 1.000 .330 .330 1.000 .491 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 2.208E-04.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.
Lampiran 9 Nilai PLG, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai PLG daging lumat
komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Lampiran 9a Nilai PLG (%) daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan
dingin

A B A 1 B2
9,15 9,97 10,12
0
9,22 9,52 9,97
7,52 5,34 5,44
3
7,60 5,38 5,23
6,33 3,28 4,69
6
6,65 3,32 4,81
4,87 2,14 3,51
9
4,87 2,17 3,57

Lampiran 9b Analisis ragam nilai PLG daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama
penyimpanan dingin
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: nilia plg


Type I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 150.025a 11 13.639 808.415 .000
Intercept 872.059 1 872.059 51690.316 .000
FAKT1 14.378 2 7.189 426.122 .000
FAKT2 125.159 3 41.720 2472.886 .000
INTER 10.488 6 1.748 103.610 .000
Error .202 12 1.687E-02
Total 1022.286 24
Corrected Total 150.227 23
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997)
Lampiran 9c Uji lanjut Tukey nilai PLG terhadap faktor komposisi daging lumat
nilia plg
a,b
Tukey HSD
Subset
Komposisi N 1 2 3
B 8 5.1400
A1B2 8 5.9175
A 8 7.0263
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1.687E-02.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000.
b. Alpha = .05.

Lampiran 9d Uji lanjut Tukey nilai PLG terhadap faktor penyimpanan dingin daging lumat

nilia plg
a,b
Tukey HSD
Subset
Penyimpanan N 1 2 3 4
9 hari 6 3.5217
6 hari 6 4.8467
3 hari 6 6.0850
0 hari 6 9.6583
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1.687E-02.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = .05.
Lampiran 9e Uji lanjut Tukey nilai PLG terhadap interaksi kedua faktor tersebut
nilia plg
a ,b
Tukey H S D
komposisi v s Subset
penyimpana N 1 2 3 4 5 6 7 8
B9 2 2.1550
B6 2 3.3000
A1B29 2 3.5400
A1B26 2 4.7500
A9 2 4.8700 4.8700
A1B23 2 5.3350
B3 2 5.3600
A6 2 6.4900
A3 2 7.5600
A0 2 9.1850
B0 2 9.7450
A1B20 2 10.0450
Sig. 1.000 .769 .997 .068 1.000 1.000 1.000 .516
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1.687E-02.
a.Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b.Alpha = .05.
Lampiran 10 Nilai kekuatan gel, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai kekuatan gel surimi
dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Lampiran 10a Analisis ragam nilai kekuatan gel surimi dari daging lumat komposisi A, B,
dan A1B2 selama penyimpanan dingin
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: nilai Gel Strength


Type I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1321132,9a 11 120102,994 26,741 ,000
Intercept 5544426,5 1 5544426,463 1234,466 ,000
FAKT1 100628,811 2 50314,406 11,202 ,000
FAKT2 1020220,6 3 340073,543 75,717 ,000
INTER 200283,489 6 33380,582 7,432 ,000
Error 592858,942 132 4491,356
Total 7458418,3 144
Corrected Total 1913991,9 143
a. R Squared = ,690 (Adjusted R Squared = ,664)

