Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH PERBEDAAN BAHAN BAKU SURIMI IKAN


TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA DAN
SENSORIS CHIKUWA

Rheistha Warayu Adha Prayitno


05061181722009

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Surimi merupakan daging lumat ikan atau konsentrat protein miofibril
ikan yang diproduksi melalui tahapan proses meliputi pemisahan daging dari kulit
dan tulang, pelumatan daging ikan, pencucian, penambahan garam, penambahan
cryoprotectant dan dilanjutkan dengan pembekuan (Cando et al, 2015). Menurut
Park (2014), pada umumnya bahan baku surimi dipilih dari jenis ikan laut yang
memiliki daging berwarna putih yang dinilai mampu menghasilkan kualitas gel
dan warna yang baik. Spesies ikan yang sering digunakan sebagai bahan baku
surimi di Indonesia biasanya berasal dari ikan daging putih dan ekonomis rendah
seperti ikan kurisi, kuniran, swangi, beloso dan gulamah (Wawasto et al, 2018).
Industri surimi saat ini sedang menghadapi permasalahan terkait
ketersedian bahan baku yang semakin sedikit. Hal tersebut disebabkan oleh
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2 Tahun 2015 yang melarang
penggunaan alat tangkap cantrang di karenakandikarenakan dapat merusak
ekosistem laut. Berlakunya kebijakan tersebut berdampak pada sulitnya industri
surimi untuk mendapatkan pasokan bahan baku ikan yang sebagian besar
diperoleh dari hasil alat tangkap cantrang. Dengan hal itu, pemanfaatan ikan lain
sebagai alternatif pengganti bahan baku surimi perlu dikembangkan, terutama dari
ikan hasil budidaya seperti ikan patin, nila dan lele yang telah dilaporkan dapat
dijadikan bahan baku alternatif pembuatan surimi (Hassan et al, 2017; Sahlan et
al, 2018; Dasir et al, 2018).
Surimi memiliki potensi untuk pembuatan berbagai produk makanan
berbasis surimi seperti chikuwa. Menteri KKP Sharif C. Sutarjo (2013),
menyatakan bahwa saat ini tingkat konsumsi ikan di Indonesia sebesar 31 kg/
kapita/tahun jauh dibanding Jepang sebesar 100 kg/kapita/tahun. Lain halnya
dalam kawasan Asia Tenggara juga di bawah Malaysia dengan jumlah 45
kg/kapita/tahun dan Thailand 35 kg/kapita/tahun. Chikuwa termasuk ke dalam
salah satu penganekaragaman produk perikanan yang dapat mengatasi
permasalahan dalam kurangnya konsumsi ikan di Indonesia yang disukai
masyarakat dengan harga yang terjangkau. Chikuwa dibuat menggunakan daging
lumat surimi dan ditambahkan dengan beberapa bumbu seperti gula, garam dan
tepung tapioka, setelah itu dicetak menggunakan tongkat bambu atau pipa, dan
selanjutnya di panggang (Irvan, M. 2019).
Chikuwa termasuk ke dalam fish jelly product, dimana tekstur merupakan
parameter paling penting yang dapat menentukan kualitas chikuwa. Mutu chikuwa
di pengaruhi oleh bahan baku ikan yang digunakan serta proses pengolahannya
agar dapat memenuhi kriteria penerimaan konsumen dengan chikuwa yang
memiliki tekstur elastis dan empuk (aAshi), kenampakan bagus (utuh dan bulat
panjang seperti cincin), warna menarik (kuning keemasan), rasa khas ikan dan
mempunyai kekuatan gel yang tinggi. Menurut Tanikawa (1985), pembentukan
gel sangat dipengaruhi oleh kualitas protein. Kualitas protein yang tinggi akan
mengalami pembentukan gel yang baik.
Kemampuan membentuk gel dipengaruhi oleh kandungan aktomiosin
yang terdapat dalam protein miofibril ikan. Suzuki (1981) dalam Latifa et al
(2014), menyatakan bahwa kandungan protein miofibril pada daging ikan berkisar
antara 66-77% dari total protein. Aktomiosin akan membentuk gel ketika proses
pemanasan sehingga akan didapatkan tekstur yang semakin kenyal pada surimi
yang dihasilkan (Pradana, 2008). Tingginya kandungan aktin dan miosin maka
semakin baik kekuatan gelnya. Tiap jenis ikan mempunyai komposisi kimia yang
berbeda, sehingga kekuatan gelnya akan berbeda pula. Masing-masing ikan
mempunyai kecepatan yang berbeda-beda dalam hal membentuk gel tergantung
dari potensi aktin dan miosin yang terkandung dalam daging ikan (Farlina, 2006).
Ikan patin memilki kadungan protein 16,58 % dalam 100 gram daging.
Menurut Samsudin dalam Abdillah (2006), ikan nila mengandung protein 13,40
%. Sedangkan, protein ikan lele sebesar 17,7 % (Astawan, 2008). Ikan patin, ikan
nila dan ikan lele termasuk golongan ikan air tawar yang berprotein tinggi dan
ekonomis rendah. Kandungan protein yang tinggi pada ketiga ikan tersebut akan
mampu menghasilkan gel surimi yang baik sehingga dapat memperoleh chikuwa
dengan kualitas yang baik dengan harga yang murah. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian mengenai pengaruh perbedaan bahan baku surimi ikan
terhadap karakteristik fisik, kimia dan sensoris chikuwa.
1.2. Kerangka Pemikiran
Surimi adalah protein miofibril ikan yang telah distabilisasikan dan
diproduksi melalui tahapan-tahapan proses secara kontinu yang meliputi
penghilangan kepala dan tulang, pelumatan daging, pencucian, penghilangan air,
dan pembekuan dengan cryoprotectant (Santana et al, 2012). Oleh karena itu,
surimi mempunyai kemampuan fungsional terutama kemampuannya dalam
membentuk gel dan mengikat air. Surimi atau pasta ikan merupakan produk antara
yang dapat diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan seperti kamaboko,
chikuwa yang spesifikasinya menuntut kelenturan (spingines).
Daging ikan patin dan ikan gabus dapat dijadikan sebagai alternatif bahan
baku pembuatan surimi. Perlakuan pencampuran daging lumat ikan patin 50 %
dengan daging lumat ikan gabus 50 % merupakan perlakuan terbaik yang
menghasilkan surimi yang baik dengan nilai rata-rata uji lipat 4,2 (tidak retak jika
dilipat setengah lingkaran), uji gigit 7,2 (agak kuat kekenyalannya), WHC (water
holding capacity) 37,7 %, pH 6,2, kadar protein 17,7 %, kadar lemak 0,9 % dan
kadar abu 2,1 % (Saputra, B. et al. 2016).
Menurut Flertarico, H.B. et al. (2019) surimi ikan patin dapat menjadi
bahan tambahan dalam pembuatan rengginang dengan perlakuan terbaik pada R1
(penambahan 50 % surimi ikan patin dan 50 % singkong parut). Hasil uji fisik
yang didapat pada perlakuan ini yaitu tekstur 1288,57 gF, daya kembang 25,00 %,
warna (lightness 36,68 %, chroma 23,93 %, hue 39,33o. Sedangkan hasil uji
organoleptik pada perlakuan R1 yaitu warna 3,68, aroma 3,72, tekstur 3,32 dan
rasa 3,48.
Perlakuan A2 (formulasi pempek dengan rasio surimi ikan nila dan tepung
tapioka 2:2) merupakan perlakuan terbaik berdasarkan parameter kimia, fisik dan
sensoris dengan kadar air 56,38 %, kadar abu 1,68 %, kadar karbohidrat by
difference 39,75 %, derajat putih 72,46 %, kekuatan gel 501,53 %, penampakan
4,8, warna 4,76, tekstur 4,84, aroma 3,68 dan rasa 4,24 (As, Yoedy., et al. 2015).
Ikan nila merah menjadi kamaboko yang paling disukai panelis
dibandingkan dengan kamaboko ikan bandeng dan ikan kakap merah dengan nilai
median kenampakan 9, aroma 7, tekstur 8, ras 9, uji lipat dengan nilai 5 (sangat
kenyal), kadar air 75,19 % dan kadar protein 12,76% (Sahlan, S. et al. 2018).
Menurut Mardani (2012), ikan nila sangat cocok untuk pembuatan surimi
karena dagingnya yang tebal dan kandungan daging putihnya yang tinggi. Daging
putih yang terkandung pada ikan nila memiliki kelebihan berupa rata-rata
kandungan protein yang tinggi sebesar 26 mg dan juga memiliki kandungan
miosin 50-58% dan aktin 15-20%, sedangkan pada ikan berdaging merah
kandungan aktin 10% dan miosin 20-25% dari total protein yang terkandung.
Menurut (Mutatauwi’ah, 2019), Kadar protein tertinggi terdapat pada
perlakuan L6 (surimi ikan lele sangkuriang 1,50 bagian dan tepung tapioka 1,00
bagian) dengan nilai rata-rata 6,27% dan kadar protein terendah pada perlakuan
L1 (surimi ikan lele sangkuriang 0,25 bagian dan tepung tapioka 1,00 bagian)
dengan nilai rata-rata 3,69%. Tekstur kekenyalan pempek tertinggi terdapat pada
perlakuan L1 (surimi ikan lele sangkuriang 0,25 bagian dan tepung tapioka 1,00
bagian) dengan nilai ratarata 1038,7gf dan tekstur kekenyalan pempek terendah
pada perlakuan L6 (surimi ikan lele sangkuriang 1,50 bagian dan tepung tapioka
1,00 bagian) dengan nilai rata-rata 275,7 gF. Nilai tingkat kesukaan tertinggi
terhadap rasa dan aroma pempek berbahan baku surimi ikan lele sangkuriang
terdapat pada perlakuan L6 dengan rasa gurih dan aroma khas pempek yang
dominan dengan nilai rata-rata 3,90 (kriteria agak disukai panelis) dan 4,30
(kriteria disukai panelis). Nilai tingkat kesukaan tertinggi terhadap warna pempek
berbahan baku surimi ikan lele sangkuriang terdapat pada perlakuan L1 dengan
warna pempek putih bersih khas pempek ikan dengan nilai rata-rata 4,30 (kriteria
disukai panelis).
Menurut Rogger et al. (1985) dalam Farlina (2006), faktor-faktor lain yang
berpengaruh terhadap elastisitas pada waktu pengolahan yaitu suhu, pH, kadar air,
serta jenis dan jumlah zat penambah (garam, tepung atau pati, telur, gula dan
lainnya). Walaupun zat penambah berpengaruh terhadap elastisitas produk olahan
namun pangaruh ini sangat tergantung pada kadar masing-masing zat penambah
yang digunakan, apabila kadar sangat tinggi justru dapat menurunkan cita rasa
pada produk olahan.
Bedasarkan penjabaran diatas peneliti bermaksud untuk melakukan
penelitian tentang pengaruh perbedaan bahan baku surimi ikan dalam 3 perlakuan
yang berbeda (ikan gabus, ikan nila dan ikan lele) dengan menggunakan metode
uji karakteristik fisik (warna, uji gigit, uji lipat, dan kekuatan gel), kimia (kadar
protein, kadar lemak, kadar air dan kadar abu) dan sensoris (hedonik) chikuwa.
Penelitian ini belum pernah dilakukan sehingga penganekaragaman olahan produk
perikanan ini penting untuk dilakukan agar dapat mengetahui dan memberikan
informasi proses serta komposisi gizi antara perbedaan beberapa bahan baku ikan
yang digunakan.

