Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produk surimi merupakan salah satu bentuk diversifikasi hasil perairan
yang teknologinya memungkinkan diterapkan untuk pemanfaatan segala jenis
ikan terutama ikan berdaging putih. Surimi yang baik adalah surimi yang
memiliki warna putih, rasa yang baik (khas ikan), dan kemampuan gel yang kuat.
Surimi yang baik biasanya terbuat dari bahan baku yang segar. Bahan baku yang
digunakan untuk pembuatan surimi biasanya merupakan bahan baku yang kurang
memiliki nilai ekonomis tetapi tersedia dalam jumlah yang banyak (Lanier, 1992
dalam Moniharapon 2014).
Penelitian ini menggunakan ikan Nila sebagai bahan baku pembuatan
surimi karena menurut Mardani (2012) dalam Wiradimadja dkk, (2017), ikan nila
sangat cocok untuk pembuatan surimi karena dagingnya yang tebal dan
kandungan daging putihnya yang tinggi. Daging putih yang terkandung pada ikan
nila memiliki kelebihan berupa rata-rata kandungan protein yang tinggi sebesar 26
mg dan juga memiliki kandungan miosin 50–58% dan aktin 15-20%, sedangkan
pada ikan berdaging merah kandungan aktin 10% dan miosin 20-25% dari total
protein yang terkandung. Ikan dengan kandungan aktin dan miosin yang tinggi
akan membentuk aktomiosin yang lebih banyak. Aktomiosin akan membentuk gel
ketika proses pemanasan sehingga akan didapatkan tekstur yang semakin kenyal
pada surimi yang dihasilkan (Pradana 2008 dalam Wiradimadja dkk, 2017).
Pencucian merupakan tahap paling penting dalam pembuatan surimi agar
dapat dihasilkan surimi dengan kualitas yang baik. Proses pencucian bertujuan
untuk menghilangkan protein sarkoplasma, darah, lemak dan kandungan nitrogen
lainnya dari daging ikan sehingga dihasilkan surimi tanpa bau, rasa dan warna
serta memiliki kekutan gel yang baik (Mahawanich, 2008 dalam Moniharapon,
2014).
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh perbedaan
besar perbandingan air pencuci dan lumatan daging terhadap kekuatan gel surimi
ikan Nila.

1
1.2 Tujuan penelitian
Mengetahui pengaruh perbedaan besar perbandingan air pencuci dan
daging lumatan pada proses pencucian terhadap kekuatan gel surimi ikan Nila.

1.3 Manfaat penelitian


Dapat mengetahui besar perbandingan air pencuci dengan daging lumatan
yang baik untuk kekuatan gel surimi ikan Nila.

2
BAB II
IKAN NILA
2.1 Deskripsi Ikan Nila
Trewavas (1982) dalam (Hasani 2010) menyebutkan klasifikasi ikan nila
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Osteichtyes
Sub-kelas : Acantophterigii
Ordo : Percomorphi
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus

Keunggulan yang dimiliki oleh ikan nila, antara lain toleran terhadap
lingkungan (hidup di air tawar dan payau pada kisaran pH 5-11), pertumbuhannya
cepat, dapat dipijahkan setelah umur 5-6 bulan dan dapat dipijahkan kembali
setelah 1-1,5 bulan kemudian, serta tahan terhadap kekurangan oksigen dalam air
(Suyanto 1994 dalam Hasani 2010).
Nilai rendemen daging ikan nila (skinless) 21,49 ± 5,64% dan nilai
rendemen surimi ikan nila dengan frekuensi pencucian 1 kali 15,54% (Afriwanty
2008 dalam Hasani 2010). Struktur daging ikan nila mempunyai komponen
pigmen yang tinggi dan kandungan lemak non-struktural yang dapat
menyebabkan bau amis dan berlumpur dengan intensitas yang tinggi. Kehadiran
komponen-komponen tersebut bisa mempengaruhi rasa dan warna produk daging
ikan nila selama penyimpanan dan juga bisa mempengaruhi tingkat kesukaan
konsumen. Proses pereduksian protein sarkoplasma, lemak, sisa darah, dan

3
materi-materi lain dari daging yang larut dalam air melalui proses pencucian telah
dan masih terus diteliti (Park,Lin dan Yongsawatdigul 1997 dalam Hasani 2010).