Lampiran 10b Uji lanjut Tukey nilai kekuatan gel surimi terhadap faktor komposisi daging
lumat
nilai Gel Strength
a,b
Tukey HSD
Subset
Komposisi N 1 2
B 48 173,2030
A1B2 48 182,2198
A 48 233,2423
Sig. ,787 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 4491,356.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 48,000.
b. Alpha = ,05.
Lampiran 10c Uji lanjut Tukey nilai kekuatan gel surimi terhadap faktor penyimpanan dingin
daging lumat
nilai Gel Strength
a,b
Tukey HSD
Subset
Penyimpanan N 1 2 3
9 hari 36 106,1478
6 hari 36 145,6818
3 hari 36 204,1358
0 hari 36 328,9215
Sig. ,059 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 4491,356.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 36,000.
b. Alpha = ,05.
Lampiran 10d Nilai kekuatan gel (g.cm) surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2
selama penyimpanan dingin
Komposisi Surimi
Hari
Penyimpanan
A B A1B2
Force Distance Force Distance Force Distance
298,441 8,598 310,431 10,798 379,837 7,825
310,412 9,227 318,632 10,327 344,981 13,525
277,024 8,158 297,125 8,158 264,281 10,420
246,769 8,735 346,769 15,000 502,519 15,000
290,799 8,893 320,899 9,993 346,098 7,135
0 290,625 8,153 390,625 11,453 456,022 9,083
331,074 8,950 325,484 9,990 415,901 8,840
308,258 8,980 409,654 7,980 427,541 10,438
329,232 8,123 229,265 7,255 368,399 8,225
272,677 9,262 252,777 9,463 247,791 9,608
336,995 14,890 366,785 14,090 377,900 8,620
322,473 8,108 334,679 9,219 351,829 8,300
240,262 11,573 141,341 14,614 166,531 11,265
223,981 13,942 132,771 12,681 172,981 15,000
247,635 9,148 147,547 13,426 161,222 7,541
231,689 15,000 131,748 14,892 155,218 6,981
220,751 11,193 129,841 10,253 100,992 11,664
256,761 11,168 160,652 13,669 151,982 13,250
3
244,458 10,990 144,698 14,990 163,718 12,771
209,364 8,990 133,742 13,765 152,851 5,647
269,571 9,463 172,950 11,572 164,890 13,739
241,220 9,985 121,522 10,722 155,916 9,293
261,885 15,000 162,778 14,000 189,965 8,858
190,725 5,558 125,159 8,722 171,285 10,350
185,624 14,637 101,733 9,284 122,847 14,325
163,782 14,249 80,921 5,172 100,251 9,394
197,851 14,261 93,283 11,810 104,725 10,765
182,673 10,882 98,550 8,888 108,628 12,642
172,445 12,764 94,282 8,573 144,921 13,257
164,725 14,000 100,000 10,821 99,764 7,359
6
183,829 15,000 96,760 7,000 106,528 9,370
166,998 9,280 96,758 10,329 114,358 10,036
168,726 10,641 120,537 10,565 110,649 11,212
175,827 11,999 92,332 12,357 97,472 9,948
191,565 13,750 91,629 9,830 100,758 10,725
200,326 10,000 90,473 8,716 101,226 9,116
9 106,768 11,425 110,149 8,247 80,362 7,500
99,001 11,251 88,000 7,981 87,947 7,233
117,650 13,662 93,476 5,220 83,277 9,480
115,733 12,981 105,827 10,473 99,810 7,105
124,852 13,920 103,225 6,920 93,540 8,210
172,150 15,000 94,220 7,472 94,220 7,650
104,320 11,450 108,452 8,229 82,681 6,359
139,429 10,828 100,210 7,992 95,532 9,356
144,984 14,662 94,722 6,850 98,040 9,425
100,750 10,750 90,350 5,100 82,480 6,903
125,863 13,821 100,645 7,642 85,700 6,982
164,365 14,963 121,422 10,265 101,694 11,371

Lampiran 10e Uji lanjut Tukey nilai kekuatan gel surimi terhadap interaksi kedua faktor
tersebut
nilai Gel Strength

Tukey
a ,b
HS D
komposisi vs Subset
penyimpanan N 1 2 3 4 5 6 7 8
A1B29 12 74,1157
B9 12 78,6986 78,6986
B6 12 91,7616 91,7616
A1B26 12 118,4758 118,4758 118,4758
A9 12 165,6291 165,6291 165,6291
A1B23 12 167,3803 167,3803 167,3803
B3 12 182,5354 182,5354 182,5354
A6 12 226,8081 226,8081 226,8081
A3 12 262,4917 262,4917 262,4917
A0 12 278,0403 278,0403
B0 12 339,8166 339,8166
A1B20 12 368,9077
Sig. ,902 ,054 ,447 ,523 ,133 ,777 ,169 ,996
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 4491,356.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000.
b. Alpha = ,05.
Lampiran 11 Nilai WHC, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai WHC surimi dari daging
lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Lampira 11a Nilai WHC (%) surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama
penyimpanan dingin