1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan bahan baku
surimi ikan patin, ikan nila dan ikan lele terhadap karakteristik fisik, kimia dan
sensoris chikuwa yang dihasilkan dan meningkatkan keanekaragaman produk
olahan perikanan yang berprotein tinggi dengan kualitas fisik yang dapat
direkomendasikan.

1.4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi kepada
masyarakat bahwa ikan air tawar dapat di olah menjadi pangan praktis berupa
chikuwa serta memperkaya hasil olahan ikan dengan cara diversifikasi bahan
pangan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Patin (Pangasius sp)


Klasifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) dalam Hernowo (2001)
adalah sebagai berikut :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Teleostei
ordo : Ostariophysi
famili : Pangasidae
genus : Pangasius
spesies : Pangasius sp

Ikan patin adalah salah satu komoditas ikan air tawar dengan ekonomis
penting. Tempat pemeliharaan ikan patin tidak memerlukan air yang mengalir.
Ikan ini memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan air tawar lainnya, di
antaranya sebagai ikan yang rakus terhadap makanan, dalam usia 6 bulan saja ikan
patin sudah bisa mencapai panjang 35-40 cm (Khairuman dan Suhenda, 2002).
Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan mulut terletak
di ujung kepala. Ikan pain memiliki badan memanjang berwarna putih seperti
perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat me
ncapai 120 cm. Sirip ekornya berbentuk cagak dan bentuknya simetris. Sirip
duburnya yang panjang terdiri dari 30-33 jari-jari lunak. Sirip perutnya memiliki
8-9 jari-jari lunak, sirip punggung (dorsal) mempunyai jari-jari keras yang
berubah menjadi patil bergerigi disebelah belakangnya. Jari-jari lunak sirip
punggung berjumlah 7-8 buah (Rizky, D. 2014)
Ikan patin merupakan jenis ikan konsumsi air tawar asli Indonesia yang
tersebar di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Daging ikan patin memiliki
kandungan kalori dan protein yang cukup tinggi, rasa dagingnya khas, enak, lezat
dan gurih sehingga digemari oleh masyarakat. Ikan patin juga dinilai lebih aman
karena kadar kolestrolnya rendah dibandingkan hewan termak (Rizky, D. 2014)
2.1.1. Komposisi Kimia Patin (Pangasius sp)
Komposisi kimia ikan patin tiap 100 gram ikan patin segar dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 2.1. Kandungan zat gizi ikan patin segar tiap 100 gram
Kandungan Zat Gizi Satuan Jumlah
Air % 59,3
Abu % 5
Protein % 65,6
Lemak % 5,8
Sumber : Rahardhianto, A. et al (2012)

2.2. Ikan Nila (Oreocrhomis niloticus)


Klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus, L.) menurut Prihatman
(2009), adalah sebagai berikut :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Osteichthyes
ordo : Percomorphi
famili : Cichlidae
genus : Oreochromis
spesies : Oreochromis niloticus.