Tabel.1 Kandungan kimia Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Analisis Jumlah

Kadar Protein 13,40


Kadar Air 83,99
Kadar Abu 0,78
Kadar Lemak 1,03
Sumber : (Samsudin 2003 dalam Hasani 2010 )

2.2 Protein Daging Ikan


Kandungan protein daging ikan berkisar 15-25%. Protein tersebut terbagi
menjadi 3 macam, yakni sarkoplasma, miofibril, dan stroma. Komposisi protein
sarkoplasma meliputi 30% dari total protein, protein miofibril 65-75%, dan
protein stroma 3-5% (Okada 1990 dalam Hasani 2010). Ketiga macam protein
tersebut memiliki karakteristik dan sifat yang berbeda satu sama lain.

2.2.1 Sarkoplasma
Protein sarkoplasma larut terhadap air dan secara normal ditemukan di
plasma sel dan berperan sebagai enzim yang diperlukan untuk metabolisme
anaerob sel-sel otot dan pembawa oksigen (Hall dan Ahmad 1992 dalam Hasani
2010). Protein sarkoplasma dapat menghambat dalam pembentukan gel, seperti
beberapa protease yang merusak miofibril. Protein sarkoplasma akan mengganggu
cross-linking miosin selama pembentukan matriks gel, karena protein ini
mempunyai kapasitas pengikatan air yang rendah (Otterburn 1989 dalam Hasani
2010). Protein sarkoplasma pada ikan jauh lebih stabil dibandingkan protein
miofibrilnya (Eskin et al. 1971 dalam Hasani 2010). Protein sarkoplasma
memiliki komposisi sebanyak 30% dari total protein. Protein sarkoplasma
meliputi sebagian besar enzim yang terlibat dalam metabolisme energi dan
glikolisis. Sebagian besar protein sarkoplasma memiliki bobot molekul relatif
rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur berbentuk bulat. Karakteristik fisik ini
mungkin yang bertanggung jawab untuk daya larut sarkoplasma yang tinggi
dalam air (Nakai dan Modler 2000 dalam Hasani 2010).

4
2.2.2 Miofibril
Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging ikan
yang bersifat larut dalam larutan garam. Protein miofibril berperan penting dalam
penggumpalan dan pembentukan gel pada saat pengolahan (Rahayu et al. 1992
dalam Hasani 2010). Penyusun utama protein miofibril adalah aktin (hampir 20%
dari total miofibril) dan miosin (sebesar 50-60% dari total protein miofibril)
(Suzuki 1981 dalam Hasani 2010). Miosin bersifat kurang stabil dibandingkan
dengan aktin (Eskin et al. 1971 dalam Hasani 2010). Miosin merupakan protein
esensial untuk peningkatan elastisitas gel protein (Zayas 1997 dalam Hasani
2010).
Struktur kimia miosin terdiri dari enam sub-unit polipeptida, dua rantai
besar dan empat rantai ringan membentuk suatu molekul asimetris dengan dua
kepala berbentuk globular terkait tangkai α-heliks panjang yang dapat mengikat
aktin dan berisi enzim ATP-ase aktif. Bagian heliks miosin memiliki dua engsel
yang memudahkan untuk berikatan dengan aktin. Bagian kepala terdapat 27 dari
40 golongan sulfhidril yang kaya residu asam amino hidrofilik, sedangkan bagian
tangkai berisi kelompok rantai yang sisinya bermuatan seperti residu arginil,
glutamil dan lisinil. Struktur kimia aktin berupa monomer-monomer (G-aktin)
atau dalam bentuk ikatan (F-aktin), yang dalam bentuk jaringan otot berbentuk
filamen heliks ganda dan terdiri dari monomer globular (Suzuki 1981 dalam
Hasani 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat gel aktomiosin pada ikan
adalah konsentrasi protein, pH, kekuatan ion, waktu dan suhu pemanasan.
Penurunan pH dan peningkatan konsentrasi protein meningkatkan kekuatan gel
aktomiosin (Zayas 1997 dalam Hasani 2010). Protein miofibril akan mengalami
denaturasi dengan kisaran nilai pH<6,5 dan bisa berdampak pada kemampuan
pembentukan gel (MacDonald et al. 2000 dalam Hasani 2010).
2.2.3 Stroma
Protein stroma merupakan bagian protein yang paling sedikit, membentuk
jaringan ikat dan bersifat tidak larut air, larutan asam, alkali atau larutan garam
netral pada konsentrasi 0,01-0,1 M. Protein stroma terdapat pada bagian luar sel
otot (Suzuki 1981 dalam Hasani 2010). Protein stroma terdiri dari protein
ekstraseluler, yaitu kolagen, retikulin, dan elastin serta komponen pendukung

5
lainnya (Nakai dan Modler 2000 dalam Hasani 2010). Bila jaringan penghubung
yang mengandung sebagian besar kolagen dipanaskan dalam waktu yang lama,
kolagen berubah menjadi gelatin. Pada saat yang sama, sebagian besar jaringan
penghubung akan hilang dan daging ikan terpisah dengan miomer. Ikan yang
berdaging gelap memiliki stroma lebih banyak dibandingkan ikan berdaging putih
(Hashimoto et al. 1979 dalam Hasani 2010).