A B A1B2

0 31,30 33,70 35,55


31,00 33,50 35,50
3 29,05 30,50 30,70
29,10 30,00 30,60
6 24,35 29,25 30,40
25,50 29,50 30,50
9 20,15 24,00 28,05
20,90 24,00 28,10

Lampiran 11b Analisis ragam nilai WHC surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2
selama penyimpanan dingin
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: WHC


Type I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 378,331a 11 34,394 350,509 ,000
Intercept 20137,627 1 20137,627 205224,2 ,000
FAKT1 91,871 2 45,936 468,135 ,000
FAKT2 264,972 3 88,324 900,119 ,000
INTER 21,487 6 3,581 36,496 ,000
Error 1,177 12 9,812E-02
Total 20517,135 24
Corrected Total 379,508 23
a. R Squared = ,997 (Adjusted R Squared = ,994)
Lampiran 11c Uji lanjut Tukey nilai WHC surimi terhadap faktor komposisi daging lumat
WHC
a,b
Tukey HSD
Subset
Komposisi N 1 2 3
A 8 26,4188
B 8 29,3063
A1B2 8 31,1750
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 9,812E-02.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,000.
b. Alpha = ,05.

Lampiran 11d Uji lanjut Tukey nilai WHC surimi terhadap faktor penyimpanan dingin daging
lumat
WHC
a,b
Tukey HSD
Subset
Penyimpanan N 1 2 3 4
9 hari 6 24,2000
6 hari 6 28,2500
3 hari 6 29,9917
0 hari 6 33,4250
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 9,812E-02.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000.
b. Alpha = ,05.
Lampiran 11e Uji lanjut Tukey nilai WHC surimi terhadap interaksi kedua faktor tersebut
WHC
a ,b
Tukey H S D
komposisi v s Subset
penyimpana N 1 2 3 4 5 6 7 8
A9 2 20,5250
B9 2 24,0000
A6 2 24,9250
A1B29 2 28,0750
A3 2 29,0750 29,0750
B6 2 29,3750 29,3750
B3 2 30,2500 30,2500 30,2500
A1B26 2 30,4500 30,4500
A1B23 2 30,6500
A0 2 31,1500
B0 2 33,6000
A1B20 2 35,5250
Sig. 1,000 ,232 ,165 ,071 ,115 ,259 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 9,812E-02.
a.Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
b.Alpha = ,05.
Lampiran 12 Nilai derajat putih, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai derajat putih surimi
dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Lampiran 12a Nilai derajat putih (%) surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2
selama penyimpanan dingin

A B A1B2
0 41,20 32,40 36,4
41,00 32,60 36,5
3 40,9 30,9 36,00
41,1 31,4 36,20
6 38,50 30,50 34,10
38,20 30,60 34,00
9 38,3 29,5 32,8
38,3 29,2 32,7

Lampiran 12b Analisis ragam nilai derajat putih surimi dari daging lumat komposisi A, B,
dan A1B2 selama penyimpanan dingin
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: whiteness


Type I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 354,341a 11 32,213 1227,156 ,000
Intercept 29631,454 1 29631,454 1128817 ,000
FAKT1 310,840 2 155,420 5920,762 ,000
FAKT2 40,498 3 13,499 514,259 ,000
INTER 3,003 6 ,501 19,069 ,000
Error ,315 12 2,625E-02
Total 29986,110 24
Corrected Total 354,656 23
a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,998)
Lampiran 12c Uji lanjut Tukey nilai derajat putih surimi terhadap faktor komposisi daging
lumat
whiteness
a,b
Tukey HSD
Subset
Komposisi N 1 2 3
B 8 30,8875
A1B2 8 34,8375
A 8 39,6875
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 2,625E-02.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,000.
b. Alpha = ,05.