Ikan Nila memiliki bentuk tubuh panjang dan ramping, dengan sisik
berukuran besar. Matanya besar, menonjol, dan bagian tepinya berwarna putih.
Gurat sisi (linea literalis) terputus dibagian tengah badan kemudian berlanjut,
tetapi letaknya lebih ke bawah dari pada letak garis yang memanjang di atas sirip
dada. Sirip punggung, sirip perut, dan sirip dubur mempunyai jari-jari keras dan
tajam (duri). Sirip punggungnya berwarna hitam dan sirip dadanya juga tampak
hitam. Bagian pinggir sirip punggung berwarna abu-abu atau hitam (Amri, 2002).
Ikan Nila memiliki lima sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip dada
(pectoral fin), sirip perut (venteral fin), sirip anus (anal fin), dan sirip ekor
(caudal fin). Sirip punggung memanjang, dari bagian atas tutup insang hingga
bagian atas sirip ekor. Ada sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran
kecil. Sirip anus hanya satu buah dan berbentuk agak panjang. Sementara itu, sirip
ekornya berbentuk berbentuk bulat dan hanya berjumlah satu buah (Amri, 2002).
2.2.1. Kandungan Gizi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Kandungan zat gizi tiap 100 gram ikan nila segar dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 2.2. Kandungan zat gizi ikan nila segar tiap 100 gram
Kandungan Zat Gizi Satuan Jumlah
Protein G 16,79
Lemak G 0,18
Karbohidrat G 0,18
Kalsium Mg 3,027
Fosfor Mg 610,00
Fe Mg 0,835
Sumber : Ramlah et al (2016)

2.3. Ikan Lele (Clarias sp.)


Ikan lele merupakan hewan nokturnal dimana ikan ini aktif pada malam
hari dalam mencari mangsa. Ikan-ikan yang termasuk ke dalam genus Clarias
dicirikan dengan tubuhnya yang tidak memiliki sisik, berbentuk memanjang serta
licin. Klasifikasi ikan lele menurut Mahyudin (2008) adalah sebagai berikut:
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Pisces
ordo : Ostariophysi
famili : Clariidae
genus : Clarias
spesies : Clarias sp.

Ikan lele mudah untuk dibudidayakan karena ikan lele relatif tahan
terhadap bahan-bahan organik oleh karena itu ikan lele dapat bertahan hidup
dicomberan yang airnya kotor. Selain itu ikan lele memiliki insang tambahan
(Arborescent) yang berfungsi untuk mengambil oksigen pernapasannya dari udara
diluar air sehingga mampu bertahan hidup di air yang mengandung sedikit
oksigen (Suyanto, 2001).
Ikan Lele mempunyai sirip punggung (dorsal fin) serta sirip anus (anal
fin) berukuran panjang, yang hampir menyatu dengan ekor atau sirip ekor. Ikan
lele memiliki kepala dengan bagian seperti tulang mengeras di bagian atasnya.
Mata ikan lele berukuran kecil dengan mulut di ujung moncong berukuran cukup
lebar. Dari daerah sekitar mulut menyembul empat pasang barbel (sungut peraba)
yang berfungsi sebagai sensor untuk mengenali lingkungan dan mangsa. Pada
kedua sirip dada lele terdapat sepasang duri (patil), berupa tulang berbentuk duri
yang tajam. Pada beberapa spesies ikan lele, duri-duri patil ini mengandung racun
ringan (Witjaksono, 2009).
2.3.1. Kandungan Gizi Ikan Lele (Clarias sp.)
Kandungan zat gizi tiap 100 gram ikan lele segar dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 2.3. Kandungan zat gizi ikan lele segar tiap 100 gram
Kandungan Zat Gizi Satuan Jumlah
Air G 76
Protein G 17,7
Lemak G 4,8
Mineral Mg 1,2
Sumber : Astawan, 2008

2.4. Surimi
Surimi merupakan produk olahan perikanan setengah jadi (intermediate
product) berupa hancuran daging ikan yang mengalami proses pencucian dengan
larutan garam dingin, pengepresan, penambahan bahan tambahan (food additive),
pengepakan dan pembekuan. Surimi merupakan konsentrat dari protein
miofibrilar yang mempunyai kemampuan pembentukan gel, pengikatan air,
pengikat lemak dan sifat-sifat fungsional yang baik (Djazuli et al, 2009).
Semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Idealnya ikan yang akan
dijadikan surimi yaitu ikan berdaging putih, tidak berbau lumpur atau bau yang
menyengat dan yang terpenting mempunyai kemampuan membentuk gel yang
baik (Anggawati, 2007). Persyaratan mutu dan keamanan surimi menurut
standardisasi nasional tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 1.4.
Tabel 1.4. Persyaratan mutu dan keamanan surimi
Parameter Uji Satuan Persyaratan
a. Sensoris Min. 7 (skor 1-9)
b. Kimia
- Kadar air % Maks. 80
- Kadar protein % Min. 12
c. Cemaran mikroba
- ALT Koloni/g Maks. 5,0 x 104
- Escherichia coli APM/g <3
- Salmonella* Koloni/g Negatif/25 g
- Vibrio cholera* Koloni/g Negatif/25 g
d. Cemaran logam*
- Arsen (As) Mg/kg Maks. 1,0
- Kadmium (Cd) Mg/kg Maks. 0,1
Mg/kg Maks. 0,5**
- Merkuri (Hg) Mg/kg Maks. 0,5
Mg/kg Maks. 1,0**
- Timah (Sn) Mg/kg Maks. 40,0
- Timbal (Pb) Mg/kg Maks. 0,3
Mg/kg Maks. 0,4**
e. Cemaran Fisik* 0
- Filth
f. Fisika*
o
- Suhu pusat C Maks. -18
- Kekuatan gel (Gel g/cm2 Min. 600
Strenght)
CATATAN * Bila diperlukan
** untuk ikan predator
*** untuk ikan scombridae (scomroid), clupeidae, pomatomidae,
coryphaenedae
**** untuk ikan hasil budidaya
***** untuk ikan karang
Sumber : Badan Standardisasi Nasional, 2013