2.3 Karakteristik Ikan Nila sebagai Bahan Baku Surimi


Ikan nila merupakan ikan dengan daging berwarna putih, menurut Suzuki
(1981) di dalam Rosfiani (2010), protein ikan yang berdaging putih lebih besar
serta pada umumnya mengandung kandungan lemak rendah. Protein miofibril
merupakan bagian terbesar dari protein ikan, yaitu sekitar 66–77% dari total
protein ikan. Kandungan protein ikan sangat tinggi dibandingkan dengan protein
hewan lainnya, dengan asam amino esesnsial sempurna, karena hampir semua
asam amino esensial terdapat pada daging ikan. Buckle et al. (1987)
menambahkan bahwa kadar protein ikan dipengaruhi oleh kadar air dan kadar
lemak, dimana terdapat hubungan terbalik antara protein dan kadar air pada
bagian yang dapat dimakan. Semakin tinggi kadar protein semakin rendah kadar
airnya.
Mardani (2012) dalam Wiradimadja dkk, (2017), ikan nila sangat cocok
untuk pembuatan surimi karena dagingnya yang tebal dan kandungan daging
putihnya yang tinggi. Daging putih yang terkandung pada ikan nila memiliki
kelebihan berupa rata-rata kandungan protein yang tinggi sebesar 26 mg dan juga
memiliki kandungan miosin 50–58% dan aktin 15-20%, sedangkan pada ikan
berdaging merah kandungan aktin 10% dan miosin 20-25% dari total protein yang
terkandung. Ikan dengan kandungan aktin dan miosin yang tinggi akan
membentuk aktomiosin yang lebih banyak. Aktomiosin akan membentuk gel
ketika proses pemanasan sehingga akan didapatkan tekstur yang semakin kenyal
pada surimi yang dihasilkan (Pradana 2008 dalam Wiradimadja dkk, 2017).

6
BAB III
SURIMI
3.1 Karakteristik Surimi
Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki warna putih, rasa yang baik
(khas ikan), dan kemampuan gel yang kuat. Surimi yang baik biasanya terbuat
dari bahan baku yang segar. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan surimi
biasanya merupakan bahan baku yang kurang memiliki nilai ekonomis tetapi
tersedia dalam jumlah yang banyak (Lanier, 1992 dalam Moniharapon, 2010).
Surimi adalah protein myofibril yang stabil yang terdapat dari daging ikan yang
telah dipisahlan dari tulang dan kulitnya kemudian digiling, setelah itu mengalami
pencucian serta pencampuran dengan cryoprotectant. Surimi juga merupakan
produk antara yang dapat digunakan untuk variasi produk lainnya seperti
kamaboko, chikuwa, dan beberapa produk tradisional lainnya. Sebelum tahun
1960, surimi disimpan dan digunakan dalam beberapa hari saja, hal ini
dikarenakan surimi hanya dapat disimpan pada suhu dingin pada lemari es. Pada
waktu itu proses pendinginan beku akan menyebabkan protein dalam daging ikan
akan keluar dan akan mengalami denaturasi pada akhirnya (Park, 2000 dalam
Moniharapon, 2010).

Tabel 2. Syarat Mutu Surimi Beku (SNI 01-2693-1992)