Lampiran 12d Uji lanjut Tukey nilai derajat putih surimi terhadap faktor penyimpanan dingin
daging lumat
whiteness
a,b
Tukey HSD
Subset
Penyimpanan N 1 2 3 4
9 hari 6 33,4667
6 hari 6 34,3167
3 hari 6 36,0833
0 hari 6 36,6833
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 2,625E-02.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000.
b. Alpha = ,05.
Lampiran 12e Uji lanjut Tukey nilai derajat putih surimi terhadap interaksi kedua faktor
tersebut
whiteness

Tukey
a ,b
HS D
komposisi vs Subset
penyimpanan N 1 2 3 4 5 6 7
B9 2 29,3500
B6 2 30,5500
B3 2 31,1500
B0 2 32,5000
A1B29 2 32,7500
A1B26 2 34,0500
A1B23 2 36,1000
A1B20 2 36,4500
A9 2 38,3000
A6 2 38,3500
A3 2 41,0000
A0 2 41,1000
Sig. 1,000 ,076 ,901 1,000 ,598 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 2,625E-02.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
b. Alpha = ,05.
Lampiran 13 Uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Tukey terhadap uji lipat surimi dari daging
lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Lampiran 13a Uji Kruskal-Wallis terhadap uji lipat surimi dari daging lumat komposisi A, B,
dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Kruskal-Wallis Test
Ranks Test Statisticsa

KOMPOSISI VS N Mean Rank uji gigit


uji gigit A0 6 56,83 Chi-Square 61,094
A3 6 54,00 df 11
A6 6 40,25 Asymp. Sig. ,000
A9 6 20,50 a. Kruskal Wallis Test
B0 6 57,67
B3 6 33,75
B6 6 22,92
B9 6 6,83
A1B20 6 66,67
A1B23 6 43,00
A1B26 6 27,33
A1B29 6 8,25
Total 72

Lampira 13b Uji lanjut Tukey terhadap uji lipat surimi


uji lipat
a,b
Tukey HSD
komposisi vs Subset
penyimpanan N 1 2 3 4 5
B9 6 1,3333
B6 6 2,6667
B3 6 2,8333
A1B29 6 3,0000 3,0000
A9 6 3,3333 3,3333
A1B26 6 3,5000 3,5000 3,5000
A6 6 4,0000 4,0000 4,0000
A3 6 4,5000 4,5000
A0 6 4,6667
A1B23 6 4,8333
B0 6 5,0000
A1B20 6 5,0000
Sig. 1,000 ,209 ,056 ,056 ,056
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = ,267.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000.
b. Alpha = ,05.
ampiran 14 Uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Tukey terhadap uji gigit surimi dari daging
lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Lampiran 14a Uji Kruskal-Wallis terhadap uji gigit surimi dari daging lumat komposisi A, B,
dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Kruskal-Wallis Test
Ranks Test Statisticsa

KOMPOSISI VS N Mean Rank uji gigit


uji gigit A0 6 56,83 Chi-Square 61,094
A3 6 54,00 df 11
A6 6 40,25 Asymp. Sig. ,000
A9 6 20,50 a. Kruskal Wallis Test
B0 6 57,67
B3 6 33,75
B6 6 22,92
B9 6 6,83
A1B20 6 66,67
A1B23 6 43,00
A1B26 6 27,33
A1B29 6 8,25
Total 72