Surimi dengan mutu yang paling baik adalah surimi dengan derajat putih
yang paling tinggi dan kekuatan gelnya paling baik. Kriteria mutu yang digunakan
sebagai acuan pada penelitian ini adalah tingkatan kekuatan gel, derajat putih dan
uji gigit berdasarkan standar mutu surimi pada pengujian kamaboko. Standar
mutu ini ditetapkan oleh Surimi Workshop di Seattle, Jepang pada tahun 1984.
Standar tersebut membagi mutu surimi menjadi enam grade surimi (Wijayanti
2012 dalam Hamdani 2014)
Surimi memiliki potensi untuk pembuatan berbagai produk makanan
berbasis surimi (surimi based-product) seperti kamaboko, chikuwa, brownies,
bakso ikan, burger ikan dan lain-lain. Kamaboko merupakan salah satu produk
hasil diversifikasi di bidang perikanan yang hampir mirip dengan olahan yang
sudah ada di indonesia seperti bakso dan empek-empek. Pembuatan kamaboko
biasanya menggunakan ikan daging putih seperti ikan nila, ikan belut dan yang
lainnya. Pada pembuatan kamaboko dilakukan pencucian surimi ikan nila yang
memiliki perlakuan paling baik pada perlakuan D dengan perlakuan pencucian
NaCl 0,3% dan NaHCO3 0,5%, menghasilkan derajat putih sebesar 61,66 % dan
kekuatan gel sebesar 695,1 g.cm (Musa et al, 2017).
Chikuwa merupakan salah satu produk olahan turunan dari kamaboko.
Chikuwa biasanya dibuat dari daging lumat ikan kurisi atau ikan berdaging putih
lainnya. Karakteristik chikuwa sangat berpengaruh pada mutu chikuwa itu sendiri
seperti kekuatan gel. Penambahan gelatin dari kulit ikan kakap dapat
meningkatkan kekuatan gel chikuwa sebesar 954,54 g.cm dengan nilai kadar
protein 22,01%; nilai kadar air 51,05 %; nilai hedonik 8,13-7,81; nilai uji gigit
8,83; nilai uji lipat 4,73 dan nilai derajat putih 49,31 (Irvan et al, 2019).
Brownies merupakan produk bakeri yang termasuk dalam kategori cake.
Saat ini banyak dijumpai brownies dengan protein dan karbohidrat salah satunya
yaitu pengkayaan protein ikan pada brownies. Brownies dengan penambahan
surimi lele dumbo sebesar 10% merupakan yang terbaik dengan nilai rata-rata uji
kesukaan (hedonik) brownies dengan penambahan surimi lele dumbo terhadap
kenampakan 6,90; aroma 7,53; rasa 7,40 dan tekstur 7,53. Selain itu juga
perlakuan 10% memiliki nilai alternatif tertinggi diantara perlakuan lainnya yaitu
7,708 dengan kandungan protein cukup tinggi sebesar 11,53% dibandingkan
dengan tanpa penambahan surimi sebesar 8,38% (Fajrie et al, 2012).
Bakso merupakan jenis makanan yang sangat popular di Indonesia, yang
umumnya terbuat dari daging sapi. Namun, bakso yang dibuat dari daging ikan
sudah mulai banyak dijumpai di pasaran. Bakso ikan surimi biasanya memanfaat
kan by product dari ikan loin seperti ikan tuna dan ikan yang memiliki kekuatan
gel tinggi. Bakso ikan dari surimi ikan gabus dengan frekuensi pencucian satu kali
menghasilkan kadar air 64,30%; kadar protein 16,55%; kadar abu 1,74% dan
memiliki nilai organoleptik sebesar 8,05 dengan nilai kekuatan gel 2196,47 ± 6,01
g.cm serta kadar albumin 2,58 % ± 0,03 (Cahyanigrum et al, 2015).
Burger ikan atau Fish burger adalah produk yang diolah dari hancuran
daging ikan setelah melalui proses pencucian, pengepresan, penambahan bumbu-
bumbu dan tepung tapioka, pencetakan dan pembekuan. Burger ikan surimi
biasanya menggunakan bahan baku ikan dari limbah produksi ikan tuna loin.
Menurut Gaspersz dan Pattipeilohy (2011), kualitas burger ikan dari surimi
daging merah ikan tuna adalah: kadar air berkisar antara 64,56-65,63%; protein
16,52-18,12%, lemak 2,02-2,19%, abu 1,12-1,60% dan karbohidrat 13,53-
14,69%.

2.5. Chikuwa
Chikuwa adalah kamaboko yang dibuat pada cetakan yang berbentuk
tabung, pembentukanya biasanya otomatis oleh mesin dan dimasak dengan cara
dipanggang atau bisa juga menggunakan alat cetakan. Keistimewaan chikuwa
adalah produknya bewarna putih di sebelah dalam dan coklat keemasan di sebelah
luar atau permukaannya. Kata Chikuwa, ("cincin bambu") berasal dari bentuk
ketika diiris seperti yang dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Chikuwa
Sumber : Zuzenpl.com

Chikuwa adalah produk makanan seperti tabung yang berasal dari Jepang.
Produk ini terbuat dari bahan-bahan seperti ikan surimi, garam, gula, pati,
monosodium glutamat dan putih telur. Setelah pencampuran dengan baik,
chikuwa dililit dengan bambu atau logam tongkat dan dikukus atau panggang
hingga matang dan siap disajikan (Irvan, M. 2019).
Proses pembuatan kamaboko pada prinsipnya melalui tahap-tahap
penggilingan daging ikan, pencucian, pembuatan adonan, pencetakan dan
pemanasan (pemasakan). Daging ikan didinginkan sebagai sumber protein
aktomiosin (miofibril). Pembentukan gel kamaboko (ashi) terutama dipengaruhi
oleh besarnya kandungan protein aktomiosin pada daging ikan dan besarnya
protein yang dapat dilarutkan (Sunarto, 2004).
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan kamaboko dapat berasal
dari ikan laut dan ikan tawar. Ikan yang digunakan harus mengandung protein
yang cukup tinggi, mempunyai kemampuan pembetukan gel yang baik serta
berdaging putih dan segar yang diperlukan dalam pembuatan chikuwa. Bahan
tambahan juga diperlukan untuk meningkatkan cita rasa dan sebagainya. Menurut
Winarno (2004), bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan dengan
tujuan untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan
keasaman dan kebasaan serta menetapkan bentuk dan rupa.