7
3.2 Pengolahan Surimi
Semua jenis ikan pada dasarnya dapat diolah menjadi produk surimi. Jenis
ikan yang ideal untuk produk surimi beku adalah yang mempunyai kemampuan
pembentukan gel yang baik, sebab kemampuan pembentukan gel ini akan
mempengaruhi elastisitas tekstur. Untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik,
sebaiknya menggunakan ikan yang masih segar, karena elastisitas yang terbaik
hanya didapatkan dari ikan yang segar (BPPMHP 1987 diacu dalam Muhibuddin
2010).
Kualitas surimi beku dinilai dari kekuatan gel dan warna dari surimi
tersebut. Kualitas surimi yang baik adalah yang berwarna putih kuat dan dapat
membentuk gel (Winarno 1993 dalam Muhibuddin 2010). Faktor penting yang
mempengaruhi proses pembentukan surimi berkualitas baik antara lain adalah cara
penyiangan (pemotongan kepala, fillet), besarnya partikel dari daging lumat,
kualitas air, suhu ikan, peralatan yang digunakan, dan cara pencucian (Lee 1984
dalam Muhibuddin 2010). Bertak dan Karahadian (1995) dalam Muhibuddin
(2010) menyatakan bahwa faktor utama yang harus diperhatikan selama
pembuatan surimi adalah suhu air pencuci dan suhu pada saat penggilingan daging
ikan. Suhu air yang lebih tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut garam.
Pencucian merupakan tahapan yang penting khususnya untuk ikan-ikan
yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang rendah serta berdaging merah
(Park dan Lin 2005 dalam Muhibuddin 2010). Menurut Balange dan Benjakul
(2009) dalam Muhibuddin (2010) bahwa pencucian surimi bertujuan untuk
melarutkan lemak, darah, enzim dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat
pembentukan gel ikan. Pengaruh pencucian dalam pembuatan surimi selain
berfungsi untuk mendapatkan warna daging yang putih, juga untuk
menghilangkan protein sarkoplasma (Suzuki 1981 dalam Muhibuddin 2010).
Air yang digunakan untuk pencucian adalah air dingin dengan suhu antara
5-10o C (Suzuki 1981 dalam Muhibuddin 2010). Pencucian dengan air sangat
diperlukan dalam pembuatan surimi karena dapat menunjang kemampuan
membentuk gel dan menghambat denaturasi protein akibat pembekuan (Park 2005
dalam Muhibuddin 2010).

8
Komponen utama yang dapat larut dalam air akan hilang dalam jumlah
yang banyak pada siklus pencucian pertama kali (Park 2005 dalam Muhibuddin
2010). Pencucian sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai
cukup. Protein dapat hilang pada pencucian kedua dan ketiga berturut-turut
sebesar 27 % dan 38 % dalam proses pengolahan surimi (Lin et al. 1996 dalam
Muhibuddin 2010). Proses pembuatan surimi yang umum dilakukan dapat dilihat
pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses pengolahan surimi


(Shimizu et al. 1992 dalam Muhibuddin, 2010)

3.3 Pengaruh Pencucian Terhadap Mutu Surimi


Pencucian lumatan daging ikan selama proses pembuatan surimi dapat
menghilangkan protein sarkoplasma dan meningkatkan konsentrasi protein
miofibril yang memegang peranan penting dalam kemampuan membentuk gel.
Keberadaan protein sarkoplasma meskipun dalam jumlah kecil dapat berpengaruh
terhadap kekuatan gel surimi yang dihasilkan (Chaijan 2004 dalam Hamdani
2015). Park dan Morrissey (2000) proses pencucian merupakan tahapan kritis
pada pembuatan surimi. Air digunakan untuk menghilangkan protein
sarkoplasma, darah, dan lemak dari daging lumat ikan. Proses pencucian akan
mempengaruhi karakteristik kekuatan gel dan derajat putih surimi yang dibuat.
Lemak dan protein sarkoplasma yang masih terkandung dalam pengolahan
surimi akan menghambat proses pembentukan gel karena ketika protein miofibril
mengalami pemanasan maka protein sarkoplasma akan terdenaturasi dan
menempel pada protein miofibril (Lanier 2000). Berkurangnya kandungan lemak
dan protein sarkoplasma pada daging ikan yang dicuci akan menghasilkan pasta
surimi yang lebih kenyal.

9
Proses pencucian surimi dilakukan dengan cara mencampur air dan daging lumat
kemudian digerakkan secara mekanis. Jumlah air yang digunakan dan banyaknya
siklus pencucian ditentukan oleh jenis ikan dan mutu surimi yang diinginkan.
Pada umumnya pencucian surimi dilakukan sebanyak 3-4 kali selama 10 menit
dengan perbandingan air ikan yaitu 3 : 1 atau 4 : 1.

10
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode
eksperimen Penelitian kuantitatif yaitu penelitian yang menekankan pada data-
data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2007: 5).
Metode eksperimen pada penelitian ini yaitu melakukan pencucian surimi
dengan perbedaan rasio daging lumatan dengan air pencuci. Peneliti ingin menguji
kekuatan gel, derajat putih, dan uji lipat surimi berdasarkan pencucian surimi
dengan perbedan ratio daging lumatan dengan air pencuci.

B. Prosedur pengujian
Pengujian sifat fisik meliputi uji kekuatan gel (gel strange), derajat putih dan
uji lipat dianalisis secara deskriptif.

11

Anda mungkin juga menyukai