Lampiran 14b Uji lanjut Tukey terhadap uji gigit surimi


uji gigit
a,b
Tukey HSD
KOMPOSISI Subset
PENYIMPAN N 1 2 3 4 5 6 7 8
B9 6 3,3333
A1B29 6 3,5000 3,5000
A9 6 4,6667 4,6667 4,6667
B6 6 4,8333 4,8333 4,8333
A1B26 6 5,1667 5,1667 5,1667
B3 6 5,6667 5,6667 5,6667
A6 6 6,1667 6,1667 6,1667
A1B23 6 6,3333 6,3333 6,3333
A3 6 7,3333 7,3333 7,3333
B0 6 7,6667 7,6667
A0 6 7,6667 7,6667
A1B20 6 8,6667
Sig. ,099 ,099 ,456 ,099 ,233 ,233 ,099 ,099
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type I Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = ,544.
a.Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000.
b.Alpha = ,05.
Lampiran 15 Contoh perhitungan

15a. Kadar urea


Misal: Kadar urea cucut tanpa Pencucian (penentuan frekuensi pencucian)
Absorbent (abs) Standar

Konsetrasi (ppm) Abs Standar


50 0.1246
0.1137
100 0.2342
0.2414
200 0.4764
0.4781
400 0.8741
0.8682

Abs Standar

1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
y = 0.0021x + 0.0247
0.2
0.1 R2 = 0.9974
0
0 100 200 300 400 500

Gambar Kurva standar


-6
% Urea = Abs Standar x B x V sampel x 10 x 100
Abs Sampel V pengenceran
-6
= 0.1090 x 250 x 500 x 100 x 10 = 1,98 %
0.1189 5

Keterangan: B= Abs sampel yang berada pada range Abd standar (ppm)
15b. Kadar TVBN dan TMA

Misal kadar TVBN cucut (A) penyimpanan dingin hari ke-0


TVBN (mg N/100g) = Vspl Vblk x N HCl x 14.007 x FP x 100
g sampel
Keterangan = Vspl = volume titrasi sampel
Vblk = volume titrasi blanko
FP = faktor pengenceran

Diketahui:
a a
Vblk = 0 Vspl = 0.13 NHCl= 0.0195N g sampel = 25.3696
b b
0 0.13

TVBN = (0.13-0) x 0.0195 x 14.007 x (75/1) x 100 = 10.51 mg N/100g


25.3696

15c. Kadar protein


% Protein = V.spl V.Blk x N HCl x 14.007 x 6.25 x 100
mg sampel

Misal kadar protein pada ikan cucut pisang

Diketahui :
V.Blk = 0 V. Sampel = 22.60 N HCl = 0.2015 g sampel = 2.0221

% Protein = 22.60 0 x 0.2015 x 14.007 x 6.25 x 100


2022.1
= 19.72 %

15d. Kadar lemak


% Lemak = (B - A) x 100
C
Keterangan: A = berat labu awal (g)
B = berat labu akhir (g)
C = berat sampel (g)

Misal kadar lemak pada ikan cucut pisang


Diketahui:
A = 115.7441 B = 115.7791 C = 2.0220
108.7794 108.8079 2.0136

% Lemak = 112.2935 - 112.2617 x 100 = 1.57 %


2.0178
15e. Kadar protein larut garam (PLG)
Misal kadar PLG cucut (A) penyimpanan dingin hari ke-0
% PLG = V.Spl V.Blk x N HCl x 14.007 x 6.25 x FP x 100
mg sampel
Keterangan = Vspl = volume titrasi sampel
Vblk = volume titrasi blanko
FP = faktor pengenceran

Diketahui:
a a
V.Blk = 0.1 V.Sampel = 13.17 N HCl = 0.2001 g.sampel = 15.0125
b b
0.1 13.27

% PLG = (13.22 0.1) x 0,2001 x 14.007 x 6.25 x (150/25) x 100


15012.5
= 9.18 %
Lampiran 16. Foto-foto kegiatan penelitian

Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Jakarta

Proses pemfiletan ikan pari kelapa Proses pencucian daging lumat

Proses pengurangan kadar air

Texture Analyzer TA-XT2i

Surimi

Anda mungkin juga menyukai