2.6. Kekuatan Gel


Kekuatan gel merupakan atribut utama surimi. Guna meningkatkan
kekuatan gel selain dilakukan pencucian dengan air dingin dalam tahapan
pembuatan surimi, bisa digunakan bahan tambahan lain yang mempunyai
kemampuan membentuk gel. Mekanisme pmebentukan gel pada surimi terjadi
sejak awal proses pencucian (leaching) menggunakan air digin dengan suhu 5 oC
dan ditambahkan garam 0,3% dari volume air untuk menghilangkan molekul
protein terlarut yang akan meningkatkan kadar aktomosin (Moniharapon, 2014).
Pencucian lumatan daging ikan selama proses pembuatan surimi dapat
menghilangkan protein sarkoplasma dan meningkatkan konsentrasi protein
miofibril yang memegang peranan penting dalam kemampuan membentuk gel.
Keberadaan protein sarkoplasma meskipun dalam jumlah kecil dapat berpengaruh
terhadap kekuatan gel surimi yang dihasilkan. Garam yang telah dicampurkan ke
dalam adonan dapat menarik aktin dan miosin serta air dalam sel daing ikan
sehingga terbentuk sol. Sol tersebut mempunyai sifat lengket atau adhesif dan akn
membentuk gel elastis (ashi) jika dipanaskan (Moniharapon, 2014).
Penambahan bahan tambahan seperti pati, telur, keju dalam pembuatan
kamaboko dapat memperkuat gel (Suzuki, 1981). Selain itu, kekuatan gel
dipengaruhi pemanasan, kekuatan gel berbeda tergantung kondisi pemanasan,
kekuatan gel yang diperoleh dengan memanaskan pasta pada suhu tinggi dan
waktu yang singkat, lebih kuat dibandingkan dengan memansakan pasta pada
suhu yang rendah dengan waktu yang lama. Pada pemanasan pasta yang relatif
rendah, yaitu 40 oC dan 50 oC, nilai breaking strength dan breaking strain akan
semakin meningkat dengan semakin meningkatnya waktu pemanasan, akan tetapi
pada suhu pemanasan yang lebih tinggi, yaitu 70 oC dan 80 oC nilai-nilai breaking
strength dan breaking strain justru semakin menurun dengan semakin
meningkatnya waktu pemanasan (Tanikawa 1971 dalam Astawan et al 1995)
BAB 3
PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu


Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil
Perikanan, Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Perikanan, Laboratorium
Pengolahan Hasil Pertanian Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas
Pertanian serta menggunakan Laboratorium Kimia, Teknik Kimia Indralaya pada
bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020.

3.2. Alat dan Bahan


3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan chikuwa dari surimi ikan adalah
baskom, ember, kain blacu, mixer, food processor dongkrak press, plastik pp,
alumunium foil, thermometer, pisau, talenan dan cetakan bambu. Sedangkan alat
uji yang digunakan yaitu labu destruksi, saringan, oven (salvis lab swiss), pipet
tetes, tabung reaksi, furnace (thermolyn, UK), Color reader/Colorimeter model
JP7100F, Lefra texture analyzer model TA 39, timbangan analitik (pioneer) dan
peralatan uji organoleptik.
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan chikuwa dari surimi ikan adalah
daging lumat dari ikan patin, ikan nila dan ikan lele, garam (NaCl), gula, putih
telur, sukrosa, es, tepung meizena serta bahan-bahan kimia pada pengujian
proksimat berupa aquadest, K2SO4, HgO, H3BO3, alkohol, dan pelarut.

3.3. Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan 3 kali ulangan pada 3 perlakuan dengan
metode eksperimental laboratories dan analisis data RAK (Rancangan Acak
Kelompok), perlakuan yang dilakukan yaitu menggunakan jenis ikan yang
berbeda sebagai bahan baku chikuwa
P1 = Ikan Patin
P2 = Ikan Nila
P2 = Ikan Lele
3.4. Cara Kerja
3.4.1. Proses Pembuatan Surimi Ikan
Proses pembuatan surimi ikan yang telah di modifikasi (Peranginangin et
al, 1999 dalam Fajrie, N.M., 2012) yaitu sebagai berikut:
1. Siapkan daging lumat ikan yang digunakan dengan masing-masing sebanyak
2,5 kg
2. Lakukan proses pencucian sebanyak tiga kali dengan suhu air pencucian (10
o
C) atau dengan perbandingan es dan air 2 : 3 (b/v), dengan mengunakan
perbandingan air dan daging ikan 3:1 (v/b) untuk mencegah denaturasi
3. Kemudian dilakukan pengadukan secara periodik (10 menit) dengan cara
manual menggunakan tangan dan dibantu dengan alat pengaduk
4. Pada pencucian akhir ditambahkan garam dapur (NaCl) 0,3 % dari berat daging
ikan
5. Setelah itu, dilakukan pengepresan menggunakan kain blacu dan dongkrak
press untuk menghilangkan kadar air yang masih tersisa
7. Penambahan sukrosa 2 % pada daging ikan dari pencucian terakhir untuk
meminimalkan kerusakan yang mungkin terjadi terhadap protein surimi selama
proses pembekuan dan freezing-thawing
8. Surimi dimasukkan ke dalam plastik dan di simpan dalam freezer selama 3 hari

3.4.2. Proses Pembuatan Chikuwa Ikan


Proses pembuatan chikuwa ikan yang telah di modifikasi mengacu pada
penelitian Bhatkar et al, (2002) yaitu sebagai berikut :
1. Surimi ditimbang (70% b/b) dan dimasukkan kedalam baskom untuk dicampur
dengan bahan tambahan seperti garam (3% b/b) , gula (2% b/b) dan tepung
maizena (15% b/b), dan air es (2% b/b)
2. Surimi dicampur dan dilakukan pengadonan hingga merata
3. Setelah merata, putih telur (10% b/b) dimasukkan dan diaduk hingga homogen,
ditandai dengan tekstur yang lembut dan halus
4. Adonan chikuwa ditimbang 15 gram kemudian dicetak dengan cara dililittkan
dengan stik bambu, sebelumnya adonan diratkan menggunakan pastik agar
agar lapisannya lebih halus dan permukaannya lebih merata
5. Adonan yang telah digulung dengan bambu bagian pinggirnya di ratakan
hingga rapi
6. Chikuwa dikukus selama 15 menit dengan suhu 70 oC
7. Chikuwa dibakar dengan cara memutar bambu beberapa kali hingga bagian
tengah chikuwa berwarna kecoklatan (suhu 100 oC selama 2 menit).
8. Chikuwa yang telah matang dilepaskan dari bambu dan selanjutnya dilakukan
pengujian laboratorium dengan perlakuan C0(Chikuwa komersil), C1(Chikuwa
ikan patin), C2(Chikuwa ikan nila) dan C3(Chikuwa ikan lele).

3.5. Parameter Pengujian


Parameter yang diamati dalam penelitian ini yaitu analisis fisik, analisis
kimia dan analisis sensoris.

3.5.1. Analisis Fisik


3.5.1.1. Warna
Pengujian warna pada sampel diukur dengan menggunakan alat Color
reader/Colorimeter model JP7100F. Alat ini dapat membedakan warna chikuwa
berdasarkan nilai L*(lightness), a*(redness/greenness), b*(yellowness/blueness),
diukur dan dihitung berdasarkan rumus perhitungan derajat putih (whiteness) yang
digunakan. Prinsip pengujiannya yaitu membandingkan derajat putih sampel
berdasarkan jenis sampel yang diuji. Prosedur pengujian menggunakan
Chromameter menurut Mentari, M.J. (2016), sebagai berikut :
1. Alat dikalibrasi terlebih dahulu dengan plat standar berwarna putih. Plat
standar ini memiliki nilai L*=90,45; a*=1,32 dan b*= -4,15.
2. Kepala optik ditempelkan ke plat putih, sehingga bagian belakang dari plat
menghadap sumber sinar
3. Kemudian dipilih menu untuk menggunakan skala pengukuran L*, a* dan b*
dan menekan tombol START sehingga akan terbaca nilainya.
4. Alat ini akan mengukur sebanyak tiga kali dan nilai yang terbaca merupakan
rata-rata dari ketiga nilai tersebut. Alat yang telah dikalibrasi menunjukkan
nilai pembacaan yang sesuai dengan nilai pada plat standar.

3.5.1.2. Uji Gigit


Uji gigit memberikan tafsiran secara subyektif terhadap sifat kekenyalan
produk chikuwa. Uji gigit dilakukan dengan cara menggigit sampel antara gigi
seri atas dan gigi seri bawah. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2009), bahwa
pengujian dilakukan dengan cara menggigit pasta menggunakan gigi geraham dan
pengujian difokuskan pada tekstur dan elastisitas. Besarnya nilai uji gigit
berdasarkan scoresheet uji gigit.

3.5.1.3. Uji Lipat


Uji lipat yaitu metode yang sederhana untuk menilai tingkat kekuatan gel
pada chikuwa. Pengujian dilakukan dengan menggunakan scoresheet (SNI 2732.6
-2009). Uji lipat dilakukan untuk mengetahui secara subjektif kelenturan chikuwa.

3.5.1.4. Kekuatan Gel


Pengukuran Tingkat kekuatan gel chikuwa dilakukan dengan
menggunakan alat Lefra texture analyzer model TA 39. Sampel atau bahan
disiapkan, dan ukur ketebalannya dengan menggunakan mikrometer sekrup atau
penggaris. Kemudian sampel diletakkan pada meja objek texture analyzer. Pilih
probe yang sesuai dengan sampel. Untuk sampel yang padat pilih probe yang
silinder, untuk sampel liquid atau semi padat pilih probe yang plate. Pada
komputer dipilih program “Texture ProLite”. Probe pada alat diturunkan sampai
menyentuh sampel. Angka pada alat dinolkan terlebih dahulu. Alat instrumen
dinyalakan dan kurva profil tekstur diperoleh. Sifat teksture yang
didapatkan Hardness, cohesiveness, adhesiveness (Hellyer, J. 2004).

3.5.2. Analisis Kimia


3.5.2.1. Kadar Protein
Kandungan kadar protein ditentukan dengan menggunakan Metode
Kjeldahl yang mengacu pada AOAC (2005), prinsip analisa kadar protein dan
total nitrogen adalah proses pembebasan nitrogen dari protein dalam bahan
menggunakan asam sulfat dengan pemanasan. Prosedur analisa kadar protein dan
total nitrogen adalah sebagai berikut:
1. Sampel 2 g dimasukkan ke dalam tabung Kjedahl 30 mL, ditambahkan 1,9 g
K2SO4, 0,3 g HgO dan 2,5 ml H2S04.
2. Sampel didestruksi sampai cairan menjadi jernih kemudian didinginkan. Isi
labu dituangkan ke dalam alat destilasi, labu dibilas sebanyak 5-6 kali dengan
aquades (20 mL). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan
ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 mL.
3. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 mL
berisi larutan 5 mL H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 0,2
% dalam alkohol dan metil biru 0,2 % dalam alkohol dengan perbandingan 2:1)
yang ada dibawah kondensor.
4. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 mL, destilat dibiarkan
bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi
dengan HCL 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal yang
sama juga dilakukan terhadap blanko.
5. Kadar protein dihitung berdasarkan kadar N dalam bahan dengan dikalikan
faktor konversi.
6. Perhitungan protein kasar meggunakan rumus sebagai berikut :

(Va−Vb ) HCL x N HCL x 14,008


(% ) N = x 100
W x 1000
Protein (%) = % N x Faktor Konversi (6,25)

Keterangan :
N HCL= normalitas HCL (0,02 N)
Va = ml HCL untuk titrasi sampel
Vb = ml HCL untuk titrasi blanko
W = berat sampel (gram)
14,008 = berat dari atom nitrogen
3.5.2.2. Kadar Air
Pengujian kadar air mengacu pada SNI 2354.2:2015, Prinsipnya adalah
menguapkan molekul (H2O) bebas yang ada dalam sampel. Kemudian sampel
ditimbang sampai didapat bobot konstan yang diasumsikan semua air yang
terkandung dalam sampel sudah diuapkan. Selisih bobot sebelum dan sesudah
pengeringan merupakan banyaknya air yang diuapkan. Prosedur analisi kadar air
sebagai berikut:
1. Cawan yang akan digunakan, dioven terlebih dahulu selama 2 jam pada suhu
100-105 oC, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit untuk
menghilangkan uap air dan ditimbang (A).
2. Sampel kemudian dihaluskan hingga homogen lalu ditimbang sebanyak 2 g.
3. Sampel dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya dan
ditimbang kembali (B).
4. Kemudian dipanaskan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam, lalu
didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan dilakukan penimbangan.
5. Sampel dikeringkan kembali sampai berat konstan (C).
6. Perhitungan presentase kadar air menggunakan basis basah dengan formula
sebagai berikut :

B−C
Kadar air ( % )= x 100
B−A
Keterangan :
A = berat cawan kosong (g)
B = berat (sampel+cawan) sebelum dikeringkan (g)
C = berat (sampel+cawan) sesudah dikeringkan (g)

3.5.3.3. Kadar Abu


Menurut Swastawati et al (2012), metode utama untuk menentukan kadar
abu adalah oksidasi semua bahan organik dan menghitung abu terakhir dengan
metode gravimetri. Prinsip analisis kadar abu adalah proses pembakaran senyawa
organic sehingga didapatkan residu anorganik yang disebut abu. Posedur analisis
kadar abu menurut AOAC (2005) adalah sebagai berikut:
1. Cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu
100-105 °C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap
air dan ditimbang (A).
2. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dalam cawan yang sudah dikeringkan (B)
kemudian dibakar di atas nyala pembakar sampai tidak berasap dan dilanjutkan
dengan pengabuan di dalam tahur bersuhu 550-600 °C selama 2-3 jam.
3. Setelah sampel berwarna putih, cawan porselin ditutup dan diambil dengan
penjepit lalu dimasukkan ke dalam oven selama kurang lebih 15 menit.
4. Sampel yang didapat didinginkan di dalam desikator selama kurang lebih 30
menit kemudian timbang (C).
5. Kadar abu pada sampel ditentukan dari berat senyawa organik yang menguap.
6. Perhitungan persentase kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus di
bawah ini :

C− A
Kadar abu ( % )= x 100
B−A

Keterangan :
A= berat gelas porselen kosong (g)
B = berat gelas porselen dengan sampel (g)
C = berat sampel dan cwan sesudah diabukan dan didinginkan (g)

3.5.3. Analisis Sensoris


Analisis sensori merupakan pengujian indera manusia yang bertujuan
untuk menilai kualitas chikuwa secara fisik seperti aroma, rasa, tekstur dan warna.
Penilaian sensori akan mentukan kualitas chikuwa layak atau tidak untuk di
konsumsi. Uji sensori terhadap chikuwa dilakukan dengan uji mutu hedonik
dengan skala 1-9 terhadap kenampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur (SNI 2346
-2011).
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Fatimah. 2006. Penambahan Tepung Wortel dan Karagenan untuk


Meningkatkan Kadar Serat Pangan pada Nugget Ikan Nila
(Oreochromis sp). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Amri, K. dan Khairuman. 2002. Budidaya Ikan Nila Secara Intensif. PT.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Anggawati, A. M., dan Indriawati, N. 2007. Surimi. Kumpulan Hasil-Hasil
Penelitian Pascapanen Perikanan. Jakarta: Balai Besar dan Riset
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.
[AOAC]. 2005. Analysis of the Association of Official Analytical Chemist.
1995.Official Methods of Analysis of the Association of Official
Analytical Chemist16th Ed. Washington DC.
Astawan, M. 2008. Sehat dengan Hidangan Hewani. Depok : Penerbit Swadaya.
As, Yoedy., Rodiana Nopianti, Susi Lestari. 2015. Pemanfatan Surimi Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) dengan Penambahan Tepung Rumput Laut
(Kappaphycus alvarezii) sebagai Bahan Baku Pempek. Jurnla
Teknologi Hasil Perikanan. Universitas Sriwijaya. Vol.4, No.2.
Badan Standardisasi Nasional, 2015. SNI 2354.2:2015. Cara Uji Kimia-Bagian 2:
Pengujian Kadar air Produk Perikanan. Jakarta. Badan Standarisasi
Nasional.
________________________, 2013. SNI 01-2694-2013. Persyaratan Mutu dan
Keamanan Surimi. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional.
________________________, 2011. SNI 2346:2011. Petunjuk Pengujian
Organoleptik dan atau Sensori pada Produk Perikanan. Jakarta : Badan
Standardisasi Nasional.
________________________, 2009. SNI 2372.6: Cara Uji Fisika-Bagian 6:
Penentuan Pasta pada Produk Perikanan. Jakarta : Badan Standarisasi
Nasional.
Bhatkar, M..A, Joshi, V.R. and Balam,M..B. 2002. Effect Of Microwave
Pasteurisation On The Quality Of Fish Chikuwa. Journal of the Indian
Fisheries Association. 29 93-101.
Cahyaningrum, D., Tri Winarni A dan Romadhon. 2015. Pengaruh Frekuensi
Pencucian yang Berbeda Terhadap Kualitas Bakso Ikan Gabus
(Ophiocephalus striatus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil
Perikanan. Universitas Diponegoro, Semarang. Vol. 4, No. 2. Hlm 33-
39.
Cando,D., Herranz B, Borderias AJ, Moreno HM. 2015. Effect of Hight Pressure
on Reduced Sodium Chloride Surimi Gels. Food Hydrocolloids. 51:176-
187.
Dasir, D,. Suyatno Suyatno dan Rosmiah Rosmiah. 2018. Analisis Karakteristik
Fisik dan Kimia Surimi Ikan Lele dengan Perlakuan Jenis dan Lama
Penyimpanan Dingin. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal
2018, Palembang 18-19 Oktober 2018 “ Tantangan dan Solusi
Pengembangan PaJaLe dan Kelapa Sawit Generasi Kedua (Replanting)
di Lahan Suboptimal”. Universitas Muhammadiyah Palembang,
Palembang.
Djazuli N, Wahyuni M, Monintja D, Purbayanto A. 2009. Modifikasi teknologi
pengolahan surimi dalam pemanfaatan “by-catch” pukat udang di laut
Arafura. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 12(1): 17-30.
Fajrie, N.M, Nia, K. Kiki, H. 2012. Pengkayaan Protein dari Surimi Lele Dumbo
Pada Brownies Terhadap Tingkat Kesukaan. Jurnal Perikanan dan
Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Padjajaran. Vol. 3, No.3.
Farlina, H. 2006. Pengaruh Pemberian Tepung Tapioka dengan Konsentrasi yang
Berbeda Terhadap Kualitas Fisik, Kimia dan Organoleptik Bakso Ikan
Pari. Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian. Universitas
Palangkaraya.
Flertarico, H.B., Helmi Haris dan Fitra Mulia Jaya. 2019. Karakteristik
Rengginang dengan Penambahan Surimi Ikan Patin (Pangasius
hypopthalmus) pada Komposisi yang Berbeda. Jurnal Ilmu-Ilmu
Perikanan dan Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan. Universitas
PGRI, Palembang. Vol.14, No.1.
Gaspersz, F.F., dan F. Pattipeilohy. 2011. Pengembangan Teknologi Surimi dan
Diversifikasi Produk Olahan dengan Memanfaatkan Limbah Produksi
Tuna Loin. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Universitas Pattimura,
Ambon.
Hamdani, M. 2014. Karakterisasi Surimi Segar Ikan Lele Dumbo (Clarias
gariepinus) Untuk Pembuatan Kamaboko dan Aplikasinya. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hassan MA, Balange AK, Senapati SR, Xavier KA. 2017. Effect on Differnt
Washing Cycles on The Quality of Pangasius hypophthalmus Surimi.
Fishery Technologi. 54:51-59.
Hellyer, J.2004. Quality Testing with Instrumental Texture Analysis in Food
Manufactering. Online. http://www.Labplusinternational.com. (diakses
3 Agustus 2020).
Hernowo. 2001. Pembenihan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta.
Khairuman dan Suhenda, 2002. Budidaya Patin Super. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Irvan, M., Darmanto, Y.S., dan Lukita Purnamayati. 2019. Pengaruh
Penambahan Gelatin Dari Kulit Ikan Yang Berbeda Terhadap
Karakteristik Chikuwa. Journal. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Diponegoro. Vol. 3 no.1.
Latifa, B. N, Darmanto, Y.S, Putut, H.R. 2014. Pengaruh Penambahan
Karaginan, Egg White dan Isolat Protein Kedelai Terhadap Kualitas
Gel Surimi Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus). Jurnal Pengolahan
dan Bioteknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Diponegoro. Vol. 3 no. 4.
Mahyudin, K. 2008. Pengaruh Frekuensi Pemberian Daphnia Beku dan Padat
Penebaran terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih
Ikan Patin Siam. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran. Jatinangor.
Mardani, I. 2012. Pembuatan Surimi Daging Ikan Nila (Oreochromis niloticus).
Jurnal Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor 7 (1) : 13-15.
Mentari, M.J. 2016. Pengukuran Perubahan Warna Pada Pencoklatan Kukis
Selama Pemanggangan Dengan Kamera Digital. Skripsi. Ilmu dan
Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Musa, M.D.W, Rusky, I.P, Achmad, R. 2017. Karakteristik Mutu Surimi Segar
dan Kamaboko Ikan Nila Berdasarkan Perbedaan Proses Pencucian
Menggunakan NACL dan NAHCO3. Jurnal Perikanan dan Kelautan.
Universitas Padjadjaran. Vol. 7, No. 2.
Mutatauwi’ah, 2019. Berbagai Perbandingan Surimi Ikan Lele Sangkuriang
(Clarias gariepinus) pada Pembuatan Pempek. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Universitas Muhammadiyah Palembang, Palembang.
Moniharapon, A. 2014. Teknologi Surimi Dan Produk Olahannya Surimi.
Technology And It’s Processing Product. Majalah Biam. 10 (1): 16-30.
Park JW. 2014. Surimi and Surimi Seafood: Third Edition. New York (US): CRC
Press.
Peranginangin, R. Wibowo, S. Fawzya, Y.N. 1999. Teknologi Pengolahan
Surimi. Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi. Balai Penelitian
Perikanan Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.
Pradana, Y.A. 2008. Peranan Tepung Daun Jambu Biji (Psidium guajava)
Terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Nila (Oreochromis niloticus).
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Prihatman. 2009. Budidaya Ikan Nila Secara Intensif. Jakarta : Gramedia.
Rahardhianto, Arsetyo., Nurlita Abdulgani dan Ninis Trisyani. 2012. Pengaru
Konsentrasi Larutan Madu dalam NaCl Fisiologis terhadap Vibilitas
dan Motilitas Spermatozoa Ikan Patin (Pangasius pangasius) selama
Masa Penyimpanan. Jurnal Sains dan Seni ITS. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember. Vol. 1, No. 1.
Ramlah, Eddy Soekendarsi, Zohrah Hasyim dan Munis Said Hasan. 2016.
Perbandingan Kandungan Gizi Ikan Nila Oreochromis niloticus Asal
Danau Mawang Kabupaten Gowa dan Danau Universitas Hasanuddin
Kota Makasar. Jurnal Biologi Makasar (Bioma). Universitas
Hasanuddin, Makasar. Vol. 1, No. 1.
Rizki, Dita Pramudiyas. 2014. Pengaruh Pemberian Enzim pada Pakan
Komersial Terhadap Pertumbuhan dan Rasio Konversi Pakan (FCR)
pada Ikan Patin (Pangasius sp.). (Skripsi). Fakultas Perikanna dan
Kelautan. Universitas Airlangga, Surabaya.
Sahlan, Syarifudin., Evi Liviawaty, Iis Rostini dan Rusky Intan Pratama. 2018.
Perbedaan Jenis Ikan sebagai Bahan Baku terhadap Tingkat Kesukaan
Kamaboko. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Universitas Padjadjaran.
Vol.9, No,1.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Binacipta. Bandung.
Santana P, Huda N, Yang T A. 2012. Technology for Production of Surimi
Powder and Potential of Applications. Journal International Food
Research. 19(4): 1313-1323
Saputra, Bobby., Desmelati dan Sumarto. 2016. Perbandingan Pencampuran
Daging Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) dengan Ikan Gabus
(Channa striata) pada Karaktesitik Surimi. Jurnal Berkala Perikanan
Terubuk. Vol.4, No.1. Hlm 79-89.
Sunarto. 2004. Teknologi Tepat Guna Pengolahan Ikan. Lentera Ilmu. Surabaya.
Suyanto, 2001. Budidaya Ikan Lele. Jakarta : Penebar Swadaya.
Suzuki, T. 1981. Fish and Krill Processing Technology. Appllied Science
Publisher. Ltd. Tokyo. Japan.
Swastawati, Fronthea., Eko Susanto., Bambang Cahyono., Wahyu Aji Trilaksono.
2012. Sensory Evaluation and Chemical Characteristics of Smoked
Stingray (Dasyatis blekeery) Processed by Using Two Different Liquid
Smoke. International Journal of Bioscience, Biochemistry and
Bioinformatics Vol. 2 No. 3: 212 – 216.
Tanikawa, E.T. dan Motohiro, A. 1985. Marine Products in Japan. Kosersha Co.
Ltd. Tokyo.
Wawasto, Ari., Joko Santoso dan Mala Nuurilmala. 2018. Karakteristik Surimi
Basah dan Kering dari Ikan Baronang (Siganus sp.). Jurnal Pengolahan
Hasil Perikanan Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 21(2):367-
376.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia.
Witjaksono. 2009. Kinerja Produksi Pendederan Lele Sangkuriang Clarias sp.
Melalui Penerapan Teknologi Ketinggian Media Air 15 cm, 20 cm, 25
cm, dan 30 cm. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar penilaian uji lipat

Nama Panelis :
Tanggal Pengujian :
Jenis Produk :
Berikan tanda √ pada nilai yang disukai dari contoh yang disajikan
Spesifikasi Nilai Grade Kode

Tidak retak bila dilipat dua kali 5 AA


Tidak retak bila dilipat satu kali 4 A
Sedikit retak bila dilipat satu kali 3 B
Retak bila dilipat satu kali 2 C
Hancur bila ditekan cari 1 D
(SNI 2732.6:2009)

Lampiran 2. Lembar penilaian uji gigit


Nama Panelis :
Tanggal Pengujian :
Jenis Produk :
Berikan tanda √ pada nilai yang disukai dari contoh yang disajikan
Spesifikasi Tekstur dan Elastisitas Nilai Kode

Amat sangat kuat 10


Sangat kuat 9
Kuat 8
Agak kuat 7
Normal 6
Agak lunak 5
Lunak 4
Sangat lunak 3
Amat sangat lunak 2
Hancur 1
(SNI 2732.6:2009)

Lampiran 3. Lembar penilaian uji hedonik


Nama Panelis :
Tanggal Pengujian :
Jenis Produk :
Berikan tanda √ pada nilai yang disukai dari contoh yang disajikan
Spesifikasi Nilai Penampa Tekstur Warna Rasa Aroma
kan

Amat 9
sangat suka
Sangat suka 8
Suka 7
Agak suka 6
Netral 5
Agak tidak 4
suka
Tidak suka 3
Sangat 2
tidak suka
Amat 1
sangat tidak
suka
(SNI 2746:2011)

Anda mungkin juga menyukai